BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pengukuran titik-titik detail dengan metode tachymetri dilakukan setelah pengukuran kerangka dasar vertical dan pengukuran kerangka dasar horizontal. Pengukuran metode tachymetry mempunyai keunggulan dalam hal ketepatan dan kecepatan dibandingkan dengan metode offset. Pengukuran metode tachymetri menggunakan alat theodolite, baik yang bekerja secara optis maupun elektronis digital digital yang dinamakan dengan total station. Alat theodolite didirikan di atas patok yang telah diketahui koordinat dan ketinggiannya berdasarkan hasil pengukuran kerangka dasar. Patok tersebut mewakili titik-titik ikat pengukuran. Data yang diperoleh di tempat alat berdiri meliputi azimuth magnetis, sudut vertikal inklinasi (sudut miring) atau zenith dan tinggi alat. Pada alat theodolite dengan fasilitas totoal station koordinat dan ketinggian tinggi titik-titik detail dapat langsung diperoleh dan direkam ke dalam memori penyimpanan.
1.2.Identifikasi 1.2.Identifikasi Masalah
Adapun identifikasi masalah dalam praktik ini adalah sebagai berkut : 1. Mahasiswa/i mengalami kesulitan dalam menerapkan pengetahuan. 2. Mahasiswa/i kurang menguasai dalam materi mata kuliah Ilmu Ukur Tanah yang didapatkannya di Institusi.
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
1
1.3. Pembatasan Masalah
Permasalahan pada laporan ini kami batasi pada : Penguasaan materi dan praktek pengukuran Tachymetri pada mata kuliah Survey dan Pemetaan. Beberapa alasan dibatasinya masalah khusus pada dua hal yang disebutkan diatas adalah sebagai berikut : a. Agar Pengukuran Pengukuran menjadi lebih terarah, sederhana dan hasilnya jelas. b. Praktek Ilmu ukut ukut Tanah khususnya khususnya pengukuran pengukuran Tachymetri merupakan salah satu faktor penting yang dapat menunjang kelancaran pelaksanaan di lapangan dan saat bekerja di masa yang akan datang. 1.4. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah diuraikan diatas, maka dalam laporan praktik ini kami perlu merumuskan masalah. Maka rumusan permasalahannya adalah sebagai berikut : a. Sejauh mana mana penguasaan penguasaan pengukuran Tachymetri. b. Sejauh mana lingkup lingkup tugas yang yang diberikan kepada peserta mahasiswa/i oleh pihak dosen pada saat melaksanakan praktik. 1.5. Tujuan Pengukuran
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk memperoleh gambaran mengenai besarnya tingkat penguasaan Mahasiswa/i terhadap mata kuliah praktik Ilmu Ukur Tanah. 2. Untuk mendapatkan gambaran mengenai kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam melaksanakan kuliah praktik Ilmu Ukur Tanah
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
2
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Tachymetri
“Metode Stadia” yang disebut “Tachymetri” di Eropa, adalah cara yang cepat dan efisien dalam mengukur jarak yang cukup teliti untuk sipat datar trigonometri, tr igonometri, beberapa poligon dan penentuan penentuan lokasi detail-detail fotografi. Stadia berasal dari kata Yunani untuk satuan panjang yang asal-mulanya diterapkan dalam pengukuran jarak-jarak untuk pertandingan atletik – atletik – dari dari sinilah muncul kata “stadium” (“stadion”) dalam pengertian modern. Kata i ni menyatakan 600 satuan Yunani (sama dengan “feet”), atau 606 ft 9 in d alam ketentuan Amerika sekarang. Istilah stadia sekarang dipakai untuk benang silang dan rambu yang dipakai dalam pengukuran, maupun metodenya sendiri. Pembacaan optis (stadia) dapat dilakukan dengan transit, theodolit, alidade dan alat sipat datar. Pengukuran titik-titik detail dengan metode tachymetry dilakukan setelah pengukuran kerangka dasar vertikal dan pengukuran kerangka dasar horizontal. Pengukuran titik-titik detail metode tachymetri ini relatif cepat dan mudah karena yang diperoleh dari lapangan adalah pembacaan rambu, sudut horizontal (azimuth magnetis), sudut vertikal (zenith atau inklinasi) dan tinggi alat. Has il yang diperoleh dari pengukuran tachymetri adalah posisi planimetris X, Y, dan ketinggian Z. Namun
demikian,
prinsip
pengukuran
tachymetri
dan
metodenya
memberikan konsepsi-konsepsi dasar dan sangat mungkin dipakai terus-menerus.
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
3
2.2
Pengukuran Tachymetri Tachymetri Untuk Titik Bidik Horizontal
Selain benang silang tengah, diafragma transit atau theodolite untuk tachymetri mempunyai dua benang horizontal tambahan yang ditempatkan sama jauh dari tengah. Interval antara benang – benang stadia itu pada kebanyakan instrumen memberikan perpotongan vertikal 1 ft pada rambu yang dipasang sejauh 100 ft ( 1 m pada jarak 100 m). Jadi jarak ke rambu yang dibagi secara desimal dalam feet, persepuluhan dan perseratusan dapat langsung dibaca sampai foot terdekat. Ini sudah cukup seksama untuk menentukan detail-detail topografi, seperti ; sungai, jembatan, dan jalan yang akan digambar p ada peta dengan skala lebih kecil daripada 1 in = 100 ft, dan kadang-kadang untuk skala lebih besar misalnya; 1 in = 50 ft. Metode tachymetri didasarkan pada prinsip bahwa pada segitiga-segitiga sebangun, sisi yang sepihak adalah sebanding. Simbol-simbol baku yang dipakai dalam pengukuran tachymetri : a.
f =
jarak pumpun lensa ( sebuah tatapan untuk gabungan lensa objektif
tertentu ). Dapat ditentukan dengan pumpunan pada objek yang jauh dan mengukur jarak antara pusat lensa objektif ( sebenarnya adalah titik simpul dengan diafragma) b.
f 1 = jarak bayangan atau jarak dari pusat (titik simpul) lensa obyektif ke bidang benang silang sewaktu teropong terpumpun pada suatu titik tertentu.
c.
F 2 2= jarak obyek atau jarak dari pusat (titik simpul) dengan titik tertentu sewaktu teropong terpumpun pada suatu titik itu. Bila f 2 tak terhingga atau amat besar, maka f 1 = f
d. i = selang antara benang – benang – benang benang stadia e. f.
f/i. f/i. = faktor penggali, biasanya 100 (stadia interval factor) c = jarak dari pusat instrumen (sumbu I) ke pusat lensa
obyektif. Harga c
sedikit beragam sewaktu lensa obyektif bergerak masuk atau keluar untuk pembidikan berbeda, tetapi biasa dianggap tetapan. g.
C = c + f. C disebut disebut tetapan stadia, walaupun sedikit berubah karena
c = jarak
dari titik pumpun di depan teropong ke rambu. h.
D
= C + d = jarak dari pusat instrumen ke permukaan rambu
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
4
2.3
Pengukuran Tachymetri Untuk Bidikan Miring
Kebanyakan pengukuran tachymetri adalah dengan garis bidik miring karena adanya keragaman topografi, tetapi perpotongan benang stadia dibaca pada rambu tegak lurus dan jarak miring “direduksi” menjadi jarak horizontal dan jarak vertikal. Pada gambar , sebuah transit dipasang pada suatu t itik dan rambu dipegang pada titik tertentu. Dengan benang silang tengah dibidikkan pada rambu ukur sehingga tinggi t sama dengan tinggi theodolit ke tanah. sudut vertikalnya (sudut kemiringan) terbaca sebesar
.
Perhatikan bahwa dalam pekerjaan tachymetri
tinggi instrumen (t.i.) adalah tinggi garis bidik diukur dari titik yang diduduki (bukan TI, tinggi di atas datum seperti dalam sipat datar)
Gambar 2.1 Pengukuran jarak dan beda tinggi cara tachymetry
2 Jarak datar = d AB = 100 ´ (B A – BB) cos m;
m = sudut inklinasi.
Beda tinggi = D H AB = 50 ´ (B A – BB) sin 2m + i – t ; t = BT Penentuan beda elevasi dengan tachymetri dapat dibandingkan dengan sipat datar memanjang t.i. sesuai bidikan plus, dan pembacaan rambu sesuai bidikan minus. Pembacaan langsung pada rambu dengan garis bidik horizontal (seperti pada sipat datar), bukan sudut vertikal, dikerjakan bila keadaan memungkinkan untuk menyederhanakan reduksi catatan-catatan.
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
5
2.4
Rambu Tachymetri
Berbagai jenis tanda dipakai pada rambu tachymetri tetapi semua mempunyai bentuk-bentuk geometrik yang menyolok dirancang agar jelas pada jarak jauh. Kebanyakan rambu tachymetri telah dibagi menjadi feet dan persepuluhan (perseratusan diperoleh dengan interpolasi), tetapi pembagian skala sistem metrik sedang menjadi makin umum. Warna-warna berbeda membantu membedakan angka-angka dan pembagian skala. Rambu-rambu tachymetri biasa berbentuk satu batang, lipatan atau potongan-potongan dengan panjang 10 atau 12 ft. Kalau dibuat lebih panjang dapat meningkatkan jarak bidik tetapi makin berat dan sulit ditangani. Panjang bidikan maksimum dengan demikian adalah kira-kira 100 ft. Pada bidikan yang lebih jauh, setengah interval ( perpotongan antara benang tengan dengan benang stadia atas atau bawah) dapat dibaca dan dilipatgandakan untuk dipakai dalam persamaan reduksi tachymetri yang baku.
2.5
Busur Beaman
Busur beaman adalah sebuah alat yang ditempatkan pada beberapa transit dan alidade untuk memudahkan hitungan-hitungan tachymetri. Alat ini dapat merupakan bagian dari lingkaran vertikal atau sebuah piringan tersendiri. Skalaskala H dan V busur itu dibagi dalam persen. Skala V menunjukkan selisih elevasi tiap 100 f jarak lereng, sedangkan skala H memberikan koreksi tiap 100 ft untuk dikurangkan dari jarak tachymetri. Instrumen-instrumen lain mempunyai busur serupa disebut lingkaran stadia dengan skala V yang sama, tetapi skala H tidak emmberikan koreksi presentase melainkan sebuah pengali (multiplier )
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
6
2.6
Tachymetri Swa-Reduksi
Tachymetri swa-reduksi dan alidade telah dikembangkan dimana garisgaris lengkung stadia nampak bergerak memisah atau saling mendekat sewaktu teropong diberi elevasi atau junam. Sebenarnya garis-garis itu digoreskan pada sebuah piringan kaca yang berputar mengelilingi sebuah rambu (terletak di luar teropong) sewaktu teropong dibidikkan ke sasaran. Pada gambar dibawah garis-garis atas dan bawah (dua garis luar) melengkung untuk menyesuaikan dengan keragaman dalam fungsi trigonometri cos2 dan dipakai untuk pengukuran jarak. Dua garis dalam menentukan selisih elevasi dan melengkung untuk menggambarkan fungsi sin
cos .
Sebuah garis
vertikal, tanda silang tengah, dan garis-garis stadia pendek merupakan tanda pada piringan gelas kedua yang terpasang tetap, terumpun serentak dengan garis-garis lengkung. Sebuah tetapan faktor pengali 100 dipakai untuk jarak horizontal. Faktor 20,50, atau 100 diterapkan pada pengukuran beda tinggi. Harganya ter gantung pada sudut lereng dan ditunjukkan oleh garis-garis pendek ditempatkan antara kurvakurva elevasi. Tachymetri “diagram’ lainnya pada dasarnya bekerja atas bekerja atas prinsip yang sama: Sudut vertikal secara otomatis dipampas oleh pisahan garis stadia yang beragam. Sebuah tachymetri swa-reduksi memakai sebuah garis horizontal tetap p[ada sebuah diafragma dan garis horizontal lainnya pada diafragma keduayang dapat bergerak, yang bekerja atas dasar perubahan sudut vertikal. Kebanyakan alidade planset memakai suatu jenis prosedur reduksi tachymetri. Sebuah rambu Topo khusus yang berkaki dapat dipanjangkan dengan angka nol terpasang pada t.i. biasanya dianjurkan untuk dipakai agar instrumen tachymetri sepenuhnya swa-baca.
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
7
2.7
Poligon Tachymetri
Dalam poligon transit-optis, jarak, sudut horizontal dan sudut vertikal diukur pada setiap titik. Reduksi catatan sewaktu pengukuran berjalan menghasilkan elevasi untuk dibawa dari patok ke patok. Hitung jarak optis rata-rata dan selisih elevasi diperoleh dari bidikan depan dan belakang pada tiap garis. Pengecekan elevasi harus diadakan dengan jalan kembali ke titik awal atau tititk tetap duga didekatnya untuk poligon terbuka. Walaupun tidak seteliti poligon dengan pita, sebuah regu yang terdiri atas tiga anggota – seorang pemegang instrumen, pencatat, dan petugas rambu- merupakan kebiasaan. Seorang petugas rambu lagi dapat mempercepat pekerjaan bila banyak detail tersebar luas. Sudut-sudut horizontal juga harus dicek kesalahan penutupnya. Bila ada kesalahan penutup sudut harus diratakan,
Y
dan
X
dihitung dan keseksamaan
poligon dicek.
2.8
Topografi
Metode tachymetri itu paling bermanfaat dalam penentuan lokasi sejumlah besar detail topografik, baik horizontal maupun vetikal, dengan transit atatu planset. Di wilayah-wilayah perkotaan, pembacaan sudut dan jarak dapat dikerjakan lebih cepat daripada pencatatan pengukuran dan pembuatan sketsa oleh pencatat.
2.9
Sipat Datar Tachymetri
Metode tachymetri dapat dipakai untuk sipat datar trigonometris. TI ( tinggi instrumen di atas datum) ditentukan dengan menbidik pada stasiun yang diketahui elevasinya, atau dengan memasang instrumen pada titi k semacam itu dan mengukur tinggi sumbu II di atasnya dengan rambu tachymetri. Selanjutnya elevasi titik sembarang dapat dicari dengan hitungan dari perpotongan rambu dan sudut vertikal. Jika dikehendaki dapat dilakukan untai sipat datar untuk menetapkan dan mengecek elevasi dua titik atau lebih.
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
8
2.10
Kesaksamaan (Precision)
Sebuah perbandingan galat (ratio or error ) 1/300 sampai 1/500 dapat diperoleh untuk poligon transit-optis yang dilaksanakan dengan kecermatan biasa dan pembacaan baik bidikan depan dan bidikan belakang. Ketelitian dapat lebih baik jika bidikan-bidikan pendek pada poligon panjang dengan prosedur-prosedur khusus. Galat-galat dalam pekerjaan tachymetri biasanya bukan karena sudut-sudut tidak benar tetapi karena pembacaan rambu yang kurang benar. Galat 1 meni t pada pembacaan rambu sebuah sudut vertikal tidak memberikan pengaruh yang berarti pada jarak horizontal. Galat 1 menit tadi menyebabkan selisih elevasi kurang dari 0,1 ft pada bidikan 300 ft untuk sudut-sudut vertikal ukuran biasa. Bila jarak optis ditentukan sampai foot terdekat (kasus umum), sudut-sudut horizontal ke titik-titik topografi hanya perlu dibaca sampai batas 5 atau 6 menit untuk memperoleh kesaksamaan yang sebanding pada bidikan 300 ft. Jarak optis yang diberikan sampai foot terdekat dianggap benar sampai batas kira-kira ½ ft. Dengan galat jarak memanjang ½ ft itu, arahnya dapat menyimpang sebesar 5 menit (mudah dihitung dengan 1menit = 0.00029). Bila dipakai transit Amerika, karenanya sudut-sudut dapat dibaca tanpa nonius, hanya dengan mengira kedudukan penunjuk nonius. Ketelitian sipat datar trigonometrik dengan jarak optis tergantung pada panjang bidikan dan ukuran sudut vertiak yang diperlukan.
2.11
Sumber-Sumber Galat dalam Pekerjaan Tachymetri
Galat-galat yang terjadi pada pekerjaan dengan transit dan theodolit, juga terjadi pada pekerjaan tachymetri. Sumber-sumber galat adalah : a. Galat-Galat Instrumental 1. Benang tachymetri yang jaraknya tidak benar 2. Galat indeks 3. Pembagian skala rambu yang tidak benar 4. Garis bidik transit tidak sejajar garis arah nivo teropong TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
9
b. Galat-Galat Pribadi 1. Rambu tak dipegang tegak (hindari dengan pemakaian nivo rambu) 2. Salah pembacaan rambu karena bidikan jauh 3. Kelalaian mendatarkan untuk pembacaan busur vertikal. Kebanyakan galat dalam pekerjaan tachymetri dapat dihilangkan dengan: a. Menggunakan instrumen dengan benar b. Membatasi panjang bidikan c. Memakai rambu dan nivo yang baik d. Mengambil harga rata-rata pembacaan dalam arah ke depan dan ke belakang.
2.12
Kesalahan – kesalahan Besar
Beberapa kesalahan yang biasa terjadi dalam pekerjaan tachymetri adalah : 1. Galat indeks diterapkan dengan tanda yang salah 2. Kekacauan tanda plus dan minus pada sudut-sudut vertikal 3. Kesalahan aritmetik dalam menghitung perpotongan rambu 4. Pemakaian faktor pengali yang tidak benar 5. Mengayunkan rambu (rambu harus selalu dipegang tegak lurus)
2.13
Pengukuran Untuk Pembuatan Peta Topografi Cara Tachymetri
Salah satu unsur penting pada peta topografi adalah unsur ketinggian yang biasanya disajikan dalam bentuk garis kontur. Menggunakan pengukuran cara tachymetri, selain diperoleh unsur jarak, juga diperoleh beda tinggi. Bila theodolite yang digunakan untuk pengukuran cara tachymetri juga dilengkapi dengan kompas, maka sekaligus bisa dilakukan pengukuran untuk pengukuran detil topografi dan pengukuran untuk pembuatan kerangka peta pembantu pada pengukuran dengan kawasan yang luas secara efektif dan efisien. a. Alat ukur yang digunakan pada pengukuran untuk pembuatan peta topografi cara tachymetry menggunakan theodolit berkompas adalah: theodolit berkompas lengkap dengan statif dan unting-unting, rambu ukur yang dilengkapi dengan nivo kotak dan pita ukur untuk mengukur tinggi alat.
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
10
b. Data yang harus diamati dari tempat berdiri alat ke titik bidik menggunakan peralatan ini meliputi: azimuth magnet, benang atas, tengah dan bawah pada rambu yang berdiri di atas titik bidik, sudut miring, dan tinggi alat ukur di atas titik tempat berdiri alat. Keseluruhan data ini dicatat dalam satu buku ukur.
2.14
Macam-macam Theodolite untuk Pengukuran Tachymetri
Jika dilihat dari cara pengukuran dan konstruksinya, bentuk alat uur theodolite dibagi dalam dua jenis : a. Theodolite reiterasi, yaitu jenis theodolite yang pelat lingkaran
skala mendatar dijadikan satu dengan tabung yang letaknya diatas tiga sekrup. Plat nonius dan plat skala mendatar dapat diletakkan menjadi satu dengan sekrup kl, sedangkan pergeseran kecil dari nonius terhadap skala lingkaran digunakan skrup fl. Dua skrup kl dan fl merupakan satu pasang. Sekrup fl dapat menggerakkan plat nonius bila skrup kl telah dikeraskan. b. Theodolite repetisi, yaitu jenis theodolite yang platnya dengan
skala lingkaran mendatar ditempatkan sedemikian rupa sehingga plat dapat berputar sendiri dengan tabung pada skrup penyetel sebagai sumbu putar. Perbedaan jenis repetisi dan reiter asi adalah, jenis repetisi memilik sekrup k2 dan f2 yang berguna pada pengukuran sudut mendatar dengan cara repetisi.
2.15 Tata Cara Pengukuran Detail Cara Tachymetri Menggunakan Theodolit Berkompas
Pengukuran detil cara tachymetri dimulai dengan penyiapan alat ukur di atas titik ikat dan penempatan rambu di titik bidik. Setelah alat siap untuk pengukuran, dimulai dengan perekaman data di tempat alat berdiri, pembidikan ke rambu ukur, pengamatan azimuth dan pencatatan data di rambu BT, BA, BB serta sudut miring m.
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
11
a. Tempatkan alat ukur di atas titik kerangka dasar atau titik kerangka penolong dan atur sehingga alat siap untuk pengukuran, ukur dan catat tinggi alat di atas titik ini. b. Dirikan rambu di atas titik bidik dan tegakkan rambu dengan bantuan nivo kotak. c. Arahkan teropong ke rambu ukur sehingga bayangan tegak garis diafragma berimpit dengan garis tengah rambu. Kemudian kencangkan kunci gerakan mendatar teropong. d. Kendorkan kunci jarum magnet sehingga jarum bergerak bebas. Setelah jarum setimbang tidak bergerak, baca dan catat azimuth magnetis dari tempat alat ke titik bidik. e. Kencangkan kunci gerakan tegak teropong, kemudian baca bacaan benag tengah, atas dan bawah serta cata dalam buku ukur. Bila memungkinkan, atur bacaan benang tengah pada rambu di titik bidik setinggi alat, sehingga beda tinggi yang diperoleh sudah merupakan beda tinggi antara titik kerangka tempat berdiri alat dan titik detil yang dibidik. f. Titik detil yang harus diukur meliputi semua titik alam maupun buatan manusia yang mempengaruhi bentuk topografi peta daerah pengukuran.
Kesalahan pengukuran cara tachymetri dengan theodolit berkompas 1. Kesalahan alat, misalnya: a. Jarum kompas tidak benar-benar lurus. b. Jarum kompas tidak dapat bergerak bebas pada prosnya. c. Garis bidik tidak tegak lurus sumbu mendatar (salah kolimasi). d. Garis skala 0° - 180° atau 180° - 0° tidak sejajar garis bidik. e. Letak teropong eksentris. f. Poros penyangga magnet tidak sepusat dengan skala lingkaran mendatar. 2. Kesalahan pengukur, misalnya: a. Pengaturan alat tidak sempurna ( temporary adjustment ) b. Salah taksir dalam pembacaan c. Salah catat, dll. nya.
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
12
3. Kesalahan akibat faktor alam, misalnya: a. Deklinasi magnet. b. atraksi lokal.
2.16
Pengukuran Tachymetri Untuk Pembuatan Peta Topografi Cara Polar
Posisi horizontal dan vertikal titik detil diperoleh dari pengukuran cara polar langsung diikatkan ke titik kerangka dasar pemetaan atau titik (kerangka) penolong yang juga diikatkan langsung dengan cara polar ke titik kerangka dasar pemetaan. Unsur yang diukur: a. Azimuth magnetis dari titik ikat ke titik detil, b. Bacaan benang atas, tengah, dan bawah c. Sudut miring, dan d. Tinggi alat di atas titik ikat.
Gambar 2.2 Pengukuran topografi cara tachymetri-polar.
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
13
BAB III GARIS KONTUR
3.1
Pengertian
Garis kontur yaitu suatu garis yang digambarkan di atas bidang datar melalui titik-titik dengan ketinggian yang sama terhadap suatu ketinggian tertentu atau garis kontur yaitu garis khayal di lapangan yang menghubungkan titik-titik di atas peta yang memperlihatkan titik-titik di atas peta dengan ketinggian yang sama. Contoh nyata dari garis kontur yaitu garis pantai laut, garis pantai danau dan lain sebagainya. Penarikan garis kontur berdasarkan perolehan posisi titik-titik tinggi (spot height) dari lapangan. Penarikan garis kontur didapat dengan cara perhitungan interpolasi suatu titik dengan titik lain yang masing-masing telah diketahui ketinggiannya. Posisi titik dengan ketinggian ketinggian tertentu yang akan dicari, berada diantara 2 titik tinggi tersebut dan diperoleh dengan prisip perhitungan 2 buah segitiga sebangun. Data yang harus dimiliki untuk melakukan interpolasi garis kontur adalah jarak antara 2 titik tinggi diatas peta, tinggi definitif kedua titik tinggi garis kontur yang akan ditarik. Hasil perhitungan interpolasi ini adalah posisi titik garis kontur yang melewati garis hubung antara dua titik tinggi. Posisi ini berupa jarak garis kontur terhadap posisi titik pertama atau kedua titik titik hasil interpolasi tersebut kemudian kita hubungkan untuk membentuk garis kontur yang kita inginkan. Salah satu unsur yang penting pada suatu peta topografi adalah informasi tentang tinggi suatu tempat terhadap rujukan tertentu. Untuk menyajikan variasi ketinggian suatu tempat pada peta topografi, umumnya digunakan garis kontur (contour-line). Garis kontur adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan ketinggian sama. Nama lain garis kontur adalah garis tranches, garis tinggi dan garis lengkung horisontal.
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
14
Garis kontur + 25 m, artinya garis kontur ini menghubungkan titik-titik yang mempunyai ketinggian sama + 25 m terhadap referensi tinggi tertentu. Garis kontur dapat dibentuk dengan membuat proyeksi tegak garis-garis perpotongan bidang mendatar dengan permukaan bumi ke bidang mendatar peta. Karena peta umumnya dibuat dengan skala tertentu, maka bentuk garis kontur ini juga akan mengalami pengecilan sesuai skala peta.
Gambar 3.1 Pembentukan Garis Kontur dengan membuat proyeksi tegakgaris perpotongan bidang mendatar dengan permukaan bumi
Dengan memahami bentuk-bentuk tampilan garis kontur pada peta, maka dapat diketahui bentuk ketinggian permukaan tanah, yang selanjutnya dengan bantuan pengetahuan lainnya bisa diinterpretasikan pula informasi tentang bumi lainnya.
3.2
Interval Kontur dan Indeks Kontur
Interval kontur adalah jarak tegak antara dua garis kontur yang berdekatan. Jadi juga merupakan jarak antara dua bidang mendatar yang berdekatan. Pada suatu peta topografi interval kontur dibuat sama, berbanding terbalik dengan skala peta. Semakin besar skala peta, jadi semakin banyak informasi yang tersajikan, interval kontur semakin kecil. Indeks kontur adalah garis kontur yang penyajiannya ditonjolkan setiap kelipatan interval kontur tertentu; mis. Setiap 10 m atau yang lainnya. Rumus untuk menentukan interval kontur pada suatu peta topografi adalah: i = (25 / jumlah cm dalam 1 km) meter, atau i = n log n tan a , dengan n = (0.01 S + 1)1/2 meter. Contoh: TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
15
Peta dibuat pada skala 1 : 5 000, sehingga 20 cm = 1 km, maka i = 25 / 20 = 1.5 m Peta dibuat skala S = 1 : 5 000 dan a = 45° , maka i = 6.0 m Berikut contoh interval kontur yang umum digunakan sesuai bentuk permukaan tanah dan skala peta yang digunakan.
Tabel 3.1 Interval kontur berdasarkan skala dan bentuk medan
3.3
Skala
Bentuk Muka Tanah
Interval Kontur
1 : 1 000
Datar
0.2 - 0.5 m
dan
Bergelombang
0.5 - 1.0 m
lebih besar
Berbukit
1.0 - 2.0 m
1 : 1 000
Datar
0.5 - 1.5 m
s/d
Bergelombang
1.0 - 2.0 m
1 : 10 000
Berbukit
2.0 - 3.0 m
1 : 10 000
Datar
1.0 - 3.0 m
dan
Bergelombang
2.0 - 5.0 m
lebih kecil
Berbukit
5.0 - 10.0 m
Bergunung
0.0 - 50.0 m
Sifat Garis Kontur
a. Garis-garis kontur saling melingkari satu sama lain dan tidak akan saling berpotongan. b. Pada daerah yang curam garis kontur lebih rapat dan pada daerah yang landai lebih jarang. c. Pada daerah yang sangat curam, garis-garis kontur membentuk satu garis. d. Garis kontur pada curah yang sempit membentuk huruf V yang menghadap ke bagian yang lebih rendah. Garis kontur pada punggung bukit yang tajam membentuk huruf V yang menghadap ke bagian yang lebih tinggi.
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
16
e. Garis kontur pada suatu punggung bukit yang membentuk sudut 90° dengan kemiringan maksimumnya, akan membentuk huruf U menghadap ke bagian yang lebih tinggi. f.
Garis kontur pada bukit atau cekungan membentuk garis-garis kontur yang menutup-melingkar.
g. Garis kontur harus menutup pada dirinya sendiri. h. Dua garis kontur yang mempunyai ketinggian sama tidak dapat dihubungkan dan dilanjutkan menjadi satu garis kontur.
Gambar 3.2 Kerapatan garis kontur pada daerah curam dan daerah landai
Gambar 3.3 Garis kontur pada daerah sangat curam
Gambar 3.4 Garis kontur pada curah dan punggung bukit
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
17
Gambar 3.5 Garis kontur pada bukit dan cekungan
3.4
Kegunaan Garis Kontur
Selain menunjukkan bentuk ketinggian permukaan tanah, garis kontur juga dapat digunakan untuk: a. Menentukan potongan memanjang ( profile, longitudinal sections ) antara dua tempat. b. Menghitung luas daerah genangan dan volume suatu bendungan. c. Menentukan route / trace dengan kelandaian tertentu. d. Menentukan kemungkinan dua titik di lapangan sama tinggi dan saling terlihat.
Gambar 3.6 Potongan memanjang dari potongan garis kontur
Gambar 3.7 Bentuk, luas dan volume daerah genangan berdasarkan garis kontur.
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
18
Gambar 3.8 Rute dengan kelandaian tertentu.
Gambar 3.9 Titik dengan ketinggian sama berdasarkan garis kontur.
Penentuan dan Pengukuran Titik Detil Untuk Pembuatan Garis Kontur
Semakin rapat titik detil yang diamati, maka semakin teliti informasi yang tersajikan dalam peta. Dalam batas ketelitian teknis tertentu, kerapatan titik detil ditentukan oleh skala peta dan ketelitian (interval) kontur yang diinginkan. Pengukuran titik-titik detil untuk penarikan garis kontur suatu peta dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. a. Pengukuran Tidak Langsung Titik-titik detail yang tidak harus sama tinggi, dipilih mengikuti pola tertentu, yaitu: pola kotak-kotak (spot level), pola profil (grid) dan pola radial. Titik-titik detil ini, posisi horizontal dan tingginya bisa diukur dengan cara tachymetri pada semua medan, sipat datar memanjang ataupun sipat datar profil - pada daerah yang relatif datar.Pola radial digunakan untuk pemetaan topografi pada daerah yang luas dan permukaan tanahnya tidak beraturan.
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
19
Gambar 3.10 Pengukuran kontur pola spot level dan pola grid.
Gambar 3.11 Pengukuran kontur pola radial.
b. Pengukuran Langsung Titik-titik detil ditelusuri sehingga dapat ditentukan posisinya dalam peta dan diukur pada ketinggian tertentu ketinggian garis kontur. Cara pengukurannya bisa menggunakan cara tachymetri atau cara sipat datar memanjang dan diikuti dengan pengukuran polygon. Cara pengukuran langsung lebih rumit dan sulit pelaksanaannya dibanding dengan cara tidak langsung, namun ada jenis kebutuhan tertentu yang harus menggunakan cara pengukuran kontur cara langsung, misaln ya pengukuran dan pemasangan tanda batas daerah genangan.
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
20
Gambar 3.12 Pengukuran kontur cara langsung.
3.5
Interpolasi Garis Kontur
Pada pengukuran garis kontur cara langsung, garis-garis kontur sudah langsung merupakan garis penghubung titik-titik yang diamati dengan ketinggian yang sama, sedangkan pada pengukuran garis kontur cara tidak langsung umumnya titik-titik detil itu pada ketinggian sembarang yang tidak sama. Bila titik-titik detil yang diperoleh belum mewujudkan titik-titik dengan ketinggian yang sama, maka perlu dilakukan interpolasi linier untuk mendapatkan titik-titik yang sama tinggi. Interpolasi linier bisa dilakukan dengan cara: taksiran, hitungan dan grafis. a. Cara taksiran (visual) Titik-titik dengan ketinggian yang sama secara visual diinterpolasi dan diinterpretasikan langsung di antara titik-titik yang diketahui ketinggiannya.
Gambar 3.13 Interpolasi kontur cara taksiran.
b. Cara hitungan (numeris) Cara ini pada dasarnya juga menggunakan dua titik yang diketahui posisi dan ketinggiannya, hanya saja hitungan interpolasinya dikerjakan secara numeris (eksak) menggunakan perbandingan linier.
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
21
c. Cara grafis Pada kertas transparan, buat interpolasi dengan membuat garis-garis sejajar dengan interval tertentu pada selang antara dua titik yang sudah diketahui ketinggiannya. Kemudian plot salah satu titik pada kertas transparan. Titik ini kemudian diimpitkan dengan titik yang sama pada kertas gambar dan keduanya ditahan berimpit sebagai sumbu putar. Selanjutnya putar kertas transparan hingga arah titik yang lain yang diketahui ketinggiannya terletak pada titi k yang sama pada kertas gambar. Maka dengan menandai perpotongan garis-garis sejajar dengan garis yang diketahui ketinggiannya diperoleh titik-titik dengan ketinggian pada interval tertentu. Rumus umum : n r A A 4 N r
2
V =
h 3
0
A2 r 1
2
0
n r h V 3 A A N 2 r
A r ……….(i) atau r
r
2
n2 2
2
0
1
r n
2
0
Ar
Ar
1
r 1
0
………(ii) atau . Ar 1
2
n 1 r 2 h Ar ......................................(iii ) V 2 A0 A N 2 r 0
Catatan :
Rumus
(i)
disebut
rumus
prisma
dan
digunakan apabila n = genap
Rumus (ii) disebut rumus piramida dan
digunakan apabila n = ganjil
Rumus (iii) disebut rumus rata-rata awal dan akhir dan digunakan apabila n = ganjil
Rumus untuk menghitung volume antara kontur z dan titik P adalah rumus volume kerucut.
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
22
BAB IV PROSEDUR PENGUKURAN TITIK-TITIK DETAIL METODE TACHYMETRI
4.1.
Tujan Instruksional Umum :
Mahasiswa mampu memahami, mendeskripsikan, dan mengaplikasikan cara menentukan kedudukan planimetris X,Y dan ketinggian Z, dari titik-titik detail yang diukur dari titik ikatnya yang koordinat titik ikat diperoleh dari pengukuran polygon, sedangkan ketinggian titik ikat di peroleh dari pengukuran sifat datar vertikal.
4.2.
Tujuan Instruksional Khusus :
1. Mahasiswa mampu mendirikan alat theodolit di atas titik ikat dan mengetengahkan gelembung nivo alat theodolit dengan prinsip pergerakan 2 sekrup kaki kiap ke arah dalam atau keluar saja dan pergerakan 1 sekrup kaki kiap ke kiri atau kekanan saja. 2. Mahasiswa mampu membidikkan teropong kearah satu titik detail dan membaca benang atas, benang tengah, dan benang bawah dari rambu pada titik detail. 3. Mahasiswa mampu melakukan pembacaan sudut horizontal titik detail yang merupakan arah azimut magnetis dalam bentuk bacaan derajat, menit, dan detik dan mampu pula melakukan pembacaan sudut vertikal titik detail berupa sudut zenith atau sudut miring, dimana sudut zenith = 90-sudut miring (sudut miring adalah bacaan sudut vertikal garis bidik theodolit terhadap arah bidang nivo di bidang horizontal sedangkan sudut zenith adalah sudut yang dibentuk dari arah sumbu I yang tegak lurus alat terhadap bidang nivo terhadap garis bidik target titik detail. 4. Mahasiswa mampu membidik titik-titik yang dianggap titik-titik detail pada arah horizontal maupun arah vertikal. Informasi pada arah TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
23
horizontal dan vertikal ini dijadikan data untuk pe mbuatan garis kontur, dengan demikian mahasiswa diharapkan mampu membedakan secara visual perbedaan perubahan slope terrain (permukaan tanah) atau kemiringan tanah. 5. Mahasiswa mampu melakukan pengolahan data dari hasil pengukuran tachymetri di lapangan dan diperoleh koordinat planimetris X,Y, dan Z titik-titik detail yang diukur.
4.3.
Peralatan yang Dibutuhkan
1.
Pesawat Theodolite (T.O. Wild).
2.
Statif.
3.
Unting-unting.
4.
Benang.
5.
Rol meter.
6.
Payung.
7.
Patok (paku).
8.
Cat dan kuas.
9.
Catatan daftar pengukuran, alat tulis, dan papan dada.
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
24
4.4.
Prosedur Pengukuran
a. Urutan pengaturan serta pemakaian : 1.
Dengan menggunakan patok-patok yang telah ada yang digunakan pada pengukuran sipat datar dan pengukuran poligon, dirikan alat theodolit pada titik(patok) sebagai titik ikat pada awal pengukuran (patok pertama).
2.
Ketengahkan gelembung nivo dengan prinsip pergerakan 2 sekrup kaki kiap ke dalam dan keluar saja dan 1 sekrup kaki kiap ke kanan atau ke kiri saja.
3.
Pada posisi teropong biasa diarahkan teropong titik detail 1 yang telah didirikan rambu ukur di atas target tersebut, kemudian baca benang atas, benang tengah, dan benang bawah dari rambu ukur pada titik detail 1 dengan bantuan sekrup ksar dan halus pergerakan vertikal.
4.
Bacalah sudut horizontal yang menunjukan azimuth magnetis dari titik detail 1 dan baca pula sudut vertikal berupa sudut miring atau sudut zenith pada titik detail tersebut. Jika sudut vertikal yang dibaca relatif kecil antara 0o – 5o maka dapat dipastikan sudut tersebut adalah sudut inklinasi (miring) dan jika berada di sekitar sudut 90 o maka dapat dipastikan sudut tersebut adalah sudut zenith. Setelah terbaca semua data tersebut kemudian kita pindahkan rambu ukur ke titik detail berikutnya dan lakukan hal yang sama seperti diatas. Dalam
membuat
titik
detail
buatlah
sebanyak-banyaknya
sedemikian rupa sehingga informasi dari lapangan baik planimetris maupun ketinggian dapat disajikan secara lengkap di atas peta. 5.
Pindahkan alat theodolit ke titik ikat berikutnya, selanjutnya lakukan pengukuran tachymetri ke titik-titik detail lainnya.
6.
Selanjutnya pengolahan data tachymetri dipindahkan dengan pengolahan data pengukuran sipat datar dan pengukuran polygon sedemikian rupa sehingga diperoleh koordinat dan tinggi titik-titik detail.
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
25
7.
Pengukuran tachymetri selesai. Hasil yang diperoleh dari prakek pengukuran tachymetri di lapangan adalah koordinat planimetris X,Y, dan ketinggian Z titik-titik detail yang diukur sebagai situasi daerah pengukuran untuk keperluan penggambaran titik detail dan garis-garis kontur dalam pemetaan.
b. Pembacaan sudut mendatar : 1.
Terlebih dahulu kunci boussole atau pengencang magnet kita lepaskan, kemudian akan terlihat skala pembacaan bergerak; sementara bergerak kita tunggu sampai skala pembacaan diam, kemudian kita kunci lagi.
2.
Pembacaan bersifat koinsidensi dengan mempergunkan tromol mikrometer. (berarti pembacaan dilakukan pada angka-angka yangberselisih 180 atau 200gr ). Pembacaan puluhan menit/centi grade dan seterusnya dilakukan pada
tromol
mikrometer.
Untuk pembacaan
biasa,
tromol
mikrometer berada sebelah kanan, sedangkan untuk pembacaan luar biasa; tromol berada di sebelah kiri. Untuk dapat melihat angkaangka pembacaan pada keadaan biasa maupun luar biasa, kita putar penyetel angka pembacaan (angka pembacaan dapat diputar baik menurut biasa/luar biasa dengan selisih 180 atau 200gr )
c. Pembacaan Sudut Miring/Jurusan 1.
Terlebih dahulu gelembung skala vertikal dengan menggunakan skrup collimator.
2.
Sistim pembacaan dengan menggunakan angka yang sama/sebelah kiri bawah dengan sebelah kanan atas). Bagian skala antara angka yang sama mempunyai satuan puluhan menit (lihat gambar).
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
26
d. Pembacaan Rambu 1.
Untuk pembacaan jarak, benang atas kita tempatkan di 1m atau 2 m pada satuan meter dari rambu. Kemudian baca benang bawah dan tengah.
2.
Untuk pembacaab sudut miring, arahkan benang tengah dari teropong ke tinggi alatnya, sebelum pembacaan dilakukan, gelembung nivo vertikal harus diketengahkan dahulu. (Tinggi alat harus diukur dan dicatat.)
4.5 Prosedur Penggambaran
Penggambaran untuk pengukuran Tachymetri dapat dilaksanakan dengan bantuan perangkat lunak Surfer dan Perangkat lunak AutoCad. Dimulai dengan pembuatan kontur dengan bantuan perangkat lunak surfer. Data yang telah diolah dalam perangkat lunak Microsoft Excel dipindahkan ke dalam program Surfer yang kemudian dapat diketahui koordinat dan garis kontur. Setelah diketahui koordinat dan garis kontur, data di export ke dalam format dfx hingga dapat dibuka dalam program Autocad. Dalam program Autocad, data diolah dan disesuai kan dengan kondisi riil di lapangan. Skala yang digunakan sebaiknya adalah skala grafis karena lebih fleksibel dan dapat disesuaikan dengan ukuran kertas. Perlu dipertimbangkan masalah koordinat titik-titik untuk mengintegrasikan macam peta yang akan dipetakan.
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
27
BAB V PELAKSANAAN PRAKTIKUM
5.1 Waktu dan Lokasi Pengukuran
1. Hari/Tanggal : Rabu,/ 28 – 11 - 2013 Kegiatan
: Pengukuran Tachymetri
Waktu
: 15.00 s.d selesai
Lokasi
: FPBS UPI
2. Hari/Tanggal : Sabtu / 7 – 12 - 2013 Kegiatan
: Pengukuran Tachymetri
Waktu
: 08.00 s.d selesai
Lokasi
: FPBS UPI
3. Hari/Tanggal : Minggu / 8 -12 -2013 Kegiatan
: Pengukuran Tachymetri
Waktu
: 08.00 s.d selesai
Lokasi
: FPBS kampus UPI
4. Hari/Tanggal : Selasa / 10 – 12 - 2013
5.2
Kegiatan
: Pengukuran Tachymetri
Waktu
: 08.00 s.d selesai
Lokasi
: FPBS kampus UPI
Keselamatan kerja
1. Hati-hati dalam membawa atau memindahkan pesawat 2. Setiap memindahkan pesawat, pesawat harus dibawa dalam tempatnya 3. Lindungi pesawat dari terik matahari dan hujan 4. Hati-hati pada saat melakukan pengukuran, ada kemungkinan pada lokasi pengukuran licin dan curam 5. Efektifkan waktu pengukuran.
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
28
BAB VI PENGOLAHAN DATA
6.1 Penurunan Rumus Titik Detail Tachymetri
Secara umum rumus yang digunakan dalam tachymetri adalah sebagai berikut : 1 BA i
Z
Z BT i
Z Z
BB
dA B
? HAB
O' i
O
Ta
A
B
dABX
Titik Nadir
Gambar 5.1 Pengukuran Titik Detail Tachymetri
BA' BT COSi
( BA BT ) COSi BA' ( BA
BT
BA' BT
BA BT
BA
BA'
BA' BT
) COSi BT
BA - BT
i
BT i
BT - BB
BB'
( BT BB ) COSi
BB ' BT
BT BB'
BT BB' COSi
BB
BT BB BT
BB '
( BT BB) COSi
BA’
= (BA – BT) * COS I + BT
BB’
= BT – (BT – BB) * COS i
(BA’ – BB’)
= (BA – BT + BT – BB) * COS i = (BA – BB) * COS i
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
29
dABx
= dAB * COS i * 100
dABx
= (BA – BB) * COS i * COS i * 100
dABx
= (BA – BB) * COS 2 i * 100
Jadi : XB
= XA + dABx * Sin
AB
YB
= YA + dABx * Cos
AB
Catatan : XA dan Y A
= Hasil pengolahan data polygon.
dABx
= Hasil pengolahan data tachymetry.
AB
= Hasil pembacaan sudut horizontal (azimuth) theodolite. BT
i
O
O'
Gambar 5.2 Segitiga O BT O’
Sini
O' BT d AB
O' BT
d AB
Sini
HAB
= Tinggi alat + O’BT – BT
HAB
= Tinggi alat + d AB * Sin I – BT Tinggi alat + (BA –
BB) * Cos i * Sin i * 100 – BT
HAB
= Tinggi alat + (BA – BB) * Sin 2i * ½ * 100 – BT
HAB
= Tinggi alat + (BA- BB) * Sin 2i * 50 – BT
Jadi : TB
= Tinggi alat + HAB
Catatan : Tinggi alat
= Hasil pengolahan data sipat datar
HAB
= Hasil pengolahan data tachymetri
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
30
6.2 Pengolahan Data
Tabel 6.1 Data Lapangan
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
31
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
32
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
33
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
34
Karena banyaknya perhitungan, maka penulis ambil titik 1 sebagai contoh perhitungan, sedangkan perhitungan titik lainnya disajikan dalam bentuk tabel pada Lampiran.
A.TITIK 1 = , ; = , = ; =
Jarak datar d
= ( BA – BB ) . 100 . Cos 2 i
= ( BA – BB ) . 100 . Cos 2 i
TITIK 1
= (0,604 – 0,398) . 100 . 0,9989 = 20,5772
= ( BA – BB ) . 100 . Cos 2 i = (1,425 – 1,175) . 100 . 1 = 25,0000
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
35
= ( BA – BB ) . 100 . Cos 2 i = (1,674 – 1,526) . 100 . 0,99998 = 14,7998
= ( BA – BB ) . 100 . Cos 2 i = (0,768 – 0,634) . 100 . 0,98984 = 13,2638
= ( BA – BB ) . 100 . Cos 2 i = (0,773 – 0,626) . 100 . 0,99011 = 14,5546
= ( BA – BB ) . 100 . Cos 2 i = (1,374 – 1,224) . 100 . 0,98977 = 14,8465
= ( BA – BB ) . 100 . Cos 2 i = (0,558 – 0,444) . 100 . 0,97872 = 11,1574
ℎ
= ( BA – BB ) . 100 . Cos 2 i = (1,169 – 1,03) . 100 . 0,99123 = 13,7782
= ( BA – BB ) . 100 . Cos 2 i = (1,106 – 0,996) . 100 . 0,98899 = 10,8789
= ( BA – BB ) . 100 . Cos 2 i = (0,748 – 0,653) . 100 . 0,98907 = 9,3962
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
36
BEDA TINGGI ΔH
= Tinggi alat + ( BA – BB ) . 100 . Sin i . cos i – BT
TITIK 1 ΔHa
= Tinggi alat + ( BA – BB ) . 100 . Sin i . Cos i – BT = 1,32 + (0,604 – 0,398) .100 . (0.03325) . (0,99945) – 0,5 = 1,5046
ΔHb
= Tinggi alat + ( BA – BB ) . 100 . Sin i . Cos i – BT = 1,32 + (1,425 – 1,175) .100 . (-0,00126) . (1) – 1,3 = -0,0115
ΔHc
= Tinggi alat + ( BA – BB ) . 100 . Sin i . Cos i – BT = 1,32 + (1,674 – 1,526) .100 . (-0,00407) . (0,99998) – 1,6 = -0,3403
ΔHd
= Tinggi alat + ( BA – BB ) . 100 . Sin i . Cos i – BT = 1,32 + (0,768 – 0,634) .100 . (-0,10082) . (0,98984) – 0,7 = -0,7240
ΔHe
= Tinggi alat + ( BA – BB ) . 100 . Sin i . Cos i – BT = 1,32 + (0,773 – 0,626) .100 . (-0,09946) . (0,99011) – 0,7 = -0,8349
ΔHf
= Tinggi alat + ( BA – BB ) . 100 . Sin i . Cos i – BT = 1,32 + (1,374 – 1,224) .100 . (-0.10115) . (0,98977) – 1,3 = -1,4896
ΔHg
= Tinggi alat + ( BA – BB ) . 100 . Sin i . Cos i – BT = 1,32 + (0,558 – 0,444) .100 . (-0,14589) . (0,97872) – 0,5 = -0,8254
ΔHh
= Tinggi alat + ( BA – BB ) . 100 . Sin i . Cos i – BT = 1,32 + (1,169 – 1,03) .100 . (-0,09363) . (0,99123) – 1,1 = -1,0757
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
37
ΔHi
= Tinggi alat + ( BA – BB ) . 100 . Sin i . Cos i – BT = 1,32 + (1,106 – 0,996) .100 . (-0,10491) . (0,98899) – 1,05 = -0,8777
ΔH j
= Tinggi alat + ( BA – BB ) . 100 . Sin i . Cos i – BT = 1,32 + (0,748 – 0,653) .100 . (-0,10453) . (0,98907) – 0,7 = -0,3676
KOORDINAT X X
= X awal + d . sin α
TITIK 1 , X awal = 786695 Xa
= Xawal + d . sin α = 786695 + (20,5772 . sin (3,1833)) = 786696,1427
Xb
= Xawal + d . sin α = 786695 + (25,0000 . sin (46,2833)) = 786713,0691
Xc
= Xawal + d . sin α = 786695 + (14,7998 . sin (78,8444)) = 786709,5201
Xd
= Xawal + d . sin α = 786695 + (13,2638 . sin (124,6556)) = 786705,9106
Xe
= Xawal + d . sin α = 786695 + (14,5546 . sin (147,1444)) = 786702,8962
Xf
= Xawal + d . sin α = 786695 + (14,8465 . sin (188,3528)) = 786692,8433
Xg
= Xawal + d . sin α = 786695 + (11,1574 . sin (208,7778)) = 786689,6287
Xh
= Xawal + d . sin α = 786695 + (13,7782 . sin (240,4833)) = 786683,0101
Xi
= Xawal + d . sin α = 786695 + (10,8789 . sin (267,1139)) = 786684,1349
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
38
X j
= Xawal + d . sin α = 786695 + (9,3962 . sin (285,8833)) = 786685,9625
KOORDINAT Y Y
= Y awal + d . cos α
TITIK 1, Y awal = 9240756 Ya
= Yawal + d . cos α = 9240756 + (20,5772 . cos (3,1833)) = 9240776,545
Yb
= Yawal + d . cos α = 9240756 + (25,0000 . cos (46,2833)) = 9240773,277
Yc
= Yawal + d . cos α = 9240756 + (14,7998 . cos (78,8444)) = 9240758,863
Yd
= Yawal + d . cos α = 9240756 + (13,2638 . cos (124,6556)) = 9240748,458
Ye
= Yawal + d . cos α = 9240756 + (14,5546 . cos (147,1444)) = 9240743,774
Yf
= Yawal + d . cos α = 9240756 + (14,8465 . cos (188,3528)) = 9240741,311
Yg
= Yawal + d . cos α = 9240756 + (11,1574 . cos (208,7778)) = 9240746,221
Yh
= Yawal + d . cos α = 9240756 + (13,7782 . cos (240,4833)) = 9240749,212
Yi
= Yawal + d . cos α = 9240756 + (10,8789 . cos (267,1139)) = 9240755,452
Y j
= Yawal + d . cos α = 9240756 + (9,3962 . cos (285,8833)) = 9240758,572
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
39
TINGGI TITIK Ti
= Ti awal + beda tinggi
TITIK 1 , Ti awal = 908,725 Tia
= Ti awal + beda tinggi
= 908,725 + 1,505 = 910,230
Tib
= Ti awal + beda tinggi
= 908,725 + (-0,012) = 908,713
Tic
= Ti awal + beda tinggi
= 908,725 + (-0,340) = 908,385
Tid
= Ti awal + beda tinggi
= 908,725 + (-0,724) = 908,001
Tie
= Ti awal + beda tinggi
= 908,725 + (-0,835) = 907,890
Tif
= Ti awal + beda tinggi
= 908,725 + (-1,490) = 907,235
Tig
= Ti awal + beda tinggi
= 908,725 + (-0,825) = 907,900
Tih
= Ti awal + beda tinggi
= 908,725 + (-1,076) = 907,649
Tii
= Ti awal + beda tinggi
= 908,725 + (-0,878) = 907,847
Ti j
= Ti awal + beda tinggi
= 908,725 + (-0,368) = 908,357
TRIA FAJRI JAUHARI – 1200115 – TEKNIK SIPIL S1
40