MAKALAH DISTOKIA PADA HEWAN BESAR
Cerelia, SKH Reinilda Alwina, SKH Tri Setyo Purwanto, SKH
B94154307 B94154335 B94154345
BAGIAN REPRODUKSI PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR PENDAHULUAN
vi 1
ETIOLOGI
2
KAUSA
2
Distokia maternalis
2
Abnormal pelvis
2
Stenosis vulva dan vagina
2
Vaginal cystocoele
3
Incomplete dilatasi serviks
3
Torsio uteri
3
Rupture uteri
3
Distokia fetalis
4
Oversize fetus
4
Abnormal fetus
4
FAKTOR PREDISPOSISI
6
Body condition score (BCS)
6
Usia induk
6
Fetus kembar
6
Waktu kelahiran
6
Jenis kelamin fetus
6
PENANGANAN DISTOKIA
6
Mutasi dan repulsi
6
Rotasi
7
Fetotomi
8
Sectio caesaria
10
SIMPULAN
10
DAFTAR PUSTAKA
10
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6
Berbagai macam kedudukan fetus sapi yang abnormal Tindakan repulsi pada fetus Tindakan rotasi pada fetus Teknik Slow Rolling pada torsio uteri (Naggar 2016) Alat fetotomi Fetotomi dengan situs fetus cranial
5 7 7 8 9 9
PENDAHULUAN Reproduksi, salah satu kemampuan yang dimiliki makhluk hidup, dilakukan dalam rangka menghasilkan keturunan untuk melestarikan suatu jenis, termasuk tumbuhan dan hewan. Kemampuan ini dapat terjadi melalui proses tertentu dengan variasi yang bermacam-macam pada setiap jenis, salah satunya melalui perkawinan. Sebagian besar hewan mengalami reproduksi melalui proses perkawinan, dimana sel ovum betina akan dibuahi oleh sel sperma jantan sehingga menghasilkan sebuah sel baru yaitu zygot yang akan berkembang hingga menjadi fetus. Fetus akan lahir dan tumbuh hingga dewasa lalu reproduksi akan kembali terjadi dan seterusnya sehingga keturunan akan terus dihasilkan. Oleh karena itu, reproduksi yang baik juga mampu mempertahankan keberlangsungan generasi suatu jenis makhluk hidup. Kemampuan reproduksi juga merupakan aspek yang sangat penting dan menjadi perhatian utama dalam suatu peternakan. Sebagai salah satu komoditi yang berkaitan dalam pemenuhan kebutuhan pangan terutama daging dan susu, keberlangsungan populasi ternak hewan besar, seperti sapi, sangat diperhatikan. Hal ini berkaitan dengan jumlah dan produk yang dihasilkan dalam suatu populasi ternak tersebut. Bibit yang unggul serta manajemen yang baik sangat memengaruhi kualitas dari keturunan yang dihasilkan. Namun, proses tersebut juga sering mengalami gangguan sehingga dapt meningkatkan resiko terjadinya kegagalan dalam reproduksi hingga kematian baik induk maupun fetus. Selama tahap pertama persalinan pada kebuntingan normal (eutokia), sapi akan menjauhkan diri dari kawanan, menunjukkan tanda-tanda kegelisahan dan cenderung untuk berbaring dan bangun. Tanda-tanda ini sangat jelas pada sapi pertama bunting daripada sapi dewasa yang pernah bunting. Dalam tahap ini, kontraksi rahim terkoordinasi dimulai. Kontraksi ini meningkat setiap 15 menit. Panjang tahap ini harus berlangsung sekitar 2-6 jam. Jika tahap ini lama, penurunan aliran darah dan oksigen dari kontraksi uterus berulang mungkin mulai mempengaruhi kelangsungan hidup janin. Ketika anak sapi dilahirkan kemudian mati terjadi karena tahap satu berkepanjangan yang gagal menuju tahap dua. Tahap kedua persalinan terjadi ketika serviks sepenuhnya melebar dan bagian janin memasuki jalan lahir dan akhirnya terlihat. Sapi tersebut tampak berkontraksi otototot perutnya dalam upaya untuk mendorong fetus melalui jalan lahir. Upaya yang signifikan pertama mendorong kepala melalui vulva sapi. Pada titik ini sapi akan sering mengambil jeda singkat yang penting, sehingga sapi mengambil napas dari udara, karena tali pusar anak sapi dikompresi dalam jalan lahir. Ini setelah ini fetus keluar. Tahap dua biasanya dapat bertahan dari 30 menit sampai 2 jam. Tahap akhir, tahap tiga, adalah keluarnya plasenta, yang biasanya terjadi dalam waktu 8-12 jam (Purohit et al. 2011). Bila lebih dari waktu yang telah diperkirakan, maka perlu adanya pemeriksaan untuk mengetahui keadaan hidup fetus dapat dilihat dengan cara mengetahui refleks pada anak sapi. Untuk mengetahui viabilitas dari seekor anak sapi dapat dilakukan dengan palapasi vagina. Bila situs dari anak sapi situs longitudinal anterior maka dapat menentukan viabilitas dari refleks ujung ekstremitas depan, refleks menghisap mulut dan refleks mengedip dari mata. Pada situs longitudinal posterior dapat memeriksa viabilitas dari refleks extremitas bagian belakang dan refleks menjepit dari anus (Hopper 2015).
2 Distokia merupakan salah satu gangguan reproduksi yang sering ditemukan pada peternakan, terutama ternak sapi. Adanya gangguan berupa distokia ini dapat menimbulkan kerugian pada peternak, karena hampir sebagian besar kejadian distokia berlanjut dengan kejadian stilbirth dimana anak sapi mati sesaat setelah berhasil keluar dari induknya (Waldner 2014). Hal ini merugikan peternak dari segi ekonomi karena selain kehilangan bakal ternak, induk juga mengalami resiko cedera akibat proses penanganan distokia tersebut. Berdasarkan kepentingan aspek reproduksi terutama terkait gangguan reproduksi berupa distokia, maka perlu adanya pemahaman yanhg baik terhadap penyebab, faktor yang berpengaruh dan penanganan distokia yang dapat dilakukan pada hewan ternak besar, terutama ternak sapi.
ETIOLOGI Distokia adalah suatu kondisi stadium pertama kelahiran (dilatasi cervik) dan kedua (pengeluaran fetus) lebih lama dan menjadi sulit sehingga tidak mungkin lagi bagi induk untuk mengeluarkan fetus (Ratnawati 2007).
KAUSA Penyebab distokia pada sapi berdasarkan asal gangguan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu distokia maternalis dan distokia fetalis. Distokia maternalis Distokia maternalis merupakan distokia yang terjadi akibat adanya gangguan pada induk sapi seperti obstruksi atau konstriksi saluran kelahiran, misalnya abnormal pada pelvis, neoplasia pada vagina dan vulva, incomplete dilatasi serviks, vulva atau vagina stenosis, vaginal cystocoele, torsio uteri, inertia uteri dan rupture uteri (Purohit et al. 2011). Abnormal pelvis Abnormal pada pelvis dapat menyebabkan terjadinya distokia. Hal ini dapat terjadi karena ukuran pelvis yang kecil sehingga menyulitkan fetus untuk keluar, penonjolan pada pelvis (exotoses), osteomalacia dan hypoplasia vagina dan vulva. Kecilnya rongga pelvis dapat terjadi pada sapi bunting tua, perkawinan antara sapi jenis besar dengan jenis betina yang kecil, adanya fraktur rongga pelvis, dan pertumbuhan sapi betina yang buruk. Stenosis vulva dan vagina Stenosis pada vulva dan vagina dapat terjadi bila aadanya luka parut, penyakit congenital stenosis vagina, dan abses pada vagina. Adanya abses pada perivagina tidak akan mempengaruhi keadaan fetus namun saat fetus mencoba untuk lahir
3 abses ini akan bermasalah dengan menyebarkan pernyakit pada anaknya dan membuat perlukaan pada vagina. Vaginal cystocoele Vaginal cystocoele merupakan keadaan dimana vesica urinary berpidah tempat melalui uretra ke vagina atau melalui perlukaan pada lantai vagina sehingga menyebabkan fetus sulit keluar. Keadaan seperti ini penanganan yang dapat dilakukan berupa anaestesi epidural mereposisi VU dan fetus baru dapat dikeluarkan dari rongga perut. Incomplete dilatasi serviks Dilatasi serviks sangat penting pada proses kelahiran agar fetus dapat keluar. aktivasi dari jaringan inflamasi sangat berperan penting dalam dilatasi serviks. Peningkatan sitokin inflamasi selama proses partus diketahui berefek pada dilatasi serviks yang saling berpengaruh terhadapa hormone. Ketika serviks benar-benar terbuka maka pada saat palpasi rectal akan terasa jelas, namun ketika dilatasi tidak sempurna akan teraba jelas. penanganan yang dapat diberikan estrogen seperti estradiol 20-30 mg. Torsio uteri Torsio uteri biasanya terjadi pada koruna uteri, namun torsio ini dapat terjadi pada corpus, bahkan pada vagina. Torsio uteri terjadi selama salah satu cornua uteri bunting dan inordinate fetus atau terhambatnya pergerakan fetus yang memungkinkan terjadinya torsio uteri. Terjadinya torsio uteri dapat pada saat kebuntingan, diakhir kebuntingan bahkan pada saat partus. Torsio dapat ke kiri atau ke kanan dengan derajat putaran dapat 90-720º. Gejala klini yang terlihat kolik, anoreksia, depresi dan apatis. Inetia uteri Pada saat keadaaan ini walaupun serviks telah dilatasi, fetus dalam keadaan, posisi, dan postur yang normal, fetus tidak cepat lahir. Hal ini dikarenakan kurangnya kontraksi dari uterus. Inertia uteri biasanya terjadi pada sapi perah dan kerbau dan perlu dipertimbangkan hewan sedang hipokalsemia dengan gejala milk fever. Terapi yang dapat diberikan dapat berupa pemberian kalsium boroglukonat secara IV dan 15-20 IU oksitosin. Rupture uteri Rupture uteri dapat terjadi karena kecelakaan, atau perlukaan akibat torsio uteri. Luka yang besar pada uterus dapat menyebabkan fetus masuk ke rongga peritoneal atau setelah partus organ visceral dapat keluar dari vagina melalui perlukaan besar uterus. Hal ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian pada fetus. Keadaan seperti ini hewan biasanya dalam keadaan yang buruk sehingga harus segera diberikan terapi cairan dan dilakukan laparotomi. Fetus yang mungkin ada di uterus atau di rongga abdomen harus segera dikeluarkan dan perlukaan pada uterus perlu diperbaiki.
4 Distokia fetalis Distokia dengan penyebabnya adalah fetus terdiri dari fetus yang terlalu besar dan abnormal pada fetus (Purohit et al. 2011). Oversize fetus Oversize fetus umumnya terjadi pada sapi dibandingkan kerbau. Salah satu penyebab terjadinya oversize fetus adalah perkawinan antar jenis sapi yakni perkawinan sapi jenis kecil dengan sapi jenis besar sehingga menghasilkan fetus dengan ukuran besar namun pelvis tidak cukup mendukung dalam proses kelahiran. Penanganan yang dapat diberikan tergantung pada kondisi fetus. Bila fetus dalam keadaan hidup dapat dilakukan operasi caesar, namun bila fetus mati dapat dilakukan fetotomi (Purohit et al. 2012). Abnormal fetus Abnormal fetus yang dapat menyebabkan terjadinya distokia adalah Schistosoma reflexus, kematian fetus diikuti dengan cyclopia, hydrocephalus, achites, dan fetus maldisposisi (Purohit et al. 2012). Pemeriksaan terhadap dari situs, posisi, dan sikap dari anak sapi perlu dilakukan terlebih dahulu untuk menentukan tindakan bila terjadi distokia. Situs merupakan perbandingan sumbu memanjang fetus terhadap sumbu memanjang hewan induk. Berbagai macam situs yang dapat terlihat adalah situs longitudinal anterior, longitudinal posterior, situs tranversal, situs vertikal, dan situs diagonal. Posisi merupakan kedudukan punggung fetus terhadap tulang-tulang yang membatasi jalan kelahiran (tulang pelvis/gerbang kelahiran). Macam posisi sebagai berikut dorso sakral, dorso ilial dekstra, dorso ilial sinistra, dan dosro pubilikal. Sikap adalah keadaan dari bagian tubuh fetus yang mudah dibengkokan seperi leher, ekstremitas depan dan ekstremitas belakang (Hopper 2015).
5
Gambar 1 Berbagai macam kedudukan fetus sapi yang abnormal (Hopper 2015): situs anterior dengan salah satu kaki depan terlipat (A), situs anterior dengan tertekuknya kaki depan pada bagian lutut (B), situs anterior dengan kaki depan bersilangan diatas leher (C), situs anterior dengan kepala menunduk (D), situs anterior dengan kepala terlipat kebelakang (E), situs anterior dengan posisi punggung berada di ventral (F), situs anterior dengan kaki belakang menghadap ke arah pelvis (G), bagian pantat menghadap jalan kelahiran (H dan I), situs posterior dengan punggung mengarah ke bawah (J), semua kaki menghadap ke arah pelvis (K), situs dorsolumbar (L).
6
FAKTOR PREDISPOSISI Beberapa faktor predisposisi perlu diperhatikan karena dapat meningkatkan resiko terjadinya distokia, antara lain perubahan body condition score (BCS), jenis kelamin fetus, fetus kembar, usia induk, dan waktu kelahiran (Waldner 2014). Body condition score (BCS) Induk betina dengan nutrisi yang buruk (BCS rendah) atau nutrisi yang berlebih dapat meningkatkan resiko terjadinya distokia. Manajemen nutrisi perlu diperhatikan sebelum masa kelahiran untuk mengontrol BCS dari induk. Usia induk Induk yang mengalami kebuntingan pertama (primipara) pada usia kurang lebih 2 tahun, memiliki resiko yang lebih besar mengalami distokia. Resiko tersebut akan menurun setelah kebuntingan kedua dan ketiga pada sapi yang berusia 5 tahun. Fetus kembar Fetus kembar meningkatkan terjadinya distokia pada induk. Hal utama yang menyebabkan distokia adalah adanya maldisposisi dari kedua fetus. Waktu kelahiran Pada daerah yang memiliki empat musim, distokia sering terjadi pada kelahiran di bulan Desember hingga Februari. Resiko distokia menurun pada kelahiran di bulan Maret dan April. Jenis kelamin fetus Distokia pada kelahiran fetus jantan lebih sering ditemukan dibandingkan dengan kelahiran fetus betina. Fetus jantan mengalami pertumbuhan berat badan lebih konstan dari pada fetus betina sehingga sering membutuhkan bantuan dalam proses kelahiran fetus.
PENANGANAN DISTOKIA Mutasi dan repulsi Mutasi merupakan pengembalian kedudukan fetus yang menyimpang dan dikembalkan pada kedudukan mendekati kedudukan normal. Hal yang dapat dilakukan dengan teknik mutasi adalah repulsi atau fetus dikembalikan ke dalam rongga perut. Cara melakukan metode mutasi dan traksi adalah mendorong kembali fetus ke dalam rongga rahim untuk memperbaiki posisi fetus maka fetus dapat ditarik keluar (Abdullah 2015). Lalu dapat digunakan rotasi atau pemutaran posisi fetus terhadap sumbu longitudinalnya. Pada kedudukan anak sapi dari situs longitudinal anterior atau longitudinal posterior dikembalikan pada posisi dorso sakral. Tindakan pada versi merupakan tindakan pemutaran situs fetus dalam sumbu tranversalnya menjadi situs anterior atau posterior. Tindakan perentangan
7 dan pembetulan letak ekstremitas dengan cara menarik kaki depan pada situs longitudinal anterior menuju jalan kelahiran. Tindakan dari mutasi terhadap letak kepala dengan cara mengikat tali pada mandibula anak sapi pada situs longitudinal anterior dan ditarik ke arah jalan keluar kelahiran (Hopper 2015 dan Moges 2016).
Gambar 2 Tindakan repulsi pada fetus Bila tindakan mutasi sudah terlaksana namun dorongan dari induk kurang dan pemberian hormonal tidak ada reaksi maka dapat dilakukan tindakan tarik paksa. Syarat dari tindakan ini adalah diameter fetus harus sama atau lebih besar dengan diameter jalan kelahiran. Bila saat akan melakukan tindakan tarik paksa ternyata cairan amion sudah kering dapat diberikan air kanji atau minyak kelapa. Tindakan tarik paksa harus dilakukan seirama dengan kontraksi uterus dan mengikuti bentuk tulang yang membatasi jalan kelahiran (Hopper 2015). Rotasi
Distokia dapat dialami bila terjadi rotasi pada sekitar bagian uterin pada bagian longitudinal axis akibat dari penggantung uterine yang tidak memiliki panjang yang sama atau karena pergerakan fetus, tidak adanya keseimbangan nutrisi, pernah terjadi Gambar jatuh selama masarotasi kebuntingan, 3 Tindakan pada fetussapi yang jalan pada permukaan yang tidak rata. Terjadinya torsio uteri lebih sering pada betina bunting usia trisemester akhir. Torsio uteri dapat menyebabkan jalan keluar bayi yang penek, stenosis, dan fetus tidak dapat keluar saat waktunya. Metode yang akan diberikan berupa koreksi keadaan situs fetus dan slow rolling (Naggar 2016).
8
Gambar 4 Teknik Slow Rolling pada torsio uteri (Naggar 2016) Namun ada batasan dalam melakukan manipulasi misalkan saat bagian carpal fetus tertekuk keduanya dan tolakan fetus untuk dilakukan manipulasi. Karena hal tersebut diperlukan dilakukan episiotomi pada daerah vulva. Hal pertama yang dilakukan adalah memblok daerah vulva dengan teknik ring blok dengan menggunakan 5 ml Lignocaine hidroklorida (Abdullah 2015). Setelah daerah tersebut diaseptik dengan menggunakan iodine dan dilanjutkan sayatan melengkung di bagian posterior dari vulva dengan menggunakan dengan menggunakan blade nomer 24. Lalu dapat dilakukan traksi secara perlahan untuk mengevakuasi janin mati dan plasenta. Setelah semua janin dan plasenta keluar maka dilakukan irigasi intrauterin dengan menggunakan 200 mL larutan NaCl 0.9% ,dan dilanjutkan dengan pemberian oxytetracycline dengan dosis 20 mg / kg berat badan. Sebelum penjahitan maka diberikan vitamin K3 telah ditanamkan ke dalam situs sayatan untuk mempercepat terjadinya koagulasi. Penjahitan tipe simple interupted menggunakan benang jenis silk dengan nomer 30. Setelah selasai penjahitan ditaburkan campuran bubuk negasunt dan pasta iodium pada lokasi jahitan sebagai antiseptik. Perawatan selama paska-operasi diberiakn obat berupa flunixin meglumine (dosis 2,2 mg / kg berat badan) via intramuskuler dua kali sehari selama 3 hari sebagai anti-inflamasi, dan norodine dengan dosis 1 mL / 16-kg berat badan diberikan secara intramuskular sekali sehari selama 5 hari sebagai antibiotik spektrum luas (Abdullah 2015). Fetotomi Fetotomi dapat diberikan bila fetus yang sudah mati. Petimbangan dilakukan fetotomi adalah fetus terlalu besar atau jalan kelahiran terlalu kecil. Fetotomi diberikan juga bila tindakan reposisi fetus sudah dilakukan namun adanya hambatan terhadap pengeluran fetus. Alat yang digunakan untuk melakukan fetotomi adalah fetotom jenis thygiesen. Alat utama kebidanan pada hewan besar terdiri dari rantai kebidanan dengan panjang 152 cm dan 76 cm, krey hook dengan rantai, t- bar obstetric chain handle, moore's obstetric handle, komponen dari fetal extractor. Alat tambahan dari kebidanan adalah fetal head snare, de-torsion bar or rod, wooden dowel for applying torque to detorsion bar, double blunt eye hooks atau vienna scissor eye hooks. Alat fetotomi terdiri atas utrecht fetotome, threader or insertion coil dan wire brush, lyss wire saw handles, wire saw handles, shriever wire saw introducer of passer, hauptner wire saw introducer of passer, pisau Linde's fetotomy palm, pisau geunther's fetotomy finger, side cutters to sever wires saw, T-bar obstetric handle, krey hook with obstetric chain attached, wire saw, moore's obstetric handle (Hopper 2015).
9
Gambar 5 Alat fetotomi terdiri atas utrecht fetotome (a), threader or insertion coil and wire brush (b), lyss wire saw handles (c), wire saw handles (d), shriever wire saw introducer of passer (e), hauptner wire saw introducer of passer (f), Linde's fetotomy palm knife (g), geunther's fetotomy finger knife (h), side cutters to sever wires saw (i), T-bar obstetric handle (j), krey hook with obstetric chain attached (k), wire saw (l), moore's obstetric handle (m) (Hopper 2015). Untuk tindakan fetotomi diperlukan minimal tiga orang yang bertindak sebagai operator, penarik kawat gergaji dan penahan bagian ang akan dipotong. Tahap-tahap dalam melakukan fetotomi adalah dilakukan epidural anastesi. Lalu dilakukan pembersihan bagian perianal induk. Alat fetotom sudah dilakukan perendaman dengan cairan antiseptik. Operator yang akan mengerjakan harus dalam keadaan tangan hingga lengan bersih. Pemotongan bagian fetus tergantung dengan bagaian mana yang paling dekat dengan operator. Metode pemotongan dapat dilakukan metoda langsung atau metode tidak langsung tergantung dari keadaan fetus. Pemotongan diret dapat dilakukan bila bagian ekstermitas yang merupakan bagian yang menghalangi. Pemtongaan tidak langsung dilakukan bila bagain kepala yang menjadi penghalang kelahiran. Tindakan eviserasi atau pengeluaran organ fetus dapat dilakukan bila hal tersebut menghalangi dalam pengeluaran fetus (Moges 2016).
Gambar 6 Fetotomi dengan situs fetus cranial
10 Sectio caesaria Tindakan pembedahan dapat dilakukan tindakan sectio caesaria. Tindakan tersebut dilakukan dengan indikasi fetus yang masih hidup namun dengan cara tarik paksa tidak dapat dilkaukan. Tindakan section caesaria dilakukan dalam keadaan induk berdiri. Preoperasi yang dilakukan dalah anastesi epidural dan paralumbal dan pada tempat penyayatan diberikan anastesi intrakutan pada bagian profundal dan superficial. Daerah operasi pada bagian flank sebelah kiri. Sayatan yang digunakan sebesar 30-35 cm secara vertikal (Moges 2016).
SIMPULAN Kejadian distokia merupakan salah satu kejadian gangguan reproduksi yang sering terjadi pada hewan besar seperti sapi. Hal tersebut memerlukan penanganan yang tepat dan sesuai dengan kondisi induk dan fetus. Sehingga perlu adanya pemahaman yang baik terhadap penyebab, faktor pendukung kejadian dan jenis penanganan yang tepat, selain itu manajemen yang baik juga diperlukan untuk menurunkan resiko terjadinya distokia pad ternak sapi.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah et al. 2015. Management of fetal dystocia caused by carpal flexion in ewe. J Adv Vet Anim Res.2(2): 225-228. Anderson P. 2012. Cow/Calf Management: Minimizing Calving Difficulty in Beef Cattle. Minesota (US): University of Minesota. Hopper RM. 2015. Bovine Reproduction. Oxford (UK): Wiley Blackwell Moges N. 2016. Etiology, Incidence and Economic Significance of Dystocia and Recommendations for Preventive Measure and Treatment to Reduce the Incidence of Dystocia: Review. J Reprod. & Infertility.7(1): 24-33. Naggar MAE, Raheim AA, Megahed GA, Amrawi. 2016. Course of Obstretic Contents. EVET Pires JAG. 2010. Approach to Fetomartenal Dispropotion in Cattle. Vila Real (PO): Universidade de Tras Os Montes E Alto Douro. Purohit GN, Barolia Y, Shekkhar C, Kumar P. 2011. Maternal dystocia in cow and buffaloes: a review. Open Journal of Animal Sciences. 1(2):41-53. Purohit GN, Kumar P, Solanki K, Shekkhar C, Yadav SP. 2012. Perspectives of fetal dystocia in cattle and buffalo. Veterinary science development. 2(8):3142). Ratnawati D, Pratiwi WC, Affandhy L. 2007. Petunjuk teknis penanganan gangguan reproduksi pada sapi potong. Pasuruan (ID): Pusat penelitian dan pengembangan peternakan. Waldner CL. 2014. Cow attributes, herd management and environmental factors associated with the risk of calf death at or within 1 h of birth and the risk of dystocia in cow–calf herds in Western Canada. Livestock science.163:126-139.