Makalah Fonologi
iI
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................2
A. Klasifikasi Bunyi Suprasegmental...........................................................................2
B. Bunyi Pengiring........................................................................................................6
C. Diftong, Kluster dan Silaba.......................................................................................7
BAB III PENUTUP...........................................................................................................11
A. Simpulan..................................................................................................................11
B. Saran........................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................12
LAMPIRAN.......................................................................................................................13
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah fonologi yang berjudul 'Klasifikasi Bunyi Suprasegmental, Bunyi Pengiring, Diftong, Klaster dan Silaba' dengan tepat waktu dan tanpa ada hambatan yang berarti. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampuh mata kuliah fonologi yang bersedia membimbing dan membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini berisikan tentang informasi pengertian bunyi suprasegmental, bunyi pengirng, diftong, klaster dan silaba. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang macam-macam bunyi yang selalu kita gunakan .
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Lamongan, Oktober 2017
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bila kita memperhatikan dengan saksama dalam kehidupan sehari-hari, masih banyak masyarakat yang memakai bahasa Indonesia tetapi tuturan atau ucapan daerahnya terbawa ke dalam tuturan bahasa Indonesia. Tidak sedikit seseorang yang berbicara dalam bahasa Indonesia, tetapi dengan lafal atau intonasi Jawa, Batak, Bugis, Sunda, dan sebagainya. Hal ini dimungkinkan karena sebagian besar bangsa Indonesia memposisikan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua dan bahasa daerah sebagai bahasa utamanya.
Dalam pembahasan fonologi bahasa untuk meluruskan bagaimana tuturan atau ucapan dalam bahasa Indonesia. Pengertian fonologi menurut Kridalaksana (2002) dalam kamus linguistik fonologi yakni bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya.
Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis membahas tentang:
Apa pengertian bunyi suprasegmental, bunyi pengiring, diftong, kluster, dan silaba?
Apa ciri-cirinya bunyi suprasegmental, bunyi pengiring, diftong, kluster, dan silaba?
Apa saja yang memengaruhi informasi rincian pengertian bunyi suprasegmental, bunyi pengiring, diftong, kluster, dan silaba dalam fonologi bahasa?
Batasan Masalah
Makalah ini hanya membahas masalah Bunyi Suprasegmental, Bunyi pengiring, Diftong, Kluster dan Silaba beserta macam-macamnya.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulis membahas masalah Klasifikasi Bunyi Suprasegmental, Bunyi pengiring, Diftong, Kluster dan Silaba adalah :
Memenuhi tugas mata kuliah Fonologi.
Membuka wawasan tentang Klasifikasi Bunyi Suprasegmental, Bunyi Pengiring, Diftong, Kluster dan Silaba.
BAB II
PEMBAHASAN
Klasifikasi Bunyi Suprasegmental
Bunyi suprasegmental adalah bunyi yang tidak bisa disegmentasikan karena kehadiran bunyi ini selalu mengiringi, menindihi atau menemani bunyi segmental (bunyi-bunyi bahasa ketika diucapkan ada yang disegmen-segmenkan, diruas-ruaskan atau dipisah-pisahkan baik vokoid maupun kontoid).
Bunyi suprasegmental mempunyai unsur atau disebut juga ciri-ciri prodi sebagai berikut :
Tekanan
Muslich (2010) menyatakan bahwa ketika bunyi-bunyi segmental diucapkan pun tidak pernah lepas dari keras atau lemahnya bunyi. Hal ini disebabkan oleh keterlibatan energi otot ketika bunyi itu diucapkan. Suatu bunyi dikatakan mendapat tekanan apabila energi otot yang dikeluarkan lebih besar ketika bunyi itu diucapkan. Sebaliknya, suatu bunyi dikatakan tidak medapat tekanan apabila energi otot yang dikeluarkan lebih kecil ketika bunyi itu diucapkan.
Walaupun dalam praktiknya kerasnya bunyi juga berpengaruh pada ketinggian bunyi, karena energi otot berpengaruh juga pada ketegangan pita suara, kedua bunyi suprasegmental ini bisa dibedakan. Buktinya, tekanan keras dengan nada rendah pun bisa diucapkan oleh penutur bahasa. Hal ini sangat bergantung pada fungsinya dalam berkomunikasi.
Variasi tekanan ini bisa dikelompokkan menjadi empat, yaitu :
tekanan keras yang ditandai dengan [´],
tekanan sedang ditandai dengan [ ],
tekanan rendah ditandai dengan [`],
dan tidak ada tekanan, yang ditandai dengan tidak adanya tanda diakritik.
Dalam bahasa-bahasa tertentu, variasi tekanan ini ternyata bisa membedakan makna pada tataran kata, tekanan selalu bersifat silabis, yaitu tekanan yang diarahkan pada silaba tertentu. Pada tataran kalimat, tekanan bersifat leksis, yaitu tekanan yang diarahkan pada kata tertentu yang ingin ditonjolkan.
Chaer (2009) menjelaskan bahwa tekanan atau stres menyangkut masalah keras lemahnya bunyi. Suatu bunyi segmental yang diucapkan dengan arus udara yang kuat sehingga menyebabkan amplitudonya melebar, pasti dibarengi dengan tekanan keras. Sebaliknya, sebuah bunyi segmental yang diucapkan dengan arus udara yang tidak kuat, sehingga amplitudonya menyempit pasti dibarengi dengan tekanan lunak. Tekanan ini mungkin terjadi secara sporadis; mungkin juga telah berpola, mungkin juga bersifat distingtif, artinya dapat membedakan makna; tapi mungkin juga tidak distingtif.
Dalam bahasa Indonesia tekanan tidak "berperan" pada tingkat fonemis, melainkan berperan pada tingkat sintaksis, karena dapat membedakan makna kalimat. Sebagai contoh kalau kalimat "Dia menangkap ayam itu", kalau tekanan diberikan pada kata dia, maka berarti yang menangkap ayam itu adalah dia, dan bukan orang lain. Dan kalau tekanan diberikan pada kata itu, maka akan berarti yang ditangkap adalah ayam itu bukan ayam ini.
Nada
Menurut Muslich (2010) ketika bunyi-bunyi segmental diucapkan selalu melibatkan nada, baik nada tinggi, sedang, maupun rendah. Hal ini desebabkan oleh adanya faktor ketegangan pita suara, arus udara, dan posisi pita suara ketika bunyi itu diucapkan. Makin tegang pita suara, yang disebabkan oleh kenaikan arus udara dari paru-paru, makin tinggi pula nada bunyi tersebut. Begitu juga, posisi pita suara. Pita suara yang bergetar lebih cepat akan menentukan tinggi nada suara ketika berfonasi. Nada ini menjadi perhatian fonetisi karena secara linguistis berpengaruh dalam satuan sistem linguistik tertentu. Misalnya, nada turun menandakan kelengkapan tutur, sedangkan nada naik menandakan ketidaklengkapan tuturan.
Sedangkan menurut Chaer (2009) nada atau pitch berkenaan dengan tinggi rendahnya suatu bunyi. Bila suatu bunyi segmental diucapkan dengan frekuensi getaran yang tinggi, tentu akan disertai dengan nada yang tinggi. Sebaliknya, kalau diucapkan dengan frekuensi getaran yang rendah, tentu akan disertai juga dengan nada rendah. Dalam bahasa Tonal seperti bahasa Thai dan bahasa Vietnam, nada bersifat fonemis, artinya dapat membedakan makna kata. Dalam bahasa Tonal, biasanya dikenal ada lima macam nada, yaitu:
Nada naik atau meninggi yang biasanya diberi tanda garis ke atas (/).
Nada datar yang biasanya diberi tanda lurus mendatar ( ).
Nada turun atau merendah yang biasanya diberi tanda garis menurun (\).
Nada turun naik yakni nada yang merendah kemudian meninggi, biasanya diberi tanda garis seperti (˅).
Nada naik turun yaitu nada yang meninggi lalu merendah, biasanya diberi tanda seperti (˄).
Sama halnya dengan tekanan, dalam bahasa Indonesia nada juga tidak "bekerja" pada tingkat fonemis, melainkan "bekerja" pada tingkat sintaksis, karena dapat membedakan makna kalimat. Variasi nada yang menyertai unsur segmental dalam kalimat disebut intonasi, yang biasanya dibedakan menjadi empat, yaitu:
Nada rendah, ditandai dengan angka 1
Nada sedang, ditandai dengan angka 2
Nada tinggi, ditandai dengan 3
Nada sangat tinggi, ditandai dengan angka 4
Jeda atau Persendian
Menurut Muslich (2010) yang dimaksud dengan penghentian adalah pemutusan suatu arus bunyi-bunyi segmental ketika diujarkan oleh penutur. Sebagai akibatnya, akan terjadi kesenyapan di antara bunyi-bunyi yang terputus itu. Kesenyapan itu bisa berapa di posisi awal, tegah, dan akhir ujaran.
Kesenyapan awal terjadi ketika bunyi itu akan diujarkan, misalya ketika akan mengujarkan kalimat Ini buku terjadi kesenyapan yang tak terbatas sebelumnya. Kesenyapan tengah terjadi antara ucapan kata-kata dalam kalimat, misalnya antara ucapan kata ini dan buku pada Ini buku; atau ucapan artarsuku kata, misalnya antara suku kata i dan ni pada kata ini, walaupun kesenyapan itu sangat singkat. Kesenyapan akhir terjadi pada akhir ujaran, misalnya ujaran akhir kalimat Ini buku terjadi kesenyapan yang tak terbatas sesudahnya.
Sedangka Chaer (2009) menjelaskan jeda atau persendian berkenaan dengan hentian bunyi dalam arus ujaran. Disebut jeda karena adanya hentian itu, dan disebut persendian karena di tempat perhentian itulah terjandinya persambungan dua segmen ujaran. Jeda ini dapat bersifat penuh atau bersifat sementara. Biasanya dibedakan adanya sendi dalam (internal juncture) dan sendi luar (open juncture).
Sendi dalam menunjukkan batas antara satu silabel dengan silabel yang lain. Sendi dalam ini yang menjadi batas silabel biasanya ditandai dengan tanda (+). Contoh:
[am+bil]
[lak+sa+na]
[ke+le+la+war]
Sendi luar menunjukkan batas yang lebih besar dari silabel. Dalam hal ini biasanya dibedakan adanya:
Jeda antarkata dalam frase, ditandai dengan garis miring tunggal (/)
Jeda antarfrase dalam klausa, ditandai dengan garis miring ganda (//)
Jeda antarkalimat dalam wacana/ paragraf, ditandai dengan garis silang ganda (#)
Tekanan dan jeda dalam bahasa Indonesia sangat penting karena tekanan dan jeda itu dapat mengubah makna kalimat. Contoh:
# buku // sejarah / baru #
# buku / sejarah // baru #
Kalimat pertama bermakna 'buku mengenai sejarah baru'; sedangkan kalimat kedua bermakna 'buku baru mengenai sejarah'.
Durasi
Chaer (2009) menjelaskan bahwa durasi berkaitan dengan masalah panjang pendeknya atau lama singkatnya suatu bunyi diucapkan. Tanda untuk bunyi panjang adalah titik dua di sebelah kanan bunyi yang diucapkan (...:), atau tanda garis kecil di atas bunyi segmental yang diucapkan (-). Dalam bahasa Indonesia durasi ini tidak bersifat fonemis, tidak dapat membedakan makna kata; tetapi dalam beberapa bahasa lain seperti bahasa arab, unsur durasi bersifat fonemis.
Bunyi Pengiring
Bunyi pengiring adalah bunyi yang ikut serta muncul ketika bunyi utama dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh ikut sertanya alat-alat ucap lain ketika alat ucap pembentuk bunyi utama difungsikan.Oleh karena itu,ada yang mengistilahkan koartikulasi atau artikulasi sertaan,yaitu pengucapan dua bunyi yang berurutan secara tumpang-tindih yang kualitasnya berbeda dari deretan bunyi yang diucapkan secara normal atau sempurna.
Bunyi-bunyi sertaan atau pengiring ini dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Bunyi ejektif, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara glotis ditutup sebelum dan sewaktu bunyi utama diucapkan, sehingga ketika glotis dibuka terdengar bunyi global[V].
Bunyi klik, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara lidah belakang menempel rapat pada velum sebelum dan sewaktu bunyi utama diucapkan, sehingga ketika penempelan pada velum dilepas terdengar bunyi [Kk]
Bunyi aspriasi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara arus udara yang keluar lewat mulut terlalu keras sehingga terdengar bunyi[Kh].
Contoh: bunyi [p] pada awal kata bahasa inggris
trdengar sebagai bunyi [ph], sehingga ucapnnya menjadi [pheis].
Bunyi eksplosif (bunyi lepas), yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara arus udara dilepaskan kembali setelah dihambat total.lawannya adalah bunyi implosif (bunyi tak lepas).
Bunyi retrofleksi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara ujung lidah ditarik ke belakang [Kr].
Contoh: bunyi [k] pada kata terdengar sebagai bunyi [kr], sehingga ucapannya menjadi [kretas]. Jadi, bunyi [k] telah diretrofleksi.
Bunyi labialisasi, yaitu bunyi sertaan yang di hasilkan dengan cara kedua bibir dibulatkan dan disempitkan segera/ketika bunyi utama diucapkan.
Contoh: bunyi [t] pada kata terdengar sebagai bunyi [tw] sehingga lafalnya [twjuan]. Jadi, bunyi [t] dikatakan dilabialisasi.
Bunyi palatalisasi, yaitu sertaan yang dihasilkan dengan cara lidah tengah dinaikkan mendekati langit-langit keras (palatum) segera/ketika diucapkan sehingga terdengar bunyi [Ky].
Contoh: bunyi [p] pada kata terdengar sebagai bunyi [py] sehingga ucapannya menjadi [pyara]. Jadi, bunyi [p] telah diplatisasi.
Bunyi glotalisasi,yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara glotis ditutup sesudah bunyi utama diucapkan sehingga terdengar bunyi[?].
Contoh: bunyi [a] pada kata terdengar sebagai bunyi [a?], sehingga ucapannya menjadi [a?kan].
Bunyi nasalisasi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara memberikan kesempatan arus udara melalui rongga hidung sebelum atau sesaat artikulasi bunyi utama, sehingga terdengar bunyi sertaan [m].
Contoh: Hal ini biasa terjadi pada konsonan hambat bersuara, yaitu [b], [d], dan [g], sehingga menjadi [mb] [nd] [kg].
Diftong, Kluster dan Silaba
Diftong
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diftong adalah bunyi vokal rangkap yang tergolong dalam satu suku kata. Dalam penyukuan dan pemenggalan kata, diftong merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisah. Jadi, jika kata sungai, galau, dan koboi disukukatakan atau dipenggal, hasilnya tidak boleh su-nga-i, ga-la-u, dan ko-bo-i, melainkan su-ngai, ga-lau, dan ko-boi. Contoh kata lainnya yang mengandung diftong adalah kacau, bangau, balai, katai, semai, amboi, gurau, dan tupai. Dalam praktiknya, bunyi diftong ini ada tiga macam, yaitu
Diftong menurun adalah diftong yang ketika perangkapan bunyi vokoid itu diucapkan,vokoid pertama bersonoritas, sedangkan vokoid kedua kurang bersonoritas bahkan mengarah ke bunyi non vokoid. Dalam bahasa Jawa ada diftong turun contohnya :
[ua] pada kata 'sangat tenang'
[uo] pada kata 'sangat sakit'
[ue] pada kata 'sangat jelek'
Diftong menaik adalah diftong yang ketika perangkapan bunyi vokoid itu diucapkan,vokoid pertama kurang menurut sonoritasnya dan mengarah ke bunyi nonvokoid,sedangkan vokoid kedua menguat sonoritasnya contohnya :
[ai] => [gulai]
[au] => [pulau]
[oi] => [sekoi]
Diftong memusat adalah bila vokal kedua diacu oleh sebuah atau lebih vokal yang lebih tinggi, dan juga diacu oleh sebuah atau lebih vokal yang lebih rendah dalam bahasa Inggris ada diftong memusat contohnya :
[oα] pada kata dan
Ucapan kata adalah [moδ] dan ucapan kata adalah [floδ]
Kluster
Bunyi kluster/ konsonan rangkap(dua atau lebih) merupakan bagian dari struktur fonetis atau fonotaktis yang disadari oleh penuturnya. Oleh karena itu, pengucapan pun harus sesuai dengan struktur fonetis tersebut. Sebab, kalau salah pengucapan akan berdampak pada pembedaan makna. Kluster dalam bahasa indonesia sebagai akibat pengaruh stuktur fonetis unsur serapan. Namun, pada umumnya kluster bahasa Indonesia seputar kombinasi berikut:
Jika Kluster terdiri atas dua kontoid,yang berlaku adalah:
Kontoid pertama hanyalah sekitar [p],[b],[k]
Kontoid kedua hanyalah sekitar [l],[r],[w]
Contoh:
[p] pada [pleonasme] [gr] pada [grafik']
[b] pada [gamblan] [fr] pada [frustasi]
[k] pada [klinik] [sr] pada [pasrah]
Jika kluster terdiri atas tiga kontoid,yang berlaku adalah:
Kontoid pertama selalu[s]
Kontoid kedua[t] atau[p]
Kontoid ketiga [r] atau[l]
Contoh:
[str] pada [strategi]
[spr] pada [sprinter]
[skr] pada [skripsi]
[skl] pada [sklerosis]
Silaba
Silaba atau suku kata adalah satuan ritmis terkecil dalam suatu arus ujaran. Satu silaba biasanya melibatkan satu bunyi vokal, atau satu konsonan atau lebih. Silaba sebagai satuan ritmis terkecil mempunyai puncak kenyaringan (sonoritas) yang bisanya jatuh pada sebuah bunyi vokal. Kenyaringan dan sonoritas,yang menjadi puncak silabel terjadi karena adanya ruang (resonansi) berupa rongga mulut,rongga hidung, atau rongga rongga lain di dalam kepala atau dada.
Bunyi yang paling banyak menggunakan ruang resonansi itu adalah bunyi vokal, dan bukan bunyi konsonan. Kerena itu, yang dapat disebut bunyi silabis atau puncak silabis adalah bunyi vokal. Umpamanya, kata Indonesia [dan]. kata itu terjadi dari bunyi [d],bunyi [a],dan bunyi [n]. Bunyi [d] dan bunyi [n] adalah bunyi konsonan, sedangkan bunyi [a] adalah bunyi vokal. Bunyi [a] pada kata [dan] itu menjadi puncak silabis dan puncak kenyaringan sebab bunyi vokal ketika di produksi mempunyai ruang resonansi yang lebih besar. Secara relatif ketiga bunyi yang membentuk kata [dan].
Kemungkinan urutan bunyi konsonan-vokal dalam silaba disebut fonotaktik. Bunyi konsonan yang berada sebelum vokal (yang menjadi puncak kenyaringan disebut onset (O) dan konsonan yang hadir sesudah vocal disebut koda, sedangkan vokalnya sendiri disebut nuklus. Sejauh ini urutan vokal (v) dan konsonan (K) yang ada dalam bahasa indonesia adalah :
V, seperti [i] pada kata [i+ni]
KV, seperti [la] pada kata [la+ut]
VK, seperti [am] pada kata [am+bil]
KVK seperti [but] pada kata [se+but]
KKV seperti [kla] pada kata [kla+sik]
KKVK seperti [trak] pada kata [trak+tor]
KVKK seperti [teks] pada kata [kon+teks]
KKKV seperti [stra] pada kata [stra+te+gi]
KKVKK seperti [pleks] pada kata [kom+pleks]
KKKVK seperti [struk] pada kata [struk+tur]
VKK seperti [eks] pada kata [eks+por]
· Banyak kata yang berasal dari bahasa asing , dan memiliki pola silabel di mana dua buah konsonan beruntun, maka di antara kedua konsonan itu diselipkan bunyi [ә]. Misalnya, kata [klas] menjadi [kәlas], kata [praktek] menjadi [pe + rak tek], dan kata [administrasi] menjadi [ad + mi + nis + te + ra + si]. Dengan penyisipan bunyi [ә] itu, maka polanya menjadi pola silabel asli bahasa Indonesia. Banyak kata-kata bahasa Indonesia yang memiliki pola silabel KV dimana V diisi oleh bunyi [ә], seringkali bunyi [ә] itu ditanggalkan. Kata [kәlapa] yang silabelnya [kә], [la], dan [pa] sering dilafalkan menjadi [klapa].
Menentukan batas silabel sebuah kata kadang-kadang agak sukar, misalnya kata [makan]. Silabelnya ialah [ma], [kan], kata [makanan] silabelnya adalah [ma], [ka], dan [nan]. Bunyi [n] yang menjadi koda pada silabel [kan] pada kata [makanan]. Secara ortografi, menurut ketentuan ejaan bahasa Indonesia silabelnya adalah [ma + kan + an]. Contoh lain kata [bundar] dan [k prok] secara fonetis bersilabel [bu + ndar] dan [kә + prok], tetapi secara ortografis bersilabel < bun + dar > dan < kep + rok>. Bunyi yang sekaligus dapat menjadi onset dan koda pada dua buah silabel yang beruntunan disebut interlude.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Berdasakan pembahasan diatas dapat disimpulkan bunyi suprasegmental adalah bunyi yang tidak bisa disegmentasikan karena kehadiran bunyi ini selalu mengiringi, menindihi atau menemani bunyi segmental (bunyi-bunyi bahasa ketika diucapkan ada yang disegmen-segmenkan, diruas-ruaskan atau dipisah-pisahkan baik vokoid maupun kontoid). Unsur bunyi suprasegmental meliputi tekanan, nada, jeda atau persendian dan durasi. Bunyi pengiring adalah bunyi yang ikut serta muncul ketika bunyi utama dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh ikut sertanya alat-alat ucap lain ketika alat ucap pembentuk bunyi utama difungsikan.Oleh karena itu,ada yang mengistilahkan koartikulasi atau artikulasi sertaan,yaitu pengucapan dua bunyi yang berurutan secara tumpang-tindih yang kualitasnya berbeda dari deretan bunyi yang diucapkan secara normal atau sempurna.
Diftong adalah bunyi vokal rangkap yang tergolong dalam satu suku kata. Dalam penyukuan dan pemenggalan kata, diftong merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisah. Bunyi kluster/ konsonan rangkap (dua atau lebih) merupakan bagian dari struktur fonetis atau fonotaktis yang disadari oleh penuturnya. Oleh karena itu, pengucapan pun harus sesuai dengan struktur fonetis tersebut. Sebab, kalau salah pengucapan akan berdampak pada pembedaan makna. Silaba atau suku kata adalah satuan ritmis terkecil dalam suatu arus ujaran.
Saran
Sebagai warga negara Indonesia yang baik dapat mengikuti tuturan atau ujaran yang sesuai konteks bahasa Indonesia. Ilmu kebahasaan perlu digali lebih dalam lagi, masih banyak ilmu yang perlu dipelajari.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2013. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta. PT. Reinka Cipta
Muslich, Masnur. 2011. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta. PT.Bumi Aksara.
http://sitikulsum056.blogspot.co.id/2013/11/diftong-kluster-dan-silaba_1722.html
http://tahniarahmi.blogspot.co.id/2014/04/tugas-3-bunyi-pengiring.html
http://pipitustari48.blogspot.co.id/2016/03/klasifikasi-bunyi-suprasegmental.html
LAMPIRAN-LAMPIRAN