DEPARTEMEN SURGICAL LAPORAN PENDAHULUAN STRIKUR URETRA UNTUK MEMENUHI TUGAS PROFESI NERS DI RUANG 19 DI RSUD dr. SAIFUL ANWAR MALANG
OLEH: PIPIT KURNIATUL LAILA NIM. 125070200111020 KELOMPOK 16
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017
A. Pengertian Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan parut dan kontraksi (C. Smeltzer, Suzanne;2002 hal 1468). Striktur uretra lebih sering terjadi pada pria daripada wanita terutama karena perbedaan panjang uretranya (C. Long , Barbara;1996 hal 338). B. Anatomi dan Fisiologi Uretra adalah saluran yang dimulai dari orifisium uretra interna dibagian bulibuli sampai orifisium uretra eksterna glands penis, dengan panjang yang bervariasi.Uretra pria dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian anterior dan bagian posterior. Uretraposterior dibagi menjadi uretra pars prostatika dan uretra pars membranasea. Uretra anterior dibagi menjadi meatus uretra, pendulare uretra dan bulbus uretra. Dalam keadaan normal lumen uretra laki-laki 24 ch, dan wanita 30 ch. Kalau 1 ch = 0,3 mm maka lumen uretra laki-laki 7,2 mm dan wanita 9 mm.
1. Uretra bagian anterior Uretra anterior memiliki panjang 18-25 cm (9-10 inchi). Saluran ini dimulai dari meatus uretra, pendulans uretra dan bulbus uretra. Uretra anterior ini berupa tabung yang lurus, terletak bebas diluar tubuh, sehingga kalau memerlukan operasi atau reparasi relatif mudah.
2. Uretra bagian posterior Uretra posterior memiliki panjang 3-6 cm (1-2 inchi).Uretra yang dikelilingi kelenjar prostat dinamakan uretra prostatika.Bagian selanjutnya adalah uretra membranasea, yang memiliki panjang terpendek dari semua bagian uretra, sukar untuk dilatasi dan pada bagian ini terdapat otot yang membentuk sfingter.Sfingter ini bersifat volunter sehingga kita dapat menahan kemih dan berhenti pada waku berkemih.Uretra membranacea terdapat dibawah dan dibelakang simpisis pubis, sehingga trauma pada simpisis pubis dapat mencederai uretra membranasea.
C. Etiologi Striktur uretra dapat terjadi karena : 1. Infeksi Merupakan faktor yang paling sering menimbulkan striktur uretra, seperti infeksi oleh kuman gonokokus yang menyebabkan uretritis gonorrhoika atau non gonorrhoika telah menginfeksi uretra beberapa tahun sebelumnya namun sekarang sudah jarang akibat pemakaian antibiotik, kebanyakan striktur ini terletak di pars membranasea, walaupun jugaterdapat pada tempat lain; infeksi chlamidia sekarang merupakan penyebab utama tapi dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan individu yang terinfeksi atau menggunakan kondom. 2. Trauma Fraktur tulang pelvis yang mengenai uretra pars membranasea, trauma tumpul pada selangkangan (straddle injuries) yang mengenai uretra pars bulbosa, dapat terjadi pada anak yang naik sepeda dan kakinya terpeleset dari pedal sepeda sehingga jatuh dengan uretra pada bingkai sepeda pria, trauma langsung pada penis, instrumentasi transuretra yang kurang hati-hati (iatrogenik) seperti pemasangan kateter yang kasar, fiksasi kateter yang salah. 3. Iatrogenik a. Operasi rekonstruksi dari kelainan kongenital seperti hipospadia, epispadia b. Post operasi
Beberapa operasi pada saluran kemih dapat menimbulkan striktur uretra, seperti operasi prostat, operasi dengan alat endoskopi. 4. Tumor 5. Kelainan Kongenital, misalnya kongenital meatus stenosis, klep uretra posterior
Penyebab paling umum dari striktur uretra saat ini adalah traumatik atau iatrogenik. Penyebab yang lebih jarang ditemui adalah peradangan atau infeksi, keganasan, dan kongenital. Striktur akibat infeksi biasanya merupakan gejala sekunder dari urethritis gonococcal, yang masih umum di beberapa populasi berisiko tinggi. Penyebab yang paling penting adalah idiopati, reseksi transurethral, kateterisasi uretra, fraktur panggul dan operasi hipospadia. Penyebab iatrogenik keseluruhan (reseksi transurethral, kateterisasi uretra, sistoskopi, prostatektomi, operasi brachytherapy dan hipospadia) adalah 45,5% dari kasus striktur. Pada pasien yang lebih muda dari 45 tahun penyebab utama adalah idiopati, operasi hipospadia dan fraktur panggul. Pada pasien yang lebih tua dari 45 tahun penyebab utama adalah reseksi transurethraldan idiopathy. Penyebab utama penyakit penyempitan multifokal/panurethral adalah kateterisasi uretra anterior, sedangkan fraktur panggul adalah penyebab utama dari striktur uretra posterior. Etiologi striktur pada wanita berbeda dengan laki-laki, etiologi striktura uretra pada wanita radang kronis. Biasanya di derita wanita usia diatas 40 tahun dengan sindroma sistitis berulang yaitu disuria, frekuensi dan urgensi. Diagnosis striktur uretra dibuat dengan bougie aboul’e, tanda khas dari pemeriksaan bougie aboul’e adalah pada waktu dilepas terdapat flik/hambatan. Pengobatan dari striktura uretra pada wanita dengan dilatasi, kalo gagal dengan otis uretrotomi.
D. Drajat Penyempitan Uretra Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi menjadi tiga tingkatan: Ringan : jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen uretra. Sedang : jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan ½ diameter lumen uretra. Berat
: jika terdapat oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen uretra.
Pada penyempitan derajat berat kadangkala teraba jaringan keras di korpus spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis.
E. Manifestasi Klinis Adanya obstruksi saluran kemih bawah akan memberikan sekumpulan gejala yang populer diistilahkan sebagai LUTS (lower urinary tract symptoms). Patofisiologi LUTS didasarkan atas 2 kelompok gejala, yaitu : 1. Voiding symptom; yaitu gejala yang muncul sebagai akibat kegagalan buli untuk mengeluarkan sebagian atau seluruh isi kandung kemih, antara lain: weakness of stream (pancaran kencing melemah), abdominal straining (mengejan), hesitancy (menunggu saat akan kencing), intermittency (kencing terputus-putus), disuria (nyeri saat kencing), incomplete emptying (kencing tidak tuntas), terminal dribble ( kencing menetes). 2. Storage symptom; yaitu gejala yang muncul sebagai akibat gangguan pengisian kandung kemih, bias karena iritasi atau karena perubahan kapasitas kandung kemih, antara lain : frekuensi, urgensi, nocturia, incontinensia (paradoxal), nyeri suprasimfisis. 3. Miction post symptom; yaitu gejala yang muncul pasca miksi, antara lain tidak lampias, terminal dribbling, inkontinensia paradoks. Gejala dari striktur uretra yang khas adalah pancaran buang air seni kecil dan bercabang. Gejala yang lain adalah iritasi dan infeksi seperti frekuensi, urgensi, disuria, inkontinensia, urin yang menetes, kadang-kadang dengan penis yang membengkak, infiltrat, abses dan fistel. Gejala lebih lanjutnya adalah retensi urine.
F. Patofisiologi Didapat infeksi, spasme otot, tekanan dari luar tumor, cedera uretra, cedera peregangan, uretritis gonorhoe
Kongenital Anomali saluran kemih yang lain
Lesi Pada Epitel / Putusnya Kontinuitas pd Urethra
Ekstravasasi Urin
Reaksi peradangan / reaksi fibroblastik
Reaksi Fibroblastik Meningkat
Jaringan parut Penyempitan lumen uretra Total tersumbat Kekuatan pancaran dan jumlah urine berkurang Obstruksi saluran kemih yang bermuara ke VU Perubahan pola eliminasi Refluk urine
Peningkatan tekanan VU
Hidroureter Penebalan dinding VU
Gangguan rasa nyaman: nyeri
Hidronefrosis
Pyelonefritis
Gagal ginjal kronik
Penurunan kontraksi otot VU
Kesulitan berkemih
Retensi urine
Risiko Infeksi
Ansietas
Defisiensi pengetahuan
Sitostomi
Luka insisi
Gangguan rasa nyaman: Nyeri
Perubahan pola berkemih
Retensi urine
G. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan Fisik a. Anamnesa: Untuk mencari gejala dan tanda adanya striktur uretra dan juga mencari penyebab striktur uretra. b. Pemeriksaan fisik dan local: Untuk mengetahui keadaan penderita dan juga untuk meraba fibrosis di uretra, infiltrat, abses atau fistula. 2. Pemeriksaan Penunjang a. Laboratorium -
Urin dan kultur urin untuk mengetahui adanya infeksi
-
Ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal
b. Uroflowmetri Uroflowmetri
adalah
pemeriksaan
untuk
menentukan
kecepatan
pancaran urin. Volume urin yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan lamanya proses miksi. Kecepatan pancaran urin normal pada pria adalah 20 ml/detik dan pada wanita 25 ml/detik. Bila kecepatan pancaran kurang dari harga normal menandakan ada obstruksi. 3. Radiologi Diagnosa pasti dibuat dengan uretrografi, untuk melihat letak penyempitan dan besarnya penyempitan uretra. Teknik pemeriksaan uretrogram adalah pemeriksaan radiografi ureter dengan bahan kontras uretra. Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai panjang striktur adalah dengan membuat foto bipolar sistouretrografi dengan cara memasukkan bahan kontras secara antegrad dari buli-buli dan secara retrograd dari uretra. Dengan pemeriksaan ini panjang striktur dapat diketahui sehingga penting untuk perencanaan terapi atau operasi.
GAMBAR: Retrograde urethrogram menunjukkan striktur uretra bulbar
4. Instrumentasi Pada
pasien
dengan
striktur
uretra
dilakukan
percobaan
dengan
memasukkan kateter Foley ukuran 24 ch, apabila ada hambatan dicoba dengan kateter dengan ukuran yang lebih kecil sampai dapat masuk ke bulibuli. Apabila dengan kateter ukuran kecil dapat masuk menandakan adanya penyempitan lumen uretra. 5. Uretroskopi Untuk melihat secara langsung adanya striktur di uretra.Jika diketemukan adanya striktur langsung diikuti dengan uretrotomi interna (sachse) yaitu memotong jaringan fibrotik dengan memakai pisau sachse.
H. Prognosis Striktur uretra kerap kali kambuh, sehingga pasien harus sering menjalani pemeriksaan yang teratur oleh dokter. Penyakit ini dikatakan sembuh jika setelah dilakukan observasi selama satu tahun tidak menunjukkan tanda-tanda kekambuhan. Striktura uretra seringkali kambuh, sehingga pasien harus sering menjalani pemeriksaan/kontrol secara teratur minimal sampai 1 tahun setelah operasi dan tidaka menunjukkan tanda-tanda kekambuhan. Setiap kontrol dilakukan pemeriksaan pancaran urine yang langsung dilihat oleh dokter atau menggunakan rekaman uroflowmetri. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan tiap control adalah sebagai berikut. 1. Dilatasi berkala dengan menggunakan busi 2. CIC (clean intermitten catheterization) atau kateterisasi bersih mandiri berkala yaitu pasien dianjurkan untuk melakukan kateterisasi secara periodik pada waktu tertentu dengan kateter yang bersih( tidak perlu steril) guna mencegah kekambuhan striktura.
I. Penatalaksanaan Striktur uretra tidak dapat dihilangkan dengan jenis obat-obatan apapun. Pasien yang datang dengan retensi urin, secepatnya dilakukan sistostomi suprapubik untuk mengeluarkan urin, jika dijumpai abses periuretra dilakukan insisi dan pemberian antibiotika. Pengobatan striktur uretra banyak pilihan dan
bervariasi tergantung panjang dan lokasi dari striktur, serta derajat penyempitan lumen uretra. Tindakan khusus yang dilakukan terhadap striktur uretra adalah: 1. Bougie (Dilatasi) Sebelum melakukan dilatasi, periksalah kadar hemoglobin pasien dan periksa adanya glukosa dan protein dalam urin. Tersedia beberapa jenis bougie. Bougie bengkok merupakan satu batang logam yang ditekuk sesuai dengan kelengkungan uretra pria; bougie lurus, yang juga terbuat dari logam, mempunyai ujung yang tumpul dan umumnya hanya sedikit melengkung; bougie filiformis mempunyai diameter yang lebih kecil dan terbuat dari bahan yang lebih lunak. Berikan sedatif ringan sebelum memulai prosedur dan mulailah pengobatan dengan antibiotik, yang diteruskan selama 3 hari. Bersihkan glans penis dan meatus uretra dengan cermat dan persiapkan kulit dengan antiseptik yang lembut. Masukkan gel lidokain ke dalam uretra dan dipertahankan selama 5 menit. Tutupi pasien dengan sebuah duk lubang untuk mengisolasi penis. Apabila striktur sangat tidak teratur, mulailah dengan memasukkan sebuah bougie filiformis; biarkan bougie di dalam uretra dan teruskan memasukkan bougie filiformis lain sampai bougie dapat melewati striktur tersebut. Kemudian lanjutkan dengan dilatasi menggunakan bougie lurus.
Apabila striktur sedikit tidak teratur, mulailah dengan bougie bengkok atau lurus ukuran sedang dan secara bertahap dinaikkan ukurannya. Dilatasi dengan bougie logam yang dilakukan secara hati-hati. Tindakan yang kasar tambah akan merusak uretra sehingga menimbulkan luka baru yang pada
akhirnya menimbulkan striktur lagi yang lebih berat. Karena itu, setiap dokter yang bertugas di pusat kesehatan yang terpencil harus dilatih dengan baik untuk memasukkan bougie. Penyulit dapat mencakup trauma dengan perdarahan dan bahkan dengan pembentukan jalan yang salah (false passage). Perkecil kemungkinan terjadinya bakteremi, septikemi, dan syok septic dengan tindakan asepsis dan dengan penggunaan antibiotik. GAMBAR: Dilatasi uretra pada pasien pria (lanjutan). Bougie lurus dan bougie bengkok (F); dilatasi strikur anterior dengan sebuah bougie lurus (G) dilatasi
dengan
sebuah
bougie
bengkok (H-J)
2. Uretrotomi interna
Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan alat endoskopi yang memotong jaringan sikatriks uretra dengan pisau Otis atau dengan pisau Sachse, laser atau elektrokoter. Otis uretrotomi dikerjakan pada striktur uretra anterior terutama bagian distal dari pendulans uretra dan fossa navicularis, otis uretrotomi juga dilakukan pada wanita dengan striktur uretra. Indikasi untuk melakukan bedah endoskopi dengan alat Sachse adalah striktur uretra anterior atau posterior masih ada lumen walaupun kecil dan panjang tidak lebih dari 2 cm serta tidak ada fistel, kateter dipasang selama 23 hari pasca tindakan. Setelah pasien dipulangkan, pasien harus kontrol tiap minggu selama 1 bulan kemudian 2 minggu sekali selama 6 bulan dan tiap 6 bulan sekali seumur hidup. Pada waktu kontrol dilakukan pemeriksaan uroflowmetri, bila pancaran urinnya < 10 ml/det dilakukan bouginasi.
3. Uretrotomi eksterna
Tindakan
operasi
terbuka
berupa
pemotongan
jaringan
fibrosis
kemudian dilakukan anastomosis end-to-end di antara jaringan uretra yang masih sehat, cara ini tidak dapat dilakukan bila daerah strikur lebih dari 1 cm. Cara Johansson; dilakukan bila daerah striktur panjang dan banyak jaringan fibrotik. - Stadium I: daerah striktur disayat longitudinal dengan menyertakan sedikit jaringan sehat di proksimal dan distalnya, lalu jaringan fibrotik dieksisi. Mukosa uretra dijahit ke penis pendulans dan dipasang kateter selama 5-7 hari. - Stadium II: beberapa bulan kemudian bila daerah striktur telah melunak, dilakukan pembuatan uretra baru.
4. Uretroplasty Dilakukan pada penderita dengan panjang striktur uretra lebih dari 2 cm atau dengan fistel uretro-kutan atau penderita residif striktur pasca Uretrotomi Sachse. Operasi uretroplasty ini bermacam-macam, pada umumnya setelah daerah striktur di eksisi, uretra diganti dengan kulit preputium atau kulit penis dan dengan free graft atau pedikel graft yaitu dibuat tabung uretra baru dari kulit preputium/kulit penis dengan menyertakan pembuluh darahnya.
J. Pencegahan 1. Menghindari terjadinya trauma pada uretra dan pelvis 2. Tindakan transuretra dengan hati-hati, seperti pada pemasangan kateter 3. Menghindari kontak langsung dengan penderita yang terinfeksi penyakit menular seksual seperti gonorrhea, dengan jalan setia pada satu pasangan dan memakai kondom 4. Pengobatan dini striktur uretra dapat menghindari komplikasi seperti infeksi dan gagal ginjal. Melihat beberapa faktor yang telah dijelaskan diatas, terdapat solusi untuk mencegah terjadinya striktur uretra atau paling tidak menurunkan angka morbiditasnya, terutama akibat pemasangan kateter uretra. Salah satunya yang paling mudah adalah melakukan program pendidikan kepada tenaga medis. Sebuah studi yang mencoba melakukan intervensi kepada kelompok sampel guna mencegah terjadinya striktur uretra. Studi ini dilakukan selama 13 bulan. Pada bualan ke-1 sampai ke-6 injuri yang diakibatkan oleh kateter dicatat dan dianalisis. Pada bulan ke-7, dilakukan program pendidikan bagi tenaga medis mengenai anatomi dasar urologi, teknik pemasangan kateter uretra, dan kateter yang aman. Bulan ke-8 sampai ke-13 dilihat insiden injuri terkait kateter. Data sebelum intervensi dan sesudah kemudian dibandingkan. Didapatkan hasil bahwa sebelum intervensi injuri terjadi dengan insiden 3,2/1000 pasien dengan 1 pasien yang mengalami striktur uretra yang berulang. Setelah dilakukan intervensi didapatkan data bahwa inseden terjadinya injuri berkurang menjadi 0,7/1000 pasien (p=0,006) dan tidak didapatkan striktur uretra. Ini menunjukkan injuri iatrogenik pada pemasangan kateter dapat dicegah sehingga angka morbiditas pasien di rumah sakit turun. Infeksi sebagai salah satu pencetus terjadinya striktur juga dapat dicegah. Pencegahan dapat diawali dengan sebuah sistem dimana tenaga medis yang melakukan kateterisasi diingatkan bahwa kateter masih terpasang dan bila tidak diperlukan dapat dilepas. Selain itu tenaga medis diingatkan untuk mengganti kateter yang telah terpasang pada interval tertentu dan bila tenaga medis itu bukan dokter dapat menggantinya tanpa persetujuan dokter. Pada sebuah studi metanalisa mendapatkan hasil dengan dilakukan intervensi angka kejadian infeksi saluran kencing terkait kateter berkurang sebesar 52% (P=0,001). Secara keseluruhan durasi pemasangan kateter berkurang 37%, 2,61 hari lebih sedikit
pada pasien dengan intervensi. Sedangkan pada studi dengan intervensi penggantian
kateter
tidak
ditemukan
perbedaan
sebelum
dan
sesudah
intervensi.23 Bahan kateter juga dijadikan pertimbangan. Kateter yang dilapisi silver mengurangi angka kejadian infeksi terkait kateter. Dengan berkurangnya durasi kateterisasi dan angka kejadian infeksi saluran kemih terkait kateter maka kemungkinan pasien menjadi striktur uretra juga berkurang. Pada guideline eropa dan asia menyebukan langkah-langkah untuk mencegah infeksi terkait kateter. Langkah-langkah tersebut adalah (1) sistem kateter harus tetap tertutup, (2) durasi pemasangan kateter haruslah seminimal mungkin, (3) antiseptik atau antibiotik topical pada kateter, uretra, atau meatus tidak direkomendasikan, (4) walaupun keuntungan profilaksis antibiotik dan antiseptik telah terbukti, tidak direkomendasikan, (5) pelepasan kateter sebelum tengah malam setelah prosedur operasi non-urologi mungkin bermakna, (6) pada pemasangan jangka panjang sebaiknya kateter diganti secara teratur, walaupun belum ada bukti ilmiah interval penggantian kateter, dan (7) terapi antibiotik kronis tidak disarankan. Tidak ada konsensus mengenai waktu kapan penggantian kateter rutin harus dilakukan. Hal ini dapat dilihat pada instruksi pabrik. Periode yang lebih pendek mungkin diperlukan jika ada kerusakan atau kebocoran kateter. Secara umum, pemakaian jangka panjang kateter harus diganti sebelum terjadi penyumbatan. Waktu untuk melakukan penggantian berbeda dari satu pasien ke pasien lain. Berbagai macam tindakan medis dapat menyebabkan striktur uretra, salah satunya adalah internal urethrotomy. Striktur dapat dicegah dengan melakukan kateterisasi sendiri secara periodik.Pasien diminta melakukan kateterisasi sendiri secara berkala setiap hari atau tiap seminggu sekali. Studi menyebutkan, dengan melakukan ini secara signifikan (P<0,01) striktur uretra berulang lebih sedikit pada tahun pertama post-operasi. Tidak terdapat komplikasi yang tercatat pada studi ini. Mitomycin C disebut dapat mencegah striktur uretra pula. Mitomycin C memiliki sifat antifibroblast dan anticollagen dan dalam laporan pada hewan disebutkan mampu meningkatkan tingkat keberhasilan trabeculectomy dan miringotomi. Dengan menyuntikkan mitomycin C pada submukosa uretra pada saat internal urethrotomy didapatkan penurunan striktur uretra berulang (p=0,006). 29 Penggunaan alat seperti sumpit yang terbuat dari baja telah
dilaporkan di Cina. Metode ini merupakan metode dimana pasien melakukan dilatasi uretra sendiri. Pemakaian sumpit ini dilakukan setelah dilakukan urethrotomy dengan ukuran 18 French. Seberapa dalam penggunaan sumpit ini ditentukan oleh lokasi striktur. Tidak ada striktur uretra berulang yang dilaporkan pada laporan ini. Beberapa tindakan dapat dilakukan untuk mencegah trauma uretra iatrogenik. Rekomendasi yang diberikan eropa adalah mencegah kateterisasi yang beresiko trauma, durasi pemasangan kateter dilakukan seminimal mungkin, dan pada saat melakukan operasi abdomen atau pelvis harus dilakukan dengan kateter uretra terpasang sebagai struktur protektif.
K. Komplikasi a. Trabekulasi, sakulasi dan divertikel Pada striktur uretra kandung kencing harus berkontraksi lebih kuat, maka otot kalau diberi beban akan berkontraksi lebih kuat sampai pada suatu saat kemudian akan melemah. Jadi pada striktur uretra otot buli-buli mula-mula akan menebal terjadi trabekulasi pada fase kompensasi, setelah itu pada fase dekompensasi timbul sakulasi dan divertikel. Perbedaan antara sakulasi dan divertikel adalah penonjolan mukosa buli pada sakulasi masih di dalam otot buli sedangkan divertikel menonjol di luar buli-buli, jadi divertikel buli-buli adalah tonjolan mukosa keluar buli-buli tanpa dinding otot. b. Residu urine Pada fase kompensasi dimana otot buli-buli berkontraksi makin kuat tidak timbul residu. Pada fase dekompensasi maka akan timbul residu. Residu adalah keadaan dimana setelah kencing masih ada urine dalam kandung kencing.Dalam keadaan normal residu ini tidak ada. c. Refluks vesiko ureteral Dalam keadaan normal pada waktu buang air kecil urine dikeluarkan buli-buli melalui uretra. Pada striktur uretra dimana terdapat tekanan intravesika yang meninggi maka akan terjadi refluks, yaitu keadaan dimana urine dari buli-buli akan masuk kembali ke ureter bahkan sampai ginjal. d. Infeksi saluran kemih dan gagal ginjal Dalam keadaan normal, buli-buli dalam keadaan steril. Salah satu cara tubuh mempertahankan buli-buli dalam keadaan steril adalah dengan jalan setiap
saat mengosongkan buli-buli waktu buang air kecil. Dalam keadaan dekompensasi maka akan timbul residu, akibatnya maka buli-buli mudah terkena infeksi. Adanya kuman yang berkembang biak di buli-buli dan timbul refluks, maka akan timbul pyelonefritis akut maupun kronik yang akhirnya timbul gagal ginjal dengan segala akibatnya. e. Infiltrat urine, abses dan fistulas Adanya sumbatan pada uretra, tekanan intravesika yang meninggi maka bisa timbul inhibisi urine keluar buli-buli atau uretra proksimal dari striktur. Urine yang terinfeksi keluar dari buli-buli atau uretra menyebabkan timbulnya infiltrat urine, kalau tidak diobati infiltrat urine akan timbul abses, abses pecah timbul fistula di supra pubis atau uretra proksimal dari striktur.
E. ASUHAN KEPERAWATAN PADA STRIKTUR URETRA 1. PENGKAJIAN Pengkajian dibagi menjadi 2 tahap, yaitu pengkajian pre operasi Sachse dan pengkajian post operasi Sachse a) Pengkajian pre operasi Sachse Pengkajian ini dilakukan sejak klien ini MRS sampai saat operasinya, yang meliputi : - Pengkajian fokus :
Inspeksi :
Memeriksa uretra dari bagian meatus dan jaringan sekitarnya
Observasi adanya penyempitan, perdarahan, mukus atau cairan purulent (nanah)
Observasi kulit dan mukosa membran disekitar jaringan
Perhatikan adanya lesi hiperemi atau keadaan abnormal lainnya pada penis, scrotom, labia dan orifisium Vagina.
Iritasi pada uretra ditunjukan pada klien dengan keluhan ketidak nyamanan pada saat akan mixi.
Pengkajian Psikososial :
Respon emosional pada penderita sistim perkemihan, yaitu : menarik diri, cemas, kelemahan, gelisah, dan kesakitan.
Respon emosi pada pada perubahan masalah pada gambaran diri,
takut dan kemampuan seks menurun dan takut akan kematian. Pengkajian Diagnostik
Sedimen urine untuk mengetahui partikel-partikel urin yaitu sel, eritrosit, leukosit, bakteria, kristal, dan protein.
1. Identitas klien Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama / kepercayaan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, suku/ Bangsa, alamat, no. rigester dan diagnosa medis. 2 . Riwayat penyakit sekarang Pada klien striktur urethra keluhan-keluhan yang ada adalah frekuensi , nokturia, urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa tidak lampias/ puas sehabis miksi, hesistensi, intermitency, dan waktu miksi memenjang dan akirnya menjadi retensio urine. 3 . Riwayat penyakit dahulu . Adanya penyakit yang berhubungan dengan saluran perkemihan, misalnya ISK (Infeksi Saluran Kencing ) yang berulang. Penyakit kronis yang pernah di derita. Operasi yang pernah di jalani kecelakaan yang pernah dialami adanya riwayat penyakit DM dan hipertensi . 4 Riwayat penyakit keluarga . adanya riwayat keturunan
dari salah satu anggota keluarga yang
menderita penyakit striktur urethra Anggota keluarga yang menderita DM, asma, atau hipertensi. 5. Riwayat psikososial a.
Intra personal Kebanyakan klien yang akan menjalani operasi akan muncul kecemasan. Kecemasan ini muncul karena ketidaktahuan tentang prosedur pembedahan.Tingkat kecemasan dapat dilihat dari perilaku klien, tanggapan klien tentang sakitnya.
b.
Inter personal Meliputi peran klien dalam keluarga dan peran klien dalam masyarakat.
6. Pola fungsi kesehatan a.
Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Klien ditanya tentang kebiasaan merokok, penggunaan tembakau, penggunaan obat-obatan, penggunaan alkhohol dan upaya yang biasa
dilakukan
dalam
mempertahankan
kesehatan
diri
(pemeriksaan kesehatan berkala, gizi makanan yang adekuat). b.
Pola nutrisi dan metabolisme Klien
ditanya
frekuensi makan,
jenis makanan,
makanan
pantangan, jumlah minum tiap hari, jenis minuman, kesulitan menelan atau keadaan yang mengganggu nutrisi seperti nause, stomatitis, anoreksia dan vomiting. Pada pola ini umumnya tidak mengalami gangguan atau masalah. c.
Pola eliminasi Klien ditanya tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya, ragu ragu, jumlah kecil dan tidak lancar menetes-netes, kekuatan system perkemihan. Klien juga ditanya apakah mengedan untuk mulai atau mempertahankan aliran kemih. Klien ditanya tentang defikasi, apakah ada kesulitan seperti konstipasi akibat dari p[enyempitan urethra kedalam rectum.
d.
Pola tidur dan istirahat . Klien ditanya lamanya tidur, adanya waktu tidur yang berkurang karena frekuensi miksi yang sering pada malam hari (nokturia). Kebiasaan tidur memekai bantal atau situasi lingkungan waktu tidur juga perlu ditanyakan. Upaya mengatasi kesulitan tidur.
e.
Pola aktifitas . Klien ditanya aktifitasnya sehari–hari, aktifitas penggunaan waktu senggang, kebiasaan berolahraga. Apakah ada perubahan sebelum sakit dan selama sakit. Pada umumnya aktifitas sebelum operasi tidak mengalami gangguan, dimana klien masih mampu memenuhi kebutuhan sehari–hari sendiri.
f.
Pola hubungan dan peran Klien ditanya bagaimana hubungannya dengan anggota keluarga, pasien lain, perawat atau dokter. Bagaimana peran klien dalam keluarga. Apakah klien dapat berperan sebagai mana seharusnya
g.
Pola persepsi dan konsep diri
Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami atau dirasakan klien sebelum pembedahan. Biasanya muncul kecemasan dalam menunggu acara operasinya. Tanggapan klien tentang sakitnya dan dampaknya pada dirinya. Koping klien dalam menghadapi sakitnya, apakah ada perasaan malu dan merasa tidak berdaya. h.
Pola sensori dan kognitif Pola sensori meliputi daya penciuman, rasa, raba, lihat dan pendengaran dari klien. Pola kognitif berisi tentang proses berpikir, isi pikiran, daya ingat dan waham. Pada klien biasanya tidak terdapat gangguan atau masalah pada pola ini.
i.
Pola reproduksi seksual Klien ditanya jumlah anak, hubungannya dengan pasangannya, pengetahuannya tantang seksualitas. Perlu dikaji pula keadaan seksual yang terjadi sekarang, masalah seksual yang dialami sekarang (masalah kepuasan, ejakulasi dan ereksi) dan pola perilaku seksual.
j.
Pola penanggulangan stress Menanyakan apa klien merasakan stress, apa penyebab stress, mekanisme penanggulangan terhadap stress yang dialami. Pemecahan masalah biasanya dilakukan klien bersama siapa. Apakah mekanisme penanggulangan stressor positif atau negatif.
k.
Pola tata nilai dan kepercayaan Klien
menganut
agama apa,
bagaimana
dengan
aktifitas
keagamaannya. Kebiasaan klien dalam menjalankan ibadah. 7. Pemeriksaan fisik a.
Status kesehatan umum Keadaan penyakit, kesadaran, suara bicara, status/habitus, pernafasan, tekanan darah, suhu tubuh, nadi.
b.
Kulit Apakah tampak pucat, bagaimana permukaannya, adakah kelainan pigmentasi, bagaimana keadaan rambut dan kuku klien,
c.
Kepala
Bentuk bagaimana, simetris atau tidak, adakah penonjolan, nyeri kepala atau trauma pada kepala. d.
Muka Bentuk simetris atau tidak adakah odema, otot rahang bagaimana keadaannya, begitu pula bagaimana otot mukanya.
e.
Mata Bagainama keadaan alis mata, kelopak mata odema atau tidak. Pada konjungtiva terdapat atau tidak hiperemi dan perdarahan. Sklera tampak ikterus atau tidak.
f.
Telinga Ada atau tidak keluar secret, serumen atau benda asing. Bagaimana bentuknya, apa ada gangguan pendengaran.
g.
Hidung Bentuknya bagaimana, adakah pengeluaran secret, apa ada obstruksi atau polip, apakah hidung berbau dan adakah pernafasan cuping hidung.
h.
Mulut dan faring Adakah caries gigi, bagaimana keadaan gusi apakah ada perdarahan atau ulkus. Lidah tremor, parese atau tidak. Adakah pembesaran tonsil.
i.
Leher Bentuknya bagaimana, adakah kaku kuduk, pembesaran kelenjar limphe.
j.
Thoraks Betuknya bagaimana, adakah gynecomasti.
k.
Paru Bentuk bagaimana, apakah ada pencembungan atau penarikan. Pergerakan bagaimana, suara nafasnya. Apakah ada suara nafas tambahan seperti ronchi , wheezing atau egofoni.
l.
Jantung Bagaimana pulsasi jantung (tampak atau tidak). Bagaimana dengan iktus atau getarannya.
m.
Abdomen
Bagaimana bentuk abdomen. Pada klien dengan keluhan retensi umumnya ada penonjolan kandung kemih pada supra pubik. Apakah ada nyeri tekan, turgornya bagaimana. Pada klien biasanya terdapat hernia atau hemoroid. Hepar, lien, ginjal teraba atau tidak. Peristaklit usus menurun atau meningkat. n.
Genitalia dan anus Pada klien biasanya terdapat hernia. Pembesaran prostat dapat teraba pada saat rectal touché. Pada klien yang terjadi retensi urine, apakah trpasang kateter, Bagaimana bentuk scrotum dan testisnya. Pada anus biasanya ada haemorhoid.
o.
Ekstrimitas dan tulang belakang Apakah ada pembengkakan pada sendi. Jari – jari tremor apa tidak. Apakah ada infus pada tangan. Pada sekitar pemasangan infus ada tanda – tanda infeksi seperti merah atau bengkak atau nyeri tekan. Bentuk tulang belakang bagaimana.
b) Pengkajian post operasi Sachse Pengkajian ini dilakukan setelah klien menjalani operasi, yang meliputi: 1. Keluhan utama Keluhan pada klien berbeda–beda antara klien yang satu dengan yang lain. Kemungkinan keluhan yang bisa timbul pada klien post operasi Sachse adalah keluhan rasa tidak nyaman, nyeri karena spasme kandung kemih atau karena adanya bekas insisi pada waktu pembedahan. Hal ini ditunjukkan dari ekspresi klien dan ungkapan dari klien sendiri. 2. Keadaan umum Kesadaran, GCS, ekspresi wajah klien, suara bicara. 3. Sistem respirasi Bagaimana pernafasan klien, apa ada sumbatan pada jalan nafas atau tidak. Apakah perlu dipasang O2. Frekuensi nafas , irama nafas, suara nafas. Ada wheezing dan ronchi atau tidak. Gerakan otot Bantu nafas seperti gerakan cuping hidung, gerakan dada dan perut. Tanda–tanda cyanosis ada atau tidak. 4. Sistem sirkulasi
Nadi (takikardi/bradikardi, irama), tekanan darah, suhu tubuh, monitor jantung (EKG). 5. Sistem gastrointestinal Frekuensi defekasi, inkontinensia alvi, konstipasi/obstipasi, bagaimana dengan bising usus, sudah flatus apa belum, apakah ada mual dan muntah. 6. Sistem neurology Keadaan atau kesan umum, GCS, adanya nyeri kepala. 7. Sistem muskuloskleletal Bagaimana aktifitas klien sehari–hari setelah operasi. Bagaimana memenuhi kebutuhannya. Apakah terpasang infus dan dibagian mana dipasang serta keadaan disekitar daerah yang terpasang infus. Keadaan ekstrimitas. 8. Sistem eliminasi Apa ada ketidaknyamanan pada supra pubik kandung kemih penuh. Masih ada gangguan miksi seperti retensi. Kaji apakah ada tandatanda perdarahan, infeksi. Memakai kateter jenis apa. Irigasi kandung kemih. Warna urine dan jumlah produksi urine tiap hari. Bagaimana keadaan sekitar daerah pemasangan kateter. 9. Terapi yang diberikan setelah operasi Infus yang terpasang, obat–obatan seperti antibiotika, analgetika, cairan irigasi kandung kemih. 2. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Diagnosa sebelum operasi a. Perubahan eliminasi urine: frekuensi, urgensi, hesistancy, inkontinensi, retensi, nokturia atau perasaan tidak puas setelah miksi sehubungan dengan obstruksi mekanik : pembesaran prostat. b. Nyeri sehubungan dengan penyumbatan saluran kencing sekunder terhadap struktur urethra c. Cemas sehubungan dengan hospitalisasi, prosedur pembedahan, kurang pengetahuan tantang aktifitas rutin dan aktifitas post operasi d. Gangguan tidur dan istirahat sehubungan dengan sering terbangun sekunder terhadap kerusakan eliminasi: retensi, disuria, frekuensi, nokturia.
2. Diagnosa setelah operasi a. Nyeri sehubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi sekunder pada Sachse. b. Perubahan eliminasi urine sehubungandengan obstruksi sekunder dari Sachse bekuan darah odema. c. Potensial infeksi sehubungan dengan prosedur invasive: alat selama pembedahan, kateter. d. Potensial untuk menderita cedera: perdarahan sehubungan dengan tindakan. e. Potensial disfungsi seksual sehubungan dengan ketakutan akan impoten akibat dari Sachse. f. Kurang pengetahuan: tentang Sachse sehubungan dengan kurang informasi. g. Gangguan tidur dan istirahat sehubungan dengan nyeri. 3. PERENCANAAN . 1. Sebelum operasi a. Perubahan eliminasi urine: frekuensi, urgensi, resistancy, inkontinensi, retensi, nokturia atau perasaan tidak puas setelah miksi sehubungan dengan obtruksi mekanik: striktur urethra. Tujuan: Pola eliminasi normal Kriteria hasil :
Klien dapat berkemih dalam jumlah normal, tidak teraba distensi kandung kemih. Residu pasca berkemih kurang dari 50 ml. Klien dapat berkemih volunteer. Urinalisa dan kultur hasilnya negative. Hasil laboratorium fungsi ginjal normal. Rencana tindakan : 1. Jelaskan pada klien tentang perubahan dari pola eliminasi. 2. Dorong klien untuk berkemih tiap 2–4 jam dan bila dirasakan. 3. Anjurkan klien minum sampai 3000 ml sehari, dalam toleransi jantung bila diindikasikan. 4. Perkusi / palpasi area supra pubik. 5. Observasi aliran dan kekuatan urine, ukur residu urine pasca berkemih.
Jika volume residu urine lebih besar dari 100 cc maka jadwalkan program kateterisasi intermiten. 6. monitor laboratorium: urinalisa dan kultur, BUN, kreatinin. 7. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat: antagonis Alfaadrenergik (prazosin). Rasional : 1. Meningkatkan pengetahuan klien sehingga klien kooperatif dalam tindakan keperawatan. 2. Meminimalkan retensi urine, distensi yang berlebihan pada kandung kemih. 3. Peningkatan
aliran
cairan,
mempertahankan
perfusi
ginjal
dan
membersihkan ginjal dan kandung kemih dari pertumbuhan bakteri. 4. Distensi kandung kemih dapat dirasakan di area supra pubik. 5. - Observasi aliran dan kekuatan urine untuk mengevaluasi adanya obstruksi - Mengukur residu urine untuk mencegah urine statis karena dapat beresiko infeksi. 6. Statis urinarias potensial untuk pertumbuhan bakteri, peningkatan resiko ISK. Pembesaran prostat dapat menyebabkan dilatasi saluran kemih atas (ureter dan ginjal), potensial merusak fungsi ginjal dan menimbulkan uremia. 7. Mengurangi obstruksi pada buli-buli, relaksasi didaerah prostat sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang.
b. Nyeri sehubungan dengan penyumbatan saluran kencing sekunder terhadap striktur urethra Tujuan : Klien menunjukan bebas dari ketidaknyamanan Kriteria hasil : - Klien melaporkan nyeri hilang / terkontrol - Ekspresi wajah klien rileks - Klien mampu untuk istirahat dengan cukup - Tanda-tanda vital dalam batas normal Rencana tindakan : 1. Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 1-10), dan lamanya. 2. Beri tindakan kenyamanan, contoh: membantu klien melakukan
posisi yang nyaman, mendorong penggunaan relaksasi/latihan nafas dalam. 3. Beri kateter jika diinstruksikan untuk retensi urine yang akut : mengeluh ingin kencing tapi tidak bisa. 4. Observasi tanda–tanda vital. 5. Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat sesuai indikasi, contoh: kaltrofen (Dumerol) Rasional : 1. Memberi informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan Intervensi 2. Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping. 3. Retensi urine menyebabkan infeksi saluran kemih, hidroureter dan hidronefrosis 4. Mengetahui perkembangan lebih lanjut 5. Untuk menghilangkan nyeri hebat/berat, memberikan relaksasi mental dan fisik.
c. Ansietas b.d hospitalisasi, prosedur pembedahan, kurang pengetahuan tentang aktifitas rutin dan aktifitas post operasi. Tujuan: Cemas berkurang/hilang sehingga klien mau kooperatif dalam tindakan perawatan. Kriteria hasil :
Klien melaporkan cemas menurun / berkurang.
Klien memahami dan mau mendiskusikan rasa cemas.
Klien dapat menunjukan dan mengidentifikasi cara yang sehat dalam menghadapi cemas.
Klien tampak rileks dan dapat beristirahat yang cukup.
Tanda – tanda vital dalam batas normal
Rencana tindakan : 1. Bina hubungan saling percaya dengan klien atau keluarga. 2. Dorong klien atau keluarga untuk menyatakan perasaan/masalah. 3. Beri informasi tentang prosedur/tindakan yang akan dilakukan, contoh: kateter, urine berdarah, iritasi kandung kemih. Ketahui seberapa banyak informasi yang diinginkan klien. 4. Jelaskan pentingnya peningkatan asupan cairan.
5. Jelaskan pembatasan aktifitas yang diharapkan : a. Tirah baring untuk hari pertama post operasi b. Ambulasi progresif yang dimulai hari pertama post operasi. c. Hindari aktifitas yang mengencangkan daerah kandung kemih 6. Observasi tanda - tanda vital. Rasional : 1. Menunjukan perhatian dan keinginan untuk membantu. Membantu dalam mendiskusikan tentang subyek sensitif. 2. Mengidentifikasi masalah, memberikan kesempatan untuk menjawab pertanyaan, memperjelas kesalahan konsep dan solusi pemecahan masalah. 3. Membantu klien memahami tujuan dari apa yang dilakukan dan mengurangi masalah karena ketidaktahuan. 4. Urine yang encer dapat menghambat pembentukkan klot. 5. Pemahaman klien dapat membantu mengurangi cemas yang berhubungan dengan kecemasan akibat ketidaktahuan. 6. Perubahan tanda–tanda vital mungkin menunjukkan tingkat kecemasan yang dialami klien.
d. Gangguan tidur dan istirahat sehubungan dengan sering terbangun sekunder terhadap kerusakan eliminasi: retensi, disuria, frekuensi, nokturia. Tujuan: Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi. Kriteria hasil:
Klien mampu istirahat / tidur dengan waktu yang cukup.
Klien mengungkapkan sudah bisa tidur.
Klien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur.
Rencana tindakan: 1. Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur/istirahat dan kemungkinan cara untuk menghindarinya. 2. Ciptakan suasana yang mendukung dengan mengurangi kebisingan. 3. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur. 4. Batasi masukan cairan waktu malam hari dan berkemihsebelum tidur. 5. Batasi masukan minuman yang mengandung kafein.
Rasional : 1. Meningkatkan pengetahuan klien sehingga klien mau kooperatif
terhadap tindakan keperawatan. 2. Suasana yang tenang akan mendukung istirahat klien. 3. Menentukan rencana untuk mengatasi gangguan. 3. Mengurangi frekuensi berkemih malam hari. 4. Kafein dapat merangsang untuk sering berkemih. 2. Sesudah operasi a. Nyeri sehubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada Sachse Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang. Kriteria hasil : Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang. Ekspresi wajah klien tenang. Klien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi. Klien akan tidur / istirahat dengan tepat. Tanda – tanda vital dalam batas normal. Keluarnya urine melalui sekitar kateter sedikit. Rencana tindakan : 1. Jelaskan pada klien tentang gejala dini spasmus kandung kemih. 2. Pemantauan klien pada interval yang teratur selama 48 jam, untuk mengenal gejala–gejala dini dari spasmus kandung kemih. 3. Jelaskan pada klien bahwa intensitas dan frekuensi akan berkurang dalam 24 sampai 48 jam. 4. Beri penyuluhan pada klien agar tidak berkemih ke seputar kateter. 5. Anjurkan pada klien untuk tidak duduk dalam waktu yang lama sesudah tindakan TUR-P. 6. Ajarkan penggunaan teknik relaksasi, termasuk latihan nafas dalam, visualisasi. 7. Jagalah selang drainase urine tetap aman dipaha untuk mencegah peningkatan tekanan pada kandung kemih. Irigasi kateter jika terlihat bekuan pada selang. 8. Observasi tanda–tanda vital 9. Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat–obatan (analgesik atau anti spasmodik) Rasional :
1. Kien dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih. 2. Menentukan
terdapatnya
spasmus
sehingga
obat–obatan
bisa
diberikan. 3. Meberitahu klien bahwa ketidaknyamanan hanya temporer. 4. Mengurang kemungkinan spasmus. 5. Mengurangi tekanan pada luka insisi. 6. Menurunkan tegangan otot, memfokuskan kembali perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping. 7. Sumbatan
pada
selang
kateter
oleh
bekuan
darah
dapat
menyebabkan distensi kandung kemih dengan peningkatan spasme. 8. Mengetahui perkembangan lebih lanjut. 9. Menghilangkan nyeri dan mencegah spasmus kandung kemih.
b. Perubahan pola eliminasi urine sehubungan dengan obstruksi sekunder dari Sachse: bekuan darah, edema. Tujuan: Eliminasi urine normal dan tidak terjadi retensi urine. Kriteria hasil: Klien akan berkemih dalam jumlah normal tanpa retensi. Klien akan menunjukan perilaku yang meningkatkan kontrol kandung kemih. Tidak terdapat bekuan darah sehingga urine lancar lewat kateter. Rencana tindakan: 1. Kaji output urine dan karakteristiknya. 2. Pertahankan irigasi kandung kemih yang konstan selama 24 jam pertama. 3. Pertahankan posisi dower kateter dan irigasi kateter. 4. Anjurkan intake cairan 2500-3000 ml sesuai toleransi. 5. Setalah kateter diangkat, pantau waktu, jumlah urine dan ukuran aliran. 6. Perhatikan keluhan rasa penuh kandung kemih, ketidakmampuan berkemih, urgensi atau gejala – gejala retensi. Rasional: 1. Mencegah retensi pada saat dini. 2. Mencegah bekuan darah karena dapat menghambat aliran urine. 3. Mencegah bekuan darah menyumbat aliran urine. 4. Melancarkan aliran urine. 5. Mendeteksi dini gangguan miksi.
c. Risiko infeksi b.d prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter, Tujuan: Klien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi . Kriteria hasil: Klien tidak mengalami infeksi. Dapat mencapai waktu penyembuhan. Tanda–tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda–tanda shock. Rencana tindakan: 1. Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan steril. 2. Anjurkan intake cairan yang cukup (2500–3000) sehingga dapat menurunkan potensial infeksi. 3. Pertahankan posisi urobag dibawah. 4. Observasi tanda–tanda vital, laporkan tanda–tanda shock dan demam. 5. Observasi urine: warna, jumlah, bau. 6. Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotik. Rasional: 1. Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi. 2. Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK dikurangi dan mempertahankan fungsi ginjal. 3. Menghindari refleks balik urine yang dapat memasukkan bakteri ke kandung kemih. 4. Mencegah sebelum terjadi shock. 5. Mengidentifikasi adanya infeksi. 6. Untuk mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan.
d. Potensial untuk menderita cidera: perdarahan sehubungan dengan tindakan pembedahan. Tujuan: Tidak terjadi perdarahan. Kriteria hasil: Klien tidak menunjukkan tanda–tanda perdarahan. Tanda-tanda vital dalam batas normal. Urine lancar lewat kateter. Rencana tindakan:
1. Jelaskan pada klien tentang sebab terjadi perdarahan setelah pembedahan dan tanda–tanda perdarahan. 2. Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm saluran kateter. 3. Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat untuk memudahkan defekasi. 4. Mencegah pemakaian termometer rektal, pemeriksaan rektal atau huknah, untuk sekurang–kurangnya satu minggu. 5. Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan kapan traksi dilepas. 6. Observasi : Tanda–tanda vital tiap 4 jam, masukan dan haluaran, warna urine. Rasional : 1. Menurunkan kecemasan klien dan mengetahui tanda–tanda perdarahan. 2. Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan perdarahan kandung kemih. 3. Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatik yang akan mengendapkan perdarahan. 4. Dapat menimbulkan perdarahan prostat. 5. Traksi kateter menyebabkan pengembangan balon ke sisi fosa prostatik, menurunkan perdarahan. Umumnya dilepas 3–6 jam setelah pembedahan. 6. Deteksi awal terhadap komplikasi, dengan intervensi yang tepat mencegah kerusakan jaringan yang permanen.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, edisi 6. Jakarta: Penerbit buku kedokteran, EGC. Carpenito, Lynda Juall. 1998. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, edisi 2. Jakarta: Penerbit buku kedokteran, EGC. Doenges, Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3. Jakarta: Penerbit buku kedokteran, EGC. Lab UPF Ilmu Bedah, 1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi. RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. Long, Barbara C. 1996. Pendekatan Medikal Bedah 3, Suatu pendekatan proses keperawatan. Bandung: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran. Sjamsuhidayat, R (et al). 1997. Buku Ajar Bedah. Jakarta: Penerbit buku kedokteran, EGC. Purnawan Junadi. 1982. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ke-2. Jakarta: Media Aeskulapius, FKUI.