43
MAKALAH
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN TRAUMA MEDULLA SPINALIS DAN SPINAL SHOCK
Oleh :
KELOMPOK 2/ KELAS A1 (A14)
Fasilitator :
Erna Dwi Wahyuni, S.Kep., Ns., M.Kep
Lutvi Choirunissa 131411131002
Shanti Indah Lestari 131411131036
Astrid Anggreswari Nur S. 131411131042
Anissa Zuchrufiany 131411131045
Navisha Khoirunisa 131411131056
Eva Dwi Agustin 131411131057
Retno Dwi Agustin 131411131058
Titin Paramida 131411131099
Elisa Maria Wahyuni 131411133028
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat,serta kasih-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini tepat waktu. Adapun tujuan dengan dibuatnya makalah ini sebagai syarat untuk memenuhi nilai dalam mata kuliah Keperawatan Kritis 2.
Keberhasilan dalam penyusunan makalah ini tidak dapat terlepas dari bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
Bu Erna Dwi Wahyuni, S.Kep., Ns., M.Kep selaku fasilitator mata kuliah Keperawatan Kritis;
Teman-teman yang telah membantu dalam pembuatan tugas makalah ini.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi kami pada khususnya.
Kami menyadari masih ada kekurangan dalam pembuatan makalah ini, oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun akan kami terima dengan senang hati.
Penulis,
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Semakin banyaknya angka kejadian kecelakaan lalu lintas maka trauma medulla spinalis kerap terjadi.Trauma medulla spinalis adalah trauma seringkali mengenai daerah L1-L2 dan/atau di bawahnya, trauma ini mengakibatkan kerusakan fungsi neurologis, hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.(Marilynn E. Doenges,1999;338). Karena kondisi trauma pada medulla spinalis serta persyarafan akan mencetuskan kejadian syok spinal, dimana syok spinal yaitu suatu keadaan kehilangan aktifitas otonom, reflek motorik, dan sensorik pada daerah dibawah tingkat terjadinya medulla spinalis (Kowalak, 2011).
Setiap tahun di Amerika Serikat sekitae 7.600 sampai 10.000 individu mengalami trauma medulla spinalis. Pada tahun 2004 Cristopher & Dana Reeve Foundation bekerjasama dengan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melakukan penelitian dimana hasilnya sekitar 0,4% dari populasi Amerika serikat atau sekitar 1.275.000 orang mengalami paralisis dikarenakan oleh trauma medulla spinalis. Hal ini menandakan bahwa sekunder syok spinal juga banyak terjadi.
Kejadian trauma medulla spinalis lebih dominan terjadi pada pria usia muda sekitar lebih dari 75% dari seluruh cedera. Pada usia sekitar 45 tahunlebih fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapiwanita juga sangat memungkinkan terkena penyakit ini karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahan hormonal (menopause) (Reevs, Charlene J.,1999). Sedangkan syok spinal terjadi sekunder akibat kerusakan pada medula spinalis (Kowalak, 2011).Syok pada medula spinalis adalah keadaan disorganisasi fungsi medula spinalis yang fisiologis dan berlangsung untuk sementara waktu, keadaan ini timbul segera setelah cedera dan berlangsung dari beberapa jam hingga beberapa minggu. Syok spinal juga diketahui sebagai syok neurogenik adalah akibat dari kehilangan tonus vasomotor yang mengakibatkan dilatasi vena dan arteriol umum. Syok ini menimbulkan hipotensi, dengan penumpukan darah pada pembuluh penyimpan atau penampung dan kapiler organ splanknik(Tambayong, 2000).
Klien yang mengalami trauma medulla spinalis membutuhkan perhatian lebih diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan ADL danmobilisasi. Begitu juga dengan spinal shock dimana membutuhkan terapi fisik dan kolaborasi pembedahan. Maka dari itu sebagai perawat merasa perlu untuk dapat membantu dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan trauma medulla spinalis dan spinal syok dengan cara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative.
Tujuan
Tujuan Umum
Mempelajari konsep teoritis dan asuhan keperawatan berdasarkan study casetrauma medulla spinalis dan shock spinal.
Tujuan Khusus
Mengetahuianatomi fisiologi medulla spinal
Mengetahui definisitrauma medulla spinal dan shock spinal.
Mengetahui etiologi trauma medulla spinal dan shock spinal.
Mengetahui patofisiologi trauma medulla spinal dan shock spinal.
Mengetahui manfestasi klinis trauma medulla spinal dan shock spinal.
Mengetahui pemeriksaan diagnostik pada klien dengan trauma medulla spinal dan shock spinal.
Mengetahui penatalaksanaan pada klien dengan trauma medulla spinal dan shock spinal.
Mengetahuikomplikasi pada klien dengan trauma medulla spinal dan shock spinal.
Mengetahui prognosis pada klien dengan trauma medulla spinal dan shock spinal.
Mengetahui asuhan keperawatan klien dengan trauma medulla spinal dan shock spinal.
Manfaat
Memberikan pengetahuan tentang asuhan keperawatan trauma medulla spinal dan shock spinal dengan menggunakan konsep dan study case.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi dan Fisiologis Medulla Spinalis
Medula spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat, terletak didalam canalis vertebralis dan merupakan lanjutan dari medulla oblongata danujung caudalnya membentuk conus medullaris. Panjangnya pada pria sekitar 45cm dan wanita 42-43 cm dengan garis tengah 2 cm (seukuran kelingking). Medula spinalis terdiri atas 31 segmen jaringan saraf dan masing-masing memiliki sepasang saraf yang keluar dari kanalis vertebralis melalui foramen intervetebra (lubang pada tulang vertebra). Saraf-saraf spinal diberi nama sesuai dengan foramen intervertebra, kecuali saraf servical pertama yang keluar di antara tulang oksipital dan vertebra servikal pertama. Dengan demikian, terdapat 8 pasang saraf servikal (dan hanya tujuh vertebra servikalis), 12 pasang saraf torakalis, 5 pasang saraf lumbalis, 5 pasang saraf sakralis, dan 1 pasang saraf koksigis (Akhyar, 2009). Segmen upper cervical & thoracal berbentuk silindris dan segmen lower cervical dan lumbal berbentuk oval. Berawal dari dasar otak(atlas/V.C1), berakhir setinggi L1-L2 (conus medullaris), ke bawah melanjutkandiri sebagai fillum terminale. Di bawah Conus medullaris terbentuk anyaman akarsaraf (saraf tepi) menyerupai ekor kuda (cauda equina).Saraf Spinal dilindungi oleh tulang vertebra, ligamen juga oleh meningen spinal dan CSF (Muttaqin, 2008).
Pada potongan melintang medulla spinalis terdapat substansia grisea atau gray matter (abu-abu) dan substansi alba atau white matter (putih). Bagian central membentuk huruf H (Gray Matter) dan dikelilingi oleh white matter. 2 bagian medulla spinalis dipisahkan oleh septum medianus (dorsal/posterior) dan fissura medianus (ventral/anterior). Sulcus dorsolateral (posterior) adalah pintu masuk akar saraf posterior (sensorik) dan sulcus ventrolateral (anterolateral) adalah pintu keluar akar saraf ventral (motorik). 3 area white matter: funikulus posterior, funikulus lateralis, funikulus anterio.
Substansia grisea (gray matter)
Cornu Anterior (anterior horn cell/ AHC) berisi akar saraf motorik.
Cornu Intermediolateral terbatas pada regio thoracal dan upper lumbal.
Cornu Posterior (posterior horn cell/ PHC) berisi akar saraf sensorik
Canalis Centralis terletak di tengah substansia abu-abu,membagi medulla spinalis menjadi 2 daerah commisura grisea anterior & posterior
Substansia alba (white matter)
Berisi serabut-serabut sensorik, motorik dan otonom
Terdiri dari tiga area funikulus, yaitu
Anterior (berisi fasikulus descending/motorik)
Lateral (berisi fasikulus decsending & ascending)
Posterior (berisi fasikulus ascending/sensorik)
Tiap funikulus terdiri dari satu atau lebih traktus ataufunikulus
Medulla spinalis melewati dua traktus dengan fungsi tertentu, yaitu traktus desenden dan asenden. Traktus desenden berfungsi membawa sensasi yang bersifat perintah yang akan berlanjut ke perifer. Sedangkan traktus asenden secara umum berfungsi untuk mengantarkan informasi aferen yang dapat atau tidak dapat mencapai kesadaran. Informasi ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu (1) informasi eksteroseptif, yang berasal dari luar tubuh, seperti rasa nyeri, suhu, dan raba, dan (2) informasi proprioseptif, yang berasal dari dalam tubuh, misalnya otot dan sendi (Akhyar, 2009)
Menurut Mahadewa & Maliawan (2009) medula spinalis diperdarahi oleh 2 susunan arteria yang mempunyai hubungan istimewa. Arteri - arteri spinal terdiri dari arteri spinalis anterior dan posterior serta arteri radikularis.
Arteri spinalis anterior dibentuk oleh cabang kanan dan dari segmen intrakranial kedua arteri vertebralis.
Arteri spinalis posterior kanan dan kiri juga berasal dari kedua arteri vertebralis.
Arteria radikularis dibedakan menjadi arteria radikularis posterior dan anterior.
Beberapa fungsi dari masing-masing sistem saraf adalah sebagai berikut:
Fungsi
Otot
Saraf
Pleksus servikalis C1 – C4
Fleksi, ekstensi, rotasi, dan eksorotasi leher
Mm. koli profundi (M. sternokleidomastoideus, M. trapezius)
Saraf servikalis
C1-C4
Pengangkatan dada atas, inspirasi
Mm. Skaleni
C3-C5
Inspirasi
Diafragma
Saraf frenikus
C3–C5
Pleksus brakhialis C5-T1
Aduksi dan endorotasi lengan,
Menurunkan bahu ke dorsoventral
M. pektoralis mayor dan minor
Saraf torakalis anterior
C5-T1
Fiksasi skapula selama mengangkat lengan
M. seratus anterior
Saraf torakalis longus
C5-C7
Elevasi dan aduksi skapula ke arah kolumna spinalis
M. levator skapula,
Mm. rhomboidei
Saraf skapularis dorsal
C4-C5
Mengangkat dan eksorotasi lengan
Eksorotasi lengan pada sendi bahu
M. supraspinatus
M. infraspinatus
Saraf supraskapularis
C4-C6
C4-C6
Endorotasi sendi bahu; aduksi dari ventral ke dorsal;
menurunkan lengan yang terangkat
M. latissimus dorsi,
M. teres major,
M. subskapularis
Saraf torakalis dorsal
C5-C8
(dari daerah dorsal pleksus)
Abduksi lengan ke garis horizontal
Eksorotasi lengan
M. deltoideus
M. teres minor
Saraf aksilaris
C5-C6
C4-C5
Fleksi lengan atas dan bawah dan supinasi lengan bawah
Elevasi dan aduksi lengan
Fleksi lengan bawah
M. biseps brakhii
M. korakobrakhialis
M. brakhialis
Saraf muskulokutaneus
C5-C6
C5-C7
C5-C6
Fleksi dan deviasi radial tangan
Pronasi lengan bawah
Fleksi tangan
Fleksi jari II-V pada falangs tengah
Fleksi falangs distal ibu jari tangan
Fleksi falangs distal jari II dan III tangan
M. fleksor karpi radialis
M. pronator teres
M. palmaris longus
M. fleksor digitorum superfisialis
M. fleksor polisis longus
M. fleksor digitorum profundus (radial)
Saraf medianus
C5-C6
C5-C6
C7-T1
C7-T1
C6-C8
C7-T1
Abduksi metakarpal I
Fleksi falangs proksimal ibu jari tangan
Oposisi metakarpal I
M. abduktor polisis brevis
M. fleksor polisis brevis
M. oponens polisis brevis
C7-T1
C7-T1
C6-C7
Fleksi falangs proksimal dan ekstensi sendi lain
Fleksi falangs proksimal dan ekstensi sendi lain
Mm. lumbrikalis
Jari II dan III tangan
Jari IV dan V tangan
Saraf medianus
C8-T1
Saraf ulnaris
C8-T1
Fleksi dan pembengkokan ke arah ulnar jari tangan
Fleksi falangs proksimal jari tangan IV dan V
Aduksi metakarpal I
Abduksi jari tangan V
Oposisi jari tangan V
Fleksi jari V pada sendi metakarpofalangeal
Pembengkokan falangs proksimal, meregangkan jari tangan III, IV, dan V pada sendi tangan dan distal seperti juga gerakan membuka dan menutup jari-jari
M. fleksor karpi ulnaris
M. fleksor digitorum profundus (ulnar)
M. aduktor polisis
M. abduktus digiti V
M. oponens digiti V
M. fleksor digiti brevis V
Mm. interosei palmaris dan dorsalis
Mm. lumbrikalis III dan IV
Saraf ulnaris
C7-T1
C7-T1
C8-T1
C8-T1
C7-T1
Saraf ulnaris
C7-T1
C8-T1
Ekstensi siku
Fleksi siku
Ekstensi siku dan abduksi radial tangan
Ekstensi falangs proksimal jari II-IV
Ekstensi falangs proksimal jari V
Ekstensi dan deviasi ke arah ulnar dari tangan
Supinasi lengan bawah
Abduksi metakarpal I: ekstensi radial dari tangan
Ekstensi ibu jari tangan pada falangs proksimal
Ekstensi falangs distal ibu jari
Ekstensi falangs proksimal jari II
M. biseps brakhii dan M. ankoneus
M. brakhioradialis
M. ekstensor karpi radialis
M. ekstensor digitorum
M. ekstensor digiti V
M. ekstensor karpi ulnaris
M. supinator
M. abduktor polisis longus
M. ekstensor polisis brevis
M. ekstensor polisis longus
M. ekstensor indisis proprius
Saraf radialis
C6-C8
C5-C6
C6-C8
C6-C8
C6-C8
C6-C8
C5-C7
C6-C7
C7-C8
C7-C8
C6-C8
Elevasi iga; ekspirasi; kompresi abdomen; anterofleksi dan laterofleksi tubuh.
Mm. toracis dan abdominalis
N. toracis
T1-L1
Pleksus lumbalis T12-L4
Fleksi dan endorotasi pinggul
Fleksi dan endorotasi tungkai bawah
Ekstensi tungkai bawah pada tungkai lutut
M. iliopsoas
M. sartorius
M. quadriseps femoris
Saraf femoralis
L1-L3
L2-L3
L2-L4
Aduksi paha
Aduksi dan eksorotasi paha
M. pektineus
M. aduktor longus
M. aduktor brevis
M. aduktor magnus
M. grasilis
M. obturator eksternus
Saraf obturatorius
L2-L3
L2-L3
L2-L4
L3-L4
L2-L4
L3-L4
Pleksus sakralis L5-S1
Abduksi dan endorotasi paha
Fleksi tungkai atas pada pinggul; abduksi dan endorotasi
Eksorotasi paha dan abduksi
M. gluteus medius dan minimus
M. tensor fasia lata
M. piriformis
Saraf glutealis superior
L4-S1
L4-L5
L5-S1
Ekstensi paha pada pinggul,
Eksorotasi paha
M. gluteus maksimus
M. obturator internus
Mm. gemeli
M. quadratus
Saraf glutealis inferior
L4-S2
L5-S1
L4-S1
Fleksi tungkai bawah
M. biseps femoris
M. semitendinosus
M. semimembranosus
Saraf skiatikus
L4-S2
L4-S1
L4-S1
Dorsifleksi dan supinasi kaki
Ekstensi kaki dan jari-jari kaki
Ekstensi jari kaki II-V
Ekstensi ibu jari kaki
Ekstensi ibu jari kaki
M. tibialis anterior
M. ekstensor digitorum longus
M. ekstensor digitorum brevis
M. ekstensor halusis longus
M. ekstensor halusis brevis
Saraf peronealis profunda
L4-L5
L4-S1
L4-S1
L4-S1
L4-S1
Pengangkatan dan pronasi bagian luar kaki
Mm. peronei
Saraf peronealis superfisialis
L5-S1
Fleksi plantar dan kaki dalam supinasi,
Supinasi dan fleksi plantar dari kaki
M. gastroknemius
M. triseps surae
M. soleus
M. tibialis posterior
Saraf tibialis
L5-S2
L4-L5
Fleksi falangs distal jari kaki II-V (plantar fleksi kaki dalam supinasi)
Fleksi falangs distal ibu jari kaki
Fleksi jari kaki II-V pada falangs tengah
Melebarkan, menutup, dan fleksi falangs proksimal jari-jari kaki
M. fleksor digitorum longus
M. fleksor halusis longus
M. fleksor digitorum brevis
Mm. plantaris pedis
L5-S2
L5-S2
S1-S3
S1-S3
Menutup sfingter kandung kemih dan rectum
Otot-otot perinealis dan sfingter
Saraf pudendalis
S2-S4
Trauma Medulla Spinalis
Definisi Trauma Medulla Spinalis
Trauma medula spinalis merupakan keadaan patologi akut pada medula spinalis yang di akibatkan terputusnya komunikasi sensori dan motorik dengan susunan saraf pusat dan saraf parifer. Tingkat kerusakan pada medula spinalis tergantung dari keadaan atau inkomplet (Tarwato, 2007).
Trauma medulla spinalis merupakan kerusakan pada medulla spinalis yang disebabkan oleh trauma langsung atau tidak langsung pada medulla spinalis. Gangguan-gangguan yang terjadi akibat trauma medulla spinalis berupa gangguan fungsi-fungsi utama dari medulla spinalis, yaitu fungsi motorik, sensorik, autonom, dan reflek. Gangguan fungsi-fungsi utama medulla spinalis dapat terjadi komplet atau parsial (Jasajurnal, 2017).
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada daerah medula spinalis (Brunner & Suddaerth, 2008). Trauma medula spinalis dapat bervariasi dari trauma ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara mendadak sampai yang menyebabkan transeksi lengkap dari medula spinalis dengan quadriplegia (Fransiska B. Batticaca, 2008).
Pada trauma medula spinalis timbul perlukaan pada sumsum tulang belakang yang mengakibatkan perubahan, baik sementara atau permanen, perubahan fungsi motorik, sensorik, atau otonom. Pasien dengan cedera tulang belakang biasanya memiliki defisit neurologis permanen dan sering mengalami kecacatan (Lawrence, 2014).
Trauma medula spinalis bisa meliputi fraktur, kontusio, dan kompresi kolumna vertebra yang biasa terjadi karena trauma pada kepala atau leher. Kerusakan dapat mengenai seluruh medula spinalis atau terbatas pada salah satu belahan dan bisa terjadi pada setiap level (Kowalak, 2011).
Jadi, trauma medulla spinalis adalah kerusakan fungsi neurologis akibat trauma langsung atau tidak langsung pada medulla spinalis sehingga mengakibatkan gangguan fungsi sensorik, motorik, autonomi dan reflek.
Klasifikasi Trauma Medulla Spinalis
Menurut Batticaca (2008) trauma medula spinalis dapat diklasifikasi menjadi 2 macam, yaitu:
Cedera tulang
Stabil, bila kemapuan fragmen tulang tidak mempengaruhi kemapuan tulang untuk bergeser lebih jauh selain yang terjadi saat cedera. Komponen arkus neural intak serta ligamen yang menghubungkan ruas tulang belakang, terutama ligamen longitudinal posterior tidak robek.
Tidak Stabil, kondisi trauma menyebabkan adanya pergeseran tulang yang terlalu jauh sehingga cukup mapu untuk merobek ligamen longitudinal posterior serta merusak keutuhan arkus neural.
Cedera neurologis
Tanpa defisit neurologis
Disertai defisit neurologis
American Spinal Injury Association (ASIA) bekerjasama dengan Internasional Medical Society Of Paraplegia (IMSOP) telah mengembangkan dan mempublikasikan standart Internasional untuk klasifikasi fungsional dan neurologis cedera medula spinalis. Klasifikasi berdasarkan pada Frankel pada tahun 1969. Klasifikasi ASIA/IMSOP dipakai dibanyak negara karena sistem tersebut dipandang akurat dan komperhensif. Skala kerusakan menurut ASIA/IMSOP adalah sebagai berikut:
FRANKEL SCORE A: kehilangan fungsi motorik dan sensorik lengkap (complete loss).
FRANKEL SCORE B: fungsi motorik hilang, fungsi sensorik utuh.
FRANKEL SCORE C: fungsi motorik ada tetapi secara praktis tidak berguna (dapat menggerakkan tungkai tetapi tidak dapat berjalan).
FRANKEL SCORE D: fungsi motorik terganggu (dapat berjalan tetapi tidak dengan nomal "gait").
FRANKEL SCORE E: tidak terdapat gangguan neurologik.
Cedera umum medula spinalis dapat dibagi menjadi komplit dan Inkomplit berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan dibawah lesi. Terdapat 5 sindrom utama cedera medula spinalis inkomplit menurut American Spinal Cord Injury Association yaitu:
Nama Sindroma
Pola dari Lesi saraf
Kerusakan
Central Cord syndrome
Cedera pada posisi central dan sebagian daerah lateral.
Sering terjadi pada trauma daerah servikal
Menyebar ke daerah sacral.
Kelemahan otot ekstremitas atas lebih berat dari ekstermitas bawah.
Anterior Cord Syndrome
Cedera pada sisi anterior dan posterior dari medula spinalis.
Cedera akan menghasilkan gangguan medula spinalis unilateral
Kehilangan perioperatif dan kehilangan fungsi motorik secara ipsilateral
Brown Sequard Syndrome
Kerusakan pada anterior dari daerah putih dan abu-abu medula spinalis.
Kehilangan fungsi motorik dan sensorik secara komplit.
Cauda Equina Syndrome
Kerusakan pada posterior dari daerah putih dan abu-abu medula spinalis
Kerusakan proprioseptif diskriminasi dan getaran.
Fungsi motorik juga terganggu
Posterior Cord Syndrome
Kerusakan pada saraf lumbal atau sacral sampai ujung medulla spinalis
Kerusakan sensori dan lumpuh flaccid pada ekstremitas bawah dan kontrol berkemih dan defekasi
Cedera medulla spinalis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Complete injury
Complete injury atau cedera penuh mengakibatkan hilangnya fungsi sensorik dan motorik secara total dibawah level cedera. Terlepas dari mekanisme cedera, jenis cedera secara penuh ini bisa berupa diseksi atau robekan lengkap pada sumsum tulang belakang yang menghasilkan dua kondisi:
Tetraplegia
Cedera terjadi pada level C1 sampai dengan T1. Fungsi otot residual tergantung pada segmen servikal yang terpengaruh.
Paraplegia
Dikatakan paraplegia apabila terdapat kerusakan ataupun hilangnya fungsi sensorik dan motoric pada segmen thorakal, lumbar ataupun sacral (Kirshblum dkk, 2011).
Gambar. Klasifikasi Trauma Medula Spinalis
Incomplete injury
Apabila masih terdapat fungsi sensorik dan motorik yang masih dalam keadaan baik dibawah tingkat neurologis, termasuk pada segmen sacral S4-S5 (Kirshblum dkk, 2011).
Pola karakteristik cedera neurologis tertentu sering ditemukan pada pasien dengan cedera medulla spinalis. Pola-pola ini harus dikenali sehingga tidak membingungkan pemeriksa. Berdasarkan sindrom medulla spinalis, trauma medulla spinalis dikelompokkan sebagai berikut:
Complete transaction
Kondisi ini menyebabkan semua traktus di medulla spinalis terputus menyebabkan semua fungsi yang melibatkan medulla spinalis di bawah level terjadinya transection semua terganggu dan terjadi kerusakan permanen.
Secara klinis menyebabkan kehilangan kemampuan motorik berupa tetraplegia pada transeksi cervical dan paraplegia jika terjadi pada level thorakal. Terjadi flaksid otot, hilangnya refleks dan fungsi sensoris dibawah level trabsseksi. Kandung kemih dan susu atoni sehingga menyebabkan ileus paralitik. Kehilangan tonus vasomotor area tubuh dibawah lesi menyebabkan tekanan darah rendah dan tidak stabil. Kehilangan kemampuan perspirasi menyebabkan kulit kering dan pucat, juga terjadi gangguan pernapasan.
Gambar Complete Transection
Gambar. Paraplegia pada thoracal spinal transection; tetraplegia pada cervical spinal transcetio
Incomplete transaction : Central cord syndrome
Sindrom ini ditandai dengan hilangnya kekuatan motorik lebih banyak pada ekstremitas atas dibandingkan dengan ekstremitas bawah, dengan kehilangan sensorik yang bervariasi. Biasanya sindrom ini terjadi setelah adanya trauma hiperekstensi pada pasien yang telah mengalami kanalis stenosis servikal sebelumnya. Dari anamnesis didapatkanadanya riwayat jatuh kedepan dengan dampak pada daerah wajah. Dapat terjadi dengan atau tanpa fraktur tulang servikal atau dislokasi.
Gambar. Central cord syndrome.
Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah kelemahan yang lebih prominen pada ekstremitas atas dibanding ektremitas bawah. Pemulihan fungsi ekstremitas bawah biasanya lebih cepat, sementara pada ekstremitas atas (terutama tangan dan jari) sangat sering dijumpai disabilitas neurologic permanen. Hal ini terutama disebabkan karena pusat cedera paling sering adalah setinggi VC4-VC5 dengan kerusakan paling hebat di medulla spinalis C6 dengan lesi LMN.
Incomplete transection : Anterior Cord Syndrome
Sindrom ini ditandai dengan paraplegi dan kehilangan sensorik disosiasi dengan hilangnya sensasi nyeri dan suhu. Fungsi kolumna posterior (posisi, vibrasi, dan tekanan dalam) tetap bertahan. Biasanya anterior cord syndrome disebabkan infark pada daerah medulla spinalis yang diperdarahi oleh arteri spinalis anterior. Prognosis sindrom ini paling buruk dibandingkan cedera inklomplit lainnya. Kehilangan sensasi nyeri dan suhu pada level dibawah lesi tetapi sensoris terhadap raba, tekanan, posisi, dan getaran tetap baik
Gambar. Central cord syndrome.
Brown Sequard Syndrome
Sindrome ini terjadi akibat hemiseksi medulla spinalis, biasanya akibat luka tembus. Namun variasi gambaran klasik tidak jarang terjadi. Pada kasus murni, sindrom ini terdiri dari kehilangan sistem motorik ipsilateral (traktus kortikospinalis) dan hilangnya sensasi posisi (kolumna posterior), disertai dengan hilangnya sensasi suhu serta nyeri kontralateral mulai satu atau dua level di bawah level trauma (traktus spinothalamikus). Walaupun sindrom ini disebabkan trauma tembus langsung ke medulla spinalis, biasanya masih mungkin untuk terjadi perbaikan.
Kondisi ini terjadi parese ipsilateral di bawah level lesi disertai kehilangan fungsi sensoris sentuhan, tekanan, getaran dan posisi. Terjadi gangguan kehilangan sensoris nyeri dan suhu kontralatetal.
Gambar. Brown sequard syndrome.
Etiologi Trauma Medulla Spinalis
Trauma Medula Spinalis bisa disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah akibat trauma langsung yang mengenai tulang belakang dan melampaui batas kemampuan tulang belakang dala melindungi saraf-saraf yang ada di dalamnya. Trauma tersebut meliputi kecelakaan lalu lintas, kecelakaan industri, jatuh dari bangunan, pohon, luka tusuk, luka tembak dan terbentur benda keras (Muttaqin, 2008).
Trauma Medula Spinalis dibedakan menjadi 2 macam:
Cedera medula spinalis traumatik
Terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula spinalis. Cedera medula spinalis traumatic ditandai sebagai lesi traumatik pada medula spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau paralisis.
Cedera medula spinalis non traumatik
Terjadi ketika kondisi kesehatan seperti penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan.
Sedangkan menurut Baticaca, 2008 penyebab terjadinya trauma medula spinalis adalah sebagai berikut:
Kecelakaan di jalan raya (penyebab paling sering)
Olahraga
Menyelam pada air dangkal
Luka tembak atau luka tikam
Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medula spinalis seperti spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit yang mengakibatkan cedera progresif terhadap medula spinalis dan akar; mielitis akibat inflamasi infeksi maupun non-infeksi; osteoporosis yang disebabkan oleh fraktur kompresi pada vertebra; siringmielia; tumor infiltrasi maupun kompresi; dan penyakit vaskuler.
Faktor Resiko Trauma Medula Spinalis
Menurut Aryani (2008) dan Tarwoto (2007) faktor resiko yang menyebabkan terjadinya trauma medula spinalis adalah sebagai berikut:
Faktor Usia
Usia yang sudah memasuki masa lansia atau di atas 60 tahun akan cenderung mengalami proses penuaan, sehingga fungsi tulangnya juga menurun, hal ini dapat mengakibatkan trauma patologis pada medula spinalis.
Jenis Kelamin
Laki-laki lebih cenderung banyak yang terkena trauma medula spinalis karena faktor pekerjaan dan gaya hidup.
Alkohol
Alkohol dapat mengurangi kepadatan tulang dan mengakibatkan peningkatan fraktur, atau gangguan tulang lainnya yang akhirnya menyebabkan tulang belakang rentang terhadap trauma pada medula spinalis.
Merokok
Pada orang yang merokok proses pengeropoasan tulang tulang lebih cepat, dan tingkat fraktur vertebra pinggul dan lebih tinggi, di antara orang-orang yang merokok. Tembakau, nikotin, dan bahan kimia lain yang ditemukan dalam rokok mungkin langsung beracun ke tulang, atau mereka menghalangi penyerapan kalsium dan lain gizi yang diperlukan untuk kesehatan tulang. Sehingga tulang belakang juga sangat rentan terkena penyakit dan mudah terjadi trauma ketika mendapat benturan atau kecelakaan.
Minum Obat saat Berkendara
Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama cedera tulang belakang untuk orang dewasa, sementara jatuh adalah penyebab paling tinggi cedera pada orang dewasa yang sudah tua. Dengan meminum obat obatan dengan efek samping mengantuk, maka kesadaran seseorang akan menurun dan akan mengganggu konsentrasi dalam berkendara.
Penyakit Osteomyelitis dan Spondilitis TB
Pada penyakit osteomielitis dan spondilitis TB bisa terjadi komplikasi fraktur patologis. Hal ini terjadi pada keadaan osteomielitis vertebra yang akan menyebabkan kolaps vertebra dan kompresi medula spinalis. Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya cedera pada tulang belakang.
Patofisiologi Trauma Medulla Spinalis
Kerusakan yang dialami medula spinalis dapat bersifat sementara atau menetap akibat trauma terhadap tulang belakang. Medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medula spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa edema, perdarahan perivaskuler dan infark di sekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medula spinalis yang menetap, secara makroskopis, kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi, kontusio, laserasi dan pembengkakan daerah tertentu di medula spinalis.
Segera setelah terjadi kontusio atau robekan akibat cedera, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke substansi grisea medulla spinalis menjadi terganggu. Tidak hanya hal ini saja yang terjadi pada cedera pembuluh darah medula spinalis, tetapi proses patogenik dianggap menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cedera medula spinalis akut. Suatu rantai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulkan iskemia, hipoksia, edema, dan lesi-lesi hemoragi, yang pada gilirannya mengakibatkan kerusakan mielin dan akson. Reaksi sekunder ini, diyakini menjadi penyebab prinsip degenerasi medula spinalis pada tingkat cedera, sekarang dianggap reversibel 4 sampai 6 jam setelah cedera. Untuk itu jika kerusakan medula tidak dapat diperbaiki, maka beberapa metode mengawali pengobatan dengan menggunakan kortikosteroid dan obat-obat anti-inflamasi lainnya yang dibutuhkan untuk mencegah kerusakan sebagian dari perkembangannya,masuk kedalam kerusakan total dan menetap.
Manifestasi Klinis Trauma Medulla Spinalis
Menurut Towarto (2007) tanda dan gejala dari cedera medulla spinalis, yaitu:
Tergantung tingkat dan lokasi kerusakan
Hilangnya gerakan volunter, hilangnya sensasi nyeri, temperature, tekanan dan prospriosepsi, hilangnya fungsi bowel dan bladder dan hilangnya fungsi spinal dan reflex autonom. Batas cedera medulla spinalis, tanda dan gejala :
Tabel Manifestasi klinis sesaui radiks yang mengalami gangguan
Level Cedera Spinal
Fungsi Motorik
Refleks Tendon Profunda
Fungsi Sensorik
Fungsi Pernapasan
Fungsi Usus dan Kandung Kemih Volunter
C1-C4
Kuadriplegia: Hilangnya semua fungsi motorik dari leher ke bawah
Semuanya hilang
Hilangnya semua fungsi sensorik pada leher ke bawah (C4 mempersarafi klavikula)
Hilangnya fungsi pernapasan volunter (interkostal) dan involunter (frenik); dukungan ventilasi dan trakeostomi dibutuhkan
Tidak ada kendali usus atau kandung kemih
C5
Kuadriplegia: Hilangnya semua fungsi di bawah bahu atas
C5, C6
Hilangnya sensasi di bawah klavikula dan sebagaan besar bagian lengan, tangan, dada, abdomen dan ekstrimitas bawah.
Saraf frenik utuh, tetapi otot interkostal tidak utuh
Tidak ada kontrol usus atau kandung kemih
C6
Kuadriplegia: Hilangnya semua fungsi di bawah bahu dan lengan atas; penurunan kontrol siku, lengan bawah, dan tangan
C5, C6 brakioradialis
Hilangnya semua aspek pada lesi C5 tetapi sensasi lengan dan ibu jari lebih terasa
Saraf frenik utuh, tetapi otot interkostal tidak utuh
Tidak ada kontrol usus atau kandung kemih
C7
Kuadriplegia: hilangnya kontrol motorik pada bagian lengan dan tangan
C7, C8 trisep
Hilangnya sensasi di bawah klavikula dan bagian lengan serta tangan
Saraf frenik utuh, tetapi otot interkostal tidak utuh
Tidak ada fungsi usus atau kandung kemih
C8
Kuadriplegia: hilangnya kontrol motorik pada lengan dan tangan
Hilangnya sensasi di bawah dada dan bagain tangan
Saraf frenik utuh, tetapi otot interkostal tidak utuh
Tidak ada fungsi usus atau kandung kemih
T1-T6
Paraplegia: hilangnya setiap sensasi di bawah area dada, termasuk otot di batang tubuh
Hilangnya sensasi di bawah area dada tengah
Saraf frenik berfungsi mandiri. beberapa gangguan otot intercostal
Defekasi atau berkemih tidak berfungsi
T6-T12
Paraplegia: kehilangan kontrol motorik di bawah pinggang
Hilangnya setiap sensasi di bawah pinggang
Fungsi pernapasan tidak terganggu
Kontrol defekasi atau berkemih tidak berfungsi
L1-L3
Paraplegia: hilangnya sebagian besar kontrol tungkai dan pelvis
L2-L4 (sentakan lutut)
Hilangnya sensasi abdomen baah dan tungkai
Fungsi pernapasan tidak terganggu
Kontrol defekasi atau berkemih tidak ada
L3-S5
Paraplegia: inkomplet
Kontrol motorik segmental
L4-S1: abduksi dan rotasi internal pinggul, dorsifleksi pergelangan kaki dan inversi kaki
L5-S1: eversi kaki
L4-S2: fleksi lutut
S1-S2: fleksi plantar S1-S2: (sentakan pergelangan kaki)
S2-S5: kontrol usus/kandung kemih
S1-S2 (sentakan pergelangan kaki)
Saraf sensori lumbal menginervasi tungkai atas dan bawah
L5: aspek medial kaki
S1: aspek lateral kaki
S2: aspek posterior betis/paha
Saraf sensori sakral menginervasi tungkai bawah, kaki dan perineum
Fungsi pernapasan tidak terganggu
Kontrol defekasi atau berkemih mungkin terganggu
Segmen S2-S4 mengendalikan kontinensia urin
Segmen S3-S5 mengendalikan kontinensia feses (otot perianal)
Sumber: Patricia G. Morton. Keperawatan Kritis Vol. 2 Hal 1089-1093
Lokasi Fungsi Motorik dan Sensorik
Funsi Motorik
Funsi Sensorik
Lokasi
Fungsi
Lokasi
Area Sensasi
C1-C6
Fleksor Leher
C5
Deltoid
C1-T1
Ekstensor Leher
C6
Ibu jari
C3-C5
Diafragma
C7
Jari tengah
C5
Fleksor Siku
C8
Jari-jari
C6
Ekstensor pergelangan tangan
T4
Batas putting susu
C7
Ekstensor siku
T10
Umbilikus
C8
Fleksi pergelangan tangan
L5
Empu kaki
T1-T6
Interkosta otot dada
S1
Little toe
T7-L1
Otot abdomen
S2-S5
Perineum
L1-L4
Fleksi pinggul
L2-L4
Adduksi pinggul ekstensi lutu
L4-S1
Abduksi pinggul
Dorsofleksi kaki
L5-S2
Ekstensi pinggul
Plantar Fleksi kaki
L4-S2
Fleksi Lutut
Perubahan reflex
Setelah cedera medulla spinalis terjadi edema medulla spinalis sehingga stimulus reflex juga terganggu misalnya reflex pada bladder, aktivitas visceral, reflex ejakulasi.
Spasme otot
Gangguan spasme otot terutama terjadi pada trauma komplit transversal, dimana pasien terjadi ketidakmampuan melakukan pergerakan.
Spinal shock
Tanda dan gejala spinal shock meliputi flaccid paralisis dibawah garis kerusakan, hilangnya sensasi, hilangnya refleks-refleks spinal, hilangnya tonus vasomotor yang mengakibatkan tidak stabilnya tekanan darah, tidak adanya keringat dibawah garis kerusakan dan inkontinensia urin dan retensi feses.
Autonomic dysreflexia
Autonomic dysreflexia terjadi pada cidera thorakal enam ke atas, dimana pasien mengalami gangguan refleks autonom seperti terjadinya bradikardi, hipertensi paroksimal, distensi bladder.
Gangguan fungsi seksual
Banyak kasus memperlihatkan pada laki-laki adanya impotensi, menurunnya sensasi dan kesulitan ejakulasi. Pasien dapat ereksi tetapi tidak dapat ejakulasi.
Pemeriksaan Diagnostik Trauma Medulla Spinalis
Pemeriksaan neurologis lengkap secara teliti segera setelah pasien tiba di rumah sakit
Pemeriksaan tulang belakang: deformasi, pembengkakan, nyeri tekan, gangguan gerakan(terutama leher)
Pemerikaan radiologis: foto polos vertebra AP dan lateral. Pada servikal diperlukan proyeksi khusus mulut terbuka (odontoid).
Sinar X spinal
Menentukan lokasi dan jenis Trauma tulan (fraktur, dislokasi), untuk kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.
Foto rontgen thorak, memperlihatkan keadan paru (contoh: perubahan pada diafragma, atelektasis)
Bila hasil meragukan lakukan CT-Scan,bila terdapat defisit neurologi harus dilakukan MRI atau mielografi.
CT-Scan
Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural
MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor putologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).
Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vital, volume tidal): mengukur volume inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot interkostal).
GDA: Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi
Serum kimia, adanya hiperglikemia atau hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, kemungkinan menurunnya Hb dan Hmt.
Urodinamik, proses pengosongan bladder.
Penatalaksanaan Trauma Medulla Spinalis
Prinsip penatalaksanaan medik trauma medula spinalis adalah sebagai berikut:
Segera dilakukan imobilisasi.
Stabilisasi daerah tulang yang mengalami cedera seperti dilakukan pemasangan collar servical, atau dengan menggunakan bantalan pasir.
Mencegah progresivitas gangguan medula spinalis misalnya dengan pemberian oksigen, cairan intravena, pemasangan NGT.
Terapi pengobatan:
Kortikosteroid seperti dexametason untuk mengontrol edema.
Antihipertensi seperti diazolxide untuk mengontrol tekanan darah akibat autonomic hiperrefleksia akut.
Kolinergik seperti bethanechol chloride untuk menurunkan aktifitas bladder.
Anti depresan seperti imipramine hyidro chklorida untuk meningkatkan tonus leher bradder.
Antihistamin untuk menstimulus beta – reseptor dari bladder dan uretra.
Agen antiulcer seperti ranitidine
Pelunak fases seperti docusate sodium.
5. Tindakan operasi, di lakukan dengan indikasi tertentu seperti adanya fraktur dengan fragmen yang menekan lengkung saraf.
6. Rehabilisasi di lakukan untuk mencegah komplikasi, mengurangi cacat dan mempersiapkan pasien untuk hidup di masyarakat.
Algoritma Medula Spinal
Algoritma Spinal Cord Injury menurut U.S National Library of Medicine. National Institute of Health.
Komplikasi Medulla Spinalis
Komplikasi yang dapat terjadi pasca cedera medula spinalis antara lain yaitu instabilitas dan deformitas tulang vertebra, fraktur patologis, syringomyelia pasca trauma, nyeri dan gangguan fungsi seksual. Komplikasi lain yang bisa terjadi yaitu:
Neurogenik shock
Hipoksia
Instabilitas spinal
Ileus paralitik
Infeksi saluran kemih
Kontraktur
Dekubitus
Konstipasi
Prognosis Trauma Medulla Spinalis
Sebuah penelitian Gaus, Syafruddin, dkk membuktikan bahwa kurang dari 5% pasien dengan cedera medulla spinalis yang komplit dapat sembuh. Jika paralisis komplit bertahan sampai 72 jam setelah cedera, kemungkinan pulih adalah 0%. Prognosis lebih baik pada cedera medulla spinalis yang tidak komplit. Jika masih terdapat beberapa fungsi sensorik, peluang untuk bisa berjalan kembali adalah lebih dari 50%. Sembilan puluh persen pasien cedera medulla spinalis dapat kembali ke rumah dan mandiri.
Perbaikan fungsi motorik, sensorik dan otonom dapat kembali dalam 1 minggu sampai 6 bulan pasca cedera. Kemungkinan pemulihan spontan menurun setelah 6 bulan. Bila terjadi pergerakan penderita pada cedera yang tidak stabil maka akan mempengaruhi medulla spinalis sehingga memperberat kerusakan.1,5,16 Ditinjau dari cedera medulla spinalisnya, prognosis pasien ini adalah baik, karena terjadi cedera yang inkomplit.
Pencegahan Trauma Medulla Spinalis
Faktor –faktor resiko dominan untuk cedara medulla spinalis meliputi usia, jenis kelamin, dan penyalahgunaan obat. Frekuensi factor resiko ini dikaitkan dengan cedera medulla spinalis bertindak untuk menekankan pentingnya pencegahan primeruntuk mencegah kerusakan dan bencana cedera ini, langkah – langkah berikut perlu dilakukan:
Menurunkan kecepatan berkendara.
Menggunakan sabuk pengaman.
Menggunakan helm untuk pengendara motor dan sepeda.
Mencegah jatuh.
Menggunakan alat – alat pelindung dan teknik latihan.
Syok Spinal
Definisi Syok Spinal
Spinal Shock (syok spinal) merupakan kehilangan aktifitas otonom, refleks, motorik, dan sensorik pada daerah di bawah tingkat terjadinya cedera medula spinalis. Syok Spinal terjadi sekunder akibat kerusakan pada medula spinalis (Kowalak, 2011).
Spinal shock/syok pada medula spinalis adalah keadaan disorganisasi fungsi medula spinalis yang fisiologis dan berlangsung untuk sementara waktu, keadaan ini timbul segera setelah cedera dan berlangsung dari beberapa jam hingga beberapa minggu. Syok spinal juga diketahui sebagai syok neurogenik adalah akibat dari kehilangan tonus vasomotor yang mengakibatkan dilatasi vena dan arteriol umum. Syok ini menimbulkan hipotensi, dengan penumpukan darah pada pembuluh penyimpan atau penampung dan kapiler organ splanknik. Tonus vasomotor dikendalikan dan dimediasi oleh pusat vasomotor di medulla dan serat simpatis yang meluas ke medulla spinalis sampai pembuluh darah perifer secara berurutan. Karenanya kondisi apapun yang menekan fungsi medulla atau integritas medulla spinalis serta persarafan dapat mencetuskan syok neurogenik/syok spinal (Tambayong, 2000).
Jadi, syok spinal adalah kerusakan medulla spinalis sekunder yang menyebabkan kehilangan aktifitas otonom, reflex, motoric, dan sensorik pada daerah di bawah tingkat terjadinya medulla spinalis.
Etiologi Syok Spinal
Neurogenik syok disebabkan oleh beberapa faktor yang menganggu CNS. Masalah ini terjadi akibat transmisi impuls yang terhambat dan hambatan hantaran simpatik dari pusat vasomotor pada otak. Dan penyebab utamanya adalah SCI . Syok neurogenik keliru disebut juga dengan syok tulang belakang. kondisi berikutnya mengacu pada hilangnya aktivitas neurologis dibawah tingkat cedera tulang belakang, tetapi tidak melibatkan perfusi jaringan tidak efektif.
Tipe syok ini bisa disebabkan oleh banyak faktor yang menstimulasi parasimpatik atau menghambat stimulasi simpatik dari otot vaskular. Trauma pada syaraf spinal atau medulla dan kondisi yang mengganggu suplai oksigen atau gulokosa ke medulla menyebabkan syok neorogenik akibat gangguan aktivitas simpatik. Obat penenang, anestesi, dan stres hebat beserta nyeri juga merupakan penyebab lainnya.
Patofisiologi Syok Spinal
Terjadinya syok spinal biasanya diawali dengan adanya trauma pada spinal. Syok spinal merupakan hilangnya reflek pada segmen atas dan bawah lokasi terjadinya cedera pada medulla spinalis. Reflek yang hilang antara lain reflek yang mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan usus, tekanan darah, dan suhu tubuh. Hal ini terjadi akibat hilangnya muatan tonik secara akut yang seharusnya disalurkan melalui neuron dari otak untuk mempertahankan fungsi reflek. Ketika syok spinal terjadi akan mengalami regresi dan hiperrefleksia ditandai dengan spastisitas otot serta reflex pengosongan kandung kemih dan usus (Corwin, 2009). Syok spinal akan menimbulkan hipotensi, akibat penumpukan darah pada pembuluh darah dan kapiler organ splanknik. Tonus vasomotor di medula dan saraf simpatis yang meluas ke medula spinalis sampai pembuluh darah perifer secara berurutan. Kerena itu kondisi yang menekan fungsi medula atau integritas medula spinalis serta persarafan akan mengakibatkan syok neurogenik (Tambayong, 2000).
Syok spinal adalah kombinasi dari arefleksia / hiporefleksia dan disfungsi otonom yang menyertai cedera tulang belakang. Hiporefleksia diawali dengan hilangnya refleks cutaneus dan reflek tendon dalam (deep tendon reflexes) disertai dengan hilangnya aliran simpatis, mengakibatkan hipotensi dan bradikardia. Refleks umumnya kembali dalam pola tertentu, dengan refleks cutaneus umumnya kembali sebelum refleks tendon dalam (Silver,2000).
Ko et AL telah dijelaskan pola tertentu kembalinya refleks dan yang pertama kembali adalah Delayed Plantar Reflex (DPR), diikuti oleh bulbocavernosis (BC) dan cremasteric reflex (CR), dan akhirnya reflek pergelangan kaki dan lutut (AJ, KJ). Bulbocavernosous reflex (BCR) diperiksa untuk menentukan akhir dari syok spinal. Menarik pada kateter Foley juga dapat menimbulkan Bulbocavernosous reflex (BCR) (Ko et Al,2000). Hal ini biasanya kembali 1 sampai 3 hari setelah cedera. Terdapat 4 fase shok spinal yaitu:
Fase I: areflexia/hyporeflexia (0–1 hari)
Fase pertama terjadi 0-24 jam setelah cedera. Bila SCI (Spinal Cord Injury) Complete, diawali dengan hilangnya DTR(deep tendon reflexes) seperti ankle jerk (AJ) atau refleks Achilles dan knee jerk (KJ) atau refleks patella disertai otot yang lemah dan lumpuh. Selama periode ini reflek cutenous (polysynaptic) mulai pulih seperti bulbocavernosus (BC), Anal Wink (AW), dan cremasteric (CM). Refleks patologis, Delayed Plantar Response (DPR) yang pertama kembali dan dapat diamati setelah beberapa jam setelah cedera. Saat terjadi SCI, rangsangan menjadi hilang dan neuron spinal menjadi tidak terangsang. Ini merupakan penyebab utama depresi refleks selama syok spinal. Refleks depresi mungkin juga karena peningkatan penghambatan tulang belakang. Hiperpolarisasi lumbar neuron motorik dan interneuron kemudian kurang merespon untuk refleks input segmental. Secara klinis, ini adalah hiporefleksia syok spinal. Hiporefleksia diamati dengan lesi di bawah level mid-pons; lesi di atas tingkat ini menghasilkan kekakuan deserebrasi. hiporefleksia shock spinal, bagaimanapun, segera muncul setelah SCI. Jadi, meskipun perubahan metabolik dan struktural dapat berkontribusi untuk awal hiporefleksia, ini mungkin bukan penyebab utama.
Fase 2 initial reflex return (1–3 hari)
Fase ini syok spinal berlangsung selama 1-3 hari postinjury. Refleks cutaneous (BC, AW, dan cremasteric) menjadi lebih kuat selama periode ini. Biasanya, DTR masih tidak ada. Pada fase ini akan terjadi mekanisme denervasi supersensitivity yang meliputi: (1) mengurangi rangsang neurotransmitter reuptake, (2) peningkatan sintesis dan masuknya reseptor dalam membran postsinaps (3) menurunkan pelepasan danpenurunan reseptor, dan (4) mengubah sintesis dan komposisi subunit reseptor.
Fase 3 early hyper-reflexia (4 hari-1 bulan)
Kebanyakan DTR pertama muncul kembali selama periode ini. AJ biasanya kembali lebih dulu daripada KJ dan tanda Babinski. Refleks cutaneous (BC, AW, dan CM) biasanya muncul pada akhir periode ini. Meskipun pada umumnya, waktu pengembalian refleks bervariasi bahkan setelah SCI complete karena perbedaan rangsangan refleks antara subyek. Fungsi otonom terus berkembang dengan membaiknya saraf vagus dimediasi bradiaritmia dan hipotensi. Disrefleksia otonom dapat mulai muncul. Hal ini biasanya disebabkan oleh viskus membesar (misalnya, kandung kemih atau usus) bertindak sebagai stimulus menyebabkan aliran simpatis masif di bawah zona cedera, yang tidak diatur oleh Input supraspinal.
Fase 4 spasticity/hyper-reflexia (1–12 bulan)
Tahap keempat syok spinal terjadi antara 1 dan 6 bulan pasca cedera. DPR telah menghilang di sebagian besar kasus. Refleks kulit, DTR, dan BS menjadi hiperaktif dan menanggapi rangsangan minimal. Vasovagal hipotensi dan bradiaritmia diselesaikan dalam 3-6 minggu. Kemudian 4 hari-4 minggu pertumbuhan sinaps, akson pendek dan / atau akson disediakan. Setelah itu 1-12 bulan pertumbuhan sinaps, akson panjang dan soma disediakan. (Ditunno, Little, Tessler, & Burns, 2004)
Tabel Mekanisme 4 Fase Syok Spinal (Ditunno et al., 2004)
Manifestasi Klinis Syok Spinal
Hilangnya sensasi,control motorik, dan reflek dibawah cedera. Suhu didalam tubuh akan menggambarkan suhu yang ada di lingkungan, kemudian tekanan darah akan menurun. Sedangkan frekuensi denyut nadi sering normal akan tetapi tetap disertai tekanan darah yang selalu rendah (Corwin, 2009).
Penatalaksanaan Syok Spinal
Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien dengan kondisi shock spinal adalah sebagai berikut:
Imobilisasi pasien untuk mencegah semakin beratnya cedera medulla spinalis atau kerusakan tambahan
Kolaborasi tindakan pembedahan untuk mengurangi tekanan pada medulla spinalis akibat terjadinya trauma yang dapat mengurangi disabilitas jangka panjang.
Pemberian steroid dosis tinggi secara cepat (satu jam pertama) untuk mengurangi pembengkakan dan inflamasi medulla spinalis serta mengurangi luas kerusakan permanen.
Fiksasi kolumna vertebralis melalui tindakan pembedahan untuk mempercepat dan mendukung proses pemulihan.
Terapi fisik diberikan setelah kondisi pasien stabil.
Penyuluhan dan konseling mengenai komplikasi jangka panjang seperti komplikasi pada kulit, system reproduksi, dan system perkemihan dengan melibatkan anggota keluarga (Corwin, 2009).
Sedangkan menurut Batticaca dan Fransisca B (2008) penatalaksanaan syok spinal yaitu :
Lakukan kompresi manual untuk mengosongkan kandung kemih secara teratur agarmencegah terjadinya inkontinensia overfloe dan dribbling.
Lakukan pengosongan rectum dengan cara tambahkan diet tinggi serat, laksatif, supposutoria, enema untuk BAB atau pengosomngan secara teratur tanta terjai inkontinensia.
Menurut Baughman (2000) penatalaksanaan yang diberikan pada pasien yang mengalami shock spinal adalah:
Gunakan dekompresi intestinal untuk mengatasi distensi usus dan paralitik ileus yang disebabkan oleh depresi refleks.
Berikan pengamatan ketat pada pasien yang tidak berkeringan pada bagian tubuh yang mengalami paralisis dan untuk deteksi dini awitan demam mendadak
Sanggah dan pertahankan ketahanan tubuh sampai syok spinal menghilang dan sistem telah pulih akibat serangan traumatik (3-6 minggu)
Berikan perhatian khusus pada sistem pernapasan (kemungkinan tekanan intratorakal tidak mencukupi untuk menghasilkan batuk secara efektif
Berikan terapi fisik dada dan penghisapan untuk membantu membersihkan sekresi pernapasan.
Pantau komplikasi pernapasan (gagal pernapasan, pneumonia)
Pantau terhadap hiperefleksia (ditandai dengan sakit kepala berdenyut, banyak berkeringat, hidung tersumbat, piloereksi atau bulu kuduk berdiri, bradikardia, hipertensi)
Pertahankan pengawasan konstan terhadap tanda dan gejala luka dekubitus dan infeksi (perkemihan, pernapasan, infeksi setempat pada tempat pin)
Amati terhadap trombosis vena dalam, yakni embolisme pulmonal. Gejala-gejalanya termasuk nyeri dada pleuritik, ansietas, sesak napas, dan nilai gas darah abnormal.
Berikan terapi antikoagulan dosis rendah untuk mencegah TVD dan EP
Gunakan stoking elastis setinggi paha atau alat kompresi pneumatik.
Pasien shock spinal harus dirawat di tempat ICU, karena banyak komplikasi diperkirakan timbul. Pengobatan metilprednison kontroversial dengan beberapa percobaan menunjukkan manfaat sederhana dan beberapa efek samping lainnya menunjukkan efek samping yang lebih negatif daripada manfaat. Sebaiknya, jika pasien muda dan tidak memiliki banyak penyakit mendasar yang dapat diperburuk dengan penggunaan steroid, percobaan singkat methylprednisone harus dimulai dimulai dengan dosis pemuatan 30 mg / kg diikuti dengan dosis pemeliharaan 5 mg / kg / jam untuk 24 jam ke depan. Syok neurogenik biasanya terjadi dengan lesi di atas tingkat T6. Tetes norepinephrine dan penggunaan atropin yang sesuai untuk bradikardia harus menjadi bagian dari pengobatan awal. Akhirnya, dalam beberapa hari hipotensi membaik, dan infus intravena (IV) harus sedikit diturunkan. Dengan cedera serviks tinggi, fungsi diafragma akan terganggu, dan pasien ini akan memerlukan trakeotomi dini karena mereka akan tergantung pada ventilator. Trombosis vena dalam sangat tinggi pada pasien ini. Profilaksis harus dimulai sesegera mungkin dalam beberapa hari setelah cedera. Manajemen jangka panjang pasien cedera syaraf tulang belakang selalu membutuhkan penanganan tim multidisipliner antara berbagai layanan. Sekitar 60% pasien ini akan memerlukan stabilisasi tulang belakang dengan intervensi bedah, dan ahli bedah saraf atau ahli ortopedi harus dikonsultasikan lebih awal. Terakhir, mempertahankan tidak mengembangkan tukak tekanan (Ziu & Fasil, 2017).
Algoritma spinal shock
Komplikasi Syok Spinal
Henti nafas karena kompresi saraf frenikus diantara C3 dan C5 akibat kerusakan dan pembengkakan pada area cedera.
Hiperrefleksia otonom ditandai dengan tekanan darah yang tinggi disertai bradikardi, serta berkeringat dan kemerahan pada kulit wajah.
Cedera yang lebih berat akan mempengaruhi system tubuh, hal ini dapat mengakibatkan terjadinya infeksi pada ginjal dan saluran kemih, kerusakan kulit hingga terjadi dekubitus, danterjadi atrofi pada otot.
Depresi, stress pada keluarga dan pernikahan, kehilangan pendapatan, serta biaya medis yang besar sebagai respon dari psikososial (Corwin, 2009).
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
Trauma Medulla Spinalis adalah kerusakan fungsi neurologis akibat trauma langsung atau tidak langsung pada medulla spinalis sehingga mengakibatkan gangguan fungsi sensorik, motorik, autonomi dan reflek. Sedangkan syok spinal adalah kerusakan medulla spinalis sekunder yang menyebabkan kehilangan aktifitas otonom, reflex, motoric, dan sensorik pada daerah di bawah tingkat terjadinya medulla spinalis.
Baik trauma medulla spinal dan syok spinal keduanya membutuhkan penanganan yang tepat. Perawat mempunyai peran penting dalam tindakan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif dalam kasus trauma medulla spinalis dan syok spinal.
Saran
Bagi petugas pelayanan kesehatan lebih memperhatikan klien dengan kasus trauma medulla spinalis dan syok spinal untuk mencegah komplikasi dari kedua kasus tersebut serta menurunkan angka kematian disebabkan oleh trauma medulla spinalis ataupun syok spinal.
DAFTAR PUSTAKA
Doengoes, M. E. 1999.Rencana Asuham Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC
Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku Untuk Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC.
Tambayong, J. 2000. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Tarwoto, dkk. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Sagung Seto.
Batticaca, B Fransisca. 2008. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.Brunner & Suddath. 2001. Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.
Akhyar, Yayan. 2009. Traktus Spinotalamikus: Files of DrsMed FK UNRI, (Online) http://www.yayanakhyar.co.nr diakses tanggal 24 Februari 2018
Kowalak, Jennifer P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Kirshblum, steven dkk. 2011. International standards for neurological classification of spinal cord injury. Diakses dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3232636/pdf/scm-34-535.pdf
Tidy, C. 2014. Spinal Cord Injury and Compression. EMIS Egton Medical Information System.
Lawrence S Chin, Robert B and Molly G King Endowed. 2014. Spinal Cord Injuries. Medscape Medical News.(Online), http://emedicine.medscape.com/article/793582, diakses tanggal 24 Februari 2018.
Jasajurnal. 2017. Diagnosis dan Tatalaksana Trauma Medulla Spinalis, (Online) http://www.jasajurnal.com/diagnosis-dan-tatalaksana-trauma-medulla-spinalis/, diakses tanggal 24 Februari 2018
Ziu, Endrit & Fassil B. Mesfin. 2017. Spinal Shock. Columbia: NCB