PENDAHULUAN
Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom (kumpulan gejala atau keluhan) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati (daerah lambung), kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, dan perut terasa penuh. Keluhan ini tidak selalu ada pada setiap penderita. Bahkan pada seorang penderita, keluhan tersebut dapat berganti atau bervariasi, baik dari segi jenis keluhan maupun kualitas keluhan. Jadi, dispepsia bukanlah suatu penyakit, melainkan kumpulan gejala ataupun keluhan yang harus dicari penyebabnya. Kasus dyspepsia didunia dyspepsia didunia mencapai 13-40% dari total populasi setiap set iap tahun. Hasil study menunjukakan bahwa di Eropa, Amerika Serikat dan Oscania, prevalensi dyspepsia bervariasi dyspepsia bervariasi antara 5% hingga 43% (WHO, 2010). Di Indonesia diperkirakan hampir 30% pasien yang datang ke praktek umum adalah pasien yang keluhannya berkaitan dengan kasus dispepsia. Pasien yang datang berobat ke praktek gastroenterologist terdapat 60% dengan keluhan dispepsia. Dispepsia adalah suatu istilah yang merujuk pada gejala abnormal di perut bagian atas. Istilah ini biasa pula digunakan untuk menerangkan berbagai keluhan yang dirasakan di abdomen bagian atas. Diantaranya adalah rasa nyeri ataupun rasa terbakar di daerah epigastrium (uluhati), perasaan penuh atau rasa bengkak di perut bagian atas, sering sendawa, mual ataupun rasa cepta kenyang. Dispepsia juga se ring dipakai sebagai sinonim dari gangguan pencernaan. Sebagai suatu gejala ataupun sindrom, dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, baik yang bersifat bersi fat organik maupun yang fungsional. Berdasarkan konsesus terakhir (kriteria Roma) gejala heartburn atau pirosis, yang diduga karena penyakit refluks gastroesofageal, tidak dimasukkan dalam sindrom dispepsia. Berikut akan dibahas lebih lanjut mengenai Dispepsia pada pasi en wanita usia 53 tahun.
LAPORAN KASUS
1
Status Pasien I.
Identitas
Nama
: Ny. SU
Usia
: 53 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Johar Baru, Jakarta Pusat
Status
: Menikah
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
No. Kamar
: Melati
Agama
: Islam
Masuk RS
: 26 Oktober 2017
No. RM
: 00-85-15-81
II. Anamnesis a. Keluhan Utama
Nyeri uluhati sejak ± 5 jam SMRS. b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri uluhati sejak ± 5 jam SMRS. Nyeri terasa melilit dan kram, nyeri tidak disertai adanya rasa terbakar di uluhati, nyeri tidak menjalar ke punggung, lengan kiri, kiri, bahu ataupun leher. Nyeri tidak terus-menerus, keluhan ini dirasakan bertambah berat apabila telat makan. Pasien juga mengeluh 3 hari SMRS perut terasa kembung dan mual, namun tidak sampai muntah. Keluhan ini tidak disertai dengan adanya demam, pusing ataupun nyeri kepala. Semenjak sakit atau timbulnya keluhan, nafsu makan pasien menurun. Pasien merasa lemas, letih dan lesu. Keluhan tersebut dirasakan terus menerus dan tidak berkurang meskipun pasien sudah tidur serta tidak ada faktor yang dapat memperingan rasa lemas. Buang air besar (BAB) lancar, keluhan BAB cair, berwarna hitam dan lunak seperti aspal disangkal. Buang air kecil (BAK) lancar, tidak ada keluhan.
c. Riwayat Penyakit Dahulu 2
Pasien pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Pada 2 hari yang lalu dengan gejala yang serupa dan pasien hanya mengkonsumsi obat promag. Pasien memiliki riwayat penyakit maag. Riwayat penyakit hipertensi, diabetes melitus, jantung, asma dan tuberkulosis disangkal.
d. Riwayat Pengobatan
Pasien mengkonsumsi obat promag namun hanya membaik sebentar, konsumsi steroid disangkal, jamu-jamuan disangkal.
e. Riwayat Alergi
Alergi obat-obatan, makanan, cuaca dan debu disangkal.
f.
Riwayat Penyakit Keluarga
Di keluarga pasien tidak ada yang mengeluh gejala yang sama seperti pasien. Riwayat penyakit hipertensi, diabetes melitus, jantung, asma dan tuberkulosis disangkal.
g. Riwayat Sosial Ekonomi dan Lingkungan
Pasien sebagai ibu rumah tangga, beberapa minggu terakhir pasien mengaku sedang mengalami banyak pikiran terkait dengan cucu-cucunya yang sedang tinggal selama hampir satu minggu di rumah sehingga pola tidur pasien terganggu. Pasien biasanya makan sebanyak 2-3 kali sehari, namun beberapa minggu terakhir ini pasien mengaku memiliki pola makan tidak teratur, pasien tidak sering jajan diluar, pasien tidak merokok, pasien tidak minum minuman beralkohol.
III. Pemeriksaan Fisik a. Pemeriksaan Umum
1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang 2. Kesadaran - Kualitatif
: Komposmentis
- Kuantitatif
: GCS 4-5-6
3. Tanda vital -
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
-
Frekuensi nadi : 78 kali/menit, reguler, kuat angkat
-
Frekuensi nafas: 20 kali/menit 3
-
Suhu axilla
: 36,7O C
4. Status Gizi -
BB sebelum sakit : Tidak ditimbang
-
BB saat sakit : 60 Kg
-
TB
: 160 Cm
-
IMT
: 23 (Overweight)
b. Pemeriksaan Khusus 1. Kepala
Bentuk
: Bulat, simetris, normocephal.
Rambut
: Pendek, warna hitam, tidak mudah dicabut
Mata
: Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor, reflek cahaya +/+.
Hidung
: Tidak ada sekret, tidak berbau, tidak ada perdarahan, tidak ada septum deviasi
Telinga
: Tidak ada sekret, tidak bau, pendengaran dalam batas normal.
Mulut/bibir
: Tidak sianosis, tidak ada sariawan, perdarahan gusi (-).
Lidah
: Tidak ada lidah kotor, tidak hiperemi.
2. Leher
Inspeksi
: Simetris, tidak tampak pembesaran KGB leher
Palpasi
: Tidak teraba pembesaran KGB leher serta tidak terjadi pembesaran kelenjar tiroid.
3. Thorax
Jantung : Inspeksi
: Iktus kordis tak terlihat
Palpasi
: Iktus kordis tidak teraba
Perkusi
: Batas atas
Auskultasi
: redup pada ICS II PSL dextra
Batas kanan
: redup pada ICS IV PSL dextra
Batas kiri
: redup pada ICS V MCL sinistra
: Suara jantung I dan II normal, Gallop (-), Murmur (-)
Paru: Inspeksi
: Normochest, simetris, tidak ada retraksi
Palpasi
: Vocal fremitus teraba sama pada kedua lapang paru
Perkusi
: Sonor pada kedua lapang paru 4
Auskultasi
: Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronchi (-/-)
4. Abdomen
Inspeksi
: Datar, tidak terlihat adanya massa.
Auskultasi
: Bising usus (+) 12 kali/menit
Palpasi
: Hepar dan lien tidak teraba, terdapat nyeri tekan epigastrium (+), supel, turgor kulit normal, undulasi (-).
Perkusi
: Timpani di seluruh kuadran abdomen.
5. Ekstremitas
Superior
: Akral hangat +/+, edema -/-, petekie (-), RCT < 2 detik
Inferior
: Akral hangat +/+, edema -/-, petekie (-), RCT < 2 detik
IV. PemeriksaanPenunjang 26 Oktober 2017 pukul 18.40 WIB Jenis pemeriksaan
Hasil
Satuan
Nilai rujukan
Hemoglobin
11,8
g/dL
13,2 – 17,3
Lekosit
13,04
103/µL
3,80 – 10,6
Hematokrit
34
%
40 – 52 %
Trombosit
350
103/µL
150 – 440
Eritrosit
4,09
106/µL
4,40 – 5,90
MCV
82
fL
80 – 100
MCH
29
Pg
26 – 34
MCHC
35
g/dL
32 – 36
Hematologi
V. Resume
Ny. SU, wanita,53 tahun, datang dengan keluhan nyeri uluhati sejak 5 jam SMRS,
5
nyeri terasa melilit dan kram (+), nyeri terus-menerus (-), heartburn (-),bertambah berat apabila telat makan (+), kembung (+), nausea (+), vomitus (-), febris (-), chepalgia (-), anoreksia (+), malaise (+). Riwayat konsumsi obat (+). Riwayat gejala yang sama (+). Tanda Vital :
Tekanan darah 130/90 mmHg Frekuensi nadi, frekuensi napas, dan Suhu dalam batas normal. Status generalis : Abdomen :
Nyeri tekan regio epigastrium (+). Hasil pemeriksaan laboratorium : - Lab 26 Oktober 2017 (18.40 WIB) : Leukosit: 13,04 ribu/µL (menigkat)
VI.
Daftar masalah
Dispepsia ec susp. Gastritis
VII.
Pembahasan 1. Dispepsia ec susp. Gastritis
Pasien mengeluh nyeri uluhati sejak 5 jam SMRS, nyeri terasa mel ilit dan kram (+), nyeri terus-menerus (-), heartburn (-),bertambah berat apabila telat makan (+), kembung (+), nausea (+), vomitus (-), febris (-), chepalgia (-), anoreksia (+), malaise (+). Riwayat konsumsi obat (+). Riwayat gejala yang sama (+). TD : 130/90 mmHg
RR
: 20 kali/menit
N : 78 kali/menit
S
: 36,70C
Abdomen : Nyeri tekan regio epigastrium (+). Laboratorium : -
Leukosit: 13,04 ribu/µL.
Working Diagnosis : Dispepsia ec susp. Gastritis Differential Diagnosis : Planning a. Diagnostik
-
Endoscopy
-
Serologi H. pylori 6
b. Terapeutik Non Medikamentosa :
-
Istirahat yang cukup. Diusahakan pada malam hari dapat tidur ± 8 jam, dan pada siang hari dapat beristirahat dengan berbaring atau duduk rileks selama ± 1 jam.
-
Makan secara teratur pada jam tertentu. Makan diatur tiga kali makan lengkap dan tiga kali makanan ringan. Tiap tiga jam sekali lambung harus diisi dengan makanan.
-
Menghindari makanan yang dapat menstimulasi produksi asam, seperti makanan pedas, asam, alkohol dan kafein (kopi, teh, cola) dan berhenti merokok.
-
Menghindari pemakaian obat yang dapat menimbulkan iritasi lambung misalnya vitamin C, dan obat-obatan golongan NSAID (ibuprofen, aspirin, meloxicam, piroxicam, dll).
-
Mengurangi atau menghilangkan stres. Pola hidup harus tenang dengan menjauhkan dari kesibukan, kegelisahan, dan faktor-faktor stres lainnya.
Medikamentosa :
- Infus RL/ 12 jam - Clarithromycin tab 250 mg 2x1 - Ranitidin tab 150 mg 2x1 - Omeprazole kaps 20 mg 1x1 - Domperidon tab 10 mg 1x1
VIII. Prognosis
Quo ad Vitam : ad bonam Quo ad Functionam : ad bonam Quo ad Sanactionam : ad bonam
7
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pada pasien kasus ini dapat didiagnosis dispepsia ec susp. Gastritis. Dengan pembahasan kasus sebagai berikut :
Pada anamnesis didapatkan keluhan nyeri uluhati sejak 5 jam SMRS, nyeri terasa melilit dan kram, nyeri tidak disertai adanya rasa terbakar di uluhati, nyeri tidak terusmenerus, keluhan ini dirasakan bertambah berat apabila telat makan., perut terasa kembung, mual dan nafsu makan menurun. Berdasarkan teori dispepsia adalah sekumpulan gejala (sindrom) terdiri dari rasa nyeri atau rasa tidak nyaman diepigastrium, mual, muntah, kembung, rasa penuh atau cepat kenyang, dan sering bersendawa. Pada pasien ini didapatkan keluhan nyeri uluhati yang berada di regio epigastrium, sehingga dapat memberikan gambaran secara anatomi keluhan mungkin berasal dari lambung/gaster. Keluhan perut terasa kembung, mual, nafsu makan menurun merupakan gejala-gejala yang dapat memperkuat dalam mendiagnosis dispepsia.1 Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan di daerah epigastrium, nyeri bertambah apabila telat makan. Hal ini dikarenakan tingkat sekresi asam lambung terdapat menyebabkan peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam hal ini mengakibatkan rasa tidak enak di perut. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menemukan adanya organomegali, tumor abdomen, ascites, untuk menyingkirkan penyakit organik. Tumpukan pemeriksaan fisik pada bagian abdomen. Inspeksi akan distensi, asites, parut, hernia yang jelas, ikterik, dan lebam. Auskultasi akan bunyi usus dan karakteristik motalitasnya. Palpasi dan perkusi abdomen, perhatikan akan tenderness, nyeri, pembesaran organ dan timpani. 6 Pemeriksaan tanda vital bisa ditemukan takikardi atau nadi yang tidak regular.10 Perlu ditanyakan perubahan tertentu yang dirasai oleh pasien, keadaan umum dan kesadaran pasien diperhatikan. Auskultasi bunyi gallop atau murmur di jantung. Perkusi paru untuk mengetahui konsolidasi. Perhatikan dan lakukan terhadap ekstremitas, adakah terdapat perifer edema dan dirasakan adakah akral hangat atau dingin.
6-11
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil Leukosit: 13,04 ribu/µL (menigkat). Berdasarkan teori pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya faktor infeksi 8
(leukositosis), pankreatitis (amylase, lipase), keganasan saluran cerna (CEA, CA 19-9, AFP). Biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap dan pemeriksaan darah dalam ti nja, dan urine. Dari hasil pemeriksaan darah ditemukan leukositosis berarti ada tanda - tanda infeksi. Peranan infeksi Helicobacter pylori pada gastritis dan ulkus peptikum sudah diakui, tetapi apakah Helicobacter pylori dapat menyebabkan dispepsia non ulkus masih kontroversi. Bukti terbaik peranan Helicobacter pylori pada dispepsia non ulkus adalah gejala perbaikan yang nyata setelah eradikasi kuman. 1 Untuk menunjang diagnosis disarankan melakukan pemeriksaan endoskopi, radiologi, serologi Helicobacter pylori dan urea breath. Endoskopi digunakan untuk memeriksa esofagus, lambung atau usus halus dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari lapisan lambung. Contoh tersebut kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi oleh Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik. 2,3,7 Untuk mengobati dispepsia, Diet merupakan peranan yang terpenting. Pada garis besarnya yang dipakai adalah cara pemberian diet seperti yang diajukan oleh Sippy 1915 hingga dikenal pula Sippy Diet. Sekarang lebih di kenal dengan diit lambung yang sudah disesuaikan dengan masyarakat Indonesia. Dasar diet ialah makan sedikit be rulang kali, makanan yang banyak mengandung susu dalam porsi kecil . Jadi makanan yang dimakan harus lembek, mudah dicerna, tidak merangsang dan kemungkinan dapat menetralisir asam HCl. Pemberiannya dalam porsi kecil dan berulang kali. Dilarang makan pedas, masam, dan alkohol. Antasida 20-150 ml/hari. Antasida akan menetralisir sekresi asam HCl. Obat ini biasa digunakan untuk sindroma dispepsia. Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir sekresi asam lambung. Antasid biasanya mengandung Na bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian antasid jangan terus - menerus, s ifatnya hanya simtomatis, untuk mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2. Antikolinergik. Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan seksresi asam lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif. Antagonis reseptor H2. Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis respetor H2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin. 9
Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI) Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat - obat yang termasuk golongan PPI adalah omeprazol, lansoprazol, dan pantoprazol. 1, 2, 4
10
Sitoprotektif. Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas (SCBA). Golongan prokinetik.Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance).
Kesimpulan : Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang maka pasien pada kasus diatas dapat didiagnosis Dispepsia ec susp. Gastritis
11
TINJAUAN PUSTAKA DISPEPSIA
LATAR BELAKANG
Dispepsia merupakan salah satu gangguan pada saluran pencernaan, khususnya lambung. Dispepsia dapat berupa rasa nyeri atau tidak enak di perut bagian tengah ke atas. Rasa nyeri tidak menentu, kadang menetap atau kambuh. Dispepsia umumnya diderita oleh kaum produktif dan kebanyakan penyebabnya adalah pola atau gaya hidup tidak sehat. Gejalanya pun bervariasi mulai dari nyeri ulu hati, mual-muntah, rasa penuh di ulu hati, sebah, sendawa yang berlebihan bahkan bisa menyebabkan diare dengan segala komplikasinya. Secara umum dispepsia terbagi menjadi dua jenis, yaitu dispepsia organik dan dispepsia non organik atau dispesia fungsional. Dispepsia dapat disebut dispepsia organik apabila penyebabnya telah diketahui secara jelas. Dispepsia fungsional atau dispepsia non-organik, merupakan dispepsia yang tidak ada kelainan organik tetapi merupakan kelainan fungsi dari saluran makanan ANATOMI LAMBUNG
Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat di daerah epigastrik, di bawah diafragma dan di depan pankreas. Bagian superior lambung merupakan kelanjutan dari esofagus. Bagian inferior berdekatan dengan duodenum yang merupakan bagian awal dari usus halus. Pada setiap individu, posisi dan ukuran lambung bervariasi. Sebagai contoh, diafragma mendorong lambung ke bawah pada setiap inspirasi dan menariknya kembali pada setiap ekspirasi. Dalam keadaan kosong, lambung menyerupai tabung bentuk J, dan bila penuh, berbentuk seperti buah pir raksasa. Kapasitas normal lambung adalah 1 samapi 2 L (Prince, 2005). Secara anatomis lambung terdiri atas empat bagian, yaitu: cardia, fundus, body atau corpus, dan pylorus. Adapun secara histologis, lambung terdiri atas beberapa lapisan, yaitu: mukosa, submukosa, muskularis mukosa, dan serosa. Lambung berhubungan dengan usofagus melalui orifisium atau kardia dan dengan duodenum melalui orifisium pilorik (Ganong, 2001). Sel mukosa, merupakan lapisan pertama (terdalam) yang mengeluarkan mukus. Sekresi dari sel zymogenic, parietal dan mucous secara bersama-sama disebut dengan gastric juice. Sementara itu, sel enteroendocrine mengeluarkan hormon gastrin yang merupakan hormon
12
yang dapat merangsang sekresi dari asam klorida (HCl) dan pepsinogen, dapat merangsang kontraksi dari lower esophageal sphincter, meningkatkan motilitas saluran pencernaan dan membuat pyloric sphincter berelaksasi. Lapisan submukosa (lapisan kedua) pada lambung tersusun atas jaringan ikat lunak yang
menghubungkan
mukosa
dengan
otot
(muskularis).
Lapisan muskularis (lapisan ketiga), tidak seperti daerah lain pada saluran pencernaan, lambung mempunyai tiga lapisan otot (muskularis) halus ; lapisan longitudinal di sebelah luar, lapisan otot miring (oblique) di tengah, lapisan sirkular (melingkar) dibatasi oleh bagian badan dari lambung. Susunan serat ini memungkinkan lambung berkontraksi dalam berbagai cara untuk mengaduk makanan, memecahnya menjadi partikel-partikel kecil, mencampurnya dengan gastric juice dan membawanya ke duodenum. Lapisan yang terakhir yaitu lapisan serosa yang menutupi lambung adalah bagian dalam peritonium. Pada kurvatura minor, dua lapisan visceral peritonium menyatu dan memanjang ke atas hingga ke liver (hati) menjadi omentum minus. Pada kurvatura mayor, visceral peritonium melanjutkan ke bawah menjadi omentum majus menggantung di atas usus. Mukosa lambung mengandung banyak kelenjar dalam. Di daerah pilorus dan kardia, kelenjar menyekresikan mukus. Di korpus lambung, termasuk fundus, kelenjar mengandung sel parietal (oksintik), yang menyekresikan asam hidroklorida dan faktor intrinsik, dan chief cell (sel zimogen, sel peptik), yang mensekresikan pepsinogen. Sekresi-sekresi ini bercampur dengan mukus yang disekresikan oleh sel-sel di leher kelenjar. Beberapa kelenjar bermuara keruang bersamaan (gastric pit) yang kemudian terbuka kepermukaan mukosa. Mukus juga disekresikan bersama HCO3- oleh sel-sel mukus di permukaan epitel antara kelenjarkelenjar (Ganong, 2001). Persarafan lambung sepenuhnya berasal dari sistem saraf otonom. Suplai saraf parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan dari abdomen melalui saraf vagus. Persarafan simpatis melalui saraf splanchnicus major dan ganglia seliaka. Serabutserabut aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh peregangan, kontraksi otot, serta peradangan, dan dirasakan di daerah epigastrium abdomen. Serabut-serabut eferen simpatis menghambat motilitas dan sekresi lambung. Pleksus saraf mienterikus (auerbach) dan submukosa (meissner)
membentuk
persarafan
intrinsik
dinding
lambung
dan
mengoordinasi aktivitas motorik dan sekresi mukosa lambung (Prince, 2005). Seluruh suplai darah di lambung dan pankreas (serta hati, empedu, dan limpa) terutama berasal dari arteri siliaka atau trunkus seliakus, yang mempercabangkan cabang-cabang yang menyuplai kurvatura minor dan mayor. 13
Dua
cabang
arteri
gastroduodenalis dan arteria
yang
penting
dalam
klinis
pankreatikoduodenalis (retroduodenalis)
adalah arteria yang
berjalan
sepanjang bulbus posterior duodenum (Prince, 2005).
FISIOLOGI LAMBUNG
Lambung merupakan bagian dari saluran pencernaan yang berbentuk seperti kantung, dapat berdilatasi, dan berfungsi mencerna makanan dibantu oleh asam klorida (HCl) dan enzim-enzim seperti pepsin, renin, dan lipase. Lambung memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi pencernaan dan fungsi motorik. Sebagai fungsi pencernaan dan sekresi, yaitu pencernaan protein oleh pepsin dan HCl, sintesis dan pelepasan gastrin yang dipengaruhi oleh protein yang dimakan, sekresi mukus yang membentuk selubung dan melindungi lambung serta sebagai pelumas sehingga makanan lebih mudah diangkut, sekresi bikarbonat bersama dengan sekresi gel mukus yang berperan sebagai barier dari asam lumen dan pepsin. Fungsi motorik lambung terdiri atas penyimpanan makanan sampai makanan dapat diproses dalam duodenum, pencampuran makanan dengan asam lambung, hingga membentuk suatu kimus, dan pengosongan makanan dari lambung ke dalam usus dengan kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan absorbsi dalam usus halus (Prince, 2005). Lambung akan mensekresikan asam klorida (HCl) ata u asam lambung dan enzim untuk mencerna makanan. Lambung memiliki motilitas khusus untuk gerakan pencampuran makanan yang dicerna dan cairan lambung, untuk membentuk cairan padat yang dinamakan kimus kemudian dikosongkan ke duodenum. Sel-sel lambung setiap hari mensekresikan sekitar 2500 ml cairan lambung yang mengandung berbagai zat, diantaranya adalah HCl dan pepsinogen. HCl membunuh sebagian besar bakteri yang masuk, membantu pencernaan protein, menghasilkan pH yang diperlukan pepsin untuk mencerna protein, serta merangsang empedu dan cairan pankreas. Asam lambung cukup pekat untuk menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal mukosa lambung tidak mengalami iritasi atau tercerna karena sebagian cairan lambung mengandung mukus, yang merupakan faktor perlindungan lambung (Ganong, 2001). Sekresi asam lambung dipengaruhi oleh kerja saraf dan hormon. Sistem saraf yang bekerja yatu saraf pusat dan saraf otonom, yakni saraf simpatis dan parasimpatis. Adapun hormon yang bekerja antara lain adalah hormon gastrin, asetilkolin, dan histamin. Terdapat tiga fase yang menyebabkan sekresi asam lambung. Pertama, fase sefalik, sekresi asam lambung terjadi meskipun makanan belum masuk lambung, akibat memikirkan atau merasakan makanan. Kedua, fase gastrik, ketika makanan masuk lambung akan merangsang mekanisme 14
sekresi asam lambung yang berlangsung selama beberapa jam, selama makanan masih berada di dalam lambung. Ketiga, fase intestinal, proses sekresi asam lambung terjadi ketika makanan mengenai mukosa usus. Produksi asam lambung akan tetap berlangsung meskipun dalam kondisi tidur. Kebiasaan makan yang teratur sangat penting bagi sekresi asa m lambung karena kondisi tersebut memudahkan lambung mengenali waktu makan sehingga produksi lambung terkontrol (Ganong, 2001).
DISPEPSIA Definisi :
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys- (buruk) dan – peptein(pencernaan). Kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa, regurgitas asam lambung, dan rasa panas yang menjalar ke dada. Epidemiologi :
Dispepsia fungsional, pada tahun 2010, dilaporkan memiliki tingkat prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh sarana layanan kesehatan primer. Studi tahun 2011 di Denmark mengungkapkan bahwa 1 dari 5 pasien yang datang dengan dispepsia yang telah terinfeksi H. Pylori.
Penyebab Dispepsia
Esopagus-Gaster-Duodenal
Tukak
peptik,
Gastritis
kronis, Gastrititis NSAID Obat-obatan
Antiinflamasi non steroid
Hepato-bilier
Hepatitis,
Kolesistitis,
Kolelitiasis Pankreas
Pankreatitis
Gangguan fungsional
Dispepsia fungsional
15
FAKTOR RISIKO
Individu dengan karakteristik berikut ini lebih berisiko mengalami dispepsia: konsumsi kafein berlebihan, minum minuman beralkohol, merokok, konsumsi steroid dan OAINS, serta berdomisili di daerah dengan prevalensi H. pylori tinggi. KLASIFIKASI
Dispepsia organik : -
Ulkus peptik kronik (ulkus ventrikuli, ulkus duodeni)
-
GERD atau dengan esofagitis
-
Obat : OAINS, aspirin
-
Kolelitiasis simtomatik, pancreatik kronik
-
Gangguan metabolik (uremia, hiperkalsemia, gastroparesis DM)
-
Keganasan (gaster, pancreatic, kolon)
-
Nyeri dinding perut
Dispepsia fungsional : -
Disfungsi sensorik-motorik gastroduodenum
-
Gastroparesis idiopatik/hipomotilitas antrum
-
Disaritmia gaster
-
Hipersensitivitas gaster/duodenum
-
Faktor psikososial
-
Gastritis H. Pylori
-
idiopatik
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi dispepsia masih belum sepenuhnya jelas faktor-faktor yang dicurigai memiliki peranan bermakna, seperti : 1. Abnormalitas fungsi motorik lambung, khususnya keterlambatan pengosongan lambung, hipomotilitas antrum. 2. Infeksi Helicobacter pylori 3. Faktor-faktor psikososial, khususnya terkait dengan gangguan cemas dan depresi. O
Sekresi asam lambung
16
Tingkat sekresi asam lambung
terdapat
peningkatan sensitivitas mukosa lambung
terhadap asam rasa tidak enak di perut. O
H elicobacter pylori Infeksi H. pylori pada dispepsia fungsional sekitar 50%
O
Dismotilitas
Keterlambatan pengosongan lambung, akomodasi fundus terganggu, distensi antrum, kontraktilitas fundus postprandial, dan dismotilitas duodenal. O
Ambang rangsang persepsi
Pasien dispepsia dicurigai mempunyai hipersensitivitas viseral terhadap distensi balon di gaster atau duodenum, meskipun mekanisme pastinya masih belum dipahami.
O
Peranan hormonal
Peranan hormon masih belum jelas diketahui dalam patogenesis dispepsia fungsional. O
Disfungsi autonom
Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung sewaktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat ken yang. O
Aktivitas mioelektrik lambung
Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrografi terdeteksi pada beberapa kasus dispepsia fungsional, tetapi peranannya masih perlu dibuktikan lebih lanjut. O
Diet dan faktor lingkungan
Intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia fungsional
PEMERIKSAAN Anamnesis Pemeriksaan Fisik :
17
Untuk mengidentifikasi kelainan intra abdomen atau intra lumen yang padat (misalnya tumor),
organomegali,
atau
nyeri
tekan
yang
sesuai
dengan
adanya
rangsang
peritoneal/peritonitis. Pemeriksaan Penunjang :
Laboratorium : Lebih banyak ditekankan untuk menyingkirkan penyebab organik lainnya seperti antara lain pankreatitis kronis, diabetes mellitus, dan lainnya. Pemeriksaan radiologi yaitu: mengidentifikasi kelainan struktural dinding/mukosa saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak atau gambaran kearah tumor.
Endoskopi : mengidentifikasi dengan akurat adanya kelainan struktural atau organik intra lumen saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak/ulkus, tumor dsb, serta dapat disertai
pengambilan contoh jaringan (biopsi) dari jaringan yang dicurigai untuk mengidentifikasi adanya kuman helicobacter. TERAPI Non Medikamentosa :
-
Modifikasi gaya hidup & menghindari obat penyebab ulcer (aspirin & NSAIDs lain, bisphosphonat oral, KCl, pengobatan imunosupresan)
-
Menghindari stress
-
Stop merokok & alkohol
-
Stop kafein (stimulan asam lambung)
-
Menghindari makanan dan minuman soda
-
Menghindari makan malam.
Medikamentosa :
Obat golongan penekan asam lambung: ( Antasida, H2blocker, dan Proton Pump Inhibitor) Obat golongan sitoproteksi : Sukralfat,Rebamipid Antibiotika : Infeksi Helicobacter pylori ( Amoksisilin,Claritromisin, dan Metronidazol) INDIKASI RAWAT
1. Jika pasien mengalami gejala dan tanda bahaya (alarming features) seperti berikut: perdarahan saluran cerna, sulit menelan, nyeri saat menelan, anemia yang tidak bisa dijelaskan sebabnya, perubahan nafsu makan, dan penurunan berat badan,atau ada indikasi endoskopi. Segera rujuk pasien ke spesialis gastroenterologi atau rumah sakit dengan fasilitas endoskopi. 2. Bila gejala dan tanda lebih mengarah pada kelainan jantung, segera rujuk ke spesialis jantung.
18
PROGNOSIS
Dispepsia fungsional memiliki prognosis kualitas hidup lebih rendah dibandingkan dengan individu dengan dispepsia organik. Tingkat kecemasan sedang hingga beratjuga lebih sering dialami oleh individu dispepsia fungsional. Lebih jauh diteliti, terungkap bahwa pasien dispepsia fungsional, terutama yang refrakter terhadap pengobatan, memiliki kecenderungan tinggi untuk mengalami depresi dan gangguan psikiatris.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Djojoningrat, Dharmika.2009. Dispepsia Fungsional dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-5,p 529-33. Jakarta: Internal Publishing
19
2.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
3.
Tarigan, Pengarapen. 2009. Tukak Gaster dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jilid I. Edisi ke-5. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
4.
Papadakis A, Maxine, 2015, Gastorintestinal Disorders in CURRENT MEDICAL DIAGNOSIS & TREATMENT, Mc Gam Hill Education. New York
5.
Rani A, Soegondo S, Nasir A, Wijaya I. 2009. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta : Interna Publish ing
6.
Jawetz, Melnick, Adelberg’s. Medical Microbiology. Edisi ke-24. United States of America : McGraw-Hill ; 2007.
7.
Hirlan.2009. Gastritis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jilid I. Edisi ke-5. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fa kultas Kedokteran Universitas Indonesia
8.
Richter, J.M. & K.J. Isselbacher. Perdarahan Saluran Makanan : dalam Harrison (Prinsip Ilmu Penyakit Dalam) Jilid I. Jakarta : EGC. 1999 : 259 – 62. 9
9.
Davey, P. Hematemesis & Melena : dalam At a Glance Medicine. Jakarta : Erlangga. 2006 : 36 – 7.
10.
Hadi, S. Perdarahan Saluran Makan : dalam Gastroenterologi. Bandung : PT Alumni. 2002 : 281 – 305.
11.
PB PAPDI. Standar Pelayanan Medik. Jakarta : PB PAPDI. 2005: 272 – 3.
12.
Adi, P. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas : Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta : FKUI. 2006 : 289 – 97.
20