Abstrak Kelarutan merupakan ukuran jumlah maksimal zat terlarut dalam sejumlah tertentu pelarut dan pada suhu tertentu. Kelarutan suatu zat akan tergantung pada suhu dan tekanan yang diberikan dalam proses pelarutan tersebut, semakin tinggi suhu yang diberikan akan semakin cepat dan besar juga kelarutan yang dihasilkan. Proses penentuan kelarutan zat pada berbagai suhu dapat dilakukan dengan mengamati pristiwa larutnya asam oksalat pada berbagai suhu yang digunakan dalam percobaan (20 oC, 30oC dan 40 oC). Sedangkan penentuan kalor pelarutan diferensial dapat dilakukan dengan berdasarkan hasil percobaan yang akan dibuat dalam bentuk grafik antara log m terhadap 1/T dan Apabila ΔHps tidak tergantung pada suhu, maka grafik log m terhadap 1/T akan linier sehingga kalor diferensial pelarutan dapat ditentukan. Berdasarkan hasil percobaan, bahwa suhu tinggi memang menghasilkan kelarutan yang besar. Kalor pelarutan −1 −1 diferensial dari hasil percobaan adalah sebesar - 13088,9863 Kata kunci : Kalor pelarutan diferensial, Kelarutan, Suhu, Tekanan.
I. 1.1. Standarisasi NaOH Volume Volume H2C2O4 NaOH 50 ml dalam 5 ml buret
Data Pengamatan Volume titrasi NaOH V1 = 1,2 ml V2 = 0,9 ml
Indikator PP
Warna
3 tetes
Merah muda
1.2. Penentuan Kalor Pelarutan Diferensial No Suhu Volume titrasi Indikator PP V1 = 1,2 ml 1. 40oC 3 tetes V2 = 0,9 ml V1 = 1,2 ml 2. 30oC 3 tetes V2 = 0,9 ml V1 = 1,2 ml 3. 20oC 3 tetes V2 = 0,9 ml
Warna Merah muda Merah muda Merah muda
II. Hasil dan Pembahasan Larutan didefinisikan sebagai campuran homogen antara dua atau lebih zat yang terdispersi baik sebagai molekul, atom maupun ion yang komposisinya dapat berpariasi. Larutan dapat berupa gas, cairan, atau padatan. Larutan encer adalah larutan yang mengandung sebagian kecil solute, relative terhadap jumlah pelarut. Sedangkan larutan pekat adalah larutan yang mengandung sebagian besar solute. Solute adalah zat terlarut. Sedangkan solvent (pelarut) adalah medium dalam mana solute terlarut (Baroroh, 2004).
Larutan jenuh adalah larutan yang kandungan solutenya sudah mencapai maksimal sehingga penambahan solute dalam larutan lebih lanjut tidak dapat larut.Konsentrasi solute dalam larutan jenuh disebut kelarutan. Untuk solute padat maka larutan jenuhnya terjadi kesetimbangan dimana molekul fase padat meninggalkan fasenya dan masuk ke fase cairan dengan kecepatan sama dengan molekul – molekul ion dengan fase cair yang mengkristal menjadi fase p adat (Chang, 2005). Kelarutan adalah jumlah zat yang dapat larut dalam sejumlah pelarut sampai membentuk larutan jenuh. Adapun cara menentukan kelarutan suatu zat ialah dengan mengambil sejumlah tertentu pelarut murni, misalnya 1 liter. Kemudian memperkirakan jumlah zat yang dapat membentuk larutan lewat jenuh, yang ditandai dengan masih terdapatnya zat padat yang tidak larut. Setelah dikocok ataupun diaduk akan terjadi kesetimbangan antara zat yang larut dengan zat yang tidak larut (Atkins, 1994). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan yaitu sifat dari solute dan solvent, pH, dan suhu. 1. Sifat dari solute dan solvent Substansi polar cenderung lebih miscible atau soluble dengan substansi polar lainnya. Substansi nonpolar cenderung untuk miscible dengan substansi nonpolar lainnya, dan tidak miscible dengan substansi polar lainnya Sifat pelarut (Sukardjo, 1977). 2. pH Suatu zat asam lemah atau basa lemah akan sukar terlarut, karena tidak mudah terionisasi. Semakin kecil pKanya maka suatu zat semakin sukar larut, sedangkan semakin besar pKa maka suatu zat akan akan mudah larut (Lund, 1994). 3. Suhu Kenaikan temperatur akan meningkatkan kelarutan zat yang proses melarutnya melalui penyerapan panas/kalor (reaksi endotermik) dan akan menurunkan kelarutan zat yang proses melarutnya dengan pengeluaran panas/kalor (reaksi eksotermik) (Lund, 1994). Prinsip dari percobaan ini adalah menentukan kelarutan zat pada berbagai suhu dilakukan dengan mengamati peristiwa larutnya asam oksalat dengan suhu yang bervariasi. Sedangkan untuk menentukan kalor pelarutan differensial dapat dilakukan dengan hasil percobaan yang akan dibuat dalam bentuk grafik antara log mmol terhadap 1/T dan apabila tidak tergantung suhu, maka grafik log m terhadap 1/T akan linier. Reaksi yang terjadi adalah : 2 NaOH + H2C2O4 Na2C2O4 + 2 H2O
2.1 Analisis Prosedur 2.1.1. Standarisasi NaOH Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah akuades (H2O), asam oksalat (H2C2O4), indikator PP, dan natrium hidroksida (NaOH). Pertama-tama ditimbang masing-masing H2C2O4 sebanyak 0,16 gram dan NaOH sebanyak 0,8 gram. Kemudian dilarutkan NaOH dan H2C2O4 dalam 100 ml akuades menggunakan labu ukur. Setelah itu, dimasukkan 50 ml larutan NaOH ke dalam buret dan dipipet 5 ml larutan H2C2O4 ke dalam erlenmeyer. Tidak lupa ditambahkan indikator PP ke dalam erlenmeyer. Terakhir dititrasi larutan H 2C2O4 + indikator PP menggunakan larutan NaOH untuk menstandarisasi NaOH. Larutnya asam oksalat (solute) dalam akuades (solven) pada hakekatnya adalah karena terpisahnya ikatan yang kuat antar molekulmolekul asam, dimana ruang-ruang tersebut selanjutnya digantikan oleh molekul-molekul solven yang dalam hal ini adalah air. Energi yang dibutuhkan untuk melepas ikatan antar partikel solute sesungguhnya didapat dari energi yang dihasilkan dari pembentukan ikatan antara partikel solute dan molekul solven. Ikatan yang terjadi pada molekul asam sitrat dan asam oksalat adalah ikatan ion yang mempunyai gaya tarik menarik elektrostatik yang cukup kuat. Standarisasi NaOH merupakan suatu proses yang digunakan untuk menentukan secara teliti konsentrasi larutan NaOH (Oxtoby, 2001). Larutan NaOH yang telah dibuat belum diketahui secara pasti konsentrasinya karena NaOH bersifat higroskopis (mudah menguap dan mengikat air) sehingga pada saat ditimbang akan ada sedikit NaOH yang hilang. Dalam standarisasi dikenal istilah larutan primer dan sekunder. Larutan standar primer adalah larutan yang mengandung senyawa kimia stabil yang tersedia dalam kemurnian tinggi dan dapat digunakan untuk menstandarisasi larutan standar yang digunakan di dalam titrasi. Sedangkan larutan standar sekunder adalah larutan yang telah melalui proses standarisasi dan memiliki konsentrasi tertentu (Watson, 2005). Pada percobaan ini, larutan NaOH berperan sebagai larutan standar sekunder dan larutan H2C2O4 berperan sebagai larutan standar primer. Larutan H2C2O4 bisa menjadi larutan standar primer karena H 2C2O4 memenuhi syarat untuk menjadi larutan standar primer yaitu dapat disimpan dalam keadaan murni. H2C2O4 memiliki berat ekuivalen (BE) yang besar (126) sehingga tidak mudah terpengaruh kemurniannya.
Percobaan ini menggunakan indikator PP sebagai penunjuk akhir titrasi dalam pencapaian titik ekivalen. Alasan digunakan indikator PP adalah karena jika menggunakan indikator yang lain, misalnya TB, MG atau yang lain, maka trayek pHnya sangat jauh dari ekuivalen (Harjadi, W. 1990). Pada titrasi ini terjadi perubahan warna dari bening menjadi merah muda. Perubahan warna ini menunjukkan bahwa titik akhir titrasi telah dicapai. Titrasi ini dilakukan secara duplo. Hal ini bertujuan untuk mengetahui hasil titrasi yang dilakukan relatif dekat dengan hasil pengukuran volume yang dibutuhkan untuk mencapai titik ekivalennya dan meningkatkan ketepatan percobaan. 2.1.1 Penentuan Kalor Pelarutan Diferensial Untuk menentukan kalor pelarutan differensial, pertama-tama dipanaskan 50 ml akudes dalam beaker sampai 60 o. Kemudian dilarutkan padatan H2C2O4 secara kuantitatif hingga jenuh dengan tujuan menyeimbangan reaksi antara zat terlarut dengan zat yang tidak terlarut. Setelah jenuh, diturunkan suhunya dengan variasi 40 oC, 30oC dan 20oC. Tujuan variasi suhu adalah untuk mengetahui pengaruh suhu pada penentuan kelarutan dan panas pelarutan diferensial dari larutan H2C2O4 jenuh. Kemudian dipipet 5 ml larutan H 2C2O4 tersebut dan diencerkan dengan 100 ml akuades. Tujuan pengenceran adalah untuk menurunkan konsentrasi dari larutan H2C2O4, sehingga pada saat titrasi tidak terlalu banyak menggunakan larutan NaOH dan titrasi berlangsung lebih cepat. Lalu dipipet 5 ml larutan H 2C2O4 yang telah encer dan ditambahkan 3 tetes indikator PP. Dititrasi larutan H2C2O4 encer + indikator PP dengan larutan NaOH yang telah distandarisasi. Percobaan ini dilakukan secara duplo. Adapun aplikasi kelarutan sebagai fungsi suhu dalam industri adalah pada pembukaan reaktor kimia, pada proses pemisahan dengan cara pengkristalan integral. Selain itu juga dapat digunakan untuk dasar atau ilmu dalam proses pembuatan granul-granul pada industri baja. Dan selain itu dalam industri kelarutan sebagai fungsi suhu juga sangat bermanfaat pada saat mendapat sebuah garam dari air laut dengan cara memanaskannya atau dengan menjemur dibawah terik matahari sehingga garam dapat mengendap dan mulai kelarutannya akan berkurang. 2.2
Analisis Hasil Hasil dari standarisasi NaOH adalah didapatkan volume titrasi NaOH sebesar 1,2 ml dan 0,9 ml. Dari kedua volume titrasi NaOH, dihitung nilai molaritas (M) NaOH dan didapatkan hasil 0,02976 M. Kemudian hasil volume dari titrasi larutan H2C2O4 jenuh dengan larutan NaOH pada variasi suhu adalah pada suhu 40 oC dihasilkan V1=4,3 ml dan V 2=4,5 ml; pada
suhu 30oC dihasilkan V1=6,1 ml dan V2=4,7 ml; dan pada suhu 20 oC dihasilkan V1=3,2 ml dan V2=3,1 ml. Dari volume titrasi ini, dapat dihitung masing-masing nilai mol (n) NaOH yaitu pada suhu 40 oC=0,26189 mmol; pada suhu 30oC=0,32141 mmol; dan pada suhu 20 oC=0,18749 mmol. Volume titrasi NaOH akan semakin menurun sebanding dengan menurunya suhu larutan jenuhnya (larutan H 2C2O4). Tetapi pada percobaan ini, pada suhu 30oC terjadi kenaikan nilai volume dengan selisih V 1= 1,8 ml dan V2=0,2 ml. Hal ini dikarenakan volume akuades sedikit berlebih pada saat pengeceran larutan H2C2O4 jenuh, sehingga diperlukan volume NaOH yang agak banyak pada saat titrasi. Dari perhitungan, dibuat grafik 1/T vs log mmol. Seharusnya grafik menunjukan bahwa semakin kecil suhu yang digunakan maka semakin kecil juga nilai log mol. Tetapi pada grafik ini ditunjukkan pada suhu 40 oC ke suhu 30oC terjadi kenaikan. Nilai kalor pelarutan differensialnya didapatkan sebesar - 13088,9863 Jmol -1K -1 dan merupakan reaksi eksoterm. III.
Penutup
3.1
Kesimpulan Kesimpulan dari percobaan ini adalah kelarutan H 2C2O4 dipengaruhi oleh suhu. Semakin tinggi suhu yang digunakan, maka kelarutannya juga semakin tinggi . Kemudian Selain itu, nilai kalor pelarutan differensialnya didapatkan sebesar - 13088,9863 Jmol -1K -1 dan merupakan reaksi eksoterm.
3.2
Saran Saran untuk percobaan ini adalah mengganti bahan H2C2O4 dengan CuSO4 untuk mengetahui kelarutan CuSO 4 dalam berbagai variasi suhu dan dapat dibandingkan hasilnya dengan H 2C2O4.
Daftar Pustaka Baroroh, Umi L.U. 2004. Diktat Kimia Dasar 1. Universitas Lambung Mangkurat: Banjar Baru Chang, R. 2005. Konsep-konsep Inti Kimia Dasar. Jakarta: Erlangga Harjadi, W.1990. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta: Gramedia Lund, Walter. 1994. The Pharmaceutical Codex. London: The Pharmaceutical Press Sukardjo. 1997. Kimia Fisika I. Jakarta: Universitas Indonesia Oxtoby, David W. 2001. Prinsip-prinsip Kimia Modern Edisi Keempat Jilid I. Jakarta: Erlangga
1.
2.
Jawaban Pertanyaan Pencuplikan untuk menentukan kelarutan disini dilakukan dari suhu tinggi ke suhu rendah. Bagaimana pendapat anda kalau pencuplikan dengan arah berlawanan yaitu rendah ke suhu tinggi? Jawaban : Pencuplikan untuk menentukan kelarutan dilakukan dari suhu tinggi ke suhu rendah. Jika pencuplikan tersebut dilakukan dengan arah berlawanan yaitu dari suhu rendah ke suhu tinggi, maka akan diperoleh grafik yang sama. Kelarutan zat akan bertambah seiring dengan kenaikan suhu. Tetapi sedikit sulit dilakukan karena untuk mencapai suhu yang lebih tinggi dibutuhkan pemanasan yang dapat memperbesar kelarutan suatu zat, sehingga zat dalam larutan tersebut akan larut secara terus menerus dan dapat melewati titik jenuh. Dalam integrasi persamaan Van’t Hoff diandaikan bahwa ΔH tidak bergantung pada suhu. Bagaimana bentuk persamaannya bila kalor pelarutan merupakan fungsi kuadrat dari suhu : ΔH = A + BT + CT2 dengan A, B, C tetapan? Jawaban :
∆ = ⟦ln ⟧
d ln m dT
T 2
H
RT
2
T 1
T 2
H
d ln m RT
2
dT
T 1
ln m
ln m
1
R
1
T
A BT CT T
T 1
2
2
dT
T
AT R T 1
2
BT CT