Laporan Kasus
MALARIA VIVAX
Oleh :
Dina Aulia Insani
NIM. I1A002003
Pembimbing
Dr. HM. Darwin Prenggono, Sp.PD-KHOM
BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FK UNLAM – RSUD ULIN
BANJARMASIN
Juni, 2008
PENDAHULUAN
Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh sporozoa dari genus
Plasmodium, yang penularannya melalui gigitan nyamuk Anopheles. Secara
klinis ditandai dengan serangan paroksismal dan periodik, disertai anemia,
pembesaran limpa dan kadang-kadang dengan komplikasi pernisiosa seperti
ikterik, diare, black water fever, acutetubular necrosis, dan malaria
cerebral (1,2,3).
Malaria masih merupakan masalah kesehatan utama negara yang sedang
berkembang seperti di Indonesia. Dari empat spesies parasit malaria yang
menginfeksi manusia yaitu Plasmodium falciparum, plasmodium vivax,
plasmodium malariae dan plasmodium oval, dua spesies yangg pertama
merupakan penyebab lebih dari 95% kasus malaria di dunia (4).
Menurut WHO, sekitar 40% populasi dunia hidup dinegara miskin,
populasi tersebut memiliki resiko tinggi terkena malaria. Sekitar 2,5
milyar manusia beresiko dan Diperkirakan 350 – 500 juta manusia terkena
malaria setiap tahun. Kebanyakan disebabkan oleh P.falciparum dan P.vivax.
Lebih dari 1 juta manusia meninggal karena malaria (5). Malaria 90% terjadi
di Afrika. Peningkatan malaria di Afrika berkaitan dengan resistensi
pengobatan klorokuin dan sulfapiridoksin pirimetamin, resistensi terhadap
insektisida dan status sosial ekonomi. Tingkat mortalitas malaria pada
anak sekitar 1 – 2 juta setiap tahunnya (1).
Hampir separuh populasi Indonesia sebanyak lebih dari 90 juta orang
tinggal di daerah endemik malaria. Diperkirakan ada 30 juta kasus malaria
setiap tahunnya, kurang lebih hanya 10 % saja yang mendapat pengobatan di
fasilitas kesehatan. Menurut data dari fasilitas kesehatan pada 2001,
diperkirakan prevalensi malaria adalah 850,2 per 100.000 penduduk dengan
angka yang tertinggi 20% di Gorontalo, 13% di NTT dan 10% di Papua. Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 memperkirakan angka kematian
spesifik akibat malaria di Indonesia adalah 11 per 100.000 untuk laki-laki
dan 8 per 100.000 untuk perempuan. Prevalensi kasus malaria di Indonesia
atau daerah-daerah endemi malaria tidak sama, hal ini tergantung pada
prilaku spesies nyamuk yang menjadi vektor. Di Kalimantan Selatan sendiri
merupakan daerah endemis malaria. Vektor malaria yang terdapat di
Kalimantan adalah Anopheles letifer dan Anopheles balabacensis (6,7).
Diseluruh dunia, kasus malaria vivax dibandingkan jenis malaria yang
lain sekitar 70 – 80 juta per tahun (8). Menurut WHO, sekitar 40% kasus
malaria di dunia disebabkan oleh P.vivax. Kasus malaria vivax walaupun
jarang fatal tapi merupakan penyebab utama morbiditas dan mempengaruhi
ekonomi baik tingkat individu maupun nasional (9). P.vivax merupakan
spesies parasit yang paling dominan di Asia Tenggara, Eropa Timur, Asia
Utara, Amerika tengah dan Selatan (10).
Berikut ini dilaporkan sebuah kasus malaria di ruang Penyakit Dalam
Pria RSUD Ulin Banjarmasin.
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Seorang pria, Tn. M, umur 25 tahun, agama Islam, suku Banjar,
status belum kawin, pekerjaan karyawan perusahaan tambang, alamat rumah
Teluk tiram darat Gg. Family Rt. 18. Datang ke Rumah Sakit Umum Daerah
Ulin Banjarmasin pada tanggal 5 Mei 2008.
II. KELUHAN UTAMA
Panas
III. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Sejak kurang lebih sebulan yang lalu sebelum masuk rumah sakit
penderita panas tinggi. Panas tidak terus menerus sepanjang hari.
Penderita mengaku setelah panas, penderita berkeringat tapi tidak ada
menggigil. Penderita juga mengeluh badan terasa lemah dan lesu. Kadang-
kadang penderita juga merasa pusing, mual dan muntah. Selama sakit,
penderita mengaku nafsu makan berkurang. Seminggu kemudian penderita
berobat ke dokter dan diberi obat, penderita lupa nama obatnya.
Beberapa hari kemudian penderita merasa mengalami perbaikan. Namun satu
minggu setelah berobat, penderita mengalami keluhan yang serupa.
Penderita bekerja di batu licin. Penderita mengaku ada orang di
lingkungan tempat bekerja yang menderita panas, tapi penderita tidak
tahu penyakitnya.
IV. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Penderita tidak pernah menderita sakit seperti ini sebelumnya.
Tidak ada riwayat darah tinggi maupun kencing manis.
V. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Penderita menyangkal adanya penyakit yang sama pada keluarga,
tidak ada darah tinggi, maupun kencing manis.
VI. PEMERIKSAAN FISIK
"Keadaan sakit ": tampak sakit berat "
"Keadaan umum ": tampak lemah "
"Kesadaran ": kompos mentis, GCS 4 – 5 – 6 "
"Kulit ": warna sawo matang, anemis "
"Tanda vital " "
"Tekanan darah ": 100/60 mmHg "
"Nadi ": 120 kali/menit "
"Respirasi ": 26 kali/menit "
"Suhu ": 39oC "
" " "
"Kepala dan Leher " "
"Kepala ": tampak lonjong, rambut hitam "
"Mata ": konjungtiva kanan dan kiri anemis, "
" "ikterik tidak ada, refleks cahaya "
" "positif, pupil isokor, diameter pupil"
"Telinga "3 mm/3 mm "
"Hidung ": simetris, serumen minimal, sekret "
"Mulut "tidak ada "
" ": simetris, sekret tidak ada "
" ": mukosa bibir basah, anemis, tidak "
"Leher "sianosis, lidah tidak kotor dan tidak"
" "tremor, faring tidak hiperemi, tonsil"
" "tidak membesar "
"TORAKS ": JVP tidak meningkat, tidak terdapat"
"Paru "pembesaran kelenjar getah bening, "
"Inspeksi "tidak ada kaku kuduk dan tortikalis "
" " "
"Palpasi " "
"Perkusi ": bentuk normal, simetris, gerak "
"Auskultasi "napas simetris, retraksi tidak ada "
" ": fremitus raba simetris "
" ": sonor/sonor "
" ": suara napas vesikuler, ronkhi tidak"
"Jantung "ada, wheezing tidak ada "
"Inspeksi " "
" " "
"Palpasi " "
" ": iktus tidak terlihat, pulsasi tidak"
"Perkusi "ada, voussure cardiac tidak tampak "
"Auskultasi ": iktus tidak teraba dan tidak kuat "
" "angkat, thrillI tidak ada "
"ABDOMEN ": batas jantung kanan dan kiri normal"
"Inspeksi ": bunyi jantung 1 dan 2 normal, "
"Palpasi "tunggal, bising tidak ada "
" " "
" ": bentuk datar "
" ": Hepar teraba 2 cm di bawah "
"Perkusi "processus xypoideus dan 2 cm di bawah"
"Auskultasi "arcus costa "
"EKSTREMITAS "Lien teraba schuffner II "
"Atas "Massa tidak ada "
"Bawah ": redup regio hypochondria dekstra "
"TULANG BELAKANG "dan sinistra "
" ": bising usus normal "
" " "
" ": hangat, tidak ada edema, tidak ada "
" "parese "
" ": hangat, tidak ada edema, tidak ada "
" "parese "
" ": tidak ada deformitas, kifosis, "
" "maupun skoliosis "
VII. RESUME
"Nama (usia) ": Tn. M (25 tahun) "
"Jenis kelamin ": Laki-laki "
"Keluhan utama ": Panas "
"Uraian ": Sekitar 1 bulan, panas disertai "
" "berkeringat, badan terasa lemah dan "
" "lesu. Kadang-kadang pusing, mual, "
" "muntah dan nafsu makan berkurang. "
"Riwayat penyakit ": - "
"dahulu ": - "
"Riwayat penyakit ": tampak sakit berat "
"keluarga ": tampak lemah "
"Keadaan sakit ": kompos mentis, GCS 4 – 5 – 6 "
"Keadaan umum ": warna sawo matang, anemis "
"Kesadaran ": TD = 100/60 mmHg, N = 120 "
"Kulit "kali/menit, RR = 26 kali/menit, T = "
"Tanda vital "39oC "
" ": konjungtiva kanan dan kiri anemis, "
"Kepala dan leher ": tidak ada kelainan (TAK) "
"Paru ": tidak ada kelainan (TAK) "
"Jantung ": Hepatomegali dan splenomegali "
"Abdomen ": tidak ada kelainan (TAK) "
"Ekstremitas ": tidak ada kelainan (TAK) "
"Tulang belakang " "
VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
"LABORATORIUM "
"DARAH RUTIN "
"Parameter "Hasil Pemeriksaan "Nilai Normal "
" " "(Satuan) "
" "05-05-2008 "07-05-2008 " "
"Hemoglobin "5.2 "4 "14 – 18 g/dl "
"Lekosit "3.2 "3.2 "4.0 – 10.5 "
" " " "ribu/ul "
"Eritrosit "1.73 "1.35 "4.5 – 6.0 "
" " " "juta/ul "
"Hematokrit "15 "12 "40 – 50 vol% "
"Trombosit "63 "94 "150 – 450 "
" " " "ribu/ul "
"RDW-CV "19.7 "19.9 "11.5 – 14.7 % "
"MCV "86.7 "88.1 "80.0 – 97.0 fl"
"MCH "30.1 "29.6 "27.0 – 32.0 pg"
"MCHC "34.7 "33.6 "32.0 – 38.0 % "
"Basofil % "0.0 "0.3 "0.0 – 1.0 % "
"Basofil # "0.00 "0.01 "< 0.1 ribu/ul "
"KIMIA DARAH "
"GDS " "133 "70 – 120 mg/dl"
"SEROLOGI "
"Widal " " " "
"S.Typhi O "Negative " "Negative "
"S.Typhi H "Negative " "Negative "
"S.Paratyphi AO"Negative " "Negative "
"S.Paratyphi BO"Negative " "Negative "
"S.Paratyphi AH"Negative " "Negative "
"S.Paratyphi BH"Negative " "Negative "
"LEMAK DAN JANTUNG "
"Cholesterol " "90 "131 – 250 "
"total " " "mg/dl "
"Trigliserida " "132 "0 – 220 mg/dl "
" " "HATI " "
"Albumin " "3.2 "3.9 – 4.4 g/dl"
"Total protein " "6.6 "6.8 – 8.0 g/dl"
"SGOT " "19 "16 – 40 U/l "
"SGPT " "28 "8 – 45 "
" " "GINJAL " "
"Ureum " "17 "10 – 45 mg/dL "
"Kreatinin " "1.0 "0.5 – 1.7 "
" " " "mg/dL "
"MDT "
"tanggal 07 Mei 2008 "
"Eritrosit "
"Normokromik normositik "
"Anisositosis "
"Ditemukan : Plasmodium vivax stadium tropozoit muda, "
"tropozoit setengah dewasa, tropozoit dewasa, schizoit dan "
"gamet "
"Lekosit : kesan jumlah menurun, sel muda (-) "
"Trombosit : kesan jumlah menurun "
" "
"Kesimpulan : pansitopenia dengan infeksi Plasmodium vivax "
PEMBAHASAN
Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh sporozoa dari genus
Plasmodium, yang penularannya melalui gigitan nyamuk betina Anopheles. Pada
manusia terdapat 4 spesies yaitu plasmodium vivax, plasmodium falcifarum,
plasmodium malaria dan plasmodium ovale. Daur hidup keempat spesies
malaria pada manusia umumnya sama. Proses ini terdiri dari fase seksual
eksogen (sporogoni) dalam badan nyamuk Anopheles dan fase aseksual
(skizogoni) dalam badan horpes. Fase aseksual mempunyai 2 daur yaitu
skizogoni eritrosit dan skizogoni eksoeritrosit. Plasmodium vivax
menyebabkan penyakit malaria vivax (malaria tertiana). Pada infeksi
plasmodium vivax daur eksoeritrosit berlangsung terus sampai bertahun-tahun
melengkapi perjalanan penyakit yang dapat berlangsung lama (bila tidak
diobati) disertai banyak relaps (7).
Pada pasien ini berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang mengarah pada malaria.
Pada anamnesa didapatkan lebih kurang 1 bulan penderita demam,
berkeringat, pusing, muntah, tidak nafsu makan dan badan terasa lemah.
Selama perawatan pasien mengalami demam disertai menggigil pada hari
ketiga, kelima, dan ketujuh.
Masa tunas intrinsik malaria vivax biasanya berlangsung 12 – 17 hari,
tetapi beberapa strain P.vivax dapat sampai 6 – 9 bulan atau mungkin lebih
lama. Menurut Kevin S et al, masa inkubasi untuk P. vivax lebih lama
dibandingkan P.falcifarum yaitu 18 – 40 hari. Anamnesa yang sangat
mendukung diagnosis malaria pada penderita demam adalah riwayat bepergian
kedaerah endemis malaria. Tetapi tidak adanya riwayat bepergian keluar kota
tidak menyingkirkan kemungkinan terkena malaria (10). Menurut Center for
Disease Control (CDC) 2007, gejala malaria tidak spesifik, dimulai dengan
sindrom prodormal berupa demam, malaise, lemah, keluhan gastrointestinal
(mual, muntah, dan diare), gangguan neurologi, dan sakit kepala. Demam
adalah gejala yang paling sering muncul sekitar 78% - 100% tapi demam yang
periodik tidak selalu muncul (10). Menurut WHO, gejala klinis saja tidak
dapat menegakkan diagnosis malaria karena pada daerah yang endemis gejala
klinis tidak selalu muncul. Kurva demam pada permulaan penyakit tidak
teratur tetapi kemudian kurva demam menjadi teratur, yaitu dengan
periodisitas 48 jam. Serangan demam mulai jelas dengan stadium menggigil,
panas dan berkeringat. Demam dan menggigil disebabkan oleh eritrosit lisis
dan keluarnya merozoit ke sirkulasi (11).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu 39,0 oC, konjungtiva anemis,
dan hepatosplenomegali.
Menurut Kathryn N.S et al, demam pada penderita malaria sering dengan
suhu badan lebih dari 38oC (12). Anemia pada serangan pertama biasanya
belum jelas atau tidak berat, pada malaria menahun yang biasanya lebih
jelas. Malaria menyebabkan anemia hemolitik berat karena sel darah merah
diinfestasi oleh parasit Plasmodium. Mekanisme terjadinya kerusakan
eritrosit pada infeksi malaria sangat kompleks. Anemia disebabkan oleh
penghancuran eritrosit yang berlebihan, eritrosit normal tidak dapat hidup
lama, dan gangguan pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis dalam
susmsum tulang (13). Menurut Geoffrey Pasvol, indikasi transfusi pada
penderita malaria apabila Hb kurang dari 7 g/dl pada orang dewasa. Menurut
B.A Biggs, transfusi diberikan apabila hematokrit kurang dari 20%. Selama
dirawat pasien hanya mendapatkan transfusi 1 kolf. Seharusnya transfusi
sampai Hb 10 g/dl tapi pasien tidak kooperatif walaupun sudah diberikan
edukasi (14,15).
Lien pada serangan pertama mulai membesar. Sekitar 24% - 40%
splenomegali paling sering ditemukan pada pemeriksaan fisik (10). Lien
mengalami kongesti, menghitam dan menjadi keras karena timbunan pigmen
eritrosit parasit dam jaringan ikat yang bertambah. Patofisiologi
terjadinya splenomegali adalah produksi berlebih dari IgM sebagai respon
terhadap Plasmodium. Sedangkan hepatomegali, ikterik dan nyeri perut jarang
ditemukan (12).
Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis malaria yaitu pemeriksaan darah
tepi serta apusan darah tebal dan tipis. Pada pemeriksaan hematologi
menunjukkan pansitopenia dan kadar albumin rendah. Menurut Kathryn N.S et
al, pada malaria didapatkan trombositopenia pada 70% kasus, anemia pada 25%
kasus. Leukosit dapat normal atau rendah, lekositosis ditemukan kurang dari
5% kasus. Fungsi hati dapat abnormal, peningkatan transaminase ditemukan
pada 25% kasus. Peningkatan bilirubin dengan adanya peningkatan laktat
dehidrogenase yang menunjukkan adanya proses hemolisis. Pada malaria juga
bisa didapatkan hiponatremia dan peningkatan kreatinin (12). Albumin yang
rendah pada penderita malaria menunjukkan infeksi akut (14). Penelitian
Myoung-Don Oh et al disimpulkan bahwa trombositopenia sering terjadi pada
penderita malaria sekitar 85,1%. Walaupun kadar trombosit sangat rendah
tapi jarang terjadi perdarahan. Mekanisme terjadinya trombositopenia masih
belum dapat dimengerti, kemungkinan terjadi peningkatan platelet yang
berkaitan dengan stimulasi Ig G dan makrofag (16).
Hasil pemeriksaan morfologi darah tepi menunjukkan berbagai stadium
dari spesies P.vivax, yaitu stadium tropozoit muda, tropozoit setengah
dewasa, tropozoit dewasa, schizoit dan gamet. Diagnosis pasti malaria
dilakukan dengan menemukan parasit dalam darah yaitu pemeriksaan morfologi
darah tepi melalui apusan darah tepi tebal maupun tipis dengan pewarna
Giemsa. Pada morfologi darah tepi menunjukkan adanya fase aseksual dan
seksual parasit dalam darah. Pada fase aseksual, merozoit dari skizon hati
masuk ke peredaran darah menghinggapi eritrosit. Merozoit dalam eritrosit
tumbuh menjadi trofozoit muda yang berbentuk cincin, dengan pulasan giemsa
sitoplasmanya berwarna biru, inti merah mempunyai vakuol yang besar.
Eritrosit yang dihinggapi parasit mengalami perubahan yaitu menjadi besar,
berwarna pucat dan tampak titik-titik halus berwarna merah yang bentuk dan
besarnya sama disebut titik schuffner. Trofozoit muda kemudian menjadi
trofozoit dewasa yang sangat aktif sehingga sitoplasmanya tampak berbentuk
amoeboid. Setelah daur eritrosit berlangsung beberapa kali terjadi fase
seksual, merozoit yang tumbuh menjadi trofozoit dapat membentuk gametosit
(7).
Pasien ini pertama masuk didiagnosa dengan suspek leukimia. Gejala
klinis leukemia adalah panas, rasa lemah, nafsu makan kurang, anemia,
splenomegali, hepatomegali dan perdarahan. Pada pasien ini tidak terdapat
perdarahan. Setelah dilakukan pemeriksaan morfologi darah tepi ditemukan
parasit P.vivax maka diagnosa pasien ini menjadi malaria vivax.
Untuk terapi malaria pada kasus ini penderita diberi kloroquin dan
pirimetamin. Kloroquin 150 mg pada hari pertama 4 tablet dan 6 jam kemudian
dilanjutkan 2 tablet. Hari kedua dan ketiga diberikan kloroquin 2 tablet .
Primakuin 15 mg diberikan selama 14 hari. Klorokuin hanya efektif terhadap
parasit dalam fase eritrosit, sama sekali tidak efektif pada parasit di
jaringan. Efektivitasnya sangat tinggi terhadap P. falcifarum dan P.
vivax.(5) Primakuin untuk membasmi parasit pada fase aseksual. Menurut WHO
2006, yang terpenting dari pengobatan malaria adalah eradikasi parasit
sehingga dapat mencegah progresivitas menjadi malaria berat dan menurunkan
morbiditas yang berkaitan dengan kegagalan terapi. Secara umum, P.vivax
masih sensitif pada semua obat anti malaria. Kloroquin dan primakuin
merupakan obat kombinasi pilihan. Pilihan pertama rekomendasi WHO untuk
malaria vivax yaitu kloroquin 25 mg/KgBB dibagi 3 hari dikombinasikan
dengan primakuin 0,25 mg/KgBB 1 kali sehari selama 14 hari. Khusus untuk
Asia Tenggara dan Oceania dosis primakuin 0,5 mg/KgBB (5).
Pasien ini pulang atas permintaan sendiri dan dirawat hanya selama 8
hari. Sehingga sulit untuk mengevaluasi perkembangan penyakit dan
kesembuhan. Komplikasi serius pada malaria vivax sangat jarang, pada
beberapa kasus komplikasi yang serius adalah rupturnya limpa.
PENUTUP
Telah dilaporkan laporan kasus seorang penderita laki-laki (25 tahun)
dengan diagnosis malaria vivax, telah dirawat di ruang Penyakit Dalam Pria
RSUD Ulin Banjarmasin dari tanggal 5 – 12 Mei 2008 . Penderita datang
dengan keluhan badan panas disertai badan lemah, pusing, mual, muntah dan
nafsu makan yang menurun. Hasil Pemeriksaan laboratorium didapatkan
pansitopenia dan pada morfologi darah tepi ditemukan parasit P. Vivax pada
berbagai stadium. Pasien pulang atas permintaan sendiri dan dirawat hanya
selama 8 hari. Sehingga sulit untuk mengevaluasi perkembangan penyakit dan
kesembuhan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Millet JP, Ollalla PG, Santisteve PC et al. Imported malaria in a
cosmopolitan European city: a mirror image of the world epidemiological
situation. Malaria Journal 2008; 7 (56): 1-9
2. Munthe CE. Malaria serebral. Cermin dunia kedokteran 2001; 131: 5-6
3. Kawai S, Ikeda E, Sugiyama M et al. Enhancement of splenic glucose
metabolism during acute malarial infection: correlation of findings of
FDG-PET imaging with pathological changes in a primate model of sever
human malaria. Am. J. Trop. Med. Hyg 2006; 74 (3): 353 - 60
4. Umar N. Gambaran penyakit malaria di bagian anak Rumah Sakit Umum
Langsa Aceh Timur. Cermin dunia kedokteran 1994; 94: 14-15
5. WHO. Guidelines fot the treatment of malaria. 2006. Dari URL:
www.who.int
6. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 UNICEF Indonesia, 2000,
Multiple Indicator Cluster Survey Report on the Education and Health of
Mothers and Children
7. Gandahusada, Srisasi dkk. Parasitologi Kedokteran, Edisi 3. FKUI
Jakarta, 1998; 171-209
8. Rodrigues MHC, Cunha MG, Machado RLD, Ferreira OC, Rodrigues MM, Soares
IS. Serological detection of Plasmodium vivax malaria using recombinant
proteins corresponding to the 19-kDA C-terminal region of the merozoite
surface protein-I. Malaria Journal 2003; 2: 1-7
9. Leslie T, Mayan MI, Hasan MA et al. Sulfadoxine-Pyrimethamine,
Chlorpraguanil-Dapson, or Chloroquine for the treatment of plasmodium
vivax malaria in Afganistan and Pakistan: a randomized controlled
trial. JAMA 2007; 297 (20) 2201- 9
10. Griffith KS, Lewis LS, Mali S et al. Treatment of malaria in the
United States: a systemic review. JAMA 2007; 297 (20): 2264 – 77
11. CDC. Malaria. 2007. Dari URL: www.CDC.gov
12. Suh KN, Kain KC, Keystone JS. Malaria. JMAC 2004; 170 (11): 1-10
13. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. EGC Jakarta, 2000; 125-126
14. Pasvol G. The treatment of complicated and severe malaria. British
medical bulletin 2005; 75: 29 – 47
15. Biggs BA, Goller JL, Jolley D, Ringwald P. Regional differences in the
response of P.vivax malaria to primaquine as anti-relapse therapy.
Am.J.Trop.Med.Hyg 2007; 76: 203-7
16. OH MD, Shin H, Shin D et al. Clinical features of vivax malaria.
Am.J.Trop.Med.Hyg 2001; 65 (2) 145-6
17. Sukarban, S dan Zunilda. Obat Malaria Dalam Farmakologi dan Terapi
Edisi 4. Jakarta: FKUI, 1995; 545-59
LAMPIRAN