BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Urine di keluarkan melalui uretra. Uretra wanita jauh lebih pendek dari pada uretra pria hanya 4 cm panjangnya di bandingkan dengan panjang sekitar 20 cm pada pria. Perbedaan Per bedaan anatomis menyebabkan insiden infeksi saluran kemih asendens as endens lebih l ebih tinggi pada wanita. dengan demikian hitung koloni yang lebih dari 100.000 sel bakteri permililiter urin di anggap bermakna patologis. pat ologis. Sfingter internal bagian atas ata s di tempat keluar dari kandung kemih, terdiri atas otot polos dan dibawah pengendalian otonom. Sfingter eksternal adala otot rangka dan berada di bawah pengendalian folunter. Uretra pada pria memiliki fungsi fungsi ganda sebagai saluran untuk untuk urin dan spermatozoa melalui koitus. Striktur urethra merupakan penyakit atau kelainan yang berupa penyempitan atau konstriksi dari lumen urethra akibat adanya obstruksi . Striktur urethra di sebut juga penyempitan akibat dari adanya pembentukan jaringan fibrotik (jaringan parut) pada urethra atau daerah urethra.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi striktur uretra? 2. Bagaimana anatomi fisiologi striktur uretra? 3. Apa sajakah etiologi striktur uretra? 4. Apa sajakah manifestasi klinis striktur uretra? 5. Bagaimana patofisiologi striktur uretra? 6. Bagaimana pathway striktur uretra? 7. Bagaimana pencegahan striktur uretra? 8. Apa sajakah komplikasi striktur uretra? 9. Bagaimana pemeriksaan diagnostik striktur uretra? 10. Bagaimana penatalaksanaan striktur uretra?
1
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa definisi striktur uretra 2. Untuk mengetahui bagaimana anatomi fisiologi striktur uretra 3. Untuk mengetahui apa sajakah etiologi striktur uretra 4. Untuk mengetahui apa sajakah manifestasi klinis striktur uretra 5. Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi striktur uretra 6. Untuk mengetahui bagaimana pathway striktur uretra 7. Untuk mengetahui bagaimana pencegahan striktur uretra 8. Untuk mengetahui apa sajakah komplikasi striktur uretra 9. Untuk mengetahui bagaimana pemeriksaan diagnostik striktur uretra 10. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan striktur uretra
2
BAB II PEMBAHASAN
A. Anatomi Fisiologi Uretra
Gb. A Gb. B Gb. C Ket Gambar A: 1. Ginjal, 2. Renal pelvis, 3. Ureter, 4. Vesika urinaria, 5.uretra B: uretra pada pria C: uretra pada wanita Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine keluar dari buli-buli melalui proses miksi. Pada pria organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani. Uretra ini diperlengkapi dengan spingter uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, dinding terdiri atas otot polos yang disyarafi oleh sistem otonomik dan spingter uretra eksterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior, dinding terdiri atas otot bergaris yang dapat diperintah sesuai dengan keingian seseorang. Panjang uretra dewasa ± 23-25 cm. Secara anatomis uetra terdiri dari dua bagian yaitu uretra posterior dan uretra anterior. Kedua uretra ini dipisahkan oleh spingter uretra eksternal. Uretra posterior pada pria terdiri atas uretra pars prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat, dan uretra pars membranasea. Dibagian posterior lumen uretra prostatika terdapat suatu tonjolan verumontanum, dan disebelah kranial dan kaudal dari verumontanum ini terdapat krista uretralis. Bagian akhir dari vasdeferen yaitu kedua duktus ejakulatorius terdapat dipinggir kanan dan kiri verumontanum,
3
sedangkan sekresi kelenjar prostat bermuara didalam duktus prostatiks yang tersebar di uretra prostatika. Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum penis. Uretra anterior terdiri atas: 1. Pars bulbosa, 2. Pars pendularis, 3. Fossa navikulare, dan 4. Meatus uretra eksterna. Didalam lumen uretra anterior terdapat beberapa muara kelenjar yang berfungsi dalam proses reproduksi, yaitu kelenjar Cowperi berada didalam diafragma urogenitalis bermuara diuretra pars bulbosa, serta kelenjar Littre yaitu kelenjar para uretralis yang bermuara di uretra pars pendularis.
B. Definisi Striktur Uretra
Striktur urethra adalah penyempitan atau konstriksi dari lumen urethra akibat adanya obstruksi. Striktur uretra lebih sering terjadi pada pria daripada wanita terutama karena perbedaan panjangnya uretra. (C. Long, Barbara, 1996). Striktur urethra adalah penyempitan akibat dari adanya pembentukan jaringan fibrotik (jaringan parut) pada urethra atau daerah ure thra. (UPF Ilmu Bedah, 1994) Striktur uretra adalah suatu kondisi penyempitan lumen uretra. Striktur uretramenyebabkan gangguan dalam berkemih, mulai dari aliran berkemih yang kecil sampai tidak dapat mengeluarkan urine keluar dari tubuh. (Muttaqin.A, 2011)
C. Etiologi Striktur Uretra
Striktur uretra dapat terjadi secara (C. Smeltzer, Suzanne, 2002 dan C. Long, Barbara, 1996) : 1. Kongenital Striktur uretra dapat terjadi secara terpisah ataupun bersamaan dengan anomali saluran kemih yang lain. Striktur ini bisanya sering terjadi di fossa navikularis dan pars membranase, sifat striktur ini adalah stationer dan biasanya timbul terpisah atau bersamaan dengan anomalia sakuran kemih yang lain. 2. Didapat a. Cedera uretral (akibat insersi peralatan bedah selama operasi transuretral, kateter indwelling, atau prosedur sitoskopi) b. Cedera akibat peregangan c. Cedera akibat kecelakaan d. Uretritis gonorheal yang tidak ditangani e. Spasmus otot 4
f.
Tekanan dai luar misalnya pertumbuhan tumor
3. Post operasi Beberapa operasi pada saluran kemih dapat menimbulkan striktur uretra, seperti operasi prostat, operasi dengan alat endoskopi. 4. Infeksi Merupakan faktor yang paling sering menimbulkan striktur uretra, seperti infeksi oleh kuman gonokokus yang menyebabkan uretritis gonorrhoika atau non gonorrhoika telah menginfeksi uretra beberapa tahun sebelumnya namun sekarang sudah jarang akibat pemakaian antibiotik, kebanyakan striktur ini terletak di pars membranasea, walaupun juga terdapat pada tempat lain, infeksi chlamidia sekarang merupakan penyebab utama tapi dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan individu yang terinfeksi atau menggunakan kondom.
D. Manifestasi Klinis Striktur Uretra
Keluhan: kesulitan dalam berkemih, harus mengejan, pancaran mengecil, pancaran bercabang dan menetes sampai retensi urine. Pembengkakan dan getah/nanah di daerah perineum, skrotum dan terkadang timbul bercak darah di celana dalam. Bila terjadi infeksi sistemik penderita febris, warna urine bisa keruh (Nursalam, 2008) Gejala dan tanda striktur biasanya mulai dengan hambatan arus kemih dan kemudian timbul sindrom lengkap obstruksi leher kandung kemih seperti digambarkan pada hipertrofia prostat . Striktur akibat radang uretra sering agak luas dan mungkin multiple (Smeltzer.C, 2002)
Derajat penyempitan uretra: 1.
Ringan: jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen.
2.
Sedang: oklusi 1/3 s.d 1/2 diameter lumen uretra.
3.
Berat: oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen uretra.
Ada derajat berat kadang kala teraba jaringan keras di korpus spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis (Basuki B. Purnomo; 2000)
5
E. Patofisiologi Striktur Uretra
Lesi pada epitel uretra atau putusnya kontinuitas, baik oleh proses infeksi maupun
akibat
dan fibroblastic.
trauma,
akan
menimbulkan
Iritasi
dan
urine
terjadinya
pada
uretra
reaksi akan
peradangan mengundang
reaksi fibroblastic yang berkelanjutan dan proses fibrosis makin menghebat sehingga terjadilah penyempitan bahkan penyumbatan dari lumen uretra serta aliran urine mengalami hambatan dengan segala akibatnya. Ekstravasasi urine pada uretra yang mengalami lesi akan mengundang terjadinya
peradangan
periuretra
yang
dapat
berkembang
menjadi abses
periuretra dan terbentuk fistula uretrokutan (lokalisasi pada penis, perineum dan atau skrotum). (Nursalam, 2008)
F. Pencegahan Striktur Uretra
Elemen penting dalam pencegahan adalah menangani infeksi uretral dengan tepat. Pemakaian kateter uretral untuk drainase dalam waktu lama harus dihindari dan perawatan menyeluruh harus dilakukan pada setiap jenis alat uretral termasuk kateter (C. Smeltzer, S., 2002) 1. Menghindari terjadinya trauma pada uretra dan pelvis 2. Tindakan transuretra dengan hati-hati, seperti pada pemasangan kateter 3. Menghindari kontak langsung dengan penderita yang terinfeksi penyakit menular seksual seperti gonorrhea, dengan jalan setia pada satu pasangan dan memakai kondom 4. Pengobatan dini striktur uretra dapat menghindari komplikasi seperti infeksi dan gagal ginjal
G. Komplikasi Striktur Uretra
1. Infeksi saluran kemih. 2. Gagal ginjal. 3. Refluks vesio uretra. 4. Retensi urine.
6
H. Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratoriun Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk pelengkap pelaksanaan pembedahan. Selain itu, beberapa dilakukan untuk mengetahui adanya tanda – tanda infeksi melalui pemeriksaan urinalisis dan kultur urine. 2. Uroflowmetri Uroflowmetri adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan pancaran urine. Volume urine yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan lamanya proses miksi. Kecepatan pancaran urine normal pada pria adalah 20 ml/detik dan pada wanita 25 ml/detik. Bila kecepatan pancaran kurang dari harga normal menandakan adanya obstruksi. 3. Radiologi Diagnosis
pasti
dibuat
dengan uretrografi sehingga
dapat
melihat
letak
penyempitan dan besarnya penyempitan uretra. Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai panjang striktur adalah dengan sistouretrografi yaitu memasukkan bahan kontras secara antegrad dari buli-buli dan secara retrograd dari uretra. Dengan pemeriksaan ini, panjang striktur dapat diketahui sehingga penting untuk perencanaan terapi atau operasi 4.
Urinalisis: warna kuning, coklat gelap, merah gelap/terang, penampilan keruh, pH: 7 atau lebih besar, bakteria.
5.
Kultur urin: adanya staphylokokus aureus. Proteus, klebsiella, pseudomonas, e.coli.
6. Uretrografi: adanya penyempitan atau pembuntuan uretra. Untuk mengetahui panjangnya penyempitan uretra dibuat foto iolar (sisto) uretrografi (Basuki B.P., 2000; Doenges E. Marilynn, 2000 dan Muttaqin.A, 2011)
I. Penatalaksanaan Striktur Uretra 1.
Filiform bougies untuk membuka jalan jika striktur menghambat pemasangan kateter
2.
Medika mentosa:
Analgesik non narkotik untuk mengendalikan nyeri.
Medikasi antimikrobial untuk mencegah infeksi.
7
3.
Pembedahan
Sistostomi suprapubis Businasi ( dilatasi) dengan busi logam yang dilakukan secara hati -hati.
Uretrotomi interna: memotong jaringan sikatrik uretra dengan pisau otis/sachse. Otis dimasukkan secara blind ke dalam buli – buli jika striktur belum total. Jika lebih berat dengan pisau sachse secara visual.
Uretritimi eksterna: tondakan operasi terbuka berupa pemotonganjaringan fibrosis, kemudian dilakukan anastomosis diantara jaringan uretra yang masih baik (Basuki B. P., 2000 dan Doenges E. Marilynn, 2000)
J. Konsep Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian
Pengkajian merupakan pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang klien agar dapat mengidentifikasi mengenai masalah kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien baik fisik, mental, sosial, dan lingkungan. (Nasrul Effendi, 1995).
a. Pengumpulan Data
1) Identitas klien Meliputi : nama, umur, nomor register, jenis kelamin, status, alamat, tanggal MRS, diagnosa medis. 2) Keluhan utama Keluhan pada klien berbeda – beda antara klien yang satu dengan yang lain. Kemungkinan keluhan yang bisa timbul pada klien adalah keluhan rasa tidak nyaman, nyeri karena spasme kandung kemih atau karena adanya bekas insisi pada waktu pembedahan. Hal ini ditunjukkan dari ekspresi klien dan ungkapan dari klien sendiri. 3) Keadaan umum Kesadaran, GCS, ekspresi wajah klien, suara bicara. 4) Pola aktivitas sehari-hari Pola aktivitas sehari-hari pada klien yang mengalami striktur uretra meliputi frekuensi makan, jenis makanan, porsi makan, jenis dan kuantitas minum dan eliminasi yang meliputi BAB (Frekuensi, warna,
8
konsistensi) serta BAK (frekuensi, banyaknya urine yang keluar setiap hari dan warna urine). Personal hygiene (frekuensi mandi, mencuci rambut, gosok gigi, ganti pakaian, menyisir rambut dan menggunting kuku). Olahraga (frekuensi dan jenis) serta rekreasi (frekuensi dan tempat rekreasi). 5) Sistem pernafasan Perlu dikaji mulai dari bentuk hidung, ada tidaknya sakit pada lubang hidung, pergerakan cuping hidung pada waktu bernafas, kesimetrisan gerakan dada pada saat bernafas, auskultasi bunyi nafas dan gangguan pernafasan yang timbul. Apakah bersih atau ada ronchi, serta frekuensi nafas.
hal
ini
penting
karena
imobilisasi
berpengaruh
pada
pengembangan paru dan mobilisasi secret pada jalan nafas. 6) Sistem kardiovaskuler Mulai dikaji warna konjungtiva, warna bibir, ada tidaknya peninggian vena jugularis dengan auskultasi dapat dikaji bunyi jantung pada dada dan pengukuran tekanan darah dengan palpasi dapat dihitung frekuensi denyut nadi. 7) Sistem pencernaan Yang dikaji meliputi keadaan gigi, bibir, lidah, nafsu makan, peristaltik usus, dan BAB. Tujuan pengkajian ini untuk mengetahui secara dini penyimpangan pada sistem ini. Sistem genitourinaria Dapat dikaji dari ada tidaknya pembengkakan dan nyeri pada daerah pinggang, observasi dan palpasi pada daerah abdomen bawah untuk mengetahui adanya retensi urine dan kaji tentang keadaan alat-alat genitourinaria bagian luar mengenai bentuknya ada tidaknya nyeri tekan dan benjolan serta bagaimana pengeluaran urinenya, lancar atau ada nyeri waktu miksi, serta bagaimana warna urine. 8) Sistem muskuloskeletal Yang perlu dikaji pada sistem ini adalah derajat Range of Motion dari pergerakan sendi mulai dari kepala sampai anggota gerak bawah, ketidaknyamanan atau nyeri yang dilaporkan klien waktu bergerak, toleransi klien waktu bergerak dan observasi adanya luka pada otot harus dikaji juga, karena klien imobilitas biasanya tonus dan kekuatan ototnya menurun. 9
9) Sistem integumen Yang perlu dikaji adalah keadaan kulitnya, rambut dan kuku, pemeriksaan kulit meliputi : tekstur, kelembaban, turgor, warna dan fungsi perabaan. 10) Sistem neurosensori Sistem neurosensori yang dikaji adalah fungsi serebral, fungsi saraf cranial, fungsi sensori serta fungsi refleks.
2. Diagnosa Nanda NIC NOC
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi b. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis d. Resiko infeksi berhubungan dengan masuknya mikroorganisme pathogen karena tindakan invasive (pemasangan kateter) Doenges E. Marilynn 1.
Gangguan pola eliminasi BAK berhubungan dengan post op c ystostomi.
2.
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan post op c ystostomi.
3.
Resiko volume cairan berlebih berhubungan dengan larutan irigasi kandung kemih diabsorbsi.
4.
Resiko infeksi, hemoragi berhubungan dengan pembedahan.
5.
Inkontinen, stress atau mendesak berhubungan dengan pengangkatan kateter setelah bedah.
6.
Resiko disfungsi seksual berhubungan dengan penyakitnya (striktur).
7.
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi, salah interpretasi informasi.
10
3. Intervensi RENCANA KEPERAWATAN NO
DIAGNOSA
TUJUAN dan KRITERIA
KEP
1.
Kelebihan
INTERVENSI
HASIL NOC:
volume cairan Setelah
NIC:
dilakukan
tindakan
b/d Gangguan
keperawatan,
diharapkan
mekanisme
kelebihan volume cairan klien
regulasi
dapat teratasi dengan
1. Kaji masukan
yang
relative terhadap keluaran secara akurat. 2. Kaji perubahan edema: ukur lingkar abdomen
kriteria hasil:
Terbebas dari edema, efusi
pada umbilicus serta pantau
Bunyi nafas bersih, tidak
edema sekitar mata. 3. Timbang berat badansetiap
ada dyspnue
Terbebas
dari
kelelahan,
kecemasan
atau
hari (atau lebih sering jika di indikasikan). 4. Berikan diuretic bila
kebingungan
di instruksikan. 5. Atur masukan cairan dengan cermat. 2.
Nyeri Akut b/d
NOC:
NIC :
agens Cedera
Pain Level,
Pain Management
Biologis
Pain control,
1. Kaji nyeri
Comfort level Setelah
secara
komprehensif termasuk lokasi,
dilakukan
tindakan
karakteristik,
durasi,
keperawatan, nyeri klien dapat
frekuensi, kualitas dan faktor
teratasi dengan kriteria hasil:
presipitasi
Mampu mengontrol nyeri (tahu mampu
penyebab
nyeri,
menggunakan
2. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi 3. Tingkatkan istirahat
nonfarmakologi
4. Kolaborasikan dengan dokter
untuk mengurangi nyeri,
jika ada keluhan dan tindakan
mencari bantuan)
nyeri tidak berhasil.
tehnik
11
Melaporkan bahwa nyeri berkurang
dengan
menggunakan
5. Ajarkan tentang teknik non farmakologi
manajemen
nyeri
Analgesic Administration
Mampu mengenali nyeri
1. Monitor vital sign sebelum
(skala, intensitas, frekuensi
dan
dan tanda nyeri)
analgesik pertama kali
Menyatakan rasa nyaman
sesudah
2. Tentukan
pemberian
pilihan
analgesik
setelah nyeri berkurang
tergantung tipe dan beratnya
Tanda vital dalam rentang
nyeri 3. Pilih rute pemberian secara
normal
IV,
IM
untuk
pengobatan
nyeri secara teratur 4. Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat 5. Evaluasi efektivitas analgesik, tanda
dan
gejala
(efek
samping) 3.
Ketidakseimba ngan
NOC :
Nutrition Management
nutrisi Nutritional Status :
kurang kebutuhan
1. Kaji adanya alergi makanan
dari Nutritional Status : food and Fluid Intake
2. Kaji kemampuanpasien untuk mendapatkan nutrisi
tubuh
yang
dibutuhkan
b/d faktor
Nutritional
biologis
intake
Status:
nutrient 3. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
Weight control
4. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
KriteriaHasil :
Adanya peningkatanberat
5. Berikan substansi gula
badan sesuaidengan tujuan
6. Berikan makanan yang terpilih
Berat badan
ideal
sesuai
dengan tinggi badan
Mampu mengidentifikasike butuhan nutrisi
(sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi) 7. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah
12
Tidak ada tanda – tanda
kalori dan nutrisi
yang
malnutrisi
dibutuhkan pasien. 8. Ajarkan pasien
Menunjukkan peningkatan fungsi
bagaimana membuat
pengecapan dari menelan
catatan makanan harian
Tidak
terjadi
penurunan
berat badan yang berarti
Nutrition Monitoring
1. Monitor
adanya
penurunan berat badan 2. Monitor
tipe
dan
jumlah
aktivitas yang biasa dilakukan 3. Monitor
lingkungan
selama makan 4. Monitor
kulit
kering
dan
perubahan pigmentasi 5. Monitor turgor kulit 6. Monitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah 7. Monitor mual danmuntah 8. Monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht 9. Monitor dan
pucat,
kemerahan,
kekeringan
jaringan
konjungtiva 10. Monitor
kalori dan
intake
nuntrisi 11. Jadwalkan
pengobatan dan
tindakan tidak selama jam makan 12. Catat adanya hiperemik,
edema, hipertonik papilla
lidah dan cavitas oral. 13. Catat
jika
lidah
berwarna
13
magental, scarlet 4.
Resiko infeksi
NOC : Immune status
NIC : Infection control
b/ d masuknya Klien bebas dari tanda dan
Cuci tangan setiap sebelum dan
mikroorganise
gejala infeksi
sesudah tindakan keperawatan
karena
Knowledge infection control
Infection protection
tindakan
pathogen
Mendeskripsikan
proses
1. Monitor
tanda
dan
gejala
invasive
pengeluaran
infeksi sistemik dan lokal
(pemasangan
penyakit,faktor
yang 2. Monitor kerentangan terhadap
kateter)
mempengaruhi
serta
penatalaksaannya
Menunjukan
infeksi 3. Inspeksi kondisi luka
kemampuan
untuk mencegah timbulnya infeksi
Intervensi Keperawatan Doenges E. Marilynn 1. Gangguan pola eliminasi BAK berhubungan dengan post op cystostomi.
Tujuan: Tidak terjadi gangguan pola eliminasi BAK Intervensi keperawatan: a. Pemantauan output urine dan karateristik. Rasional : Mendeteksi gangguan pola eliminasi BAK secara dini. b. Mempertahankan irigasi kemih yang konstan selama 24 jam. Rasional : Mencegah bekuan darah menyumbat aliran urine. c. Mempertahankan kepatenan dauer kateter dengan irigasi. Rasional : Mencegah bekuan darah menyumbat kateter. d. Mengusahakan intake cairan (2500 – 3000). Rasional : Melancarkan aliran urine. e. Setelah kateter diangkat, terus memantau gejala-gejala gangguan pola eliminasi BAK Rasional : Mendeteksi dini gangguan pola eliminasi BAK.
14
2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan post op cystostomi.
Tujuan: Pasien mengatakan perasaannya lebih nyaman. Intervensi keperawatan: a. Penyuluhan kepada pasien agar tidak berkemih ke seputar kateter. Rasional : Mengurangi kemungkinan spasmus. b. Pemantauan pasien pada interval yang teratur selama 24 jam, untuk mengenal gejala-gejala dini spasmus kandung kemih. Rasional : Menentukan terdapatnya spasmus kandung kemih sehingga obatobatan bisa diberikan. c. Memberikan obat-obatan yang dipesankan (analgetik, antispasmodik). Rasional : Gejala menghilang. d. Katakan pada pasien bahwa intensitas dan frekuensi akan berkurang dalam 24 jam sampai 28 jam. Rasional : Memberitahu pasien bahwa ketidaknyamanan hanya temporer.
3. Resiko volume cairan berlebihan berhubungan dengan larutan irigasi kandung kemih diabsorbsi.
Tujuan: Gejala – gejala dini intoksikasi air secara dini dikenal. Intervensi keperawatan: a. panatu intake dan output dalam 24 jam b. Kaji tanda-tanda kelebihan volume cairan
4. Resiko infeksi, hemoragi dengan pembedahan.
Tujuan: Tidak terjadi infeksi, perdarahan minim. Intervensi keperawatan a. Pemantauan tanda-tanda vital, melaporkan gejala-gejala shock dan demam. Rasional : Mencegah sebelum terjadi shock. b. Pemantauan warna urine darah merah segar bukan merah tua beberapa jam setelah bedah baru. Rasional : Warna urine berubah dari merah segar menjadi merah tua pada hari ke 2 dan ke 3 setelah operasi. c. Penyuluhan kepada pasien agar mencegah manuver valsava. Rasional : Dapat mengiritasi, perdarahan prostat pada periode dini pasca bedah akibat tekanan. 15
d. Mencegah pemakaian termometer rectal, pemeriksaan rectal atau huknah sekurang-kurangnya 1 minggu. Rasional : Dapat menimbulkan perdarahan. e. Mempertahankan teknik aseptik dari sistem drainase urine, irigasi bila perlu saja. Rasional : Meminimalkan resiko masuknya kuman yang bisa menyebabkan infeksi. f. Mengusahakan intake yang banyak. Rasional : Dapat menurunkan resiko infeksi.
5. Inkontinen, stress atau mendesak berhubungan dengan pengangkatan kateter setelah bedah.
Tujuan: Pasien dapat mengendalikan berkemih. Intervensi keperawatan: a. Pengkajian terjadi tetesan urine setelah kateter diangkat. Rasional : Mendeteksi kontinen. b. Katakan kepada pasien bahwa itu biasa dan kontinen akan pulih. Rasional : Pasien harus dibesarkan harapannya bahwa ia itu normal. c. Penyuluhan latihan-latihan perineal. Rasional : Bantuan untuk mengendalikan kandung kemih.
6. Resiko disfungsi seksual berhubungan dengan penyakitnya (striktur).
Tujuan: Fungsi seksual dapat dipertahankan. Intervensi keperawatan: a. Memberi intervensi kepada pasien bahwa dalam berhubungan seksual, pengeluaran sperma akan melalui lumen buatan.. Rasional : Klien mengatakan perubahan fungsi seksual. b. Memberikan informasi menurut kebutuhan. Kemungkinan kembali tingkat fungsi seperti semula. Kejadian ejakulasi retrograde (air kemih seperti susu). Mencegah hubungan seksual 3 sampai 4 minggu setelah operasi. Rasional : Kurang pengetahuan dapat membangkitkan cemas, dan berdampak disfungsi seksual.
16
7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi, salah interpretasi informasi
Tujuan: Pasien menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan berobat jalan. Intervensi keperawatan a. Penyuluhan kepada pasien. Mencegah aktivitas berat 3 sampai 4 minggu setelah operasi. Rasional : Dapat menimbulkan perdarahan. b. Mencegah mengedan waktu BAB selama 4 sampai 6 minggu, memakai pelunak tinja laksatif sesuai kebutuhan. Rasional : Mengedan bisa menimbulkan perdarahan, pelunak tinja bisa mengurangi kebutuhan untuk mengedan waktu BAB c. Anjurkan minum sekurang-kurangnya 2500 sampai 3000 ml/hari. Rasional : Dengan pemberian minum yang banyak maka klien akan BAK dan tidak terjadi penyumbatan.
17
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Striktur urethra merupakan penyakit atau kelainan yang berupa penyempitan atau konstriksi dari lumen urethra akibat adanya obstruksi . Striktur urethra di sebut juga penyempitan akibat dari adanya pembentukan jaringan fibrotik (jaringan parut) pada urethra atau daerah urethra. Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine keluar dari buli-buli melalui proses miksi. Pada pria organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani. Berdasarkan penyebab/etiologinya striktur dibagi menjadi 4 jenis : striktur urethra congenital, striktur urethra di dapat, striktur urethra post operasi dan striktur akibat infeksi.
B. Saran
Sebagai seorang perawat kita diharapkan dapat memberikan asuhan keperawatan secara profesioanal terkait masalah keperawatan tentang striktur uretra.
18
DAFTAR PUSTAKA
Basuki B. purnomo, Dasar-Dasar Urologi, Malang, Fakultas Kedokteran Brawijaya, 2000 Doenges, M. E., 2000. RencanaAsuahan Keperawatan , Jakarta: EGC Long, Barbara C. 1996. Pendekatan proses
Medikal
Bedah 3,
Suatu
pendekatan
keperawatan. Bandung: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan
Keperawatan
Padjajaran.
Lab UPF Ilmu Bedah, 1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi. RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. Mansjoer Arief., dkk, (1999), Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3, Penerbit MediaAeusculapius FKUI. Nursalam. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Salemba
Medika. Jakarta.
19