PENINGKATAN NILAI TAMBAH MINERAL DI INDONESIA
1.
Pendahuluan Pembangunan nasional yang terus berlanjut di berbagai sektor, telah
mendorong sektor industri (manufaktur), termasuk industri pengguna mineral (logam dan non-logam) maupun batubara, tumbuh sesuai dengan dinamika pembangunan itu sendiri. Tidak mengherankan jika kebutuhan, khususnya kebutuhan berbagai jenis mineral, terus meningkat. Namun sayangnya, banyak dipasok dari luar negeri (Impor). Sebuah ironi pun terjadi di Indonesia yang memiliki sumberdaya mineral yang cukup besar di dunia dan sebagai penghasil berbagai jenis mineral terkemuka. Indonesia menempati posisi produsen terbesar kedua untuk komoditas timah, posisi terbesar keempat untuk komoditas tembaga, posisi kelima untuk komoditas nikel, posisi terbesar ketujuh untuk komoditas emas, dan posisi kedelapan untuk komoditas batubara, di tingkat dunia ( Direktorat ). Statistik Ekonomi dan Moneter, BI, 2006 ). Di satu sisi Indonesia dikenal sebagai negara pengekspor mineral (dalam bentuk bahan mentah), akan tetapi di sisi lain menjalankan peran pula sebagai negara pengimpor mineral (dalam bentuk bahan setengah jadi maupun bahan jadi). Dari data statistik ekspor maupun impor, dari tahun ke tahun tidak kunjung menurun atau bahkan cenderung meningkat, baik dari segi jumlah maupun nilainya. Angka ekspor berbagai komoditi mineral dan batubara yang tinggi secara umum memang telah berdampak positif pada penyerapan tenaga kerja, penerimaan negara, dan lain-lain. Namun di sisi lain angka impor yang juga tidak kalah tinggi, telah berdampak negatif, jika dihitung pasti lebih besar dari dampak positif yang diperoleh. Betapa tidak mengekspor komoditi dalam bentuk material kasar, bongkahan atau wantah (raw ( raw materials) materials ) telah menghasilkan devisa bagi negara, tetapi mengimpor komoditi dalam bentuk bahan setengah jadi atau bahan jadi juga menyedot devisa dari menjual komoditi yang diekspor. Bukan tidak mungkin lebih besar daripada sekedar memperoleh devisa dari menjual komoditi yang diekspor.
Hal ini disebabkan harga komoditi yang diimpor lebih mahal daripada yang diekspor, yang notabene komoditi tersebut juga berasal dari lndonesia. Dalam “bahasa” yang berbeda, negara pengolah bahan tambang memperoleh nilai tambah dari bahan tambang yang diimpor dari lndonesia, dan mampu mengembangkan industri pengolahan beserta efek ganda ( multiplier effects) atas keberadaan industri pengolahan tersebut.
2.
Dasar Hukum Upaya untuk meningkatkan nilai tambah mineral dan batubara telah
dimandatkan oleh pemerintah dalam UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pada pasal 102 dan pasal 103. Kemudian dijabarkan dalam PP No. 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, yang kemudian direvisi menjadi PP No.24/ 2012. Kemudian diperjelas lagi dengan diterbitkannya Permen ESDM No.7/2012 pada bulan Februari 2012 lalu, tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian. Maka pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, dan IUP Operasi Produksi khusus pengolahan dan pemurnian wajib melakukan peningkatan nilai tambah terhadap mineral atau batubara yang diproduksinya. Ketentuan ini langsung mengikat bagi mereka yang akan berinvestasi di bidang pertambangan mineral dan batubara, serta diberi kesempatan selambatlambatnya 5 (lima) tahun kepada perusahaan yang sedang berjalan (existing) setelah UU No. 4/ 2009 diberlakukan dan berlaku efektif pada tahun 2014 yang akan datang. Program Peningkatan nilai tambah mineral dan batubara ternyata dihadapkan kepada tantangan yang cukup besar, meskipun tetap memberikan harapan bagi terealisasinya kedua peraturan di atas. Tantangan ini tidak saja akan dihadapi oleh perusahaan, tetapi juga pemerintah. Tantangan terbesar pemerintah adalah bagaimana menyiapkan infrastruktur, fisik dan nonfisik, yang dirasakan masih minim, sehingga perusahaan memperoleh jaminan terhadap investasi yang ditanamkan untuk peningkatan nilai tambah. Sedangkan tantangan perusahaan yang cukup krusial adalah "merekonstruksi" investasi yang akan ditanamkan berikut keuntungan yang akan diperoleh.
3.
Komoditi Mineral Logam di Indonesia Komoditi logam yang menonjol dalam memberikan kontribusi kegiatan
penambangan dan metalurgi di Indonesia terhadap pendapatan negara dan pendorong bagi kegiatan di sektor lain, diantaranya tembaga, nikel, emas, timah, bijih besi, dan bauksit. Sumber bahan tambang tersebut hampir kesemuanya dapat ditemukan di Indonesia dalam berbagai kategori, baik terduga, tereka, terukur dan tertambang. Potensi, kegunaan dan keterdapatan mineral logam tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: A.
Tembaga Tembaga (Cu) mempunyai sistem kristal kubik, secara fisik berwarna
kuning dan apabila dilihat dengan menggunakan mikroskop bijih akan berwarna pink kecoklatan sampai keabuan. Unsur tembaga terdapat pada hampir 250 mineral, tetapi hanya sedikit saja yang komersial. Pada endapan sulfida primer, kalkopirit (CuFeS2 ) adalah yang terbesar, diikuti oleh kalkosit ( Cu2S), bornit (Cu5FeS4), kovelit (CuS), dan enargit (Cu3AsS4). Mineral tembaga utama dalam bentuk deposit oksida adalah krisokola ( CuSiO3.2HO), malasit (Cu2(OH)2CO3), dan azurit (Cu3(OH)2(CO3)2 ). Deposit tembaga dapat diklasifikasikan dalam lima tipe, yaitu: deposit porfiri, urat, dan replacement, deposit strata bound dalam batuan sedimen, deposit masif pada batuan volkanik, deposit tembaga nikel dalam intrusi/mafik, serta deposit native. Meskipun aluminium dapat digunakan untuk tegangan tinggi pada jaringan transmisi, tetapi tembaga masih memegang peranan penting untuk jaringan bawah tanah dan menguasai pasar kawat berukuran kecil, peralatan industri yang berhubungan dengan larutan, industri konstruksi, pesawat terbang dan kapal laut, atap, pipa ledeng, campuran kuningan dengan perunggu, dekorasi rumah, mesin industri non elektris, peralatan mesin, pengatur temperatur ruangan, mesin-mesin pertanian. Potensi tembaga terbesar yang dimiliki Indonesia terdapat di Papua. Potensi lainnya menyebar di Jawa Barat, dan Sulawesi Utara. B.
Nikel Nikel digunakan sebagai bahan paduan logam yang banyak digunakan
diberbagai industri logam. Nikel biasanya terbentuk bersama-sama dengan kromit dan platina dalam batuan ultrabasa seperti peridotit, baik termetamorfkan ataupun tidak. Terdapat dua jenis endapan nikel yang bersifat komersil, yaitu: sebagai hasil konsentrasi residual silika dan pada proses pelapukan batuan beku ultrabasa serta
sebagai endapan nikel tembaga sulfida, yang biasanya berasosiasi dengan pirit, pirotit, dan kalkopirit. Potensi nikel terdapat di Pulau Sulawesi, Maluku, dan Papua. C.
Pasir Besi Umumnya pasir besi terdiri dari mineral opak yang bercampur dengan
butiran-butiran dari mineral non logam seperti, kuarsa, kalsit, feldspar, ampibol, piroksen, biotit, dan tourmalin. Mineral tersebut terdiri dari magnetit, titaniferous magnetit, ilmenit, limonit, dan hematit. Titaniferous magnetit adalah bagian yang cukup penting merupakan ubahan dari magnetit dan ilmenit. Mineral bijih pasir besi terutama berasal dari batuan basaltik dan andesitik vulkanik. Kegunaan pasir besi ini selain untuk industri logam besi juga telah banyak dimanfaatkan pada industri semen. Potensi pasir besi terdapat di Pulau Sumatera, Jawa Tengah, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, dan Pulau Timor. D.
Bauksit Bauksit merupakan bahan yang heterogen, yang mempunyai mineral
dengan susunan terutama dari oksida aluminium, yaitu berupa mineral bohmit ( Al2O3H2O) dan mineral gibsit ( Al2O3.3H2O). Secara umum bauksit mengandung Al2O3 sebanyak 45 – 65%, SiO2 1 – 12%, Fe2O3 2 – 25%, TiO2 >3%, dan H2O 14 – 36%. Bijih bauksit terjadi di daerah tropika dan subtropika yang memungkinkan pelapukan sangat kuat. Bauksit terbentuk dari batuan sedimen yang mempunyai kadar Al nisbi tinggi, kadar Fe rendah dan kadar kuarsa ( SiO2 ) bebasnya sedikit atau bahkan tidak mengandung sama sekali. Batuan tersebut misalnya, sienit dan nefelin yang berasal dari batuan beku, batulempung, lempung dan serpih. Batuan-batuan tersebut akan mengalami proses lateritisasi, yang kemudian oleh proses dehidrasi akan mengeras menjadi bauksit. Bauksit dapat ditemukan dalam lapisan mendatar tetapi kedudukannya di kedalaman tertentu. Potensi dan cadangan endapan bauksit terdapat di Pulau Bintan, Kepulauan Riau, Pulau Bangka, dan Pulau Kalimantan. E.
Timah Timah adalah logam berwarna putih keperakan dengan kekerasan yang
rendah < 5 pada skala Mosh, berat jenis 7,3 g/cm3, serta mempunyai sifat konduktivitas panas dan listrik yang tinggi. Dalam keadaan normal (13 - 1600oC), logam ini bersifat mengkilap dan mudah dibentuk. Timah terbentuk sebagai endapan primer pada batuan granit dan pada daerah sentuhan batuan endapan metamorf yang biasanya berasosiasi dengan turmalin dan urat kuarsa timah, serta
sebagai endapan sekunder, yang di dalamnya terdiri dari endapan alluvium, elluvial, dan koluvium. Mineral yang terkandung di dalam bijih timah pada umumnya mineral utama yaitu kasiterit, sedangkan pirit, kuarsa, zircon, ilmenit, plumbum, bismut, arsenik, stibnite, kalkopirit, kuprit, xenotim, dan monasit merupakan mineral ikutan. Kegunaan timah banyak sekali terutama untuk bahan baku logam pelapis, solder, cendera mata, dan lain-lain. Potensi timah di Indonesia terdapat di Pulau Bangka, Pulau Belitung, Pulau Singkep, dan Pulau Karimun.
4.
Konservasi Sumberdaya Mineral Definisi konservasi menurut Herfindahl, 1961 dalam Ekawan, R, 2001,
adalah: “Usaha penghematan saat ini demi pemakaian di masa yang akan datang”. Konservasi sering dikaitkan dengan moral dan tanggungjawab seseorang atau lembaga untuk melindungi sumberdaya alam demi kepentingan generasi mendatang. Perlindungan dan pengembangan sumberdaya alam dapat dikatakan sebagai usaha konservasi dalam segi fisik. Maka dari segi ekonomi konservasi berarti penggunaan sumberdaya alam secara bijaksana dengan mengingat unsur waktu. Upaya konservasi untuk sumberdaya alam yang tak terbarukan lebih diarahkan untuk menjaga agar persediaan sumberdaya tersebut relatif tetap dapat memenuhi kebutuhan pada masa yang relatif lama. Penerapan teknologi rendah dalam mengeksploitasi sumberdaya alam utamanya sumberdaya mineral dapat menghambat upaya konservasi. Hambatan ini dapat diatasi dengan cara meningkatkan kualitas teknologi pengolahan dan pemurnian mineral-mineral logam yang dihasilkan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi peningkatan nilai tambah mineral logam di Indonesia, yang sekaligus sebagai salah satu upaya konservasi mineral.
5.
Peningkatan Nilai Tambah Mineral Logam Pengertian
nilai
tambah
yang
umum
dikenal
di
kalangan
yang
menggunakan parameter ekonomi sebagai acuan adalah perbedaan antara nilai output dan nilai input atau peningkatan harga material yang dihasilkan dari proses pengolahan mineral dan logam persatuan berat logam/mineral. Sementara itu, kalau pengertian nilai tambah juga dikaitkan dengan kepentingan lain yang lebih luas, seperti bukan saja peningkatan GDP tetapi juga peningkatan lapangan kerja
baru, multiplier effect sektor lain, penguasaan IPTEK, kemudahan dan kecepatan proses, serta peningkatan ketahanan nasional, maka setiap manfaat ekonomi, sosial dan peradaban yang dihasilkan dari kegiatan produksi (pengolahan mineral dan logam lebih lanjut) dikategorikan sebagai peningkatan nilai tambah. Isu peningkatan nilai tambah hasil tambang telah lama bergaung meskipun hanya di kalangan terbatas. Kesadaran bahan tambang perlu diolah terlebih dahulu, agar terjadi peningkatan nilai tambah yang setinggitingginya di dalam negeri, dan tidak diekspor begitu saja seolah ”menjual tanah air”, sebenarnya telah lama disadari. Namun demikian kesadaran pentingnya peningkatan nilai tambah hasil tambang ini semakin menguat akhir-akhir ini. Membidik peluang ini agar terjadi peningkatan pendapatan daerah maupun pusat, peningkatan kesempatan kerja, dorongan terhadap terciptanya peluang usaha di sektor lain, penguasaan ilmu dan teknologi, mengurangi ketergantungan luar negeri dalam penyediaan bahan baku untuk industri hilir, yang bahan dasarnya tersedia sebagai bahan tambang di Indonesia, dirasakan sangat mendesak. Beberapa kalangan telah dengan tegas mengatakan untuk secepatnya melarang ekspor bahan tambang secara langsung ke luar negeri, karena ujungujung hanya akan memberikan manfaat yang besar di pihak pengimpor karena mendapat kesempatan melakukan usaha peningkatan nilai tambah di negaranya, sementara Indonesia hanya mendapatkan penghasilan dari penjualan bahan tambang saja. Namun demikian, usaha peningkatan nilai tambah hasil tambang di Indonesia tampaknya belum sepenuhnya dapat berjalan dengan baik karena beberapa kendala, diantaranya yang penting menurut Edi A Basuki, dkk., 2007 :
Belum terbangunnya kesadaran akan manfaat dan pentingnya usaha peningkatan nilai tambah bahan tambang di dalam negeri di semua pemangku kepentingan.
Belum ada kajian yang komprehensif mengenai rantai kebutuhan dan penyediaan bahan untuk produksi barang jadi di Indonesia.
Kajian mengenai peluang yang dapat dilakukan bagi bahan tambang di Indonesia untuk ditingkatkan nilai tambahnya masih sangat minim. Proses added-value mineral tidak terlepas dari alur proses pengolahan dan
ekstraksi bahan galian bijih yang telah cukup lama dikenal dalam kegiatan industri metalurgi.
Masing-masing
tahap
pemrosesan
tersebut
memiliki
tingkat
pertambahan kualitas dari produk yang dihasilkan. Meskipun hanya pengolahan
mineral seperti pencucian dan pengayakan ( screening ) pada mineral aluvial, bisa dimungkinkan
terjadi
peningkatan
nilai
tambahnya
karena
pengurangan
kandungan clay-nya dan mineral berharga terkonsentrasi pada fraksi ukuran tertentu. Peran sampling dan analisisnya sangat menentukan dalam merancang langkah-langkah pengolahan yang tepat. Proses ekstraksi lebih lanjut yang melibatkan proses kimia dan/atau suhu tinggi pada umumnya memerlukan investasi yang tinggi sehingga perlu dipertimbangkan keekonomiannya apabila skala produksinya tidak cukup tinggi.
Gambar 1 Life Cycle Dari Proses Produksi Berbasis Mineral & Logam
Berikut akan ditelaah mengenai kondisi peningkatan nilai tambah yang ada pada masing-masing komoditi hasil tambang mineral logam di Indonesia. A.
Tembaga Tembaga di kerak bumi umumnya dalam mineral-mineral tembaga-besi-
sulfida dan tembaga sulfida, seperti kalkopirit (CuFeS2), bornit (Cu5FeS4), kalkosit (Cu2S), dan kovelit (CuS). Kandungan tembaga di dalam bijih tembaga umumnya kurang dari 2%. Untuk mendapatkan tembaga murni bijih ters ebut akan mengalami proses konsentrasi, smelting dan refining . Selain dalam mineral sulfida, dalam jumlah kecil tembaga juga ditemukan berada dalam mineral-mineral jenis karbonat, oksida, hidroksisilikat dan sulfat. Proses untuk mendapatkan tembaga dari
mineral-mineral
ini
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan
prinsip
hidrometalurgi. Namun demikian, jalur hidrometalurgi juga diterapkan untuk mendapatkan tembaga dari kalkosit setelah melalui pemanggangan oksidasi.
Gambar 2 Jalur Utama Proses Pengolahan Bahan Galian (Edi A. Basuki, dkk, 2007)
Sekitar 80% bijih tembaga dunia, tembaganya dalam mineral jenis Cu-FeS. Karena mineral jenis ini tidak mudah larut dalam larutan aqueous, maka untuk mengekstraksi tembaganya dilakukan dengan proses pirometalurgi. Namun demikian sebelum tahap peleburan, bijih perlu dikonsentrasi untuk mendapatkan konsentrat yang kaya akan mineral tembaga menggunakan flotasi. Proses liberasi perlu dilakukan terhadap bijih ini sebelum flotasi untuk memisahkan secara fisik antara mineral berharga dengan mineral pengotornya. Dengan prinsip flotasi mineral tembaga sulfida akan mengapung dan terkumpul karena menempel pada gelembung udara. Selanjutnya konsentrat tembaga diproses secara smelting untuk menghasilkan lelehan Cu-Fe dan kemudian dikonverting untuk memisahkan Fe dari lelehan dan yang dibutuhkan oleh industri kabel menghasilkan lelehan tembaga wantah. Untuk mendapatkan tembaga dengan kemurnian tinggi dapat dilakukan dengan fire refining atau electrorefining , seperti pada gambar 3 berikut.
Gambar 3 Rantai Produksi Tembaga
B.
Nikel Bijih nikel secara garis besar dikelompokkan menjadi dua, yaitu bijih nikel
oksida dan bijih nikel sulfida. Awalnya, bijih nikel oksida merupakan sumber utama produksi nikel akhir abad 19 yang mengolah deposit laterit kadar tinggi di New Caledonia, Pasifik Selatan. Saat itu sudah ada peleburan bijih sulfida skala kecil di Norwegia. Kemudian dengan penemuan dan pengembangan deposit nikel sulfida di Ontario, Kanada, fokus ekstraksi nikel bergeser dari bahan baku bijih nikel oksida ke bijih nikel sulfida. Beberapa puluh tahun kemudian, dengan semakin meningkatnya permintaan nikel dan semakin fahamnya orang mengenai seluk beluk nikel, orang mulai melakukan evaluasi ulang mengenai formasi geologi di berbagai belahan dunia, dimana kemudian dijumpai bijih nikel laterit dalam jumlah yang banyak di dekat permukaan terutama di daerah tropis. Sejumlah deposit nikel laterit selanjutnya dimasukkan ke dalam kategori bijih, sementara yang lain menyusul kemudian. Dengan demikian terjadi beberapa pemikiran baru mengenai ekstraksi bijih nikel oksida pada saat itu. Beberapa metoda baru ekstraksi nikel telah dikembangkan dalam skala industri, sementara teknologi lama mengalami perbaikan. Perlu dicatat disini bahwa umumnya oksidaoksida logam berharga, terutama kobalt dan khromium berada di dalam bijih laterit tersebut sebagai mineral yang terpisah. Pada umumnya proses ekstraksi nikel dilakukan untuk mengambil nikel, baik sebagai logam maupun paduan, seperti ferronickel, tanpa pengambilan logamlogam berharga lainnya. Namun demikian, prosedur untuk pengambilan logam-logam lain di dalam bijih laterit secara menguntungkan telah diteliti di beberapa lembaga penelitian. Proses metalurgi bijih nikel oksida umumnya relatif lebih sulit dibanding dengan untuk bijih sulfida. Untuk bijih sulfida, metoda benefisiasi seperti flotasi dan
magnetic separation telah terbukti efektif. Dengan benefiasi ini memungkinkan diperolehnya mineral berharga dengan kandungan tinggi dan memisahkan sebanyak mungkin mineral pengganggu. Dengan metoda benefiasi standar sulit untuk melakukan benefiasi bijih oksida, terutama karena nikelnya secara kimiawi terdiseminasi. Akan tetapi dengan penyaringan ( screening ) dapat dilakukan pemisahan ukuran, yaitu untuk mengeluarkan bijih berukuran besar yang relatif belum lapuk yang mengandung nikel relatif rendah, dan mengambil material yang relatif halus yang mengandung nikel relatif tinggi. Oleh sebab itu, dibandingkan dengan proses metalurgi untuk bijih nikel sulfida yang memungkinkan diolahnya material dalam jumlah relatif sedikit dan kandungan nikel relatif tinggi setelah mengalami proses benefiasi, maka pengolahan metalurgi untuk bijih nikel oksida yang mengharuskan pengolahan bijih dalam jumlah yang besar dengan kandungan nikel relatif kecil tentu saja secara ekonomis relatif lebih mahal. Dengan pemilihan pengolahan berkapasitas tinggi akan menurunkan ongkos produksi dan membuat proses metalurgi bijih nikel oksida menjadi ekonomis. Gambar 4, menunjukkan rantai produksi nikel di Indonesia dan kemungkinan peningkatan nilai tambahnya. Terlihat bahwa dari bijih nikel laterit di Indonesia telah dapat diolah menjadi dua jenis produk yaitu ferro-nickel oleh PT. Aneka Tambang dan nickel matte oleh PT. Inco menempuh jalur pirometalurgi, sementara produksi nikel menggunakan jalur hidrometalurgi belum diterapkan di Indonesia. Sebagian besar produk ferro-nickel merupakan bahan baku utama untuk pembuatan baja tahan karat (stainless steels) dan sebagian kecil digunakan untuk salah satu bahan baku pembuatan baja kualitas tinggi ( high strength steels) dan superalloy berbasis Fe-Ni (Fe-Ni based superalloys).
Gambar 4 Rantai Produksi Nikel
C.
Bijih Besi Besi dibuat dari bahan baku berupa bijih besi yang terdapat di alam dalam
bentuk mineral, umumnya seperti hematit (Fe2O3), magnetit (Fe3O4), limonit (FeO(OH).nH2O). Dengan prinsip reduksi, yaitu mereaksikan dengan reduktor seperti karbon (C) yang dapat diperoleh dari batubara atau arang kayu, baik dalam bentuk padat maupun cair pada temperatur yang tinggi, akan diperoleh logam besi (Fe). Dalam sejarah, teknologi pembuatan besi yang kemudian berkembang dengan semakin meningkatnya kemampuan tanur peleburan untuk melebur logam pada temperatur yang semakin tinggi karena ditemukannya kokas batubara, memberi manfaat dengan ditemukannya baja. Karena logam ini dikenal sangat tangguh, kuat, keras, tidak mudah patah serta mudah dibentuk, membuat logam ini dengan cepat mengisi peradaban manusia secara luas. Selain untuk peralatan tempur dan persenjataan, pada jaman kekaisaran Roma telah dicatat pemakaian besi dan baja untuk transport air dalam jarak ratusan mil, penguat jembatan di sekeliling istana, dan sistem pembuangan limbah untuk publik. Selain itu, di berbagai belahan dunia, baja juga telah dimanfaatkan untuk penguat bangunan serta komponen alat transportasi di era modern.
Gambar 5 Rantai Produksi Besi
D.
Bauksit Bauksit merupakan mineral logam penghasil aluminium yang paling
banyak di kerak bumi, namun karena keberadaanya terikat sebagai senyawa aluminium silikat dalam berbagai lempung menyebabkan ekstraksi aluminium dari sumber ini menjadi sulit dan tidak ekonomis. Akan tetapi, di beberapa lokasi terdapat endapan aluminium dalam bentuk oksida terhidrasi yang memungkinkan dilakukannnya ekstraksi aluminium secara ekonomis. Bijih bauksit ini mengandung mineral gibsit Al2O3.3H2O, boehmit Al2O3.H2O dan diaspore Al2O3.H2O dengan pengotor terutama oksida besi Fe2O3, SiO2 dan TiO2. Untuk mendapatkan logam aluminium, bijih bauksit memerlukan beberapa tahap preparasi dan ekstraksi. Dalam preparasi, bijih bauksit dicuci dan disaring untuk menghilangkan sebanyak mungkin terutama lempung dan kwarsa serta pengotor lain yang berukuran kecil. Produk dari preparasi ini, washed bauxite,
dapat
diproses
lebih
lanjut
menggunakan
proses
Bayer
untuk
menghasilkan secara garis besar dua jenis alumina (Al2O3), yaitu chemical grade dan smelting grade. Bila smelting grade alumina merupakan bahan baku produksi logam aluminium, maka chemical grade alumina lebih diarahkan sebagai bahan baku untuk industri kimia dan keramik.
Prinsip dari proses Bayer adalah melarutkan Al2O3 dengan larutan NaOH pada temperatur dan tekanan tinggi (150°C, 6 atm). Larutan kemudian di filtrasi dan diendapkan untuk menghasilkan Al2O3.3H2O murni. Selanjutnya dengan pemanasan di dalam rotary kiln pada temperatur tinggi (1100°C) dapat dihilangkan air kristalnya dan diperoleh serbuk putih Al2O3 murni. Temperatur kalsinasi yang tinggi ini diperlukan untuk memungkinkan diperolehnya Al2O3 dan bukan Al2O3 yang relatif masih dapat mengabsorbsi moisture. Proses mendapatkan logam Al harus dilakukan melalui elektrolisa garam leleh yang mengandung Al2O3, karena Al merupakan logam yang sangat reaktif dan oksidanya sangat stabil sehingga reduksi dengan karbon atau gas CO hanya bisa dilakukan pada temperatur yang sangat tinggi (di atas 2000°C) sehingga sulit dilakukan. Oleh sebab itu dengan kriolit (Na3AlF6) dapat melarutkan Al2O3 yang larutannya kemudian dapat dielektrolisis untuk menghasilkan logam murni aluminium. Meskipun Al2O3 titik lelehnya sangat tinggi (2020°C), tetapi dengan beberapa penambahan seperti kalsium florida elektrolisisnya dapat dilakukan pada temperatur 900°C. Gambar 6, menunjukkan secara garis besar rantai pengolahan atau peningkatan nilai tambah bijih bauksit untuk mendapatkan dua jenis produk yaitu aluminium ingot dan serbuk alumina. Dalam diagram tersebut juga ditunjukkan kondisi eksisting yang terjadi di Indonesia dimana bijih bauksit yang tercuci diekspor ke luar negeri dan sama sekali belum dihasilkan alumina. Sementara smelting grade alumina diimpor dari luar negeri sebagai bahan baku pembuatan aluminium murni bagi pabrik peleburan aluminium di Asahan. Dalam waktu dekat di Indonesia akan dibangun pabrik pengolahan bauksit untuk menghasilkan alumina. Produk dari alumina plant ini bisa berupa chemical grade untuk memenuhi segmen pasar di industri kimia dan keramik, maupun smelting grade yang dapat memenuhi kebutuhan pabrik peleburan aluminium yang telah ada di dalam negeri. Apabila rencana ini terwujud, maka rantai proses peningkatan nilai tambah bijih bauksit dinilai telah lengkap, tinggal peningkatan nilai tambah yang dapat dilakukan di bagian hilir untuk memanfaatkan produk alumina dan aluminium murni untuk berbagai keperluan.
Gambar 6 Rantai Produksi Alumunium
E.
Timah Logam timah berada di alam umumnya sebagai oksida. Sumber utamanya
adalah mineral kasiterit (SnO2) yang di Indonesia umumnya lebih banyak ditemukan sebagai endapan aluvial hasil dari pelapukan, erosi, dan transportasi dalam kurun waktu yang sangat lama, bersama dengan mineral pengotor seperti kwarsa dan mineral ikutan seperti ilmenit, monazit, rutil dan zirkon. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan logam timahnya, terhadap bijih timah perlu dilakukan beberapa tahapan proses dengan dua tahapan utama yaitu pengolahan bijih dan peleburan pemurnian. Pengolahan bijih dilakukan melalui beberapa tahapan dengan prinsip utama pemisahan mineral kasiterit dari mineral pengotornya, terutama silika, berdasarkan perbedaan berat jenis dan pemisahan mineral berharga ikutan seperti zirkon, xenotim dan ilmenit, menggunakan prinsip pemisahan tegangan tinggi dan magnetik. Konsentrat kering dengan kadar kurang lebih 70% Sn kemudian dikirim ke pabrik peleburan/smelting untuk mendapatkan logam timahnya. Meskipun titik leleh timah relatif rendah (232oC) peleburannya harus dilakukan pada temperatur tinggi kira-kira 1300 oC untuk memungkinkan slag dalam keadaan cair. Untuk
mendapatkan lelehan Sn reduktor yang digunakan umumnya adalah karbon atau antrasit dan untuk menurunkan titik leleh slag perlu ditambahkan batu kapur. Dalam smelting ini sebagian pengotor, misalnya Fe ikut tereduksi dan berikatan dengan Sn dan terbawa bersama lelehan Sn (kadar kirakira 99,8%). Oleh sebab itu untuk mendapatkan Sn murni, maka lelehan Sn ini perlu dilakukan tahapan pemurnian dengan cara mendinginkan lelehan Sn hingga 250oC yang memungkinkan terjadinya pemisahan cairan Sn kemurnian tinggi (99,9% Sn) dengan senyawa pengotor (Fe-Sn) yang berupa padatan ( dross). Karena slag peleburan pertama dan dross masih mengandung Sn relatif tinggi, maka terhadap kedua bahan ini perlu dilakukan pengolahan lebih lanjut untuk mendapatkan Sn nya kembali. Di Indonesia produksi timah sudah dapat menghasilkan timah dengan kemurnian tinggi, khususnya tidak mengandung timbal dalam berbagai bentuk, yang dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan, diantaranya untuk pelapisan plat baja (tin plate) dan sebagian besar diekspor, terutama untuk solder dan paduan timah seperti perunggu dan babbit .
Gambar 4 Rantai Produksi Timah
KESIMPULAN
Dari pembahasan referensi-referensi diatas dapat disimpulkan bahwa perlu road map mengenai kebutuhan dan potensi-ketersediaan material untuk industri hilir di Indonesia, tidak saja logam tetapi juga mineral industri. Diperlukan kerjasama yang erat antar Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dan Departemen Perindustrian untuk menjembatani supply dan demand di industri hulu dan di industri hilir. Pemberian insentif bagi industri yang mendukung dan melakukan kajian dan riset peningkatan nilai tambah. Mengharuskan perusahaan tambang untuk mengolah hasil tambang hingga produk akhir belum tentu realistis. Peningkatan nilai tambah hasil tambang bijih minimal adalah konsentrasi. Pemberian insentif bagi perusahaan tambang yang memproduksi hingga produk akhir (smelting ) dan yang melakukan kajian dan riset mengenai peningkatan nilai tambah. Faktor yang menghambat adalah adanya ketidaksiapan bagi perusahaanperusahaan tambang skala kecil karena kekurangan modal, kemudian sumber energi yang masih terbatas dan menjadi kendala untuk pendirian smelter. Pemerintah harus menyiapkan segala infrastruktur dan insentif pada setiap usaha
peningkatan
nilai
tambah
mineral,
mengingat
pendirian
smelter
membutuhkan biaya yang sangat besar, dan pengusaha tambang skala kecil dan menengah (investor domestik) tidak mempunyai kecukupan modal dalam kegiatan usaha tersebut.