BAB II ISI 2.1 Kelahiran Kelahiran merupakan proses pengeluaran fetus yang dimulai dengan dimulainya kontraksi kuat dan teratur dari uterus dan cervix. Proses kelahiran biasanya dibagi menjadi 3 (tiga) fase : (1) pelebaran cervix, (2) pengeluaran fetus, dan (3) pengeluaran plasenta (Tomaszweska et al., 1991). Otot utama yang berkontraksi adalah myometrium. Bila cervix dan vagina diperluas, reflek Ferguson dimulai yang menyebabkan kontraksi perut. Kontraksi perut ditambah kontraksi uterus akan mendorong fetus keluar. Kontraksi uterus disebabkan oleh aktivita PGF2α yang juga meningkatkan sensitifitas uterus terhadap oksitosin. Okstosin dilepaskan dari pituitary anterior hanya pada fase akhir proses kelairan ketika kontraksi yang lebih besar diperlukan untuk mengeluarkan fetus. Relaxin membantu ligamen pelvis menjadi relaks dan melebarkan cervix. Setelah pengeluaran fetus, membran plasenta dari kotiledon (pada ruminansia) dan plasenta dikeluarkan, normalnya dalam waktu tujuh sampai delapan jam setelah melahirkan (Tomaszweska et al., 1991). Kelahiran atau partus merupakan serentetan proses-proses fisiologik yang berhubungan dengan pengeluaran anak dan plasenta dari organisme induk pada akhir masa kebuntingan. Dalam hal ini terdapat tiga hal penting yang harus diketahui yaitu presentasi atau kedudukan fetus dalam kandungan, tingkat-tingkat perejanan dan mekanisme inisiasi kelahiran. 2.1.1. Mekanisme Inisiasi Kelahiran Fetus bertanggung jawab terhadap inisisasi kelahiran pada hewan domestik. Peningkatan produksi kortisol fetus terjadi sebagai akibat dari perubahan dan kedewasaan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal fetus. Hal tersebut diperkirakan disebabkan oleh stres fetus, yang berkembang karena plasenta tidak mampu lagi
mensuplai kebuituhan untuk pertumbuhan dan tuntutan fetus. Teori mekanisme inisisai kelahiran dikelompokkan menjadi: A. Mekanisme Stimulasi Mekanik Pengembangan uterus karena fetus yang semakin membesar menyebabkan peninggian sensitivitas otot-otot uterus terhadap estrogen dan oksitosin. Argumentasi teori ini berkisar pada kenyataan bahwa fetus kembar lahir lebih cepat dari pada fetus tunggal. Akan tetapi, dua fetus dapat pula menghasilkan lebih banyak substansi penyebab kelahiran. B. Mekanisme Imunologik Keseluruhan masalah kebuntingan selama 285 hari pada sapi mungkin diperlukan untuk mengembangkan respon imunologik terhadap fetus yang dianggap asing karena adanya kontribusi faktor paternal. Walaupun beberapa kelompok sel seperti sel-sel fetal di dalam endoterium pada kuda ditolak oleh jaringan induk, namun induk cukup terisolir secara imunologik dari fetus. C. Mekanisme Hormonal Menurut teori ini, partus diinduksi dengan peningkatan kadar hormon estrogen atau oksitosin dan/atau penurunan kadar progesteron dalam sirkulasi darah induk. Kadar progesteron memang menurun dan kadar estrogen meninggi pada akhir masa kebuntingan. Hal ini akan menggertak pelepasan oksitosin dari neurohypophysa dan menyebabkan kelahiran. Kemungkinan lain ialah gertakan dan dilatasi cervix dan vagina secara refleks menstimulasi pelepasan oksitosin (Feradis, 2010). Kadar estrogen meninggi selama masa kebuntingan dan mencapai puncak konsentrasinya pada akhir kebuntingan (pada domba dan kambing) atau beberapa saat sebelum partus (sapi). Estrogen menyebabkan kontraksi myometrium secara spontan. Jadi estrogen dapat menghilangkan aksi hambatan progesteron atau mempunyai pengaruh langsung terhadap kontraktilitas myometrium (Feradis, 2010).
Prostaglandin F (PGF), suatu substansi yang farmakologik aktif, ikut memegang peranan dalam proses partus pada domba dan kambing. Pada jenis ternak ini, peninggian kadar PGF di dalam darah vena uterus sangat erat hubungannya dengan waktu kelahiran. Cortisol yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal fetus atau estrogen yang terdapat dalam kadar tinggi pada plasma induk sebelum partus mungkin merupakan rangsangan terhadap sintesa PGF (Feradis, 2010).
Gambar 2.1. mekanisme hormonal tehadap inisiasi kelahiran
D. Mekanisme Pengontrolan Fetal Poros hypotalamus-hypophysa-adrenal pada fetus dinyatakan menginduksi kelahiran pada domba dan kambing. Kadar corticosteroid fetal yang terdapat sangat tinggi sesaat sebelum permulaan proses kelahiran dan induksi partus dengan penyuntikan hormon ACTH atau Dexametason ke tubuh fetus domba membuktikan bahwa corticosteroid fetal mungkin memegang peranan dalam proses kelahiran (Feradis, 2010).
Kejadian endokrin yang mendahului kelahiran dapat diringkas sebagai berikut: a) Peningkatan produksi corticotropin-releasing hormone (CRH) oleh otak fetus. b) Peningkatan produksi hormon adenocorticotropic (ACTH) oleh glandula pituitari anterior fetus. c) Peningkatan produksi kortisol oleh glandula adrenal fetus. d) Perubahan plasenta progesteron ke estrogen e) Estrogen menstimulasi myometrium untuk memproduksi PGF2α dan juga menyebabkan relaksasi servik. f) PGF2α menyebabkan kontraksi myometrium, yang akan meningkatkan tekanan intrauterin dan mendorong fetus ke arah servik, menyebabkan dilatasi servik. g) Oksitosin dikeluarkan oleh glandula pituitari posterior induk dan fetus memacu dilatasi servik (reflek Ferguson). h) Oksitosin menyebabkan kontraksi myometrium.
Gambar 2.2. Mekanisme kerja hormonal dalam menginisiasi kelahiran hewan
2.1.2. Tingkat Perejanan
Proses kelahiran normal dapat dibagi menjadi tiga stadium atau tahap yaitu: (a) persiapan, (b) ekspulsi atau pendorongan/pengeluaran fetus ke luar, (c) ekspulsi/pengeluaran plasenta. Tidak ada batasan yang pasti antara satu tahap dengan tahap berikutnya, yang biasa tergabung menjadi satu proses yang berkasinambungan. Lamanya setiap tahap perubahan bervariasi diantara tiap-tiap hewan. A. Stadium Pertama : Stadium Persiapan Stadium persiapan ditandai oleh dilatasi cervix dan kontraksi ritmik otototot uterus longitudinal dan sirkuler. Gerakan ekspulsi ditujukan ke arah cervix. Permulaan timbulnya kontraksi ini memaksa cairan dan membran fetus terdesak ke cervix yang mengendor dan menyebabkan dilatasi. Kontraksi uterus sewaktu partus adalah hasil mekanisme refleks neural otonom yang datang dari luar (ekstrinsik) dan daya kontraksi otomatik yang khas dari otot. Refleks neural dapat dipercaya oleh motilitas fetus, sedangkan mekanisme intrinsik diperlancar oleh hormon, terutama oksitosin. Pada akhir stadium persiapan, cervix mengembang dan memungkinkan uterus dan vagina menjadi satu saluran kontinyu. Fetus dan chorioallantois dipaksa masuk ke pintu pelvis dimana chorioallantois pecah dan menyebabkan cairan allantois mengalir ke luar melalui vulva. Stadium pertama segera diikuti oleh stadium kedua. Setiap perpanjangan stadium (lebih dari enam jam pada kuda dan sapi) menunjukkan adanya kesulitan presentsi fetus (Feradis, 2010). B. Stadium Kedua : Ekspulsi atau Pendorongan Fetus ke Luar Amnion yang terbentang bersam kepala dan bagian kaki depan didorong masuk ke pintu dalam pelvis. Keadaan ini menimbulkan kontraksi refleks dan volunter dari diafragma dan otot-otot perut. Kaki-kaki fetus di dalam amnion kini terlihat melalui vulva. Perjalanan fetus ke luar melalui cervix ke vagina bersama
pecahnya kantong amnion menimbulkan kontraksi-kontraksi refleks yang mendorong fetus ke luar saluran kelahiran. Pada ruminansia, fetus dikeluarkan sewaktu masih bertaut pada membran fetalis. Carunculae terus memberi oksigen dari induk walaupun waktu ekspulsi diperpanjang. Carunculae fetal terakhir tidak dibebaskan dari carunculae maternal sampai anak sudah dilahirkan, jadi menjamin kelangsungan pemberian oksigen sampai anak tersebut sanggup bernapas sendiri. Stadium kedua harus berlangsung dangan cepat, jika tidak akan menyebabkan fetus mati lemas. Kesulitan-kesulitan mekanis pada waktu melahirkan kadang-kadang terjadi karena perkawinan antar breed (bangsa), terutama bila jantannya berasal dari bangsa ternak yang secara genetis lebih besar dari betinanya (Feradis, 2010).
Gambar 2.3. Pengaruh kawin silang dari besar induk yang berbeda terhadap besar anak dan kemungkinan mengalami distokia
C. Stadium Ketiga : Ekspulsi atau Pengeluaran Plasenta
Ekspulsi membran fetus adalah suatu proses aktif yang berhubungan dengan kontraksi uterus. Kontraksi peristaltik yang berasal dari apex uteri menyebabkan
inversi
chorioallantois,
yang
memperlancar
ekspulsinya.
Pelonggaran vili chorional dari crypta carunculae dapat menyebabkan pengeluaran banyak darah dari villi dan carunculae maternal oleh kontraksi uterus yang kuat yang terjadi selama pengeluaran fetus. Kontraksi semacam ini dapat memeras 20% total darah fetal dari plasenta ke anak yang dilahirkan. Secara normal plaenta sapi dan domba dikeluarkan dalam waktu 24 jam sesudah partus. Sering pada kasus-kasus abortus, distokia, kelahiran prematur dan kebuntingan multipel, plasenta tidak dibebaskan dan ekspulsi tertunda (Feradis, 2010). D. Stadium Keempat : Stadium Involusi Uteri Setelah pengeluaran fetus dan plasenta, uterus kembali ke ukuran normal seperti sebelum bunting. Proses ini dinamakan involusi uteri dan dapat secara logik dianggap sebagai stadium keempat proses kelahiran. Mekanisme fisiologik involusi uterus kurang diketahui. Akan tetapi diketahui bahwa proses ini ada hubungannya dengan perombakan mucopolysacharida secara enzimatik (Feradis, 2010).
Gambar 2.4. Involusi uteri terjadi antara 35 dan 40 hari Kejadian fisiologis dari tiga tahap kelahiran dapat diringkas sebagai berikut :
Tahap pertama : relaksasi dan dilatasi servik, fetus mengambil postur
kelahiran, kontraksi uterus terjadi dan chorionallantois memasuki vagina. Tahap kedua : kontraksi uterus berlanjut, fetus memasuki saluran peranakan, kontraksi abdominal terjadi, amnion memasuki vagina dan
fetus dikeluarkan. Tahap ketiga : hilangnya sirkulasi plasenta, terjadi pemisahan plasenta, kontraksi uterus dan abdominal berlanjut dan plasenta dikeluarkan.
2.1.3. Presentasi, Posisi dan Postur Fetus Untuk kemudahan dan akurasi deskripsi istilah-istilah presentasi, posisi dan postur digunakan untuk mengindikasikan orientasi fetus pada kelahiran normal dan abnormal. Presentase merupakan hubungan antara poros panjang fetus dan poros panjang peranakan maternal (saluran peranakan). Presentasi tersebut dapat longitudinal (anterior atau posterior), transversal atau ventrikal (jarang). Posisi merupakan istilah untuk menetapkan permukaan saluran peranakan maternal terhadap kolumna vertebralis fetus. Posisinya dapat dorsal, ventral (fetus terbalik) atau lateral (kanan atau kiri). Postur merupakan disposisi atau penempatan kepala dan lengan fetus. Sebelum perejanan normal mulai berlangsung, fetus biasanya mengambil posisi di dalam uterus, khas untuk hewan yang bersangkutan. Pada waktu partus, fetus diposisikan sedemikian rupa supaya dapat dikeluarkan melalui saluran kelahiran dengan kesulitan yang seminimal mungkin. Sesaat sebelum perejanan, fetus berputar ke posisi tegak dengan hidung dan kaki depan mengarah ke caudal induk. Presentase anterior paling umum (95%) terjadi pada ruminansia; kaki-kaki depan fetus muncul lebih dahulu dengan hidung diantaranya; kepala melurus dan punggung fetus berkontak dengan sacrum induk. Presentase posterior dengan kaki belakang terlebih dahulu keluar cukup sering terjadi pada sapi (5%) untuk dianggap sebagai normal (Feradis, 2010). Kesulitan kelahiran dapat terjadi oleh presentasi, posisi, maupun habitus yang abnormal; dalam hal ini termasuk antara lain presentasi transversal, posisi dorso-
ilial atau dorso pubis dan habitus dengan flexio kaki dan/atau kepala ke ventral, lateral atau dorsal (Feradis, 2010).
Gambar 2.5. Presentasi, Posisi dan Posture fetal normal sebelum beranak
Gambar 2.6. Abnormalitas presentasi, posisi dan postur fetal sebelum beranak
2.2 Kelahiran pada Sapi Beberapa perubahan klinik selama kebuntingan terjadi saat mendekati kelahiran. Otot-otot ligamen bagian belakang dan ujung ekor menjadi lunak dan tenang, ujung ekor (tailhead) diangkat 24-48 jam sebelum melahirkan dan vulva mengembang. Mendekati kelahiran, vulva biasanya memanjang, sedikit membesar dan odimatus serta mengeluarkan lendir kental berserabut, ambing bertambah
besar dan kolostrum muncul pada puting susu dan menjadi lebih tebal serta berwarna kuning. Satu atau dua hari sebelum melahirkan sapi menjadi gelisah. Relaksasi dari ligamentum pelvis terlihat pada akhir kebuntingan menjadi lebih jelas sewaktu mendekati kelahiran. Relaksasi tersebut adalah tanda yang paling nyata dari proses kelahiran yang akan segera terjadi pada sapi. Sebaga hasilnya, pangkal ekor sapi tampak diangkat dan otot gluteal cekung. Tonus otot ekor menurun 24 jam sebelum melahirkan. Pada pemeriksaan rektal kaki fetus atau kepala terpalpasi pada pelvis maternal atau langsung didepannya. Bukti kehidupan fetus dapat dideteksi dengan gerakan spontan atau dengan respon tekanan lembut pada fetus. A. Tahap pertama kelahiran Tahap pertama kelahiran pada sapi berlangsung antara 4-24 jam. Kesulitan dalam mengidentifikasi permulaan tahap pertama membuat pengukuran yang akurat terhadap lamanya tahap pertama ini tidak dapat diandalkan. Tanda-tanda eksternal pada tahap pertama termasuk adanya kegelisahan, berhenti makan, mencakar-cakar tanah, mengayuh, memutar dan berbaring, dan kemudian dengan cepat berdiri lagi. Ekornya dinaikkan, mungkin adanya tremor otot dan kadangkadang pengejanan. Serviks mulai lembek dan dilatasi. Mulainya dilatasi serviks dan kontraksi uterus menyebabkan khorioallantois terdorong ke dalam vagina. Pecahnya
khorioallantois
menyebabkan
keluarnya
cairan
allantoik
dan
kelembaban disekitar perineal maternal. Selama proses tahap pertama (pelebaran cervix) pada sapi dara, tidak pada betina yang pernah melahirkan, terjadi kegelisahan dan menunjukan tanda kesakitan pada bagian perut.
Gambar 2.7. Ekor naik dan rupturnya chorioallantois
Gambar 2.8. Dilatasi servik
B. Tahap kedua kelahiran Tahap ini berlangsung sekitar
- 3 jam. Sapi normalnya melahirkan pada
posisi berbaring, namun kadang-kadang, dan khususnya jika mendapat gangguan bisa melahirkan dalam posisi berdiri. Anak sapi (pedet) biasanya didahului oleh amnionnya yang memasuki saluran peranakan, dan kecuali terjadi ruptur sebelumnya. Bagian fetus mungkin terlihat melalui amnion, yang pada 80% kasus pecah selama kelahiran. Begitu ruptur amnion terjadi, intensitas pengejanan meningkat. Pengejanan abdominal menambah kontraksi uterus dan sejalan dengan berlangsungnya tahap kedua kelahiran intensitas dan frekuensi pengejanan abdominal meningkat.
Sapi dapat melenguh dengan kuat dan bisa bergulung dari rebah sternal ke rebah lateral. Usaha maternal terbesar dihubungkan dengan keluarnya kepala fetus melalui vulva tetapi pada tahap ini dada fetus juga memasuki maternal pelvis. Begitu kepala keluar sisa tubuh umumnya dengan mudah mengikuti. Selama pengeluaran, posisi pedet dapat berputar sekitar 45° ke kanan atau ke kiri sehingga memungkinkan pedet melalui diameter pinggul terbesar dari ibunya.
Gambar 2.9. Tampaknya cairan amnion (bungkusan cairan amnion di vulva)
Gambar 2.10. Moncong pedet setingkat dengan persendian kaki. Amnion sudah pecah Mayoritas anak sapi berada pada posisi dorsal pada akhir kebuntingan dan selama kelahiran pedet pada presentasi longitudinal anterior (95% dari kelahiran), posisi dorsal dan dalam postur dengan kepala dan kaki-kaki depan terjulur. Hidung fetus sejajar dan menumpang pada persendian dari kaki-kaki depan. Pada sapi yang rebah, korda umbilikalis pada umumnya tetap utuh setelah kelahiran dan tidak putus hingga sapi berdiri setelah melahirkan. Kecuali jika kelelahan, sapi akan berdiri dalam waktu 10 menit setelah melahirkan anaknya dan menjilatinya. Anak sapi tetap berbaring begitu baru lahir dan sering
menggelengkan kepalanya sebelum bernapas dan mengambil napas pertamanya. Jika sehat, anak sapi berusaha untuk melakukan rebah sternal dalam waktu 5 menit didorong oleh jilatan ibunya. Kebanyakan anak sapi menghabiskan waktu selama 45 menit untuk dapat berdiri dan beberapa jam untuk menyusu. Induk sapi memerlukan empat sampai enam jam untuk mengeluarkan plasenta.
Gambar 2.11. Tahap kedua kelahiran selesai. Sapi berdiri dan menjilati anaknya yang berusaha mengambil posisi rebah sternal
C. Tahap ketiga kelahiran Membran fetus normalnya dikeluarkan dalam waktu 12 jam setelah kelahiran. Potensi lebih dari 12 jam sering diikuti oleh periode retensi yang berlangsung dari 3 sampai 10 hari kecuali membran diambil secara manual. Pada sapi dilaporkan bahwa produksi laktogen plasenta berpengaruh terhadap aspek struktural dan atau fungsional dari produksi susu pada laktasi berikutnya. Hal ini merupakan salah satu cara untuk menyeleksi sapi yang berpotensi menghasilkan susu pada masa yang akan datang dimana jumlah laktogen plasenta yang paling tinggi mempunyai potensi yang tinggi juga untuk menghasilkan susu (Stabenfeldt dan Edqist, 1984).
2.3 Distokia Distokia merupakan abnormalitas kelahiran pada hewan. Distokia dapat muncul jika beberapa bagian dari proses kelahiran gagal atau menjadi tidak terkoordinasi. Penyebab distokia dibagi menjadi penyebab maternal dan penyebab fetal, tergantung apakah induk atau fetus yang bertanggung jawab terhadap masalahnya. Pada kebanyakan kasus kedua faktor baik maternal ataupun fetal terlibat dan klasifikasi penyebabnya menjadi tidak jelas. PENYEBAB MATERNAL Kegagalan Untuk Mendorong Keluar Gangguan myometrium, pemekaran yang berlebihan, degenerasi (ketuaan, toksik dll), infeksi uterus, penyakit sistemik, jumlah anak sekelahiran yang sedikit, heriditer Inersia uterina Defisiensi biokimiawi, rasio estrogen / primer progesteron, oksitosin, PGF2α, relaksin, kalsium, glukosa Uterus Histeris/gangguan lingkungan Oligoamnion (defisiensi cairan amnion) Kelahiran prematur Inersia uterina Sebagai konsekuensi penyebab distokia lain sekunder Kerusakan uterus Termasuk ruptur Dapat juga menyebabkan obstruksi saluran Torsi uterus peranakan Ketidakmampuan Karena umur, kesakitan, kelemahan, ruptur Abdominal untuk mengejan diafragma, kerusakan trakeal laringeal Obstruksi Saluran Peranakan Tulang Fraktur, ras, diet, belum dewasa, neoplasia, penyakit pelvis Vulva Cacat kongenital, fibrosis, belum dewasa Cacat kongenital, firosis, prolaps, neoplasia, Vagina Jaringan abses perivagina, himen Cacat kongenital, fibrosis, kegagalan untuk lunak Servik dilatasi Uterus Torsi, deviasi, hemiasi, adhesi, stenosis PENYEBAB FETAL Defisiensi ACTH/cortisol : inisiasi kelahiran hormon Disproporsi Fetus yang terlalu Cacat pelvis
fetopelvis Maldisposisi fetal
membesar Monster fetus Malpresentasi Malposisi Malpostur
Transversal, lateral, vertikal, simultaneus Ventral, lateral, miring Deviasi dari kepala dan kaki
Kematian fetus Tabel 2.1. Penyebab Distokia
2.4 Distokia pada Sapi Kejadian distokia pada sapi sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Keseluruhan insiden berada pada kisaran 3-10% dari semua kelahiran anak sapi tetapi dapat menjadi sangat tinggi. Faktor-faktor yang telah terbukti mempengaruhi kejadian distokia pada sapi yaitu : A. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan yang memepengaruhi kejadian distokia adalah diet, penyakit dan induksi kelahiran. Diet berpengaruh dalam tingginya tingkat distokia dan pengurangan daya hidup pedet akibat pemberian makanan yang jelek sehingga hewan berada dalam kondisi yang jelek. Namun pemberian makanan yang berlebihan juga mampu meningkatkan berat fetus, timbunan lemak intrapelvis, distokia dan resiko laserasi vagina. Efisiensi pengejanan juga dapat menurun pada hewan yang berlemak. Penyakit yang dapat menyebabkan inersia uterina primer salah satunya ialah hipokalsemia. Selain itu, kelompok ternak dengan penyakit salmonellosis dan brucellosis dapat mengalami peningkatan insiden distokia. Induksi kelahiran dapat mengurangi distokia sehubungan kaitannya dengan dispoporsi fetopelvis, insiden maldisposisi fetus, kegagalan servik untuk dilatasi dan peningkatan retensi membran fetus. B. Faktor Intrinsik
Faktor intrinsik yang berpengaruh terhadap tingkat kejadian distokia pada sapi ialah umur, riwayat melahirkan, berat badan, ukuran pelvis induk; ras; berat badan, jenis kelamin dan ukuran anak sapi; lama kebuntingan; presentasi anak sapi serta pengaruh pejantan. Selain itu juga, sejumlah penelitian terhadap kasuskasus distokia menunjukan bahwa insiden dapat disebabkan oleh disproporsi fetopelvis, malpresentasi fetus, kegagalan dilatasi servik/vagina, inersia uterina, torsi uterus, abnormalitas maternal yang lain dan abnormalitas fetal. Penyebab (%) Disproporsi fetopelvis 45 Malpresentasi fetus 26 Kegagalan dilatasi servik/vagina 9 Inersia uterina 5 Torsi uterus 3 Abnormalitas maternal yang lain 7 Abnormalitas fetal yang lain 5 Tabel 2.2. penyebab distokia dan kejadiannya (%) pada sapi
2.5 Penanganan Distokia pada Sapi 2.5.1. Kegagalan tenaga pendorong a. Inersia uterina Inersia uterina primer Penyebab yang paling umum terjadi akibat hypokalsemia dengan tandatanda milk fever saat kelahiran. Penyebab lain termasuk distensi uterina dan adanya anak kembar dapat menyebabkan renggangan meometrium sehingga tidak terjadi kontraksi yang efektif. Inersia uterina primer juga dapat terjadi pada sapi yang kelebihan berat badan. Tanda-tanda klinis yang nampak yaitu tahap kelahiran tidak berlanjut pada tahap kedua. Meskipun fetus berada pada presentasi, postur dan posisi yang tepat, servik mudah dilebarkan dengan tekanan manual tetapi tidak ada kontraksi uterus dan amnion sering kali masih utuh. Pada kasus hipokalsemia pasien menunjukan
gejala klinis seperti dungu, lamban atau tidak mampu berdiri, suhu tubuh yang rendah, pupil melebar dan jika tidak ditangani dapat menyebabkan kematian. Penanganan yang dapat diberikan pada pasien yang dicurigai hipokalsemia adalah pemberian larutan kalsium boroglukonat 20% atau 40% secara iv sebanyak 400 mL. Selanjutnya 400 mL larutan tersebut diberikan secara sc. Pada kebanyakan kasus, proses kelahiran akan dimulai lagi tetapi kelahiran harus dibantu dengan tarikan ringan. Kegagalan untuk melahirkan anak sapi pada waktunya dapat menyebabkan kematian anak sapi jika pemisahan plasenta telah terjadi. Setelah proses kelahiran, pasien diinjeksikan 20 IU oksitosin secara im untuk memacu involusi uterus dan pengeluaran plasenta.
Inersia uterina sekunder Etiologi dari distokia inersia uterina sekunder akibat konsekuensi dari
penyebab distokia lain misalnya maldisposisi fetus sehingga menyebabkan kelemahan miometrium. Gejala klinis yang ditimbulka adalah dinding uterus terasa lembek dan kurang bertonus setelah fetus dilahirkan. Penanganan yang dapat dilakukan adalah meningkatkan involusi uterus dengan pemberian oksitosin. b. Kelahiran prematur Distokia akibat kelahiran prematur dapat disebabkan oleh segala faktor yang membahayakan kehidupan fetus dan/atau fungsi plasenta. Gejala klinis yang dapat diamati yaitu ditemukannya leleran vagina yang abnormal dan kadang berbau busuk. Fetus dan saluran peranakan bisa menjadi sangat kering, maka penanganan yang dapat dilakukan yaitu fetus dilahirkan melalui tarikan lembut dengan tangan terhadap kepala dan kakinya serta seluruh struktur yang terlibat dilumasi secara menyeluruh. c. Kegagalan tenaga pendorong abdominal Disebabkan oleh karena otot perut hewan tidak mampu berkontraksi atau mengejan dengan baik. Selain itu pada sapi yang sangat tua, otot-otot perut
mungkin sudah tertarik melebihi kapasitas elastisitas alamiahnya. Kondisi sakit yang melibatkan abdomen, diafragma dan dada seperti retikulitis/perikarditis dapat menghambat upaya mengejan. Tanda klinis yang terjadi adalah meskipun terlihat tanda-tanda persiapan dan kelahiran tahap awal berlangsung normal tapi terjadi kegagalan dalam melahirkan. Pemeriksaan vagina diperlukan untuk mengetahui dilatasi servik dan vetus berada pada presentasi normal. Penanganan dapat dilakukan dengan mengeluarkan fetus secara manual. Jika tidak terjangkau, fetus dapat dicapai dengan bantuan asisten yang mengangkat dinding abdominal dari luar dan posisi pasien dibaringkan. Pada kasus yang terdiagnosa retikulis traumatik dan perikarditis atau kasus laryngeal dan diafragma, operasi sesar harus dipertimbangkan. d. Ruptur uterus Robekan uterus terjadi akibat luka traumatik pada sapi. Bisa juga terjadi secara spontan melalui titik lemah pada uterus yang tidak disangka sebelumnya. Nasib fetus pada kasus seperti ini tergantung pada apakah dia melewati rongga peritoneal dan tingkat gangguan yang dapat ditanggung oleh membran fetus. Robekan yang kecil tidak menunjukkan gejal dan fetus masih berada di dalam uterus sedangkan robekan yang besar dapat menyebabkan berpindahnya fetus ke ruang peritoneal. Pecahnya uterus dan pendarahan uterus yang hebat dapat mengakibatkan kematian induk. Tertekannya plasenta dan sirkulasinya terganggu dapat terjadi kematian fetus. Tanda-tanda klinis yang diamati tergantung pada tingkat kerusakan yang dapat ditanggung dan nasip fetus. Tanda-tanda pendarahan dibagian luar vagina mengindikasikan adanya kerusakan uterus. Kematian fetus setelah pecahnya uterus mungkin menunjukan tidak banyak tanda selain kegagalan perkembangan kebuntingan. Jika fetus bertahan dan berkembang dalam peritoneal, kebuntingan dapat berkembang secara normal hingga waktunya. Pemeriksaan vagina menyatakan uterus kecil, kosong, dan plasenta menghilang melalui kerusakan
dinding uterus. Tempat pecah uterus dapat diraba atau mungkin tidak dapat dijangkau. Uterus terasa lebih kecil dari normal pada pemeriksaan rektal dan kadang-kadang fetus intraperitoneal dapat teraba. Penanganan yang dapat dilakukan yaitu dengan mengeluarkan fetus dari rongga peritoneal secara laporotomi. Jika diantisipasi adanya ruptur uterus, laporotomi,
pembedahan
caesar
menjenglang
akhir
kebuntingan
dapat
meningkatkann kesempatan melahirkan fetus yang hidup.
2.5.2. Obstruksi peranakan a. Tulang pelvis Ukuran tulang pelvis terlalu kecil untuk lewatnya fetus. Meternal immaturity adalah penyebab paling umum dan sering terjadi sebgai akibat sapi dara dikawinkan pada umur terlalu muda. Ini adalah masalah khusus ketika sapi pejantan diperbolehnkan untuk lepas dengan kawannannya setelah sapi dara mencapai masa pubertas pada umur 6/7 bulan dan perkawinan yang tidak diinginkan terjadi. Ukuran pelvis yang kecil sering ditemui pada sapi yang buruk pertumbuhannya dan sangat sering terjadi sebagai akibat dari patah tulang pelvis. Pelvis yang kecil adalah penyebab distokia kaitannya dengan disproposi fetopelvis dan diperburuk dalam kasus fetus lebih besar dari ukuran normal. Penyebab yang kurang lazim dari tulang pelvis yang kecil adalah sacral displacement yaitu tulang sakrum bergabung dan beberapa vertebra koksigea pertama berada pada sudut yang tidak normal terhadap vertebra lumbal. Sebagai akibat dari masalah ini mungkin mempunyai sebab herediter, diameter dorso ventral dari pelvis induk berkurang banyak, memberikan ruang yang kurang bagi lewatnya fetus. Lumbosakral subnation dapat disebabkan oleh sapi atau sapi dara yang dinaiki oleh pejantan yang sangat berat. Displascement kearah bawah dari colum vertebra
yang menyebabkan hubungan lumbosacral juga dapat mengurangi ukuran inlet pelvis. Tanda-tanda klinis yang diamati yaitu kurangnya kemajuan pada kelahiran tahap kedua. Jika fetus sebagian dapat memasuki pelvis, dapat terjadi pengejantan berat yang tidak produktif. Kaki fetus tunggal yang besar dapat terlihat pada vulva. Jika fetus terlalu besar untuk memasuki pelvis, tidak ada kemajuan yang ditemukan setelah penyelesaian kelahiran tahap satu dan sapi dara tampak tidak nyaman, kadang-kadang tegang, dan dapat berdiri dengan punggung melengkung dan ekor tegak. Pemeriksaan vagina menunjukan adanya tulang pelvis yang kecil dengan ukuran yang tidak mencukupi bagi fetus untuk melakukannya. Penanganan yang dapat dilakukan dokter hewan harus memutuskan dengan membandingkan ukuran fetus dan pelvis jika fetus kemungkinan besar dapat melalui pelvis induk. Pada banyak kasus perkawinan yang melibatkan sapi dara muda, pemeriksaan vagina menunjukan dengan jelas bahwa anak sapi tidak dapat melewati fetus. Dalam kasus yang meragukan, tarikan sedang dapat dilakukan dan jika ini tidak berhasil pembedahan caesar diindikasikan untuk diskusi lebih lanjut tentang pembuatan keputusan. Teknik “simpisiotomi pubis” yaitu simpisis pubis dari sapi yang tidak menyatu diungkit dibuka menggunakan sebuah chisel obstetrik, tidak mendapatkan tempat dalam obstetrik sapi modern. b. Vulva Relaksasi vulva adalah bagian dari persiapan normal untuk kelahiran tetapi kadang-kadang khususnya pada sapi dara relaksasi penuh dari bagian saluran peranakan ini tidak terjadi. Pada hewan-hewan yang lebih tua kerusakan yang terus-menerus pada kelahiran yang lebih awal atau luka tandukan dengan pembentukan jaringan parut dan fibrosa dapat terjadi mencegah relaksasi normal. Tanda-tanda klinisnya terlihat relaksasi ligamen vulva telah terjadi, vulva mungkin tidak tampak kendor atau pada pemeriksaan tertutup terdapat tandatanda luka awal. Beberapa kesulitan dapat dialami dalam memasukan tangan yang
telah dilumasi dan bibir vulva mungkin mempunyai konsentrasi yang keras dan fibros. Penanganan yang dapat dilakukan yaitu pada sapi dara yang relaksasinya jelek, manipulasi, dan rengang lembut terhadap vulva dengan tangan bersih yang telah dilumasi dapat menyebabkan vulva cukup relax untukn memungkinkan kelahiran anak tanpa luka. Jika setelah beberapa menit relaksasi telah terjadi, atau jika ada jaringan parut, terdapat resiko bahwa komisura dorsal vulva akan naik ke rektum. Hal ini harus dicegah dengan melakukan episionomi. Sebuah irisan dibuat kira-kira sepertiga bagian bawah dari dinding lateral vulva melalui sambungan mukosa kulit untuk memungkinkan vulva merenggang dengan cara yang terkontrol selama lewatnya fetus. Luka episionomi akan diperbaiki dengan penjahitan kulit dan mukosa segera setelah kelahiran untuk membentuk kembali morfologi normal bibir vulva. c. Vagina Vagina juga mengendor dalam persiapan kelahiran tetapi adanya jaringan parut dari luka melahirkan sebelumnya dapat menyebabkan kehilnagan elastisitas. Walu kurang lazim mungkin ada juga stenosis kongenital vagina. Lumen vagina dapat terganggun oleh sisa embrionik, selaput dara, abses perivagina dan juga oleh tumor atau pembentukan kista. Proplaps vagina juga jarang menyebabkan gangguan terhadap kelahiran tetapi mungkin memerlukan perlindungan yang cermat selama kelahiran fetus. Tanda-tanda klinisnya yaitu kurangnya kemajuan selama kelahiran tahap dua awal mungkin teramati tetapi ketidaknormalan vagina mungkin tidak terdektesi sampai melakukan pemeriksaan internal. Jaringan parut dan pembentukan hematoma perivagina mungkin telah terdektesi pada pemeriksaan rutin paksa kelahiran yang menyertai persalinan sebelumnya. Pada sapi yang melahirkan normal dinding vaginanya lembut, agak elastis terhadap tekanan manual, dan dapat dikembangkan untuk mengakomodir lewatnya fetus. Vagina kadang-kadang
terganggu sebagian oleh pilar vertikal dari jaringan yang dilingkupi mukosa tepat di sebelah kaudal atau hampir semua lumen. Penangan yang dapat dilakukan yaitu luas dan konsistensi obstruksi dipalpasi dan jika mungkin fetus dipandu melaluinya dengan dibantu rengang lembut dari jaringan sekitarnya. Hal ini pada walnya dapat dilakukan dengan satu tangan. Pelebaran lebih lanjut dapat diperoleh dengan memasukan kedua tangan dengan jari saling mengait ke dalam vagina dan secara bertahap memisahkan lengan begitu dengan vagina dan secara bertahap memisahkan lengan begitu mendahului ke arah anterior. Hal ini juga mungkin untuk memndu fetus melalui satu sisi pilar vertikal vagina, tetapi jika ini tidak mungkin strukturnya dapat dihilangkan dengan gunting setelah penjepitan kedua extremitas dengan forcep arteri untuk mengontrol pendarahan. Tindakan bijaksana untuk mencoba mengeringkan abses perivagina atau menangani hematoma segera sebelum kelahiran fetus dan jika mereka ataun struktur lain memberikan halangan yang serius, fetus harus dilahirkan dengan operasi caesar. d. Servik Kegagalan dilatasi servik adalah penyebab distokia sapi paling umum ketiga dan penangannya memerlukan pertimbangan klinis yang cermat. Mekanisme dilatasi servik pada sapi masih belum dipahami dengan baik. Faktor-faktor homoral terlibat bersama dengan pelebaran fisik yang disebabkan oleh anak sapi yang akan lahir dan kantung fetusnya. Kegagalan faktor –faktor ini memberikan pengaruh bisa menyebabkan servik tetap tertutup atau hanya terbuka sebagian gangguan servik juga bisa akibat adanya jaringan parut yang muncul dari luka sebelumnya, mungkin dari kelahiran sebelumnya. Tanda-tanda klinisnya yaitu tanda kelahiran tahap awal berlangsung lebih lama dan tidak berlanjut pada pemeriksaan vagina ketika kasus tersebut diteliti. Ketika terbuka sepenuhnya, servik mengerut ke dalam dinding vagina dan tidak jelas. Ketika tertutup penuh jari bisa dimasukkan ke dalamnya tapi tidak melewati
tulang luar. Selama masa kebuntingan, os dilapisi dengan sumbat mukus yang tebal, yang dilewatkan vagina beberapa jam sebelum kelahiran. Penangannya yaitu pasien diperiksa untuk memastikan ada tanda-tanda segera melahirkan termaksuk relaksasi ligeman dan kolostrum dalam ambing. Dilakukan upaya untuk melebarkan servik secara manual dengan memasukan satu atau dua jari ke dalam os extrenal. Expansi jar bisa digabung dengan pelebaran senvik, yang bisa dirasakan untuk memberikan jalan secara lateral di bawah tekanan jari atau tangan yang lembut. Kemudian tangan dimasukan kedalam servik dan tekan lateral diteruskan dengan gerakan melingkar dan keluar tangan dan lengan bawah. Jika servik tetap tertutup dan diperkirakan bahwa membran fetus masih utuh dan fetus dalam kondisi yang baik maka pasien bisa ditinggalkan selama 30 menit dan kemudian diperiksa kembali. Operasi caesar seharusnya dilakukan jika tak ada perkembangan setelah 30menit. Pengeluaran dengan bedah juga diindikasikan jika ada bukti bahwa jaringan parut menghalangi servik atau bahwa kehidupan fetus beresiko. Teknik bagian servik atau histerotomi vagina telah digambarkan untuk penaganan servik yang tidak dilatasi. Dalam teknik ini bibir servik diinkisi pada satu tempat atau lebih agar terjadi dilatasi saluran peranakan pada titik itu. e. Torsi uterus sebagai sebab distokia saat kelahiran Uterus sapi pada dasarnya tidak stabil alasannya karena mencakup bagian kaudal uterus, perkembangan bagian-bagian cornua uteri pada lantai abdominal, kebuntingan anak sapi yang hanya menempati satu bagian kornua uterus yang membuat organ tersebut menjadi lebih berat, instabilitas meningkat karena sapi yang menurunkan kaki depannya pertama dulu ketika duduk. Torsi ketika sapi atau fetus melakukan gerakan mendadak yang menyebabkan uterus berputar sepanjang titik porosnya. Amnion sapi disatukan dalam tempat-tempat disekeliling alantois, yang dilekatkan dekat chorion ke dinding uterus. Penangan yang dapat diberikan yaitu :
Rotasi fetus dan uterus pervagina keposisi yang benar Fetus dipegang kuat dan dibantu dengan tahanan oleh siku, tulang dada/paha diayun-ayunkan dari satu sisi ke sisi lainnya sebelum didorong
kearah yang berlawanan dengan arah torsi. Menggulingkan sapi Menggulingkan/memutar sapi pada uterus pada saat organ tersebut tidak bergerak. Dua kaki depan dan dua kaki belakang dikat menjadi satu dan kepalanya ditahan dengan hulter atau penahan kepala. Sapi diputar secara tajam kearah yang berlawanan dengan torsi. Pengulangan proses pemutaran tersebut sebanyak 2-3 kali sebelum torsinya hilang.
Gambar 2.12 torsi uterus – pemeriksaan vagina
Gambar 2.13 torsi uterus – rotasi fetus dari uterus per vaginal
Gambar 2.14 torsi uterus – memutar sapi 2.5.3. Disproporsi fetopelvis Distokia ini disebabkan ketika fetus lebih besar dari ukuran normal, pelvis lebih kecil dari ukuran normal atau disproporsi antara keduanya. Ukuran pelvis dipengaruhi oleh usia, keturunan, berat, dan dimensi pelvis induk. Sedangkan ukuran fetus dipengaruhi oleh keturunan, lama kebuntingan, jenis kelamin fetus, jumlah anak sekelahiran dan tingkat nutrisi induk. Tanda-tanda klinisnya yaitu sapi memiliki kesulitan dalam menyelesaikan tahap kedua kelahiran. Jika kasus tidak ditangani maka fetus akan mati dengan konsenkuensi serius bagi sapi. Penanganan yang dapat dilakukan yaitu jika anak sapi hidup segera dilakukan operasi caesar tetapi jika anak sapinya mati dan akses kelahirannya memungkinkan bisa dilakukan fetotomi. Jika akses melalui vagina sulit disarankan melakukan operasi caesar. 2.5.4. Distokia akibat monster fetus Monster fetus muncul dari faktor-faktor berlawanan yang mempengaruhi fetus pada tahap awal perkembangannya yang dipengaruhi oleh genetik. Hal ini kemungkinan besar terjadi pada hari ke 42 ketika organogenesis pada sapi selesai.
Kembar siam Kembar siam / monster ganda adalah kelompok monster yang paling umum dan muncul dari pembelahan tidak sempurna ovum yang dibuahi dan menunjukan variasi yang besar dari duplikasi parsial untuk menyelesaikan pemisahan dua individu. Variasi kembar siam yang paling umum yaitu : disprosopus (2 muka, mulut dan langit-langit terbelah tapi 2 kepala tidak sempurna) penaganan yang dilakukan operasi caesar/ fetotomi.
Gambar 2.15 Disprosopus pada Sapi
dichepalus (2 kepala yang leher yang bergabung pada bahu) penangannya yaitu menghilangkan satu kepala dengan fetotomi yang dikuti dengan melahirkan sisa fetus lewat vagina atau operasi caesar
Gambar 2.16 Monster fetus - Dichepalus pada Sapi
diphigus (duplikasi tubuh dan beberapa kaki) penangannya dengan operasi caesar
Gambar 2.17 Diphygus pada Sapi
kembar siam (somatididimi)
Gambar 2.18 monster fetus – refleks schistomus
Hidrosepalus Hewan yang tekena mempunyai pembesaran cranium yang mencolok sehingga mencegah fetus memasuki dan melewati pelvis induknya.
Gambar 2.19 Monster fetus – Hidrochepalus
Anasarka fetal Terjadi oedema subkutan. Anak sapi yang terkena anasarka tidak memiliki rambut dan cairan uterus tampak kurang baik yang meninggalkan sedikit lubrikasi alami. Penangananya dengan menggunakan pelumas kebidanan dan instilasi cairan ke dalam uterus yang akan memungkinkan pengeluaran fetus secara tarikan.
Gambar 2.20 Monster fetus – Anasarka Fetal
Ascites fetal Ditemukan anak sapi atau fetus yang lahir secara prematur. Kepala, leher, dan dada fetus memasuki dan melewati pelvis induknya tetapi perut yang mengembung tidak dapat melewati pelvis induk. Anak sapi dapat dikeluarkan dengan tarikan setelah penggunaan pelumas. Jika abses menuju perut fetus pervagina tidak memungkinkan, cairan perut fetus
dapat dikeluarkan menggunakan pisau scalpel atau kateter sehingga ukuran perut fetus berkurang.
Skistosomus refleksus Monster yang paling sering digambarkan adalah “monster celosomian atau “ pedet bulan “ dalam monster ini columna spinalis telah mengalami dorsifleksion dan kepla serta ekornya rata-rata. Bentuk abnormal yang mencolok membuat melewati saluran kelahiran tidak mungkin. Anak sapi yang rusak bentuknya dapat berupa fetus tunggal atau kembar dua sampai anak sapi normal. Anak sapi dapat dipresentasikan dengan kepala dan ekstremitasnyaatau viskeranya terbuka kearah pelvis. Ketika kepala dan ekstremitasnya dipresentasikan mereka mungkin salah untuk mempresentasikan sapi kembar secara serempak tetapi pemeriksaan yang teliti mestinya dapat menunjukan bahwa mereka milik fetus abnormal yang sama. Ketika viskera dipresentasikan mereka mungkin diselimuti oleh membran tipis atau terbuka penuh atau untuk disentuh langsung. Usus, jantung (berdenyut jika hidup), dan liver semuanya dapat teraba. Ukuran dari usus kecil
harus menunjukan bahwa ini berasal dari fetus
bukan milik
induknya. (usus kecil induknya dapat tampak pada vulva pada sapi dengan ruptur uterus). Meskipun demikian, usus fetus bisa muncul dari anak sapi dengan gangguan umblikus sederhana dan bukan dari shistomose. Kadang –kadang ada keabnormalan fetus tambahan. Kasus -kasus
telah dicatat
bahwa monster juga mengalami hidrosepalus dan sapi menderita hidrop anmion. Penanganan : kadang –kadang mungkin untuk mengeluarkan monster chistomose
dengan hati-hati tetapi pada sebagian besar kasus tidak
mungkin dilakukan. Dengan presentasi kepala dan ekstremitas, operasi sesar, dengan fetotomi pada pembedahan adalah yang paling perlu. Jika fetus hidup harus dieutanasia
sebelum fetotomi
dengan injeksi
intrakardial sodium pentobarbiton. Ketika viscera terpresentasikan mereka dapat dipindah dan fetus yang mati atau tereutanasia secara manual diikuti fetotomi jika mungkin untuk melewati kawat disekeliling monster. Pada kasus lain oprasi sesar diperlukan. Monster ditemukan terutama pada sapi Dexter dan Kerry ( dan kadang-kadang pada ras Holsten-Friesian dan rasaras lain). Keabnormalan merupakan bentuk berat dari alkondroplasia , kemungkinn berkaitan dengan gen autosom tunggal, dan pada ras asli Dexter satu dari 5 anak sapimungkin terkena. Fetus yang abnormal mumpunyai kepala sangat besar seperti anjing buldog dengan kaki yang sangat pendek. Mungkin ada komplikasi tambahan dari ascites fertal atau yang kurang lazim, anarsaca. Fetus yang terkena kadang-kadang dikeluarkan tanpa bantuan tetapi distokia dapat muncul jika kepalanya tidak dapat memasuki atau melewati saluran peranakan. Pengeluaran secara manual oleh dokter hewan biasanya memungkinkan
dengan
dibantu pelumasan yang banyak.
Peresomus elumbis Monster ini mempunyai vertebra lumbal dan korda spinal bagian terakhir anterior yang seakan-akan normal tapi rudimenter, dan lengan belakang yang berubah bentuk dan mengalami ankilosis, kemungkinan sebagai akibat dari kurangnya pergerakan selama perkembangan fetus. Pada presentasi anterior monster ini pada awalnya dapat disalahkirakan dengan anak sapi normal tetapi pada pengeluaran dengan bantuan ditahankan dengan bantuan ditahan dengan lengan yang kaku, dimana tidak memungkinkan melalui pelvis. Pada presentasi posterior fetus yang abnormal dapat lebih cepat dikenali. Pengeluaran adalah dengan fetotomi atau operasi sesar yang disertai dengan fetotomi.
2.5.5. Maldisposisi fetus
Istilah maldisposisi meliputi abnormalitas presentasi, postur dan posisi yang menyebabkan fetus sulit atau tidak mungkin melewati saluran peranakan. Maldisposisi fetus ringan dapat memperburuk karena kegagalannya menggunakan inlet pelvis dengan benar dan tenaga pendorong menambah kesulitannya. Koreksi maldisposisi dengan sendirinya tidak dapat terjadi. Tanda-tanda klinis yang dapat ditemui yaitu penundaan pengeluaran fetus dengan pengejanan yang tidak produktif serta bagian fetus telah memasuki pelvis induk. a. Presentasi Posisi Postur Prognosa Penanganan dengan
: Longitudinal anterior : Dorso Sacral : Unilateral Shoulder flexion posture : Fausta : Ujung kaki yang menjulur diikat
tali,
dan
dibiarkan
menjulur
kemudian
direpulsi, ekstensi bagian bahunya. Ujung teracak dilindungi agar tidak melukai saluran reproduksi. Tali ujung kaki kemudian ditarik keluar. (Cady, 2009) b. Presentasi : Longitudinal anterior Posisi : Dorso sacral Posture : Head neck flexion posture dorsal Penanganan : Salah satu kaki fetus di ikat, lalu fetus direpulsikan kemudian di ekstensi sehingga posisi kepala menghadap ke arah vagina. Setelah posisi extended, fetus siap untuk diretraksi keluar. Cara lain jika fetus tidak dapat dikeluarkan dan masih dalam keadaan hidup adalah dengan operasi sesar (Cady, 2009). c. Presentasi : Longitudinal anterior Posisi
: Dorso sacral
Posture
: Dog sitting
Prognosa
: Fausta
Penanganan
:
Kaki diikat dengan tali, direpulsi,
ekstensi kaki depan, dibuat dorsal sacral, ekstensi, kemudian diretraksi. Penarikan harus cepat karena umbilicus tergencet, jika tidak fetus akan mati kehabisan nafas (Anonim, 2010).
d. Presentasi
: Longitudinal anterior
Posisi
: Dorso sacral
Posture
: Vertex Posture
Prognosa
: Fausta-Infausta
Penanganan
:Salah satu kaki fetus diikat, lalu
fetus direpulsikan kemudian dirotasi sehingga posisi kepala tepat sedikit menengadah dan tidak mengganjal kembali pada tulang pubis. Setelah posisi extended, fetus siap untuk diretraksi keluar. Cara lain jika fetus tidak dapat dikeluarkan dan masih dalam keadaan hidup adalah dengan operasi sesar (Anonim, 2010). e. Presentasi
: Longitudinal posterior
Posisi
: Dorso illial
Posture
: Bilateral hip flexion posture (Breech Posture)
Prognosa
: Infausta
Penanganan
: ikat salah satu kaki fetus sebagai acuan,
lalu dengan bantuan porok kebidanan fetus diekstensi, kemudian di keluarkan kaki belakangnya dan diretraksi perlahan sesuai dengan irama kontraksi dari induk (Putro,2012). f. Presentasi
: Ventro transversal presentation
Posisi
: Chepalo pubic
Postur
: Dorso illiaca sinister/dexter
Prognosa
: Fausta
Penanganan
: ikat salah satu kaki depan fetus, lalu
dengan bantuan porok kebidanan fetus didorong (ekstensi), lalu dirotasi dan siap untuk diretraksi (Putro, 2012). : Longitudinal posterior
g. Presentasi
Posisi
: Dorso sacrum
Posture
: Hock flexion posture
Prognosa
: Fausta-infausta
Penanganan
: terlebih dahulu harus dilakukan palpasi vaginal untuk
mendapatkan kaki fetus, setelah dirasa dapat maka kaki fetus lalu di ikat dengan tali, posisi tubuh di repulse lalu diekstensikan untuk membenahi posisi badan dari fetus. Lalu dengan perlahan dilakukan versio, agar pas posisi depan-belakang, kemudian dilakukan retraksi dengan perlahan sesuai irama kontraksi induk. h. Presentasi
: Longitudinal anterior
Posisi
: Dorso sacrum
Postur
: Bilateral hip flexio posture
Penanganan
: pada posisi seperti gambar disamping,
maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mengikat kaki depan fetus tersebut, lalu dengan bantuan porok kebidanan, posisi fetus direpulsi. Setelah mengalami repulse maka hal selanjutnya adalah ekstensi, dalam hal ini adalah pembenaran posisi untuk kaki belakang, setelah posisi sesuai dengan posisi normal maka dilakukan penarikan fetus atau retraksi sesuai dengan kontraksi dari uterus induk. 2.5.6. Distokia akibat kematian fetus Kematian fetus pada akhir kebuntingan atau pada awal tahap kelahiran dapat menyebabkan distokia, yang dapat muncul dengan beberapa jalan :
Fetus telah menderita hipoksia kronis selama kebuntingan, akibat dari plasenta inefektif. Situasi ini dapat muncul pada kelahiran anak
pertama sapi dara, yang belum siap untuk melahirkan. Fetus gagal melepaskan hormon ACTH dan kortisol yang cukup pada
awal kelahiran Fetus tidak dapat mengambil postur kelahiran yang normal sehingga
terjadi maldisposisi yang mencegah kelahiran Servik gagal untuk berdilatasi sempurna memungkinkan fetus keluar
sehingga
tidak
Kehilangan cairan uterus dan pengeluaran fetus dapat terganggu oleh tidak adanya pelumas alami
Tanda-tanda klinis yang dapat diamati adalah terdapat leleran vagina yang berbau busuk pada waktu kelahiran, tidak ada tanda-tanda kehidupan fetus. Jika fetus telah sakit sebelum mati dapat terjadi ascites dengan pembesaran perut yang mencolok. Pada tahap awal, sapi mungkin belum terpengaruh tetapi pada tahap selanjutnya dapat terjadi metritis parah yang disertai toksemiayang mengancam kehidupan induk. Penanganan yang dapat dilakukan jika servik membuka maka dapat mengeluarkan vetus dengan tarikan per vagina. Pelumas kebidanan diberikan ke dalam uterus dan pada bagian fetus yang terlihat. Jika kondisi uterus sangat kering dapat diberikan air hangat ke dalam uterus dengan hati-hati menggunakan pompa perut dan tabung. Tarikan fetus dilakukan secara langsung menggunakan tangan atau menggunakan tali kebidanan. Jika fetus mati tidak dapat dikeluarkan secara manual, dapat dilakukan fetotomi atau operasi sesar.
Tomaszweska, M. W., I. K. Sutama, I. G. Putu, T. D. Chaniago. 1991. Reproduksi, tingkah laku dan Produksi Ternak di Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Feradis, M. P. 2010. Reproduksi Ternak. Penerbit Alfabeta, Bandung. Stabenfeldt, G. H., L. E. Edqvist. 1984. Female Reproductive Processes. In : Dukes’ Physiology of Domestic Animals. M. J. Swenson. (Ed). Comstock Publishing Associates, Cornell University Press.
Muqit, Kelviano. 2011. Laporan Tugas Tutorial Blok 15 UP 5 Ruminansia I Distokia Pada Sapi. Fakultas Kedokteran Hewan Universita Gadjah Madah, Yogyakarta.