MAKALAH GANGGUAN DISOSIATIF
PSIKOLOGI ABNORMAL DAN KLINIS
Disusun Oleh
Indriyani Lestari Devi (13320251)
Clara Diba Sutikno (13320272)
Vina Rahmawati (13320273)
PRODI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2014
GANGGUAN DISOSIATIF
Gangguan disosiatif itu artinya sebuah kelompok gangguan yang ditandai oleh suatu kekacauan atau disosiasi dari fungsi identitas, ingatan, atau kesadaran. Gangguan disosiatif merupakan suatu mekanisme pertahanan alam bawah sadar yang membantu seseorang melindungi aspek emosional dirinya dari mengenali dampak utuh beberapa peristiwa traumatik atau peristiwa yang menakutkan dengan membiarkan pikirannya melupakan atau menjauhkan dirinya dari situasi atau memori yang menyakitkan. Disosiasi dapat terjadi baik selama maupun setelah suatu peristiwa. Seperti pada mekanisme koping atau mekanisme perlindungan lainnya, disosiasi menjadi lebih mudah jika dilakukan berulang-ulang. Gangguan identitas disosiatif biasanya disebut sebagai kepribadian ganda. (Videbeck, 2001)
Gangguan disosiatif memiliki gambaran esensial berupa gangguan pada fungsi yang biasanya terintegrasi mencakup kesadaran, memori, identitas, atau persepsi lingkungan. Hal ini sering menghambat kemampuan individu untuk melakukan fungsi dalam kehidupan sehari-hari , mengganggu hubungan, dan menghambat kemampuan individu untuk melakukan koping terhadap realitas peristiwa yang traumatik. Identitas gangguan ini sangat bervariasi pada individu yang berbeda dan dapat muncul tiba-tiba atau bertahap, bersifat sementara atau kronis (Videbeck, 2001)
Gejala utama disosiatif adalah adanya kehilangan (sebagian atau seluruh) dari integrasi normal di bawah kendali kesadaran antara :
Ingatan masa lalu
Kesadaran identitas dan pengindraan segera (awareness of identity and immediate sensation) dan,
Kontrol terhadap gerakan tubuh
Jenis-jenis Gangguan Disosiatif
Gangguan Identitas Disosiatif
Suatu gangguan disosiatif dimana seseorang memiliki dua atau lebih kepribadian yang berbeda atau kepribadian pengganti (alter). Terdapat beberapa variasi dari kepribadian ganda, seperti kepribadian tuan rumah atau utama mungkin tidak sadar akan identitas lainnya, sementara kepribadian lainnya sadar akan keberadaan si tuan rumah ada juga kepribadian yang berbeda benar-benar tidak sadar satu sama lain. Terkadang dua kepribadian bersaing untuk mendapatkan kontrol terhadap orang tersebut ada juga satu kepribadian dominan (Dorahy, 2001). Ada juga yang menyebutnya dengan gangguan kepribadian multipel. Seseorang memperlihatkan dua atau lebih identitas yang berbeda yang sering kali mengendalikan perilakunya. Gangguan ini disertai dengan ketidakmampuan untuk mengingat informasi personal yang penting (Videbeck, 2001)
Orang dengan kepribadian ganda seringkali sangat imajinatif pada masa kecilnya karena terbiasa dengan permainan "make-believe" (pura-pura atau bermain peran) mereka mungkin sudah mengadopsi identitas pengganti, terutama bila mereka belajar bagaimana menampilkan peran kepribadian ganda. Dalam kasus kepribadain ganda masih terdapat kontroversi, karena selama tahun 1920-1970 dilaporkan hanya sedikit kasus di seluruh dunia tentang kepribadian ganda. Sejumlah ahli percaya bahwa gangguan tersebut terlalu cepat didiagnosis pada orang-orang yang sangat mudah tersugesti yang bisa saja hanya mengikuti sugesti bahwa mereka mungkin memiliki gangguan tersebut (APA, 2000). Sejumlah pakar terkenal, seperti Alm. Psikolog Nicholas Spanos dan para psikolog lainnya telah menentang keberadaan gangguan identitas disosiatif. Bagi Spanos, kepribadian ganda bukanlah suatu gangguan tersendiri, namun suatu bentuk bermain peran dimana individu pertama-tama mulai menganggap diri mereka memiliki self ganda dan kemudian mulai bertindak dengan cara yang konsisten dengan konsepsi mereka mengenai gangguan tersebut. Pada akhirnya permainan peran mereka tertanam sangat dalam sehingga menjadi kenyataan bagi mereka.
Kepribadian ganda berbeda dengan skizofrenia. Dalam kepribadian ganda kepribadiannya seperti terbagi kedalam dua atau lebih kepribadian namun masing-masing biasanya menunjukkan fungsi yang lebih terintegrasi pada tingkat kognitif, afektif dan perilaku. Sedangkan skizofrenia adalah kelainan mental yang ditandai oleh gangguan proses berpikir dan respon emosi yang lemah. Keadaan ini pada umumnya dimanifestasikan dalam bentuk halusinasi pendengaran, paranoid atau waham yang ganjil, atau cara berbicara dan berpikir yang kacau, dan disertai dengan disfungsi sosial dan pekerjaan yang signifikan (Dorahy, 2001).
Identitas disosiatif merupakan kemunculan dua atau lebih kepribadian yang berbeda. Kejelasan atau ketidakjelasan dari kepribadian ini bagaimanapun bervariasi dari fungsi motivasi psikologis, level stress sekarang, budaya, konflik internal dan dinamic, serta naik turunnya emosi. Penekanan periode-periode dari gangguan identitas mungkin terjadi ketika tekanan psikososial parah dan/atau berkepanjangan. Dalam beberapa kasus "possession-form" dari gangguan identitas disosiatif, dan dalam proporsi kasus "non-possession-form" yang kecil, perwujudan dari identitas alter akan sangat jelas. Kebanyakan individu dengan gangguan identitas disosiatif "non-possession-form", tidak sejara jelas menunjukkan ketidaksinambungan identitas diri dalam periode waktu yang lama; hanya sedikit bagian menujukkan pada perhatian klinis dengan identitas alternatif yang terobservasi (Dorahy, 2001).
Gejala-gejala yang berhubungan dengan diskontinuitas pengalaman yang dapat berpengaruh pada berbagai aspek fungsi individu. Individu dengan gangguan identitas disosiatif dapat menunjukkan perasaan yang tiba-tiba menjadi pengamat yang didepersonalisasi dari perkataan dan tindakan mereka, dimana mereka merasa tidak berdaya untuk menghentikannya (sense of self). Beberapa individu juga menunjukkan persepsi suara (contoh : suara anak; tangisan ; dan suara roh). Pada beberapa kasus, suara-suara tersebut terasa banyak, membingungkan, pikiran bebas mengalir melalui individu yang tidak terkontrol. Emosi yang kuat, impuls, dan perkataan atau tindakan lain tiba-tiba muncul tanpa rasa kepemilikan diri atau tanpa kontrol. Emosi-emosi dan impuls ini seringkali ditunjukkan sebagai ego yang tidak kuat dan membingungkan. Sikap, penampilan dan kesukaan pribadi (makanan, aktivitas, pakaian) dapat berubah secara tiba-tiba dan berubah lagi. Individu juga merasa tubuhnya berbeda (seperti tubuh anak-anak, jenis kelampin berbeda, besar dan berotot). Perubahan dalam perasan diri sendiri dan kehilangan agen personal dapat diikuti rasa bahwa sikap, emosi, dan perilaku – dalam satu tubuh – bukan milik sendiri dan bukan dalam kontrol diri. Kebanyakan dari diskontinuitas yang tiba-tiba dalam berbicara, pengaruh, dan perilaku dapat diamati oleh keluarga, teman, dan terapis. Serangan non-epilepsi dan gejala konversi lainnya menonjol dalam beberapa penjelasan dari identitas disosiatif, khususnya dalam setting non-Barat (Hibbert, dkk. 2009).
Individu yang memiliki gangguan identitas disosiatif berbeda dalam kesadaran diri dan sikap terhadap amnesia. Hal ini umum pada individu tersebut untuk memperkecil gejala amnesia mereka. Beberapa perilaku amnesia dapat menjadi nyata pada lainnya – seperti ketika orang-orang tidak mengingat kembali sesuatu yang mereka sadari dalam berbuat atau berkata, ketika mereka tidak bisa mengingat nama mereka, atau ketika mereka tidak mengenal pasangan, anak, atau teman dekatnya (Tomb, 2004)
Identitas "possession-form" dalam identitas disosiatif nyata sebagai perilaku yang muncul seperti ada "spirit", kekuatan supernatural, atau ada orang lain di luar yang mengontrol. Contohnya, perilaku individu dapat memunculkan bahwa identitas mereka telah digantikan dengan "hantu" dari perempuan yang bunuh diri dalam komunitas mereka beberapa tahun yang lalu, berbicara dan berperilaku seakan-akan perempuan itu masih hidup. Atau, individu diambil alih oleh iblis, sebagai tuntutan dari individu untuk mendapatkan hukuman atas perilaku yang telah dia lakukan di masa lalu. Bagaimanapun, bagian utama dari keadaan kepemilikan di dunia ini normal, biasanya bagian dari spiritual dan tidak termasuk dalam gangguan identitas disosiatif. Identitas yang meningkat selama gangguan disosiatif disorder "possession-form" muncul berulang tidak diinginkan dan terpaksa yang menyebabkan distress atau kerusakan klinis yang signifikasn dan tidak dapat diterima oleh budaya atau agama secara luas (Dorahy, 2001).
Amnesia disosiatif atau Amnesia Psikogenik
Amnesia disosiatif dipercaya sebagai tipe yang paling umum dari gangguan disosiatif. Kehilangan memori karena penyebab psikologik disebut amnesia disosiatif. Amnesia diambil dari kata Yunani a-, berarti "tanpa" dan mnasthai, berarti "untuk mengingat". Mengingat kembali dalam amnesia disosiatif dapat terjadi secara bertahap tapi sering muncul secara tiba-tiba atau spontan (Maldonado, Butler, dan Speigel, 1998). Biasanya, terdapat kehilangan informasi bermuatan emosi yang anterograd secara tiba-tiba setelah suatu stres fisik atau psikososial. Gangguan ini lebih banyak dijumpai oada wanita usia remaja atau usia 20-1n, atau laki-alki pada waktu perang. Pada saat serangan, pasien tampak sangat bingung, tetapi dapat pulih secara cepat, spontan, dan menyeluruh. Pada sebagian kasus, amnesia terjadi sebagian atau menyeluruh, dialami selama beberapa bulan atau tahun pada saat-saat akhir hidup mereka. Hipnosis dapat membantu untuk mengembalikan memorinya (Tomb, 2004).
Terdapat jenis-jenis dalam kerusakan ingatan yang diantaranya ialah ketidak mampuan untuk mengingat semua insiden yang berhubungan dengan suatu kejadian traumatik untuk suatu periode waktu spesifik setelah kejadian tersebut (biasanya beberapa jam sampai beberapa hari) yang disebut dengan Amnesia lokal (Townsend, 1998). Sedangkan amnesia selektif, individu dapat mengingat beberapa, namun tidak semua, peristiwa-peristiwa dalam periode waktu terbatas. Jadi, individu dapat mengingat bagian dari peristiwa traumatik, tetapi tidak pada bagian lain. Beberapa individu melaporkan, dirinya menderita baik amnesia terlokalisasi dan amnesia selektif. Dengan kata lain yang dapat diingat hanyalah kejadian pasti yang berhubungan dengan kejadian traumatik (Townsend, 1998).
Berbeda dengan amnesia selektif dan amnesia lokal, Amnesia menyeluruh penghilangan memori keseluruhan dari sejarah kehidupan seseorang, dan hal tersebut jarang. Individu dengan amnesia keseluruhan dapat melupakan identitas pribadi. Beberapa kehilangan pengetahuan sebelumnya tentang dunia (pengetahuan semantik) dan tidak dapat melakukan keahlian-keahlian yang telah dipelajari (pengetahuan prosedural). Amnesia menyeluruh mempunyai onset akut; membingungkan, disorientasi, dan pengeluyuran yang tidak bertujuan dari individu dengan amnesia menyeluruh biasanya membawa mereka pada perhatian polisi atau pelayan psikiater darurat. Amnesia menyeluruh dapat menjadi lebih umum di antara korban kekerasan seksual dan individu yang memiliki pengalaman stress emosional yang ekstrim atau konflik (Townsend, 1998).
Dan yang terakhir ialah amnesia kontinu yakni ketidakmampuan mengingat kejadian-kejadian berikutnya sampai suatu waktu yang spesifik dan termasuk kejadian-kejadian saat ini. Memorinya tidak kembali setelah suatu periode waktu yang pendek, seperti pada amnesia lokal. Individu tersebut benar-benar tidak mampu membentuk memori baru (Townsend, 1998).
Individu dengan amnesias disosiatif seringkali tidak menyadari (atau hanya sebagian sadar) permasalahan memori mereka. Kebanyakan, terkhusus mereka yang mengalami amnesia terlokalisasi, meminimalisir kepentingan dari kehilangan memori mereka dan dapat menjadi tidak nyaman ketika diarahkan untuk mengingat memori tersebut. Dalam amnesia tersistematis, individu kehilangan memori untuk kategori informasi yang spesifik (semua ingatan tentang keluarga, orang penting, pelecehan seksual masa kecil). Dalam amnesia berkesinambungan, individu melupakan tiap peristiwa yang terjadi (Townsend, 1998).
Fugue disosiatif atau Fuga Psikogenik
Fugue berasal dari bahasa latin fugere, yang berarti melarikan diri, fugue sama dengan amnesia "dalam pelarian". Dalam fugue disosiatif memori yang hilang lebih luas dari pada amnesia dissosiative, individu tidak hanya kehilangan seluruh ingatanya (misalnya nama, keluarga atau pekerjaanya), mereka secara mendadak meninggalkan rumah dan pekerjaanya serta memiliki identitas yang baru (parsial atau total) (APA, 1994). Namun mereka mampu membentuk hubungan sosial yang baik dengan lingkungan yang baru. Fugue, seperti amnesia, relatif jarang dan diyakini mempengaruhi sekitar 2 orang di 1.000 di antara populasi umum (APA, 1994). Setelah pulih, tidak ada ingatan sama sekali terhadap kejadian-kejadian yang terjadi selama fuga (fugue). Prosesnya secara singkat-beberapa jam sampai beberapa hari dan jarang sampai beberapa bulan. Kekambuhan jarang terjadi (Townsend, 1998).
Gangguan ini muncul sesudah individu mengalami stress atau konflik yang berat, misalnya pertengkaran rumah tangga, mengalami penolakan, kesulitan dalam pekerjaan dan keuangan, perang atau bencana alam. Perilaku seseorang pasien dengan fugue disosiatif adalah lebih bertujuan dan terintegrasi dengan amnesianya dibandingkan pasien dengan amnesia disosiatif. Pasien dengan fugue disosiatif telah berjalan jalan secara fisik dari rumah dan situasi kerjanya dan tidak dapat mengingat aspek penting identitas mereka sebelumnya (nama,keluarga, pekerjaan). Pasien tersebut seringkali, tetapi tidak selalu, mengambil identitas dan pekerjaan yang sepenuhnya baru, walaupun identitas baru biasanya kurang lengkap dibandingkan kepribadian ganda yang terlihat pada gangguan identitas disosiatif (Tomb, 2004)
Penyebab dissociative fugue serupa kepada dissociative amnesia. Dissociative fugue sering disalaharti sebagai malingering, karena kedua kondisi bisa terjadi dibawah keadaan bahwa seseorang mungkin tidak bisa memahami keinginan untuk menghindar. Kebanyakan fugue tampak melambangkan pemenuhan keinginan yang disembunyikan (misal, lari dari tekanan yang berlebihan, seperti perceraian atau kegagalan keuangan). Fugues lainnya berhubungan dengan perasaan ditolak atau dipisahkan atau mereka bisa melindungi orang tersebut dari bunuh diri atau impul pembunuhan. Ketika dissociative fugue berulang labih dari beberapa waktu, orang tersebut biasanya memiliki gangguan identitas dissociative yang mendasari. Fugue bisa berlangsung dari hitungan jam sampai mingguan, atau kadangkala bahkan lebih lama (Tomb, 2004)
Gangguan Depersonalisasi
Gangguan depersonalisasi didiagnosis hanya terjadi bila pengalaman terjadi berulangkali dan menimbulkan distress yang jelas.
Ada dua macam gangguan depersonalisasi, diantaranya ialah:
Depersonalisasi (depersonalization) mencangkup kehilangan atau perubahan temporer dalam perasaan yang biasa mengenai realitas diri sendiri. Dalam suatu tahap depersonalisasi, orang merasa terpisah dari dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Mereka mungkin merasa seperti sedang bermimpi atau bertingkah laku seperti robot (Guralnik, Schmeidler, & Simeon, 2000; Maldonado, Butler, & Speigel, 1998).
Derealisasi (Derealization) suatu perasaan tidak nyata mengenai dunia luar yang mencakup perubahan yang aneh dalam persepsi mengenai lingkungan sekitar, atau dalam perasaan mengenai periode waktu juga dapat muncul. Orang dan objek dapat berubah ukuran atau bentuk dan dapat pula mengeluarkan suara yang berbeda. Semua perasaan ini dapat diasosiasikan dengan kecemasan, termasuk pusing dan ketakutan akan menjadi gila, atau dengan depresi (Guralnik, Schmeidler, & Simeon, 2000; Maldonado, Butler, & Speigel, 1998).
Hal utama/penting dari gangguan depersonalisasi/derealisasi adalah episode menetap atau berulang dari depersonalisasi/derealisasi, atau keduanya. Episode dari depersonalisasi dikaraktersitikan dari perasaan yang tidak nyata atau tidak familiar dari keseluruhan diri seseorang atau dari aspek-aspek diri. Individu tersebut dapat merasa terpisah dari dirinya ("saya bukan siapa-siapa", "saya tidak mempunyai diri saya"). Dia juga merasa terpisah secara subjektif dari aspek diri, termasuk perasaan (" saya tahu saya mempunyai perasaan, tapi saya tidak merasakannya"), pikiran ("pikiran saya tidak terasa seperti milik saya", keseluruhan tubuh/bagian tubuh, atau sensasi (sentuhan, lapar, libido). Ada juga pengurangan rasa memiliki dari agen diri (terasa seperti robot, kurang dalam kontrol perkataan atau gerakan). Pengalaman depersonalisasi terkadang menjadi satu dalam pemisahan diri, dengan satu bagian mengamati dan bagian lain berpartisipasi ("out-of-body experience" adalah bentuk paling ekstrim). Kesatuan gejala dari "depersonalisasi" terdiri dari beberapa faktor gejala: pengalaman diri menyimpang dari biasanya (diri yang tidak nyata dan perubahan persepsi); emosi atau merasa mati rasa secara fisik; dan distorsi diri yang temporal dengan mengingat kembali penyimpangan diri (Guralnik, Schmeidler, & Simeon, 2000.
Episode derealisasi dikarakteristikan oleh perasaan tidak nyata atau memisahkan dari atau tidak familiar dengan, dunia (individu, benda mati, dan sekitarnya). Individu tersebut dapat merasa bahwa dia dalam kabut, mimpi, atau gelembung, atau pengalaman buatan, tidak berwarna, atau tidak hidup. Derealisasi secara umum diikuti dengan distorsi visual subjektif, seperti kekaburan, merasa lingkungan sekitar makin sempit/makin luas, dua-dimensi/rata, melebih-lebihkan tiga dimensi, atau perubahan jarak/ukuran dari objek. Distorsi auditori dapat terjadi, dimana suara mengecil atau mengeras (Guralnik, Schmeidler, & Simeon, 2000).
Gangguan Disosiatif Lainnya
Stupor Disosiatif ( F 44.2)
Stupor, sangat berkurangnya atau hilangnya gerakan-gerakan volunter dan respon normal terhadap rangsangan luar seperti misalnya cahaya, suara, dan perabaan (sedangkan kesadaran tidak hilang). Tidak ditemukan adanya gangguan fisik ataupun gangguan jiwa lain yang dapat menjelaskan keadaan stupor tersebut. Kondisinya tidak bergerak dan bisu, namun ia sadar akan kondisi sekelilingnya (Hibbert, dkk. 2009)
Gangguan Trans dan Kesurupan ( F 44.3)
Gangguan ini menunjukan adanya kehilangan sementara aspek penghayatan akan identitas diri dan kesadaran akan lingkungannya. Dalam beberapa kejadian, individu tersebut berperilaku seakan-akan dikuasai oleh kepribadian lain, kekuatan gaib, malaikat atau "kekuatan lain" . hanya gangguan trans yang "involunter" (diluar kemampuan individu) dan bukan merupakan aktivitas yang biasa dan bukan merupakan kegiatan keagamaan ataupun budaya, yang boleh dimasukan dalam pengertian ini. Tidak ada penyebab organik misalya epilepsi, cidera kepala, dan lain-lain, dan bukan bagian gangguan jiwa tertentu (Hibbert, dkk. 2009).
Gangguan Motorik Disosiatif ( F 44.4)
Bentuk yang umum dari gangguan ini adalah ketidakmampuan menggerakan seluruh atau sebagian dari anggota gerak (tangan atau kaki). Gejala tersebut seringkali menggambarkan konsep dari penderita mengenai gangguan fisik yang berbeda dengan prinsip fisiologik dan anatomik (Hibbert, dkk. 2009).
Konvulsi Disosiatif ( F 44.5)
Konvulsi disosiatif (pseudo seizures) dapat sangat mirip dengan kejang, epileptik dalam hal gerakan gerakannya, akan tetapi sangat jarang disertai lidah tergigit, luka serius karena jatuh saat serangan dan mengompol juga tidak dijumpai kehilangan kesadaran atau hal tersebut diganti dengan keadaan seperti stupor atau trans (Leksikon, 2001)
Anestesia dan Kehilangan sensorik disosiatif ( F 44.6)
Gejala anestesia pada kulit seringkali mempunyai batas-batas yang tegas (menggambarkan pemikiran pasien mengenai kondisi tubuhnya dan bukan menggambarkan kondisi klinis sebenarnya). Dapat pula terjadi perbedaan antara hilangnya perasaan pada berbagai jenis modalitas penginderaan yang tidak mungkin desebabkan oleh kerusakan neurologis, misalnya hilangnya perasaan dapat disertai dengan keluhan parestesia. Kehilangan penglihatan jarang bersifat total, leih banyak berupa gangguan ketajaman penglihatan, kekaburan atau "tunnel vision". Meskipun ada gangguan penglihatan, mobilitas penderita dan kemampuan motoriknya masih baik. Tuli disosiatif dan anosmia jauh lebih jarang terjadi dibandingkan dengan hilang rasa dan penglihatan (Hibbert, dkk. 2009).
Gangguan Disosiatif (konversi) atau Dissociative (convertion) disorder (F 44)
Kehilangan integrasi normal (sebagian atau seluruhnya) antara ingatan masa lalu, kesadaran akan identitas diri, sensasi segera, dan pengendalian gerakan tubuh. Gangguan disosiatif memiliki kecenderungan untuk pulih setelah beberapa minggu atau bulan, terutama jika kejadiannya berhubungan dengan peristiwa traumatik dalam kehidupan. Makin banyak gangguan kronik yang dapat terjadi, terutama kelumpuhan (paralyse) dan anestesia (anaesthesias), jika kejadiannya berhubungan dengan masalah yang tidak dapat diselesaikan atau mengalami kesulitan dalam hubungan interpersonal. Gangguan ini pada awalnya dianggap bersifat psikogenik dan dahulu diklasifikasikan ke dalam histeria konversi. Gejala sering kali merepresentasikan konsep pasian tentang bagaimana penyakit fisik akan dimanifestasikan. Pemeriksaan medis dan penunjang biasanya tidak membuktikan adanya gangguan fisik atau gangguan neurologik apapun (Leksikon, 2001).
Gangguan disosiatif organik (Dissociative disorder, organic)
Gangguan disosiatif yang timbul sebagai akibat gangguan jiwa organik dan ditandai dengan kehilangan integritas normal sebagian atau total antara ingatan masa lalu, kesadaran akan identitas, sensasi segera, dan pengendalian gerakan tubuh (Leksikon, 2001).
Pandangan-pandangan Teoritis
Gangguan disosiatif adalah fenomena yang sangat mengagumkan dan menarik namun membingungkan. Meski gangguan-gangguan ini tetap misterius dalam beberapa hal, petunjuk-petunjuk yang memberikan pemahaman akan asal-muasalnya tetap bermunculan.
Pandangan Psikodinamika
Amnesia disosiatif dapat menjadi suatu fungsi adaptif dengan cara memutus atau mendisosiasi alam sadar seseorang dari kesadaran akan pengalaman traumatis atau sumber-sumber lain dari nyeri maupun konflik psikologis (Dorahy, 2001). Bagi teoritikus psikodinamika, gangguan disosiatif melibatkan penggunaan represi secara besar-besaran, yang menghasilkan "terpisahnya" impuls yang tidak dapat diterima dan ingatan yang menyakitkan dari kesadaran seseorang. Dalam amnesia dan fugue disosiatif, ego melindungi dirinya sendiri dari kebanjiran kecemasan dengan mengeluarkan ingatan-ingatan yang mengganggu atau dengan mendisosiasi impuls menakutkan yang bersifat seksual atau agresif. Pada kepribadian ganda, orang mungkin mengekspresikan impuls-impuls yang tidak dapat diterima melalui pengembangan kepribadian pengganti. Pada depersonalisasi orang berada di luar dirinya sendiri, aman dengan cara menjauh dari pertarungan emosional di dalam dirinya (Dorahy, 2001).
Pandangan Kognitif dan Belajar
Teoritikus belajar dan kognitif memandang disosiasi sebagai suatu respon yang dipelajari yang meliputi proses tidak berpikir tentang tindakan atau pikiran yang mengganggu dalam rangka menghindari rasa bersalah dan malu yang ditimbulkan oleh pengalaman-pengalaman itu. Kebiasaan tidak berpikir tentang masalah-masalah tersebut secara negatif dikuatkan dengan adanya perasaan terbebas dari kecemasan, atau dengan memindahkan perasaan bersalah atau malu. Sejumlah teoretikus sosial kognitif, percaya bahwa gangguan identitas disosiatif adalah suatu bentuk bermain peran yang dikuasai melalui observasi yang melibatkan proses pembelajaran dan reinforcement. Ini tidak dengan berpura-pura atau malingering, orang dapat secara jujur mengorganisasikan pola perilaku mereka menurut peran tertentu yang telah mereka amati. Mereka juga dapat menjadi sangat mendalami permainan peran mereka hingga 'lupa' bahwa mereka sedang menampilkan sebuah peran (Butcher, dkk, 2008).
Disfungsi Otak
Beberapa bukti terakhir menunjukkan perbedaan dalam aktivitas metabolisme otak antara orang dengan gangguan depersonalisasi dan subjek yang sehat. Ada penemuan yang menekankan pada kemungkinan adanya disfungsi di bagian otak yang terlibat dalam persepsi tubuh, dapat membantu menjelaskan perasaan terpisah dari tubuh yang diasosiasikan dengan depersonalisasi (APA, 1994).
Model Diatesis-Stres
Walaupun banyak bukti trauma masa kanak-kanak dalam kasus gangguan identitas disosiatif, hanya sedikit anak yang mengalami penyiksaan yang mengembangkan kepribadian ganda. Trait-trait kepribadian tertentu, seperti kecenderungan berfantasi, tingkat kemudahan tinggi untuk dihipnotis dan keterbukaan pada kondisi kesadaran alter, dapat menjadi predisposisi bagi individu untuk mengembangkan pengalaman disosiatif bila dihadapkan dengan stress yang ekstrim, seperti penyiksaan yang traumatis. Walaupun demikian, trait-trait tersebut belum tentu mengakibatkan seseorang mengalami gangguan disosiatif. Orang yang memiliki kecenderungan rendah untuk berfantasi atau kemudahan dihipnotis kemungkinan mengalami semacam karakteristik pikiran-pikiran cemas dan intrusif yang merupakan gangguan stress pasca trauma (PTSD) pada periode setelah stress yang traumatis dan bukan gangguan disosiatif (Guralnik, dkk, 2000).
Penanganan Gangguan Disosiatif
Identitas Disosiatif
Psikoanalisis berusaha membantu orang yang menderita gangguan identitas disosiatif untuk mengungkapkan dan belajar mengatasi trauma-trauma masa kecil. Mereka sering merekomendasikan membangun kontak langsung dengan kepribadian-kepribadian alter. Setiap dan semua kepribadian dapat diminta untuk berbicara tentang memori dan mimpi-mimpi ereka sebisa mereka. Setiap dan semua kepribadian dapat diyakinkan bahwa terapis akan membantu mereka untuk memahami kecemasan mereka untuk "membangkitkan" pengalaman traumatis mereka secara aman dan menjadikan pengalaman-pengalaman tersebut disadari. Menurut Wilbur, kecemasan yang dialami saat sesi akan menyebabkan perpindahan kepribadian. Bila terapi berhasil, self akan mampu bergerak melalui ingatan traumatis dan tidak lagi perlu melarikan diri ke dalam self pengganti untuk menghindari kecemasan yang diasosiasikan dengan trauma, sehingga terjadi integrasi kepribadian (Maldonado, dkk, 1998)
Amnesia dan fugue disosiatif : Berfokus pada penanganan kecemasan atau depresinya.
Penanganan Fugue Disosiatif
Psikoterapi adalah penanganan primer terhadap gangguan disosiatif ini. Bentuk terapinya berupa terapi bicara, konseling atau terapi psikososial, meliputi berbicara tentang gangguan yang diderita oleh pasien jiwa. Terapinya akan membantu anda mengerti penyebab dari kondisi yang dialami. Psikoterapi untuk gangguan disosiasi sering mengikutsertakan teknik seperti hipnotis yang membantu kita mengingat trauma yang menimbulkan gejala disosiatif (Maldonado, Butler, dan Speigel, 1998).
Penanganan gangguan disosiatif yang lain meliputi :
Terapi kesenian kreatif. Dalam beberapa referensi dikatakan bahwa tipe terapi ini menggunakan proses kreatif untuk membantu pasien yang sulit mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka. Seni kreatif dapat membantu meningkatkan kesadaran diri. Terapi seni kreatif meliputi kesenian, tari, drama dan puisi (Maldonado, Butler, dan Speigel, 1998).
Terapi kognitif. Terapi kognitif ini bisa membantu untuk mengidentifikasikan kelakuan yang negative dan tidak sehat dan menggantikannya dengan yang positif dan sehat, dan semua tergantung dari ide dalam pikiran untuk mendeterminasikan apa yang menjadi perilaku pemeriksa (Maldonado, Butler, dan Speigel, 1998).
Terapi obat. Terapi ini sangat baik untuk dijadikan penangan awal, walaupun tidak ada obat yang spesifik dalam menangani gangguan disosiatif ini. Biasanya pasien diberikan resep berupa anti-depresan dan obat anti-cemas untuk membantu mengontrol gejala mental pada gangguan disosiatif ini (Maldonado, Butler, dan Speigel, 1998).
Ahli terapi biasanya merekomendasikan menggunakan hypnosis yang biasanya berupa hypnoterapi atau hipnotis sugesti sebagai bagian dari penanganan pada gangguan disosiatif. Hypnosis menciptakan keadaan relaksasi yang dalam dan tenang dalam pikiran. Saat terhipnotis, pasien dapat berkonsentrasi lebih intensif dan spesifik. Karena pasien lebih terbuka terhadap sugesti saat pasien terhipnotis. Ada beberapa konsentrasi yang menyatakan bahwa bisa saja ahli hipnotis akan menanamkan memori yang salah dalam mensugesti. Selain itu, kita juga bisa melakukan pencegahan. Anak- anak yang secara fisik, emosional dan seksual mengalami gangguan, sangat beresiko tinggi mengalami gangguan mental yang dalam hal ini adalah gangguan disosiatif. Jika terjadi hal yang demikian, maka bersegeralah mengobati secara sugesti, agar penangan tidak berupa obat anti depresan ataupun obat anti stress, karena diketahui bahwa jika menanamkan sugesti yang baik terhadap usia belia, maka nantinya akan didapatkan hasil yang maksimal, dengan penangan yang minimal (Maldonado, Butler, dan Speigel, 1998).
Penanganan Amnesia Disosiatif
Gangguan disosiatif merupakan produk akhir dari pengalaman traumatis yang kuat pada masa kanak-kanak, khususnya mencakup penyiksaan atau bentuk lain dari kesalahan penanganan emosi. Walaupun demikian, sebagai tambahan pengalaman kekerasan pasa masa kanak-kanak, beberapa jenis peristiwa traumatis juga dapat menghasilkan pengalaman disosiatif, bebrapa yang bersifat sementara dan beberapa lainnya berakhir dalam jangka waktu yang lama (Maldonado, Butler, dan Speigel, 1998).
Treatment untuk gangguan disosiatif ada bermacam-macam, sebagian besar karena kondisinya juga bervariasi. Tujuan utama dalam memberika treatment terhadap orang dengan symptom-simptom disosiatif adalah dengan membawa kestabilan dan integrasi dalam hidup mereka. Hal yang penting dalam treatment mereka adalah membangun sebuah lingkungan yang aman, jauh dari stressor yang mengancam yang mungkin dapat membangkitkan disosiasi. Pada keamanan dalam konteks treatment, klinisi akan mengenalkan teknik yang menenangkan, beberapa bersifat psikoterapeutik dan yang lain bersifat psikofarmakologis. Beberapa klinisi akan menambah obat dan intervensi, juga dapat membantu meningkatkan kondisi tenang. Obat yang paling umum digunakan adalah sodium pentobarbital dan sodium amobarbital yang memfasilitasi proses wawancara, khususnya pada klien yang mengalami amnesia disosiatif dan fugue disosiatif. Jika amnesianya telah hilang, maka klinisi akan membanti klien menemukan kejadian apa dan factor-faktor apa yang menyebabkan amnesia (Maldonado, Butler, dan Speigel, 1998)
Gangguan disosiatif menyajikan kesempatan unik menghargai kompleksitas pikiran manusia dan variasi cara yang tak biasa ketika beberapa orang merespons pengalaman-pengalaman hidup yang penuh tekanan. Penting untuk mengingat bahwa gangguan amnesia dan fugue sangat jarang terjadi dan sulit untuk diterapi, meskipun penjelasan yang saat ini ada bergantung pada perspektif psikologis (Maldonado, Butler, dan Speigel, 1998)
Penanganan Depersonalisasi
Karena gangguan disosiatif tampaknya dipicu sebagai respon terhadap trauma atau pelecehan, Pengobatan untuk individu dengan gangguan tersebut adalah psikoterapi stress, meskipun kombinasi perawatan psychopharmacological dan psikososial sering digunakan. Banyak gejala gangguan disosiatif terjadi dengan gangguan lain, seperti kecemasan dan depresi, dan dapat dihilangkan dengan mengatasi penyebab dari kecemasan dan depresi. Sedangkan obat yang sama digunakan untuk kecemasan dan depresi (misalnya, anti ansietas obat atau antidepresan) sering diresepkan untuk orang dalam pengobatan untuk gangguan disosiatif, gejala kecemasan dan depresi juga bisa mendapatkan keuntungan dari psikoterapi. Pengobatan gangguan depersonalisasi dapat meliputi, antara lain:
Konseling psikologis
Konseling psikologis akan membantu pasien memahami mengapa terjadi depersonalisasi dan melatih pasien untuk berhenti khawatir mengenai gejala yang terjadi. Gangguan depersonalisasi juga dapat membaik ketika konseling membantu dengan kondisi psikologis lain, seperti depresi (Maldonado, Butler, dan Speigel, 1998).
Obat-obatan
Meskipun tidak ada obat khusus yang telah disetujui untuk mengobati gangguan depersonalisasi. Namun, sejumlah obat yang umumnya digunakan untuk mengobati depresi dan kecemasan juga dapat membantu kondisi gangguan depersonalisasi. Beberapa contoh yang telah ditunjukkan untuk meredakan gejala tersebut termasuk:
Fluoxetine (Prozac) :
Fluoxetine adalah salah satu obat diandalkan untuk pengobatan depresi. mekanisme aksi dari Fluoxetine adalah dengan meningkatkan tingkat serotonin dalam otak. bahwa Pasien dengan Depresi memiliki tingkat serotonin dalam otak mereka. Fluoxetine memudahkan gejala depresi dengan memperlakukan ketidakseimbangan serotonin dalam otak (Butcher, dkk, 2008).
Clomipramine (Anafranil)
Anafranil 10 mg merupakan obat antidepresan yang mengandung Clomipramine 10 mg. Anafranil termasuk ke dalam kelas tricyclic antidepressant (TCA). Clomipramine merupakan penghambat selektif kuat dari reuptake serotonin, antagonis dari reseptor histamin H1, reseptor asetilkolin, dan reseptor adrenergik α1 (Butcher, dkk, 2008)..
Anafranil digunakan untuk penanganan gangguan obsesif kompulsif, Gangguan depresi menyeluruh, Gangguan panik dengan atau tanpa agoraphobia, Gangguan dismorfik tubuh, Ejakulasi dini, Gangguan nyeri kronis dengan atau tanpa penyakit organik, paling sering berupa nyeri kepala (Butcher, dkk, 2008)..
Anafranil tidak boleh digunakan pada pasien dengan riwayat alergi atau hipersensitivitas pada Clomipramine, atau golongan trisiklik antidepresan lainnya. Pasien dengan riwayat serangan jantung, pasien dengan gangguan irama jantung, pasien dengan gangguan manik, pasien dengan gagal hati berat, pasien dengan glukoma, pasien dengan gangguan ginjal berat atau gangguan mikturisi (buang air kecil). Penggunaan Anafranil pada ibu hamil berkaitan dengan adanya kelainan jantung congenital pada janin, dan berkaitan dengan gejala putus zat pada bayi baru lahir. Anafranil juga dapat masuk ke dalam air susu ibu, sehingga ibu menyusui dilarang menggunakan obat ini (Butcher, dkk, 2008)..
EFEK SAMPING
Efek samping yang paling sering ketika menggunakan Anafranil adalah mual, muntah, mulut kering, gangguan penglihatan, konstipasi, peningkatan nafsu makan, peningkatan berat badan, pusing berputar, nyeri kepala, rasa mengantuk, gelisah, dan gangguan ereksi/impotensi. Efek samping yang jaarang terjadi di antaranya adalah kelemahan otot, gangguan berbicara, kelumpuhan sesaat, gangguan ingatan, gangguan tidur, gangguan manik, gangguan cemas, pembesaran payudara, galaktorea (keluar air susu), gangguan keseimbangan, gangguan irama jantung dan peningkatan tekanan darah (Butcher, dkk, 2008)..
DOSIS
Penggunaan Anafranil dapat digunakan dalam rentang dosis 25 mg hingga 200 mg per hari dalam dosis terbagi, obat ini dikonsumsi dalam keadaan perut terisi atau setelah makan guna mengurangi efek samping pada saluran makan. Pada pasien yang baru menggunakan Anafranil dapat dimulai dengan dosis ringan 10 mg per hari dua hingga tiga tablet, kemudian ditingkatkan dosisnya secara bertahap. Memberhentikan penggunaan Anafranil harus dilakukan secara bertahap, yaitu dimulai dengan penurunan dosis hingga akhirnya berhenti, hal ini dilakukan untuk mencegah ketergantungan dan munculnya gejala putus zat (Butcher, dkk, 2008)..
Clonazepam (Klonopin)
Klonopin mengandung clonazepam. Clonazepam digunakan sendiri atau bersama-sama dengan obat lain untuk mengobati kejang tertentu atau gangguan kejang, misalnya, sindrom Lennox Gastaut, akinetic atau kejang mioklonik). Hal tersebut juga digunakan untuk mengobati gangguan panik pada beberapa pasien. Clonazepam adalah termasuk golongan benzodiazepin. Benzodiazepin termasuk dalam kelompok obat yang disebut sebagai depresan sistem saraf pusat (SSP), yang adalah obat untuk memperlambat sistem saraf. Fungsi dari obat ini ialah untuk mengatasi gangguan kejang dan gangguan panik. Obat tersebut hanya dapat diperoleh dengan resep dokter (Butcher, dkk, 2008).
DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental disorders, DSM-IV(4th ed., text revision). Washington, DC: American Psychiatric
American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and statistical manual of mental disorders, DSM-IV, (4th ed., text revision). Washington, DC: American Psychiatric
Butcher, J. N., Mineka, S., Hooley, J. M. (2008). Abnormal Psychology: Core Concepts.
Boston; Pearson
Davison, G. C., Neale, J. M., Kring, A. M. (2006). Psikologi Abnormal (Edisi ke-9)
(Noermalasari Fajar, Trans). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Dorahy, M. J dan Rhoades, G. (2001) Dissosiative Identity Disorder and Memory Dysfunction. The Current state of experimental research, and its future direction. Clinical Psychology Review, 21, 771-795
Guralnik, O., Schmeidler, J., dan Simeon, D. (2000). Feeling unreal: Cognitive Processes in depersonalization American Journal of Psychiatry, 157 (1), 103-109
Hibbert, A. Godwin, A. dan Frances Dear. (2009). Rujukan Cepat Psikiatri. Jakarta: EGC
Leksikon. (2001). Istilah Kesehatan Jiwa dan Psikiatri. Jakarta: EGC
Tomb, David A. (2004). Psikiatri. Jakarta: EGC
Townsend, Mary C. (1998). Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri. Jakarta EGC
Videbeck, Sheile L. (2001). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
Maldonado J, Butler L, dan Spiegel D. (1998). Treatment for Dissosiative Disorder. New York: Oxford University
https://www.academia.edu/9069052/MAKALAH_GANGGUAN_DISOSIATIF diakses pada tanggal 13 Desember 2014 pukul 15.06