MAKALAH AGAMA TENTANG
PENYIMPANGAN AQIDAH DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Oleh Kelompok 2 : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Dian Wahyu P. Diana Dwi A. Dwi Retno A. Eka Dwi Endah S. Elvira R. Erlina
(08) (09) (10) (11) (12) (13) (14)
Kelas 1a
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADYAH PONOROGO 2011
KATA PENGANTAR
Syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah rahmat dan hidayahnya kepada kita untuk
menyeleasaiakan makalah yang berjudul “Penyimpangan Aqidah Dalam Perspektif Islam ” dengan lancar. Dalam pembuatan makalah ini, kami mendapat bantuan dari berbagai pihak, yaitu : 1. Dosen pembimbing, yaitu Ibu Susanti. 2. Orang tua kami yang telah memberikan bantuan dengan moril dan materiil. 3. Teman-teman yang memberikan dukungan kepada kami. Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharap saran dan kritik dari pembaca yang bersifat membangun sangat kami harapkan . Dengan tersusunnya maklah ini semoga dapat bagi kami sendri maupun para pembacanya. Atas perhatian yang diberikan, kami mengucapkan terima kasih.
Ponorogo, 20 April 2011
Penyusun
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Nilai suatu ilmu ditentukan oleh kandungan ilmu tersebut. Semakin besar nilai manfaatnya, semakin penting ilmu tersebut untuk dipelajari. Ilmu yang paling utama adalah ilmu yang mengenalkan kita kepada Allah SWT, Sang Pencipta. Sehingga orang yang tidak kenal Allah SWT adalah orang yang bodoh, karena tidak ada orang yang lebih bodoh dari pada orang yang tidak mengenal penciptanya. Allah menciptakan manusia dengan seindah-indahnya dan selengkap- lengkapnya bentuk dibanding dengan makhluk/ciptaan yang lain. Kemudian Allah bimbing mereka dengan mengutus para Rasul-Nya (menurut hadits yang disampaikan Abu Dzar bahwa jumlah para Nabi sebanyak 124.000 orang, namun jumlah yang sebenarnya hanya Allah saja yang mengetahuinya), semuanya menyerukan kepada tauhid (diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam At Tarikhul Kabir 5/447 dan Ahmad dalam Al Musnad 5/178-179). Sementara dari jalan sahabat Abu Umamah disebutkan bahwa jumlah para Rasul 313 (diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Maurid 2085 dan Ath- Thabrani
dalam Al Mu‟jamul Kabir 8/139) agar
mereka berjalan sesuai dengan kehendak Sang Pencipta melalui wahyu yang dibawa oleh Sang Rasul. Orang yang menerima disebut mukmin, orang yang menolaknya disebut kafir serta orang yang ragu-ragu disebut munafik yang merupakan bagian dari kekafiran. Begitu pentingnya aqidah ini, sehingga Nabi Muhammad Saw, penutup para Nabi dan Rasul membimbing umatnya selama 13 tahun ketika berada di Makkah dengan menekankan masalah aqidah ini, karena aqidah adalah landasan semua tindakan, bahkan merupakan landasan bangunan Islam. Oleh karena itu, maka para dai dan para pelurus agama dalam setiap masa selalu memulai dakwah mereka dengan tauhid dan pelurusan aqidah sebelum
mereka mengajak kepada perintah-perintah agama yang lain. Bahkan para Nabi dan Rasul sebelum Rasulullah juga menyerukan hal yang sama dalam dakwah-dakwah mereka kepada umatnya. Hal ini seperti firman Allah dalam Al Quran surat An Nahl ayat 36
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), „Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut1 itu‟,…” (QS. An Nahl: 36) Dan surat Al A'raaf ayat 59, 65, 73 dan 85
“Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali
tak ada Tuhan bagimu selain- Nya.” (QS. Al A'raaf: 59, 65, 73, 85)
Aqidah berasal dari kata „aqd yang berarti pengikatan. „Aqd berarti juga janji, ikatan (kesepakatan) antara dua orang yang mengadakan perjanjian. Aqidah secara definisi adalah suatu keyakinan yang mengikat hati manusia dari segala keraguan. Aqidah dalam istilah umum yaitu keimanan yang mantap dan hukum yang tegas, yang tidak dicampur keraguraguan terhadap orang yang mengimaninya. Ini adalah aqidah secara umum, tanpa memandang aqidah tersebut benar atau salah. Aqidah secara terminology adalah sesuatu yang mengharuskan hati membenarkannya, membuat jiwa tenang, dan menjadi kepercayaan yang
bersih dari kebimbangan dan keraguan. Aqidah menurut syara‟ berarti iman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya dan kepada Hari Akhir, serta kepada qadar dan qadha, baik takdir yang baik maupun yang buruk. Aqidah tersebut dalam tubuh manusia ibarat kepalanya. Maka apabila suatu umat sudah rusak, bagian yang harus direhabilitasi adalah aqidahnya terlebih dahulu. Di sinilah pentingnya aqidah ini, apalagi ini menyangkut kebahagiaan dan keberhasilan dunia dan akhirat. Aqidah merupakan kunci kita menuju surga. Aqidah juga menjadi dasar dari seluruh hukum-hukum agama yang berada di atasnya. Aqidah Islam adalah tauhid, yaitu mengesakan Tuhan yang diungkapkan dalam syahadat pertama. Sebagai dasar, tauhid memiliki implikasi
terhadap seluruh aspek kehidupan keagamaan seorang Muslim, baik ideologi, politik, sosial, budaya, pendidikan dan sebagainya. Aqidah sebagai dasar utama ajaran Islam bersumber pada Al Quran dan sunnah Rasul. Aqidah Islam mengikat seorang Muslim sehingga ia terikat dengan segala aturan hukum yang datang dari Islam. Oleh karena itu, menjadi seorang Muslim berarti meyakini dan melaksanakan segala sesuatu yang diatur dalam ajaran Islam, seluruh hidupnya didasarkan kepada ajaran Islam. Hal ini seperti yang tersebut dalam Al Quran surat Al Baqarah ayat 208,
yang berbunyi “Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam keseluruhannya dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata
bagimu.” (QS. Al Baqarah: 208)
B. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Aqidah Aqidah Secara Etimolo gi
Aqidah berasal dari
kata „aqd yang berarti pengikatan. Kalimat “Saya ber -i‟tiqad begini”
maksudnya: saya mengikat hati terhadap hal tersebut.
Aqidah adalah apa yang diyakini oleh seseorang. Jika dikatakan “Dia mempunyai aqidah yang benar” berarti aqidahnya bebas dari keraguan.Aqidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu.
Aqidah Secara Syara’
Yaitu iman kepada Allah, para MalaikatNya, Kitab
– kitabNya, para RasulNya dan
kepada Hari Akhir serta kepada qadar yang baik maupun yang buruk.Hal ini disebut juga sebagai rukun iman.
Syari‟at terbagi menjadi dua: i‟tiqadiyah dan amaliyah. I‟tiqadiyah adalah hal-hal yang tidak berhubungan dengan tata cara amal. Se perti i‟tiqad (kepercayaan) terhadap rububiyah Allah dan kewajiban beribadah kepadaNya, juga beri‟tiqad terhadap rukun-rukun iman yang lain. Hal ini disebut ashliyah (pokok agama). (1) Sedangkan amaliyah adalah segala apa yang berhubungan dengan tata cara amal. Seperti shalat, zakat, puasa dan seluruh hukum- hukum amaliyah. Bagian ini disebut far‟iyah (cabang agama), karena ia di bangun di
atas i‟tiqadiyah. Benar dan rusaknya amaliyah tergantung dari
benar dan rusaknya i‟tiqadiyah. Maka aqidah yang benar adalah fundamen bagi bangunan agama serta merupakan syarat
sahnya amal. Sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta‟ala: “Barangsiapa mengharap
perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhan nya.”
(Al-Kahfi:
110)
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang- orang yang merugi.” (Az-Zumar: 65)
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta‟atan kepada-Nya.Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik).” (Az-Zumar: 2-3) Ayat-ayat di atas dan yang senada, yang jumlahnya banyak, menunjukkan bahwa segala amal tidak diterima jika tidak bersih dari syirik. Karena itulah perhatian Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam yang pertama kali adalah pelurusan aqidah. Dan hal pertama yang didakwahkan para rasul kepada umatnya adalah menyembah Allah semata dan meninggalkan segala yang dituhankan selain Dia.
Sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta‟ala: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap- tiap
umat (untuk menyerukan): „Sembahlah Allah (saja), dan
jauhilah Thaghut itu‟, …” (An-Nahl: 36) Dan setiap rasul selalu
mengucapkan pada awal dakwahnya: “Wahai kaumku sembahlah
Allah, sekali- kali tak ada tuhan bagimu selainNya.” (Al-A‟raf: 59, 65, 73, 85)
Pernyataan tersebut diucapkan oleh Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu‟aib dan seluruh rasul. Selama 13 tahun di Makkah -sesudah bi‟tsah- Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam mengajak manusia kepada tauhid dan pelurusan aqidah, karena hal itu merupakan landasan bangunan
Islam. Para da‟i dan para pelurus agama dalam setiap masa telah mengikuti jejak para rasul
dalam berdakwah. Sehingga mereka memulai dengan dakwah kepada tauhid dan pelurusan aqidah, setelah itu mereka mengajak kepada seluruh perintah agama yang lain.
B. Sunber – Sumber Aqidah
Aqidah adalah tauqifiyah. Artinya, tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil syar‟i, tidak ada medan ijtihad dan berpendapat di dalamnya. Karena itulah sumber-sumbernya terbatas kepada apa yang ada di dalam Al- Qur‟an
dan As-Sunnah. Sebab tidak seorang pun yang
lebih mengetahui tentang Allah, tentang apa-apa yang wajib bagiNya dan apa yang harus disucikan dariNya melainkan Allah sendiri. Dan tidak seorang pun sesudah Allah yang lebih mengetahui tentang Allah selain Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam. Oleh karena itu manhaj Salafus Shalih dan para pengikutnya dalam mengambil aqidah terbatas pada Al- Qur‟an
dan As-Sunnah. Maka segala apa yang ditunjukkan oleh Al- Qur‟an
dan As-Sunnah tentang hak Allah mereka mengimaninya, meyakininya dan mengamalkannya. Sedangkan apa yang tidak ditunjukkan oleh Al- Qur‟an dan As-Sunnah mereka menolak dan menafikannya dari Allah. Karena itu tidak ada pertentangan di antara mereka di
dalam i‟tiqad.Bahkan aqidah mereka adalah satu dan jama‟ah mereka juga satu. Karena Allah sudah menjamin orang yang berpegang teguh dengan Al- Qur‟an
dan
Sunnah RasulNya dengan kesatuan kata, kebenaran aqidah dan kesatuan manhaj. Allah
Subhannahu wa Ta‟ala berfirman: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, …” (Ali Imran: 103) “Maka jika datang kepadamu petunjuk daripadaKu, lalu barangsiapa yang mengikut petunjukKu, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (Thaha: 123)
Karena itulah mereka dinamakan firqah najiyah (golongan yang selamat). Sebab Rasulullah telah bersaksi bahwa merekalah yang selamat, ketika memberitahukan bahwa umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan yang kesemuanya di Neraka, kecuali satu
golongan. Ketika ditanya tentang yang satu itu, beliau menjawab: “Mereka adalah orang yang berada di atas ajaran yang sama dengan ajaranku pada hari ini, dan para sahabatku.” (HR. Ahmad) Kebenaran sabda baginda Rasul Shallallaahu alaihi wa Salam tersebut telah terbukti ketika sebagian manusia membangun aqidahnya di atas landasan selain Kitab dan Sunnah, yaitu di atas landasan ilmu kalam dan kaidah-kaidah manthiq yang diwarisi dari filsafat Yunani dan Romawi maka terjadilah penyimpangan dan perpecahan dalam aqidah yang mengakibatkan pecahnya umat dan retaknya masyarakat Islam.
C. Sebab – Sebab Penyimpangan Aqidah Penyimpangan dari aqidah yang benar adalah kehancuran dan kesesatan.Karena aqidah yang benar merupakan motivator utama bagi amal yang bermanfaat. Tanpa aqidah yang benar seseorang akan menjadi mangsa bagi persangkaan dan keragu-raguan yang lamakelamaan mungkin menumpuk dan menghalangi dari pandangan yang benar terhadap jalan hidup kebahagiaan, sehingga hidupnya terasa sempit lalu ia ingin terbebas dari kesempitan tersebut dengan menyudahi hidup, sekali pun dengan bunuh diri, sebagaimana yang terjadi pada banyak orang yang telah kehilangan hidayah aqidah yang benar. Masyarakat yang tidak dipimpin oleh aqidah yang benar merupakan masyarakat bahimi (hewani), tidak memiliki prinsip-prinsip hidup bahagia, sekali pun mereka bergelimang
materi tetapi terkadang justru sering menyeret mereka pada kehancuran, sebagaimana yang kita lihat pada masyarakat jahiliyah. Karena sesungguhnya kekayaan materi memerlukan taujih (pengarahan) dalam penggunaannya, dan tidak ada pemberi arahan yang benar kecuali aqidah shahihah. Allah
Subhannahu wa Ta‟ala berfirman: ”Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih.” (Al-Mu‟minun: 51) “Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari Kami. (Kami berfirman): „Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud‟, dan Kami telah melunakkan besi untuknya, (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya Aku melihat
apa yang kamu kerjakan.” (Saba‟: 10-11) Maka kekuatan aqidah tidak boleh dipisahkan dari kekuatan madiyah (materi). Jika hal itu dilakukan dengan menyeleweng kepada aqidah batil, maka kekuatan materi akan berubah menjadi sarana penghancur dan alat perusak, seperti yang terjadi di negara-negara kafir yang memiliki materi, tetapi tidak memiliki aqidah shahihah. Sebab-sebab penyimpangan dari aqidah shahihah yang harus kita ketahui yaitu: 1. Kebodohan terhadap aqidah shahihah, karena tidak mau (enggan) mempelajari dan mengajarkannya, atau karena kurangnya perhatian terhadapnya. Sehingga tumbuh suatu generasi yang tidak mengenal aqidah shahihah dan juga tidak mengetahui lawan atau kebalikannya.Akibatnya, mereka meyakini yang haq sebagai sesuatu yang batil dan yang batil dianggap sebagai yang haq. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Umar
Radhiallaahu anhu :
“Sesungguhnya ikatan simpul Islam akan pudar satu demi satu,
manakala di dalam Islam terdapat orang yang tumbuh tanpa mengenal kejahiliyahan.” 2.
Ta‟ashshub (fanatik) kepada sesuatu yang diwarisi dari bapak dan nenek moyangnya, sekali pun hal itu batil, dan mencampakkan apa yang menyalahinya, sekali pun hal itu
benar. Sebagaimana yang difirmankan Allah Subhannahu wa Ta‟ala: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Al-Baqarah: 170) 3. Taqlid buta, dengan mengambil pendapat manusia dalam masalah aqidah tanpa mengetahui dalilnya dan tanpa menyelidiki seberapa jauh kebenarannya. Sebagaimana yang terjadi pada golongan- golongan
seperti Mu‟tazilah, Jahmiyah dan lainnya. Mereka
bertaqlid kepada orang-orang sebelum mereka dari para imam sesat, sehingga mereka juga sesat, jauh dari aqidah shahihah. 4. Ghuluw (berlebihan) dalam mencintai para wali dan orang-orang shalih, serta mengangkat mereka di atas derajat yang semestinya, sehingga meyakini pada diri mereka sesuatu yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah, baik berupa mendatangkan kemanfaatan maupun menolak kemudharatan.Juga menjadikan para wali itu sebagai perantara antara Allah dan makhlukNya, sehingga sampai pada tingkat penyembahan para wali tersebut dan bukan menyembah Allah. Mereka bertaqarrub kepada kuburan para wali itu dengan he wan
qurban, nadzar, do‟a, istighatsah dan meminta
pertolongan.Sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Nuh Alaihissalam terhadap orang-orang
shalih ketika mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan
(penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan
(penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwaa‟, Yaghuts, Ya‟uq dan Nasr.” [1] (Nuh: 23)Dan demikianlah yang terjadi pada pengagung-pengagung kuburan di berbagai negeri sekarang ini. 5. Ghaflah (lalai) terhadap perenungan ayat-ayat Allah yang terhampar di jagat raya ini (ayat-ayat kauniyah) dan ayat-ayat Allah yang tertuang dalam KitabNya (ayat-ayat
Qur‟aniyah). Di samping itu, juga terbuai dengan hasil -hasil teknologi dan kebudayaan, sampai-sampai mengira bahwa itu semua adalah hasil kreasi manusia semata, sehingga mereka mengagung-agungkan manusia serta menisbatkan seluruh kemajuan ini kepada jerih payah dan penemuan manusia semata.Sebagaimana kesombongan Qarun yang
mengatakan: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.” (Al-Qashash:
78)Dan sebagaimana perkataan orang lain yang juga sombong: “Ini adalah
hakku …” (Fushshilat: 50)”Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku”. (Az-Zumar: 49)Mereka tidak berpikir dan tidak pula melihat keagungan Tuhan yang telah menciptakan alam ini dan yang telah menimbun berbagai macam keistimewaan di dalamnya. Juga yang telah menciptakan manusia lengkap dengan bekal keahlian dan kemampuan guna menemukan keistimewaan-keistimewaan alam serta mengfungsikannya demi kepentingan manusia.
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (AshShaffat: 96)
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, …” (Al-A‟raf: 185)
“Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu, dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendakNya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya.
Dan
jika
kamu
menghitung
nikmat
Allah,
tidaklah
dapat
kamu
menghinggakannya.” (Ibrahim: 32-34)
D. Macam – Macam Penyimpangan Aqidah 1. Dalam masalah Tauhid Mereka, para ulama ahlus sunnah selalu mementingkan tauhid dan menjelaskan bahwa
tauhid
bermakna “Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah
(uluhiyyah), sebagaimana terkandung dalam ayat:
( …
: 36)
Beribadahlah kepada Allah dan jangan-lah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
apa pun… (an- Nisaa‟: 36) Dengan prinsip ini, mereka selamat dari kekafiran atheisme yang tidak bertuhan dan selamat pula dari paganisme yang bertuhan banyak. 2. Dalam Masalah Asma’ wa Sifat
Mereka, para ulama ash-habul hadits (ahlus sunnah) tidak berani berbicara tentang sifatsifat Allah kecuali apa yang telah dikatakan oleh Allah dalam al- Qur‟an
dan apa-apa
yang telah dijelaskan oleh Rasulullah
stidah malad
-hadits yang
shahih. Mereka tidak berani pula menarik maknanya kepada makna lain selain apa yang terdapat pada teks-nya. Karena masalah sifat-sifat Allah adalah ghaib, tidak ada seorang pun yang dapat menebak-nebak atau memikirkan dzat Allah.
: ) . 180) Hanya milik Allahlah asma-ul husna, maka mohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyim-pang dari kebenaran dalam nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (al- A‟raaf: 180) Mereka tidak berani pula membayangkan seperti apa atau bagaimananya. Maka di samping mereka selamat agamanya, juga selamat akalnya. Orang-orang yang mencaricari sendiri tentang dzat Allah akan tersesat agamanya dan orang yang membayangkan seperti apa atau bagaimana Allah akan rusak akal-nya. 3. Dalam Masalah Ibadah
Mereka, para pengikut salafus shalih, tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan cara
yang diajarkan oleh Rasulullah
(sunnah). Mereka tidak berani
merubah-rubah, mengganti, mengurangi atau menambahi dari hasil pemikirannya sendiri. Sebagaimana para rasul memerintahkan kepada kaumnya:
: ) . 144) Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. (asy- Syu‟araa: 144) Yakni bertakwanya kepada Allah tetapi dengan mengikuti dan mentaati rasul-Nya. Maka Tata cara ibadah menurut mereka sudah baku (tauqifiyyah) tidak bisa diubah-ubah.
Dengan demikian mereka selamat dari kebid‟ahan-kebid‟ahan (ajaran-ajaran baru) yang tidak pernah dikenal oleh kaum muslimin yang pertama. Dan sela-mat pula dari kesesatan para pengingkar sunnah yang menciptakan agama baru. 4. Dalam Masalah Sunnah
Mereka – sesuai dengan sebutannya ahlus sunnah – senantiasa berpegang dengan sunnah (ajaran nabi) sebagai tafsir dari al- Qur‟an,
sehingga mereka dapat memahami al-Qur‟an
dengan tepat seperti apa yang dipahami o leh
Rasulullah
karena
ucapan, perbuatan dan perangai Rasulullah al-Qur‟an. Aisyah
adalah terjemahan dari
berkata:
) . )
Bahwasanya perangai Rasulullah ada-lah al- Qur‟an.
(HR. Muslim, Ahmad dan Abu
Dawud) sehingga mereka selamat dari kesalah-pahaman dalam panafsiran al- Qur‟an
dan selamat
dari kesesatan.
) .
: (
Aku tinggalkan kepada kalian dua per-kara yang kalian tidak akan tersesat se-telah berpegang dengan keduanya, yai-tu kitabullah dan sunnahku. Dan kedua-nya tidak akan terpisah
hingga
menemuiku
di
telaga
Haud.
(HR.
Hakim;
Syaikh
al-Albani
menshahihkanya dalam Shahih Jami‟us Shaghir) 5. Dalam Pemahaman Terhadap Al-Qur’an Dan Sunnah
Mereka mengetahui bahwa generasi terbaik umat ini adalah para shahabat nabi. Maka mereka meyakini bahwa para shahabat lebih memahami al- Qur‟an
dan sunnah. Sehingga
dalam memahami, menyimpulkan dan menerapkan al- Qur‟an
dan sunnah, mereka
melihat ucapan-ucapan para shahabat dan keterangan-keterangan dari mereka, karena yang akan mendapatkan keridhaan dari Allah adalah para shahabat Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka.
Allah
berfirman:
100) : ) . Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.(at-Taubah: 100) Sehingga mereka selamat pula dari ke-salah-pahaman dan kekeliruan dalam penerapan al-Qur‟an dan sunnah. 6. Dalam Masalah Shahabat Nabi
Ahlus sunnah menganggap bahwa para shahabat adalah generasi yang terbaik dan semuanya merupakan rawi-rawi yang adil dan jujur, sehingga mereka menerima riwayatriwayat haditsnya. Bagi mereka kesepakatan para shahabat merupakan dalil (hujjah) setelah al- Qur‟an
dan sunnah. Karena Rasulullah
menyatakan
bahwa umatku tidak akan sepakat atas kesesatan.
Rasulullah (
bersabda: ) .
Sesungguhnya Allah ta‟ala tidak akan mengumpulkan umatku di atas kesesat-an. Dan tangan Allah di atas jama‟ah. (HR. Tirmidzi; Syaikh al-Albani men-shahihkannya dalam Shahih Jami‟ ash-Shaghir) Sebagaimana disebutkan dal am
atsar dari Ibnu Mas‟ud
, beliau berkata:
“Sesungguhnya Allah melihat para hamba dan mendapati hati Muhammad kiabes
-baik hati para hamba, maka ia jadikan untuk diri-Nya dan diutus
sebagai rasul-Nya. Kemudian Allah melihat hati-hati para hamba dan melihat hati-hati para shahabat adalah sebaik-baik hati para hamba, maka Allah jadikan sebagai pendukung-pendukungnya, pembela-pembela-Nya dan berperang di atas agamanya. Maka apa yang dilihat oleh kaum muslimin itu sebagai kebaikan, maka di sisi Allah hal itu baik. Sebaliknya apa yang dilihat oleh mereka sebagai kejelekan, maka di sisi Allah hal itu merupakan kejelekan. (Atsar Hasan Mauquf; diriwayatkan oleh Thayalisi, Ahmad dan Hakim menshahihkan dan disepakati oleh adz-Dzahabi; Demikian komentar Syaikh al-Albani dalam Takhrij Syarh Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 470) Keyakinan ini menyelamatkan mere- ka
dari apa yang telah menyesatkan kaum Syi‟ah
Rafidhah. Dengan caci-makian mereka terhadap para shahabat, gugurlah syariat ini, karena para shahabat adalah pembawa-pembawa ilmu dan rantai rawi yang pertama yang
menjembatani Rasulullah
dengan generasi-generasi setelahnya.
7. Dalam Masalah Hadits
Para ulama ahlus sunnah tidak sembarangan menerima riwayat suatu hadits, karena sunnah-sunnah
Rasulullah
dan ucapan-ucapan para shahabat (atsar-
atsar) didapat oleh mereka melalui silsilah para rawi yang telah mereka periksa, apakah rawi-rawi tersebut terpercaya (tsiqah), kuat hafalannya (dhabit), sanadnya bersambung
(mutashil) ataukah kebalikannya. Sehingga dengan ilmu (Musthalahul hadits) tersebut, mereka
memisahkan
antara
hadits-hadits
yang
shahih
dan
hadits-hadits
yang
dhaif.Kemudian mereka memakai yang shahih dan meninggalkan yang dlaif. Hingga mereka selamat dari penyimpangan dikarenakan menyangka itu hadits Rasulullah
ataynret iban hatnirep arikid gnay naha‟dibek irad tamales naD .
bukan dan selamat pula dari ancaman-ancaman Allah terhadap orang-orang yang
berdusta atas nama Rasulullah
.
Dalam sebuah hadits yang mutawatir, Rasulullah
bersabda:
) ) . Barangsiapa yang berdusta atas nama-ku dengan sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempatnya dalam neraka.(HR. Bukhari Muslim dan lain-lain-nya) 8. Dalam Masalah Jihad
Jihad dengan makna perjuangan dakwah menyampaikan syariat agama Allah dan sunnah-
sunnah Rasulullah
terus berlangsung setiap saat sepanjang masa.
Adapun jihad bermakna perang menumpahkan darah musuh merupakan ibadah yang
dilakukan secara berjama‟ah yang tidak bisa dilakukan kecuali ber -sama seorang penguasa (imam).Dan yang diperangi adalah orang-orang kafir harbi. Namun bukan menunggu munculnya imam te rtentu
seperti Syi‟ah Rafidhah, tapi dengan penguasa
muslim yang ada sekarang. Dengan prinsip mereka ini, kaum muslimin selamat dari fitnah dan kekacauan. Kalau saja
dibiarkan setiap muslim “berperang” sendiri-sendiri, membunuh orang-orang kafir di mana pun dia temui, maka akan terbunuh orang kafir yang tidak layak dibunuh (perempuan, anak- anak,
kafir dzimni, dan kafir mu‟ahad) bahkan bisa jadi akan
membunuh orang-orang muslim yang dianggap kafir. Maka yang terjadi adalah kekacauan dan pertumpahan darah sesama kaum mus-limin. 9. Dalam Masalah Iman
Para ulama ahlus sunnah sejak zaman salafus shalih sampai hari ini meyakini bahwa iman bisa bertambah dan bisa berkurang bahkan bisa hilang sama sekali. Iman dapat bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemak-siatan. Sehingga ahlus sunnah selamat dari pengkafiran terhadap orang-orang yang masih muslim, karena mengira iman hilang dengan kemaksiatan atau sebaliknya yang menganggap iman tetap utuh dengan kemaksiatan. Mereka yang menyatakan iman hilang dengan kemaksiatan adalah kaum khawarij, sebaliknya yang menyatakan iman tetap utuh
dengan kemaksiatan adalah kaum murji‟ah. Ada pun ahlus sunnah selamat dari dua jenis kesesatan tersebut, karena mereka menyatakan ahli maksiat sebagai seorang muslim yang lemah imannya. 10. Dalam Masalah Politik
Mereka para ulama ahlus sunnah tidak mengenal sistem demokrasi dan suara terbanyak karena mereka meyakini dari al- Qur‟an
dan sunnah bahwa ahlul hak itu sedikit dan
kebanyakan manusia adalah orang-orang fasik.
Allah
berfirman:
) . (611 : Dan jika kalian menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (al-
An‟aam: 116)
Namun mereka tetap menjaga ma-syarakat kaum muslimin agar tetap ber-satu dalam satu pimpinan (penguasa) selama dia masih muslim. Dengan sikap mereka yang demikian maka umat Islam akan selamat dari pertumpahan darah sesama mereka. Karena jika kedhaliman penguasa muslim diatasi dengan memeranginya secara fisik, niscaya yang akan terjadi adalah perang saudara sesama muslimin. Sedangkan ketaatan yang dimaksud adalah tidak memberontak atau melawan penguasa secara provokasi atau fisik. Sedangkan ketaatan ahlus sunnah adalah dalam perkara-
perkara yang ma‟ruf. Jika mereka memerintahkan kepada dosa dan kemaksiatan, maka tidak ada ketaatan kepada siapa pun dalam bermaksiat ke-pada khaliqnya.Wallahu
a‟lam.(Ustadz Muhammad Umar As-Sewed/ akhwat.web.id)
E. Cara Mengatasi Penyimpangan Aqidah Cara menanggulangi penyimpangan di atas teringkas dalam point-point berikut ini: 1. Kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam untuk mengambil aqidah shahihah. Sebagaimana para Salaf Shalih mengambil aqidah mereka dari keduanya. Tidak akan dapat memperbaiki akhir umat ini kecuali apa yang telah memperbaiki umat pendahulunya. Juga dengan mengkaji aqidah golongan sesat dan mengenal syubhat-syubhat mereka untuk kita bantah dan kita waspadai, karena siapa yang tidak mengenal keburukan, ia dikhawatirkan terperosok ke dalamnya. 2. Memberi perhatian pada pengajaran aqidah shahihah, aqidah salaf, di berbagai jenjang pendidikan. Memberi jam pelajaran yang cukup serta mengadakan evaluasi yang ketat
dalam menyajikan materi ini. Harus ditetapkan kitab-kitab salaf yang bersih sebagai materi pelajaran. Sedangkan kitab-kitab kelompok penyeleweng harus dijauhkan. 3.
Menyebar para da‟i yang meluruskan aqidah umat Islam dengan mengajarkan aqidah salaf serta menjawab dan menolak seluruh aqidah batil.