BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Minyak dan gas bumi adalah salah satu sumber daya alam yang sangat penting di era kemajuan teknologi saat ini. Hampir semua pembuatan teknologi di dunia i ni membutuhkan sumber daya alam ini dalam proses pembuatannya. Untuk mendapatkan sumber daya alam minyak dan gas dibutuhkan salah satunya adalah tahap eksplorasi dalam pencarian minyak dan gas bumi di alam ini. Pada tahap ini, Geophysicists dan Geologist memiliki peran yang sangat tinggi. Dalam tahap eksplorasi ini masih dibagi menjadi beberapa tahap seperti akuisisi data, processing processing data, dan interpretasi data. Dalam menentukan daerah yang memiki prospek hidrokarbon, interpretasi data adalah tahap yang sangat penting setelah akuisisi data dan processing data dilakukan dengan baik dan benar. Dalam interpretasi data, untuk mendapatkan gambaran bawah permukaan diperlukan studi menyeluruh antara ilmu geologi dan geofisika. Studi tersebut mencakup korelasi data seismik dan data sumur dan juga analisis lingkungan pengendapan dan persebaran litologi daerah penelitian. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk interpretasi data seismik adalah Metode Impedansi Akustik untuk mendapatkan data lingkungan pengendapan litologi dan persebaran litologi pada daerah penelitian. Untuk mendapatkan gambaran bawah permukaan yang baik juga harus dilakukan tahap-tahap sebelum inversi impedansi akustik mencakup well seismic tie, crossplot dan picking horizon. Hal-hal inilah yang menarik minat penulis untuk melakukan penelitian terhadap satu persatu proses tahapannya agar bisa bermanfaat bagi pembaca.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
Menentukan peta struktur kedalaman lapisan target Parigi
Menentukan persebaran litologi daerah penelitian
1
1.3 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni – Juli Juli 2015 di lingkungan PT PERTAMINA EP ASSET 3 dengan daerah penelitian lapangan ‘X’ Jawa Barat.
1.4 Batasan Masalah
Batasan masalah pada penelitian ini adalah : 1. Daerah penelitian ini dibatasi pada crossline 10002 – 10510 10510 dan inline 2780 – 3340 3340 pada lapangan ‘X’, Jawa Barat. Sumur yang digunakan adalah SKM-01, TMG-01, dan TMG-02. Target Lapisan adalah Parigi. 2. Penelitian ini menggunakan data seismik 3D Post Stack Time Migration, dengan asumsi bahwa processing telah telah dilakukan dengan benar dan kualitas data seismik ini sudah baik sehingga dapat dilakukan proses lebih lanjut. 3. Data sumur yang digunakan pada penelitian ini adalah data log, yaitu log densitas, log slowness, dan log gamma-ray, dan juga data marker dan checkshot
1.5 Metodologi Metodologi Penelitian
Penelitian ini memiliki tahap-tahap pengerjaan, yaitu :
Studi Pustaka Tahap pertama dalam penelitian ini diperlukan untuk memahami konsep-konsep dasar yang dilakukan pada penelitian ini, yaitu Interpretasi Seismik Refleksi dan Geologi Regional daerah penelitian.
2
1.3 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni – Juli Juli 2015 di lingkungan PT PERTAMINA EP ASSET 3 dengan daerah penelitian lapangan ‘X’ Jawa Barat.
1.4 Batasan Masalah
Batasan masalah pada penelitian ini adalah : 1. Daerah penelitian ini dibatasi pada crossline 10002 – 10510 10510 dan inline 2780 – 3340 3340 pada lapangan ‘X’, Jawa Barat. Sumur yang digunakan adalah SKM-01, TMG-01, dan TMG-02. Target Lapisan adalah Parigi. 2. Penelitian ini menggunakan data seismik 3D Post Stack Time Migration, dengan asumsi bahwa processing telah telah dilakukan dengan benar dan kualitas data seismik ini sudah baik sehingga dapat dilakukan proses lebih lanjut. 3. Data sumur yang digunakan pada penelitian ini adalah data log, yaitu log densitas, log slowness, dan log gamma-ray, dan juga data marker dan checkshot
1.5 Metodologi Metodologi Penelitian
Penelitian ini memiliki tahap-tahap pengerjaan, yaitu :
Studi Pustaka Tahap pertama dalam penelitian ini diperlukan untuk memahami konsep-konsep dasar yang dilakukan pada penelitian ini, yaitu Interpretasi Seismik Refleksi dan Geologi Regional daerah penelitian.
2
Analisis Data Log Tahap kedua ini dilakukan untuk persiapan data yaitu melihat ketersediaan data log, marker, dan penentuan data log yang akan digunakan.
Well Seismik Tie
Pada tahap ini dibuat seismogram sintetik untuk mendapatkan wavelet yang yang akan digunakan lalu dilakukan pengikatan data sumur terhadap data seismik agar didapatkan korelasi antara kedua data ini. Data sumur memiliki domain kedalaman sedangkan data seismik memiliki domain Two Way Time ( TWT ).
Picking Horizon Pada tahap ini digunakan untuk menentukan lapisan target yang akan diteliti. Hasil dari picking horizon digunakan untuk membuat Time-Migrated Map, Depth Map dan model awal inversi.
Background model inversi Impedansi Akustik Tahap ini merupakan tahap pembuatan model awal untuk digunakan pada tahap inversi Impedansi Akustik.
Inversi Impedansi Akustik Pada tahap ini dilakukan pembuatan model awal inversi lalu dilakukan metode inversi Impedansi Akustik untuk interpretasi data seismik.
1.6 Sistematika Penulisan
Penulisan laporan kerja praktek ini dibagi menjadi beberapa bab, yaitu :
3
Bab I : Pendahuluan Membahas tentang penelitian secara umum yaitu latar belakang, tujuan penelitian, waktu dan lokasi penelitian, batasan masalah peneltian, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian.
Bab II : Geologi Regional Membahas kondisi geologi daerah penelitian secara umum, mencakup yaitu stratigrafi, tektonik dan struktur.
Bab III : Teori Dasar Membahas tentang konsep-konsep dasar yang digunakan dalam penelitian ini, mencakup interpretasi seismik refleksi, dan seismik inversi.
Bab IV : Data dan Pengolahan Data Membahas tentang data-data yang digunakan dan proses pengolahan data.
Bab V : Analisis dan Pembahasan Membahas dan mendiskusikan tentang hasil pengolahan data mencakup analisis data log, korelasi antara data seismik dan data sumur, analisis hasil picking horizon, analisis Time Map & Depth Map dan analisis metode inversi Impedansi Akustik.
Bab VI : Kesimpulan dan Saran Membahas tentang kesimpulan yang didapat dari hasil analisis dan pembahasan data, dan saran-saran agar penelitian tentang topik ini bisa lebih baik.
4
BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
2.1
Geologi Regional Cekungan Jawa Barat Utara
Cekungan Jawa Barat Utara telah dikenal sebagai daerah yang kaya akan hidrokarbon. Cekungan ini terletak di antara paparan Sunda (utara), jalur perlipatan Bogor (selatan), daerah pengangkatan Karimun Jawa di (timur) dan paparan Pulau Seribu (barat). Cekungan Jawa Barat Utara dipengaruhi oleh sistem block faulting yang yang berarah utara-selatan. Patahan yang berarah utara-selatan membagi cekungan menjadi graben atau beberapa subbasin, yaitu Jatibarang, Pasir Putih, Ciputat, Rangkas Bitung dan beberapa tinggian basement , seperti Arjawinangun, Cilamaya, Pamanukan, Kandanghaur Waled, Rengasdengklok dan Tangerang. Berdasarkan – Waled, stratigrafi, pola struktur, serta letaknya yang berada pada pola busur penunjaman dari waktu ke waktu, cekungan Jawa Barat telah mengalami beberapa kali fase sedimentasi dan tektonik sejak Eosen sampai dengan sekarang (Martodjojo, 2002).
2.2
Tektonik dan Struktur Geologi Cekungan Jawa Barat Utara
Cekungan Jawa Barat Utara terdiri dari dua area, yaitu laut (offshore) di bagian utara dan darat (onshore) di selatan (Darman dan Sidi, 2000). Seluruh area didominasi oleh patahan ekstensional ekstension al (extensional faulting ) dengan sangat minim struktur kompresional. Cekungan didominasi oleh rift yang yang berhubungan dengan patahan, membentuk beberapa struktur deposenter (half (half graben), deposenter utamanya antara lain subcekungan Arjuna dan subcekungan Jatibarang, serta deposenter yang lain yaitu subcekungan Ciputat, subcekungan Pasirputih. Deposenter-deposenter itu didominasi oleh sikuen Tersier dengan ketebalan melebihi 5500 m. Terdapat berbagai struktur geologi di cekungan ini. Ditemukan beragam area tinggian yang berhubungan dengan den gan antiklin yang terpatahkan terpata hkan dan blok tinggian tin ggian (horst block ), ), lipatan pada bagian yang turun pada pad a patahan utama, keystone folding dan mengena pada tinggian batuan dasar. Struktur kompresional hanya terjadi pada awal pembentukan rift pertama yang berarah relative barat laut-tenggara pada periode Paleogen. Sesar ini akan aktif kembali pada
5
Oligosen. Tektonik Jawa Barat dibagi menjadi tiga fase tektonik yang dimulai dari Pra Tersier hingga Plio-Pliostosen. Fase tektonik tersebut adalah sebagai berikut : a. Tektonik Pertama Pada zaman Akhir Kapur awal Tersier, Jawa Barat Utara dapat dilkasifikasikan sebagai ‘ Fore Arc Basin’ dengan dijumpainya orientasi struktural mulai dari Cileutuh, Sub Cekungan Bogor, Jatibarang, Cekungan Muriah dan Cekungan Florence Barat yang mengindikasikan kontrol ‘ Meratus Trend ’. Periode Paleogen (Eosen-Oligosen) di kenal
sebagai Paleogen Extensional Rifting. Pada periode ini terjadi sesar geser mendatar menganan utama krataon Sunda akibat dari peristiwa tumbukan Lempeng Hindia dengan Lempeng Eurasia. Sesar-sesar ini mengawali pembentukan cekungan-cekungan tersier di Indonesia Bagian Barat dan membentuk Cekungan Jawa Barat Utara sebagai pull apart basin. Tektonik ektensi ini membentuk sesar-sesar bongkah (half graben system) dan merupakan fase pertama rifting (rifting I: fill phase). Sedimen yang diendapkan pada rifting I ini disebut sebagai sedimen synrift I. Cekungan awal rifting terbentuk selama fragmentasi, rotasi dan pergerakan dari kraton Sunda. Dua tren sesar normal yang diakibatkan oleh perkembangan rifting-I (early fill ) berarah N 60o W – N 40 o W dan hampir N – S yang dikenal sebagai pola sesar Sunda. Pada masa ini terbentuk endapan lacustrin dan vulkanik dari Formasi Jatibarang yang menutup rendahan-rendahan yang ada. Proses sedimentasi ini terus berlangsung dengan dijumpainya endapan transisi Formasi Talangakar. Sistem ini kemudian diakhiri dengan diendapkannya lingkungan karbonat Formasi Baturaja. b. Tektonik kedua Fase tektonik kedua terjadi pada permulaan Neogen (Oligo-Miosen) dan dikenal sebagai Neogen Compressional Wrenching . Ditandai dengan pembentukan sesar-sesar geser akibat gaya kompresif dari tumbukan Lempeng Hindia.Sebagian besar pergeseran sesar merupakan reaktifasi dari sesar normal yang terbentuk pada periode Paleogen. Jalur penunjaman baru terbentuk di selatan Jawa. Jalur vulkanik periode Miosen Awal yang sekarang ini terletak di lepas pantai selatan Jawa. Deretan gunungapi ini menghasilkan endapan gunungapi bawah laut yang sekarang dikenal sebagai “old andesite” yang tersebar di sepanjang selatan Pulau Jawa. Pola tektonik ini disebut Pola Tektonik Jawa yang merubah pola tektonik tua yang terjadi sebelumnya menjadi berarah barat-timur dan menghasilkan suatu
6
sistem sesar naik, dimulai dari selatan (Ciletuh) bergerak ke utara. Pola sesar ini sesuai dengan sistem sesar naik belakang busur atau yang dikenal “thrust foldbelt system”.
c. Tektonik Terakhir Fase tektonik akhir yang terjadi adalah pada Pliosen – Pleistosen, dimana terjadi proses kompresi kembali dan membentuk perangkap-perangkap sruktur berupa sesar naik di jalur selatan Cekungan Jawa Barat Utara. Sesar-sesar naik yang terbentuk adalah sesar naik Pasirjadi dan sesar naik Subang, sedangkan di jalur utara Cekungan Jawa Barat Utara terbentuk sesar turun berupa sesar turun Pamanukan. Akibat adanya perangkap struktur tersebut terjadi kembali proses migrasi hidrokarbon.
Gambar 2.1 Tektonik terakhir
2.3
Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara
Stratigrafi umum Jawa Barat Utara berturut-turut dari tua ke muda adalah sebagai berikut: a. Batuan Dasar Batuan dasar adalah batuan beku andesitik dan basaltik yang berumur Kapur Tengah sampai Kapur Atas dan batuan metamorf yang berumur Pra Tersier (Sinclair, et.al, 1995).
7
Lingkungan pengendapannya merupakan suatu permukaan dengan sisa vegetasi tropis yang lapuk (Koesoemadinata, 1980). b. Formasi Jatibarang Satuan ini merupakan endapan early synrift , terutama dijumpai di bagian tengah dan timur dari Cekungan Jawa Barat Utara. Pada bagian barat cekungan ini kenampakan Formasi Jatibarang tidak banyak (sangat tipis) dijumpai. Formasi ini terdiri dari tufa, breksi, aglomerat, dan konglomerat alas. Formasi ini diendapkan pada fasies fluvial. Umur formasi ini adalah dari Kala Eosen Akhir sampai Oligosen Awal. Pada beberapa tempat di Formasi ini ditemukan minyak dan gas pada rekahan-rekahan tuff (Budiyani, dkk, 1991). c. Formasi Talang Akar Pada fase syn rift berikutnya diendapkan Formasi Talang Akar secara tidak selaras di atas Formasi Jatibarang. Pada awalnya berfasies fluvio-deltaic sampai fasies marine. Litologi formasi ini diawali oleh perselingan sedimen batupasir dengan serpih nonmarine dan diakhiri oleh perselingan antara batugamping, serpih, dan batupasir dalam fasies marine. Pada akhir sedimentasi, Formasi Talang Akar ditandai dengan berakhirnya sedimentasi synrift . Formasi ini diperkirakan berkembang cukup baik di daerah Sukamandi dan sekitarnya. Adapun terendapkannya formasi ini terjadi dari Kala Oligosen sampai dengan Miosen Awal. d. Formasi Baturaja Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Talang Akar. Pengendapan Formasi Baturaja yang terdiri dari batugamping, baik yang berupa paparan maupun yang berkembang sebagai reef buildup manandai fase post rift yangs secara regional menutupi seluruh sedimen klastik Formasi Talang Akar di Cekungan Jawa Barat Utara. Perkembangan batugamping terumbu umumnya dijumpai pada daerah tinggian. Namun, sekarang diketahui sebagai daerah dalaman. Formasi ini terbentuk pada Kala Miosen Awal – Miosen Tengah (terutama dari asosiasi foraminifera). Lingkungan pembentukan formasi ini adalah pada kondisi laut dangkal, air cukup jernih, sinar matahari ada (terutama dari melimpahnya foraminifera (Spriroclypens sp). e. Formasi Cibulakan Atas Formasi ini terdiri dari perselingan antara serpih dengan batupasir dan batugamping. Batugamping pada satuan ini umumnya merupakan batugamping klastik serta batugamping
8
terumbu yang berkembang secara setempat-setempat. Batugamping ini dikenali sebagai Mid Main Carbonate (MMC). Formasi ini diendapkan pada Kala Miosen Awal-Miosen Akhir.
Formasi ini terbagi menjadi 3 Anggota, yaitu: i. Massive Anggota ini terendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Baturaja. Litologi anggota ini adalah perselingan batulempung dengan batupasir yang mempunyai ukuran butir dari halussedang. Pada massive ini dijumpai kandungan hidrokarbon, terutama pada bagian atas. Selain itu terdapat fosil foraminifera planktonik seperti Globigerina trilobus, foraminifera bentonik seperti Amphistegina (Arpandi dan Patmosukismo, 1975). ii. Main Anggota Main terendapkan secara selaras diatas anggota Massive. Litologi penyusunnya adalah batulempung berselingan dengan batupasir yang mempunyai ukuran butir halus-sedang (bersifat glaukonitan). Pada awal pembentukannya berkembang batugamping dan juga blangket-blangket pasir, dimana pada bagian ini anggota Main terbagi lagi yang disebut dengan Mid Main Carbonat e (Budiyani dkk, 1991). iii. Pre Parigi Anggota Pre Parigi terendapkan secara selaras diatas anggota Main. Litologinya adalah perselingan batugamping, dolomit, batupasir dan batulanau. Anggota ini terbentuk pada Kala Miosen Tengah-Miosen Akhir dan diendapkan pada lingkungan Neritik Tengah-Neritik Dalam (Arpandi & Patmosukismo, 1975), dengan dijumpainya fauna-fauna laut dangkal dan juga kandungan batupasir glaukonitan.
f. Formasi Parigi Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Cibulakan Atas.. Litologi penyusunnya sebagian besar adalah batugamping klastik
maupun batugamping terumbu.
Pengendapan batugamping ini melampar ke seluruh Cekungan Jawa Barat Utara. Lingkungan pengendapan formasi ini adalah laut dangkal – neritik tengah (Arpandi & Patmosukismo, 1975). Batas bawah Formasi Parigi ditandai dengan perubahan berangsur dari batuan fasies campuran klastika karbonat Formasi Cibulakan Atas menjadi batuan karbonat Formasi Parigi. Formasi ini diendapkan pada Kala Miosen Akhir-Pliosen. 9
g. Formasi Cisubuh Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Parigi. Litologi penyusunnya adalah batulempung berselingan dengan batupasir dan serpih gampingan. Umur formasi ini adalah dari Kala Miosen Akhir sampai Pliosen – Pleistosen. Formasi diendapkan pada lingkungan laut dangkal yang semakin ke atas menjadi lingkungan litoral – paralik (Arpandi & Patmosukismo, 1975).
Gambar 2.2 Formasi Cekungan Jawa Barat Utara
10
2.4
Sedimentasi Cekungan Jawa Barat Utara
Periode awal sedimentasi di Cekungan Jawa Barat Utara dimulai pada kala Eosen Tengah – Oligosen Awal (fase transgresi) yang menghasilkan sedimentasi vulkanik darat – laut dangkal dari Formasi Jatibarang. Pada saat itu aktifitas vulkanisme meningkat. Hal ini berhubungan dengan interaksi antar lempeng di sebelah selatan Pulau Jawa, akibatnya daerahdaerah yang masih labil sering mengalami aktivitas tektonik. Material-material vulkanik dari arah timur mulai diendapkan. Periode selanjutnya merupakan fase transgresi yang berlangsung pada kala Oligosen Akhir – Miosen Awal yang menghasilkan sedimen trangresif transisi – deltaik hingga laut dangkal yang setara dengan Formasi Talang Akar pada awal permulaan periode. Daerah cekungan terdiri dari dua lingkungan yang berbeda yaitu bagian barat adalah paralik sedangkan bagian timur merupakan laut dangkal. Selanjutnya aktifitas vulkanik semakin berkurang sehingga daerah-daerah menjadi agak stabil, tetapi anak cekungan Ciputat masih aktif. Kemudian air laut menggenangi daratan yang berlangsung pada kala Miosen Awal mulai dari bagian barat laut terus ke arah tenggara menggenangi beberapa tinggian kecuali tinggian Tangerang. Dari tinggian-tinggian ini sedimen klastik yang dihasilkan setara dengan formasi Talang Akar. Pada Akhir Miosen Awal daerah cekungan relatif stabil, dan daerah Pamanukan sebela h barat merupakan platform yang dangkal, dimana karbonat berkembang baik sehingga membentuk setara dengan formasi Baturaja, sedangkan bagian timur merupakan dasar yang lebih dalam. Pada kala Miosen Tengah yang merupakan fase regresi, Cekungan Jawa Barat Utara diendapkan sedimen-sedimen laut dangkal dari formasi Cibulakan Atas. Sumber sedimen yang utama dari formasi Cibulakan Atas diperkirakan berasal dari arah utara – barat laut. Pada akhir Miosen Tengah kembali menjauhi kawasan yang stabil, batugamping berkembang dengan baik. Perkembangan yang baik ini dikarenakan aktivitas tektonik yang sangat lemah dan lingkungan berupa laut dangkal. Kala Miosen Akhir – Pliosen (fase regresi) merupakan fase pembentukan Formasi Parigi dan Cisubuh. Kondisi daerah cekungan mengalami sedikit perubahan dimana kondisi laut semakin berkurang masuk ke dalam lingkungan paralik. Pada Kala Pleistosen – Aluvium ditandai untuk pengangkatan sumbu utama Jawa. Pengangkatan ini juga diikuti oleh aktivitas vulkanisme yang meningkat dan juga diikuti 11
pembentukan struktur utama Pulau Jawa. Pengangkatan sumbu utama Jawa tersebut berakhir secara tiba-tiba sehingga mempengaruhi kondisi laut. Butiran-butiran kasar diendapkan secara tidak selaras diatas Formasi Cisubuh.
2.5
Petr oleum System
Hampir seluruh Formasi di Cekungan Jawa Barat Utara dapat menghasikan hidrokarbon yang mempunyai sifat berbeda, baik dari lingkungan pengedapan maupun porositas batuannya. Model petroleum system pada Cekungan Jawa Barat Utara.
2.6
Geologi Lapangan “X”
Pr oduk sedimentasi yang terdapat di Lapangan “X”, Formasi Jatibarang antara lain: 1. Produk fasies vulkaniklastik Terdiri atas batupasir tuffaceous dan konglomeratik (komponen fragmen tuff). Bagian atasnya dibatasi shale, sedangkan bagian bawahnya dibatasi unit vulkanisme dan produk erosi tinggi. 2. Produk fasies vulkanik primer 3. Produk transisi/marine Terdiri dari interklasi batubara, shale, dan batupasir. Pada bagian atas terdapat batas berupa batugamping.
Reservoir dan batuan induk memungkinkan muncul bersamaan karena adanya perulangan atau siklus aktivitas vulkanisme dengan produk unit vulkanisme yang sama. Source rock di Lapangan “X” berasal dari endapan lacustrine. Untuk reservoirnya
terdapat paa lapisan tuff, sedang lapisan penutup terdapat pada lapisan shale dari Formasi Talang Akar.
12
BAB III TEORI DASAR
3.1.Konsep Dasar Seismik Refleksi
Metode seismik refleksi merupakan salah satu metode geofisika yang menggunakan gelombang akustik untuk mengetahui keadaan bawah permukaan bumi yang berasal dari sumber getaran yang melewati bawah permukaan kemudian di pantulkan oleh bidang batas batuan sehingga dapat diterima oleh receiver . Perambatan gelombang seismik memenuhi hukum-hukum elastisitas ke segala arah dan mengalami pemantulan maupun pembiasan sebagai akibat dari adanya perbedaan impedansi ketika melalui pelapisan medium yang berbeda. Pada jarak tertentu di permukaan, gerakan partikel tersebut direkam sebagai fungsi waktu. Berdasarkan data rekaman tersebut selanjutnya dapat diperkirakan bentuk lapisan/struktur bawah permukaan.
Gambar 3.1 Penjalaran gelombang melalui batas dua mediun menurut Hukum Snellius
Setiap bidang batas batuan memiliki impedensi akustik yang berbeda beda. Impedensi akustik yaitu kemampuan suatu bahan untuk memantulkan atau meneruskan gelombang akustik yang mengenai medium tersebut. AI=ρ.V
Apabila terdapat dua lapisan batuan yang saling berbatasan dan memiliki perbedaan nilai impedansi akustik, maka refleksi gelombang seismik dapat terjadi pada bidang batas antara kedua lapisan tersebut. Besar nilai refleksi yang terjadi kemudian dinyatakan sebagai Koefisien Refleksi. Oleh karena itu, Impedansi akustik dapat digunakan sebagai indicator 13
perubahan litologi, porositas, kekerasan, dan kandungan fluida. AI berbanding lurus dengan kekerasan batuan dan berbanding terbalik dengan porositas. Nilai AI sangat dipengaruhi nilai kecepatan dibandingkan dengan densitas.
Gambar 3.2 Efek beberapa faktor terhadap kecepatan gelombang seismic
Perbandingan antara energi yang dipantulkan dengan energi yang datang pada keadaan normal adalah:
Epantul Edatang KRxKR KR IIA1A2 + IA1 IA2
Wavelet merupakan sinyal transien yang mempunyai interval waktu dan amplitudo yang terbatas. Ada empat jenis wavelet yang umum diketahui, yaitu zero phase, minimum phase, maximum phase, dan mixed phase. Dalam rekaman seismic dikenal istilah polaritas. Berdasarkan konvensi SEG, polaritas normal terjadi jika sinyal seismic positif menghasilkan tekanan akustik positif pada hidrofon di air atau pergerakan awal keatas pada geofon di darat. Pada tape, polaritas normal akan merekam sinyal seismic yang positif sebagai nilai negatif dan pada monitor terjadi defleksi negatif, dan trough pada penampang seismik.
14
Gambar 3.3 Standar polaritas SEG. a)minimum phase, b) zero phase wavelet(Sheriff, 20 01)
Trace seismic (S) adalah konvolusi dari reflektivitas bumi(RC) dengan wavelet
seismic(W) ditambah dengan komponen noise(n) S(t)=W(t)*RC(t)+n(t) Ketika komponen bising bernilai nol, maka persamaan diatas dapat disederhanakan menjadi S(t)=W(t)*RC(t)
Gambar 3.4 Ilustrasi seismogram sintetik
Cara lain untuk melihat trace seismic adalah dengan menggunakan domain frekuensi melalui transformasi fourier: S(f)=W(f) x RC(f) 15
Gambar 3.5 Model konvolusi dalam domain frekuensi
3.2.Well Logging
Evaluasi formasi menggunakan data sumur(well logging) seperti wireline log, memberikan input respon geologi secara langsung kondisi bawah permukaan dengan akurasi yang lebih tinggi daripada data seismic. Log merupakan suatu grafik kedalaman atau waktu dari sauatu set data yang menunjukkan parameter yang diukur secara berkesinambungan di dalam sebuah sumur. Kurva log memberikan informasi yang cukup tentang sifat-sifat batuan dan fluida yang terkandung di dalamnya. Beberapa jenis log antara lain:
3.2.1 Log Gamma Ray
Log Gamma Ray merekam radioaktivitas bumi. Radioaktif Gamma Ray dipancarkan dari 3 unsur radioaktif yang ada dalam batuan yaitu Uranium-U, Thorium-Th, dan Potassium-K. Parameter yang direkam dalam log Gamma Ray adalah jumlah dari pulsa listrik yang tercatat per satuan waktu. Pada umumnya lempung sangat banyak mengandung unsur radioaktif. Oleh karena itu, semakin tinggi bacaan GR maka semakin tinggi pula presentase kandungan lempung. Log GR banyak digunakan untuk membedakan antara lempung dengan formasi “bersih” dan
juga untuk mengevaluasi proporsi lempung(V-shale) dalam shaly formations. Litologi yang mengandng unsur radioaktif tidak hanya lempung. Litologi lain seperti 16
batupasir, batugamping, dan dolomite memiliki konsentrasi isotop radioaktif meskipun jumlahnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan lempung. Oleh karena itu, diperlukan perandingan log GR dengan log lainnya.
3.2.2 Log Neutron Porosity
Log Neutron Porosity(NPHI) tidak mengukur volume pori secara langsung, tetapi menggunakan karakter fisik dari air dan mineral. Partikel-partikel ini akan bertumbukan dengan atom-atom pada batuan sehingga mengakibatkan hilangnya energi dan kecepatan. Tumbukan neutron dengan atom H pada formasi yang mempunyai massa atom yang sama adalah yang paling signifikan. Partikel yang tel ah kehilangan energi tersebut kemudian akan dipantulkan kembali, diterima oleh detector dan direkam ke atas permukaan. Dengan mengetahui banyaknya kandungan atom hydrogen dalam batuan, maka dapat diketahui besarnya harga kesarangan batuan tersebut.
3.2.3 Log Bulk Density
Pada log bulk density, sinar gamma energi menengah dipancarkan ke dalam suatu formasi, sehingga sinar gamma akan bertumbukan dengan electron-elektron yang ada. Tumbukan tersebut akan menyebabkan hilangnya energi(atenuasi) sinar gamma yang kemudian akan dipantulkan dan diterima oleh detector yang akan diteruskan untuk direkam ke permukaan. Dalam hubungan fisika atenuasi merupakan fungsi dari jumlah electron yang terdapat dalam formasi yaitu densitas electron yang mewakili densitas keseluruhan.
3.2.4 Log Sonic I nterval Tr ansite Ti me
Log sonic merupakan log yang bekerja berdasarkan kecepatan rambat gelombang suara. Gelombang suara dipancarkan ke dalam suatu formasi kemudian akan dipantulkan kembali dan diterima oleh receiver . Waktu yang dibutuhkan gelombang suara untuk sampai ke penerima disebut interval transit time. Besarnya selisih waktu tersebut tergantung pada jenis batuan dan besarnya porositas batuan tersebut. Oleh karena itu, log sonic sering digunakan untuk mengetahui porositas litologi selain itu juga digunakan untuk membantu interpretasi data seismic, terutama untuk mengkalibrasi kedalaman formasi. Pada batuan yang jarang maka kerapatannya lebih kecill sehingga kurva log sonic akan mempunyai harga yang lebih kecil seperti 17
pada batugamping. Besaran dari pengukuran log sonic di tuliskan sebagai harga kelambatan(Slowness)
3.2.5 Log Resistivitas
Resistivitas dari suatu formasi adalah salah satu parameter utama yang diperlukan untuk menentukan saturasi hidrokarbon. Arus listrik dapat mengalir di dalam formasi batuan disebabkan konduktivitas dari air yang dikandungnya. Batuan kering dan hidrokarbon merupakan insulator yang baik, kecuali beberapa mineral seperti graphite dan sulfide besi. Resistivias formasi diukur dengan cara mengirim arus langsung ke formasi, seperti alat lateralog, atau menginduksikan arus listrik ke dalam formasi seperti alat induksi.
3.2.6 Spontaneous Potential(SP)
Log ini digunakan untuk mendeteksi lapisan permeable, batas lapisan permeable, menentukan Rw, dan menentukan volume of shale. Log ini merekam arus DC dalam satuan millivolts. Apanila resistivitas mud filtrit sama dengan resistivitas air formasi, mkaa tidak akan ditemukan defleksi. Apabila resistivitas mud filtrit lebih kecil daripada resistivitas air formasi, maka akan terjadi defleksi kurva ke kanan. Sebaliknya, apabila resistivitas mud filtrit lebih besar daripada resistivita s air formasi, maka akan terjadi defleksi kurva ke kiri.
3.2.7 Caliper
Caliper digunakan untuk mendeteksi adanya gerowong pada lubang bor dan penyempitas lubang bor. Alatnya seperti tangan, menghitung panjang setiap tangan untuk interval kedalaman tertentu. Selain itu digunakan untuk membantu melihat kesalahan pembacaan.
18
Gambar 3.6 Ilustrasi macam-macam log
3.3 Pengikatan Data Seismik dan Sumur
Pengikatan data seismic dan sumur(Well Seismic Tie) merupakan suatu proses yang dimaksudkan untuk meletakkan horizon seismic(skala waktu) pada posisi kedalaman sebenarnya, dan agar data seismic dapat dikorelasikan dengan data geologi lainnya, yang umumnya diplot dalam skala kedalaman. Teknik pengikatan data seismic dan sumur cukup banyak, tetapi umumnya yang dipakai adalah dengan memanfaatkan seismogram sintetik dari hasil survei kecepatan.
Gambar 3.7 Prinsip pembuatan seismogram sintetik(Badley,1984)
19
Seismogram sintetik merupakan rekaman seismic yang dibuat dari data log kecepatan dan densitas. Seismogram sintetik dibuat dengan cara mengkonvolusikan wavelet dengan KR. Wavelet yang digunakan mempunyai frekuensi dan bandwith yang sama dengan penampang seismic. Data KR didapatkan dari data log dengan penampang seismic. Data KR didapatkan dari data log sonic dan densitas. Seismogram sintetik final merupakan superposisi darirefleksi-refleksi semua reflector. Korelasi sintetik dengan horizon geologi beserta kedalamannya dapat dilihat dari log geologi terkait. Seismogram sintetik juga sangat berguna untuk mendiagnosa karakter refleksi dari setiap horizon.
Gambar 3.8 Well seismi c tie menggunakan seismogram sintetik
Dalam pengikatan data seismic dan sumur serta dalam pembuatan seismogram sintetik, dibutuhkan kurva waktu terhadap kedalaman yang dihasilkan dari check-shot survey. Pada check-shot survey kecepatan diukur dalam lubang bor dengan sumber
gelombang diatas permukaan. Dari data log geologi dapat ditentukan posisi horizon yang akan dipetakan dan lakukan beberapa pengukuran pada horizon tersebut(downgoing dan upgoing). Waktu first break rata-rata untuk masing-masing horizon dilihat dari hasil pengukuran tersebut.
20
Gambar 3.9 Prinsip dasar survei check-shot
3.4 Time to Depth Conversion
Konversi waktu menjadi kedalaman adalah proses transformasi interpretasi peta seismic ke peta kedalaman. Tujuan konversi kedalaman adalah untuk menggabu ngkan data sumber yang menyatakan sebuah deskripsi dari kedalaman untuk bawah permukaan dengan mengukur dari ketidaktentuan. salah satu metode depth conversion yang paling tua yaitu metode Vo-k. Metode ini mensyaratkan dua hal, yaitu kecepatan harus linear dengan bertambahnya kedalaman serta regresi linier untuk mencari nilai k titik-titiknya tidak terlalu menyebar ( scatter ), jika tidak, maka metode ini tidak valid untuk digunakan. Rumus dasar kecepatan adalah V(x,y,z) = Vo + k (Z – Zo)
Vo merupakan kecepatan awal relatif terhadap reference surface (Zo) atau dapat dianggap sebagai starting velocity untuk fungsi kecepatan linear. k merupakan gradien kecepatan di dalam layer analisis dengan satuan 1/detik. k juga dapat disebut sebagai faktor kompaksi. Jika reference surface Zo= 0, maka rumus di atas berubah menjadi Vavg = Vo + k Z Vo = Vavg – k Z
Vavg dihitung dengan menggunakan top marker sumur dan seismic time pick , sedangkan nilai k diperoleh dari gradien crossplot antara Vavg vs TVDSS. Setelah diperoleh nilai Vavg dan k, maka nilai Vo pada tiap-tiap sumur pun dapat diketahui. Nilainilai Vo dari berbagai sumur ini kemudian di grid menjadi Vo map.
21
Gambar 3.10 Cr oss plot antara Vavg dengan Depth
Selanjutnya kita mencari nilai Vavg yang digunakan untuk menkonversi peta waktu ke peta kedalaman. Untuk memperoleh nilai Vavg ini, rumus (2.1) dapat diturunk an dengan mengubah nilai variabel Z = Vavg × T (ket : T diubah menjadi one-way-time dahulu dalam satuan second ) menjadi: Vavg=Vo+k Vavg T Vavg-Vavg k T=Vo Vavg (1-kT)=Vo Vavg = Vo/(1 – k T)
Pada persamaan diatas, terdapat dua Vavg yang berbeda. Vavg pertama diperoleh secara langsung dari top marker dengan seismic time pick tanpa melibatkan unsur Vo dan k. Vavg pertama digunakan untuk mencari nilai Vo. Sedangkan Vavg yang kedua merupakan Vavg yang diperoleh dengan melibatkan unsur Vo dan k . Vavg yang kedua inilah yang digunakan untuk mengkonversi peta dari time ke depth. Jika kita langsung menggunakan Vavg yang pertama, maka Vavg tersebut tidaklah melibatkan faktor kompaksi (k ) dan starting velocity (Vo). Dari rumus Vavg yang kedua dapat dilakukan konversi ke kedalaman secara langsung dengan mengkalikan Vavg map dengan T map.
3.5 Seismik Inversi Impedansi Akustik
Inversi geofisika meliputi pemetaan sifat fisik obyek bawah permukaan dengan menggunakan pengukuran yang dilakukan di permukaan, bila mungkin menggunakan data sumur(Russel, 1998). Seismik Inversi adalah suatu teknik untuk membuat model bawah permukaan dengan menggunakan data seismic sebagai input dan data sumur sebagai control(Sukmono, 2001). Berikut ini merupakan diagram alur pemodelan kedepan dan inversi. 22
Pemodelan Kedepan
Input
Model Bumi
Proses
Algoritma Pemodelan
Output
Respon Seismik
Pemodelan Kebelakang (Inversi)
Respon Seismik
Algoritma Pemodelan
Model Bumi
Kontrol Model
Sebelum melakukan proses inversi dilakukan analisa sensitifitas. Analisa sensitifitas dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui parameter-parameter yang paling cocok digunakan dalam pemisahan litologi maupun fluida dalam reservoar. Analisa ini dilakuakn pada data log sumur disesuaikan dengan ketersediaan data log untuk masing-masing sumur. Penampang AI mempunyai beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan penampang seismic konvensional antara lain: 1. Lebih komprehensif dan lebih mudah dipahami, oleh banyak kalangan, baik ahli reservoir, geologist, maupun non-geoscientist. 2. Dapat membuat korelasi kuantitatif antara nilai AI dan beberapa parameter fisik penting dari reservoir, seperti misalnya porositas, permeabilitas, perbandingan sand terhadap shale, tekanan formasi, dan saturasi air. Oleh karena itu, jika dikorelasikan dengan data sumur, data AI dapat digunakan untuk memetakan distribusi lateral dari parameter fisik tersebut. 3. Mempermudah dalam interpretasi horizon, sesar, dan unit stratigrafi 4. Impedansi akustik merupakan properti lapisan, sedangkan amplitude seismic adalah property batas lapisan. 23
Pada dasarnya inversi seismic adalah proses untuk mengubah data seismic yang berupa kumpulan nilai-nilai amplitude ke dalam kumpulan nilai impedansi akustik. Proses dekonvolusi merupakan salah satu tahapan penting dalam inversi. Dekonvolusi merupakan kebalikan dari proses konvolusi yaitu pengubahan wavelet menjadi koefisien refleksi. Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam seismic inversi antara lain adalah kalibrasi data sumur dengan data seismic, ekstraksi wavelet, proses inversi data seismic, pemodelan geologi, dan interpretasi detil unit stratigrafi. Tahapan dalam proses inversi dibagi menjadi dua tahap, yaitu: 1. Konversi trace seismic ke trace reflectivity 2. Konversi trace reflectivity ke trace impedance Trace impedance hasil dari inversi memiliki resolusi rendah yang menyerupai impedansi akustik dari log, namun log mempunyai resolusi dan frekuensi yang lebih tinggi. Impedansi pada waktu t dapat secara rekursif dihasilkan dari reflektifitas pada waktu sebelumnya. Syarat utama yang dibutuhkan dalam proses inversi adalah menemukan wavelet sumber pada data seismic dan menemukan scale factor dari data seismic terhadap reflektifitas. Terdapat beberapa macam metode inversi, antara lain: 1. Sparse Spike Zero Amplitude Inversion Method Pada metode ini, trace spiking dihasilkan dengan meminimalkan fungsi D.
Dimana:
N L N N D ∑(S i ∑ Ti−kWk,i)+ ε∑Ti + β∑log |Ti| i− k−−L i− i−
S
: Input trace
T
: Ouput spiky trace yang diinginkan
ε β
: faktor prewhitening : parameter positif yang menentukan banyaknya spike pada spiky trace
N
: Panjang Trace
L
: Satu setengah panjang gelombang
Wij
: Elemen wavelet
Prewhitening merupakan penambahan spiking deconvolution. Domain waktu berbeda pada amplitude antara trace seismic dan spiked trace yang 24
ε
terkonvolusi. Nilai kecil dan positif digunakan untuk stabilitas. Kunci untuk
β
memproduksi trace spiky adalah keadaan yang nonlinear. Untuk nilai besar, akan dihasilkan spike sedikit, dan band seismik akan menghasilkan residual error yang besar.
2. Norm Minimization Pada metode ini, trace spiking dihasilkan dengan meminimalisasi fungsi Z.
λ
Z 1 λ .Ze + λ.Z.Z λ Ze ∑|rt ∗wt f t| Z ∑|rt| Z ∑|wt|
Dimana adalah parameter spikeness(penambahan =sedikit spikes)
3. L1 Norm Minimization(nonlinear optimization) Pada metode ini, fungsi objektif pada persamaan diminimalisasi dengan algoritma iterative reweighted least square algorithm.
4. Constraint Inversion in Eigenvalue Basis Metode inversi ini didasarkan pada ide membangun reflektifitas r(t) pada bentuk dari ekspansi
k= rt xt + ∑k= αkϕkt
Dimana x(t) adalah input trace pada model konvolusi, dan ortonormal basis vectors.
adalah
25
BAB IV DATA DAN PENGOLAHAN DATA 4.1 Data Penelitian yang dilakukan dimulai dengan pengumpulan data awal kemudian dilanjutkan dengan pengolahan data dari perangkat lunak Paradigm 14.1. Berikut ini merupakan flowchart pengolahan data:
Mulai
Pengumpulan Data
Data Sumur
Data Seismik
Data Geologi
Ekstraksi Wavelet
Seismogram Sintetik
Well Seismic Tie
Tidak
Ya
Picking Horizon & Fault
Model Impedansi
Time Map
Inversi Seismik
Depth Map
Peta AI Analisa AI Selesai Interpretasi
26
4.1.1 Base Map
Daerah penelitian ini memiliki 3 sumur yaitu SKM-01, TMG-01 dan TMG-02. Dengan luas daetah 95.54 km² dengan panjang
Gambar 4.1 Lokasi Sumur dan Basemap daerah penelitian
4.1.2 Data Seismik
Pada penelitian ini digunakan data seismik Post Stack Time Migration (PSTM) 3D. Daerah penelitian ini dibatasi pada inline 2780-3340 dan crossline 10002-10510 dengan sample rate 2 ms. Data ini telah melalu tahap processing sehingga dianggap sudah cukup baik untuk dilakukan tahap interpretasi. Gambar 4.2 merupakan gambar penampang seismik pada traverse.
27
Gambar 4.2 Penampang seismik pada traverse
4.1.3
Data Sumur
Sumur yang digunakan pada penelitian ini adalah SKM-01, TMG-01
dan
TMG-02. Sumur-sumur tersebut memiliki data yang digunakan dalam penelitian ini yakni data log, marker dan checkshot. Data log yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu data log gamma-ray, log densitas, log dt. Data log kecepatan yang digunakan didapatkan dari tranformasi dari data log dt. Ketiga sumur mempunyai data checkshot yang akan digunakan untuk mendapatkan kurva waktu-kedalaman yang lebih jauh lagi akan dimanfaatkan untuk pengikatan data seismik dan sumur.
Jenis Log
Sumur TMG-01
TMG-02
SKM-01
Caliper
x
v
x
GR
v
v
v
Dt
v
v
v
NPHI
v
v
v
SP
v
v
v
RHOB
v
v
v
Tabel 4.1 Tabel ketersediaan data log pada sumur.
28
4.2 Pengolahan Data
4.2.1
Perangkat Lunak
Pengolahan data penelitian ini menggunakan perangkat lunak Paradigm 14.1 dengan modul modul sebagai berikut :
Well log: Melihat data log dan melihat korelasi antar data log.
Section: Untuk melihat data seimik model 2D, well seismic tie, dan
picking
horizon
Vanguard : digunakan dalam well seismic tie, pembuatan background model, dan tahapan inversi AI
3D Canvas: Untuk melihat model hasil picking horizon secara 3D
Base Map: Untuk melihat daerah penelitian, melihat Time Map, dan untuk konversi Time Map menjadi Depth Map.
Geolog : untuk melihat korelasi antar data log dan crossplot.
4.2.2 Pengolahan Data Sumur
4.2.2.1 Pemeriksaan Data Log dan Checkshot
Dari sumur-sumur yang digunakan dalam penelitian ini, dilihat ketersediaan data log pada tiap sumur ini seperti data log densitas, gamma-ray dan kecepatan. Pada tahap ini juga dilakukan pemeriksan data checkshot yang akan digunakan.
4.2.2.2 Pembuatan Log Turunan
Langkah yang dilakukan kemudian adalah pembuatan log turunan pada tiaptiap sumur sehingga dapat dilakukan analisa crossplot antarlog. Log-Log yang diturunkan adalah log kecepatan dari data log dt dan log AI dari data log densitas dan kecepatan.
29
4.2.2.3 Pemeriksaan Sensitivitas Parameter
Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan sensitivitas parameter yang tepat untuk proses inversi agar dapat menggambarkan jika terdapat perbedaan litologi. Pada tahap ini digunakan untuk menentukan metode apakah yang akan digunakan untuk interpretasi. Pada tahap ini parameter yang digunakan adalah parameter AI. Berdasarkan pada data well log analysis sebelumnya, formasi parigi keseluruhannya merupakan batugamping, sehingga pada analisa sensitivitas ini yang ingin diketahui adalah perbedaan antara batugamping yang porous dan tight . Sumbu x merupakan AI yang diperoleh berdasarkan data log densiti dan dt, sumbu y merupakan data log densitas, dan skala warna merupakan data log porosity.
Gambar 4.3 Crossplot antara log AI, log density, dan log porosity pada sumur SKM01
30
Gambar 4.4 Crossplot antara log AI, log density, dan log porosity pada sumur TMG01
Gambar 4.5 Crossplot antara log AI, log density, dan log porosity pada sumur TMG02
31
Berdasarkan crossplot yang dilakukan, parameter AI sudah bisa dianggap sensitif terhadap perubahan. Hal ini dikarenakan nilai AI tersebar pada denstitas tertentu, sehingga dapat dicari titik potongnya. Titik-titik yang berkumpul pada sebelah kiri bawah merupakan titik plot yang dihasilkan dari nilai AI yang rendah dan densitas yang rendah, sehingga nilai porositas tinggi. Hal ini menunjukkan pada daerah tersebut terdapat litologi batugamping porous. Titik-titik yang berada pada kanan atas mewakili nilai AI yang tinggi
dan densitas yang tinggi, sehingga nilai porositas rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pada daerah tersebut terdapat litologi batugamping yang tight . Nilai cut off AI pada ketiga sumur berkisar 10.000 MG/SC3.
Gambar 4.6 Crossplot antara log AI, log density, dan log porosity pada sumur SKM01 setelah diberi Highlight. Warna hijau untuk lapisan porous , dan biru untuk lapisan . tight
32
Gambar 4.7 Crossplot antara log AI, log density, dan log porosity pada sumur TMG01 setelah diberi Highlight. Warna hijau untuk lapisan porous , dan biru untuk lapisan . tight
Gambar 4.8 Crossplot antara log AI, log density, dan log porosity pada sumur TMG02 setelah diberi Highlight. Warna hijau untuk lapisan porous , dan biru untuk lapisan . tight
33
4.2.3 Pengolahan Data Seismik
4.2.3.1 Well Seismic Tie
Pada tahap ini dilakukan pengikatan data sumur yang memiliki domain kedalaman terhadap data seismik yang memilki domain Two Way Time (TWT). Pada tahap ini dilakukan korelasi trace seismic dengan sintetiknya sampai didapatkan korelasi yang cukup besar. Seismogram sintetik ini diperoleh dengan konvolusi koefisien refleksi yang didapat dari data log dengan wavelet tertentu yang didapat dari ekstraksi wavelet. Oleh karena itu ekstraksi wavelet harus dilakukan secara teliti agar mendapatkan wavelet yang sesuai. Dalam melakukan well seismic tie, boleh dilakukan stretch & squeeze untuk mencocokkan data seismik dengan sumur, namun perlu diperhtaikan bahwa log dari sumur tidak boleh berubah. Dari hasil well seismic tie ini akan didapatkan time to depth correction yang nanti digunakan untuk mengubah data log dengan seismogram sintetik sehingga bisa diikat dengan data seismik. Untuk input yang digunakan dalam well seismic tie ini membutuhkan data log densitas, data log dt dan checkshot.
Gambar 4.9 Proses Stretch & Squeeze pada wel l seismi c tie
Dalam tahap well seismic tie, akan didapatkan nilai koefisien korelasi antara data sumur dan data seismik, semakin besar nilainya maka tahap ini
34
semakin baik, biasanya nilai > 0.5. Selain itu, akan didapatkan juga nilai PEP ( Propotion of Trace Energy Predicted ), nilai NMSE ( Normalised Mean Square Error ), dan nilai Shifting. Semakin besar nilai PEP maka data akan
semakin baik, sedangkan semakin besar nilai NMSE maka data semakin buruk. Sedangkan nilai shifting, semakin mendekati nilai 0 maka data akan semakin baik.
Gambar 4.10 Respon fasa dan waktu hasil ekstraksi wavelet
Dari hasil well seismic tie dengan filter Ricker pada sumur daerah penelitian, didapatkan data sebagai berikut :
Sumur
Koefisien
PEP
NMSE
Shifting
Korelasi
Amplitude Factor
SKM-01
0.81
0.627535 0.0155006
-0.213991
1.32788e-06
TMG-01
0.76
0.510929 0.0249984
-4.177448
1.10248e-06
TMG-02
0.72
0.444531 0.0326332
-65.153778
9.62837e-07
Tabel 4.2 Tabel data well seismic tie.
35
4.2.3.2 Picking Struktur dan Horizon
Picking struktur dilakukan untuk menandai lapisan yang mengalami sesar. Dalam data seismik dapat dilihat dari ketidakmenerusan reflektor. Geologi regional daerah cekungan Jawa Barat memilki sesar arah utaraselatan, oleh karena itu picking struktur dilakukan pada crossline pada section seismik.
Gambar 4.11 picking fault dan horizon pada section
Lalu pada picking horizon dilakukan pada inline 2780 hingga 3340 dan crossline 10002-10510 dengan spasi increanment 10 tetapi pada daerah sekitar sumur spasi increanment 5. Picking dilakukan pada lapisan target yaitu Parigi. Sebelum memulai picking horizon
pada inline dan crossline, dilakukan
picking horizon pada traverse untuk menjadi guide pada saat picking pada inline dan crossline agar hasil pick tepat sesuai target. Dalam melakukan picking horizon guide utama kita adalah marker dari well yang sudah dilakukan well seismic tie.
36
\
Gambar 4.12 Time Map setelah dilakukan picking
Dari hasil picking horizon dan struktur ini akan menghasilkan Time Map yang selanjutnya akan dikonversi menjadi Depth Map. Hasil picking horizon kemudian di grid sehingga menjadi Time Map dan juga dibuat kontur dari map ini.
Gambar 4.13 Tim e M ap setelah griding dan dimasukkan fault.
4.2.3.3 Time to Depth Conversion
Dari Time Map ini lalu dilakukan konversi menjadi Depth Map, hal ini dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti metode geostatistika dan metode Vo-k, namun karena sumur yang digunakan hanya 3 sehingga metode yang paling baik digunakan adalah metode Vo-k. Pada metode Vo-k, data 37
yang diperlukan adalah TVD SL, TWT, Vavg. Data ini didapat dari data checkshot pada sumur yang memiliki data checkshot paling baik. Pada tahap pertama, dilakukan filter data TVD SL yang digunakan. Jika trend TVD SL menurun maka data tersebut tidak digunakan dikarenakan nilai TVD SL selalu bertambah. Setelah menentukan data yang digunakan, cari nilai V avg dengan rumus : V avg = TVD SL / TWT / 2000 Setelah mendapatkan nilai V avg, dibuat korelasi antara nilai V avg dengan TWT. Gradien yang dibentuk antara V avg dengan TWT merupakan nilai k, dan nilai k yang didapat adalah 0.1709. Setelah mendapatkan nilai k, dicari nilai Vo dari nilai k, nilai TVD SL dan V avg yang dilihat dari data marker dengan rumus: Vo = V avg – ( TVD SL * K ) Sehingga bisa didapat nilai Vo untuk tiap sumur. Tabel 4.2 menunjukkan nilai Vo yang didapat untuk tiap sumur.
TVD SL
TWT
OWT
V avg
67.6
88.88
44.44
1521.15
167.6
196.15
98.075
1708.9
267.6
300.22
150.11
1782.69
367.6
406.42
203.21
1808.97
467.6
519.24
259.62
1801.09
567.6
631.41
315.705
1797.88
667.6
746.36
373.18
1788.95
767.6
859.81
429.905
1785.51
867.6
969.64
484.82
1789.53
967.6
1076.7
538.345
1797.36
1067.6
1177.8
588.89
1812.9
1167.6
1273.7
636.87
1833.34
1227.55
1319
659.5
1861.33
1267.6
1344.5
672.25
1885.61
Parigi
Tabel 4.3 Data TVD SL, TWT, OWT, V avg formasi parigi
38
Grafik TVD SL-Vavg PRG 2000 1800 1600 ) s 1400 / m1200 ( e g 1000 a r e 800 v a V 600 400 200 0
y = 0.1709x + 1657.2
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
TVD SL (ms)
Gambar 4.14 Grafik TVD SL dengan V avg Formasi parigi
Well
K
TWT
TVD SL
V avg
Vo
TMG-01
0.1709
1329.6
1299.8
1955.174
1733.08
TMG-02
0.1709
1317.04
1278.7
1941.779
1723.289
SKM-01
0.1709
1285.26
1300.1
2023.077
1800.933
Tabel 4.4 Tabel perhitungan Vo Formasi parigi
Setelah mendapatkan data Vo, lalu dilakukan grid pada nilai Vo . Setelah mendapatkan hasil grid Vo lalu buat Depth Map menggunakan mathematical operations dengan rumus :
Depth Map = ( $Input1*$Input2/2000)/(1-$Input1*(0.1708685266/2000 )
Dengan Input 1 : Data TWT Input 2 : Vo K
: 0.1708685266
39
Gambar 4.15 Hasil Grid Vo
Gambar 4.16 Rumus metode Vo-k pada M athematical Operati on
Gambar 4.17 Hasil Depth Map setelah dimasukkan fault.
40
4.2.3.4 Background Model
Pada metode inversi Impedansi Akustik dibutuhkan model awal untuk mengikat data seismik agar hasil inversi sesuai dengan data seismik awal. Pada pembuatan model awal ini input yang dimasukkan adalah Time Map, pada penelitian ini Time Map diisi dengan nilai konstan dengan nilai Top 900 ms dan nilai Bottom 2300 ms sebagai batas nilai, input yang dibutuhkan lagi adalah data log AI yang digunakan untuk mengisi data dengan frekuensi rendah yang tidak ada pada data seismik.. Section hasil model awal inversi dapat dilihat pada gambar 4.18 . lalu dilihat korelasi antara log model awal inversi dengan data seismik sehingga didapat nilai korelasi seperti berikut:
Sumur
Korelasi dengan data seismik
SKM-01
0.6556862
TMG-01
0.69414824
TMG-02
0.57349432
Tabel 4.5 hasil korelasi antara model awal inversi dengan data seismik.
Gambar 4.18 Model awal Inversi formasi Parigi.
41
Gambar 4.19 Korelasi data log model awal dengan data seismik.
Gambar 4.20 Korelasi model awal inversi dengan data seismik.
4.2.3.5 Inversi Impedansi Akustik
Pada proses inversi dengan parameter AI ini, digunakan metode Maximum Likelihood Inversion dengan input :
Data Seismik 3D PSTM
Background model
Wavelet hasil well seismic tie
Amplitude factor : 1,466e-07
Dengan bobot background model 40% data seismik 60%
42
Setelah mendapatkan volume hasil inversi dengan parameter AI dilakukan ektraksi inversi dengan metode rms ( root mean square ) lalu hasil ditampilkan pada basemap :
Gambar 4.21 Peta AI.
Dengan tampilan pada section :
Gambar 4.22 Section hasil inversi pada sumur TMG-01.
43
Gambar 4.23 Section hasil inversi pada sumur SKM-01.
Gambar 4.24 Section hasil inversi pada sumur TMG-02.
44
BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN
5.1 Analisis Data Log
Dari data log gamma ray, dapat dilihat bahwa nilai log gamma ray pada formasi parigi hingga Cibulakan Atas pada sumur SKM-01, TMG-01 dan TMG-02 relatif konstan, sehingga litologi pada formasi parigi hingga Cibulakan Atas merupakan satu kesatuan litologi yaitu batugamping dilihat dari hasil well log analysis pada studi sebelumnya dan didukung juga dari geologi regional pada formasi parigi hingga Cibulakan Atas didominasi oleh batugamping.
Gambar 5.1 Data log gamma ray sumur SKM-01,TMG-01, dan TMG-02 pada formasi parigi hingga Cibulakan Atas
45
5.2 Analisis Sensitivitas ( Crossplot )
Analisis sensitivitas digunakan untuk mengetahui parameter fisika batuan yang bersifat sensitive, dalam hal ini dilakukan analisis sensitivitas parameter AI. Dari data log gamma-ray diketahui bahwa formasi parigi hingga Cibulakan Atas adalah satu kesatuan litologi batugamping. Oleh karena itu analisis sensitivitas ini digunakan untuk memisahkan litologi batugamping yang bersifat porous dan batugamping yang bersifat tight. Dalam crossplot ini digunakan data log densitas, porositas dan AI untuk membedakan batugamping yang bersifat porous dan tight. Dari gambar 4.3, 4.4, 4.5 dapat disimpulkan bahwa parameter AI ini merupakan parameter sensitif karena dari grafik crossplot terlihat batugamping yang bersifat tight ( yang memiliki nilai AI tinggi dan porositas tinggi ) dan batugamping yang bersifat porous ( yang memiliki nilai AI rendah dan porositas rendah ). Dari gambar 5.2, 5.3, dan 5.4 juga dapat dilihat dari multimin analysis terlihat batugamping tight berwarna biru dan batugamping yang porous berwarna hijau.
46
Gambar 5.2 Multimin analysis litologi kiri ke kanan ( S KM-01, TMG-01, TMG-02 ).
5.3 Analisis Well Seismic Tie
Gambar 5.3 Proses Strecth Squeze pada section
47
Gambar 5.4 Hasil korelasi wavelet dan hasil well seismic tie
Pada tahap well seismic tie ini wavelet yang digunakan adalah jenis Ricker karena jenis ini yang paling cocok untuk seismogram sintetik agar data sumur sama dengan data seismik. Pada well seismic tie di sumur SKM-01, fase seismogram sintetik perlu dibalik 180° agar diperoleh korelasi yang bagus antara data sumur dengan data seismik, dari hasil well seismic tie pada sumur SKM-01 diperoleh nilai koefisien korelasi 0.81 dengan shifting 0.213991 ms dan memiliki energi 0.627535 dengan error 0.0155006, hal ini menunjukkan bahwa hasil well seismic tie pada sumur SKM-01 sudah cukup baik. Pada well seismic tie pada sumur TMG-01, didapatkan nilai koefisien korelasi 0.76 dengan shifting -4.177448 ms dan memiliki energi sebesar 0.510929 dengan error 0.0249984, hasil ini juga dinilai masih cukup baik dikarenakan nilai koefisien korelasi > 0.6 dan shifting < 10 ms. Sedangkan hasil well seismic tie pada sumur TMG-02 didapatkan nilai koefisien korelasi 0.72 dengan shifting -65.153778 ms dengan energi sebesar 0.444531 dan error 0.0326332, dari nilai koefisien korelasi hasil well seismic tie pada sumur TMG-02 sudah cukup baik namun dari nilai memiliki shifting yang terlalu besar sehingga hasil well seismic tie dianggap cukup berbeda dengan data log asli, namun ketika nilai shifting dipaksa mendekati 0, maka seismogram sintetik sangat berbeda dengan data seismik. Hal ini kemungkinan disebabkan data input pada saat well seismic tie kurang tepat, yaitu data log dt, data log densitas ataupun checkshot.
48
5.4 Analisis Time Map & Depth M ap
Gambar 5.5 Kiri : Tim e M ap, Kanan : Depth M ap
Dari hasil picking fault didapatkan sesar pada formasi parigi memiliki arah utaraselatan, hal ini sesuai dengan geologi regional cekungan Jawa Barat yang memiliki arah sesar utara-selatan. Untuk hasil picking horizon juga sudah cukup baik dilihat dari kontur pada Time Map tidak ada yang berpotongan dan tidak ada yang tidak masuk akal. Pada proses
picking horizon sendiri sering terjadi kontur yang tertarik dan berbelok-belok dalam skala kecil, hal ini dikarenakan pada saat picking crossline berbeda dengan picking pada inline sehingga kontur pada Time Map akan tertarik. Setelah picking horizon selesai lalu hasil picking di grid sehingga terbentuk Time Map. Dari Time Map diketahui bahwa waktu tempuh seismik pada formasi parigi memiliki rentang antara 1141.22 ms hingga 1901.53 ms dan nilai ini semakin ke arah tenggara semakin besar. Terdapat 2 tinggian yang ditandai dengan warna jingga pada peta. Sementara rendahan ditandai dengan warna biru pada peta. Dari Depth Map juga diketahui bahwa formasi parigi memiliki rentang kedalaman dari 1142.74 m hingga 1948.8 m. Dari Depth Map juga diketahu bahwa formasi parigi ke arah tenggara semakin dalam. Terdapat 2 tinggian juga yang ditandai dengan warna jingga. Korelasi antara Time Map dan Depth Map sangat baik dilihat dari Depth Map yang menyerupai Time Map. Dari Depth Map sendiri juga didapatkan error maksimal sebesar 0.230103m. Sehingga dapat disimpulkan Time Map dan Depth Map ini cukup baik dan valid sehingga bisa digunakan untuk menentukan kedalaman pemasangan chasing pada bor nantinya.
49
Gambar 5.6 Koreksi kedalaman sumur dan error Depth M ap
5.5 Analisis Background Model
Dari hasil model awal yang telah dibuat, dapat dilihat bahwa korelasi antara model awal dengan data seismik pada sumur SKM-01, TMG-01 dan TMG-02 sudah cukup baik, ini dilihat dari nilai korelasi yang bernilai > 0.5 sehingga bisa dikatakan model awal inversi ini dapat digunakan untuk melakukan proses inversi. Pada pembuatan model awal ini input yang dimasukkan adalah Time Map, pada penelitian ini Time Map diisi dengan nilai konstan dengan nilai Top 900 ms dan nilai Bottom 2300 ms sebagai batas nilai, input yang dibutuhkan lagi adalah data log AI yang digunakan untuk mengisi data dengan frekuensi rendah yang tidak ada pada data seismik.
Sumur
Korelasi dengan data seismik
SKM-01
0.6556862
TMG-01
0.69414824
TMG-02
0.57349432
Tabel 5.1 hasil korelasi antara model awal inversi dengan data seismik.
50
5.6 Analisis Inversi AI
Gambar 5.7 Peta hasil inversi AI
Dari peta AI pada lapisan parigi diketahui bahwa nilai AI paling tinggi pada daerah barat laut dan semakin ke arah tenggara semakin rendah. Dari analisis crossplot diketahui parameter AI ini bisa digunakan untuk membedakan batugamping porous dan batugamping tight sehingga dapat disimpulkan pada daerah barat laut merupakan litologi batugamping tight dan pada daerah tenggara merupakan batugamping porous. Setelah di overlay dengan
kontur kedalaman diketahui bahwa batugamping tight terletak pada kedalaman yang lebih dangkal dan batugamping porous terletak pada kedalaman yang lebih dalam. Peta AI ini memiliki rentang nilai 5695.1 gr m / cc s hingga 4736.83 1 gr m / cc s . Namun setelah dilihat korelasi antara hasil inversi AI dengan log AI didapat bahwa nilai korelasi pada tiap sumur sangat kecil yaitu sekitar 0.002, sehingga dapat disimpulkan data ini tidak baik. Hal ini bisa disebabkan karena :
Wavelet yang digunakan tidak sesuai pada inversi AI ini Nilai faktor amplitudo tidak sesuai Kesalahan pada background model
51
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Dari hasil picking fault diketahui bahwa sesar pada formasi parigi memiliki arah utara-selatan sesuai dengan geologi regional cekungan Jawa Barat. 2. Metode yang digunakan untuk konversi Time Map menjadi Depth Map adalah metode Vo-K dan dari Depth Map dapat disimpulkan bahwa formasi parigi memiliki litologi batugamping yang kedalamannya semakin ke arah tenggara semakin dalam dan terdapat 2 tinggian pada daerah penelitian ini dengan rentang kedalaman 1142.74 m hingga 1948.8 m. 3. Dari peta hasil inversi AI diketahu bahwa litologi pada lapisan parigi adalah batugamping tight pada daerah barat laut semakin ke arah tenggara semakin bersifat porous, sesuai dengan hasil crossplot bahwa parameter AI dapat digunakan untuk
membedakan litologi batugamping porous dengan batugamping tight. Dengan rentang nilai pada peta inversi adalah 5695.1 gr m / cc s hingga 4736.83 1 gr m / cc s. 4. Nilai korelasi antara hasil inversi dengan data log AI sangat kecil memiliki rata-rata 0.002 sehingga data inversi ini dianggap buruk dan perlu digunakan referensi parameter lain untuk menentukan persebaran litologi lapisan Parigi pada daerah penelitian.
6.2 Saran
1. Diperlukan pemeriksaan lagi terhadap parameter-parameter yang mempengaruhi hasil inversi AI ini. 2. Jika hasil tetap tidak baik, maka bisa dicoba menggunakan parameter inversi yang lain untuk interpretasi persebaran litologi pada lapisan Parigi di lapangan ‘X’, Jawa Barat ini.
52