LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN RESIKO JATUH PADA LANSIA DI RUMAH PELAYANAN SOSIAL LANJUT USIA PUCANG GADING SEMARANG
Disusun oleh : SHINTA NURAINI NIM. P1337420916028
PROGRAM STUDI PROFESI NERS JURUSAN KEPERAWATAN SEMARANG POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG 2017
A. Konsep Dasar 1. Definisi Lansia
Lanjut usia (Lansia) adalah bagian dari proses tumbuh kembang, manusia tidak secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak, dewasa, dan akhirnya menjadi tua. Menurut UU no 4 tahun 1945 lansia adalah seseorang yang mencapai berusia 55 tahun yang merupakan kelompok orang lansia yang mengalami proses penuaan yang terjadi secara bertahap dan merupakan proses alami yang tidak dapat dihindari. Menurut Kemkes RI (2010) lanjut usia adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih. Pada usia ini adalah fase menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang di mulai dengan adanya perubahan dalam hidup. Sebagaimana di ketahui, ketika manusia mencapai usia dewasa, maka seseorang
mempunyai
kemampuan
reproduksi
dan
melahirkan anak. Ketika
kondisi hidup berubah seseorang akan kehilangan tugas dan fungsi ini, dan selanjutnya memasuki usia lanjut, kemudian meninggal dunia. Bagi manusia yang normal, siapa orangnya, tentu telah siap menerima keadaan baru dalam setiap fase hidupnya dan mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi lingkunganya (Darmojo, 2004). Perubahan ini adalah hal yang normal dalam satu siklus kehidupan manusia, dengan perubahan fisik, psikososial dan tingkah laku yang terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai tahapan usia lanjut dimasa ini seseorang senantiasa mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial secara bertahap (Azizah , 2011).
2. Karakteristik Lansia
Ada beberapa karakteristik lansia yang perlu diidentifikasi berdasarkan data demografi untuk mengetahui keberadaan masalah-masalah kesehatan lansia yaitu: jenis kelamin diamana jumlah lansia lebih didominasi oleh kaum perempuan. Selain itu, terdapat perbedaan kebutuhan dan masalah kesehatan yang dihadapi antara lansia lakilaki dan perempuan. misalnya, lansia laki-laki banyak menderita hipertropi prostat, sementara lansia perempuan menderita osteoporosis. Status Perkawinan, yang masih berpasangan atau sudah hidup sendiri (duda/janda) mempengaruhi kondisi kesehatan fisik maupun kondisi kesehatan secara psikososial pada lansia umumnya. Penataan kehidupan lansia bervariasi, keadaan pasangan yang masih menanggung keluarganya :
anak atau keluarga lainnya, tempat tinggal, rumah sendiri, suasana tinggal bersama dengan anak atau keluarga besar, atau tinggal sendiri. Dewasa ini kebanyakan lansia masih hidup sebagai bagian dari keluarganya, baik lansia sebagai kepala keluarga atau bagian dari keluarga anak- anaknya. Walaupun ada kecenderungan bahwa lansia akan ditempatkan oleh anaknya atau keluarganya dalam rumah yang berbeda. Kondisi kesehatan lansia dan kondisi kemampuan umum dalam beraktivitas sehari-hari dapat dioptimalkan sehingga tidak tergantung kepada orang lain, seperti; makan/minum, berpindah, kebersihan diri mandi, mengganti pakaian sendiri, buang air kecil dan buang air besar. Frekuensi sakit yang tinggi menyebabkan lansia menjadi tidak produktif lagi dan mengalami tergantung kepada orang lain. Hal ini harus diupayakan untuk meminimalkan resiko penyakit yang timbul dengan melakukan kontrol secara rutin ke pelayanan kesehatan.
3. Proses Menua
Menua adalah suatu proses alami dalam kehidupan yang tidak dapat dihindari oleh manusia, proses ini merupakan tahap akhir dari siklus hidup manusia yang akan dialami oleh setiap individu secara terus-menerus dan berkesinambungan (Surilena &Agus, 2006). Pertambahan usia akan menimbulkan perubahan-perubahan sel/jaringan/organ
dan
pada
struktur
sistem
yang
dan ada
fungsi pada
fisiologis tubuh
dari
berbagai
manusia
sehingga
menyebabkan sebagian besar lansia mengalami kemunduran atau perubahan pada fisik, psikologis, dan sosial (Mubarak dkk, 2010; Putri dkk, 2008). Banyak perubahan yang dikaitkan dengan proses menua merupakan akibat dari kehilangan yang bersifat bertahap. Berdasarkan perbandingan yang diamati antar kelompok usia yang berbeda, sebagian besar organ mengalami kehilangan fungsi sekitar 1% per tahun, dimulai usia sekitar 40 tahun. Namun demikian, perubahan pada seorang lanjut usia akan mengalami perlambatan mulai pada usia 70 tahun (Setiadi, 2006). Menurut Arisman (2004) kekuatan, ketahanan dan kelenturan otot rangka berkurang. Sehingga kepala dan leher terfleksi ke depan, sementara ruas tulang belakang mengalami pembengkakan (kifosis), panggul dan lutut juga terfleksi sedikit. Keadaan tersebut menyebabkan postur tubuh terganggu sehingga
menimbulkan
beberapa masalah kemunduran dan kelemahan pada lansia, seperti pergerakan, kestabilan terganggu dan terjadinya resiko jatuh: Intelektual terganggu (demensia), Depresi, Inkontinensia dan impotensia, Defisiensi imunologis, Infeksi, konstipasi dan malnutris, insomnia, kemunduran penglihatan, pendengaran, pengecapan, pembauan, komunikasi dan integrasi kulit, kemunduran proses penyembuhan penyakit yang diderita. Perubahan fisik pada lansia diantaranya : sistem penglihatan pada lansia sangat erat kaitannya dengan prebiopi, dimana lensa kehilangan elastis dan kaku, otot penyangga lensa lemah, ketajaman penglihatan dan daya akomodasi dari jarak jauh dan dekat berkurang, penggunaan kacamata dan sistem penerangan perlu diperhatikan. Sistem Pendengaran pada lansia merupakan kemampuan daya pendengaran pada telinga dalam, terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak jelas dan sulit dimengerti kata-kata terjadi pada lansia diatas 60 tahun.Sistem Integumen kulit pada lansia sudah mulai kendur, tidak
elastis, mengerut dan kulit akan
kekurangan cairan sehingga akan menjadi tipis dan berbecak. Kulit timbul pigmen berwarna coklat, perubahan kulit dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain angin, sinar ultra violet. Sistem muskuloskeletal mengalami perubahan sistem muskuloskeletalpada lansia seperti kulit, tendon, tulang, kartilago dan jaringan pengikat. Perubahan pada kolagen merupakan penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan nyeri, penurunan kekuatan otot, sulit bergerak dari duduk ke berdiri dan jongkok hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
4. Definisi Resiko Jatuh
Jatuh adalah suatu kejadian yang di laporkan penderita atau saksi mata yang melibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di lantai /tempat yang lebih rendah atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka (Reuben). Jatuh dapat menimbulkan terjadinya Cidera pada lansia. Kejadian jatuh sering terjadi atau dialami oleh usia lanjut . Banyak faktor berperan di dalamnya ,kelemahan otot ekstremitas bawah kekakuan sendi ,sinkope dan dizzines ,serta faktor ekstrinsik sertai lantai yang licin dan tidak rata tersandung benda-benda ,pengelihatan kurang terang dan sebagainya.
Tidak mengejutkan bahwa jatuh merupakan kejadian yang mempercepat patah tulang pada orang dengan kepadatan mineral tulang Bone Mineral Density (BMD) rendah. Jatuh dapat dicegah sehingga akan mengurangi risiko patah tulang. Jatuh adalah penyebab terbesar untuk patah tulang pinggul dan berkaitan dengan meningkatnya risiko yang berarti terhadap berbagai patah tulang meliputi punggung, pergelangan tangan, pinggul, lengan bagian atas.Jatuh dapat disebabkan oleh banyak faktor, sehingga strategi pencegahan harus meliputi berbagai komponen agar sukses. Aktivitas fisik meliputi pola gerakan yang beragam seperti latihan kekuatan atau kelas aerobik dapat meningkatkan massa tulang sehingga tulang lebih padat dan dapat menurunkan risiko jatuh. Mengurangi Risiko JatuhBanyak hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko jatuh dan meminimalisir dampak dari jatuh yang terjadi. Pedoman yang dikeluarkan oleh American Geriatrics Society, British Geriatrics Society, dan American Academy of Orthopedi Surgeons pada pencegahan jatuh meliputi beberapa rekomendasi untuk orang tua (AGS et al.2001). Jatuh merupakan suatu kondisi dimana seseorang tidak sengaja tergeletak di lantai, tanah atau tempat yang lebih rendah, hal tersebut tidak termasuk orang yang sengaja berpindah posisi ketika tidur (WHO, 2007).
5. Faktor penyebab Cidera akibat Jatuh
Faktor penyebab jatuh pada lansia dapat dibagi dalam 2 golongan besar, yaitu: a. Faktor Intrinsik Faktor instrinsik dapat disebabkan oleh proses penuaan dan berbagai penyakit seperti Stroke dan TIA yang mengakibatkan kelemahan tubuh sesisi , Parkinson yang mengakibatkan kekakuan alat gerak, maupun Depresi yang menyebabkan lansia tidak terlalu perhatian saat berjalan . Gangguan penglihatan pun seperti misalnya katarak meningkatkan risiko jatuh pada lansia. Gangguan sistem kardiovaskuler akan menyebabkan
syncope,
syncope
lah
yang
sering
menyebabkan
jatuh
padalansia.Jatuh dapat juga disebabkan oleh dehidrasi. Dehidrasi bisa disebabkan oleh diare, demam, asupan cairan yang kurang atau penggunaan diuretik yang berlebihan.
b. Faktor Ekstrinsik Alat-alat atau perlengkapan rumah tangga yang sudah tua atau tergeletak di bawah,tempat tidur tidak stabil atau kamar mandi yang rendah dan tempat berpegangan yang tidak kuat atau tidak mudah dipegang, lantai tidak datar, licin atau menurun, karpet yang tidak dilem dengan baik, keset yang tebal/menekuk pinggirnya, dan benda-benda alas lantai yang licin atau mudah tergeser,lantai licin atau basah, penerangan yang tidak baik (kurang atau menyilaukan), alat bantu jalan yang tidak tepat ukuran, berat, maupun cara penggunaannya.
6.
Pencegahan
Pencegahan dilakukan berdasar atas faktor resiko apa yang dapat menyebabkan jatuh seperti
faktor
neuromuskular,
muskuloskeletal,
penyakit
yang
sedang
diderita,
pengobatan yang sedang dijalani, gangguan keseimbangan dan gaya berjalan, gangguan visual, ataupun faktor lingkungan.dibawah ini akan di uraikan beberapa metode pencegahan jatuh pada orang tua : a. Latihan fisik Latihan fisik diharapkan mengurangi resiko jatuh dengan meningkatkan kekuatan tungkai dan tangan, memperbaiki keseimbangan, koordinasi, dan meningkatkan reaksi terhadap bahaya lingkungan, latihan fisik juga bisa mengurangi kebutuhan obat-obatan sedatif. Latihan fisik yang dianjurkan yang melatih kekuatan tungkai, tidak terlalu berat dan semampunya, salah satunya adalah berjalan kaki. b. Manajemen obat-obatan c. Gunakan dosis terkecil yang efektif dan spesifik diantaranya: 1) Perhatikan terhadap efek samping dan interaksi obat 2) Gunakan alat bantu berjalan jika memang di perlukan selama pengobatan 3) Kurangi pemberian obat-obatan yang sifatnya untuk waktu lama terutama sedatif dan tranquilisers 4) Hindari pemberian obat multiple (lebih dari empat macam) kecuali atas indikasi klinis kuat 5) Menghentikan obat yang tidak terlalu diperlukan
d. Modifikasi lingkungan Atur suhu ruangan supaya tidak terlalu panas atau dingin untuk menghindari pusing akibat suhu di antaranya: 1. Taruhlah barang-barang yang memang seringkali diperlukan berada dalam jangkauan tanpa harus berjalan dulu 2. Gunakan karpet antislip di kamar mandi. 3. Perhatikan kualitas penerangan di rumah. 4. Jangan sampai ada kabel listrik pada lantai yang biasa untuk melintas. 5. Pasang pegangan tangan pada tangga, bila perlu pasang lampu tambahan untuk daerah tangga. 6. Singkirkan barang-barang yang bisa membuat terpeleset dari jalan yang biasa untuk melintas. 7. Gunakan lantai yang tidak licin. 8. Atur letak furnitur supaya jalan untuk melintas mudah, menghindari tersandung. 9. Pasang pegangan tangan ditempat yang di perlukan seperti misalnya di kamar mandi. e. Memperbaiki kebiasaan pasien lansia, misalnya : 1. Berdiri dari posisi duduk atau jangkok jangan terlalu cepat. 2. Jangan mengangkat barang yang berat sekaligus. 3. Mengambil barang dengan cara yang benar dari lantai. 4. Hindari olahraga berlebihan. 5. Alas kaki. Perhatikan pada saat orang tua memakai alas kaki : -
Hindari sepatu berhak tinggi, pakai sepatu berhak lebar
-
Jangan berjalan hanya dengan kaus kaki karena sulit untuk menjaga keseimbangan
-
Pakai sepatu yang antislip
f. Alat bantu jalan Terapi untuk pasien dengan gangguan berjalan dan keseimbangan difokuskan untuk mengatasi atau mengeliminasi penyebabnya atau faktor yang mendasarinya. Penggunaannya alat bantu jalan memang membantu meningkatkan keseimbangan, namun di sisi lain menyebabkan langkah yang terputus dan kecenderungan tubuh
untuk membungkuk, terlebih jika alat bantu tidak menggunakan roda., karena itu penggunaan alat bantu ini haruslah direkomendasikan secara individual. Apabila pada lansia yang kasus gangguan berjalannya tidak dapat ditangani dengan obat-obatan maupun pembedahan. Oleh karena itu, penanganannya adalah dengan alat bantu jalan seperti cane (tongkat), crutch (tongkat ketiak) dan walker. (Jika hanya 1 ekstremitas atas yang digunakan, pasien dianjurkan pakai cane. Pemilihan cane type apa yang digunakan, ditentukan oleh kebutuhan dan frekuensi menunjang berat badan. Jika ke2 ekstremitas atas diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan dan tidak perlu menunjang berat badan, alat yang paling cocok adalah four-wheeled walker. Jika kedua ekstremitas atas diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan dan menunjang berat badan, maka pemilihan alat ditentukan oleh frekuensi yang diperlukan dalam menunjang berat badan. g. Periksa fungsi penglihatan dan pendengaran h. Hip protektor : terbukti mengurangi risiko fraktur pelvis i.
Memelihara kekuatan tulang : 1. Suplemen nutrisi terutama kalsium dan vitamin D terbukti meningkatkan densitas tulang dan mengurangi resiko fraktur akibat terjatuh pada orang tua 2. Berhenti merokok 3. Hindari konsumsi alkohol 4. Latihan fisik 5. Anti-resorbsi seperti biophosphonates dan modulator reseptor estrogen 6. Suplementasi hormon estrogen / terapi hormon pengganti.
B. Asuhan Keperawatan Teoritis 1. Pengkajian
Pengkajian klien dengan resiko cidera meliputi: pengkajian resiko (Risk assessment tools) dan adanya bahaya dilingkungan klien (home hazards appraisal). a. Jatuh -
Usia klien lebih dari 65 tahun
-
Riwayat jatuh di rumah atau RS
-
Mengalami gangguan penglihatan atau pendengaran
-
Kesulitan berjalan atau gangguan mobilitas
-
Menggunakan alat bantu (tongkat, kursi roda, dll)
-
Penurunan status mental (disorientasi, penurunan daya ingat)
-
Mendapatkan obat tertentu (sedatif, hypnotik, tranquilizers, analgesics, diuretics, or laxatives)
b. Riwayat Kecelakaan Beberapa orang memiliki kecenderungan mengalami kecelakaan berulang, oleh karena itu riwayat sebelumnya perlu dikaji untuk memprediksi kemungkinan kecelakaan itu terulang kembali. c. Keracunan Beberapa anak dan orang tua sangat beresiko tinggi terhadap keracunan. Pengkajian meliputi seluruh aspek pengetahuan keluarga tentang resiko bahaya keracunan dan upaya pencegahannya. d. Kebakaran Beberapa penyebab kebakaran dirumah perlu ditanyakan tentang sejauh mana klien mengantisipasi resiko terjadi kebakaran, termasuk pengetahuan klien dan keluarga tentang upaya proteksi dari bahaya kecelakaan akibat api. e. Pengkajian Bahaya Meliputi mengkaji keadaan: lantai, peralatan rumah tangga, kamar mandi, dapur, kamar tidur, pelindung kebakaran, zat-zat berbahaya, listrik, dll apakah dalam keadaan aman atau dapat mengakibatkan kecelakaan. f.
Keamanan (spesifik pada lansia di rumah) Gangguan keamanan berupa jatuh di rumah pada lansia memiliki insidensi yang cukup tinggi, banyak diantara lansia tersebut yang akhirnya cedera berat bahkan meninggal. Bahaya yang menyebabkan jatuh cenderung mudah dilihat tetapi sulit untuk diperbaiki, oleh karena itu diperlukan pengkajian yang spesifik tentang keadaan rumah yang terstuktur. Contoh pengkajian checklist pencegahan jatuh pada lansia yang dikeluarkan oleh Departemen kesehatan dan pelayanan masyarakat Amerika.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa umum sering muncul pada kasus keamanan fisik menurut NANDA adalah: a. Resiko tinggi terjadinya cedera (High risk for injury). Seorang klien dikatakan
mengalami masalah keperawatan resiko tinggi terjadinya
cidera bila kondisi lingkungan dan adaptasi atau pertahanan seseorang beresiko menimbulkan cedera. b. Resiko terjadinya keracunan: Adanya resiko terjadinya kecelakaan akivat terpapar, atau tertelannya obat atau zat berbahaya dalam dosis yang dapat menyebabkan keracunan. c. Resiko terjadinya sufokasi Adanya resiko kecelakaan yang menyebabkan tidak adekuatnya udara untuk proses bernafas. d. Resiko terjadinya trauma: Adanya resiko yang menyebabkan cedera pada jaringan (ms. Luka, luka bakar, atau fraktur). e. Respon alergi lateks: respon alergi terhadap produk yang terbuat dari lateks f. Resiko respon alergi lateks: kondisi beresiko terhadap respon alergi terhadap produk yang terbuat dari lateks. g. Resiko terjadinya aspirasi: klien beresiko akan masuknya sekresi gastrointestinal, sekresi orofaringeal, benda padat atau cairan kedalam saluran pernafasan. h. Resiko terjadinya sindrom disuse (gejala yang tidak diinginkan): klien beresiko terhadap kerusakan sistem tubuh akibat inaktifitas sistem muskuloskeletal yang direncanakan atau tidak dapat dihindari.
3. Perencanaan
a. Kaji ulang adanya faktor-faktor resiko jatuh pada klien. b. Tulis dan laporkan adanya faktor-faktor resiko c. Lakukan modifikasi lingkungan agar lebih aman (memasang pinggiran tempat tidur, dll) sesuai hasil pengkajian bahaya jatuh pada poin 1 d. Monitor klien secara berkala terutama 3 hari pertama kunjungan rumah
e. Ajarkan klien tentang upaya pencegahan cidera (menggunakan pencahayaanyang baik, memasang penghalang tempat tidur, menempatkan benda berbahayaditempat yang aman) f. Kolaborasi
dengan
dokter
untuk
penatalaksanaan
glaukoma
penglihatannya, serta pekerja sosial untuk pemantauan secara berkala.
dan
gangguan
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiahardja, Andi. Sugiarto. (2005). Penilaian Keseimbangan dengan Aktivitas Kehidupan Sehari-hari di Panti Werdha Pelkris Elim Semarang . Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro. Semarang 2. Sudoyo, A .W, Setiyohadi. B, Alwi. I, Simadibrata. K, Setiati. S . (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III. Edisi 5. Jakarta: InternaPublishing. 3. Suhartini, R.(2006) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Orang Lanjut Usia (studi Kasus di Kelurahan Jambangan). Di unduh dari www.damandiri.or.id. Diakses pada tanggal 4 Mei 2015 4. Tamber – Noorkasiani .(2009). Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika 5. The Internasional Association for the Study of Pain (2010). International Association for the Study of Pain 2010 Annual Report . diperoleh tanggal 8. September
2014
dari
http://www.iasp-
pain.org/files/Content/ContentFolders/AboutIASP/IASPAnnualReport_2010.pdf 6. Wiraguna, Lalu.Tanjung. (2014). Gambaran Tingkat Kemandirian dalam Activity Daily Living (ADL) pada Lansia di Desa Leyangan Kecematan Ungaran Timur Kabupaten Semarang . Fakultas Ilmu Keperawatan Stikes Ngudi Waluyo Ungaran. 7. Yuliasih, (2009). Imunopatogenesis Artritis Reumatoid di: Setyohadi, B & Kasjmir, Y. I . Kumpulan Makalah Temu Ilmiah Reumatologi. Surabaya.