LAPORAN KASUS CARDIAC ARREST
Disusunoleh: dr. Laras Shafia Sari
Pendamping: dr. Wiwik Dewi S, MMR
PROGRAM DOKTER INTERENSIP KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH TEMANGGUNG PERIODE JUNI 2016 – MEI 2017
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
Topik : CARDIAC ARREST
Diajukan dan dipresentasikan dalam rangka praktik klinis dokter interensip sekaligus sebagai bagian dari persyaratan menyelesaikan program Interensip Dokter Indonesia di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Temanggung
Telah diperiksa dan disetujui pada tanggal ____________________
Pembimbing
dr. Wiwik Dewi S, MMR
PENDAHULUAN
Penyakit jantung dan pembuluh darah sampai saat ini masih menjadi penyebab kematian nomor satu di dunia. Diperkirakan semakin banyak orang yang meninggal karena penyakit jantung dan pembuluh darah dibandingkan dengan penyakit lainnya. Komplikasi penyakit jantung dan pemmbuluh darah yangg paling sering diketahui dan bersifat fatal adalah henti jantung mendadak. Dari survei yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 2004, diperkirakan sebanyak 17,1 juta orang, 29,1% dari jumlah kematian total, meninggal karena penyakit jantung. Dari 17,1 juta orang tersebut, diperkirakan 7,2 juta kematian disebabkan oleh penyakit jantung koroner. Di Indonesia, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Riskesdas tahun 2007, hanya disebutkan prevalensi nasional penyakit jantung sebesar 7,2% namun angka kejadian henti jantung mendadak belum didapatkan. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup, terutama jika henti jantung mendadak tersebut disaksikan, maka bantuan hidup dasar harus secepatnya dilakukan dan tindakan ini akan memberikan hasil paling baik jika dilakukan dalam waktu 5 menit pertama dengan prosedur yang tepat.
BAB II LAPORAN KASUS
2.1
2.2
Identitas Pasien
Nama
: Tn. S
Usia
: 48 tahun
No. CM
: 0229398
Alamat
: nggembyang kentengsari Candiroto, Temanggung
Status
: BPJS
Primary Survey
Anamnesis singkat
: Pasien datang diantar keluarga dengan keluhan tiba-tiba tidak sadarkan diri sejak 1 jam SMRS. Tidak mual, tidak muntah. Tidak ada riwayat kejang. Riwayat hipertensi dan jantung disangkal.
Respon kesadaran
: Respon (-) GCS E1M1V1
Circulation
: Pulsasi a.carotis (-), akral dingin (-/-) tekanan darah 30/40mmHg.
Airway
: monitoring (-), gurgling (-), stridor (-)
Breathing
: respiration rate 6 x/menit
Disabilitas
inspeksi
: pergerakan dada (-/-)
Palpasi
: tidak dilakukan
Perkusi
: tidak dilakukan
Auskultasi
: suara dasar vesikuler (-/-)
: pupil diameter 5mm/5mm, reflek cahaya (-/-) GDS : Hi
2.4
Diagnosis
Cardiac arrest
2.3
Tatalaksana
RJP 5 siklus : ventilasi bag-valve-mask 30:2 Pasang EKG monitor → asistole Pasang iv line, loading RL 500 cc RJP 5 siklus 30:2 + Epinefrin 1 amp iv Evaluasi monitor EKG : asistole, nadi tidak teraba RJP 5 siklus Evaluasi monitor EKG : asistole nadi tidak teraba RJP 5 siklus Evaluasi monitor EKG : asistole, nadi tidak teraba RJP 5 siklus + Epinefrin 1 amp iv Evaluasi monitor EKG : asistole, nadi tidak teraba RJP 5 siklus Evaluasi monitor EKG : asistole, nadi tidak teraba RJP 5 siklus Evaluasi monitor EKG : asistole, nadi tidak teraba RJP 5 siklus Evaluasi monitor EKG : asistole, nadi tidak teraba Evaluasi EKG 12 Lead : asistole Pupil dilatasi maksimal (+/+) Reflek cahaya (-/-) Pasien dinyatakan meninggal dunia dihadapan perawat dan keluarga
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1
Definisi
Henti jantung primer (cardiac arrest ) adalah ketidaksanggupan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat balik normal jika dilakukan tindakan yang tepat atau akan menyebabkan kematian dan kerusakan otak menetap jika tindakan tidak adekuat. Sebagian(80-90%) besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel tanpa denyutan.
3.2
Etiologi
Terdapat empat ritme listrik jantung yang menyebabkan terjadinya henti jantung, yaitu pulseless ventricular tachycardia (VT), ventricular fibrilation (VF), pulseless electric activity (PEA), dan asystole. Ritme-ritme jantung tersebut menyebabkan jantung tidak dapat memompa untuk membuat darah mengalir secara signifikan. Penyebab-penyebab terjadinya henti jantung yang dapat ditangani, dalam istilah bahasa Inggris disebut sebagai the H’s dan the T’s yaitu H: Hypoxia (hipoksia), hypovolemia (hipovolemik), hydrogen ion/asidosis (asidosis), hypo-/hyperkalemia, hypothermia; T: Toxins (racun), tamponade jantung, tension pneumothorax, thrombosis pulmonary, thrombosis coronary. Meski jantung berhenti, penderita belum lah dikatakan meninggal. Penderita masih memiliki harapan untuk mendapatkan kembali sirkulasi darah spontan atau yang disebut sebagai return of spontan circulation (ROSC). Namun, peluang untuk penderita mengalami ROSC akan semakin berkurang seiring dengan lama terjadinya henti jantung. Oleh karena itu, pertolongan harus segera dilakukan, yang mana setiap detik amatlah berharga.
3.3
Tanda Klinis
Henti Jantung ditandai dengan denyut nadi besar tak teraba (a.karotis, femoralis dan radialis pada dewasa dan a.brakhialis pada bayi), disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu ( gasping, apnu), terlihat seperti mati (death
like appearance), dilatasi pupil tak bereaksi dengan rangsangan cahaya (45 detik setelah henti jantung ) dan pasien berada dalam keadaan tidak sadar.2,4 3.4
Tatalaksana a.
Resusitasi Jantung Paru Siklus RJP dan pemberian ventilasi
Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan tindakan utama yang harus segera dilakukan pada pasien yang mengalami henti jantung. RJP terdiri dari kompresi dada dan pemberian ventilasi dengan rasio 30:2. Artinya adalah penolong melakukan kompresi dada sebanyak 30 kali, kemudian dilanjutkan dengan memberikan napas buatan sebanyak dua kali tiupan. Di rumah sakit, Jika sudah dilakukan pemasangan advanced airway, ventilasi tidak lagi hanya diberikan sebanyak dua kali tiap 30 kompresi dada melainkan menjadi 8-10 kali setiap menit. Jadi, pemberian ventilasi (dengan bagging ) dilakukan setiap 6 hingga 8 detik. Namun, perlu diperhatikan bahwa ventilasi tidak boleh dilakukan secara berlebihan. Pada saat RJP, perfusi sistemik dan paru berkurang sehingga hubungan perfusi-ventilasi yang normal dapat terjaga dengan ventilasi yang jauh lebih rendah daripada normal. Selain itu, pada saat pemberian ventilasi, tekanan dalam rongga dada akan meningkat sehingga aliran darah akan cenderung terhambat padahal yang sedang lebih dibutuhkan adalah terjaganya aliran darah ke organ-organ penting. Kecepatan dan Kedalaman Kompresi
Kecepatan kompresi dada yang direkomendasikan adalah setidaknya 100 kali dalam satu menit. Hindari ventilasi berlebihan, kompresi-ventilasi 30:2, prinsip lain dalam RJP adalah kedalaman yang cukup saat melakukan kompresi dada (sekitar 5 cm pada dewasa dan 3 cm pada anak), dan membiarkan dada mengalami complete recoil atau relaksasi secara sempurna setiap kali kompresi dada. Untuk kedalaman yang cukup serta efektifitas tenaga, kita tidak mengandalkan kekuatan lengan melainkan menggunakan berat badan kita dalam melakukan kompresi dada. Posisi lengan lurus, tidak boleh tertekuk. Telapak tangan kanan diletakan diatas tangan kiri. Kemudian, kita mendorong dengan badan kita dengan beban dialirkan melalui lengan kita menuju dada penderita. Interupsi Minimal
RJP tidak boleh mengalami interupsi. Berhentinya RJP secara sementara hanya boleh dilakukan saat menilai ritme jantung (dengan EKG atau monitor jantung),
melakukan shock dengan defibrilator pada kasus VT/VF, melakukan pengecekan pulsasi nadi karotis (dilakukan jika ritme jantung teratur sudah terdeteksi), atau saat
melakukan
pemasangan
advanced
airway
(alat
untuk
membantu
mempertahankan jalan napas tetap terbuka, seperti endotracheal tube atau supraglotic airway). Saat pergantian penolong (bisa karena kelelahan), interupsi harus diupayakan seminimal mungkin. b.
Defibrilasi
Pada kasus ventricular fibrilation atau pulseless ventricular tachycardia, selain menjalankan RJP yang berkualitas, terapi lain yang sudah terbukti meningkatkan survival adalah defibrilator. Oleh karena itu, pada kedua kasus tersebut, pemberian defibrilator terintegrasi dalam siklus RJP. Selain itu, meskipun pada awal pengecekan ritme didapatkan bahwa ritme jantung pasien PEA (terdapat gelombang selain VT namun pasien tidak sadar denyut nadi tidak teraba) atau asystole, defibrilator tetap perlu disiapkan karena ritme jantung dapat mengalami evolusi.
Gambar 1. Normal Synus Rhytm
Gambar 2. Ventrikel Takikardi
Gambar 3. Ventrikel Fibrilasi
Gambar 4. Asistol
3.5
Algoritma Tatalaksana Cardiac Arrest
Jika henti jantung terjadi di rumah sakit, segera setelah memulai RJP, korban diberikan oksigen dan dipasang monitor. Defibrilator segera disiapkan. Setelah monitor siap, lakukan pemeriksaan ritme jantung untuk memastikan apakah dapat dilakukan shock dengan defibrilator atau tidak. Jika tidak dapat dishock, yaitu ritme listrik jantung PEA atau asistol, RJP dilanjutkan kembali selama dua menit. Sembari melakukan RJP, jika belum dipasang, akses intravena dipasang. Pertimbangkan juga untuk melakukan pemasangan advanced airway (endotracheal tube atau supraglotic airway). Setelah dua menit RJP, lakukan kembali pengecekan ritme yang ditampilkan pada monitor. Jika tidak dapat dishock, RJP dilanjutkan. Suntik epinefrin diberikan setiap 3-5 menit. Dosis pemberian epinefrin adalah 1 mg. Namun, untuk mempermudahnya, pemberian epinefrin dapat diberikan setiap 4 menit, yaitu tiap kali dua sesi RJP dilakukan. Tatalaksana pada kasus yang tidak dapat dishock memang hanya RJP yang berkualitas ditambah dengan pemberian epinefrin. Jadi, siklus itu terus dilanjutkan sampai pasien ROSC atau memenuhi kriteria untuk tidak melanjutkan resusitasi. Jika tidak ada, epinefrin dapat diganti dengan vasopresin 40 unit. Sembari melakukan upaya resusitasi, penyebab dari henti jantung juga perlu dicari dan ditangani. Pada kondisi ritme yang dapat dishock, yaitu VT atau VF, se gera lakukan shock dengan defibrilator. Alat defibrilator memiliki dua macam jenis, yaitu bifasik dan monofasik. Pada bifasik, dosis energi yang digunakan sesuai dengan rekomendasi pembuat alat,misalnya dosis inisial 120-200 J. Jika tidak diketahui, gunakan energi maksimal yang mungkin. Jika alat monofasik, dosis yang digunakan adalah 360 J. Setelah melakukan shock dengan defibrilator, RJP dilanjutkan selama dua menit, sembari melakukan pemasangan akses intravena. Setelah dua menit, lakukan kembali pemeriksaan ritme jantung. Jika masih VT/VF, shock dengan defibrilator kembali dilakukan. Epinefrin 1 mg diberikan setiap 3-5 menit sebagaimana pada kasus PEA
atau asistol. Tiap kali shock dengan defibrilator selesai dilakukan, RJP dilanjutkan selama dua menit. Setelah tiga kali shock dengan defibrilator dilakukan korban belum ROSC, pemberian amiodarone dapat dilakukan dengan dosis 300 mg, bolus. Siklus tetap dilanjutkan sampai pasien ROSC. Setelah 2 kali shock lagi setelah pemberian amiodarone pertama, amiodarone dosis kedua dapat diberikan sebesar 150 mg, bolus. Pemberian amiodarone hanya dilakukan sebanyak dua kali itu saja. Jika tidak ada amiodarone, lidokain dapat menjadi penggantinya. Dosis inisial adalah 1-1,5 mg/kgBB IV. Jika masih VF atau pulseless VT, dapat ditambahkan dosis 0.5-0.75 mg/kgBB IV dengan interval pemberian 5-10 menit hingga dosis maksimal 3 mg/kgBB. Shock hanya dilakukan tiap kali monitor menunjukan gambaran VT at au VF. Jika ritme berubah menjadi PEA atau asistol, hanya RJP dan pemberian epinefrin saja yang dilakukan. Jika epinefrin, vasopresin dan lidokain tidak dapat diberikan secara intravena karena aksesnya tidak bisa didapatkan, pemberian dapat dilakukan melalui endotracheal tube. Dosis optimal pemberian obat melalui ETT belum diketahui secara pasti, tetapi dosis yang diberikan biasanya adalah 2-2,5 kali pemberian melalui IV. Obat terlebih dahulu dilarutkan dalam air steril atau normal saline 5-10 cc.
BAB IV PEMBAHASAN
Pasien Tn. M.B datang pukul 14.30 tidak sadar. Pada primary survey, pada pemeriksaan kesadaran tidak terdapat respon, denyut nadi carotis tidak teraba, tidak didapatkan hembusan nafasmaupun pergerakan dada, akral tidak dingin. Suara dasar vesikuler tidak ditemukan. Pasien rujukan bidan dengan keluhan nyeri dada disertai sesak menjalar ke bahu sejak pukul 13.00 WIB, menurut keterangan keluarga 15 menit sebelum masuk rumah sakit pasien mulai tidak sadar.Kemungkinan penyebab henti jantung pada kasus ini adalah terdapatnya sindroma koroner akut. Hal ini diketahui dari riwayat nyeri dada yang menjalar ke bahu disertai sesak nafas meski nyeri dada pada kasus ini tidak digambarkan secara detail. Pasien segera dilakukan resusitasi jantung paru dan ventilasi menggunakan bag-valve mask dengan aliran oksigen
liter/menit. Dilakukan RJP:ventilasi 30:2. Pasien diberikan
epinefrin 1 mg setiap 15 menit. EKG pasien ventrikel fibrilasi. Dilanjutkan RJP dan defibrilasi 360 Joule dan gelombang EKG menjadi asistol. RJ dilanjutkan kembali hingga 3 siklus dan RJ dihentikan. Pupil dilatasi maksimal, evaluasi denyut karotis dan pernafasan tetap tidak ada, akral dingin. Pasien dinyatakan meninggal. Pada kasus ini terapi sudah sesuai dengan algoritma cardiac arrest. Ketidakberhasilan resusitasi tersebut berhubungan dengan adanya jeda yang cukup lama antara awitan cardiac arrest dengan dimulainya resusitasi. Aliran darah normal yang melalui jaringan otak pada orang dewasa rata-rata sekitar 50 sampai 60 mililiter per 100 gram otak per menit. Penghentian aliran darah ke otak secara total akan menyebabkan hilangnya kesadaran dalam waktu 5 sampai 10 detik. Hal ini dapat terjadi karena tidak ada pengiriman oksigen ke sel-sel otak yang kemudian langsung menghentikan sebagian metabolismenya. Aliran darah ke otak yang terhenti untuk 3 menit dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang bersifat irreversibel.
BAB V PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Pada kasus ini penanganan henti jantung telah dilaksanakan sesuai prosedur sedangkan kegagalan tindaka dikarenakan keterlambatan dimulainya resusitasi.
5.2
Saran
Diperlukan sosialisasi mengenai resusitasi jantung paru pada masyarakat awam yang menjangkau di daerah, terutama dalam kasus ini di wilayah Kabupaten Temanggung.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Neumar RW, Otto CW, Link MS, Kronick SL, Shuster M, Callaway CW, dkk. Adult Advanced Cardiovascular Life Support: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resucitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010; 122:S729-S767