ɐLaporan
Kasus
Seorang Wanita Usia 22 Tahun Datang dengan Badan Semakin Lemas Sejak 3 Hari Sebelum Masuk Rumah Sakit
Oleh: Kms. Afif Rahman, S.Ked
04084821719184
Indah Permata Sari, S.Ked
04054821719048
Pembimbing: dr. Mediarty Syahrir, SpPD, K-HOM, FINASIM
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM RSMH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA PALEMBANG 2017
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
Judul
Seorang Wanita Usia 22 Tahun Datang dengan Badan Semakin Lemas Sejak 3 Hari Sebelum Masuk Rumah Sakit Oleh: Kms. Afif Rahman, S.Ked Indah Permata Sari, S.Ked
Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang, Periode 19 Juni 2017 – 2017 – 27 27 Agustus 2017.
Palembang, Juli 2017 Pembimbing
dr. Mediarty Syahrir, SpPD, K-HOM, FINASIM
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
Judul
Seorang Wanita Usia 22 Tahun Datang dengan Badan Semakin Lemas Sejak 3 Hari Sebelum Masuk Rumah Sakit Oleh: Kms. Afif Rahman, S.Ked Indah Permata Sari, S.Ked
Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang, Periode 19 Juni 2017 – 2017 – 27 27 Agustus 2017.
Palembang, Juli 2017 Pembimbing
dr. Mediarty Syahrir, SpPD, K-HOM, FINASIM
ii
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan berkat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Seorang Wanita Usia 22 Tahun Datang dengan Badan Semakin Lemas Sejak 3 Hari Sebelum Masuk Rumah Sakit ”. ”. Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat mengikuti ujian pada Kepaniteraan Klinik Senior Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Mediarty Syahrir, SpPD, K-HOM, FINASIM selaku pembimbing dalam penulisan laporan kasus ini, serta kepada semua pihak yang telah membantu hingga tulisan ini dapat diselesaikan. Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberi ilmu dan manfaat bagi yang membacanya.
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................... ........................................................... ............................................ ............................. ....... i HALAMAN PENGESAHAN .......................... ................................................ ............................................. .......................... ... ii KATA PENGANTAR ............................................. ................................................................... ........................................ .................. iii DAFTAR ISI .................................................... .......................................................................... ............................................. .......................... ... iv BAB I PENDAHULUAN ................................ ...................................................... ............................................ .......................... .... 1 BAB II LAPORAN KASUS ........................................... .................................................................. ................................. .......... 3 BAB III TINJAUAN PUSTAKA .............................................. .................................................................... ...................... 16 BAB IV ANALISIS KASUS ........................... ................................................. ............................................. .......................... ... 40 DAFTAR PUSTAKA .......................................... ................................................................ ............................................ ...................... 43
iv
BAB I PENDAHULAN
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum kompleks ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap inti sel dan melibatkan banyak sistem organ dalam tubuh. Penyebab SLE diduga melibatkan interaksi yang komples dan multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan. 1 SLE atau lupus awalnya berupa kelainan kulit di daerah wajah berupa kemerahan, nyeri sendi dan rambut rontok.2,3 Dalam perkembangannya ternyata penyakit lupus tidak hanya mengenai kulit wajah saja tetapi juga dapat menyerang hampir seluruh organ tubuh diantaranya sendi, ginjal, otak, dan sel-sel darah. Lupus diperantarai oleh suatu system imun atau kekebalan, dimana system imun ini menyerang tubuhnya sendiri disebut sebagai p enyakit autoimun. 4,5 Anemia hemolitik autoimun (autoimmune hemolytic anemia atau AIHA) adalah
suatu
kelainan
dimana
terdapat
antibodi
dari
individu
tersebut
(autoantibodi) terhadap eritrosit sehingga eritrosit mudah hancur (lisis) dan umurnya memendek (kurang dari 100 hari). 6 Anemia hemolitik autoimun sangat sering terjadi secara tiba-tiba dan secara drastis dapat menurunkan kadar hemoglobin; penghancuran eritrosit yang masif tersebut dapat menimbulkan ikterus; dan terkadang lien membesar. Jika tiga gejala tadi (trias) ditemukan maka kecurigaan terhadap anemia hemolitik autoimun sangatlah tinggi. 7 Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:13. Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama 2010. 8
1
Insidens AIHA diperkirakan sebesar 1-3 per 10 5/tahun dan prevalensinya sebesar 17 : 100.000. Secara klinis, AIHA dapat idiopatik/primer (50% kasus) atau sekunder karena sindrom limfoproliferatif (20%), penyakit autoimun (20%), infeksi, dan tumor. 9
Menurut sebuah penelitian di RSUP dr. Cipto
Mangunkusumo pada tahun 2004 sampai 2008 didapatkan 50 pasien menderita AIHA dengan 92% diantaranya
menderita AIHA tipe hangat, 6% AIHA tipe
dingin dan 2% AIHA tipe campuran. Etiologi AIHA tipe hangat adalah idiopatik atau primer (54,3%) dan etiologi sekunder adalah Lupus Eritematosus Sistemik/LES (41,3%), hepatitis autoimun (2,2%) dan leukimia limfositik kronik (2,2%). Etiologi AIHA tipe dingin adalah idopatik atau primer (66,7%) dan mieloma multiple (33,3%). 10 Morbititas dan mortalitas pasien SLE masih cukup tinggi, berdasarkan data yang diperoleh dari RSCM dari tahun 1990-2002 diperoleh angka kematian pasien dengan SLE hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi (termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis. 8 SLE manifestasi anemia hemolitik autoimun merupakan kasus SLE derajat berat dan dapat mengancam jiwa pasien sehingga memerlukan diagnosis yang tepat dan penanganan yang cepat.
2
BAB II LAPORAN KASUS
2.1 Identifikasi Pasien Nama
:
Ny. LM
Umur
:
22 Tahun
Alamat
:
Desa Limau Kec. Semabawa Kab. Banyuasin
Suku
:
Sumatera
Bangsa
:
Indonesia
Agama
:
Islam
Pendidikan
:
SMA
Pekerjaan
:
Ibu Rumah Tangga
MRS
:
2 Juli 2017 Pukul 21.45 WIB
No. RM
:
695318
Koas
:
Kms. Afif Rahman, S.Ked dan Indah Permata Sari, S.Ked
2.2 Anamnesis
Informasi diperoleh secara autoanamnesis dari pasien dan alloanamnesis dari suami pasien Keluhan Utama:
± 3 hari SMRS pasien mengeluh badan semakin lemas.
Keluhan Tambahan:
Nyeri sendi memberat sejak 1 minggu SMRS.
Riwayat Perjalanan Penyakit:
± 4 tahun SMRS pasien mengeluh badan lemas, pusing saat berdiri lama, pandangan berkunang-kunang (+), mudah lelah bila beraktifitas, wajah tampak pucat, telinga berdenging (+), berdebar-debar (-). Nyeri pada hampir seluruh sendi ekstremitas terutama pada sendi jari-jari tangan, siku, dan lutut, sariawan (-), ruam
3
merah seperti koin (-), ruam merah pada kedua pipi dan pangkal hidung/malar rash (-), ulit memerah saat terkena sinar matahari (-), riwayat kejang tiba-tiba (-), urin berbuih (-), urin berwarna gelap (-), memar pada tubuh (-). Pasien lalu berobat ke RSMH dan didiagnosis SLE manifestasi anemia hemolitik. ± 1 minggu SMRS pasien mengeluh lemas, badan lemah sehingga pasien hanya sanggup untuk duduk namun tidak sanggup untuk berdiri lama dan melakukan aktifitas, pusing (+), wajah terlihat pucat, pandangan berkunangkunang, memar pada tubuh (-), riwayat perdarahan (-), batuk dan pilek (-), demam (+) tidak terlalu tinggi naik turun terutama pada malam hari dan kadang disertai menggigil. Nyeri hampir pada seluruh sendi ekstremitas terutama sendi jari-jari tangan, siku, dan lutut (-), ruam merah seperti koin (-), ruam merah pada kedua pipi dan pangkal hidung/malar rash (-), kulit memerah saat terkena sinar matahari (-), riwayat kejang tiba-tiba (-), urin berbuih (-). Pasien belum bantuan untuk keluhan ini. ± 3 hari SMRS pasien mengeluh badan semakin lemas hingga pasien tidak sanggup untuk bangun dari tempat tidur, pusing (+), wajah terlihat pucat, pandangan berkunang-kunang (+), urin berwarna gelap (+), BAB tidak ada kelainan. Pasien juga mengeluh ada nyeri pada ulu hati yang hilang timbul. Nyeri pada sendi semakin parah sehingga sulit menggerakkan badan dan nyeri bila dipegang. Pasien lalu dibawa ke IGD RSMH.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat SLE sejak 4 tahun yang lalu Riwayat transfusi darah tiap tahun
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga
Riwayat penyakit yang sama pada keluarga disangkal
Riwayat Pengobatan
Metilprednisolon 3 x 8 mg (sejak tahun 2013) Asam folat 3 x 1 mg
4
Omeprazole 20 mg Mofetil mikofenolat 3 x 500 mg Cyclosporin 100 mg (sejak bulan April 2017)
Status Sosial Ekonomi dan Gizi:
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga dan suami bekerja sebagai wiraswasta serta masih tinggal bersama dengan orang tua. Kesan : sosial ekonomi menengah ke bawah
Pasien makan 3 kali sehari tidak teratur, nafsu makan menurun saat sakit, dengan variasi nasi, ikan, sayur, ayam. Pasien jarang makan daging dan buah buahan. Kesan : gizi cukup
2.3 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan Umum
:
Tampak sakit sedang
Kesadaran
:
Compos mentis
Tekanan Darah
:
90/50 mmHg
Nadi
:
92 x/menit, isi/kualitas cukup, reguler
Pernafasan
:
28 x/menit, reguler, tipe pernafasan thorakoabdominal
Suhu
:
36,2 oC
Berat Badan
:
42 kg
Tinggi Badan
:
145 cm
IMT
:
20 (Normoweight)
VAS score
:
4
Pemeriksaan Khusus Kepala : Normochepali, warna rambut hitam, rambut licin dan tidak
5
mudah dicabut, alopesia (-), malar rash (-), sariawan (-), cheilitis (-), atrofi papil lidah (-), carries gigi (+) Mata
:
Konjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (+/+)
Hidung
:
Deviasi septum nasal (-), sekret (-)
Leher
:
JVP (5-2 cmH2O), pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks
:
Memar (-), venektasi (-)
Pulmo (Anterior)
Inspeksi
: Statis simetris, dinamis kanan = kiri, retraksi dinding dada (-/-)
Palpasi
: Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi
: Sonor pada kedua lapangan paru, nyeri ketok (-/-), batas paru hepar ICS V, peranjakan 1 sela iga
Auskultasi
: Vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Pulmo (Posterior)
Inspeksi
: Statis simetris, dinamis kanan = kiri, retraksi dinding dada (-/-)
Palpasi
: Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi
: Sonor pada kedua lapangan paru, nyeri ketok (-/-)
Auskultasi
: Vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Cor
Inspeksi
: Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi
: Iktus kordis tidak teraba
Perkusi
: Batas jantung atas ICS II line parasternalis sinistra Batas jantung kanan ICS V linea sternalis dextra Batas jantung kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi
: Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi
: Datar, venektasi (-)
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
6
Palpasi
: Lemas, nyeri tekan (+) epigastrium, hepar teraba 2 jari dibawah arcus costae dengan tepi tajam, permukaan rata, konsistensi kenyal dan lien tidak teraba
Perkusi
: Timpani, shifting dullness (-)
Ekstremitas
Atas
: Palmar pucat (+), palmar eritema (-), koilonychia (-), deformitas (-)
Bawah
: Plantar pucat (+), akral hangat (+), edema pretibia (-), deformitas (-)
2.4
Pemeriksaan Penunjang Laboratorium
Tahun 2013 Pemeriksaan Sero-imunologi
Hasil
ANA Test
Positif
Tanggal 27 Januari 2015 Coomb’s Test
Hasil
Direct
Positif
Indirect
Positif
Tanggal 10 September 2015 Pemeriksaan
Hasil
Unit
Nilai rujukan
Hemoglobin
8,7
g/dL
13,2-17,3
Leukosit
6,5
103/µL
4.5-11
Eritrosit
2,23
106/µL
4.2-4.87
Trombosit
202
103/µL
150-450
HEMATOLOGI
Hitung jenis
7
Basofil
0
0-1
Normal
Eosinofil
1
1-6
Normal
Neutrofil
54
50-70
Normal
Limfosit
36
20-40
Normal
Monosit
9
2-8
Meningkat
IMUNOSEROLOGI Komplemen C3
64
mg/dL
90-180
Komplemen C4
6
mg/dL
10-40
458,68
IU/mL
Positif
LUPUS Anti ds-DNA
sedang
(301-
800)
Tanggal 2 Juli 2017 (Pukul 17.15 WIB) Pemeriksaan
Hasil
Unit
Nilai rujukan
HEMATOLOGI Hemoglobin
4,5
g/dL
11,4-15
Leukosit
7,3
103/µL
4.73-10.89
Eritrosit
0,48
106/µL
4.0-5.7
Hematokrit
6
%
35-45
Trombosit
275
103/µL
189-436
Basofil
0
0-1
Normal
Eosinofil
0
1-6
Menurun
Neutrofil
81
50-70
Meningkat
Limfosit
17
20-40
Menurun
Monosit
2
2-8
Normal
MCV
125
80-95 fl
Meningkat
MCH
93,75
27-34 pg
Meningkat
Hitung jenis
KIMIA KLINIK
8
SGOT
45
mg/dL
0-32
SGPT
19
mg/dL
0-31
Ureum
31
mg/dL
16.6 - 48.5
Creatinin
0,61
mg/dL
0.5-0.9
Calsium
8,1
mg/dL
9,2 – 11,0
BSS
110
mg/dL
<200
Natrium
141
mEq/L
135-155
Kalium
4,2
mEq/L
3.5-5.5
9
MEX SLEDAI
10
MEX-SLEDAI : 6 Interpretasi : aktivitas penyakit SLE berat (>5)
2.5 Diagnosis Sementara
SLE manifestasi Anemia Hemolitik Autoimun
2.6 Diagnosis Banding
-
SLE manifestasi Anemia Hemolitik Non-Imun
-
SLE manifestasi Anemia Penyakit Kronik
2.7 Prognosis
Quo ad Vitam
:
Dubia ad bonam
Quo ad Functionam
:
Dubia ad malam
Quo ad Sanationam
:
Dubia ad malam
2.8 Rencana pemeriksaan
-
Cek retikulosit, bilirubin indirect
-
Coomb’s test direct dan indirect
-
Urin rutin
-
Foto thorax
-
Cek profil lipid
11
2.9 Tatalaksana Non Farmakologi: - Istirahat - Diet bubur biasa - Edukasi
-
-
Farmakologi: Inj. Metilprednisolon 1 x 125 mg selama 3 hari Follow up klinis dan laboratorium untuk melihat respons terapi 3 hari, dosis metilprednisolon Setelah diturunkan menjadi 1 x 62,5 mg selama 3 hari dan diturunkan (tapering off) perlahan hingga pasien mengalami perbaikan Setelah pasien mengalami perbaikan, berikan metil prednisolon oral dosis ringan untuk mengontrol penyakit SLE CaCO3 (Calos) 3 x 500 mg (po) Cyclosporin (Sandimmun) 1 x 100 mg (po) Asam folat 3 x 1 mg (po) Inj. Omeprazole 1 x 40 mg Transfusi darah Washed Eritricyte (WE) 600 cc Konsultasi gigi dan mulut
2.10 Follow Up
Tanggal S O Keadaan umum Kesadaran Tekanan darah Nadi Pernapasan Temperatur VAS Score Keadaan spesifik Kepala
3 Juli 2017 Badan lemas (+), nyeri sendi (+) Tampak sakit sedang Compos mentis 100/60 mmHg 90 x/menit irama irreguler, isi kurang, dan tegangan lemah. 20 x/ menit 36,5 oC 4
Rambut hitam, mudah dicabut, alopesia (+), distribusi tidak merata. Malar rash (-), Konjungtiva palpebra pucat (+/+) Sklera ikterik (-), atrofi papil lidah (-), sariawan (-), carries gigi (+)
Leher JVP (5-2) cm H2O Pembesaran KGB (-) Thorax: Paru
Inspeksi: Barrel chest (-), retraksi (-) Inspeksi: Statis dan dinamis simetris kanan = kiri
12
Palpasi: Stem fremitus kanan = kiri Perkusi: Sonor di kedua paru Auskultasi: Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-), wheezing (-) Jantung
Abdomen
Inspeksi: Iktus cordis tidak terlihat Palpasi: Iktus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba Perkusi: Batas jantung atas ICS II linea parasternalis sinistra Batas jantung kanan ICS V linea sternalis dekstra Batas jantung kiri ICS V linea midclavicularis sinistra Auskultasi : HR = Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-) Inspeksi: Datar, venektasi (-), caput medusae (-), striae (+) Palpasi: Lemas, hepar teraba 2 jari dibawah arcus costae, lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium (+), nyeri tekan suprapubik (-), ballottement (-) Perkusi: Timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-) Auskultasi: Bising usus (+) normal Tidak diperiksa
Genitalia Akral hangat (+), palmar pucat (+), edema(-) Ekstremitas A P
SLE manifestasi AIHA Non Farmakologis Istirahat Diet bubur biasa Edukasi Farmakologis IVFD asering gtt xxx/menit Callos 3 x 500 mg (po) Sandimmun 1 x 100 mg (po) Metil prednisolon 3 x 8 mg (po) Asam folat 3 x 1 mg (po) Inj. Omeprazole 1 x 40 mg (IV)
13
Tanggal S O Keadaan umum Kesadaran Tekanan darah Nadi Pernapasan Temperatur VAS Score Keadaan spesifik Kepala
4 Juli 2017 Badan lemas (+) Tampak sakit sedang Compos mentis 90/50 mmHg 84 x/menit irama irreguler, isi kurang, dan tegangan lemah. 28 x/ menit 36,8 oC 2
Rambut hitam, mudah dicabut, alopesia (-), malar rash (+), Konjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (-), atrofi papil lidah (-), sariawan (-), carries gigi (+)
Leher
JVP (5-2) cm H2O Pembesaran KGB (-)
Thorax: Paru
Inspeksi: Barrel chest (-), retraksi (-) Inspeksi: Statis dan dinamis simetris kanan = kiri Palpasi: Stem fremitus kanan = kiri Perkusi: Sonor di kedua paru Auskultasi: Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung
Inspeksi: Iktus cordis tidak terlihat Palpasi: Iktus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba Perkusi: Batas jantung atas ICS II linea parasternalis sinistra Batas jantung kanan ICS V linea sternalis dekstra Batas jantung kiri ICS V linea midclavicularis sinistra Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, irreguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi: Datar, venektasi (-), caput medusae (-), striae (+) Palpasi: Lemas, hepar teraba 2 jari di bawah arcus costae dan lien tidak teraba, nyeri tekan
14
epigastrium (-), nyeri tekan suprapubik (-), ballottement (-) Perkusi: Timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-) Auskultasi: Bising usus (+) normal Genitalia
Tidak diperiksa
Ekstremitas
Akral hangat (+), palmar pucat (+), edema(-)
Laboratorium Hematologi
Kimia Klinik - Hati
-
A P
Lemak
Hb 3,9 g/Dl RBC 0,33 x 106/mm3 WBC 7,1 x 103/mm3 Ht 11 % Plt 242 x 103/µL MCV 130,3 fL MCH 118 pg MCHC 91 g/dL LED 120 mm/jam Diff count 0/0/72/25/3/27,1 Retikulosit 27,1 %
Bilirubin total 2,21 mg/dL Bilirubin direk 0,8 mg/dL Bilirubin indirek 1,41 mg/dL Kolesterol Total 134 mg/dL Kolesterol HDL 14 mg/dL Kolesterol LDL 78 mg/dL Trigliserida 251 mg/dL SLE manifestasi AIHA Non Farmakologis Istirahat Diet bubur biasa Edukasi Farmakologis IVFD asering gtt xxx/menit Callos 3 x 500 mg (po) Sandimmun 1 x 100 mg (po) Inj. Metil prednisolon 1 x 125 mg Asam folat 3 x 1 mg (po) Inj. Omeprazole 1 x 40 mg (IV) Transfusi WE 1 kolf (masih menunggu)
15
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang kompleks ditandai oleh adanya autoantibodi terhadap inti sel dan melibatkan banyak sistem organ dalam tubuh.1
3.2 Etiologi
Etiologi LES meliputi komponen genetik dan lingkungan dengan jenis kelamin perempuan sangat mempengaruhi patogenesis. Faktor-faktor ini menyebabkan kerusakan permanen terhadap toleransi sistem imun yang dimanifestasikan oleh respon imun terhadap inti sel antigen endogen.
3.3 Faktor Genetik
Saudara dari pasien LES memiliki kemungkinan 30 kali lebih berisiko terkena LES dibandingkan dengan individu tanpa riwayat keluarga penderita LES. Tingkat penemuan gen pada LES telah meningkat selama beberapa tahun yang lalu berkat penelitian genome-wide association studies (GWAS) menggunkan ratusan ribu single nucleotide polymorphism (SNP). GWAS pada LES telah menegaskan pentingnya gen yang terkait dengan respon imun dan peradangan (HLA-DR, PTPN22, STAT4, TNFAIP3), perbaikan DNA (TREX1), penyatuan sel inflamasi dengan endotelium (ITGAM), dan respon jaringan terhadap jejas (KLK1, KLK3). Penemuan ini menyatakan pentingnya Toll-like receptor (TLR) dan interferon tipe 1 (IFN). Beberapa lokus genetik dapat menjelaskan tidak hanya kerentanan terhadap penyakit tetapi juga beratnya, contohnya STAT4, faktor risiko genetik untuk rheumatoid arthritis dan LES dikaitkan dengan LES berat. Salah satu komponen kunci dari jalur ini adalah TNFAIP3 yang telah terlibat setidaknya di dalam enam gangguan autoimun, termasuk LES 5.
16
3.4 Faktor Lingkungan
Pemicu LES dari lingkungan yaitu sinar ultraviolet, obat yang mengandung dimetil, infeksi, virus endogen atau elemen yang mirip seperti virus. Sinar matahari adalah faktor yang paling jelas yang dapat memperburuk LES. Epstein-Barr Virus (EBV) telah diidentifikasi sebagai faktor yang mungkin dalam mengembangkan LES. EBV dapat tinggal dan berinteraksi dengan sel B dan menyebabkan interferon α (IFNα) diproduksi oleh plasmacytoid dendritic cells (pDCs), menunjukkan bahwa peningkatan (IFNα) pa da LES mungkin paling sedikit pada bagian yang berhubungan pada penyimpangan dari infeksi virus kronik yang terkontrol. Hal ini juga ditetapkan bahwa obat-obatan yang menginduksi autoantibodi dalam sejumlah besar pasien, kebanyakan tidak menunjukkan tanda-tanda dari penyakit yang berhubungan dengan autoantibodi. Lebih dari 100 obat telah dilaporkan telah menjadi Drug Induced Lupus (DIL) atau obat pemicu LES. Meskipun pathogenesis DIL belum dipahami dengan baik, namun kecenderungan genetik mungkin berperan dalam kasus obat-obatan tertentu, terutama agen yang dimetabolisme oleh asetilasi seperti procainamide dan hydralazine, dengan penyakit yang cenderung berkembang pada pasien yang memiliki asetilator yang lambat5.
3.5 Faktor Hormonal
Dalam model murin, penambahan estrogen dan prolaktin dapat menyebabkan fenotip autoimun dengan peningkatan afinitas tinggi dari autoreaktif sel B dewasa. Kontrasepsi oral yang digunakan pada Nurses Health Study berhubungan dengan sedikit peningkatan pada risiko LES (risiko relative 1,9 dibandingkan dengan bukan pengguna kontrasepsi oral). Semua ini menggerakan pertanyaan penting yang berkaitan dengan penggunaan estrogen pada kontrasepsi oral atau sebagai terapi hormone pengganti saat masa posmenopause pada wanita. Saat semua ini jelas bahwa hormone dapat memicu autoimun berkembang dalam model murin, penggunaan kontresepsi oral tidak meningkatkan penyakit flares pada wanita dengan penyakit yang stabil (Sanchez-
17
Guerrero dkk, 2005).
Kehamilan dapat menyebabkan dalam beberapa kasus
seperti Lupus flares, tetapi ini tidak berhubungan dengan meningkatnya estradiol atau progesterone. Pada faktanya, tingkat dari hormone-hormon ini lebih rendah pada trimester kedua dan ketiga pada pasien LES dibandingkan dengan kehamilan pada wanita sehat5.
3.6 Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, LES menjadi salah satu penyakit rematik utama didunia. Prevalensi LES diberbagai negara sangat bervariasi dan lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti Negro, Cina dan Filipina. Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Peyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibanding dengan pria berkisar antara 5,5-9 : 1. 1 Beberapa data yang diperoleh di Indonesia dari pasien yang dirawat dirumah sakit. Dari 3 peneliti di RSCM Jakarta yang melakukan penelitian pada periode 1969-1990 didapatkan rerata insidensi ialah 37,7 per 10.000 perawatan. Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per 10.000 perawatan, sedangkan di Medan didapatkan insidensi sebesar 1,3 per 10.000 perawatan. 1
3.7 Patogenesis
Sumber : Bertsias G dkk, 2012 Peningkatan
jumlah
endogen
asam
nukleat
pemicu
apoptosis
menstimulasi produksi IFNα dan mengeluarkan autoimunitas dengan merusak
18
toleransi diri melalui aktiavasi sel penyaji antigen (antigen-presenting cell ). Dalam LES semua hal mengacu kepada produksi asam nukleat dari IFNα. Peningkatan produksi dari autoantigen saat apoptsis, mengurangnya pembuangan, pengaturan deregulasi dan pemaparan adalah hal penting dalam inisiasi respon autoantigen. Nukleosom yang mengandung ligan endogen berbahaya dapat bergabung dengan pola reseptor mulekul patogen (yang berhubungan dengan apoptosis) dapat memicu aktivasi sel dendrit, sel B, produksi IFN dan autoantibodi secara berturut-turut. Reseptor sel basal seperti reseptor sel B dan reseptor Fc IIa memfasilitasi endositosis dari asam amino yang mengandung bahan atau kompleks imun dan penyatu reseptor endosomal dari imunitas asli seperti Toll-like Receptors (TLRs). Pada stadium awal penyakit, saat autoantobodi dan kompleks imun belum dibentuk, peptida antimikroba terlepas oleh jaringan yang rusak dan penangkap netrofil ekstraseluler, yang nantinya bergabung dengan asam nukleat menginhibisi degradasinya dan juga memfasilitasi endositosisnya serta menstimulasi TLR-7/9 di dalam palsmasitoid sel dendrit. Penghancuran sistem kekebalan tubuh menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah asam nukleat endogen apoptosis memicu produksi dari IFN dan autoimun melalui aktivasi dan pematangan dari sel dendrit sederhana (myeloid). Produksi dari autoantibodi oleh sel B pada lupus di kendalikan oleh keberadaan dari antigen endogen dan sangat besar tergantung pada sel T-helper , yang dimediasi oleh interaksi sel basal (CD40L/CD40) dan sitokin (IL21) 13.
3.8 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang terlibat dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai LES. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinis penyakit LES ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa tahun mengeluhkan nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti
19
fotosensitivitas dan sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria LES. 1) Manifestasi konstitusional1 Kelelahan merupakan keluhan umum yang dijumpai pada penderita LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya, kelelahan ini sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang mennyebabkan kelelahan seperti pada anemia, meningkatya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti perdnison. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan. Penurunan berat badan juga dijumpai pada penderita LES dan terjadi dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakan. Penurunan berat badan ini
disebabkan
oleh
menurunnya
nafsu
makan
atau
akibat
gejala
gastrointestinal. Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari sebab lain seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40 0C tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis, demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil. 2) Manifestasi Muskuloskeletal1 Keluhan muskuloskeletal merupakan manifesasi klinik yang paling sering terjadi pada penderita LES, lebih dari 90%. Keluhan dapat terjadi berupa nyeri otot (myalgia), nyeri sendi (atralgia) atau merupakan suatu artitis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering kali dianggap sebagai manifestasi Artritis Rematoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris. Pada LES tidak ditemukan adanya deformitas , kaku sendi yang berlangsung beberapa menit dan sebagainya. Osteoporosis juga ditemukan dan berhubungan dengan aktifitas penyakit dan terapi steroid. 3) Manifestasi Kulit9 Kelainan
kulit
yang
sering
didapatkan
pada
LES
adalah
fotosensitivitas, butterfly rash, ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia, panikulitis, lesi psoriaform dan lain sebagainya. Selain itu, pada kulit juga
20
dapat ditemukan tanda-tanda vaskulitis kulit, misalnya fenomena Raynaud, livedo retikularis, ulkus jari, gangren. 4) Manifestasi Paru9 Berbagai manifestasi klinik pada paru-paru dapat terjadi baik berupa radang interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonal, atau perdarahan paru. Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut dan berlanjut secara kronik, pada keadaan akut biasanya penderita akan merasa sesak, batuk kering dan mulai dijumpai ronkhi di basal. Keadaan ini sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respon baik terhadap pemberian streroid. 5) Manifestasi Kardiologis1,9 Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial. Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung. Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita LES dan bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung kongestif. Keadaan ini semakin banyak dijumpai pada penderita LES usia muda dengan jangka penyakit yang panjang serta penggunaan steroid jangka panjang. 6) Manifestasi Renal1 Gejala dan tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak nampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Untuk menilai keterlibatan ginjal pada penderita LES perlu dilakukan biopsi ginjal. 7) Manifestasi Gastrointestinal1,9 Manifestasi klinis gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, secara klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus, mesenteric valkulitis, inflamantory bowel disease (IBS), pankreatitis dan penyakit hati. Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik, splenomegali,
21
peritonitis aseptik. Selain itu, ditemukan juga peningkatan SGOT dan SGPT harus dievaluasi terhadap kemungkinan hepatitis autoimun. 8) Manifestasi Hemopoetik 9 Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik autoimun. Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80% kasus.
Adanya
leukositosis
harus
dicurigai
kemungkinan
infeksi.
Trombositopenia pada LES ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mulamula menunjukkan gambaran trombositopenia idiopatik (ITP), seringkali kemudian berkembang menjadi LES setelah ditemukan gambaran LES yang lain. 9) Manifestasi Susunan Saraf 9 Keterlibatan Neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain,
neuropati
perifer,
sampai
kejang
dan
psikosis.
Kelainan
tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus. Keterlibatan saraf otak, jarang ditemukan. Kelainan psikiatrik sering ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau perdarahan.
3.9 Penegakan Diagnosis
Kecurigaan akan penyakit LES perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu : 1) Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
22
2) Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan
penurunan berat badan. 3) Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis 4) Kulit: butterfly atau malar rash, fotosensitivitas, lesi membrana mukosa,
alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis. 5) Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik 6) Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen 7) Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, lesi parenkhim paru. 8) Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis 9) Retikulo-endotel: limfadenopati, splenomegali, hepatomegali 10) Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia 11) Neuropsikiatri:
psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis
transversus, gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.
Diagnosis LES dapat ditegakan berdasarkan gambaran klinik dan laboraturium. American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1982, mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi LES, dimana bila didapatkan 4 kriteria, maka diagnosis LES dapat ditegakan (lihat tabel 1)
No 1. 2. 3.
Kriteria Ruam malar
Batasan
ritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah alar dan Cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial. Ruam diskoid lak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular. Pada LES lanjut dapat ditemukan parut atrofik fotosensitivita uam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap s sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
4.
Ulkus mulut
5.
Artitritis
lkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter pemeriksa. rtritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi erifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.
23
6.
Serositis a. Pleuritis
Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura.
b. Karditis
7.
Gangguan renal
8.
Gangguan Neurologi
9.
Gangguan hematologi
10.
Gangguan imunologik
Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau terdapat bukti efusi perikardium Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif. Atau Silinder seluler : - dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau campuran Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak seimbangan elektrolit Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan Metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak seimbangan elektrolit.) a. Anemia hemolitik dengan retikulosis. Atau b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih. Atau c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih. Atau d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan a. Anti -DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal. Atau b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm. Atau c. Temuan positif terhadap antibodi anti fosfolipid yang didasarkan atas : 1. kadar serum antibodi anti kardiolipin abnormal baik IgG atau IgM, 2. Tes lupus anti koagulan positif menggunakan metoda standard, 3. hasil tes serologi positif palsu terhadap sifi lis sekurang- kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorpsi an bodi treponema. Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu perjanan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui hubungan dengan sindroma lupu yang diinduksi obat. •
11.
Antibodi Anti nuklear positif (ANA)
Bila didapatkan 4 kriteria dari 11 kriteria, maka bisa ditegakkan SLE yang memiiki sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3
24
kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang diperlukan.
3.10 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah Rutin dan Urin Rutin Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita LES menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada penderita LES menunjukkan adanya proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah pada urin.
Pemeriksaan imunologik Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis LES adalah tes ANA generik.(ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada LES. Pada penderita LES ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupa SLE misalnya infeksi krnis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective tissue disease (MCTD), artritis rematoid, tiroiditis autoimun) , keganasan atau pada orang normal. Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk LES seringkali dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu
25
yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai LES umumnya diagnosis LES dapat disingkirkan. Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk antidsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes spesifik untuk LES, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis LES dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang bukan LES. Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif menunjang diagnosis LES sementara bila anti ds-DNA negatif tidak menyingkirkan adanya LES. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% 30% pasien LES, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang normal. Tes anti-Sm relatif spesifik untuk LES, dan dapat digunakan untuk diagnosis LES. Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk LES. Seperti
anti-dsDNA,
anti-Sm
yang
negatif
tidak
menyingkirkan
diagnosis.
3.11 Derajat Berat Ringannya Penyakit
Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan LES, terutama menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan LES. Penyakit LES dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam 11
nyawa
:
26
1. Kriteria untuk dikatakan LES ringan adalah:
a. Secara klinis tenang b. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa c. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit. Contoh LES dengan manifestasi arthritis dan kulit. 2. Kriteria LES Derajat Sedang adalah:
a. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II) \ b.
Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
c.
Serositis mayor
3. Kriteria LES derajat berat dan dapat membahayakan jiwa:
a.
Jantung:
endokarditis
Libman-Sacks,
vaskulitis
arteri
koronaria,
miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna. b.
Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
c.
Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
d.
Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
e.
Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister ).
f.
Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
g.
Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3), trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia, trombosis vena atau arteri.
3.12 Penatalaksanaan LES Secara Umum
Edukasi12 Penyuluhan diperhatikan
dan
intervensi
psikososial
sangat
penting
dalam penatalaksanaan penderita LES, terutama pada
penderita yang baru terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan membentuk
27
kelompok penderita yang bertemu secara berkala untuk membicarakan masalah penyakitnya. Pada umumnya, penderita LES mengalami fotosensitivitas sehingga penderita harus selalu diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari. Mereka dinasihatkan untuk selalu menggunakan krim pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau payung bila akan berjalan di siang hari. Pekerja di kantor juga harus dilindungi terhadap sinar matahari dari jendela. Selain itu, penderita LES juga harus menghindari rokok. Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus selalu diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksik, penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di kulit dan mukosa. Profilaksis antibiotika harus dipertimbangkan pada penderita LES yang akan menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasif lainnya. Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama penderita dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obatobat yang merupakan kontraindikasi untuk kehamilan, misalnya antimalaria atau dapat mencetuskan eksaserbasi akut LES dan memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu, pengawasan aktifitas penyakit harus lebih ketat selama kehamilan. Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang agresif. Pada umumnya, penderita LES yang tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan lainnya.
28
Program Rehabilitasi Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan LES tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan LES dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas fisik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitas lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot .
Terapi Konservatif a) Athritis, athralgia dan myalgia
1
Arthritis, Arthralgia, dan Mialgia merupakan keluhan yang sering dijumpai pada penderita LES. Pada keluhan yang ringan dapat diberikan analgetik sederhana atau obat antiinflamasi nonsteroid. Yang harus diperhatikan pada penggunaan obat-obat ini adalah efek sampingnya agar tidak memperberat keadaan umum penderita. Efek samping terhadap sistem gastrointestinal, hepar dan ginjal haru diperhatikan, misalnya dengan memeriksa kreatinin serum secara berkala. Apabila analgetik dan obat antiinflamasi nonsteroid tidak memberikan respons yang baik, dapat dipertimbangkan pemberian obat antimalaria, misalnya hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Bila dalam waktu 6 bulan, obat ini tidak memberikan efek yang baik, harus segera distop. Pemberian klorokuin lebih dari 3 bulan atau hidroksiklorokuin lebih dari 6 bulan memerlukan evaluasi oftalmologik, karena obat ini mempunyai efek toksik terhadap
29
retina. Pada beberapa penderita yang tidak menunjukkan respons adekuat dengan analgetik atau obat antiinflamasi non steroid atau obat antimalaria, dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah, dengan dosis tidak lebih dari 15 mg, setiap pagi. Metotreksat
dosis
rendah
(7,5-15
mg/minggu),
juga
dapat
dipertimbangkan untuk mengatasi arthritis pada penderita LES. b) Lupus Kutaneus Sekitar
1
70%
penderita
LES
akan
mengalami
fotosensitivitas. Eksaserbasi akut LES dapat timbul bila penderita terpapar oleh sinar ultraviolet, sinar inframerah, panas dan kadangkadang juga sinar fluoresensi. Penderita fotosensitivitas harus berlindung
terhadap
paparan
sinar-sinar
tersebut
dengan
menggunakan baju pelindung, kaca jendela yang digelapkan, menghindari paparan langsung dan menggunakan sunscreen. Sebagian besar sunscreen topikal berupa krem, minyak, lotion atau gel yang mengandung PABA dan esternya, benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet A dan B. Sunscreen ini harus selalu dipakai ulang setelah mandi atau berkeringat. Glukokortikoid lokal, seperti krem, salep atau injeksi dapat dipertimbangkan pada dermatitis lupus. Pemilihan preparat topikal harus hati-hati, karena glukokortikoid topikal, terutama yang bersifat diflorinasi dapat menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi teleangiektasis dan fragilitas. Untuk kulit muka dianjurkan penggunaaan preparat steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak diflorinasi, misalnya hidrokortison. Untuk kulit badan dan lengan dapat digunakan steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya betametason valerat
dan triamsinolon
asetonid.
Untuk lesi
hipertrofik, misalnya di daerah palmar dan plantar pedis, dapat digunakan glukokortikoid topikal berkekuatan tinggi, misalnya 30
betametason
dipropionat.
Penggunaan
krem
glukokortikoid
berkekuatan tinggi harus dibatasi selama 2 minggu, untuk kemudian diganti dengan yang berkekuatan lebih rendah. Obat-obat antimalaria sangat baik untuk mengatasi lupus kutaneus, baik lupus kutaneus subakut, maupun lupus diskoid. Antimalaria mempunyai efek sunsblocking , antiinflamasi dan imunosupresan. Pada penderita yang resisten terhadap antimalaria, dapat
dipertimbangkan
pemberikan
glukokortikoid
sistemik.
Dapson dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus diskoid, vaskulitis dan lesi LES berbula. Efek toksik obat ini terhadap
sistem
hematopoetik
adalah
methemoglobinemia,
sulfhemoglobinemia, dan anemia hemolitik, yang kadang-kadang memperburuk ruam LES di kulit. 1
c) Kelelahan dan Keluhan Sistemik
Kelelahan merupakan keluhan yang sering didapatkan pada penderita LES, demikian juga penurunan berat badan dan demam. Kelelahan
juga
dapat
timbul
akibat
terapi
glukokortikoid,
sedangkan penurunan berat badan dan demam dapat juga diakibatkan oleh pemberian quinakrin. Dokter harus bersikap simpati dalam mengatasi masalah ini. Seringkali hal ini tidak memerlukan terapi spesifik, cukup menambah waktu istirahat dan mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat dapat menunjukkan peningkatan aktivitas penyakit LES dan pemberian glukokortikoid sistemik dapat dipertimbangkan. d) Serositis Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita LES dapat merupakan tanda serositis. Pada beberapa penderita, keadaan ini dapat diatasi dengan salisilat, obat antiinflamasi non-steroid, antimalaria atau glukokortikoid dosis rendah (15 mg/hari). Pada keadaan yang berat, harus diberikan glukokortikoid sistemik untuk mengontrol penyakitnya 31
Terapi Agresif 12
a) Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan LES. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, kortikosteroid tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi. Dosis kortikosteroid
yang
digunakan
juga
bervariasi.
Untuk
meminimalkan masalah interpretasi dari pembagian ini maka dilakukanlah
standarisasi
berdasarkan
patofisiologi
dan
farmakokinetiknya. Pembagian
dosis
kortikosteroid
membantu
dalam
menatalaksana kasus rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada LES yang relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk LES yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral. Pulse terapi kortikosteroid digunakan untuk penyakit rematik yang mengancam nyawa, induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini ini biasanya diberikan intravena dengan dosis 0,5-1 gram metilprednisolon diberikan selama 3 hari berturut-turut.
Tabel 2. Terminologi Pembagian Kortikosteroid Dosis rendah
< 7.5 mg prednison atau setara perhari
Dosis sedang
>7.5 mg, tetapi < 30 mg prednison atau setara perhari
Dosis tinggi
>30 mg, tetapi < 100 mg prednison atau setara perhari
Dosis sangat
>100 mg prednison atau setara perhari
tinggi Terapi pulse
>250 mg prednison atau setara perhari untuk 1 hari atau beberapa hari
32
b) Sparing Agen Kortikosteroid Istilah
ini
digunakan
untuk
obat
yang
diberikan
untukmemudahkan menurunkan dosis kortikosteroid dan berfungsi juga mengontrol penyakit dasarnya. Obat yang sering digunakan sebagai sparing
agent ini
adalah
siklofosfamid,
azatioprin,
siklosporin dan metrotrexate. 1
1) Siklofosfamid , Indikasi siklofosfamid pada LES :
Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis tinggi ( steroid sparing agent ).
Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi.
Penderita LES kambuh yang telah diterapi dengan steroid jangka lama atau berulang.
Glomerulonefritis difus awal.
LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid.
Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin serum tanpa adanya faktor-faktor ekstrarenal lainnya.
LES dengan manifestasi susunan saraf pusat. Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 150 ml
NaCl 0,9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam setelah pemberian obat, banyak digunakan secara luas pada terapi LES. Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara bertahap dengan memperhatikan aktifitas lupusnya. Pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/m2. Setelah pemberian siklofosfamid, jumlah leukosit darah harus dipantau. Bila jumlah leukosit mencapai 1500/ml, maka dosis siklofosfamid berikutnya diturunkan 25%. Kegagalan
33
menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis siklofosfamid yang tidak adekuat sehingga dosisnya harus ditingkatkan
10%
pada
pemberian
berikutnya.
Toksisitas
siklofosfamid meliputi mual dan muntah, alopesia, sistitis hemoragika, keganasan kulit, penekanan fungsi ovarium dan azoospermia. 1
2) Azatioprin
Azatioprin merupakan analog purin yang dapat digunakan sebagai alternatif terhadap siklofosfamid dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari dan diberikan secara per oral. Obat ini dapat diberikan selama 6-12 bulan pada penderita LES, setelah penyakitnya dapat dikontrol dan dosis steroid sudah seminimal mungkin, maka dosis azatioprin juga dapat diturunkan perlahan dan dihentikan setelah penyakitnya betul-betul terkontrol dengan baik. Toksisitas
azatioprin
meliputi
penekanan
sistem
hemopoetik, peningkatan enzim hati dan mencetuskan keganasan . 3) Siklosporin
1
Imunosupresan pengobatan
LES
lain
adalah
yang
dapat
Siklosporin
digunakan dosis
rendah
untuk (3-6
mg/kgBB/hari). Obat ini dapat digunakan pada LES baik tanpa manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa. Selama pemberian harus diperhatikan tekanan darah penderita dan kadar kreatinin darah. Bila kadar kreatinin darah meningkat 20% dari kadar kreatinin darah sebelum pemberian siklosporin, maka dosisnya harus diturunkan.
34
Algoritma penatalaksanaan LES dapat dilihat dibawah ini
Keterangan : TR
: Tidak respon
CYC
: Siklofosfamid
RS
: Respon sebagian
AZA
: Azatioprin
RP
: Respon penuh
MP
: Metilprednisolon
OAINS
: Obat anti inflamasi non steroid
NPSLE: Neuropsikiatri SLE
KS
: Kortikosteroid setara prednison
35
3.13 Manifestasi Anemia pada LES
Lupus Eritematosus Sistemik dapat mempengaruhi banyak organ di tubuh dan menunjukkan manifestasi klinis dan imunologis dengan spectrum yang luas. Kelainan hematologi seringkali ditemui pada SLE. Anemia dan trombositopenia, kelainan hematologi yang sering terjadi pada perjalanan penyakit pasien SLE, biasanya bukan merupakan kondisi yang fatal, namun pada beberapa pasien dapat terjadi gangguan yang berat sehingga membutuhkan manajemen yang agresif. Leukopenia juga sering terjadi, hampir selalu merupakan limfopenia, bukan granulositopenia, kondisi ini jarang
menjadi
predisposisi
terjadinya
infeksi
dan
biasanya
tidak
membutuhkan terapi. Thrombosis merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien SLE. Kriteria diagnosis SLE dari ACR pada tahun 1971 menyatakan bahwa leukopenia, trombositopenia, dan anemia hemolitik merupakan kriteria individual untuk SLE. Sementara pada revisi tahun 1982 dinyatakan bahwa kelainan hematologi dikelompokkan menjadi satu kelompok yang terdiri dari: 1) anemia hemolitik autoimun, 2) leukopenia (<4000µl pada dua kali atau lebih pemeriksaan), 3) limfopenia (<1500 µl pada dua kali atau lebih pemeriksaan) dan 4) trombositopenia (<100.000 µl tanpa pemberian obat). Pada Carolina Lupus Study, dari 265 pasien SLE yang didiagnosis antara 1995 sampai 1999, frekuensi kelainan hematologi pada diagnosis awal adalah 11% anemia hemolitik, 18% leukopenia, 21% limfopenia dan 11% trombositopenia. Anemia pada pasien SLE dapat merupakan imun dan non-imun. Anemia yang merupakan penyakit non-imun adalah anemia penyakit kronik, anemia defisiensi besi, anemia sideroblastik, anemia pada penyakit ginjal, anemia diinduksi obat, dan anemia sekunder terhadap penyakit lain (misalnya anemia sel sabit). Anemia yang diperantarai imun pada pasien SLE adalah anemia hemolitik autoimun, anemia hemolitik diinduksi obat, anemia aplastic, pure red cell aplasia, dan anemia pernisiosa. Voulgarelis dkk., pada dari 132 pasien SLE, 37.1% menderita anemia pada penyakit kronik, 35.6% anemia
36
defisiensi besi, 14.4% anemia hemolitik autoimun dan 12.9% karena penyebab lain.8
Anemia yang Tidak Diperantarai Imun Anemia pada penyakit kronik merupakan jenis anemia yang paling sering
ditemukan pada pasien SLE. Gambaran apus darah tepi menunjukkan sel-sel yang normositik atau normokrom. Konsentrasi besi serum menurun dan kapasitas pengikatan besi total tidak berubah atau sedikit rendah. Dijumpai pula penurunan saturasi besi pada transferrin. Pemeriksaan sumsum tulang memberikan hasil yang normal dengan cadangan besi yang adekuat. Anemia berkembang dengan lambat jika tidak ada komplikasi dengan factor lain, seperti perdarahan. Hitung retikulosit rendah bila dibandingkan dengan derajat anemianya. Mekanisme anemia pada penyakit kronik masih sulit dimengerti. Hasil pada beberapa penelitian pathogenesis artritis rematoid mengindikasikan bahwa banyak factor yang terlibat seperti gangguan pelepasan besi oleh system fagositik mononuclear, besi terikat dengan protein pengikat, penurunan respons eritropoietin, dan efek supresif interleukin terhadap eritropoiesis. Pengobatan anemia ini pada pasien SLE ditujukan pada proses penyakitnya, tidak dianjurkan pemberian terapi besi atau intervensi spesifik lainnya. 8
Anemia Defisiensi Besi biasanya ditemukan pada pasien SLE yang mendapat
obat anti-inflamasi non steroid (OAINS) atau mengalami menorrhagia. Ditemukan penurunan penggunaan besi. Radioaktivitas oada banyak organ berbeda dari normal, dengan peningkatan kadar radioaktivitas pada limpa dan hati. Peningkatan jumlah besi yang diabsorpsi tidak digunakan untuk sintesis hemoglobin melainkan untuk disimpan. Di lain pihak, turnover besi plasma meningkat pada sebagian besar pasien. Usia eritrosit lebih pendek tanpa adanya hemolysis. Jadi, anemia pada penyakit kronik pada pasien SLE dapat
37
menyebabkan terjadinya aktivitas sumsum tulang yang rendah, pemendekan umur eritrosit, dan mungkin uptake besi yang buruk. 8
Anemia Sel Sabit dan SLE menunjukkan manifestasi klinik yang serupa
seperti arthralgia, nyeri dada, efusi pleura, kardiomegali, nefropati, stroke, dan kejang. Pasien dengan hemoglobinopati sel sabit juga menunjukkan peningkatan prevalensi autoantibodi, termasuk ANA. Ko-eksistensi SLE dan anemia sel sabit telah dilaporkan, dan pada beberapa pasien SLE terlambat dikenali akibat manifestasi klinisnya yang serupa tersebut. Diduga bahwa abnormalitas pada jalur alternative dari komplemen pada hemoglobinopati sel sabit dapat menjadi predisposisi untuk menjadi kelainan kompleks imun, termasuk SLE. Namun tidak ada bukti bahwa SLE lebih sering ditemukan pada pasien dengan hemoglobinopati sel sabit. 8
Anemia Diperantarai Imun Anemia Hemolitik Autoimun. Anemia hemolitik autoimun (AIHA)
merupakan penyebab anemia pada 5-19% pasien SLE. Beberapa sindrom klinik terjadi, masing-masing diperantarai oleh autoantibodi (IgG atau IgM) yang berbeda yang menyerang sel darah merah. Akibatnya, sel darah merah lebih cepat dirusak sehingga jumlah berkurang di sirkulasi. Anemia hemolitik autoimun biasanya berkembang secara bertahap pada sebagian besar pasien, namun terkadang dapat juga berkembang cepat sehingga terjadi krisis hemolitik yang progresif. 8 Anemia hemolitik autoimun dapat dihubungkan dengan adanya antibody antikardiolipin, atau dapat menjadi bagian dari sindrom antifosfolipid, yang mana dihubungkan dengan adanya antibody antifosfolipid, thrombosis, trombositopenia, dan keguguran berulang. Voulgarelis juga melaporkan adanya antibody anti-dsDNA pada hampir semua pasien dengan AIHA. Adanya AIHA juga diperkirakan dapat mengidentifikasi subkelompok khusus dari pasien SLE karena adanya hubungan beberapa karakteristik serologic tersebut dengan manifestasi klinik. Kelly dkk melaporkan bahwa terdapat
38
bukti yang kuat keterlibatan gen rentan SLE, SLEH1, pada kelompok keluarga Afro-Amerika yang mempunyai paling tidak satu anggota keluarga dengan SLE dengan anemia hemolitik. 8 Kriteria ACR tidak mendefinisikan derajat keparahan anemia hemolitik. Anemia hemolitik yang berat (didefinisikan sebagai hemoglobin <8 gr/dl, tes Coomb positif, retikulositosis, dan penurunan hemoglobin 3 g/dl sejak pemeriksaan terakhir)
mempunyai hubungan yang bermakna dengan
keterlibatan organ sistemik lainnya yaitu ginjal dan susunan saraf pusat. 8
GEJALA DAN TANDA Lemas, mudah capek, sesak napas adalah gejala yang sering dikeluhkan oleh penderita anemia hemolitik. Tanda klinis yang sering dilihat adalah konjungtiva pucat, sklera berwarna kekuningan, splenomegaly, urin berwarna merah gelap. Tanda laboratorium yang dijumpai adalah anemia normositik, retikulositosis, peningkatan lactate dehydrogenase, peningkatan serum haptaglobulin, dan Direct Antiglobulin Test menunjukkan hasil positif. 8
DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis sistematis mengenai adanya rasa lelah, mudah mengantuk, sesak napas, cepatnya perlangsungan gejala, riwayat pemakaian obat, dan riwayat sakit sebelumnya. Pemeriksaan fisik didapatkan pucat, ikterik, splenomegaly, dan hemoglobinuria. Pemeriksaan fisik juga dilakukan untuk mencari kemungkinan penyakit primer yang mendasari AIHA. Pemeriksaan hematologi menunjukkan adanya kadar hemoglobin yang rendah (biasanya sekitar 7-10g/dl), MCV normal atau meningkat, bilirubin indirek yang meningkat, LDH meningkat, dan retikulositosis. Serum haptoglobin tidak secara rutin dilakukan di Indonesia. Morfologi darah tepi menunjukkan adanya proses fragmentasi pada eritrosit (sferosit, okistosit, helmet cell dan retikulosit). Direct Antiglobulin Test menunjukkan hasil positif pada AIHA. 8
39
BAB IV ANALISIS KASUS
Penegakkan diagnosis SLE manifestasi AIHA pada pasien ini didapat dari data identifikasi pasien, anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada data identifikasi pasien, pasien berjenis kelamin perempuan
dan
berusia 22 tahun dengan usia pertama kali didiagnosis SLE adalah 18 tahun, yang sesuai dengan epidemiologi dari systemic lupus eritematous (SLE) pada sebuah penelitian di RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta yaitu 71% pasien didiagnosa SLE pada usia ≥ 18 tahun, 19% pasien pada usia 12 -18 tahun, dan 10% pada usia ≤ 11 tahun. Pada penelitian tersebut juga didapatkan 94,6% pasien berjenis kelamin perempuan dan 5,4% pasien berjenis kelamin laki-laki. * Berdasarkan jenis kelamin dan usia pasien dapat menjadi faktor risiko untuk kejadian penyakit SLE pada kasus ini. Penegakan diagnosis pada pasien ini berdasarkan kriteria menurut The America Rheumatism Association (ARA) yang telah dimodifikasi pada tahun 1997, pada pasien ini ditemukan beberapa kriteria yang memenuhi, yaitu: 1. Arthritis 2. Gangguan hematologi (anemia) 3. Gangguan immunologic (Anti- dsDNA positif) 4. Anti Nuclear Antibody (ANA test positif) Pada pasien ini telah ditemukan 4 kriteria dari 11 kriteria berdasarkan ARA sehingga diagnosis systemic lupus eritematous (SLE) sudah bisa ditegakkan dengan sensitifitas 95%. 9 Penegakkan diagnosis anemia hemolitik autoimun (AIHA) pada pasien ini berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan gejala anemia yaitu badan lemas, mudah lelah saat beraktifitas, wajah terlihat pucat, pandangan berkunang-kunang dan pusing (lihgtheadedness), pada pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva pucat dan palmar dan plantar pucat, dan pada hasil laboratorium kadar hemoglobin pasien
40
4,6 g/dL, kadar eritrosit 0,48x10 6/mm3, dan hematokrit 6% serta tidak ditemukan peningkatan pada kadar leukosit dan trombosit, dari semua temuan tersebut maka disimpulkan bahwa pasien ini mengalami anemia. Pasien ini sebelumnya telah terdiagnosis penyakit SLE yang merupakan penyakit autoimun sehingga memiliki kemungkinan besar mengalami anemia hemolitik autoimun sehingga pada pasien ini disarankan pemeriksaan retikulosit, bilirubin indirek, dan
Coomb’s Test Direct
dan Indirect untuk menegakkan diagnosis anemia hemolitik autoimun. 3 Pada anamnesis pasien mengaku telah mengalami gejala yang sama tiap tahun sejak didiagnosis mengalami SLE dan mendapatkan transfusi dari ± 4 kantong dan berdasarkan hasil laboratorium terdahulu didapatkan peningkatan retikulosit serta hasil
Coomb’s Test Direct dan Indirect positif.
Berdasarkan hal tersebut, pasien
ini didiagnosis mengalami anemia hemolitik autoimun. Jadi berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien pada kasus ini didiagnosis dengan SLE manifestasi AIHA. Tatalaksana yang dilakukan adalah pemberian kortokosteroid (metil prednisolon), siklosporin (sandimmun) sebagai steroid sparing agent , dan transfusi darah WE (Washed Eritrocyte). Metil prednisolon dosis tinggi diberikan selama tiga hari berturut-turut karena pada kasus ini merupakan SLE derajat berat atau mengancam jiwa dan serta diberikan tambahan obat imunosupresan siklosporin (sandimmun) untuk memberikan hasil pengobatan yang lebih baik. Untuk melihat respons terapi , dilakukan pemantauan terhadap kadar hemoglobin, eritrosit, dan hematokrit untuk melihat respons terapi. Bila ada respons terhadap steroid, dosis diturunkan tiap 1-2 minggu hingga dosis rendah-sedang lalu dipertahankan pada dosis tersebut untuk mengkontrol aktivitas penyakit. 5 Transfusi darah diberikan karena pada kasus ini karena kadar hemoglobin 4,6 g/dL dan terjadi proses hemolitik eritrosit akibat autoimun sehingga untuk menurunkan reaksi hemolitik terhadap darah yang ditransfusi yang akan memperburuk keadaan pasien, maka diberikan darah WE (Washed Eritrocyte) yang telah dicuci dengan normal salin untuk menghilangkan plasma, menurunkan konsentrasi leukosit dan trombosit serta debris. 10 Untuk menurunkan efek iritasi kortikosteroid pada mukosa lambung serta menurunkan resiko terjadinya anemia
41
defisiensi besi, diberikan juga obat Proton Pump Inhibitor (PPI) yaitu Omeprazole. Proses hemolisis yang aktif menyebabkan peningkatan kebutuhan asam folat, maka pada kasus ini diberikan suplementasi asam folat. 11
42
DAFTAR PUSTAKA
1
Suarjana, IN. Imunopatogenesis Lupus Eritematosus Sistemik. In Setiati S, Alwi Idrus, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi VI. Interna Publishing, Jakarta, 2014: 2607-2613.
2
Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi kelima. Jakarta, 2013: Interna Publishing; 2565-2579.
3
Taroeno-Hariadi KW dan Pardjono E. Anemia Hemolitik Imun. In Setiati S, Alwi Idrus, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi VI. Interna Publishing, Jakarta, 2014: 2607-2613.
4
Luzzato L. Hemolytic Anemias and Anemia Due to Acute Blood Loss. In Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J eds. Harrison’s: Hematology and Oncology. 2 nd Ed. McGraw-Hill Education, New York, 2013: 108-126.
5
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Perhimpunan Reumatologi Indonesia, Jakarta, 2011.
6
Prabhu R, Bhaskaran R, Shenoy V, Rema G dam Sidharthan N. Clinical Characteristic and Treatment Outcomes of Primary Autoimmune Hemolytic Anemia: A Single Center Study from South India. Blood Research. Juni 2016; 51(2): 88-94.
7
Rajabto W, Atmakusuma D, dan Setiati S. Profil Pasien Anemia Hemolitik Autoimun (AHAI) dan Respon Pengobatan Pasca Terapi Kortikosteroid di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 2016 Desember; 3(4): 206-211.
8
Djoerban Z. Kelainan Hematologi pada Lupus Eritematosus Sistemik. In Setiati S, Alwi Idrus, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi VI. Interna Publishing, Jakarta, 2014: 3392-3396.
43