BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang kronik dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh yang bersifat kronik, sistemik, dan penyebabnya tidak diketahui. SLE adalah salah satu kelompok penyakit jaringan ikat difus yang etiologinya tidak diketahui. SLE SLE ditandai dengan autoantibodi dalam sirkulasi terhadap asam deoksiribonukleat (DNA). Kelompok ini meliputi SLE, skleroderma, polimiositis, arthritis rheumatoid, dan sindrom Sjogren. Gangguan- gangguan ini seringkali memiliki gejala yang saling tumpang tindih satu dengan yang lainnya dan dapat tampil secara bersamaan, sehingga diagnosis menjadi semakin sulit untuk ditegakkan secara akurat. SLE dapat bervariasi dari suatu gangguan ringan sampai suatu gangguan yang bersifat fulminan dan mematikan. Namun demikian, keadaan yang paling sering ditemukan adalah keadaan eksaserbasi atau hampir remisi yang berlangsung untuk waktu yang lama. Diagnosis SLE dipastikan dari hasil tes yang positif terhadap faktor antinuklear (ANA) (suatu uji skrining yang berguna) dan uji yang lebih spesifik untuk antibodi anti-DNA. Lupus sering disebut sebagai ―the ― the great imitator” atau ―the ―the great mimicker” karena gejala klinisnya yang mirip dengan banyak penyakit lain, terutama jika ruam malar tidak ditemukan pada wajah. American College of Rheumatology (ACR) telah menyimpulkan suatu kriteria diagnosis berdasarkan pola gejala klinis yang sering muncul pada penderita lupus, diantaranya ruam malar, demam, nyeri sendi, fotosensitifitas, dan lainnya. Lupus yang didiagnosis pada usia sebelum 16 tahun atau lupus pediatrik mencapai 10% sampai 20% dari seluruh kasus SLE, dengan usia saat diagnosis paling sering saat 12 sampai 16 tahun. Insidens lupus pediatrik pediatrik adalah 0.36 sampai 0.9 per 100 000 anak per tahun dan prevalensi mencapai 3.3 sampai 24 per 100 000 anak. Seperti halnya pada dewasa, lupus pediatrik juga predominan pada perempuan, sekitar 80% penderita adalah perempuan. Insiden tahunan SLE di
1
Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan rasio gender wanita dan laki-laki antara 9-14:1. Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010. Menurut hasil penelitian Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ), pada tahun 2009 saja, di RS Hasan Sadikin Bandung sudah terdapat 350 orang yang terkena SLE ( sistemic lupus erythematosus). erythematosus). Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE. Manifestasi klinis dari SLE bermacammacam meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit, hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata, trombosis, dan kematian janin. SLE merupakan penyakit yang sulit didiagnosis karena penyakit ini tidak berkembang sekaligus, tetapi secara perlahan-lahan menyerang organ vital, gejalanya hilang dan timbul dalm waktu lama sehingga akhirnya bisa diidentifikasi sebagai penyakit SLE. Tujuan penatalaksanaan pada penderita SLE adalah untuk meningkatkan keadaan umum penderita, mengontrol lesi yang ada, mengurangi bekas luka, dan untuk mencegah pertumbuhan lesi lebih lanjut. Penderita lupus juga perlu mengetahui kemungkinan adanya manifestasi sistemik yang berisiko serius, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium secara reguler. Pengobatan sesuai standar medis meliputi pemberian kortikosteroid dan antimalaria. Dukungan psikologis merupakan kebutuhan utama bagi pasien SLE.
2
BAB II STATUS PEDIATRIK
I.
IDENTIFIKASI
a. Nama
: Adelia Veronika
b. Umur
: 14 tahun (13-11-2002)
c. Jenis Kelamin
: laki-laki
d. Nama Ayah
: Heri
e. Nama Ibu
: Apriyanti
f. Bangsa
: Sumatera Selatan
g. Alamat
: Desa Teluk Limau, Kecamatan Gelumbang, Kab. Muara Enim
h. Dikirim oleh
:
i. MRS Tanggal
: 29 Agustus 2017
II. ANAMNESIS
Tanggal
: 30 Agustus 2017
Diberikan oleh
: Ibu kandung dan Adik Ibu (yang mengasuh)
A. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
1. Keluhan utama
: Nyeri pada sendi
2. Keluhan tambahan
: demam
3. Riwayat perjalanan penyakit : Sejak ± 1 bulan yang lalu, penderita mengeluh nyeri pada panggul, lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan, hingga jari-jari tangan, nyeri hilang timbul terutama di pagi hari, bengkak dan kemerahan pada sendi
(+) hilang sendiri, demam (+) yang hilang
timbul terutama pada malam hari lalu penderita meminum obat parasetamol ketika demam, riwayat trauma (-), sesak nafas (-), rasa berdebar-debar (-), (-) , timbul benjolan pada kulit (-), (-) , pandangan kabur (-
3
), rambut rontok (+) kurang kurang lebih 20 helai sehari, timbul kemerahan di wajah saat terkena sinar matahari (+), bercak kemerahan pada ujung jari kaki (+). sariawan yang hilang timbul (+), BAB dan BAK tidak ada keluhan . Penderita berobat ke dokter umum, penderita lupa diberi obat apa, tetapi keluhan tidak ti dak berkurang. ±1
harisebelum
datang
ke
rumah
sakit
penderita
mengeluhnyerisendi di kedua tungkai yang semakin berat hingga sulit digerakkan. Demam (+), sariawan berulang di langit-langit mulut (+), rambut rontok (+), batuk (-), pilek (-), sesak (-). Penurunan nafsu makan (+), penurunan berat badan perlahan (+) terlihat dari baju yang semakin longgar, dan badan semakin lemas penderita lalu dibawa ke IGD RSMH. B. RIWAYAT SEBELUM MASUK RUMAH SAKIT
1. Riwayat Penyakit yang pernah diderita Riwayat keluhan yang sama sebelumnya disangkal
2. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran G1P1A0
Masa kehamilan
: 37 minggu
Partus
: spontan
Tempat
: klinik bidan
Ditolong oleh
: bidan
Tanggal
: 13 November 2002
BB
: 3.300 gram
PB
: 49 cm
Lingkar Kepala
: ibu lupa
Keadaan saat lahir
: langsung menangis
3. Riwayat Makanan
ASI
: 0-6 bulan 4
Susu botol
: 6 bulan
Bubur nasi
: ibu lupa
Nasi tim/lembek
: ibu lupa
Nasi biasa
: ±2 tahun - sekarang
Daging
: kadang-kadang (1 bulan sekali)
Tempe
: ± 1 potong
Tahu
: ± 1 potong
Sayuran
: 3x sehari setiap makan
Buah
: ± 3x seminggu
Lain-lain
:-
Kesan
: kualitas dan kuantitas cukup
4. Riwayat Imunisasi IMUNISASI DASAR
BCG
DPT 1
DPT 2
DPT 3
Hepatitis B 1
Hepatitis B 2
Hepatitis B 3
Hib 1
Hib 2
Hib 3
Polio 1
Polio 2
Polio 3
Campak
Polio 4
Kesan : imunisasi dasar lengkap
5. Riwayat Keluarga
Perkawinan
Ibu
Ayah
pertama
pertama
SMA
SMA
Umur Pendidikan
Penyakit yang pernah diderita
5
6. Riwayat Perkembangan
Gigi pertama : ibu lupa
Berbalik
: ibu lupa
Tengkurap
: ibu lupa
Merangkak
: ibu lupa
Duduk
: ibu lupa
Berdiri
: ibu lupa
Berjalan
: ibu lupa
Berbicara
: ibu lupa
Sekarang
: anak sulit berjalanakibat nyeri sendi, anak menjadi
jarang olahraga, bermain dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.
Kesan
: riwayat perkembangan sebelum pasien sakit
normal (menurut ibu)
7. Riwayat Perkembangan Mental
Isap jempol
:-
Ngompol
:-
Sering mimpi : -
Aktivitas
Membangkang : -
Ketakutan
:-
Kesan
: perkembangan mental secara umum baik, hanya
: menjadi berkurang semenjak sakit
saja anak menjadi malas bergerak karena nyeri sendi
8. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita
Riwayat infeksi (-)
6
III. PEMERIKSAAN FISIK A. Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan umum
: tampak sakit sedang
Kesadaran
: compos mentis
BB
: 44 kg
TB
: 165 cm
Status gizi BB/U
: persentil 25- 50
PB/U
: persentil 50 - 75
BB/PB
: 74 %
Lingkar kepala
: 51 cm
Edema (-), sianosis (-), dispnue (-), anemia (-), ikterus (-), dismorfik (-) Suhu
: 36,7 oC
Respirasi
: 23x/menit
Tekanan darah
: 110/70 mmHg
Nadi
: 100 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Kulit
: tidak tampak kelainan
Pemeriksaan Fisik Khusus: KEPALA :
Mata
: edema palpebra (-), konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), refleks cahaya (+/+)
Mulut
: kelainan kongenital (-), sianosis (-), bibir pucat (-), ulserasi (+) di palatum mole
Gigi
: Gigi geligi lengkap
Lidah
: papil atropi (-), glositis (-)
Faring
: hiperemis (-)
Tonsil
: normal, hiperemis (-)
LEHER Inspeksi
: tidak tampak massa, tidak ada lesi
7
Palpasi
: pembesaran KGB (-)
AXILLA Tidak teraba massa
THORAX Inspeksi
: warna kulit normal, simetris kiri dan kanan, retraksi (-), venektasi (-)
Palpasi
: nyeri tekan (-), strem fremitus kanan=kiri, ictus cordis (), thrill (-)
PARU Perkusi
: sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi
: vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
JANTUNG Perkusi
: batas jantung dalam batas normal
Auskultasi
: bunyi jantung I-II (+) normal, murmur (-), gallop (-)
ABDOMEN Inspeksi
: datar, massa (-), pelebaran pembuluh darah (-)
Palpasi
: nyeri tekan (-)
Perkusi
: timpani (+)
Auskultasi
: bising usus (+) normal
HEPAR Tidak teraba
LIEN Tidak teraba
8
GINJAL Ballotement (-), nyeri ketok (-)
EKSTREMITAS Inspeksi Bentuk
: edema(-), koilinikia (-)
Deformitas
: tidak ada
Edema
: ada
Atrofi
: tidak ada
Pergerakan
: kurang
Tremor
: tidak ada
Chorea
: tidak ada
Akral
: hangat
Palpasi Nyeri tekan
: tidak ada
Fraktur/krepitasi: tidak ada Edema
: non pitting, di ekstremitas inferior
INGUINAL Hernia (-), lesi (-) Kelenjar getah bening : normal GENITALIA Tidak diperiksa
Pemeriksaan Neurologis
Fungsi motorik
Pemeriksaan
Tungkai
Tungkai Kiri
Kanan
Gerakan
luas
luas
9
Lengan
Lengan
Kanan
Kiri
luas
Luas
Kekuatan
5
5
5
5
Tonus
eutoni
eutoni
eutoni
Eutoni
Klonus
-
-
-
-
Reflek fisiologis
normal
normal
normal
Normal
Reflek patologis
-
-
-
-
Fungsi sensorik
: Dalam batas normal
Fungsi nervi craniales
: Dalam batas normal
GRM
: Kaku kuduk tidak ada
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah rutin (29 Agustus 2017) Jenis Pemeriksaan
Hasil
Nilai Rujukan
Hemoglobin(Hb)
7,6
11,3-14,1 gr%
Eritrosit (RBC)
2,95
4,40 – 4,48. 10 6 /mm3
Leukosit (WBC)
2,0
4,5 – 13,5. 10 3 /mm3
Hematokrit (Ht)
24
37 - 41%
Trombosit (PLT)
169
217 – 497.103 /µL
MCV
79,7
85-95 fl
MCH
26
28-32 pg
MCHC
32
33-35 g/dl
RDW-CV
22,70
LED
11-15 %
56
< 20 mm/jam
Basofil
0
0 – 1
Eosinofil
2
1 – 6
Netrofil
37
50 – 70
Limfosit
53
20 – 40
Hitung Jenis
10
Monosit
12
2 – 8
Retikulosit
2,6
0,5-1,5
SGOT
141
0-38 mg/dl
SGPT
87
0-41 mg/dl
49
16,6-48,5 mg/dl
0,83
0,24-0.41 mg/dl
Ca
8,1
8,4-10,4 mg/dl
Na
142
135-155 mEq/l
K
4,5
3,5-5,5 mEq/l
C3
3,00
90-180 mg/dl
C4
2,00
10-40
Rf
Negatif
Negatif
> 1/3200
Negatif : < 1/100
Hati
GINJAL
Ureum Kreatinin Elektrolit
Lupus
Ana Test
Moderate : 1/100 Positif kuat : > 1/100 Anti ds-DNA
1526,19
Negatif : 0-200 Equivocal : 201-300 Positif sedang : 301-800 Positif kuat : >= 801
IV. RESUME
Sejak ± 2 bulan yang lalu, penderita mengeluh nyeri pada panggul, lutut, pergelangan kaki, nyeri hilang timbul hingga sulit digerakkan terutama di pagi hari. Nyeri sendi juga dirasakan di siku dan pergelangan tangan, dan jari-jari tangan hinggga sulit untuk menggenggam, demam (+) hilang timbul terutama pada malam hari, lalu penderita meminum obat parasetamol ketika demam, riwayat trauma (-), sesak nafas (-), rasa berdebar-debar (-), timbul benjolan pada
11
kulit (-), pandangan kabur (-), rambut rontok (+) kurang lebih 20 helai sehari, timbul kemerahan di wajah saat terkena sinar matahari (+), sariawan yang hilang timbul (+), BAB dan BAK tidak ada keluhan. Penurunan nafsu makan (+), penurunan berat badan perlahan (+). Penderita berobat ke dokter umum, penderita lupa diberi obat apa, tetapi keluhan tidak berkurang. Riwayat
imunisasi
dasar
lengkap,
riwayat
kelahiran
baik,
riwayat
perkembangan fisik dan mental baik. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit ringan, tanda-tanda vital dalam batas normal. Ekstremitas akral hangat, edema di tungkai kiri. Paru dan jantung dalam batas normal. Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan Hb 7,6 g%, eritrosit 2,95 x106/mm3, leukosit 2,0 x10 3/mm3, hematokrit 24 %, trombosit 169 x10 3/µL, LED 56 mm/jam, hitung jenis 0/2/37/53/12, retikulosit 2,6 %, SGOT 141 mg/dl, SGPT 87 mg/dl, ureum 49 mg/dl, kreatinin 0,83 mg/dl, Ca 8,1 mg/dl, Na 142 mEq/l, K 4,5 mEq/l, C3 3,00 mg/dL, rf (-).
V. DAFTAR MASALAH
-
Nyeri dan kaku pada sendi
-
Demam
VI. DIAGNOSIS BANDING
Lupus eritematosus sistemik
Juvenil Rheumatoid Artritis
Demam Rematik
VII. DIAGNOSIS KERJA
Lupus Eritematosus Sistemik
VIII. TATALAKSANA
a. Pemeriksaan Anjuran Darah perifer lengkap
12
Pemeriksaan CRP, ANA, anti-DNA, ant-Sm, Antiphospholipid Ab dan rheumatoid factor b. Terapi - Parasetamol (tablet 500mg) bila suhu >38,5 0 - Cefixim tab 3 x 100 mg per oral - Vitamin Neurobion tablet 1x sehari - Metilprednisolon 16 mg 3x sehari. c. Diet Hindari makanan berlemak dan berminyak d. Monitoring 1. Tanda vital 2. Keterlibatan sendi lain 3. Kontraktur dan keterbatasan gerak e. Edukasi Mengedukasi keluarga untuk memberikan obat secara teratur kepada penderita. Mengedukasi mengenai cara-cara latihan pergerakan yang dapat dilakukan di rumah
IX. PROGNOSIS
Qua ad vitam
: dubia ad bonam
Qua ad functionam
: dubia
Qua ad sanationam
: dubia ad bonam
X. FOLLOW UP Tanggal 31 Agustus 2016
S : Nyeri sendi (+), demam (+), pucat (+) O: KU= Sens: CM KS : Kepala Leher
: NCH (-), CA (-), SI (-), Malar Rash (+), Alopesia (+) : t.a.k
13
Thorax : Cor Pulmo
: BJ I/II (+) N, m (-), g (-)
: Vesikular (+) N, wh (-), rh(-)
Abdomen: Datar, lemas, BU (+) N Extremitas: CRT <3’’ Hb 7,6 g%, eritrosit 2,95 x10 6/mm3, leukosit 2,0 x10 3/mm3, hematokrit 24 %, trombosit 169 x10 3/µL,
LED
56
mm/jam,
hitung jenis 0/2/37/53/12, retikulosit 2,6 %, SGOT 141 mg/dl, SGPT 87 mg/dl, ureum 49 mg/dl, kreatinin 0,83 mg/dl, Ca 8,1 mg/dl, Na 142 mEq/l, K 4,5 mEq/l, C3 3,00 mg/dL, rf (-).
A: SLE dd JRA + Pansitopenia ec Susp SLE P: Parasetamol 3 x1 bila perlu Antasida 3x1 Metilprednisolon 4 mg 3 kali sehari hari kedua Rencana Transfusi PRC 3x 200
Tanggal 1 September 2017
S : Nyeri sendi (+), demam (+), pucat (+) O: KU= Sens: CM KS : Kepala Leher
: NCH (-), CA (-), SI (-), Malar Rash (-), Alopesia (+) : t.a.k
Thorax : Cor Pulmo
: BJ I/II (+) N, m (-), g (-)
: Vesikular (+) N, wh (-), rh(-)
Abdomen: Datar, lemas, BU (+) N Extremitas: CRT <3’’, Vaskulitis rash (+) A: SLE dd JRA P: Parasetamol 3 x1 bila perlu Antasida 3x1 Metilprednisolon 4 mg 3 kali sehari hari ketiga 14
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Lupus eritematosus sistemik (LES) atau Systemic lupus Erythematosus (SLE) merupakan prototipe penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibody terhadap komponen- komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas. SLE terutama menyerang wanita muda dengan insiden puncak pada usia 15- 40 tahun selama masa reproduksi dengan ratio wanita dan laki- laki 5:1. Secara istilah, SLE dapat didefinisikan sebagai suatu penyakit yang bersifat episodik, multisistem dan autoimun ditandai dengan adanya proses inflamasi yang meluas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, serta munculnya antinuklear-antibodi (ANA) pada pemeriksaan penunjang, terutama antibodi untuk double-stranded DNA (dsDNA). Karena beragamnya organ yang dapat terkena, dan karena sulitnya dalam menegakkan diagnosis, SLE seringkali disebut sebagai penyakit seribu wajah (masquerader, The Great Imitators).
3.2 Etiologi
Etiologi SLE belum diketahui secara pasti, namun ada faktor predisposisi secara genetik yang dapat menyebabkan penyakit ini. Diperkirakan SLE, layaknya penyakit autoimun lain, muncul pada seseorang yang secara genetik rentan terpapar satu atau beberapa faktor pencetus yang ada di lingkungan. SLE berhubungan dengan munculnya HLA-haplotype spesifik yang diwariskan: a) allel A1, B8, DR3, dan C4a muncul umumnya pada kulit putih. b) DR2 ditemukan pada penderita SLE yang afro-amerika. Antigen HLA A11, B8 dan B35 masingmasing memliki hubungan dengan SLE. Keluarga maupun sanak saudara memiliki peningkatan insidens terhadap penyakit yang berhubungan dengan disfungsi atau disregulasi sistem imun (misal: imunodefisiensi primer, dan
15
keganasan limforetikuler), hipergammaglobulinemia, RF, ANA dan penyakit autoimun lainnya. Kelainan imunologi yang ditemukan pada SLE yaitu disfungsi sel T, produksi autoantibodi, pembentukan kompleks imun, hipokomplementemia yang akhirnya menyebabkan kerusakan jaringan sampai saat ini belum dapat dipastikan.Beberapa hal yang disepakati berperan pada SLE adalah: 1. Faktor genetik sebagai predisposisi, didukung oleh adanya beberapa fakta: - SLE ditemukan pada 70% kembar identik - Frekuensi penemuan genotipe HLA-DR3 dan DR2 meningkat - Frekuensi pasien SLE pada anggota keluarga yang lain juga meningkat 2. Faktor hormonal, didukung oleh fakta bahwa: - Pasien perempuan jauh lebih banyak, terutama pada masa pubertas dan pasca pubertas - Pada binatang percobaan, yaitu tikus NZB/W yang dibuat menderita SLE. Bila pada yang betina diberi hormon androgen, gejala lupus akan membaik. Sebaliknya pada tikus jantan akan menyebabkan gejala SLE bertambah jelek. 3. Beberapa faktor pencetus yang dilaporkan menyebabkan kambuhnya SLE adalah stress fisik maupun mental, infeksi, paparan ultraviolet dan obat-obatan. Banyak obat2 telah dilaporkan dapat memicu SLE. Namun, lebih dari 90% nya terjadi sebagai efek samping dari salah satu dari obat-obat berikut: hydralazine (digunakan untuk hipertensi), metildopa, penisilamin, isoniazid, klorpromazin, dan lain-lain. Obatobatan ini diketahui menstimulasi sistem imun dan menyebabkan SLE. Untungnya, SLE yang dipicu obat-obatan jarang (kurang dari 5% dari seluruh pasien SLE) dan biasanya membaik jika obat-obat tersebut dihentikan
16
4. Virus sebagai penyebab SLE pernah mendapat perhatian besar oleh karena ditemukan struktur retikular intrasitoplasma yang menyerupai agregat intrasel miksovirus. Tetapi ternyata kemudian dibantah dan sampai sekarang masih tetap dianggap tidak ada bukti nyata virus sebagai etiologi.
3.3 Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi SLE di berbagai Negara sangat bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi yang berbeda-beda bervariasi antara 2,9/100.000400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, Cina dan mungkin juga Filipina. Terdapat juga tendensi familial. Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Kejadian lupus jarang pada anak usia sekolah, namun frekuensinya meningkat pada remaja. SLE terjadi pada 6 dari 1.000.000 orang dibawah umur 15 tahun, dengan 17% orang dengan SLE muncul gejala pada usia kurang dari 16 tahun dan 3,5% diantaranya mulai pada usia kurang dari 10 tahun. Pada individu dibawah 20 tahun, sekitar 73% didiagnosis SLE pada umur lebih dari 10 tahun. Ini membuat SLE dikelompokkan sebagai penyakit pada usia remaja. Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan frekuensi pada pria berkisar antara (5,5-9): 1. Pada lupus eritematosus yang disebabkan obat (drug induced LE), rasio ini lebih rendah, yaitu 3:2. Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien yang dirawat di rumah sakit. Dari 3 peneliti di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta yang melakukan penelitian pada periode yang berbeda diperoleh data sebagai berikut: antara tahun 1969- 1970 ditemukan 5 kasus SLE (Ismail Ali); selama periode 5 tahun (1972- 1976) ditemukan 1 kasus LES dari setiap 666 kasus yang dirawat (insidensi sebesar 15 per 10.000 perawatan); antara tahun 1988- 1990 (3 tahun) insidensi rata- rata ialah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan. Ketiganya menggunakan kriteria yang berbeda- beda, yaitu berturut- turut criteria Dubois, kriteria pendahuluan ARA, dan kriteria ARA yang telah diperbaiki.
17
3.4
Patogenesis
SLE adalah penyakit autoimun yang mengenai multipel organ. Kadangkadang, yang menonjol hanya satu organ tubuh yang terkena, misalnya ginjal pada nefritis lupus, tetapi lambat laun organ-organ lain akan menyusul. Gambaran klinis yang ditemukan terjadi akibat terbentuknya autoantibodi terhadap berbagai macam antigen jaringan. Autoantibodi yang paling banyak ditemukan adalah terhadap inti sel, yaitu terhadap DNA tubuh sendiri berupa anti DNA double stranded (ds-DNA), juga anti DNA single stranded (ss-DNA). Gangguan imunitas pada SLE ditandai oleh persistensi limfosit B dan T yang bersifat autoreaktif. Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan dengan autoantigen membentuk kompleks imun yang mengendap berupa depot dalam jaringan. Akibatnya akan terjadi aktivasi komplemen sehingga terjadi reaksi inflamasi yang menimbulkan lesi di tempat tersebut. Faktor keluarga yang kuat terutama pada keluarga dekat. Resiko meningkat 25-50% pada kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, diduga menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Penyakit lupus disertai oleh petanda penyakit genetik seperti defisiensi herediter komplemen (seperti C1q, C1r, C1s, C4 dan C2) dan imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor imunopatogenik yang berperan dalam SLE bersifat multipel, kompleks dan interaktif. Jumlah sel B meningkat pada pasien dengan lupus yang aktif dan menghasilkan peningkatan kadar antibodi dan hipergamaglobulinemia. Jumlah sel B yang memproduksi IgG di darah perifer berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Aktivasi sel B poliklonal disebabkan oleh antigen eksogen, antigen yang merangsang proliferasi sel B atau abnormalitas intrinsik dari sel B. Antibodi IgG anti-dsDNA dengan afinitas tinggi juga merupakan karakteristik, yang disebabkan oleh hipermutasi somatik selama aktivasi sel B poliklonal yang diinduksi oleh faktor lingkungan seperti virus atau bakteri. Selain memproduksi autoantibodi, sel B juga mempengaruhi presentasi antigen dan respon diferensiasi sel Th. Gangguan pengaturan produksi autoantibodi disebabkan gangguan fungsi CD8+, natural killer cell dan inefisiensi
18
jaringan idiotip-antiidiotip. Imunoglobulin mempunyai struktur tertentu pada bagian determinan antigenik yang disebut idiotip, yang mampu merangsang respons pembentukan antibodi antiidiotip. Sebagai respons tubuh terhadap peningkatan kadar idiotip maka akan dibentuk antiidiotip yang bersifat spesifik terhadap berbagai jenis struktur determin antigen sesuai dengan jenis idiotip yang ada. Secara teoritis mungkin saja salah satu dari antiidiotip mempunyai sifat spesifik antigen diri hingga dengan pembentukan berbagai antiidiotip dapat timbul aktivitas autoimun. Persistensi antigen dan antibodi dalam bentuk kompleks imun juga
disebabkan
oleh
pembersihan
yang
kurang
optimal
dari
sistem
retikuloendotelial. Hal ini disebabkan antara lain oleh kapasitas sistem retikuloendotelial dalam membersihkan kompleks interaksi antara autoantibodi dan antigen yang terlalu banyak. Dengan adanya kadar autoantibodi yang tinggi, pengaturan produksi yang terganggu dan mekanisme pembersihan kompleks imun yang terganggu akan menyebabkan kerusakan jaringan oleh kompleks imun. Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling sering dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer anti-DNA mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit lupus. Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan karena
dapat
berinteraksi
dengan
substansi
antikoagulasi,
diantaranya
antiprotrombinase (antibodi terhadap glikoprotein trombosit), sehingga dapat terjadi trombositopenia, dan trombosis disertai perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat berperan sebagai penyebab vaskulitis.
19
Kompleks imun menyebabkan lesi inflamasi melalui aktivasi kaskade komplemen. Akibatnya terdapat faktor kemotaktik (C3a, C5a), adanya granulosit dan makrofag sehingga terjadi inflamasi, seperti vaskulitis. Beberapa faktor terlibat dalam deposit kompleks imun pada SLE, antara lain banyaknya antigen, respon autoantibodi yang berlebih dan penurunan pembersihan kompleks imun karena inefisiensi atau kelelahan sistem retikuloendotelial. Penurunan fungsi ini dapat disebabkan oleh penurunan reseptor komplemen CR1 pada permukaan sel. Pada lupus nefritis, lesi ginjal mungkin terjadi karena mekanisme pertahanan di daerah membran basal glomerulus, yaitu ikatan langsung antara antibodi dengan membran basal glomerulus, tanpa intervensi kompleks imun. Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen merupakan karakteristik pada SLE. Anak-anak dengan SLE juga mempunyai kadar hormon FSH ( Follicle-stimulating hormone), LH ( Luteinizing hormone) dan prolaktin yang meningkat. Pada perempuan dengan SLE, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan estriol. Frekuensi SLE juga meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan menghambat perkembangan penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka kematian penderita jantan.
3.5 Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang muncul pada anak tidaklah sama dengan pada dewasa. Penyakit ini seringkali diawali dengan gejala yang samar-samar, seperti demam, fatigue, dan kehilangan berat badan. Lupus yang dimulai pada masa anak-anak biasanya secara klinis lebih berat. Pada penyakit yang sudah lanjut dan berbulan bulan sampai tahunan barulah menunjukkan manifestasi klinis yang lebih spesifik dan lengkap serta cenderung melibatkan multiorgan. Dua gejala yang sering muncul pada anak adalah ruam kulit dan arthritis. Ruam malar yang khas, atau disebut butterfly rash (ruam kupu-kupu) muncul akibat
adanya
sensitifitas
yang
berlebihan
terhadap
cahaya
matahari
( photosensitive) dan dapat memburuk dengan adanya infeksi virus atau stress
20
emosional. Ruam ini tidak sakit dan tidak gatal. Jumlah ruam menjadi sedikit pada lipatan nasolabial dan kelopak mata. Ruam lain biasanya muncul pada telapak tangan, serta telapak kaki. Ruam malar dapat sembuh sempurna tanpa parut dengan terapi. Mungkin terdapat ulkus pada membran mukosa. Rambut dapat berubah menjadi lebih kering dan rapuh, bahkan sampai alopesia. Arthritis seringkali muncul, dan dapat berlanjut menjadi pembengkakan sendi jari-jari tangan atau kaki. Manifestasi kulit didapatkan pada lupus diskoid dan biasanya dapat menyebabkan parut. Pada lupus diskoid, hanya kulit yang terlibat. Ruam kulit pada lupus diskoid sering ditemukan pada wajah dan kulit kepala. Biasanya berwarna merah dan mempunyai tepi lebih tinggi. Ruam ini biasanya tidak sakit dan tidak gatal, tetapi parutnya dapat menyebabkan kerontokan rambut permanen. 5%-10% pasien dengan lupus diskoid bisa menjadi SLE.
Gambar 1: Butterfly rash (ruam kupu-kupu / malar rash) pada anak dengan lupus
Gambar 2: Ruam pada lupus diskoid
21
Manifestasi
klinis
lain
adalah
petekie
dan
perdarahan
karena
trombositopenia. Pada anak mungkin tidak ada gejala sistemik lain selain itu, dan biasanya didiagnosis sebagai Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP). Kelainan neurologis dapat pula ditemukan pada sebagian anak. Umumnya gejala berupa nyeri kepala yang tidak spesifik. Akhir-akhir ini, khorea lebih umum ditemukan sebagai manifestasi klinis dari SLE daripada demam reumatik. Ensefalopati, myelitis atau polineuropati jarang ditemukan. Fenomena Raynaud sering ditemukan pada anak dengan lupus, biasanya dihubungkan dengan krioglobulin. Diagnosis SLE biasanya mulai dipertimbangkan pada seorang anak dengan sakit lebih dari satu minggu yang tidak diketahui sebabnya. Umumnya anak didiagnosis dengan ’suspect infeksi virus’ sebelum akhirnya diagnosis lupus ditegakkan, walaupun sangat sedikit infeksi virus yang gejalanya lebih dari seminggu, dan kebanyakan infeksi lain biasanya sudah dapat ditentukan sebabnya dalam minggu pertama. Anak dengan demam dan kehilangan berat badan seringkali dipikirkan adanya keganasan atau penyakit inflamasi kronis lain (misal: Crohn disease, atau vaskulitis sistemik). Tabel 1: Manifestasi klinis SLE
Keadaan umum
Mudah lelah Demam dan malaise Penurunan berat badan Limfadenopati
Kulit
Ruam kupu-kupu dengan fotosensitifitas Alopesia Lesi diskoid Lesi pada kuku Lupus tumidus Lupus kutaneus subakut Purpura vaskulitis
Muskuloskeletal
Arthritis / arthralgia non-erosif Tenosinovitis
22
Miopati Nekrosis avaskular
Sistem Pencernaan
Ulserasi oral dan nasal Anoreksia, penurunan berat badan, nyeri perut difus Dismotilitas esofagus Kolitis Hepato-splenomegali Pankreatitis Protein losing enteropathy / sindrom malabsorbsi
Kardiovaskuler
Fenomena Raynaud Perikarditis Lesi valvular Lesi vaskulitik Trombophlebitis Kelainan konduksi jantung Miokarditis Endokarditis Libman-Sacks Accelerated coronary artery disease Gangren perifer
Sistem Pernapasan
Pleuritis, efusi pleura Subklinis (hanya kelainan pada tes fungsi paru) Pneumonitis, infiltrat pulmoner, atelektasis Perdarahan Paru menyusut (disfungsi diafragma) Pneumotoraks
Sistem Persarafan
Migrain Depresi / cemas Psikosis organik Kejang Neuropati saraf pusat dan saraf tepi Khorea Kelainan serebrovaskular
Sistem Penglihatan
Retinopati, cotton wool spots Papiloedema
23
Ginjal
Glomerulonefritis Hipertensi Gagal ginjal
Hematologi
Anemia hemolitik dengan Coomb’s positif Trombositopenia Sindrom antifosfolipid
Endokrin
Hipo / hipertiroidism
Diagnosis lupus sering hampir dapat dipastikan pada keadaan lupus yang berat. Pada kasus yang lebih ringan, seringkali dokter kesulitan untuk menegakkan diagnosis. American College of Rheumatology (ACR) membuat kriteria untuk klasifikasi SLE.Jika didapatkan 4 dari 11 kriteria diatas kapanpun dalam masa observasi penyakit, diagnosis SLE dapat dibuat dengan sensitivitas 96% dan spesifisitas 96%. Tabel 2: Kriteria ACR ( American College of Rheumatology) Revisi 1997,
untuk Klasifikasi Lupus Eritematosus Sistemik Ruam malar (butterfly rash) Ruam diskoid-lupus Fotosensitif Ulkus pada oral atau nasal Arthritis non-erosif Nefritis Proteinuria >0,5 g/hari Silinder selular Ensefalopati Kejang Psikosis Pleuritis atau perikarditis
24
Kelainan hematologi Anemia hemolitik Leukopenia Limfopenia Trombositopenia Pemeriksaan imunoserologis positif Antibodi terhadap dsDNA Antibodi terhadap Smith nuclear antigen Antibodi antifosfolipid (+), berdasarkan: Antibodi IgG atau IgM antikardiolipin Lupus antikoagulan Positif palsu pada tes serologis untuk sifilis dalam waktu 6 bulan Tes antinuklear antibodi (ANA) positif
3.6 Bentuk-bentuk Lupus 3.6.1 Nefritis Lupus
Lebih dari 80% anak denganlupusmemiliki bukti adanya keterlibatan ginjal pada suatu masa dalam penyakitnya. Bahkan bila pada semua pasien lupus dilakukan
pemeriksaan
biopsi
ginjal
dan
diperiksa
dengan
mikroskop
imunofloresensi akan ditemukan kelainan pada hampir semua kasus meskipun pada pemeriksaan urinalisisnya belum ada kelainan ( silent NL). Gambaran klinis pasien nefritis lupus sangat bervariasi karena kelainan patologi anatomik ginjal pada NL dapat mengenai berbagai struktur parenkim ginjal, yaitu glomerulus, tubulus dan pembuluh darah. Mulai dari tanpa kelainan pada urinalisis, atau hanya edema, proteinuria/hematuria ringan sampai gambaran klinis yang berat yaitu sindrom nefrotik, glomerulonefritis yang disertai penurunan fungsi ginjal yang progresif, atau hipertensi yang dapat disertai ensefalopati hipertensif.
3.6.2 Lupus Diskoid
Sebesar 2 sampai 3% lupus diskoid terjadi pada usia dibawah 15 tahun. Lesi kulit diskoid pada pasien anak terdiri dari bercak eritema yang menimbul dengan
25
adherent keratotic scaling dan follicular plugging , pada lesi lama dapat terjadi parut atrofi dan banyak muncul pada kulit yang sering terkena sinar matahari, sebagaimana halnya pada pasien dewasa. Lesi diskoid sering menyebabkan timbulnya jaringan parut dan dapat kambuh kembali jika pasien terpapar sinar ultraviolet. Sekitar 7% lupus diskoid akan menjadi SLE dalam waktu 5 tahun. Walaupun belum ada penelitian yang menyebutkan lupus diskoid dapat berkembang menjadi SLE pada anak, namun presentasi lupus diskoid pada anak yang cukup jarang harus mendapatkan perhatian dari dokter yang merawat. Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan leukopeni ringan. Bukti klinis dan laboratoris lain yang menunjukkan adanya penyakit sistemik penting untuk memantau progresifitas penyakit ini menjadi SLE.
3.6.3 Sistem Saraf Pusat
Gejala SSP muncul pada 20 – 30% pada anak dan dewasa dengan SLE, dan dapat melibatkan gejala-gejala neurologis atau psikiatrik. Tidak seperti manifestasi penyakit lain, keterlibatan SSP dapat terlihat di tahun pertama penyakit pada 75-85% pasien yang akan berkembang menjadi penyakit SSP. Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan memori. Gejala neuropsikiatrik ada pada 33 – 60% pasien SLE dewasa dengan kelainan SSP. Resiko pada wanita delapan kali lebih besar daripada pria, dan resiko tertinggi ada pada wanita kulit hitam. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk menyingkirkan ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik. Disarankan untuk mengkonsultasikan hal ini dengan ahli psikiatri. Secara klinis, ada banyak kemiripan SLE dengan gejala SSP pada anak dan dewasa. Diantaranya psikosis, depresi, organic brain syndrome, dan disfungsi kognitif. Gangguan motorik (khorea) lebih sering pada anak, mungkin berhubungan dengan adanya antibodi anti-fosfolipid. Nyeri kepala juga sering menjadi gelaja dari SLE namun penyebab nyeri kepala lain juga tidak kalah banyaknya. Nyeri kepala ini harus dibuktikan bukan berasal dari kelainan
26
intrakranial, biasanya disebabkan oleh trombosis vena serebralis dan hipertensi intrakranial. Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, konfirmasi dengan CT Scan perlu dilakukan.
3.6.4 Arthritis Lupus
Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer, ditandai dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi. Pada lebih dari 90% pasien anak, seringkali muncul poliarthritis yang mengenai sendi-sendi besar maupun kecil. Arthritis biasanya lebih mudah untuk diterapi, dibandingkan dengan kelainan organ lain pada SLE. Tidak seperti reumatoid arthritis, arthritis SLE terasa sangat nyeri, dan nyeri yang dirasakan pasien tidak sebanding dengan temuan klinisnya yang terlihat ringan. Pemeriksaan radiologi pada sendi yang terkena, menunjukkan osteopenia tanpa adanya perubahan pada tulang sendi. Anak dengan RA sendi poliartikular beberapa tahun kemudian dapat menjadi LES.
3.6.5 Serositis Lupus (pleuritis, perikarditis)
Riwayat nyeri pleura atau terdengar pleural friction rub atau terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisik, menunjukkan adanya pleuritis pada pasien. Nyeri pleura adalah nyeri dada yang tajam, yang diperburuk oleh batuk, menarik nafas dalam dan perubahan tertentu posisi tubuh. Atau dapat pula muncul sebagai perikarditis, dibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction rub atau terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisik.
3.6.6 Fenomena Raynaud
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan aktivasi komplemen lokal.
27
3.6.7 Gangguan Darah
Terdapat salah satu diantara kelainan darah ini: 1) Anemia hemolitik dengan retikulositosis, 2) Leukopenia < 4000/mm 3 pada > 1 pemeriksaan, 3) Limfopenia < 1500/mm3 pada > 2 pemeriksaan, 4) Trombositopenia < 100.000/mm 3 tanpa adanya intervensi obat.
3.7 Penegakkan Diagnosis
Diagnosis LES, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium. American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1982, mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi SLE, dimana bila didapatkan 4 kriteria, maka diagnosis SLE dapat ditegakkan. Kriteria tersebut adalah (Sudoyo, 2006) : 1. Ruam malar 2. Ruam diskoid 3. Fotosensitivitas 4. Ulserasi di mulut atau nasofaring 5. Arthritis 6. Serositis, yaitu pleuritis atau perikarditis 7. Kelainan ginjal, yaitu proteinuria persisten > 0,5 gr/hari, atau adanya silinder sel 8. Kelainan neurologik, yaitu kejang- kejang atau psikosis 9. Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik, atau lekopenia atau limfopenia atau trombositopenia. 10. Kelainan imunologik, yaitu sel LE positif atau anti DNA positif, atau anti Sm positif atau tes serologik untuk sifilis yang positif palsu. 11. Antibodi antinuklear (antinuclear antibody, ANA) Kecurigaan akan penyakit LES bila dijumpai 2 (dua) atau lebih keterlibatan organ di bawah ini, yaitu: 1. Jender wanita pada rentang usia reproduksi 2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat badan.
28
3. Muskuloskeletal: Artritis, artralgia, miositis 4. Kulit: ruam kupu- kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, LES membrane mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, dan vaskulitis. 5. Ginjal: Hematuria, proteinuria, cetakan, sindrom nefrotik 6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen 7. Paru- paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, LES parenkim paru 8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis 9. Retikulo-endotel:
organomegali
(limfadenopati,
splenomegali,
hepatomegali). 10. Hematologi: anemia, leucopenia, dan trombositopenia. 11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindrom otak organic, mielitis transversa, neuropati kranial dan perifer.
Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik Kriteria
Batasan
Eritema menetap, datar atau menonjol, pada malar eminence dan Ruam malar
lipat nasolabial Bercak eritema menonjol dengan gambaran LES keratotik dan
Ruam diskoid
sumbatan folikular. Pada LES lanjut dapat ditemukan parut atrofik Ruam kulit yang disebabkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter
Fotosensitifitas
pemeriksa. Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh
Ulkus mulut
dokter pemeriksa
Arthritis
Melibatkan 2 atau lebih sendi perifer ditandai oleh rasa nyeri,
non
29
erosif
bengkak dan efusi a.
Pleuritis- riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang
didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi pleura, atau b. Pleuritis
atau
Perikarditis, bukti rekaman EKG atau pericardial friction rub
yang didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi perikardial
perikarditis a.
A. proteinuria menetap > 0,5 gram per hari atau > +3 atau
b.
Cetakan selular- berupa eritrosit, hemoglobin, granular,
tubular, atau Gangguan
Gabungan
renal a.
Kejang- tanpa disebabkan oleh obat- obatan atau gangguan
metabolic, misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit atau b.
Psikosis, tanpa disebabkan oleh obat- obatan atau gangguan
metabolic, misalnya uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan Gangguan
elektrolit
neurologi
Gangguan
a.
Anemia hemolitik dengan retikulosis atau
b.
Leucopenia < 4000/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau
c.
Limfopenia < 1500/mm3 pada 2 kali pemeriksaan
d.
Trombositopenia < 100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-
obatan
hematologik
30
a.
Anti DNA: antibody terhadap native DNA dengan titer yang
abnormal atau b.
Anti Sm: terdapatnya antibody terhadap antigen nuclear Sm
atau c.
Temuan positif
terhadap antibodi
antifosfolipid
yang
didasarkan atas: 1. Kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM 2. Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metode standart atau 3. Hasil tes positif palsu paling tidak selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponema Pallidum Gangguan
atau tes fluororesensi absorbs antibody treponemal.
imunologik Antibodi
Titer abnormal dari antibodi antinuclear berdasarkan pemeriksaan
antunuklear
imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun
positif (ANA)
waktu perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat.
Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu.
3.8 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang Minimal Lain yang Diperlukan untuk Diagnosis dan Monitoring (IRA, 2011) 1. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED) 2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin urin. 3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, pro• il lipid) 4. PT, APTT pada sindroma antifosfolipid 5. Serologi ANA§, anti-dsDNA†, komplemen †(C3,C4)) 6. Foto polos thorax
31
pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring. * Setiap 3-6 bulan bila stabil † Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif. ANA,
antibodi
antinuklear;
PT/PTT, protrombin
time/partial
tromboplastin time. Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE.
3.9
Penatalaksanaan
Prinsip
tatalaksana
SLE
adalah
remisi,
menyelamatkan
organ,
menyelamatkan pasien, mencegah komplikasi, dan meningkatkan kualitas hidup. Penyakit SLE adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan relaps. Terapi suportif tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua dan anak penting dalam merencanakan program terapi yang akan dilakukan. Edukasi dan konseling memerlukan tim ahli yang berpengalaman dalam menangani penyakit multisistem pada anak dan remaja, dan harus meliputi ahli reumatologi anak, perawat, petugas sosial dan psikologis. Nefrologis perlu dilibatkan pada awal penyakit untuk pengamatan yang optimal terhadap komplikasi ginjal. Demikian pula keterlibatan dermatologis dan nutrisionis juga diperlukan. Perpindahan terapi ke masa dewasa harus direncanakan sejak remaja. 1. Kortikosteroid
Prednison hampir selalu menjadi pilihan dalam penatalaksanaan SLE. Meskipun efek samping jangka panjang kortikosteroid banyak, obat ini dianggap yang
terbaik
untuk
nefritis
lupus
dan
SLE
pada
umumnya.
Harus
dipertimbangkan pada anak, bahwa efek samping kortikosteroid jangan sampai lebih buruk daripada penyakitnya itu sendiri. Hal ini dapat menyebabkan anak menjadi tidak mau melanjutkan terapi yang dijalaninya.Pemberian awal kortikosteroid dimulai dari dosis tinggi, yaitu 2 mg/kgBB/hari atau 60 mg/m 2/hari (maksimum 80 mg/hari) dan diturunkan secara bertahap, bila terdapat perbaikan gejala penyakit, proteinuria, fungsi ginjal, normalisasi komplemen darah, dan penurunan titer anti ds-DNA. Penurunan dosis berlangsung selama 4-6 minggu.
32
Dosis prednison diturunkan secara bertahap sampai 5-10 mg/hari atau 0,1-0,2 mg/kgBB dan dipertahankan selama 4-6 minggu. Bila tidak terjadi relaps, pemberian steroid diuah manjadi selang sehari dan diberikan pada pagi hari. Bila timbul relaps, dosis dinaikkan lagi menjadi 2 mg/kgBB/hari. Efek samping yang paling mengganggu pada usia remaja terutama adalah peningkatan berat badan. Penggunaan dosis rendah harian kortikosteroid dengan dosis tinggi intermitten intravena disertai suplementasi vitamin D dan kalsium bisa mempertahankan densitas mineral tulang. Fraktur patologis jarang terjadi pada anak SLE. Resiko fraktur bisa dicegah dengan intake kalsium dan program exercise yang lebih baik. Melalui program alternate, efek samping steroid pada pertumbuhan bisa dikurangi. Sebelum menetapkan efek obat, penyebab endokrin seperti tiroiditis dan defisiensi hormon pertumbuhan harus dieksklusi. Nekrosis avaskuler bisa terjadi pada 10-15% pasien LES anak yang mendapat steroid dosis tinggi dan jangka panjang. Pada beberapa anak, pota tidur dapat terganggukarena pengaruh kortikosteroid. Sebagian anak menjadi lebih hiperaktif, moody, dan sulit memulai tidur. Hal ini dapat diatasi dengan memberikan kortikosteroid malam hari lebih awal. Beberapa anak dengan terapi kostikosteroid dosis tinggi mengalami peningkatan dalam frekuensi BAK malam hari sehingga sulit untuk memulai tidur kembali. Jika ada efek negatif seperti ini, dosis kortikosteroid dapat disesuaikan.
2.
Hidroklorokuin
Hidroklorokuin mulai diberikan sebagai terapi standar, digunakan pada lupus derajat sedang atau sebagai kombinasi dengan obat lain pada lupus yang berat. Ada beberapa studi menunjukkan pemakaian obat ini secara berkala dapat menurunkan resiko kekambuhan penyakit. Hidroklorokuin juga memiliki efek pada lipid plasma dan dapat menurunkan resiko komplikasi kadriovaksular. Pemakaian jangka panjang hidroklorokuin dapat menyebabkan retinopati, namun resiko ini dapar diminimalisasi dengan mengatur pemberian tidak lebih dari 6 mg/kgBB/hari.
33
3.
Asam asetilsalisilat dan obat-obat AINS
Asetil salisilat dosis rendah (3-5 mg/kgBB/hari) dapat digunakan sebagai profilaksis episode trombositopeni. Biasanya digunakan pada anak dengan antibodi antifosfolipid yang tinggi dan/atau anak dengan lupus antikoagulan.Anti inflamasi non steroid (AINS) digunakan untuk gejala dan tanda pada muskuloskeletal, yang dapat menjadi parah secara tiba-tiba pada anak dengan terapi kortikosteroid dosis sedang atau tinggi. AINS juga dapat mengobati serositis.
4.
Obat-obatan Imunosupresif
Pengobatan dengan agen imunosupresan (sitostatik) dipakai dalam kombinasi dengan kortikosteroid. Obat yang paling sering dipakai adalah siklofosfamid dan azatioprin.Indikasi pemakaian obat sitostatik adalah: - Bila dengan kortikosteroid hasil yang didapat tidak memuaskan untuk mengontrol penyakit - Bila timbul efek samping pada penggunaan kortikosteroid, misalnya hipertensi - Bila NL berat yaitu NL proliferatif difus, sejak awal diberikan kombinasi kortikosteroid dan sitostatik. Biasanya obat sitistatik diberikan secara oral, tetapi akhir-akhir ini dilaporkan penggunaan sitistatik secara parenteral yaitu siklofosfamid dengan cara pulse terapi yaitu dengan memberi bolus intravena 0,5-1 gram/m 2 secara infus selama 1 jam. Pada hari pemberian infus anak dianjurkan sering kencing untuk mencegah timbulnya komplikasi sistitis hemoragik. Lehman dkk (1989) melaporkan hasil baik dengan pemberian pulse siklofosfamid sekali sebulan selama 6-12 bulan dengan hasil perbaikan fungsi ginjal pada NL proliferasi difus. Dosis yang dipakai adalah 500 mg/m 2 pada bulan pertama, 750 mg/m2 pada bulan kedua dan selanjutnya 1 gram/m 2 (dosis maksimal 40 mg/kgBB). Pada pasien dengan kelainan fungsi ginjal atau hepar hanya dipakai dosis 500 mg/m 2. Bila jumlah leukosit <2000/m2 dosis tidak boleh dinaikkan, dan bila <1000/m2 dosis diturunkan 125 mg/m2.
34
3.10
Monitoring Perjalanan Penyakit
Memonitor SLE tidaklah mudah. Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan kesemuanya harus diperhitungkan sebelum keputusan terapi dilakukan. Pemeriksaan laboratorium sangat penting dan sebaiknya dikerjakan secara rutin. Pemeriksaan laboratorium termasuk: hematologi, ESR (erytrocyte sedimentation rate), C3, C4, anti ds-DNA (kuantitatif), SGOT, SGPT, LDH, albumin, kreatinin, dan urinalisis. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setiap 2-4 minggu sekali saat mulai terdiagnosis, sampai 2 bulan sekali ketika penyakit sudah dapat dikontrol. Ada beberapa skor yang bertujuan mengontrol penyakit. Beberapa diantaranya adalah SLE Disease Activity Index (SLEDAI), Lupus Activity Index (LAI), the European Consensus Lupus Activity Measurement (ECLAM), Systemic Lupus Activity Measure (SLAM) dan British Isles Lupus Assessment Group (BILAG). Skor-skor ini sensitif pada perubahan perjalanan penyakit. 1. Proteksi Terhadap Matahari
Pajanan pada sinar matahari atau sumber lain yang ada sinar ultraviolet (terutama UV-A atau UV-B) dapat menyebabkan kekambuhan ruam pada lupus dan juga gejala sistemik seperti nyeri sendi dan fatigue. bisa juga menyebabkan serangan pertama. Jadi, untuk menghindari pajanan yang terus menerus dengan sinar UV, setiap pasien atau siapapun juga harus menggunakan topi atau krim tabir surya. Pasien yang menggunakan krim tabir surya secara rutin (SPF 15 atau yang lebih besar) memiliki resiko lebih rendah untuk terkena lupus nefritis, trombositopenia, dan membutuhkan lebih sedikit dosis siklofosfamid. Setiap anak dengan SLE sebaiknya selalu menggunakan krim tabir surya setiap hari pada seluruh kulitnya yang terpajan sinar matahari (kecuali telinga) tidak hanya pada siang hari, karena awan tidak dapat menghilangkan sinar UV.
35
2. Imunisasi
Anak dengan SLE memiliki resiko tinggi terkena infeksi bakteri dan virus. Pada anak-anak ini seharusnya dilakukan semua jenis imunisasi yang diwajibkan namun tidak boleh yang mengandung vaksin hidup. -
Vaksin cacar (varicella) dianjurkan untuk semua anak yang belum pernah terinfeksi virus varicella-zoster. Termasuk kedalam vaksin hidup (live vaccine) sehingga harus diberikan sebelum terapi dengan kortikosteroid dimulai.
-
Vaksin pneumokokus dianjurkan untuk semua anak pada saat diagnosis SLE ditegakkan, dan setiap 5 tahun. Infeksi pneumokokus yang invasif sering terjadi pada anak dengan SLE.
-
Vaksin influenza. Anak SLE yang di imunisasi dengan vaksin influenza memiliki respon antibodi yang protektif, walaupun jumlahnya lebih sedikit dari anak yang normal.
-
Vaksin Haemophilus influenza (Hib) dan meningokokus dianjurkan pada setiap anak dengan SLE.
3. Diet dan Olahraga
Diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai. Sebenarnya tidak ada diet khusus untuk pasien SLE, namun karena adanya kenaikan berat badan akibat penggunaan obat glukokortikoid, maka perlu dihindari makanan junk food atau makanan mengandung tinggi sodium dan tinggi garam untuk menghindari kenaikan berat badan berlebih. Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga diperlukan untuk mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan dengan kekambuhan. 3.11 Prognosis
SLE memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal, hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Tetapi
36
belakangan ini kematian tersebut semakin menurun karena perbaikan cara pengobatan, diagnosis lebih dini, dan kemungkinan pengobatan paliatif seperti hemodialisis lebih luas. Penyebab kematian lain dapat ditimbulkan oleh efek samping pengobatan, misalnya pada penyakit ateromatosa (infark miokard, gagal jantumg, aksiden vaskular serebral iskemik) akibat kortikoterapi; atau neoplasma (kanker, hemopati) akibat pemakaian obat imunosupresan; atau oleh keadaan defisiensi imun akibat penyakit lupus. Frekuensi kejadian ini makin meningkat karena harapan hidup (survival) penderita lupus lebih panjang.Infeksi dan sepsis merupakan penyebab kematian utama pada lupus, bukan hanya akibat kortikoterapi tetapi juga karena defisiensi imun akibat penyakit lupusnya itu sendiri. Pengurangan risiko infeksi hanya dapat dilakukan dengan pencegahan terhadap semua sumber infeksi serta deteksi dini terhadap infeksi. Pada tahun 1980-1990, 5-year survival rates sebesar 83%-93%. Beberapa peneliti melaporkan bahwa 76%-85% pasien LES dapat hidup selama 10 tahun sebesar 88% dari pasien mengalami sedikitnya cacat dalam beberapa organ tubuhnya secara jangka panjang dan menetap.
37
BAB IV ANALISIS KASUS Pasien AV, 14 tahun, datang dengan keluhan utama bengkak dan nyeri pada pangkal paha, lutut, telapak kaki dan jari-jari kaki saat bangun tidur. Berdasarkan identitas usia dan keluhan yang disampaikan pasien maka beberapa kemungkinan penyakit yang dapat kita perkirakan adalah demam rematik akut, artritis pada SLE, rematoid artritis juvenil, dan keganasan, serta sebab-sebab lain yang menimbulkan artritis. Pada riwayat perjalanan penyakit didapatkan sejak ± 2 bulan yang lalu, penderita mengeluh timbul bengkak dan nyeri pada panggul, lutut, pergelangan kaki, dan pergelangan tangan, nyeri terutama pagi hari (+), kemerahan dan hangat di daerah bengkak (+) yang hilang timbul, sulit digerakkan (+). Demam (+) hilang timbul terutama pada malam hari, riwayat trauma (-), sesak nafas (-), rasa berdebar-debar (-), timbul benjolan pada kulit (-), pandangan kabur (-), rambut rontok (+) kurang lebih 20 helai sehari, timbul kemerahan di wajah saat terkena sinar matahari (+), BAB dan BAK tidak ada keluhan. Penurunan nafsu makan dan berat badan perlahan (+) sejak menderita sakit.
38
Berdasarkan tabel diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penyebab artritis oleh trauma dapat disingkirkan. Hal ini dikarenakan pada anamnesis tidak kita temukan adanya tidak adanya riwayat trauma pada pasien. Khusus pada demam rematik. Untuk kausa demam rematik, kita sudah menemukan satu gejala mayor yaitu poliartritis dan satu gejala minor yaitu artralgia sehingga dibutuhkan satu lagi gejala minor dan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya untuk menegakkan diagnosis. Akan tetapi pada pasien ini riwayat infeksi sebelumnya disangkal seperti batuk, pilek, dan gejala klinis infeksi sebelum demam disangkal. Berdasarkan riwayat perjalan penyakit penyakit penderita masih harus didiagnosis banding dengan beberapa kelainan yang masih mungkin menyerupai gambaran klinis yaitu Juvenil Rhematoid Arthritis, SLE, Demam Rematik, dan berupa keganasan lainnya. Kriteria Juvenil Rhematoid Arthritis harus minimal durasi selama 6 minggu, sedangkan pada pasien ini kurang lebih baru 1 bulan. Diagnosis keganasan pada pasien ini dicurigai dari penurunan nafsu makan dan berat badan selama penderita sakit, maka harus ditambah dengan pemeriksaan laboratorium. Pasien ini didiagnosis pertama kali harus dipikirkan adalah SLE karena dari tampilan klinis dari pasien dan harus dibuktikan dengan laboratorium untuk dibedakan dengan diagnosis banding lainnya.
( A)
(B)
(C)
Manifestasi mukokutan (A) ulserasi palatum mole, (B) vaskulitis rash pada kaki, (C) rambut rontok “alopesia”
Pada pasien ini ditemukan adanya tanda-tanda yang mengarah pada SLE, sebab pasienmemiliki gejala rambut rontok, sering sariawan, ruam yang timbul
39
karena sensitif terhadap sinar matarari, meskipun masih harus dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium.
Systemic Lupus International Collaborating Clinics merupakan kriteria untuk menegakkan diagnosis SLE, yaitu harus didapatkan 4 kriteria paling sedikit satu dari kriteria klinis dan 1 dari kriteria imunologis. Pada pasien ini didapatkan manifestasi klinis yaitu akut kutaneus lupus berupa kemerahan pada wajah ketika terkena sinar matahari, dan vaskulitic rash on toes. Oral ulserasi yang berupa sariawan di langit-langit. Radang pada lebih dari 2 sendi yang didapat dari keluhan utama berupa nyeri pada sendi. Gejala renal belum dapat ditemukan tetapi diduga sudah ada gangguan ginjal dari peningkatan ureum dan kreatinin pada pasien ini yaitu ureum 49 mg/dl, dan kreatinin 0,83 mg/dl. Leukopenia dan Trombositopenia, dan anemia hemolitik juga terbukti dari hasil laboratorium. Kriteria imunologis pada pasien ini didapatkan ANA test > 1/3200 dan Anti dsDNA 1526,19 yang positif kuat. Sehingga suatu penyakit autoimun sudah dapat ditegakkan. Pasien ini ditatalaksana dengan pendekatan non farmakologis berupa menginformasikan kondisi penderita kepada orang tua, mengedukasi keluarga mengenai prognosis penyakit, mengajarkan penderita untuk melatih motorik di
40
rumah. Etiologi autoimun juga perlu dijelaskan agar pasien dan keluarga dapat mengerti betapa sulitnya kondisi ini diatasi dan dicegah. Secara farmakologis pasien ini ditatalaksana dengan pemberiaan terapi simtomatik parasetamol 3 kali sehari bila demam, dan metilprednisolon 16 mg 3 kali sehari sebagai imunosupresan.
41
DAFTAR PUSTAKA Akib AAP, Soepriadi M, Setiabudiawan B. Lupus eritematosus sistemik. Dalam: Akib AAP, Munasir Z, Kurniati N. Buku Ajar Alergi-imunologi Anak. Edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit IDAI.2008.h.345-72 Alatas, Husein, dkk. 2004. Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bailey T, Rowley K, Bernknopf A. A review of systemic lupus erythematosus and current treatment options. Formulary.2011;46:178-9 Cassidy, Petty RE, Laxer RM. Textbook Pediatric Rheumatology. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2010 Gitelman, Marisa Klein, etc. 2002. Systemic Lupus Erythematosus in Childhood . From Journal: Rheumatic Disease Clinics of North America. Published by WBS. Haftel HM. 2014. Penyakit Rematik pada Anak . Dalam: Marcdante KJ, Robert MK, Hal BJ, Richard EB. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial Edisi keenam. Singapura : Saunders Elsevier, hal. 379-382 Klein-Gitelman MS, Miller ML. Systemic lupus erythematosus. Dalam: Kliegman MR, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelpia: Saunders elsevier; 2007.h.1015-9 Kusuma, Anak Agung Ngurah Jaya. 2007. Lupus Eritematosus Sistemik pada Kehamilan. Dari: Jurnal Penyakit Dalam vol 8 no. 2. Diterbitkan oleh: Divisi Feto Maternal SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RSUP Sanglah, Denpasar. Levy DM, Kamphuis S. Systemic lupus erythematosus in children and adolescents. Pediatr Clin North Am. 2012;59(2):345-64 Malattia C, Martini A. Pediatric-onset systemic lupus erythematosus. Best Pract Res Clin Rheumatol. 2013;27:351-62 Malleson, Pete dan Jenny Tekano. 2007. Diagnosis and Management of Systemic Lupus Erythematosus in Children. From: Journal of Pediatric and Child Health 18:2. Published by Elsevier Ltd. Rudolph, Abraham M, etc. 1996. Rudolph Pediatrics. USA: Appleton & Lange. 42