LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN RUANG 24A RUMAH SAKIT DR. SAIFUL ANWAR PEMPHIGUS VULGARIS
Oleh, Prisca Triviana Yanuar NIM. 0910720069
JURUSAN ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2013
LAPORAN PENDAHULUAN PEMPHIGUS VULGARIS 1. Definisi
Pemphigus adalah penyakit kulit yang ditandai dengan sebaran gelembung secara berturutturut yang mengering dan meninggalkan bercak- bercak berwarna gelap, dapat diiringi dengan rasa gatal atau tidak dan umumnya mempengaruhi keadaan umum si penderita.(dr. Hendra T. Laksman) Pemphigus adalah kelainan kulit dengan erupsi bulosa (lepuh) namun lebih tepat bila digunakan istilah kelompok penyakit berbahaya yang disebut pemfigus vulgaris, pemfigus vegetans, dan pemfigus erimatosus.(sue hinchliff) Pemfigus vulgaris merupakan penyakit serius pada kulit yang ditandai oleh timbulnya bula (lepuh) dengan berbagai ukuran (misalnya 1-10 cm) pada kulit yang tampak normal dan membrane mukosa (misalnya, mulut, vagina). (Brunner & Suddarth) Pemfigus vulgaris adalah dermatitis vesikulobulosa reuren yang merupakan kelainan herediter paling sering pada aksila, lipat paha, dan leher disertai lesi berkelompok yang mengadakan regresi sesudah beberapa minggu atau beberapa bulan ( Dorland)
2. Etiologi
Bukti yang ada menunjukkkan bahwa pemfigus vulgaris merupakan penyakit autoimun yang melibatkan IgG, suatu immunoglobulin. Diperkirakan bahwa antibody pemfigus ditujukan langsung kepada antigen permukaan sel yang spesifik dalam sel- sel epidermis. Lepuh terbentuk akibat reaksi antigen- antibody. Kadar antibody dalam serum merupakan petunjuk untuk memprediksikan intensitas penyakit. Faktor- faktor genetik dapat memainkan peranan dalam perkembangan penyakit dengan insidensi tertinggi pada orang- orang keturunan Yahudi. Kelainan ini biasanya terjadi pada laki- laki dan wanita dalam usia pertengahan serta akhir usia dewasa. ( Smeltzer, Suzanne. C. 2001 ).
3. Faktor Resiko
a. Genetik Telah lama diduga terdapat faktor predisposisi genetik pada pemphigus vulgaris. Berdasarkan hasil penelitian, penyakit ini muncul lebih banyak pada orang Yahudi Askenazi dibandingkan prevalensi rata-rata. Studi serologi HLA menunjukkan hubungan yang kuat antara kehadiran haplotypes HLA-DR4 dan HLA-DR6 dengan terjadinya pemphigus vulgaris b. Umur Insiden terjadinya Pemfigus Vulgaris ini meningkat pada usia 50 -60 tahun. Pada nonatal yang menginap Pemfigus Vulgaris karena terinfeksi dari antibody sang ibu
c.
Desease association Pemfigus terjadi pada pasien dengan penyakit autoimun yang lain, biasanya Miastenia Grafis dan Thymoma.
d. Beberapa kasus terjadi karena adanya reaksi terhadap o bat (penisilamin, kaptopril).
4. Patofisiologi
Penyebab pasti pemphigus vulgaris belum diketahui. Banyak teori yang mendasari timbulnya penyakit ini, antara lain karena virus, namun hal ini tidak dapat dibuktikan. Hal lain, seperti kelainan metabolisme, intoksikasi, dan psikogenik, lebih merupakan akibat, bukan penyebab pemphigus. Beutner dan Jordan (1964) dengan teknik imunofluresensi (IF), mendemonstrasikan adanya zat anti –IgG yang beredar di dalam serum penderita. Zat anti ini beraksi atau terikat pada substansi yang melekatkan sel-sel epidermis (substansia intraseluler). Ini spesifik untuk pemphigus vulgaris. Titer zat anti atau antibodi ini berhubungan dengan aktifitas/ berat ringannnya penyakit, sehingga mungkin dapat dipakai untuk mengevaluasi pengobatan. Pada pemeriksaan imunofloresensi langsung dengan menggunakan epitel berlapis sebagai antigen, misalnya selaput lendir kerongkongan kera atau bibir marmut, komplek antigen antibodi terlihat sebagai susunan retikuler di sepanjang stratum spinosum. Pemeriksaan IF langsung ini mempunyai arti penting untuk diagnosis, karena hasilnya positif pada awal penyakit dan tetap positif untuk waktu lama atau beberapa tahun setelah penyakit sembuh atau tanpa pengobatan. Dari pengamatan IF, jelas adanya peran mekanisme autoimun di dalam patogenesis pemphigus. Namun walaupun antibodi yang timbul spesifik terhadap pemphigus ternyata antibodi antiepitel tersebut bisa pula didapatkan pada penderita luka bakar, pemfigoid, NET, mikosis fungiodes, dan erupsi kulit karena penisilin. Hubungan pemphigus dengan HLA terlihat pada studi populasi terhadap penderita pemphigus yang menunjukan kenaikan HLA-A10 pada orang Jepang dan Yahudi yang menderita pemphigus. Dan ada hubungan kuat dengan HLA-DR4 pada orang Yahudi yang menderita pemphigus.
5. Manifestasi Klinis
Keadaan umum penderita umumnya buruk. Penyakit dapat mulai sebagai lesi di kulit kapala yang berambut atau di rongga mulut kira-kira pada 60% kasus, sehingga sering salah didiagnosis sebagai pioderma pada kulit kepala yang berambut atau dermatitis dengan infeksi sekunder. Lesi di tempat
tersebut
dapat
berlangsung
berbulan-bulan
sebelum
timbul
bula
generalisata.
Gejala klinis pemphigus vulgaris biasanya didahului dengan keluhan subjektif berupa malaise, anoreksia, subfebris, kulit terasa panas dan sakit serta sulit menelan. Rasa gatal (pruritus) jarang didapat. Kelainan kulit ditandai dengan bula berdinding kendur yang timbul di atas kulit normal atau
pada selaput lendir. Bila lesi mengenai paru akan timbul kesukaran menelan karena sakitnya. Selaput lendir lain juga dapat terkena, seperti konjungtiva, hidung, vulva, penis, dan mukosa hidung-anus. Daerah predileksi biasanya mengenai muka, badan, daerah yang terkena tekanan, lipat paha, dan aksila. Bula berdinding kendur mula-mula berisi cairan jernih kemudian menjadi keruh (seropurulen) atau hemoragik. Dinding bula mudah pecah dan menimbulkan daerah-daerah erosi yang meluas (denuded area), basah, mudah berdarah, dan tertutup krusta. Bila terjadi penyembuhan,
lesi
meninggalkan
bercak-bercak
hiperpirmentasi
tanpa
jaringan
parut.
Daerah-daerah erosi pada tubuh dan mulut menimbulkan bau yang merangsang dan tidak sedap. Tanda nikolsky dapat ditemukan dengan cara: kulit yang terlihat normal akan terkelupas apabila ditekan dengan ujung jari secara hati-hati atau isi bula yang masih utuh melebar bila kita lakukan hal yang sama (bulla spread phenomenon). Hal ini menunjukkan bahwa kohesi antar sel-sel epidermis telah hilang.
6. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi antara lain: a. Secondary infection Salah satunya mungkin disebabkan oleh sistemik atau lokal pada kulit. Mungkin terjadi karena penggunaan immunosupresan dan adanya multiple erosion. Infeksi cutaneus memperlambat penyembuhan luka dan meningkatkan resiko timbulnya scar. b. Malignansi dari penggunaan immunosupresif Biasanya ditemukan pada pasien yang mendapat terapi immunosupresif. c.
Growth retardation Ditemukan pada anak yang menggunakan immunosupresan dan kortikosteroid.
d. Supresi sumsum tulang Dilaporkan pada pasien yang menerima immunosupresan. Insiden leukemia dan lympoma meningkat pada penggunaan immunosupresif jangka lama. e. Osteoporosis Terjadi dengan penggunaan kortikosteroid sistemik. f.
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit Erosi kulit yang luas, kehilangan cairan serta protein ketika bulla mengalami rupture akan menyebabkan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Kehilangan cairan dan natrium klorida ini merupakan penyebab terbanyak gejala sistemik yang berkaitan dengan penyakit dan harus diatasi dengan pemberian infus larutan salin. Hipoalbuminemia lazim dijumpai kalau proses mencapai kulit tubuh dan membran mukosa yang luas.
7. Pemeriksaan Diagnostik
Pemphigus vulgaris biasanya terjadi pada usia lanjut dan disertai keadaan umum yang lemah. Selain itu, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan: a. Gambaran klinis yang khas dan tanda dari nikolsky positif. b. Test tzanck positif dengan membuat apusan dari dasar bula dan dicat dengan giemsa akan terlihat sel tzanck atau sel akantolitik yang berasal dari sel-sel lapisan spinosum berbentuk agak bulat dan berinti besar dengan dikelilingi sitoplasma jernih (halo). c.
Pemeriksaan hitopatologik: terlihat gambaran yang khas, yakni bula yang terletak supra basal dan adanya akantolisis.
d. Pemerikssaan imunofluoresensi Pada tes imunofluoresensi langsung didapatkan antibodi intraseluler tipe IgG dan C3. Pada tes imunofluoresensi secara langsung didapatkan antibodi pemphigus tipe IgG. Tes pertama lebih terpercaya daripada tes kedua, karena telah positif pada penuaan penyakit. Kadar titernya pada umumnya sejajar dengan beratnya penyakit dan akan menurun dan menghilang dengan pengobatan kortikosteroid.
8. Penatalaksanaan
Pengobatan utama adalah kortikosteroid, karena bersifat imunosupresif. Yang sering digunakan adalah prednisone dan dexametasone. Dosis prednisone bervariasi bergantung pada berat ringannya penyakit, yakni 60-150 mg sehari. Ada pula yang menggunakan 3 mg/ kgBB perhari bagi pemphigus yang berat. Pada dosis yang tinggi sebaiknya diberikan deksametasone i.m. atau i.v. sesuai dengan equivalennya karena lebih praktis. Keseimbangan cairan dan gangguan elektrolit perlu diperhatikan. Lever dan White mengajukan dosis 180-360 mg prednisone setiap hari sampai remisi lengkap, biasanya 6-10 minggu. Contoh: bila dosis awal prednisone 180 mg perhari diberikan sampai 6 minggu dan terjadi remisi lengkap, dosis segera diturunkan menjadi 90 mg perhari selama 1 minngu. Dan kemudian berturut-turut dosis diturunkan sebagai berikut: • 45 mg setiap hari selama 1 minggu • 30 mg setiap hari selama 2 minggu • 20 mg setiap hari selama 3 minggu • 15 mg setiap hari selama 4 minggu • Selanjutnya dosis bertahan (maintenance) sampai kurang dari 15 mg/ hari.
Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid dapat dikombinasikan dengan adjuvant yang terkuat ialah sitostatika. Efek samping kortikosteroid yang berat berupa atrofi kelenjar adrenal bagian korteks, ulkus peptikum, dan osteoporosis yang dapat menyebabkan fraktur kolumna vertebrae pars lumbalis. Tentang penggunaan sitostatika sebagai adjuvant terdapat 2 pendapat: 1. Sejak mula diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid. 2. Sitostatika diberikan: a. Kortikosteroid sistemik dosis tinggi kur ang memberi respon. b. Terdapat kontra indikasi, misalnya ulkus peptikum, diabetes mellitus, katarak, dan osteoporosis. c. Penurunan dosis pada saat telah terjadi perbaikan tidak seperti yang diharapkan. Obat sitostatika untuk pemphigus adalah: a. Azatioprin: obat yang paling lazim dan tidak begitu toksik seperti siklofospamid. Dosisnya 50150 mg sehari (1-3 mg/ KgBB). Kemudian diturunkan bertahap. b. 2. Siklofospamid: paling poten, tetapi efek sampingnya berat, jadi tidak dianjurkan. Dosisnya 50-100 mg perhari. c.
3. Metotreksat: jarang digunakan karena kurang bermanfaat. Dosisnya 25 mg perminggu i.m. atau per os.
Pengobatan lain pada pemfigus adalah plasmaferesis, dan dengan siklosporin dengan dosis 5-6 mg/ KgBB per os.
ASUHAN KPEERAWATAN KLIEN DENGAN PEMPHIGUS VULGARIS 1. Pengkajian
a. Biodata Umur : biasanya pada usia pertengahan sampai dewasa muda b. Riwayat kesehatan Keluhan utama : nyeri karena adanya pembentukan bula dan erosi c.
Riwayat penyakit dahulu
d. Riwayat alergi obat, riwayat penyakit keganasan (neoplasma ), riwayat penyakit lain, Riwayat hipertensi e. Pola kesehatan fungsional Gordon yang terkait 1) Pola Nutrisi dan Metabolik Kehilangan cairan dan elektrolit akibat kehilangan cairan dan protein ketika bula mengalami ruptur 2) Pola persepsi sensori dan kognitif Nyeri akibat pembentukan bula dan erosi 3) Pola hubungan dengan orang lain Terjadinya perubahan dalam berhubungan dengan orang lain karena adanya bula atau bekas pecahan bula yang meninggalkan erosi yang lebar 4) Pola persepsi dan konsep diri Pola persepsi dan konsep diri Terjadinya gangguan body image karena adanya bula/ bula pecah meninggalkan erosi yang lebar serta bau yang menusuk f.
Pemeriksaan Fisik 1) Keadaan umum : baik 2) Tingkat kesadaran : compos mentis 3) Tanda-tanda vital : - TD
: dapat meningkat/menurun
-N
: dapat meningkat/menurun
- RR
: dapat meningkat/menurun
-S
: dapat meningkat/menurun
4) Kepala
: kadang ditemukan bulla
5) Dada
: kadang ditemukan bulla
6) Punggung : kadang ditemukan bulla dan luka dekubitus 7) Ekstremitas : kadang ditemukan bulla dan luka dekubitus
g.
Pemeriksaan penunjang 1) Klinis anamnesis dan pemeriksaan kulit : ditemukan bula 2) Laborat darah 3) Biopsi kulit
: hipoalbumin : mengetahui kemungkinan maligna
4) Test imunofluorssen : didapat penurunan imunoglobulin
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko tinggi ketidakseimbangan cairan dan elektolit b.d hilangnya cairan pada jaringan, penurunan intake cairan, pengeluaran cairan berlebih dengan peningkatan terbentuknya bula dan ruptur bula. b. Resiko tinggi infeksi b.d penurunan imunitas, adanya port de entree pada lesi. c.
Nyeri b.d kerusakan jaringan lunak erosi jaringan lunak.
d. Kerusakan integritas jaringan kulit b.d nekrosis local sekunder dari akumulasi pus pada jaringan folikel rambut e. Defisit perawatan diri b.d kelemahan fisik, penurunan kemampuan aktivitas umum efek sekunder dari adanya nyeri, kerusakan luas kulit f.
Kecemasan b.d kondisi penyakit, kerusakan luas pada jaringan kulit
3. Rencana Intervensi a. Resiko ketidakseimbangan cairan dan elektolit b.d hilangnya cairan pada jaringan, penurunan intake cairan, pengeluaran cairan berlebih dengan peningkatan terbentuknya bula dan ruptur bula Tujuan : dalam waktu 1 x 24 jam tidak terjadi syok hipovolemik. Kriteria evaluasi :
1) Tidak terdapat tanda-tanda syok : pasien tidak mengeluh pusing, TTV dalam batas normal, kesadaran optimal, urine >600 ml/hari. 2) Membran mukosa lembab, turgor kulit normal, CRT >3detik. 3) Laboratorium : nilai elektrolit normal, nilai hematokrit dan protein serum meningkat, BUN/ kreatinin meurun. Intervensi
Rasional
Intervensi pemenuhan cairan : Identifikasi faktor penyebab, awitan (onset), spesifikasi usia dan adanya riwayat penyakit lain.
Parameter
dalam
menentukan
intervensi
kedaruratan. Adanya usia anak atau lanjut usia memberikan tingkat keparahan dari kondisi
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
Kolaborasi skor dehidrasi
Menentukan jumlah cairan yang akan diberikan
0-2 : dehidrasi ringan, 3-6 : dehidrasi sedang, >7
sesuai derajat dehidrasi dari individu (2,5-5% :
: dehidrasi berat
derajat ringan; 5-10% : derajat sedang; >10% :
(skor Maurice King)
derajat berat).
Lakukan dehidrasi oral
Pemberian cairan oral dapat diberikan apabila tingkat toleransi pasien masih baik.
Beri cairan secara oral
WHO memberikan rekomendasi tentang cairan +
+
oral yang berisikan 90 mEq/L Na , 20 mEq/L K , 80 mEq/L Cl, 20 g/L glukosa; osmolaritas 310; CHO:Na = 1,2:1; diberikan 250 mL setiap 15 menit sampai keseimbangan cairan terpenuhi dengan
tanda
klinik
yang
optimal
atau
1
pemberian 1 /2 liter air pada setiap 1 liter feses (Diskin,2009). Jelaskan tentang dehidrasi oral
Penting perawat disampaikan pada pasien dan keluarga
bahwa
dehidraasi
oral
tidak
menurunkan durasi dan volume diare. Berikan cairan oral sedikit demi sedikit
Pembrian cairan oral sedikit demi sedikit untuk mencegah terjadinya muntah apabila diberikan secara stimultan.
Lakukan
pemasangan intravenus
fluid
drops (IVFD)
Apabila kondisi diare dan muntah berlanjut, maka lakukan pemasangan IVFD. Pemberian cairan intravena disesuaikan dengan derajat dehidrasi. Pemberian 1-2 L cairan RL secara tetesan cepat sebagai kompensasi awal hidrasi cairan diberikan untuk
mencegah
syok
hipovolemik
(lihat
intervensi kedaruratan syok hipovolemik).
Dokumentasi dengan akurat tentang input output cairan
Sebagai evaluasi penting dari intervensi hidrasi dan mencegah terjadinya over hidrasi.
Bantu pasien apabila muntah
Aspirasi muntah dapat terjadi terutama pada usia
lanjut
dengan
perubahan
kesadaran.
Perawat mendekatkan tempat muntah dan memberikan masase ringan pada pundak untuk membantu menurunkan respons nyeri dari muntah Intervensi pada penurunan kadar elektrolit : Evaluasi kadar elektrolit serum.
Untuk mendeteksi adanya kondisi hiponatremi dan
hipokalemi
sekunder
dari
hilangnya
elektrolit dari plasma. Dokumentasi perubahan klinik dan laporkan dengan tim medis
Perubahan klinik seperti penurunan output urine secara akut perlu diberitahu tim medis untuk mendapatkan
intervensi
selanjutnya
dan
menurunkan risiko terjadinya asidosis metabolik. Pemberian cairan dan makanan tinggi natrium Anjurkan pasien untuk minum dan makan
dilakukan
sesuai
dengan
tingkat
toleransi.
makanan yang banyak mengandung natrium
Meskipun kekurangan natrium menyebabkan
seperti susu, telur, daging , dsb.
gejala serius yang perlu pemberian intravenus segera, pasien dianjurkan juga untuk mencoba intake natrium peroral dan hindari pembatasan garam. Individu lansia dapat dengan cepat mengalami
Monitor khusus ketidakseimbangan elektrolit pada lansia
dehidrasi dan menderita kadar kalium rendah (hipokalemia) sebagai akibat dari ruptur bulla. Individu lansia yang menggunakan digitalis harus waspada
terhadap
hipokalemia
pada
cepatnya
dehidrasi
dan
penurunan
cairan
pada
pemfigus. Individu ini juga dintruksikan untuk mengenali
tanda-tanda
hipokalemia
karena
kadar kalium rendah dapat memperberat kerja digitalis yang dapat menimbulkan toksisitas digitalis.
b. Resiko infeksi b.d penurunan imunitas, adanya port de entree pada lesi. Tujuan : Dalam waktu 7 x 24 jam tidak terjadi infeksi, terjadi perbaikan pada i ntegritas
jaringan lunak. Kriteria evaluasi :
1) Lesi akan menutup pada hari ke 7 tanpa adanya tanda-tanda infeksi dan peradangan pada area lesi. 2) Leukosit dalam btas normal, TTV dalam batas normal. Intervensi
Rasional
Kaji kondisi lesi, banyak dan besarnya bula, serta
Mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan
apakah adanya order khusus dari tim dokter
dari tujuan yang diharapkan.
dalam melakukan perawatan luka. Buat kondisi balutan dalam keadaan bersih dan
Kondisi bersih dan kering akan menghindari
kering.
kontaminasi komensal, serta akan menyebabkan respons inflamasi lokal dan akan memperlambat penyembuhan luka.
Lakukan perawatan luka : Lakukan perawatan luka steril setiap hari.
Perawatan luka sebaiknya dilakukan setiap hari untuk membersihkan debris dan menurunkan kontak kuman masuk kedalam lesi. Intervensi dilakukan
dalam
kondisi
steril
sehingga
mencegah kontaminasi kuman ke lesi pemfigus. Bersihkan luka dan drainase dengan cairan
Pembersihan debris (sisa fagosit, jaringan ati)
Nacl 0,9% atau antiseptik jenis iodine providum
dan kuman sekitar luka dengan mengoptimalkan
dengan caraswabbing dari arah dalam ke luar.
kelebihan dari iodine providum sebagai antisepti dengan arah dari dalam keluar dapat mencegah kontaminasi kuman ke jaringan luka.
Bersihkan bekas sisa iodine providum dengan
Antiseptik
iodine
providum
mempunyai
normal saline dengan cara swabbing dari arah
kelemahan dalam menurunkan pro epitelisasi
dalam keluar.
jaringan sehingga memperlambat pertumbuhan luka, maka harus dibersihkan dengan alkohol atau normal saline.
Tutup luka dengan kassa steril dan jangan menggunakan dengan plester adhesif
Penutupan
secara
menyeluruh
dapat
menghindari kontaminasi dari benda atau udara yang bersentuhan dengan lesi pemfigus.
Kolaborasi penggunaan anibiotik
Anibiotik injeksi diberikan untuk mencegah aktivasi kuman yang bisa masuk. Peran perawat mengkaji adanya reaksi dan riwayat alergi antibiotik, serta memberikan antibiotik sesuai pesanan dokter.
c.
Nyeri b.d kerusakan jaringan lunak erosi jaringan lunak. Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam nyeri berkurang/ hilang atau teradaptasi Kriteria evaluasi :
1) Secara subjektif melaporkn nyeri berkurang atau dapat diadaptasi. Skala nyeri 0-1 (0-4) 2) Dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau m enurunkan nyeri 3) Pasien tidak gelisah
Intervensi
Rasional
Kaji pendekatan PQRST
Menjadi parameter dasar untuk mengetahui sejauh mana intervensi yang diperlukan dan sebagai evaluasi keberhasilan dari intervensi manajemen nyeri keperawatan
Jelaskan dan bantu pasien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan noninvasif.
Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
Lakukan manajemen nyeri keperawatan : Atur posisi fisiologis.
Akan meningkatan asupan O 2 ke jaringan yang mengalami peradangan subkutan. Pengaturan posisi idealnya adalah pada arah yang berlawanan dengan letak lesi pemfigus. Bagian tubuh yang mengalami inflamasi lkal dilakukan imobilisasi untuk menurunkan respons peradangan dan meningkatkan
Lakukan perawatan higiene oral.
kesembuhan. Keseluruhan rongga mulut pasien dapat terkena
erosi
dan
permukaan
terbuka.
Jaringan nekrotik dapat terbentuk didaerah ini sehingga menambah penderitaan pasien dan mengganggu asupan makanan. Penurunan berat badan dan hipoproteinemia dapat terjadi. Perawatan higiene oral yang teliti sangat penting untuk menjaga agar mukosa pral tetap bersih dan memungkinkan
terjadina regenerasi epitel. Kumur mulut yang sering harus dilakukan untuk membersihkan mulut dari debris dan menguragi nyeri didaerah ulerasi. Obat kumur mulut yang dijual bebas harus dihindari. Bibir dijaga agar tetap basah dengan cara mengoleskan lanolin, vaselin, Istirahatkan klien
atau pelembab bibir. Istirahat diperlukan selama fase akut. Kondisi
ini akan meningkatkan suplai darah pada jaringan yang mengalami peradangan. Bila perlu premedikasi sebelum melakukan Kompres yang basah dan sejuk atau terapi perawatan luka.
rendaman merupakan tindakan protektif yang dapat mengurangi rasa nyeri. Pasien dengan lesi yang luas dan nyeri harus mendapatkan
premedikasi terlebih dahulu dengan preparat analgesik sebelum perawatan kulitnya mulai dilakukan. Manajemen lingkungan : lingkungan tenang Lingkungan tenang akan menurunkan dan batasi pengunjung.
stimulus nyeri eksternal dan pembatasan pengunjung akan membantu meningkatkan kondisi O2ruangan yang akan berkurang apabila banyak pengunjung yang berada diruangan.
Ajarkan teknik relaksasi pernafasan dalam.
Meningkatkan
asupan
O 2 sehingga
menurunkan nyeri sekunder dari peradangan. Ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri. Distraksi dapat menurunkan stmulus internal dengan mekanisme peningkatan produksi endorfin dan enkefalin yang memblok reseptor nyeri untuk tidak dikirmkan ke Lakukan manajemen sentuhan
korteks serebri presepsi nyeri.
sehingga
menurunkan
Manajemen sentuhan pada saat nyeri berupa sentuhan dukungan psikologis dapat membantu menurunkan nyeri. Masase ringan dapat meningkatkan aliran darah dan dengan otomatis membantu suplai darah dan oksigen ke area nyeri, serta menurunkan sensasi nyeri. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian Analgetik memblok lintasan nyeri sehingga
analgetik.
nyeri akan berkurang.
Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian Terapi antibiotik sistemik yang dipilih analgetik. berdasarkan pemeriksaan sensitivitas umumnya diperlukan. Preparat oral penisilin dan eritromisin juga efektif untuk mengatasi selulitis
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous.
Pemphigus
Vulgaris,
Skin
Cosmos,
2006.
Dikutip
dari
http://www.skincosmos.com/id/pemphigus-vulgaris/ pada tanggal 30 Januari 2010. Mawarli harahap, Prof. dr. Infeksi Jamur Kulit, Ilmu Penyakit Kulit. 2000. Editor: Prof.dr. mawarli harahap. Jakarta: Hipokrates. Budimulja, Unandar. Penyakit Vesikobulosa, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi Keempat, 2006. Editor: Adhi Juanda, dkk. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Anonymous.
Pemphigus
Vulgaris.
Dikutip
dari
http://dermatlas.med.jhmi.edu/derm/display.cfm?ImageID=-776552061 pada tanggal 30 Januari 2010. Anonymous.
Pemphigus
Vulgaris.
Dikutip
dari
http://missinglink.ucsf.edu/lm/DermatologyGlossary/pemphigus_vulgaris.html pada tanggal 31 Januari 2010. Siregar, Prof. Dr. Atlas Bewarna, Saripati Penyakit Kulit, Edisi Ke-2, 2003. Editor: dr. Huriawati Hartanto. Jakarta: EGC.