LAPORAN PENDAHULUAN KEJANG DEMAM
1. KONSEP DASAR A. Definisi
Kejang adalah suatu kejadian paroksismal yang disebabkan oleh lepas muatan hipersinkron abnormal dari suatu kumpulan neuron SSP. Kejang demam adalah bangitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu mencapai >
38
0
C).kejang demam dapat terjadi karena proses
intrakranial maupun ekstrakranial.kejang demam terjadi pada 2-4 % populasi anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun.paling sering pada anak usia 17-23 bulan.(Smeltzer, Susanna, 2002). 1. Kejang demam diklasifikasikan menjadi dua yaitu : a. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure) 1) Kejang berlangsung singkat 2) Umumnya serangan berhenti sendiri dalam waktu <10 menit 3) Tidak berulang dalam waktu 24 jam. b. Kejang demam kompleks 1) Kejang berlangsung lama, lebih dari 15 menit 2) Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum di dahului kejang parsial. 3) Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam. 2. Kejang demam menurut prosesnya : a. Intrakranial 1) Trauma (perdarahan) : perdarahan subarachnoid, subdural, atau ventrikuler. 2) Infeksi : bakteri, virus, parasit misalnya meningitis 3) Kongenital : disgenesis, kelainan serebri b. Ekstrakranial :
1) Gangguan metabolik hipoglikemia, hipokalasemia, hipomagnesia, gangguan elektrolit ( Na dan K) misalnya pada pasien dengan riwayat diare sebelumnya. 2) Toksik :intoksikasi, anastesi lokal, sindrom putus obat. 3) Kongenial : gangguan metabolisme asam basa atau ketergantungan dan kekurangan piridoksin. B. Etiologi
Faktor-faktor yang mempengaruhi etiologi kejang demam ialah umur, kenaikan suhu tubuh, faktor genetik dan gangguan sistem saraf pusat sebelum dan sesudah lahir. Kenaikan suhu tubuh biasanya berhubungan dengan penyakit saluran nafas bagian atas, radang telinga tengah, radang paru, gastroenteritis dan infeksi saluran kencing, kejang dapat pula terjadi pada bayi mengalami kenaikan suhu sesudah vaksinasi terutama vaksinasi terhadap bentuk rejan. Kadang-kadang juga terjadi setelah vaksinasi tampak akan tetapi angka kejadian kejang demam pasca vaksinasi tampak lebih kecil (1,9%) bila dibandingkan dengan angkat kejadian bila menderita penyakitnya sendiri (7,7%). C. Manifestasi Manifestasi Klinis
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat; misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkitis, furunkulasis, dan lain-lain.Umumnya kejang demam demam berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa adanya saraf. Pedoman
mendiagnosis
kejang
demam
menurut
Livingstone
(dimodifikasi oleh sub bagian anak FKUI-RSCM Jakarta) : 1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun. 2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit.
3. Kejang bersifat umum. 4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam. 5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal. 6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan kelainan. 7. Frekuensi kejang bangkitan dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali. Pemeriksaan EKG sebaiknya dilakukan sedikit setelah 1 minggu suhu normal, oleh karena kenaikan suhu tubuh sendiri dapat menimbulkan kelainan yang tidak spesifik pada gambaran EEG, yang dapat menetap hingga lebih kurang 1 minggu sesudahnya.
D. Patofisiologi
Sel neuron dikelilingi oleh suatu membran. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion lain, kecuali ion clorida. Akibatnya konsentrasi natrium menurun sedangkan di luar sel neuron terjadi keadaan sebaliknya. Dengan perbedaan jenis konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dan ini dapat dirubah dengan adanya : a.
Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler
b.
Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya mekanis,kimiawi a tau aliran listrik dari sekitarnya
c.
Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan. Pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan
dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya sehingga terjadi kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda, tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang tersebut. Pada anak dengan ambang kejang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu 38 C, sedang pada ambang kejang
tinggi baru terjadi pada suhu 40 C atau lebih. Untuk lebih jelas dapat dilihat
pada bagan di bawah ini : Kejang demam
Inflamasi Infeksi (THT, GE, ISPA)
Virulensi kuman meningkat
Toksin meningkat
Endotoksin Toksinemia Pusat termoregulator
Peningkatan suhu tubuh
Metabolisme basal meningkat(BMR) Mk:Gangguan Pertukaran gas
Penurunan O2 di otak
Mk : Hipertermi
Mk:resiko cedera aspirasi
Perubahan konsentrasi muatan ion (NA &K)
Difusi ion NA & K
mk:ansietas
Krisis situasional
cemas Mk:kurang pengetahuan
Kejang
Durasi pendek
Durasi lama
Sembuh Mk:resiko cedera tergigit
Apnea
lidah
O2 menurun
Kebutuhan O2 meningkat
pola napas
Hipoxemi
tidak efektif Aktivitas otot meningkat
Hipoxia
Permeabilitas meningkat
Edema otak
Kerusakan sel neuron otak
Epilepsi
E. Pemeriksaan Penunjang
Foto x-ray kepala dan CT-scan biasanya merupakan bagian dari tindakan diagnosa pada kejang demam menunjukkan anatomi. Pemeriksaan metabolik dapat juga berguna, pemeriksaan glukosa darah, elektrolit, kalsium dan fungsi hepar serta ginjal sering kali didapatkan tentang platelet, kecepatan, sedimentasi dan pemeriksaan genelogi atau imunologi mungkin juga dipesankan (Hudak dan Gallo, 1996 : 282). LCS juga dapat diperiksa terhadap sel-sel dan protein, serta penurunan glukosa, dibandingkan dan nilai serum normalnya.Semua glukosa setengah atau dua pertiga nilai serum. EEG sering memberikan keuntungan dalam menentukan diagnosa kejang dan dalam menemukan lesi jika keduanya terjadi memperlihatkan fungsi neurologi (Hudak dan Gallo, 1996 : 282). F. Penatalaksanaan
Dalam penanggulangan kejang demam ada 4 faktor yang perlu dikerjakan : 1. Memberantas kejang secepatnya Bila pasien datang dalam keadaan status konvulsivus, obat pilihan utama
adalah
diazepam
yang
diberikan
secara
intravena.
Efek
terapeutiknya sangat cepat yaitu kira-kira 30 detik 5 menit dan efek toksik yang serius hampir tidak dijumpai apabila diberikan secara perlahan dan dosis tidak melebihi 50 mg per suntikan. Dosis sesuai dengan BB < dari 10 kg 0,5-0,75 mg/kg BB dengan minimal dalam spuit 7,5 mg dan di atas 20 kg 0,5 kg/kg BB. Biasanya dosis rata-rata yang dipakai 0,3 mg/kg BB/kali
dengan maksimum 5 mg pada anak berumur < dari 5 tahun dan 10 mg pada anak yang lebih besar 2. Pengobatan penunjang Sebelum memberantas kejang tidak boleh melupakan perlunya pengobatan penunjang yaitu semua pakaian ketat dibuka, posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung, usahakan jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen, bila perlu dilakukan intubasi atau trakeostomi dan pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen. 3. Pengobatan rumit Lanjutan pengobatan rumit tergantung dari pada keadaan pasien pengobatan ini dibagi atas dua bagian yaitu : a. Profilaksis intermiten Untuk mencegah berulangnya kejang kembali dikemudian hari pasien yang menderita kejang demam, sederhana diberikan obat campur anti konvulsan dan antipirektika.Antikonvulsan yang diberikan ialah fenobarbital dengan dosis 4-5 mg/kg BB/hari.Obat anti piretika yang dipakai misalnya aspirin, dosis yang diberikan 60 mg/tahun/kali, sehari diberikan 3 kali. Untuk bayi di bawah umur 6 bulan diberikan 10 mg/bulan/ kali, sehari diberikan 3 kali. b. Profilaksis jangka panjang Ini diberikan pada keadaan 1) Epilepsi yang diprovokas oleh demam, 2) yang telah disepakati pada konsensus bersama ialah pada semua kejang demam yang mempunyai ciri : 1) Terdapatnya gangguan perkembangan saraf seperti paralisis serebralretardasri perkembangan dan mikrosefali. 2) Bila kejang berlangsung lebih dari 15 menit, bersifat fokal atau diikuti kelainan saraf yang sementara atau menetap. 3) Bila terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada orang tua dan saudara kandung.
4) Pada kasus tertentu yang dianggap perlu yaitu bila kadang-kadang terdapat kejang berulang atau kejang demam pada bayi berumur di bawah umru 12 bulan. 4. Mencari dan mengobati penyebab Penyebab
kejang
demam
sederhana
maupun
epilepsi
yang
diprovokasi oleh demam biasanya adalah infeksi respiratorius bagian atas dan otitis media akut.Pemberian antibiotik yang adekuat perlu untuk mengobati penyakit tersebut.Secara akademis pasien kejang demam yang datang untuk pertama kali sebaiknya dilakukan fungsi lumbal untuk menyingkirkan kemungkinan adanya faktor infeksi di dalam ota k misalnya meningitis.Pada pasien yang diketahui kejang lama pemeriksaan lebih intensif seperti pungsilumbal, darah lengkap, gula darah, kalium, magnesium, kalsium, natrium dan faal hati.Bila perlu rontgen foto tengkorak, EEG, ensefalografi dan lain-lain. G. Komplikasi
Pada penderita kejang demam yang mengalami kejang lama biasanya terjadi hemiparesis. Kelumpuhannya sesuai dengan kejang fokal yang terjadi. Mula – mula kelumpuhan bersifat flasid, tetapi setelah 2 minggu timbul spastisitas. Kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak sehingga terjadi epilepsy. Ada beberapa komplikasi yang mungkin terjadi pada klien dengan kejang demam : a.
Pneumonia aspirasi
b.
Asfiksia
c.
Retardasi mental
2. ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian
Pengkajian adalah pendekatan untuk mengumpulkan data serta menganalisa data sehingga dapat diketahui masalah dan kebutuhan perawatan klien (Gaffar, 1997). Dalam upaya pengumpulan data sebagai langkah awal dari proses keperawatan penulis melakukan pengkajian, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kegiatan yang dilakukan dalam pengkajian adalah pengumpulan data dan merumuskan prioritas masalah. Sedangkan tujuan dari pengkajian keperawatan adalah mengumpulkan data – data, mengelompokkan dan menganalisa data sehingga ditemukan diagnosa keperawatan (Gaffar, 1997). Tahapan pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu. Oleh karena itu pengkajian yang akurat dan lengkap sesuai dengan kenyataan, kebenaran data sangat penting dalam merumuskan suatu diagnosa keperawatan sesuai dengan respon individu sebagaimana yang ditentukan dalam standar praktek keperawatan dari American Nursing Association. Pengkajian keperawatan data dasar yang komprehensif adalah kumpulan data yang berisikan mengenai status kesehatan klien untuk mengelola kesehatan terhadap dirinya sendiri dan hasil konsultasi dari medis (terapis) atau profesi kesehatan lainnya (Taylor, Lilis Le Mone, 1997). Berdasarkan sumber data, data dibedakan menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari klien, yaitu data tersebut diperoleh dari klien yang sadar maupun klien tidak sadar sehingga tidak dapat berkomunikasi misalnya data tentang kebersihan diri atau data tentang kesadaran. Data sekunder adalah data yang diperoleh selain dari klien, seperti dari perawat, dokter, catatan perawat, serta dari pemeriksaan seperti pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan diagnostik lainnya, dari keluarga atau dari kerabat dekat. Secara umum ada beberapa cara pengumpulan data dengan observasi, konsultasi, validasi data, anamnesa, pemeriksaan fisik, observasi adalah pengumpulan data melalui hasil pengamatan (melihat,
meraba atau mendengarkan) tentang kondisi klien dalam kerangka asuhan keperawatan. Konsultasi
adalah
seorang
spesialis
diminta
untuk
mengidentifikasikan cara – cara untuk pengobatan dan penanganan penyakit klien. Anamnesa atau wawancara adalah cara pengumpulan data melalui inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Inspeksi adalah pengamatan secara seksama terhadap status kesehatan klien, seperti inspeksi kesimetrisan pergerakan dinding dada, penggunaan otot bantu pernafasan, inspeksi adanya lesi pada kulit dan sebagainya. Perkusi adalah pemeriksaan fisik dengan cara mengetukkan jari tengah kejari tengah yang lainnya untuk normal atau tidaknya suatu organ tubuh. Palpasi adalah jenis pemeriksaan fisik dengan cara meraba klien seperti lokasi pada rongga abdomen untuk mengetahui lokasi nyeri atau untuk mengetahui adanya massa. Auskultasi adalah cara pemeriksaan fisik dengan menggunakan stetoskop, misalnya auskultasi dinding abdomen untuk mengetahui bising usus, mendengarkan suara paru – paru, bunyi jantung. Adapun pengkajian untuk mengumpulkan data – data yang akurat terhadap Kejang Demam yaitu dimulai dengan anamnesa kepada klien dan keluarga kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik. Hal – hal yang perlu dikaji antara lain : a. Identitas pasien dan keluarga 1) Nama Pasien (initial), umur, jenis kelamin,agama, suku bangsa dan alamat 2) Nama Ayah (initial), umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku dan bangsa 3) Nama Ibu (initial), umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku dan bangsa.
b. Kesehatan fisik 1) Pola nutrisi Tidak ada nafsu makan (anoreksia), mual dan bahkan dapat disertai muntah. Perlu dikaji pola nutrisi sebelum sakit, porsi makan sehari – hari, jam makan, pemberian makan oleh siapa, frekuensi makan, nafsu makan, serta alergi terhadap makanan. 2) Pola eliminasi 3) Pola tidur Yang perlu dikaji meliputi jam tidur, waktu tidur dan lamanya tidur serta kebiasaan sebelum tidur 4) Pola hygiene tubuh Mengkaji mengenai kebiasaan mandi, cuci rambut, potong kuku dan rambut 5) Pola aktifitas Anak tampak lemah, gelisah atau cengeng. c. Riwayat kesehatan yang lalu 1) Riwayat prenatal Dikaji mengenai kehamilan ke berapa, tempat pemeriksaan kehamilan, keluhan ibu saat hamil, kelainan kehamilan dan obat – obatan yang diminum saat hamil.
2) Riwayat kelahiran Kelahiran spontan atau dengan bantuan – bantuan, aterm atau premature. Perlu juga ditanyakan berat badan lahir, panjang badan, ditolong oleh siapa dan melahirkan di mana. 3) Riwayat yang berhubungan dengan hospitalisasi Pernahkah dirawat di rumah sakit, berapa kali, sakit apa, pernahkah menderita penyakit yang gawat. Riwayat kesehatan dalam keluarga perlu dikaji kemungkinan ada keluarga yang pernah menderita kejang. 4) Tumbuh kembang
Mengkaji mengenai pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai dengan tingkat usia, baik perkembangan emosi dan sosial. 5) Imunisasi Yang perlu dikaji adalah jenis imunisasi dan umur pemberiannya. Apakah imunisasi
lengkap, jika belum apa
alasannya. d. Riwayat penyakit sekarang 1) Awal serangan : Sejak timbul demam, apakah kejang timbul setelah 24 jam pertama setelah demam 2) Keluhan utama : Timbul kejang (tonik, klonik, tonik klonik), suhu badan meningkat 3) Pengobatan : Pada saat kejang segera diberi obat anti konvulsan dan apabila pasien berada di rumah, tiindakan apa yang dilakukan untuk mengatasi kejang. 4) Riwayat sosial ekonomi keluarga Pendapatan keluarga setiap bulan, hubungan sosial antara anggota keluarga dan masyarakat sekitarnya.
5) Riwayat psikologis Reaksi pasien terhadap penyakit, kecemasan pasien dan orang tua sehubungan dengan penyakit dan hospitalisasi. e. Pemeriksaan fisik 1) Pengukuran pertumbuhan : Berat badan, tinggi badan, lingkar kepala 2) Pengukuran fisiologis : Suhu biasanya di atas 38 C, nadi cepat,
pernafasan (mungkin dyspnea nafas pendek, nafas cepat, sianosis) 3) Keadaan umum : Pasien tampak lemah, malaise 4) Kulit : Turgor kulit dan kebersihan kulit 5) Kepala : Bagaimana kebersihan kulit kepala dan warna rambut serta kebersihannya 6) Mata : Konjungtiva, sklera pucat / tidak, pupil dan palpebra
7) Telinga : Kotor / tidak, mungkin ditemukan adanya Otitis Media Akut / Kronis 8) Hidung umumnya tidak ada kelainan 9) Mulut dan tenggorokan : Bisa dijumpai adanya tonsillitis 10) Dada : Simetris / tidak, pergerakan dada 11) Paru – paru : Bronchitis kemungkinan ditemukan 12) Jantung : Umumnya normal 13) Abdomen : Mual – mual dan muntah 14) Genetalia dan anus : Ada kelainan / tidak 15) Ekstremitas : Ada kelainan / tidak. Setelah selesai mengumpulkan data maka selanjutnya data tersebut dikelompokkan. Pengelompokan data dapat dibagi atas data dasar dan data khusus (Carpenito, 1997). Data dasar terdiri dari data fisiologis, data psikologis, data sosial dan spiritual. Sedangkan data khusus adalah data yang bersifat khusus, misalnya pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan rontgen dan sebagainya. 2. Diagnosa Keperawatan
1.
Hipertermi b/d proses perjalanan penyakit
2.
Gangguan pertukaran gas b/d infeksi saluran pernafasan
3.
Pola nafas tidak efektif b/d hambatan upaya nafas
4.
intoleransi aktivitas b/d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
5.
Resiko cedera aspirasi b/d penurunan tingkat kesadaran
6.
Kurang pengetahuan b/d kurangnya informasi tentang penyakit
7.
Ansietas b/d krisis situasional.
3. Perencanaan
Perencanaan merupakan tahap yang paling penting yang dibuat setelah merumuskan diagnosa keperawatan. Tujuan perencanaan adalah untuk mengurangi, menghilangkan dan mencegah masalah keperawatan
klien, sehingga tercapai kondisi kesehatan klien yang optimal (Gaffar, 1997). Pada
tahap
perencanaan
setelah
memprioritaskan
masalah
keperawatn, penulis menetapkan tujuan dan kriteria tindakan yang dapat mencegah, mengurangi dan menanggulangi masalah kesehatan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan klien saat ini serta menuliskan tujuan yang ditetapkan harus nyata, dapat diukur dan mempunyai batasan waktu pencapaian. Adapun komponen tahap perencanaan adalah : Membuat prioritas urutan diagnosa keperawatan Diagnosa keperawatan diurutkan dengan prioritas tinggi, sedang, ringan masalah dengan prioritas tinggi mencerminkan situasi yang mengancam hidup (misalnya bersihan jalan nafas). Masalah dengan prioritas rendah tidak berhubungan secara langsung dengan keadaan sakit atau prognosis yang spesifik (misalnya masalah keuangan). Masalah dengan prioritas tingi membutuhkan perhatian yang cepat dibandingkan dengan prioritas rendah. Hirarki kebutuhan Maslow (1968) membantu perawat untuk memprioritaskan urutan diagnosa keperawatan, kerangka hirarki ini termasuk kebutuhan fisiologis dan psikologis. Lima tingkatan hirarki ini adalah fisikologis, keselamatan dan keamanan, mencintai dan memiliki, harga diri dan aktualisasi diri. Adapun rencana tindakan pada kasus Febrile Convulsion menurut Doenges (2002), yaitu : 1. Diagnosa keperawatan I Resiko tinggi terhadap henti nafas berhubungan dengan perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi otot besar dan kecil Tujuan dan kriteria hasil : Henti nafas dan trauma tidak terjadi dengan kriteria :
Menunjukkan efektifitas pernafasan selama kejang dan sesudahnya
Tidak terdapat tanda injuri, perlukaan di seluruh organ tubuh
Rencana Tindakan : 1.1 Gali bersama-sama keluarga berbagai stimulasi yang dapat menjadi pencetus kejang Rasional : Mengetahui dan dapat menanggulangi sedini mungkin komplikasi yang dapat terjadi 1.2 Pertahankan bantalan lunak pada penghalang tempat tidur yang terpasang dengan posisi tempat tidur rendah Rasional : mengurangi trauma saat kejang selama berada di tempat tidur 1.3 Gunakan termometer dengan bahan metal atau dapatkan suhu melalui lubang telinga jika perlu Rasional : mengurangi resiko klien menggigit dan cedera mulut 1.4 Tinggallah bersama klien dan keluarga dalam waktu beberapa lama / setelah kejang Rasional : Meningkatkan rasa aman keluarga, mengobservasi gejala lanjut 1.5 Masukkan jalan nafas buatan yang terbuat dari plastik. Miringkan kepala ke salah satu sisi dan lakukan suction pada jalan nafas sesuia indikasi Rasional : Memfasilitasi ekspansi dada maksimal, drainage sekret, dan memfasilitasi saat melakukan suction 1.6 Atur kepala, tempatkan di atas daerah yang empuk (lunak) atau bantu meletakkan pada lantai jika keluar dari tempat tidur Rasional : Menurunkan resiko cedera 2. Diagnosa keperawatan II Ketidakefektifan pola pernafasan / bersihan jalan nafas berhubungan dengan gangguan neuromuskuler, hypersekresi trakeobronkial Tujuan dan kriteria hasil : Pola nafas efektif yang ditunjukkan dengan frekuensi nafas dalam batas normal, jalan nafas bersih
Rencana Tindakan : 2.1 Kosongkan mulut klien dari benda / zat makanan Rasional : menurunkan resiko aspirasi 2.2 Letakkan klien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan kepala, selama serangan kejang Rasional : Meningkatkan aliran (drainage), sekret, mencegah lidah jatuh, dan menyumbat jalan nafas 2.3 Tanggalkan pakaian pada daerah leher, dada, dan abdomen Rasional : Memfasilitasi usaha bernafas dan ekspansi dada 2.4 Masukkan spatel lidah/jalan nafas buatan atau golongan benda lunak sesuai dengan indikasi Rasional : Mencegah tergigitnya lidah dan memfasilitasi saat melakukan suction 2.5 Melakukan pengisapan (suction) sesuai indikasi Rasional : Menurunkan resiko aspirasi dan asfiksia 3. Diagnosa keperawatan III Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme basal ratarata, proses infeksi Tujuan dan kriteria hasil : Suhu
tubuh
dalam
batas
normal,
yang
ditunjukkan
dengan
mendemontrasikan suhu dalam batas normal, bebas dari kedinginan, tidak mengalami komplikasi yang berhubungan Rencana Tindakan : 3.1 Pantau suhu tubuh Rasional : Suhu 38,9-41,1 menunjukkan adanya proses infeksius akut. Pola demam dapat membantu dalam diagnosis 3.2 Pantau suhu lingkungan, batasi / tambahkan penggunaan seprai di tempat tidur sesuai indikasi Rasional : Suhu ruangan / jumlah selimut harus dirubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal
3.3 Berikan kompres hangat Rasional
:
Membantu
menurunkan
demam
dengan
efek
vasodilatasi air hangat melalui proses evaporase 3.4 Kolaborasi : Berikan antipiretik Rasional : Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentranya pada hipotalamus meskipun demam mungkin dapat berguna
dalam
membatasi
pertumbuhan
organisme
dan
meningkatkan autodekstruksi sel-sel yang terinfeksi. 4
Diagnosa keperawatan IV Kurang pengetahuan (kurang belajar) mengenai kondisi, dan aturan pengobatan berhubungan dengan kurang informasi, kesalahan persepsi Tujuan dan kriteria hasil : Mengungkapkan pemahaman tentang gangguan berbagai rangsang yang dapat menyebabkan aktifitas kejang, dengan kriteria : Keluarga dapat mengemukakan kondisi dan pengobatan secara sederhana. Rencana Tindakan : 4.1 Jelaskan kembali mengenai patofisiologi / prognosis penyakit Rasional : Memberikan kesempatan mengklarifikasi kesalahan persepsi dan keadaan penyakit yang ada sesuai dengan yang ditangani 4.2 Tinjau kembali obat-obat yang didapat Rasional : Tidak ada pemahaman terhadap obat-obatan yang dapat merupakan penyebab kecemasan keluarga
4. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah intervensi yang dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi, penugasan ketrampilan interpersonal, intelektual dan teknikal (Gaffar, 1997, 49).
Pelaksanaan tindakan keperawatan pada klien vulnus scissum untuk memenuhi antara lain : mencegah infeksi, meningkatkan penyembuhan luka, meningkatkan kondisi kesehatan dan koping individu dan keluarga serta mencegah komplikasi cedera selanjutnya. Tahap pelaksanaan merupakan bentuk tindakan untuk direncanakan sebelumnya dan disesuaikan dengan situasi secara cermat dan efisien. Dalam melaksanakan tindakan keperawatan penulis menyesuaikan dengan kondisi yang sesuai dengan kebutuhan klien saat itu, tidak semata – mata berdasarkan prioritas masalah yang direncanakan sebelumnya serta disesuaikan dengan waktu pelaksanaan tindakan. Dalam melaksanakan tindakan keperawatan penulis juga melaksanakan tindakan observasi dan pengumpulan data untuk melihat perkembangan klien selanjutnya. Komponen tahapan dalam menyusun implementasi : a. Tindakan keperawatan mandiri dilakukan tanpa perintah dokter, tindakan keperawatan mandiri ini ditetapkan dengan standar praktik American
Nursing Association (1973), undang – undang praktik
perawat negara bagian dan kebijakan institusi perawat kesehatan. b. Tindakan keperawatan kolaboratif, diimplementasikan bila perawat bekerja dengan anggota tim perawatan kesehatan yang lain dalam membuat keputusan bersama yang bertujuan untuk mengatasi masalah – masalah klien. c. Dokumentasi tindakan keperawatan dan respons klien terhadap tindakan keperawatan, dokumentasi merupakan pernyataan dari kejadian
atau
aktifitas
yang
otentik
dengan
mempertahankan
catatan – catatan yang tertulis. Dokumentasi merupakan wahana untuk komunikasi dari salah satu profesional ke profesional lainnya tentang status
klien.
Dokumentasi
klien
memberikan
bukti
tindakan
keperawatan mandiri dan kolaboratif yang diimplementasikan oleh perawat. 5. Evaluasi
Merupakan fase akhir dari proses keperawatan adalah evaluasi terhadap asuhan keperawatan yang diberikan (Gaffar, 1997). Evaluasi asuhan keperawatan adalah tahap akhir proses keperawatan yang bertujuan untuk menilai hasil akhir dari keseluruhan tindakan keperawatan yang dilakukan. Hasil akhir yang diinginkan dari perawatan pasien Kejang Demam meliputi pola pernafasan kembali efektif, suhu tubuh kembali normal, anak menunjukkan rasa nymannya secara verbal maupun non verbal, kebutuhan cairan terpenuhi seimbang, tidak terjadi injury selama dan sesudah kejang dan pengatahuan orang tua bertambah. Evaluasi ini bersifat formatif, yaitu evaluasi yang dilakukan secara terus menerus untuk menilai hasil tindakan yang dilakukan disebut juga evaluasi tujuan jangka pendek. Dapat pula bersifat sumatif yaitu evaluasi yang dilakukan sekaligus pada akhir dari semua tindakan yang pencapaian tujuan jangka panjang. Komponen tahapan evaluasi : a. Pencapaian kriteria hasil Pencapaian dengan target tunggal merupakan meteran untuk pengukuran. Bila kriteria hasil telah dicapai, kata “ Sudah Teratasi “ dan datanya ditulis di rencana asuhan keperawatan. Jika kriteria hasil belum tercapai, perawat mengkaji kembali klien dan merevisi rencana asuhan keperawatan. b. Keefektifan tahap – tahap proses keperawatan Faktor – faktor yang mempengaruhi pencapaian kriteria hasil dapat terjadi di seluruh proses keperawatan. 1) Kesenjangan informasi yang terjadi dalam pengkajian tahap satu. 2) Diagnosa keperawatan yang salah diidentifikasi pada tahap dua 3) Instruksi perawatan tidak selaras dengan kriteria hasil pada tahap tiga 4) Kegagalan mengimplementasikan rencana asuhan keperawatan tahap empat.
5) Kegagalan mengevaluasi kemajuan klien pada tahap ke lima.
DAFTAR PUSTAKA
Lumbantobing SM, 1989, Penatalaksanaan Mutakhir Kejang Pada Anak, Gaya Baru, Jakarta Lynda Juall C, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi K eperawatan, Penerjemah Monica Ester, EGC, Jakarta Marilyn E. Doenges, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah Kariasa I Made, EGC, Jakarta Matondang, Corry S, 2000, Diagnosis F isis Pada Anak , Edisi ke 2, PT. Sagung Seto: Jakarta. Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit , EGC, Jakarta Rendle John, 1994, I khtisar Penyakit Anak , Edisi ke 6, Binapura Aksara, Jakarta. Santosa NI, 1989, Perawatan I (Dasar-D asar Keperawatan) , Depkes RI, Jakarta. Santosa NI, 1993, Asuhan Kesehatan Dalam K onteks Keluarga, Depkes RI, Jakarta. Soetjiningsih, 1995, Tumbuh K embang Anak , EGC, Jakarta
Suharso Darto, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi , F.K. Universitas Airlangga, Surabaya. Sumijati M.E, dkk, 2000, Asuhan Keperawatan Pada Kasus Penyakit Yang
Lazim Terjadi Pada Anak , PERKANI : Surabaya. Wahidiyat Iskandar, 1985, I lmu K esehatan Anak, Edisi 2, Info Medika, Jakarta.