LAPORAN PRAKTIKUM PATOLOGI KLINIK PEMERIKSAAN PEMERIKSAAN URIN
Asisten: Rusman Shiddiq, S. Ked NIM: G1A211004
Disusun Oleh:
G1A009001 Tiara Melodi M G1A009066 Sylviana Kuswandi G1A009095 Anggita Dyah Intan S G1A009122 Egi Dwi Satria G1A009127 Hafidh Riza Perdana G1A009136 Khafizati Amalina F R
BLOK NEFROURINARY JURUSAN KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO
2011
BAB I PENDAHULUAN
Pemeriksaan urin tidak hanya dapat memberikan fakta – fakta – fakta fakta tentang ginjal dan saluran urin, tapi juga mengenai faal berbagai organ dalam tubuh seperti : hati, saluran empedu, pancreas, kortek adrenal, dll. Jika kita melakukan urinalisis dengan memakai urin kumpulan sepanjang 24 jam pada seseorang, ternyata susunan urin itu tidak banyak berbeda dari susunan urin 24 jam berikutnya. Akan tetapi kalau kita mengadakan pemeriksaan dengan sampel – sampel urin dari orang itu pada saat – saat – saat saat yang tidak menentu di waktu siang atau malam, akan kita lihat bahwa susunan sampel urin dapat berbeda jauh dari sampel lain. Itu sebabnya maka penting sekali untuk memilih sampel urin sesuai dengan tujuan pemeriksaan. Pada praktikum kali ini dilakukan pemeriksaan urin rutin dan urin khusus. Urin rutin sendiri meliputi pemeriksaan makroskopis, mikroskopis, dan kimiawi. Sementara pemeriksaan
urin
khusus
meliputi
Bilirubin,
urobilinogen
&
Hemoglobin/darah samar, benda-benda keton, kalsium, natrium dan khlorida.
urobilin,
BAB II METODE PRAKTIKUM A. Alat
1. Tabung Reaksi 2. Gelas Kimia 3. Tabung Eppendorf 4. Tabung Ukur 5. Pembakar bunsen 6. Penjepit tabung 7. Saringan 8. Kertas Saring 9. Pipet Tetes 10. Rak Tabung Reaksi 11. Sentrifugator B. Bahan
1. Urin 2. Reagen Benedict (Pemeriksaan Reduksi) 3. Asam Asetat 6% (Pemeriksaan Protein) 4. Asam Sulfosalisilat (Pemeriksaan Protein) 5. BaCl 10% (Pemeriksaan Bilirubin) 6. Reagen Fouchet (Pemeriksaan Blilirubin) 7. Reagen Elrich (Pemeriksaan Urobilinogen) 8. Lugol (Pemeriksaan Urobilin) 9. Reagen Schlesinger (Pemeriksaan Urobilin) 10. FeCl3 10% (Pemeriksaan Benda keton) 11. Reagen Sulkowitch (Pemeriksaan Kalsium) C. Cara Kerja
A. Pemeriksaan Makroskopis & Mikroskopis 1. Pemeriksaan Makroskopis a. Amati warna, kekeruhan, bau dan adanya buih dari urin. b. Catat hasilnya
2. Pemeriksaan Mikroskopis a.
Pusingkan 10 – 10 – 15 15 ml urin yang dicampur dengan baik dengan kecepatan 1500- 2000 rpm selama 5 – 5 – 10 10 menit.
b.
Buang filtratnya, sisakan 0,5 ml selanjutnya kocok dengan hati – hati supaya sedimen larut dan tercampur rata.
c.
Teteskan pada kaca obyek lalu tutup dengan kaca penutup secara hati – hati dan jangan ada gelembung udaranya.
d.
Periksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 100 x untuk melihat unsur sedimen dan pembesaran 400 x untuk identifikasi identifikasi unsur – unsur – unsur yang ada.
3. Pemeriksaan Reduksi (Tes Benedict) a. Masukanlah 5 ml reagen Benedict kedalam tabung Reaksi. b. Teteskan sebanyak 5 – 5 – 8 8 tetes ( jangan lebih ) urin kedalam tabung itu. c. Panaskan diatas api selama 5 menit. d. Angkatlah tabung, kocoklah isinya dan bacalah hasil reduksi. 4. Pemeriksaan Protein (Metode Rebus) a. Masukan urin kedalam tabung reaksi 2/3 penuh. b. Miringkan dan panaskan bagian permukaan urin di atas api spirtus sampai mendidih selama 30 detik. c.
Amati hasilnya dan bandingkan dengan bagian bawah yang tidak dipanasi sebagai kontrol negatif.
d.
Apabila terjadi kekeruhan teteskan 3 – 5 tetes asam asetat 6 %. Jika kekeruhan hilang urin menghandung protein, bila kekeruhan menetap kemungkinan protein positif.
e. Panasi lagi sampai mendidih, berilah penilaian pada kekeruhan yang menetap tadi. 5. Pemeriksaan Protein (Metode Asam Sulfosalisilat) a.
Sediakan 2 tabung reaksi masing-masing diisi dengan 2 ml urin jernih.
b. Tambahkan pada tabung pertama 8 tetes larutan asam Sulfosalisilat 20 % kocok.
c. Bandingkanlah isi tabung pertama dengan yang kedua; kalau tetap sama jernihnya hasil test berarti negative. d. Jika tabung pertama lebih keruh daripada tabung kedua, panasilah tabung pertama diatas api sampai mendidih dan kemudian dinginkan. dinginkan. e. Jika kekeruhan tetap ada pada waktu proses pemanasan dan tetap ada setelah didinginkan kembali, berarti test positif. f.
Jika kekeruhan itu hilang pada saat pemanasan, tetapi muncul setalah dingin, mungkin sebabnya protein Bence Jones.
6. Pemeriksaan Bilirubin Metode Test Busa a. Kocoklah kuat-kuat kira-kira 5 ml urin segar dalam tabung reaksi. b. Amati busa yang timbul. 7. Pemeriksaan Bilirubin Metode Test Fauchet a. Campurkan 5 ml urin segar dengan 5 ml larutan bariumchlorida 10% kemudian disaring. b. Angkat kertas saring dari corong dan biarkan agak kering. c. Teteskan 2 – 2 – 3 3 tetes reagen Fouchet ke atas presipitat pada kertas saring dan amati hasilnya. 8. Pemeriksaan Urobilinogen a. Campurkan 10 – 10 – 20 20 tetes reagen Ehrlich dengan 5 ml urin. b. Biarkan tegak pada rak tabung 3 – 3 – 5 5 menit, amati hasilnya. c. Perhatikan bila timbul warna merah samara-samar, tes dianggap selesai, dan bila warna merah tampak jelas, lakukan pengenceran urin dan kerjakan pemeriksaan seperti semula. 9. Pemeriksaan Urobilin a. Masukkan 5 ml urin ( filtrate pemeriksaan bilirubin ) dalam tabung reaksi, tambahkan 4 – 4 – 5 5 tetes lugol 2% campur, diamkan selama 5 menit. b. Tambahkan 5 ml reagen Schlesinger kocok baik-baik kemudian saring, perhatikan filtratnya dengan latar belakang gelap. 10. Pemeriksaan Benda Keton a. Campur dengan cara dikocok 5 ml urin + 10 ml asam FeCl3 10% amati.
b. Bila ada endapan putih ( feri fosfat ) gunakan kertas saring untuk menyaringnya. c. Amati warna yang timbul dari filtrat dan FeCl 3 11. Pemeriksaan Kalsium a. Masukkan dalam 2 tabung reaksi masing-masing 3 ml urin untuk tes dan control. b. Masukkan dalam tabung tes 3 ml reagen Sulkowitch, campur dan biarkan selama 2 – 2 – 3 3 menit. c. Amati hasilnya.
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pemeriksaan Urin Rutin : 1. Pemeriksaan makroskopis a. Warna
: seperti teh (kemungkinan urin mengandung bilirubin)
b. Kekeruhan : jernih (normal) c. Bau
: bau khas asam-asam organik yang menguap (normal)
d. Buih
: putih, tetapi buih yang muncul lama hilangnya (protein)
2. Pemeriksaan mikroskopis (Metode natif) Objek yang ditemukan selama penelitian adalah: a. Unsur organis yaitu eritrosit dengan jumlah 2/LPB (normal , 3/LPB) b. Unsur organis yaitu sperma c. Unsur anorganis yaitu kalsium oksalat 3. Pemeriksaan Kimiawi a. pH : 6 (Normal) b. Reduksi (metode benedict) dan
: Positif Posit if 1 ( + )Hijau kekuning-kuningan
keruh.(Sesuai dengan 0,5 – 0,5 – 1 1 % glukosa )
c. Protein 1. Metode rebus (Asam Asetat 6 %) Positif 3 ( +++ ) : Gumpalan nyata protein protein > 200 – 200 – 500 500 mg % 2. Metode Sulfosalisilat (Sulfosalisilat 20 %) Positif 2 ( ++ ) : Kekeruhan nyata, butiran butiran halus protein B. Hasil Pemeriksaan Urin Khusus 1. Pemeriksaan bilirubin a. Tes busa : busa berwarna putih, tetapi agak lama hilang b. Tes Fouchet/horizon : negatif ( - ) tak terjadi perubahan warna 2. Pemeriksaan urobilinogen (tes Ehrlich/ wallace – diamond) : tidak ada perubahan warna berarti (merah samar) interpretasi negative 3. Pemeriksaan urobilin : Negatif ( - ) tak tampak fluorosensi hijau 4. Pemeriksaan benda keton : Negatif (-) tidak terjadi perubahan warna warna
5. Pemeriksaan kalsium : Normal, tampak kekeruhan ringan sampai timbul presipitat halus hal ini sesuai dengan ekskresi kalsium kira -kira 25 – 25 – 35 35 mg Ca / 100 ml urin. C. Pembahasan a) Makanan yang mempengaruhi kadar Kalsium Oksalat Minuman yang mengandung kadar kalsium oksalat merupakan salah satu penyebab terjadinya terj adinya BSK (batu saluran kemih), misalnya teh dan kopi. Teh T eh atau kopi mengandung kalsium oksalat yang tidak dapat dimetabolisme oleh tubuh sehingga dikeluarkan melalui urin. Jika seseorang mengkonsumsi minuman tersebut secara berlebih dan dalam waktu yang lama, maka akan terbentuk endapan kristal dan dalam waktu yang lama akan membentuk batu. Batu kalsium oksalat merupakan jenis batu paling sering dijumpai; yaitu lebih kurang 75 – 85% dari seluruh batu urin. Batu ini lebih umum pada wanita, dan rata-rata terjadi pada usia dekade ketiga. Kadang-kadang batu ini dijumpai dalam bentuk murni atau juga bisa dalam bentuk campuran, misalnya dengan batu kalsium fosfat (biasanya hidroxy apatite). Batu kalsium ini terdiri dari 2 tipe yaitu monohidrat dan dihidrat. Batu kalsium dihidrat biasanya pecah dengan mudah dengan lithotripsy (suatu teknik non invasive dengan menggunakan gelombang kejut yang difokuskan pada batu untuk menghancurkan batu menjadi fragmen-fragmen.) sedangkan batu monohidrat adalah salah satu diantara jenis batu yang sukar dijadikan fragmen-fragmen. b) Leukositoria Leukosuria atau piuria merupakan salah satu petunjuk penting terhadap dugaan adalah ISK. Dinyatakan positif bila terdapat > 5 leukosit/lapang pandang besar (LPB) sedimen air kemih. Adanya leukosit silinder pada sediment urin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal. Namun adanya leukosuria tidak selalu menyatakan adanya ISK karena dapat pula dijumpai pada inflamasi tanpa infeksi.
Gb 1. Gambaran Mikroskopis Leukositoria
Peningkatan jumlah lekosit dalam urine (leukosituria atau piuria) umumnya menunjukkan adanya infeksi saluran kemih baik bagian atas atau
bawah,
sistitis,
pielonefritis,
atau
glomerulonefritis
akut.
Leukositoria juga dapat dijumpai pada febris, dehidrasi, stress, leukemia tanpa adanya infeksi atau inflamasi, karena kecepatan ekskresi leukosit meningkat yang mungkin disebabkan karena adanya perubahan permeabilitas membran glomerulus atau perubahan motilitas leukosit. Pada kondisi berat jenis urin rendah, leukosit dapat ditemukan dalam bentuk sel Glitter merupakan lekosit PMN yang menunjukkan gerakan Brown butiran dalam sitoplasma. Pada suasana pH alkali leukosit cenderung berkelompok. Leukosit dalam urine juga dapat merupakan suatu kontaminan dari saluran urogenital, misalnya dari vagina dan infeksi serviks, atau meatus uretra eksterna pada laki-laki. Aplikasi Klinis dari leukosituria sendiri antara lain: 1. Infeksi saluran kemih Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah istilah umum yang dipakai untuk menyatakan adanya invasi mikroorganisme pada saluran kemih. Prevalensi ISK di masyarakat makin meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Pada usia 40-60 tahun mempunyai angka prevalensi 3,2 %, sedangkan pada usia sama atau di atas 65 tahun kira-kira mempunyai angka prevalensi ISK sebesar 20 %. Infeksi saluran kemih dapat mengenal men genal baik laki-laki maupun wanita dari semua umur, baik anak-anak, remaja, dewasa
maupun lanjut usia. Akan tetapi dari kedua jenis je nis kelamin, ternyata wanita lebih sering dari pria dengan angka populasi umum, kurang lebih 5-15% (Naber, 2001). Untuk menyatakan adanya ISK harus ditemukan bakteri dalam urin. Bakteriuria yang disertai dengan gejala pada saluran kemih disebut bakteriuria simptomatis. Sedangkan yang tanpa gejala disebut bakteriuria asimptomatis. Dikatakan bakteriuria positif pada pasien asimptomatis bila terdapat lebih dari 105 koloni bakteri dalam sampel urin midstream, sedangkan pada pasien simptomatis bisa terdapat jumlah koloni lebih rendah (Naber, 2001). Pada pemeriksaan laboraorium, keadaan yang sering menyertai infeksi saluran kemih anatara lain leukosuria (adanya leukosit dalam urin) dan hematuria (adanya hb dalam urin). Terdapat 2 jenis ISK rekuren. Yang paling sering adalah kuman baru pada setiap serangan, biasanya pada wanita dengan gejala sistitis akut rekuren atau pasien dengan kelainan anatomi. Pasien diminta banyak minum agar sering berkemih dan dianjurkan untuk minum antibiotik segera setelah berhubungan intim. Pada kasus sulit dapat diberikan profilaksis dosis rendah sebelum tidur setiap
malam,
misalnya
nitrofurantoin,
trimetroprim
dan
sulfametoksazol, biasanya 3-6 bulan (Naber, 2001). Jenis kedua adalah dimana infeksi terjadi persisten dengan kuman yang sama. Di luar kemungkinan resistensi kuman ini biasanya merupakan tanda tan da terdapat infeksi seperti sepert i batu atau kista. Biasanya dibutuhkan antibiotik jangka panjang (Naber, 2001). 2. Glomerulonefritis Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap akhir dan tingginya angka morbiditas pada anak. Terminologi glomerulonefritis yang dipakai disini adalah untuk menunjukkan bahwa kelainan yang pertama dan utama
terjadi pada glomerulus, bukan pada struktur ginjal yang lain (Sylvia, 1995). Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral.
Peradangan
dimulai
dalam
gromleurus
dan
bermanifestasi sebagai proteinuria dan atau hematuria. Meskipun lesi utama pada gromelurus, tetapi seluruh nefron pada akhirnya akan mengalami kerusakan, sehingga terjadi gagal ginjal. Penyakit yang mula-mula digambarkan oleh Richard Bright pada tahun 1827 sekarang diketahui merupakan kumpulan banyak penyakit dengan berbagai etiologi, meskipun respon imun agaknya menimbulkan beberapa bentuk glomerulonefritis (FKUI, 1985). c) Hematuria Hematuria didefinisikan sebagai terdapatnya darah atau RBC dalam urin. Hematuri dari glomerulus biasanya berwarna coklat, warna cola, burgundy, proteinuria 100mg/dl dipstik, cast sel darah merah dan RBC urin yang tidak berbentuk. Hematuri dari ductus colektivus dise rtai dengan leukosit atau cast epitel tubulus renal. Hematuria mungkin memiliki gejala atau tanpa gejala, sementara atau terus-menerus (massif), dan dapat pula terisolasi atau berhubungan dengan proteinuria dan kelainan saluran kencing lainnya (Hanifah, 2010). Jika darah tersebut dapat dilihat dengan mata maka disebut hematuria gross, sedangkan apabila hanya dapat terlihat melalui mikroskop maka disebut hematuria mikroskopik (Fauzi M., 2010). Beberapa penyebab terjadinya hematuria adalah: 1) Infeksi saluran kemih dengan beberapa spesies termasuk bakteri strain EPEC dan Staphylococcus saprophyticus. 2) Kanker kandung kemih 3) Batu ginjal 4) Karsinoma sel ginjal, kadang-kadang disertai perdarahan
5) Sindrom nefritis yaitu suatu kondisi yang terkait dengan pasca infeksi streptokokus dan berkembang cepat menjadi glomerulonefritis (Fauzi M., 2010). d) Pemeriksaan Protein & Proteinuria 1) Pemeriksaan Kualitatif a. Metode Sulfosalisilat Metode pemeriksaan urin ini menggunakan prinsip yaitu dengan penambahan sulfosalisilat pada urin (tanpa pemanasan) akan menimbulkan kekeruhan yang sifatnya menetap. Bahan yang digunakan adalah urin jernih, dan reagen yang digunakan adalah sulfosalisilat 20%. (PK, 2010) Positif palsu terjadi bila kekeruhan yang timbul hilang dengan pemanasan, urin mungkin mengandung urat atau karbonat. Negatif palsu terjadi bila urin terlalu encer. (PK, 2010) Penentuan protein urin metode sulfosalisilat ini memiliki berbagai
kelebihan
diantaranya
adalah
harga
lebih
murah,
pembuatan reagen dapat disesuaikan dises uaikan dengan jumlah juml ah pasien sehingga lebih ekonomis, serta reagen yang mudah diperbarui. Sedangkan kekurangannya adalah membutuhkan waktu yang lebih lama. b. Metode Rebus atau Asam Asetat Metode ini menggunakan reagen asam asetat 6%. Terjadi positif palsu jika kekeruhan timbul oleh obat yang dikeluarkan lewat urin dan negatif palsu jika urin terlalu encer. Urin yang terlalu encer memiliki berat jenis rendah sehingga tidak baik digunakan dalam tes ini. Prinsip metode ini adalah dengan pemanasan akan menyebabkan denaturasi protein dan terjadi presipitasi. Proses presipitasi dibantu oleh garam-garam yang ada dalam urin atau sengaja ditambahkan. (PK, 2010) c. Metode Tes Strip Urin Tes
strip
urin
digunakan
untuk
menentukan
proteinuria
berdasarkan fenomena “kesalahan penetapan PH karena adanya
protein”. Derajat perubahan warna ditentukan oleh kadar protein dalam cairan, sehingga perubahan warna menjadi ukuran semi kuantitatif pada proteinuri. Indikator yang biasanya ada adalah tetabrom phenol blue, yanh berwarna kuning saat berada pada PH 3 dan akan berubah warna menjadi hijau sampai biru tergantung dengan kandungan protein urin didalamnya. 2) Pemeriksaan Kuantitatif Pemeriksaan kuantitatif menggunakan urin 24 jam dan harus asam. Hasil pemeriksaan ini dibaca gram per liter urin. Metode yang digunakan bisa dengan cara esbach yaitu dengan diencerkan 2-3 kali terlebih dahulu baru dimasukkan dalam perhitungan. Namun cara ini memiliki ketelitian dan ketepatan yang rendah, sehingga untuk mendapatkan hasil yang lebih baik digunakan cara pengendapan protein secara sempurna. 3) Aplikasi Klinis a. Sindrom Nefrotik Sindrom Nefrotik merupakan salah satu manifestasi klinis glomerulonefritis ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif ≥3,5 g/hari, hipoalbuminemia ˂3,5 g/dl, hiperkolesterolemia, dan lipiduria. (Prodjosudjadi, 2006) Penyebab atau etiologi dari sindrom nefrotik terbagi menjadi dua, yaitu : a. Glomerulonefritis Primer 1. Glomerulonefritis lesi minimal 2. Glomerulosklerosis fokal 3. Glomerulonefritis membranosa 4. Glomerulonefritis membranoproliferatif 5. Glomerulonefritis proliferatif lain (Prodjosudjadi, 2006).
b. Glomerulonefritis Sekunder 1. Infeksi : HIV, HBC, sifilis, malaria, skistosoma, TB, lepra 2. Keganasan : adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin, mieloma multipel, dan karsinoma ginjal. 3. Penyakit jaringan penghubung : SLE, artritis reumatoid, MCTD 4. Efek
obat
dan
toksin
:
NSAID,
preparat
emas,
penisilinamin, probenesid, air raksa, kaptopril, heroin 5. Lain-lain : DM, amiloidosis, pre-eklampsia, rejeksi alograf kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan lebah. Pada anak, sindrom nefrotik diawali dengan pembengkakan wajah yang kemudian diikuti pembengkakan seluruh tubuh. Sedangkan pada dewasa, ditandai dengan edema anasarka, urin yang berbusa, dan komplikasi trombosis, seperti trombosis vena dalam dari betis atau bahkan embolus paru. Sindrom Nefrotik juga dikaitkan dengan pemakaian NSAID dan menderita DM selama 10 tahun terakhir. (Cohen & Batuman, 2011) Sindrom
Nefrotik
ini,
dapat
mengakibatkan
berbagai
komplikasi diantaranya adalah : (Prodjosudjadi, 2006) 1. Proteinuria masif akan menyebabkan keseimbangan nitrogen menjadi negatif, sehingga terjadi penurunan massa otot. 2. Hiperlipidemia dan lipiduria 3. Hiperkoagulasi yaitu sering ditemukannya komplikasi tromboemboli. 4. Kadar vitamin D dan hormon tiroid yang terikat protein menurun. 5. Infeksi akibat defek imunitas humoral, selular, dan gangguan sistem
6. Gangguan fungsi ginjal Pengobatan sindrom nefrotik terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria,mengontrol edema, dan mengobati komplikasi. Diuretik disertai diet rendah garam dan tirah baring dapat membantu mengontrol edema. Pembatasan asupan protein 0,81,0 g/kg BB/hari dapat mengurangi proteinuria. Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin, dan lovastatin dapat menurunkan
kolesterol
LDL,
trigliserid,
dan
meningkatkan
kolesterol HDL. (Prodjosudjadi, 2006) Pengobatan
spesifik
pada
sindrom
nefrotik
diberikan
berdasarkan penyakit dasar. Pada nefropati yang mengalami sedikit perubahan dan glukokortikosteroid diberikan prednison.(Waldman, 2007) Namun jika kambuh kembali dapat diganti dengan rituximab. Pada
lupus
nefritis,
digunakan
prednison
dan
cyclophospamide.(Fervenza, 2010) b. Glomerulonefritis Glomerulonefritis adalah penyakit yang sering dijumpai dalam praktek klinik sehari-hari dan merupakan penyebab pwnting penyakit ginjal tahao akhir. Berdasarkan terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer jika penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri, sedangkan sekunder jika kelainan kelai nan ginjal terjadi akibat sistemik sis temik lain l ain seperti DM, SLE, dll. (Prodjosudjadi, 2006) Gejala klinis glomerulonefritis merupakan konsekuensi langsung akibat kelainan struktur dan fungsi glomerolus, yaitu ditandai dengan proteinuria, hematuria, penurunan fungsi ginjal, dan perubahan ekskresi garam dengan akibat edema,kongesti aliran darah, dan hipertensi. (Prodjosudjadi, 2006) Untuk
membantu
diagnosis
glomerulonefritis,
diperlukan
pemeriksaan urin, gula darah, serum albumin, profil lemak, dan
fungsi ginjal. Selain itu, pemeriksaan serologi seperti ASTO, C3, C4, ANA, dan anti-dsDNA, antibodi anti-GBM, ANCA diperlukan untuk menegakkan diagnosis glomerulonefritis serta membedakan primer dan sekunder. Pemeriksaan USG ginjal dan biopsi ginjal juga bisa dilakukan. (Prodjosudjadi, 2006) Pengobatan spesifik pada glomerulonefritis ditujukan terhadap penyebab sedangkan non-spesifik untuk menghambat progresivitas penyakit.
Obat-obat
yang
bermanfaat
diantaranya
adalah
kortikosteroid, siklofosfamid, klorambusil, azatioprin, prednison, prednisolon, dll. (Prodjosudjadi, 2006) 2006) e) Aplikasi Klinis Bilirubin Urin a. Dubin Johnson-Syndrome Dubin-johnson syndrome pertama kali dikenal pada tahun 1954, Penyakit ini merupakan penyakit dengan gangguan metabolisme bilirubin yang diatur oleh kromosom autosom, penampakan pada hati terlihat gelap, dengan ditandai hiperbilirubinia terkonjugasi dan dengan transaminase hati yang normal (Habashi, 2006). Cacat utama dalam Dubin-Johnson syndrome adalah mutasi pada protein membran apikal canalicular bertanggung jawab untuk ekskresi bilirubin, dan anion garam organik non empedu lainnya. Awalnya disebut anion transporter beberapa canalicular organik (cMOAT), juga dikenal sebagai multidrug resistensi protein 2 (MRP2) dan merupakan anggota dari superfamili transporter ABC. gen yang mengkodekan transporter
yang
ABCC2
dan
ditemukan
pada
kromosom
10
(Kruh,2001). Defek resesif autosomal protein pengangkut yang berperan dalam ekskresi
hepatoseluler
kanalikulus
bilirubin
mengakibatkan
glukoronidamelewati para
pasien
membran
memperlihatkan
hiperbilirubinemia terkojugasi. Selain memiliki hati yang berwarna gelap(akibat
metabolit
epinefrin
polimer,
bukan
bilirubin)
dan
hepatomegali, pasien tidak mengalami gangguan fungsi(Crawford,2007).
Hiperbilirubinemia terkonjugasi yang diamati pada Sindrom Dubin-Johnson merupakan hasil dari cacat transportasi bilirubin glukuronida melintasi membran yang memisahkan hepatosit dari canaliculi empedu. Pigmen yang tidak dikeluarkan dari hepatosit disimpan dalam lisosom dan menyebabkan hati berwatna hitam,yang merupakan tanda dari sindrom Dubin-Johnson, mekanisme yang tidak sepenuhnya dipahami, adalah kebalikan dari rasio yang biasa antara produk sampingan biosintesis heme: kemih coproporphyrin I, tingkat yang lebih tinggi dari tingkat coproporphyrin III. Pada individu terpengaruh, rasio coproporphyrin III untuk coproporphyrin I adalah sekitar 3-4:1 (Frank,1990). Protein cMOAT/MRP2 dikodekan oleh gen tunggal-salinan kromosom terletak pada 10q24, MRP2 memainkan peran penting dalam detoksifikasi dari banyak obat yang dengan mengangkut berbagai senyawa, terutama konjugat glutathione, glucuronate, dan sulfat., yang secara kolektif dikenal sebagai produk tahap II biotransformasi. Tidak seperti anggota lain dari keluarga MRP / ABCC, MRP2 hanya diekspresikan pada domain membran apikal sel terpolarisasi. Selain hepatosit, MRP2 terletak di sel-sel tubulus proksimal ginjal, enterosit, dan syncytiotrophoblasts plasenta. Energi yang berasal dari ATP Sangat penting untuk fungsi sekresi dari MRP2. Mutasi di wilayah ATPmengikat mewakili proporsi yang signifikan dari cacat genetik yang diakui di Dubin-Johnson syndrome (Jedlitschky,2006) (J edlitschky,2006) Pemahaman yang disempurnakan tentang biologi molekul sindrom Dubin-Johnson berasal dari investigasi dari mutasi missense Delta (R, M). Hal ini menyebabkan hilangnya 2 asam amino dari domain ATP-mengikat kedua MRP2. Para MRP2 bermutasi Delta (R, M) dikaitkan dengan tidak adanya glikoprotein MRP2 dari membran apikal hepatosit. Dalam mutasi ini, glikosilasi protein hanya terjadi di inti, yang nantinya mengganggu transportasi dari retikulum endoplasma ke membran hepatosit canalicular. Protein bermutasi sensitif terhadap
pencernaan endoglycosidase H di retikulum endoplasma. selain itu proteasomes
juga
terlibat
dalam
degradasi
protein
bermutasi
(Keitel,2000). Mekanisme
diatas
mengakibatkan
defisiensi
pengangkutan
bilirubin dihati, sehingga bilirubin terkonjugasi t erkonjugasi beredar dalam tubuh dan mengakibatkan ikterus berkepanjangan, bilirubin terkonjugasi ini bersifat larut air, nonoksik, dan hanya berikatan secara lemah dengan albumin, kelebihan bilirubin terkonjugasi dalam plasma akan dikeluarkan melalui sistem ginjal dan mengakibatkan bilirubinuria (Crawford,2007).
BAB IV KESIMPULAN
1. Pada praktikum kali ini, dilakukan dua pemeriksaan urin, yaitu pemeriksaan urin rutin yang mencakup pemeriksaan makroskopis, mikroskopis, dan kimiawi, serta pemeriksaan urin khusus yang mencakup pemeriksaan bilirubin, urobilin, urobilinogen, benda keton, dan pemeriksaan kalsium. 2. Hasil praktikum kali ini adalah ditemukannya eritrosit, kalsium oksalat, dan sperma pada pemeriksaan mikroskopis, adanya glukosa pada pemeriksaan reduksi, adanya protein pada urin, dan pemeriksaan khusus semuanya dalam batas normal. 3. Aplikasi klinis dari pemeriksaan urin rutin dan khusus adalah hematuria, leukosituria, dan proteinuria.
DAFTAR PUSTAKA
Cohen, E. P., & Batuman, V. (2011). Nephrotic S yndrome. Medscape yndrome. Medscape Reference. Reference. Coe FL, Favus MJ Nephrolithiasis. Dalam : Wilson Wils on JD, Braumwald E, Isselbacter RG et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine, Medicine, 12nd edition New York : McGraw Hill Inc, 1991 : 1202-06 Crawford, J. M. (2007). Hati dan Saluran Empedu. In S. L. Robbins, Buku Ajar Patologi Edisi 7 (pp. 7 (pp. 666-669). Jakarta: EGC. Fauzi M., Faik. 2010. Hematuria 2010. Hematuria (Kencing Darah). Darah). Fervenza FC, Abraham RS, Erickson SB, et al. Rituximab therapy in idiopathic membranous nephropathy: a two year study. Clin J Am Soc Nephrol . 2010;5:2188-2198. Frank M, Doss M, de Carvalho DG. Diagnostic and pathogenetic implications of urinary
coproporphyrin
excretion
in
the
Dubin-Johnson
syndrome.
Hepatogastroenterology.. Feb 1990;37(1):147-51. Hepatogastroenterology Habashi SL, Lambiase L R. Dubin-Johnson Syndrome. eMedicine from WebMD [serial online].
October
2006;Available
http://emedicine.medscape.com/article/173517-overview.. http://emedicine.medscape.com/article/173517-overview
access Recently
at access
:
10.54.20 September 2011. Hanifah, Rizka. 2010. Hematuria 2010. Hematuria dan Edema. Jedlitschky G, Hoffmann U, Kroemer HK. Structure and function of the MRP2 (ABCC2) protein and its role in drug disposition. Expert Opin Drug Metab Toxicol . Jun 2006;2(3):351-66. Keitel V, Kartenbeck J, Nies AT, Spring H, Brom M, Keppler D. Impaired protein maturation of the conjugate export pump multidrug resistance protein 2 as a consequence of a deletion mutation in Dubin-Johnson syndrome. Hepatology. Hepatology. Dec 2000;32(6):1317-28.
Kruh GD, Zeng H, Rea PA, Liu G, Chen ZS, Lee K, et al. MRP subfamily transporters and resistance to anticancer agents. J agents. J Bioenerg Biomembr . Dec 2001;33(6):493501. PK, Tim. (2010). Buku Petunjuk Praktikum Patologi Klinik Blok Nefro-Urinarius. Purwokerto: FKIK UNSOED. Prodjosudjadi, W. (2006). Sindrom Nefrotik. Dalam A. W. Sudoyo, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV (hal. IV (hal. 547-549). Jakarta: FK UI. Price, Sylvia A, 1995 Patofisiologi :konsep klinis proses-proses penyakit, ed 4, EGC, Jakarta.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985, Glomerulonefritis akut, 835-839, Infomedika, Jakarta. Takeuchi H Urolithiasis-recent Concepts of Treatmen- Asian Asian Med J 1994; J 1994; 37(12) : 67982 Waldman M, Crew RJ, Valeri A, Busch J, Stokes B, Markowitz G, et al. Adult minimal-change disease: clinical characteristics, treatment, and outcomes. Clin J Am Soc Nephrol . May 2007;2(3):445-53.