Skenario : Perempuan 21 tahun dibawa ke puskesmas dalam keadaan tidak sadar. Setelah diletakkan di tempat tidur dan diperiksa, penderita tidak memberi respon dan tetap mendengkur dengan irama napas 40kali/menit. Muka kelihatan pucat, nadi radial tidak teraba. Ditemukan jejas pada daerah pelipis kanan, bahu kanan, dan perut kiri bawah. Dari beberapa orang yang mengantar tidak satupun yang tinggal dan dapat memberi keterangan tentang keadaan dan apa yang terjadi pada penderita tersebut. Kata kunci :
Perempuan 21 tahun
Tidak sadar
Tidak memberi respon
Tetap mendengkur
Irama napas 40x/menit
Muka kelihatan pucat, nadi radial, tidak teraba
Jejas pada daerah pelvis kanan, bahu kanan, dan perut kiri bawah
Pengantar tidak ada yang tinggal dan tidak dapat memberi keterangan
Pertanyaan : 1.Tingkat-tingkat kesadaran ? 2.Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran ? 3.Mekanisme penurunan kesadaran pada scenario? 4.Hubungan antara gejala dan scenario? 5.Penanganan awal pasien tidak sadar ? 6.Penanganan lanjutan dan penegakkan diagnosis ? 7.Differential diagnosis ? Jawab : 1. Macam-macam tingkat kesadaran :
Kompos mentis : Keadaan pasien sadar penuh, baik terhadap lingkungan maupun terhadap dirinya sendiri. Gcs : 15-14 Apatis : Keadaan pasien dimana tampak acuh tak acuh dan segan terhadap lingkungannya. Gcs :13-12 Delirium : Keadaan pasien mengalami penurunan kesadaran disertai kekacauan motoric serta siklus tidur bangun yang terganggu. Gcs :11 -10
2.
Somnolen
: Keadaan pasien mengantuk yang dalam. Gcs : 6-5
Semi koma : Keadaan pasien mengalami penurunan kesadaran yang tidak memberikan respons rangsang terhadap rangsang verbal, serta tidak mampu untuk dibangunkan sama sekali, tapi respons terhadap nyeri tidak adekuat serta reflek (pupil&kornea) masih baik. Gcs : 4 Koma : Keadaan pasien mengalami penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak terdapat respons pada rangsang nyeri serta tidak ada gerakan spontan. Gcs : 3.
Untuk memudahkan mengingat dan menelusuri kemungkinan – kemungkinan penyebab penurunan kesadaran dengan istilah “ SEMENITE “ SEMENITE “ yaitu : S : Sirkulasi, Meliputi stroke dan penyakit jantung E : Ensefalitis, Dengan tetap mempertimbangkan adanya infeksi sistemik / sepsis yang mungkin melatarbelakanginya atau muncul secara bersamaan. M : Metabolik, Misalnya hiperglikemia, hipoglikemia, hipoksia, uremia, koma hepatikum E : Elektrolit, Misalnya diare dan muntah yang berlebihan. N : Neoplasma, Tumor otak baik primer maupun metastasis I : Intoksikasi, Intoksikasi berbagai macam obat maupun bahan kimia dapat menyebabkan penurunan kesadaran T : Trauma, Terutama trauma kapitis : komusio, kontusio, perdarahan epidural, perdarahan subdural, dapat pula trauma abdomen dan dada. E : Epilepsi, Pasca serangan Grand Mall atau pada status epileptikus dapat menyebabkan penurunan kesadaran
3. MEKANISME PENURUNAN KESADARAN
Trauma Abdomen Kemungkinan
Trauma kepala
fraktur cervikal
perdarahan Perdarahan intrakranial
Syok hipovolemi
Penekanan pusat kesadaran
Penekanan batang hipoksia
Penimbunan
otak
Penekanan ARAS
asam laktat
Supalai O2 ke
Kesadaran
otak
Gangguan korteks cerebri
4. Hubungan antar gejala Snoring (mendengkur) berasal dari sumbatan pangkal lidah, cara mengatasi dengan :
chin lift
jaw trust
pemasangan pipa orofaring
ETT (endo trakeal tube)
Muka terlihat pucat dan nadi radial tidak teraba merupakan tanda-tanda syok hipovolemik akibat trauma. Jejas pada pelipis kanan, bahu kanan dan perut kiri bawah merupakan tanda bahwa korban menglami trauma tumpul akibat perdarah internal didaerah abdomen, pelipis dan bahu
5. Penanganan Awal Pasien dengan Penurunan Kesadaran
1. Primary Survey A. Airway Tujuan : Membebaskan jalan napas dari sumbatan Pengelolaannya perlu : cepat, tepat, cermat Untuk menilai jalan napas, lakukan Head tilt-Chin lift . Jika pasien kecelakaan maka lakukan Jaw thrust 1. Lihat-Look Gerak dada dan perut, tanda distress napas, warna kulit (pasien harus dibuka bajunya) 2. Dengar-Listen Suara napas, ada sunbatan atau tidak 3. Rasa-Feel Rasakan ada napas di bagian pipi pemeriksa Pastikan pasien sadar atau tidak sadar. bisa lakukan penilaian AVPU jika ingin menilai kesadaran dengan cepat. Jika ada benda asing dalam mulut lakukan finger swap. Jika pasien muntah maka miringkan kepala pasien atau disedot supaya tidak aspirasi. Alat Bantu Jalan Napas 1. Oro-pharingeal airway tube 2. Naso-pharingeal tube 3. Laringeal mask airway 4. Cricothyroidotomy 5. Intubasi trachea
B. Breathing Tujuan
: GCS ≥ 8 : GCS ≤ 8 : jalur darurat untuk oksigenasi 10 menit saja
: O2 masuk paru-paru CO2 keluar paru-paru Gerak napas harus ada
1. Evaluasi ulang pernapasan dengan look, listen, and feel dengan memperhatikan frekuensi napas, gerakan otot napas tambahan, dan sianosis. 2. Pada orang dengan memar di dada maka perlu dicurigai adanya tension pneumothorax dengan didapatkan klinis selain memar, pemeriksaan pada trakeanya miring ke paru yang kontralateral karena paru bagian kontralateral terdesak oleh udara. Lakukan penusukan jarum/spoit ukuran besar (kira-kira 12) di ICS 2 untuk mengeluarkan udara dan menstabilkan pasien. 3. Jika ada luka dada terbuka atau luka tembus dada tutup luka dengan kasa 3 sisi kemudian diberi O2. 4. Untuk pasien gawat diberi O2 60%-100% 5. Jika tidak ada napas sama sekali lakukan pijat jantung 30 kali dan diselingi dengan 2 kali napas buatan. Panggil bantuan.
C. Circulation 1. Kenali tanda sirkulasi normal : telapak tangan kaki hangat dan merah. Jika terlihat pucat, dingin dan basah itu tanda gangguan sirkulasi. Nadi normal 60-100 kali/menit dan teratur. TD tidak kurang dari 90 mmHg. Urine output > 1 cckg/jam. 2. Kenali tanda shock. Ada gangguan perfusi perifer dengan cek capillary refill time di kuku jari selama 2 detik.selanjutnya di radialis, di femoralis dan di carotis. 3. Lakukan posisi shock jika pasien shock dengan mengangkat tungkai lebih tinggi daripada jantung untuk memberi infuse 300-500 cc darah ke jantung dan otak. 4. Pertolongan lebih lanjut : infuse cairan untuk syok hipovolemik, infuse digitalis untuk syok kardiogenik, dopamine, kalo syok distributive diberi adrenalin dan infuse cairan. Cardiac arrest dilakukan jika Co > 20%. D. Disability AVPU A : awake V : verbal P : pain U : un-respond GCS Eye
Verbal
: Membuka mata spontan (4) Membuka mata atas perintah (3) Membuka mata bila dirangsang nyeri (2) Tidak membuka mata bila dirangsang nyeri (1) : Orientasi waktu, tempat dan perorangan baik (5) Kalimat dan kata baik, tapi isi tidak jelas (4)
Kata baik, tapi kalimat tidak jelas (3) Makna kata tidak dapat dimengerti (2) Tidak keluar kata (1) Motorik : Gerakan mengikuti perintah (6) Dapat menunjuk lokas (5) Menarik lengan/tungkai hanya gerakan aduksi (4) Gerakan fleksi (3) Responsi ekstensor (2) Tidak ada gerakan (1) Penilaian kesadaran 3-8 : penurunan kesadaran berat. 9-12 penurunan kesadaran yang sedang dan 13-15 penurunan kesadaran yang ringan. Tambahan : cek respon pupil. 6. Penanganan lanjutan (secondary survey) dan penegakkan diagnosis I.
Riwayat Penyakit Anamnesis : Hampir selalu ditemukan riwayat trauma oleh karena kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja atau trauma lainnya. Pada orang tua dengan kecelakaan yang terjadi di rumah perlu dipikirkan kemungkinan gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga kadang-kadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya, apakah jatuh kemudian tidak sadar atau kehilangan kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh. Anamnesis yang lebih terperinci meliputi sifat kecelakaan atau sebab-sebab trauma untuk estimasi berat ringannya benturan, saat terjadi beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit, ada tidaknya benturan kepala langsung dan keadaan penderita saat kecelakaan misalnya kejang, kelemahan motorik, gangguan bicara dan perubahan kesadaran sampai saat diperiksa serta adanya nyeri kepala, mual muntah. Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwa sejak sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang/turun kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung/disorientasi (kesadaran berubah). Riwayat Penyakit Sebelumya: perlu dianamnesis lebih jauh tentang riwayat penyakit sebelum cedera kepala. Pengkajian Keperawatan Pengkajian keperawatan di instalasi gawat darurat mengunakan pendekatan survei primer dengan menilai jalan napas, pernapasan dan sirkulasi kemudian segera melakukan tindakan life saving.
II.
Penemuan Klinis
Kesan Umum : Pasien bisa compos mentis atau terdapat penurunan kesadaran sampai dengan koma (kriteria kesadaran Alert Verbal Pain Unresponsiveness ) Survei primer dilakukan menilai ada tidaknya gangguan jalan napas dan stabilisasi servikal, pernapasan dan sirkulasi kemudian segera melakukan tindakan resusitasi jika diperlukan. Survei sekunder dilakukan pemeriksaan lengkap mulai ujung kepala sampai ujung kaki melakukan anamnesis lengkap dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik lengkap meliputi:1) tanda vital, 2) tingkat kesadaran dengan Glasgow Coma Scale atau Pediatric Coma Scale, 3) ada tidaknya cedera luar yang terlihat: cedera pada kulit kepala, perdarahan hidung ataupun telinga, hematom periorbital dan retroaurikuler, 4) tanda-tanda neurologis fokal seperti ukuran pupil dan reaksi cahaya, gerakan mata, pola aktivitas motorik dan fungsi batang otak, 5) reflek tendon, 6) fungsi sensorik dan serebeler perlu dip eriksa jika pasien sadar. Kriteria Diagnosis Cedera kepala ringan (CKR dengan GCS 13-15); Cedera kepala sedang (CKS dengan GCS 9-12); Cedera kepala berat (CKB dengan GCS <= 8). Diagnosis morfologi: fraktur cranium, perdarahan EDH; SDH; ICH, lesi intrakranial difus komosio ringan; komosio klasik; diffuse axonal injury. III.
Pemeriksaan Penunjang Rontgen foto tengkorak 3 posisi: menilai ada tidaknya fraktur CT Scan kepala: menilai ada tidaknya perdarahan, edema serebri dan kelainan morfologi lain (bila memungkinkan) Darah rutin dan pemeriksaan lain sesuai indikasi
IV.
Diagnosis Masalah Aktif Cedera kepala ringan Cedera kepala sedang Cedera kepala berat Suspek fraktur basis craniii/fraktur……. Diagnosis Kerja Epidural hematom, subdural hematom, perdarahan subarakhnoid, perdarahan intracranial atau hematoma jaringan lunak Diagnosis Banding Stroke, tumor otak Diagnosis Keperawatan Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskuler (penurunan kesadaran)
Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hipoventilasi/hiperventilasi/disfungsi neuromuskuler (penurunan kesadaran)/cedera spinal. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral: trauma kepala Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik V.
Standar Pengelolaan Standar Terapi Penatalaksanaan cedera kepala secara umum dengan memperbaiki jalan napas (airway), pernapasan (breathing) dan sirkulasi pasien, mencegah tidak sampai terjadi hipoventilasi dan hipovolemia yang dapat menyebabkan secondary brain damage.
PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA RINGAN (GCS 13 – 15) Observasi atau dirawat di rumah sakit bila CT Scan tidak ada atau hasil CT Scan abnormal, semua cedera tembus, riwayat hilang kesadaran, sakit kepala sedang – berat, pasien dengan intoksikasi alkohol/obat-obatan, fraktur tengkorak, rinorea-otorea, cedera penyerta yang bermakna, tidak ada keluarga yang di rumah, tidak mungkin kembali ke rumah sakit dengan segera, dan adanya amnesia. Bila tidak memenuhi kriteria rawat maka pasien dipulangkan dengan diberikan pengertian kemungkinan kembali ke rumah sakit bila dijumpai tanda-tanda perburukan. Observasi tanda vital serta pemeriksaan neurologis secara periodik setiap ½- 2 jam. Pemeriksaan CT Scan kepala sangat ideal pada penderita CKR kecuali memang sama sekali asimtomatik dan pemeriksaan neurologis normal. PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA SEDANG (GCS 9-12) Dirawat di rumah sakit untuk observasi, pemeriksaan neurologis secara periodik. Bila kondisi membaik, pasien dipulangkan dan kontrol kembali, bila kondisi memburuk dilakukan CT Scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat. PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA BERAT (GCS <= 8) Pastikan jalan nafas korban clear (pasang ET), berikan oksigenasi 100% dan jangan banyak memanipulasi gerakan leher sebelum cedera cervical dapat disingkirkan. Berikan cairan secukupnya (ringer laktat/ringer asetat) untuk resusitasi korban agar tetap normovolemia, atasi hipotensi yang terjadi dan berikan transfusi darah jika Hb kurang dari 10 gr/dl. Periksa tanda vital, adanya cedera sistemik di bagian anggota tubuh lain, GCS dan pemeriksaan batang otak secara periodik.
Berikan manitol iv dengan dosis 1 gr/kgBB diberikan secepat mungkin pada penderita dengan ancaman herniasi dan peningkatan TIK yang mencolok. Berikan anti edema cerebri: kortikosteroid deksametason 0,5 mg 3×1, furosemide diuretik 1 mg/kg BB tiap 6-12 jam bila ada edema cerebri, berikan anti perdarahan. Berikan obat-obatan neurotonik sebagai obat lini kedua, berikan anti kejang jika penderita kejang, berikan antibiotik dosis tinggi pada cedera kepala terbuka, rhinorea, otorea. Berikan antagonis H2 simetidin, ranitidin iv untuk mencegah perdarahan gastrointestinal. Koreksi asidodis laktat dengan natrium bikarbonat. Operasi cito pada perkembangan ke arah indikasi operasi. Fisioterapi dan rehabilitasi. Standar Tindakan Bila perlu dilakukan pembedahan (craniotomy), bila terjadi kegawatan dilakukan resusitasi sesuai SOP resusitasi jantung paru. Standar Edukasi dan Rehabilitasi Edukasi: Terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan Dipuasakan dulu bila perlu. Standar Asuhan Keperawatan Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskuler (penurunan kesadaran) Setelah dilakukan tindakan keperawatan sesuai kondisi pasien (maksimal dua jam) seperti berikut, maka bersihan jalan nafas efektif dengan kriteria hasil suara nafas bersih atau tidak ada suara tambahan. NIC : Suction jalan nafas Pastikan kebutuhan suction mulut/trakea, auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suksion, informasikan pada klien dan keluarga tentang suksion, berikan oksigen dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi suksion nasotrakeal, lakukan suction, monitor status oksigen pasien, hentikan suksion dan berikan oksigen apabila pasien menunjukkan bradikardi, peningkatan saturasi oksigen. NIC : Manajemen jalan nafas Buka jalan nafas gunakan teknik manuver chin lift atau jaw thrust bila perlu, posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi, identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan, pasang mayo bila perlu, berikan bronkodilator bila perlu, monitor saturasi oksigen. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hipoventilasi/hiperventilasi/disfungsi neuromuskuler (penurunan kesadaran)/cedera spinal. Setelah dilakukan tindakan keperawatan sesuai kondisi pasien (maksimal 2 jam), pola nafas efektif dengan kriteria hasil: frekuensi nafas dalam batas normal, kedalaman
inspirasi dan ekspansi paru simetris, tidak tampak adanya penggunaan otot pernafasan tambahan, tidak tampak adanya retraksi dinding dada, tidak tampak adanya nafas melalui mulut. NIC : Terapi Oksigen Atur peralatan oksigenasi, monitor aliran oksigen, pertahankan posisi pasien, berikan oksigen sesuai dengan yang diresepkan, observasi adanya. tanda tanda hipoventilasi/hiperventilasi. NIC : Monitor Tanda-tanda Vital Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan frekuensi nafas, catat adanya fluktuasi tekanan darah, monitor pola pemapasan abnormal, monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit, monitor sianosis perifer, monitor adanya cushing triad (tekanan nadi melebar, bradikardi, peningkatan sistolik). Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral: trauma kepala Setelah dilakukan tindakan keperawatan sesuai keadaan pasien maksimal dua jam, perfusi jaringan serebral efektif dengan kriteria hasil: tingkat kesadaran membaik, tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK (edema papil, muntah proyektil) NIC : Cerebral Perfussion Promotion Kolaborasi dengan dokter untuk menentukan parameter hemodinamik yang diperlukan, pertahankan posisi kepala pasien lebih tinggi 15 derajat, hindari aktivitas secara tibatiba, pertahankan serum glukosa pada rentang normal, monitor tanda-tanda perdarahan, monitor status neurologi Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik Setelah dilakukan tindakan keperawatan sesuai dengan kondisi pasien maksimal 2 jam, nyeri teratasi dengan criteria hasil : mampu mengontrol nyeri, mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) NIC : Manajemen Nyeri Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan factor presipitasi, observasi reaksi non verbal dari ketidak nyamanan, kurangi faktor presipitasi nyeri, kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil.
7. Differential diagnosis TRAUMA KAPITIS I. PENGERTIAN Trauma kapitis adalah ganguan traumatik yang menyebabkan gangguan fungsi otak disertai atau tanpa disertai perdarahan intestiri dan tidak menganggu jaringan otak. Head injury (Trauma kepala) termasuk kejadian trauma pada kulit kepala, tengkorak atau otak. Batasan
trauma kepala digunakan terutama untuk mengetahui trauma cranicerebral, termasuk gangguan kesadaran. Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. II.Jenis Trauma Otak 1. Trauma Primer ~ Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselerasi/deselerasi utuh). 2. Trauma Sekunder ~ Merupakan akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi, intrakranial, hipoksia, hiperapnea, atau hipotensi sistemik. Jenis Trauma Kepala 1. Robekan Kulit Kepala Robekan kulit kepala merupakan kondisi agak ringan dari trauma kepala. Oleh karena kulit kepala banyak mengandung pembuluh darah dengan kurang memiliki kemampuan konstriksi, sehingga banyak trauma kepala dengan perdarahan hebat. Komplikasi utama robekan kepala ini adalah infeksi. 2.. Fraktur Tulang Tengkorak Fraktur tulang tengkorak sering terjadi pada trauma kepala. Beberapa cara untuk menggambarkan fraktur tulang tengkorak : Garis patahan atau tekanan.
Sederhana, remuk atau compound Terbuka atau Tertutup
Fraktur yang terbuka atau tertutup bergantung pada keadaan robekan kulit atau sampai menembus kedalam lapisan otak. Jenis dan kehebatan fraktur tulang tengkorak bergantung pada kecepatan pukulan, momentum, trauma langsung atau tidak. II. ANATOMI FISIOLOGI Tulang kepala terdiri dari 3 lapisan:
Tabula Eksterna Merupakan lapisan yang keras Diploe
Merupakan lapisan tulang “cancellous” dan mengandung banyak cabang – cabang arteri / vena diploika yang berasal baik dati permukaan luar maupun dari durameter.
Tabula Interna Serupa tabula eksterna tetapi hanya lebih tipis, sehingga pada benturan tidak tertutup kemungkinan terjadi fraktur menekan pada tabula interna, dengan tabula eksterna tetapi intak. Meningen Membran jaringan ikat yang terdiri dari: 1.Durameter (Pachymeninx) Lapisan paling luar, merupakan lapisan fibrosa, liat dan kuat. Membagi ruang antara kranium dan otak menjadi: *Ruang Epidural : antara tulang dan durameter *Ruang Subdural : antara durameter dan otak Terdiri dari 2 lapisan: *Lapisan luar : dikenal sebagai periosteum interna dan berhubungan dengan periosteum eksterna melalui foramen magnum. *Lapisan dalam : berjalan terus ke distal sebagai durameter spinal. Dengan adanya struktur ini tidak terjadi komunikasi antara ruang epidural kepala d engan ruang epidural spinal. Mempunyai 4 bangunan lipatan durameter, yaitu: *Falx Cerebri *Tentorium Cerebri *Difragma Sella *Falx Serebeli
2. Arakhnoid Membran jaringan ikat, tipis, tansparan, avaskuler terpisah dari durameter diatasnya hanya oleh sedikit cairan yang fungsinya sebagai pembasah. Di permukaan basal otak dan sekitar batang otak, piameter dan arakhnoid terpisah agak jauh sehingga terbentuk ruang sisterna subarakhnoid. Dibagian ventral baatang otak - Sisterna kiasmatik : terletak di daerah kiasma optika - Sisterna interpendukularis : terletak pada fossa interpedunkularis mesensefalon - Sisterna pontin : terletak di persimpangan pontomedularis
Dibagian dorsal batang otak - Sisterna magna (sisterna cerebellomedullaris) - Sisterna ambiens (sisterna superior) 3. Piameter Lapisan meningen paling dalam, terdiri dari 2 lapis; Fungsi : sebagai pelindung masuknya bahan toksis atau mikroorganisme. Melekat pada parenkim otak / spinal, sehingga mengikuti bentuk sulkus-sulkus. Mengandung pembuluh darah kecil yang memebri makan pada struktur otak dibawahnya. Bersama dengan lapisan arakhnoid disebut Leptomeningen. Pembagian otak ada 3 yaitu: -Serebrum (otak besar) Terdiri dari 2 hemisfer dan 4 lobus - Hemisfer kanan dan hemisfer kiri - Lobus terdiri dari: lobus frontal lobus terbesar, pada tosa anterior fungsi : mengontrol perilaku individu,kepribadian, membuat keputusan dan menahan diri lobus temporal (samping) fungsi menginterpretasikan sensori mengecap, bau dan pendengaran lobusparietal fungsi menginterpretasikan sensori lobus oksipital (posterior) fungsi menginterpretasikan penglihatan -Serebelum (otak kecil) Terletak di bagian posterior dan terpisah dari hemister serebral Serebelum mempunyai fungsi merangsang dan menghambat dan tanggung jawab yang luas terhadap koordinasi dan gerakan halus. -Batang Otak Terdiri dari bagian-bagian otak tengah, pons dan medula oblongata: *otak tengah menghubungkan pons dan serebelum dengan hemister serebrum *pons terletak di depan serebelum antara otak tengah dan medula *medula oblongata fungsi meneruskan serabut-serabut motorik dari otak medula spinalis ke otak Sistem Syaraf Perifer sistem syaraf somatik
sistem syaraf otonom : * susunan syaraf simpatis * susunan syaraf parasimpatis ~ Sistem syaraf Somatik Susunan syaraf yang mempunyai peranan spesifik untuk mengetur aktivitas otot sadar / serat lintang. ~ Sistem syaraf Otonom Susunan syaraf yang mempunyai peranan penting, mempengaruhi pekerjaan otot tak sadar (otot polos). Seperti: otot jantung, hati, pancreas, saluran pencernaan, kelenjar, dll. Fungsi Sistem Persyarafan Menerima informasi (stimulus) internal maupun eksternal, melalui s yarat sensori. Mengkomunikasikan antara syarat pusat sampai syarat tepi Mengolah informasi yang diterima di medula spinalis dan atau di otak, yaitu menentukan respon. Mengatur jawaban (respon) secara cepat melalui syaraf motorik (efferent motorik palway), ke organ-organ tubuh sebagai kontrol / modifikasi tindakan. Sirkulasi darah pada Serebral Otak menerima sekitar 20% dari curah jantung. Ku rangnya suplai darah ke otak dapat menyebabkan jaringan rusak ireversibel. 2 arteri yaitu arteri carotis interdan dan arteri vertebral adalah arteri yang menyuplai darah ke otak. Pada dasar otak disekitar kelenjar hipofisis, terdapat sebuah lingkaran arteri terbentuk diantara rangkaian arteri karotis interna dan vertebral, diseb ut sirkulus wilisi yang dibentuk dari cabang-cabang arteri carotis internal. Sedangkan vena-vena pada serebri bersifat unik, karena tidak seperti vena-vena lain. Vena-vena serebri tidak mempunyai katup untuk mencegah aliran darah balik.
III. ETIOLOGI Cidera kepala dapat disebabkan oleh dua hal antara lain : Benda tajam Trauma benda tajam dapat menyebabkan cidera setempat. Benda tumpul Dapat menyebabkan cidera seluruh kerusakan terjadi ketika energi/kekuatan diteruskan kepada otak. Penyebab lain: kecelakaan lalulintas jatuh
pukulan kejatuhan benda kecelakaan kerja / industri cidera lahir luka tembak Mekanisme cidera kepala Ekselerasi Ketika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam. Contoh : akibat pukulan lemparan. Deselerasi Akibat kepala membentur benda yang tidak bergerak. Contoh : kepala membentur aspal. Deforinitas Dihubungkan dengan perubahan bentuk atau gangguan integritas bagian tubuh yang dipengaruhi oleh kekuatan pada tengkorak. Berdasarkan berat ringannya : 1) Cidera kepala ringan → G C S : 13 – 15 2) Cidera kepala sedang → G C S : 9 – 12 3) Cidera kepala berat → G C S : 3 – 8 Penyebab terbesar cedera kepala adalah kecelakaan kendaraan bermotor.jatuh dan terpeleset.Biomekanika cedera kepala ringan yang utama adalah akibat efek ekselarasi/deselerasi atau rotasi dan putaran. Efek ekselerasi/deselerasi akan menyebabkan kontusi jaringan otak akibat benturan dengan tulang tengkorak, terutama di bagian frontal dan frontal temperol. Gaya benturan yag menyebar dapat menyebabkan cedera aksonal difus (diffuse axonal injury) atau cedera coupcontra.coup. IV. TANDA DAN GEJALA Tanda dan gejala cidera kepala dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama: Tanda dan gejala fisik/sumatik Nyeri kepala, dizziness, nausea, vomitus. Tanda dan gejala kognitif Gangguan memori, gangguan perhatian dan berpikir kompleks. Tanda dan gejala emosional/kepribadian Kecemasan, iritabilitas. Gejala sbb: jika klien sadar akan mengeluh sakit kepala berat muntah projektil 8. papil edema
kesadaran makin menurun perubahan tipe pernapasan anisokor tekanan darah turun, bradikardia suhu tubuh yang sulit dikendalikan ( Cholik dan Saiful, 2007, hal. 31 ) VI. KOMPLIKASI Komplikasi pada Trauma Kapitis : Kebocoran cairan Serebrospinal Akibat fraktor pada Fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktor teng korak bagian petrous dari tulang temporol. Kejang Kejang pasca trauma dapat terjadi secara (dalam 2 4 jam pertama) dini (minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Diabetes Insipidus Disebabkan oleh kerusakan traumatik pada rangkai hipofisis menyebabkan penghentian sekresi hormon antideuretik. VII. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Scan – CT Mengidentifikasi adanya SOL.Hemorogi, menentukan Ukuran ventrikel, pe rgeseraan cairan otak. MRI Sama dengan Scan – CT dengan atau tanpa kontras. Angiografi Serebral Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma. EEG Memperlihatkan keberadaan atau perkembangan gelombang Sinar X Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (Fraktor) pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan) edema dan adanya frakmen tulang. BAER (Brain Auditory Evoked) Menentukan fungsi dari kortel dan batang otak . PET (Positron Emission Tomografi) Menunjukkan aktiitas metabolisme pada otak. Pungsi Lombal CSS Dapat menduga adanya perdarahan subarachnoi. GDA (Gas Darah Arteri)
Mengetahui adanya masalah ventilasi oksigenasi yang dapat menimbulkan 9. Kimia/Elektrolit Darah Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan TIK/perubahan Pemeriksaan Toksikolog Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran. Kaular Anti Konvulsan Darah Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat yang cukup efektif untuk VII. PENATALAKSANAAN MEDIK dan NON-MEDIK Pasien dengan trauma kepala berat sering mengalami gangguan pernapasan, syock hipovolemik, gangguan kesimbangan cairan dan elektrolit, tekanan intrakranial yang tinggi, kejang-kejang, gangguan kardiovaskuler. Perlu mendapat penanganan yang tepat. Medik 1. Manitol IV Dosis awal 1 g / kg BB Evaluasi 15 – 20 menit (bila belum ada perbaikan tambahan dosis 0,25 g / kg BB) Hati-hati terhadap kerusakan ginjal Steroid Digunakan untuk mengurangi edema otak Bikarbonas Natrikus Untuk mencegah terjadinya asidosis Antikonvulsan Masih bersifat kontroversial Tujuan : untuk profilaksis kejang Terapi Koma Merupakan langkah terakhir untuk mengendalikan TIK secara konservatif. Terapi ini menurunkan metabolisme otak,mengurangi edema & menurunkan TIK Biasanya dilakukan 24 – 48 jam. Antipiretik Demam akan memperburuk keadaan karena akan meningkatkan metabolisme dan dapat terjadi dehidrasi, kerusakan otak. Jika penyebab infeksi tambahkan antibiotik. Sedasi Gaduh, gelisah merupakan gejala yang sering ditemukan pada penderita cidera otak dan dapat meningkatkan TIK. Lorazepam (ativan) 1 – 2 mg IV/IM dapat diberikan dan dapat diulang pemberiannya dalam 2 – 4 jam. Kerugian : tidak dapat memantau kesadaran penderita. Antasida – AH2 Untuk mencegah perdarahan GIT : simetidin, ranitidin, famotidin.
Furosemid adakalanya diberikan bersama dengan obat anti edema lain. Dosis : 1 mg/kg BB IV, dapat diulang tiap 6 – 12 jam. Non-Medik 1. Pengelolaan Pernapasan: 10. - pasien ditempatkan dalam posisi miring atau seperti posisi koma. - periksa mulut, keluarkan gigi palsu bila ada. - jika banyak ludah atau lendir atau sisa muntahan lakukan penghisapan. - hindari flexi leher yang berlebihan karena bias menyebabkan terganggunya jalan napas/peningkatan TIK. - trakeostomi dilakukan bila lesi di daerah mulut atau faring parah. - Perawat mengkaji frekuensi dan upaya pernapasan pasien, warna kulit, bunyi pernapasan dan ekspansi dada. - berikan penenang diazepam. - posisi pasien selalu diubah setiap 3 jam dan lakukan fisioterapi dada 2x/sehari. 2. Gangguan Mobilitas Fisik - posisikan tubuh pasien dengan posisi opistotonus; perawatan harus dilaku kan dengan tujuan untuk menghentikan pola refleksif dan penurunan tonus otot abnormal. - perawat menghindarkan terjadinya kontraktur dengan melakukan ROM pasif dengan merenggangkan otot dan mempertahankan mobilitas fisik. 3. Kerusakan Kulit - menghilangkan penekanan dan lakukan intervensi mobilitas. 4. Masalah Hidrasi - pada cidera kepala terjadi kontriksi arteri-arteri renalis sehingga pembentukan urine berkurang dan garam ditahan didalam tubuh akibat peningkatan tonus ortosimpatik. 5. Nutrisi pada Trauma otak berat - memerlukan jumlah kalori 2 kali lipat dengan meningkatnya aktivitas system saraf ortosimpatik yang tampak pada hipertensi dan taki kardi. - kegelisahan dan tonus otot yang meningkat menambah kebutuhan kalori. - bila kebutuhan kalori tidak terpenuhi maka jaringan tubuh dan lemak akan diurai, penyembuhan luka akan lebih lama, timbul dekubitus, daya tahan menurun. IX. DIAGNOSA KEPERAWATAN Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah: Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.
Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala. Resiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala. Kecemasan orang tua-anak berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi. FRAKTUR CERVICAL
A.PENGERTIAN Menurut FKUI (2000), fraktur adalah rusaknya dan terputusnya kontinuitastulang, sedangkan menurut Doengoes (2000) fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang B. KLASIFIKASI TRAUMA SERVIKAL 1. Klasifikasi berdasarkan mekanisme trauma a. Trauma hiperfleksi 1)Subluksasi anterior Terjadi robekan pada sebagian ligament di posterior tulang leher; ligament longitudinal anterior utuh. Termasuk lesi stabil. Tanda penting pada subluksasi anterior adalah adanya angulasu ke posterios (kifosis) local pada tempat kerusakan ligament. Tandatanda lainnya: jarak yang melebar antara prosesus spinosus, dan subluksasi sendi apofiseal. 2) Bilateral interfacetal dislocation Terjadi robekan pada ligament longitudinal anterios dan kumpulan ligament di posterior tulang leher. Lesi tidak stabil. Tampak dislokasi anterior korpus vertebrae. Dislokasi total sendi apofiseal. 3) Flexion tear drop fracture dislocation Tenaga fleksi murni ditambah komponen kkompresi menyebabkan robekan pada ligament longitudinal anterior dan kumoulan ligament posterior disertai fraktur avulse pada bagian anteroinferior konspur vertebra. Lesi tidak stabil. Tampak tulang servikal dalam fleksi: fragmen tulang berbentuk segitiga pada bagian antero-inferior korpus vertebrae, pembengkakan jaringan lunak pravertebral. 4) Wedge fracture Vertebra terjept sehingga berbentuk baji. Ligament longitudinal anterior dan kumoulan ligament posterior utuh sehingga lesi ini bersifat stabil. 5) Clay shovelers fracture Fleksi tulang leher dimana terdapat kontraksi ligament posterior tulang leher mengakibatkan terjadinya fraktur oblik pada prosesus spinosus; biasanya pada C4-C7 atau Th1.
b. Trauma fleksi rotasi Terjadi dislokasi interfacetal pada satu sisi. Lesi stabil walaupun terjadinya kerusakan pada ligament posterior termasuk kapsul sendi apofiseal yang bersangkutan dan vertebra proksimalnya dalam posisi oblik, sedangkan distalnya tetap dalam posisi lateral. c. Trauma hiperkstensi 1) Fraktur dislokasi hiperekstensi Dapat terjadi fraktur pedikel, prosesus artikularis, lamina dan prosesu spinosus. Fraktur avulse korpus vertebra bagian posteroinferior. Lesi tidak stabil karena terdapat kerusakan pada elemen posterior tulang leher dan ligament yang bersangkutan. 2) Hangmans fracture Terjadi fraktur arkus bilateral dan silokasi anterior C2 terhadap C3. d. Ekstensi rotasi Terjadinya fraktur pada prosesus artikularis satu sisi. e. Kompresi vertical Terjadinya fraktur ini akibat diteruskannya tenaga trauma melalui kepala, kondilus oksipitalis, ke tulang leher. 2. Klasifikasi berdasar derajat kestabilan a. Stabil b. Tidak stabil C. JENIS FRAKTUR SERVIKAL Jenis fraktur daerah servikal, sebagai berikut: 1. Fraktur atlas C1 Fraktur ini terjadi pada kecelakaan jatuh dari ketinggian dan posisi kepala menopang badan dan daerah servical mendapat tekanan hebat. Condylus occipitalis pada basis crani dapat menghancurlan cincin tulang atlas. Jika tidak ada cedera angulasi dan rotasi maka pergeseran tidak berat dan medulla spinalis tidak ikut cedera. Pemeriksaan radiologi yang dilakukan adalah posisi anteroposterior dengan mulut pasien dalam kead aan terbuka. Terapi untuk fraktur tipe stabil seperti fraktur atlas ini adalah immobilisasi servical dengan collar plaster selama 3 bulan. 2. Pergeseran C1 C2 (Sendi Atlantoaxial) Atlas dan axis dihubungkan dengan ligamentum tranversalis dari atlas yang menyilang di belakang prosesus odontoid pada axis. Dislokasi sendi atlantoaxial dapat mengakibatkan arthritis rheumatoid karena adanya perlunakan kemudian aka nada penekanan ligamentum tranversalis. Fraktur dislokasi termasuk fraktur basis prosesus odontoid. Umunya ligamentum tranversalis masih utuh dan prosesus odontoid pindah dengan atlas dan dapat menekan
medulla spinalis. Terapi utnuk fraktur tidak bergeser yaitu imobilisasi vertebra cervical. Terapi utnuk fraktur geser atlantoaxial adalah reduksi den gan traksi continues. 3. Fraktur kompresi corpus vertebral Tipe kompresu lebih sering tanpa kerusakan ligamentum spinal namun dapt mengakibatkan kompresi corpus vertebralis. Sifat rafktur ini adalah tipe tidak stabil. Terapi untuk fraktur tipe ini adalah reduksi dengan plastic collar selama 3 minggu (masa penyembuhan tulang). 4. Flexi subluksasi vertebral cervical Fraktur ini terjadi saat pergerakan kepala kearah depan yang tiba-tiba sehingga terjadi deselerasi kepala karena tubrukan atau dorongan pada kepala bagian belakang, terjadi vertebra yang miring ke depan diatas vertebra yang ada dibawahnya, ligament posterior dapat rusak dan fraktur ini singkat disebut subluksasi, medulla spinalis mengalami kontusio dalam waktu singkat. Tindakan yang diberikan untuk fraktur tipe ini adalah ekstensi cervical dilanjutkan dengan imobilisasi leher terkekstensi dengan collar selama 2 bulan. 5. Flexi dislokasi dan fraktur dislokasi cervical Cedera ini lebih berat disbanding fleksi subluksasi. Mekanisme terjadinya fraktur hamper sama dengan fleksi subluksasi, posterior ligament robek dan posterior facet pada satu atau kedua sisi kehilangan kestabilannya dengan bangunan sekitar. Jikla dislokasi atau fraktur dislokasi pada C7 – Th1 maka posisi ini sulit dilihat dari posisi foto lateral maka posisi yang terbaik untuk radiografi adalah “swimmer projection” Tindakan yang dilakukan adalah reduksi fleksi dislokasi ataupun fraktur dislokasi dari fraktur cervical termasuk sulit namun traksi skull continu dapat dipakai sementara. 6. Ekstensi sprain (kesleo) cervical (Whiplash injury) Mekanisme cedera pada jaringan lunak yang terjadu bila leher tiba-tiba tersentakl ke dalam hiperekstensi. Biasanya cedera ini terjadi setelah tertabrak dari belakang; badan terlempar ke depan dan kepala tersebtak ke belakang. Terdapat ketidaksesuaian mengenai patologi yang tepat tetapi kemungkinan ligament longitudinal anterior meregang atau robek dan diskus mungkin juga rusak. Pasien mengelih nyeri dan kekakuan pada leher, yang refrakter dan bertahan selam asetahun atau lebih lama. Keadaan ini sering disertai dengan gejala lain yang lebih tidak jelas, misalnya nyeri kepala, pusing, depresi, penglihatan kabur dan rasa baal atau parestesia pada lengan. Biasanya tidak terdapat tanda-tanda fisik, dan pemeriksaan dengan sinar-X hanya memperlihatkan perubahan kecil pada postur. Tidak ada bentuk terapi yang telah terbukti bermanfaat, pasien diberikan analgetik dan fisioterapi. 7. Fraktur pada cervical ke-7 (Processus Spinosus) Prosesus spinosus C7 lebih panjang dan prosesus ini melekat pada otot. Adanya kontraksi otot akibat kekerasan yang sifatnya tiba-tiba akan menyebabkan avulse prosesus spinosus yang disebut “clay shoveler’s fracture”. Fraktur ini nyeri tapi tak b erbahaya. D. ANATOMI FISIOLOGI Columna Vertebralis adalah pilar utama tubuh yang berfungsi melindungi medula spinalis dan menunjang berat kepala serta batang tubuh, yang diteruskannya ke lubang-lubang paha dan tungkai bawah. Masing-masing tulang dipisahkan oleh disitus intervertebralis.
Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut: 1. Vertebrata servikalis Vertebrata cervikalis kedua (axis) ini memiliki dens, yang mirip dengan pasak. Veterbrata cervitalis ketujuh disebut prominan karena mempunyai prosesus spinasus paling panjang. Berjumlah 7 buah. 2. Vetebrata Thoracalis (atlas) Vetebrata Thoracalis mempunyai ciri yaitu tidak memiliki corpus tetapi hanya berupa cincin tulang. Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk jantung, berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang thorax. 3. Vertebrata Lumbalis Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal, berjumlah 5 buah yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus vertebra yang besar ukurannya sehingga pergerakannya lebih luas kearah fleksi. 4. Os. Sacrum Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang dimana ke 5 vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk tulang bayi. 5. Os. Coccygis Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami rudimenter. Lengkung koluma vertebralis.kalau dilihat dari samping maka kolumna vertebralis memperlihatkan empat kurva atau lengkung anteropesterior : lengkung vertikal pada daerah leher melengkung kedepan daerah torakal melengkung kebelakang, daerah lumbal kedepan dan daerah pelvis melengkung kebelakang. Kedua lengkung yang menghadap pasterior, yaitu torakal dan pelvis, disebut promer karena mereka mempertahankan lengkung aslinya kebelakang dari hidung tulang belakang, yaitu bentuk (sewaktu janin dengna kepala membengkak ke bawah sampai batas dada dan gelang panggul dimiringkan keatas kearah depan badan. Kedua lengkung yang menghadap ke anterior adalah sekunder → lengkung servikal berkembang ketika kanak -kanak mengangkat kepalanya untuk melihat sekelilingnya sambil menyelidiki, dan lengkung lumbal di bentuk ketika ia merangkak, berdiri dan berjalan serta mempertahankan tegak.
Fungsi dari kolumna vertebralis. Sebagai pendukung badan yang kokoh dan sekaligus bekerja sebagai penyangga kedengan prantaraan tulang rawan cakram intervertebralis yang lengkungnya memberikan fleksibilitas dan memungkinkan membonkok tanpa patah. Cakramnya juga berguna untuk menyerap goncangan yang terjadi bila menggerakkan berat badan seperti waktu berlari dan meloncat, dan dengan demikian otak dan sumsum belkang terlindung terhadap goncangan. Disamping itu juga untuk memikul berat badan, menyediakan permukaan untuk kartan otot dan membentuk tapal batas pasterior yang kukuh untuk rongga-rongga badan dan memberi kaitan pada iga (Evelyn. C. Pearch, 1997). Medulla spinalis atau sumsum tulang belakang bermula ada medula oblongata, menjulur kearah kaudal melalu foramen magnum dan berakhir diantara vertebra-lumbalis pertama dan kedua. Disini medula spinalis meruncing sebagai konus medularis, dna kemudian sebuah sambungan tipis dasri pia meter yang disebut filum terminale, yang menembus kantong durameter, bergerak menuju koksigis. Sumsum tulang belakang yang berukuran panjang sekitar 45 cm ini, pada bagian depannya dibelah oleh figura anterior yang dalam, sementara bagian belakang dibelah oleh sebuah figura sempit. Pada sumsum tulang belakang terdapat dua penebalan, servikal dan lumbal. Dari penebalan ini, plexus-plexus saraf bergerak guna melayani anggota badan atas dan bawah : dan plexus dari daerah thorax membentuk saraf-saraf interkostalis. Fungsi sumsum tulang belakang mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh dan bergerak refleks. Untuk terjadinya geraka refleks, dibutuhkan struktur sebagai berikut : 1. Organ sensorik : menerima impuls, misalnya kulit 2. Serabut saraf sensorik ; mengantarkan impuls-impuls tersebut menuju selsel dalam ganglion radix pasterior dan selanjutnya menuju substansi kelabu pada karnu pasterior mendula spinalis. 3. Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung menghantarkan impulsimpuls menuju karnu anterior medula spinalis. 4. Sel saraf motorik ; dalam karnu anterior medula spinalis yang menerima dan mengalihkan impuls tersebut melalui serabut sarag motorik. 5. Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls saraf motorik. 6. Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada daerah torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis beberapa otot interkostal, paralisis pada otot abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker pada uretra dan rektum.
E. EPIDEMIOLOGI Kecelakaan merupakan penyebab kematian ke empat, setelah penyakit jantung, kanker dan stroke, tercatat 50 meningkat per 100.000 populasi tiap tahun, 3 % penyebab kematian ini karena trauma langsung medula spinalis, 2% karena multiple trauma. Insidensi trauma pada laki-laki 5 kali lebih besar dari perempuan. Ducker dan Perrot melaporkan 40% spinal cord injury
disebabkan kecelakaan lalu lintas, 20% jatuh, 40% luka tembak, sport, kecelakaan kerja. Lokasi fraktur atau fraktur dislokasi cervical paling sering pada C2 diikuti dengan C5 dan C6 terutama pada usia dekade 3. F. ETIOLOGI Penyebab trauma tulang belakang adalah kecelakaan lalu lintas (44%), kecelakaan olah raga (22%), terjatuh dari ketinggian (24%), dan kecelakaan kerja. G. TANDA DAN GEJALA 1. Nyeri pada leher atau tulang belakang . 2. Nyeri tekan ketika dilakukan palpasi disepanjang tulang belakang. 3. Paralisis atau hasil pemeriksaan fungsi motorik abnormal. 4. Parestesia. 5. Priapisme. 6. Pernafasan diafragma. 7. Renjatan neurogenic H.PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK 1. Sinar X spinal Menentukan lokasi dan jenis cedera tulan (fraktur, dislokasi), untuk kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi. 2. CT SCAN Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural 3. MRI Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi 4. Mielografi. Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor putologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami luka penetrasi). 5. Foto rontgen torak, memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan pada diafragma, atelektasis) 6. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) : mengukur volume inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot interkostal). 7. GDA : Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi I. PROGNOSIS Dari riwayatnya, banyak diantara korban trauma medula spinalis meninggal akibat komplikasi respirasi. Perbaikan pada sistem penanganan trauma, telah menurunkan angka komplikasi dan meningkatkan angka keberhasilan. Keberhasilan dan kualitas hidup pasien bergantung pada
perawatan kedaruratan yang didapatkan. Pengenalan dan perawatan awal akan mempertahankan rehabilitasi yang optimal. J. . KOMPLIKASI Pasien dengan trauma medula spinalis sering mengalami cedera multipel. Perlu untuk mempertahankan volume intravaskular dengan aliran darah yang optimal yang ditunjukkan oleh nilai hematokrit antara 30-34%. Hiperpireksia perlu dikontrol secara agresif untuk mencegah cedera spinal lebih lanjut. Terjadinya demam berdasarkan studi berhubungan dengan saluran kencing atau infeksi jaringan ikat
Trauma Abdomen A. Pengertian Trauma tumpul adalah : kerusakan terhadap struktur yg terletak diantara diafragma dan pelvis,yg diakibatkan oleh luka tumpul atau menusuk. Trauma abdomen pada garis besarnya dibagi menjadi trauma tumpul dan trauma tajam. Keduanya mempunyai biomekanika, dan klinis yang berbeda sehingga algoritma penanganannya berbeda. Trauma abdomen dapat menyebabkan laserasi organ tubuh sehingga memerlukan tindakan pertolongan dan perbaikan pada organ yang mengalami kerusakan. Trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi dua jenis: Trauma penetrasi : Trauma tembak, trauma tusuk Trauma non-penetrasi atau trauma tumpul: diklasifikasikan ke dalam 3 mekanisme utama, yaitu tenaga kompresi (hantaman), tenaga deselerasi dan akselerasi. Tenaga kompresi (compression or concussive forces) dapat berupa hantaman langsung atau kompresi eksternal terhadap objek yang terfiksasi. Misalnya hancur akibat kecelakaan, atau sabuk pengaman yang salah (seat belt injury). Hal yang sering terjadi adalah hantaman, efeknya dapat menyebabkan sobek dan hematom subkapsular pada organ padat visera. Hantaman juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intralumen pada organ berongga dan menyebabkan ruptur. Pengeluaran darah yang banyak dapat berlangsung di dalam kavum abdomen tanpa atau dengan adanya tanda -tanda yang dapat diamati oleh pemeriksa, dan akhir-akhir ini kegagalan dalam mengenali perdarahan intraabdominal adalah penyebab utama kematian dini pascatrauma. Selain itu, sebagian besar cedera pada kavum abdomen bersifat operatif dan perlu tindakan segera dalam menegakan diagnosis dan mengirim pasien ke ruang operasi. 1. Trauma tajam Trauma tajam abdomen adalahsuatu ruda paksa yang mengakibatkan luka pada permukaan tubuhdengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum yangdisebabkan oleh tusukan benda tajam. Trauma akibat benda tajam dikenal dalam tiga bentuk lukayaitu:luka iris atau luka sayat (vulnus scissum), luka tusuk (vulnus punctum) atau luka bacok (vulnus caesum). Luka tusuk maupunluka tembak akan mengakibatkan
kerusakan jaringan karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengankecepatan tinggi akan menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besarterhadap organ viscera, dengan adanya efek tambahan berupa temporary cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen yang mengakibatkan kerusakan lainnya. Kerusakan dapat berupa perdarahan bila mengenai pembuluh darah atau organyang padat. Bila mengenai organ yang berongga, isinya akan keluar ke dalam rongga perut dan menimbulkan iritasi pada peritoneum. 2. Trauma tumpul Trauma tumpul kadang tidak menimbulkan kelainan yang jelas pada permukaan tubuh, tetapi dapat mengakibatkan cedera berupa kerusakan daerah organ sekitar, patah tulang iga, cedera perlambatan (deselerasi), cedera kompresi, peningkatan mendadak tekanan darah, pecahnya viskus berongga, kontusi atau laserasi jaringan maupun organ dibawahnya. Mekanisme terjadinya trauma pada trauma tumpul disebabkan adanya deselerasi cepat dan adanya organ-organ yang tidak mempunyai kelenturan (non complient organ) seperti hati, lien, pankreas, dan ginjal. Secara umum mekanisme terjadinya trauma tumpul abdomen yaitu: Saat pengurangan kecepatan menyebabkan perbedaan gerak di antara struktur. Akibatnya, terjadi tenaga potong dan menyebabkan robeknya organ berongga, organ padat, organ visceral dan pembuluh darah, khususnya pada bagian distal organ yang terkena. Contoh pada aorta distal yang mengenai tulang torakal mengakibatkan gaya potong pada aorta dapat menyebabkan ruptur. Situasi yang sama dapat terjadi pada pembuluh darah ginjal dan pada cervicothoracic junction. Isi intra abdominal hancur diantara dinding abdomen anterior dan columna vertebra atau tulang toraks posterior. Hal ini dapat menyebabkan ruptur,biasanya terjadi pada organ-organpadat seperti lien, hati, dan ginjal. Gaya kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan tekanan intra abdomen yang tiba-tiba dan mencapai puncaknya biasanya menyebabkan ruptur organ berongga. Berat ringannya perforasi tergantung dari gaya dan luas permukaan organ yang terkena cedera. Kerusakan organ lunak karena trauma tumpul biasanya terjadi sesuai dengan tulang yang terkena seperti terlihat pada tabel 2 sebagai berikut:
B. Patofisiologi
Trauma tumpul pada abdomen disebabkan oleh pengguntingan, penghancuran atau kuatnya tekanan yang menyebabkan rupture pada usus atau struktur abdomen yang lain. C. Tanda dan gejala 1. Pecahnya organ solid (tidak berongga) Hepar atau lien yang pecah maka terjadi perdarahan. Penderita akan tampak pucat. Nyeri abdomen. Auskultasi: bising usus menurun Nyeri tekan, nyeri lepas dan defans muscular (kekakuan otot).
2. Pecahnya organ berongga Pecahnya gaster, colon dan usus halus menyebabkan peritonitis. Keluhan nyeri seluruh abdomen. Bising usus menurun. Palpasi ada nyeri tekan, nyeri lepas dan defans muscular. Perkusi didapati ada nyeri ketok.
D. Penatalaksanaan 1. Inspeksi Ekimosis umbilikalis : perdarahan peritonial Ekomosis flank : perdarahan organ retroperitoneal. Ekimosis perineum, skrotum, labia : fraktur pelvis. Luka tembus disertai keluarnya isi abdomen (usus). Simetris atau tidak pelvis, ada jejas atau tidak pada pelvis.
2. Auskultasi Dengarkan bisisng usus di semua kuadran. Dengarkan bisisng usus selama 2 menit. Apabila bising usus menurun atau hilang -> kemungkinan perdarahan -> perforasi pada organ abdomen.
3. Perkusi Dullnes di kuadran kiri atas : hematoma pada limpa.
4. Palpasi Nyeri pada kuadran kiri atas dan menyebar ke bahu -> trauma limpa atau diafragma. Distensi abdomen. Nyeri tekan abdomen.
E. Alat bantu diagnostik Riw .trauma (mekanisme trauma,pada kecelakaan lalu lintas kecepatan dan arah) Pemfis (lokasi trauma,palpasi,perkusi,auskultasi,pemeriksaan rektal) Laboratorium “Diagnostik Peritoneal Lavage”(DPL),(bila gejala klinik meragukan) CT-Scan
USG Laparaskop
F. Penanganan Abdominal paracentesis : menentukan adanya perdarahan dalam rongga peritonium, merupakan indikasi untuk laparotomi. Pemeriksaan laparoskopi : mengetahui secara langsung peneyebab akut abdomen. Pemasangan NGT : memeriksa cairan yang keluar dari lambung pada trauma abdomen. Pemberian antibiotik : mencegah infeksi. Laparotomi. Sebelum operasi : pemasangan NGT, pemasangan dauer-katheter, pemberian antibiotik, pemasangan