BAB 1 PENDAHULUAN
Dispepsia merupakan salah satu gangguan pada saluran pencernaan, khususnya lambung. Dispepsia dapat berupa rasa nyeri atau tidak enak di perut bagian tengah ke atas. Rasa nyeri tidak menentu, kadang menetap atau kambuh. Dispepsia umumnya diderita oleh kaum produktif dan kebanyakan penyebabnya adalah pola atau gaya hidup tidak sehat. Gejalanya pun bervariasi mulai dari nyeri ulu hati, mual-muntah, rasa penuh di ulu hati, sebah, sendawa yang berlebihan bahkan bisa menyebabkan diare dengan segala komplikasinya.1 Secara umum dispepsia terbagi menjadi dua jenis, yaitu dispepsia organik dan dyspepsia non organik atau dispesia fungsional. Dispepsia dapat disebut dispepsia organik apabila penyebabnya telah diketahui secara jelas. Dispepsia fungsional atau dispepsia nonorganik, merupakan dispepsia yang tidak ada kelainan organik tetapi merupakan kelainan fungsi dari saluran makanan. 2 Dispepsia sendiri dapat digolongkan menjadi 4 kelompok: (1) tipe ulkus, nyeri epigastrik dominan, (2) tipe dismotilitas, keluhan kembung, mual, muntah, rasa penuh, cepat kenyang dominan, (3) tipe refluks, keluhan nyeri ulu hati dan rasa terbakar yang dominan, (4) tipe nonspesifik, tidak ad keluhan dominan. 1 Dispepsia merupakan salah satu masalah pencernaan pencerna an yang paling umum ditemukan. Dialami sekitar 20%-30% populasi di dunia setiap tahun. Data Depkes tahun 2004 menempatkan dispepsia di urutan ke 15 dari daftar 50 penyakit dengan pasien rawat inap terbanyak di Indonesia dengan proporsi 1,3%. Dispepsia yang oleh orang awam sering disebut dengan “sakit maag” merupakan keluhan yang sangat sering kita jumpai sehari hari. Sebagai contoh dalam masyarakat di negara negara barat dispepsia dialami oleh sedikitnya 25% populasi. Di negara negara Asia belum banyak data tentang dispepsia t etapi diperkirakan dialami oleh sedikitnya sedikitnya 20% dalam populasi populasi umum. Angka di Indonesia Indonesia sendiri, penyebab dispepsi adalah 86 persen dispepsia fungsional, 13 persen ulkus dan 1 persen disebabkan oleh kanker lambung. lambung.3 Langkah pengobatan dispepsia sangat beragam, sehingga penanganan harus didasari oleh latar belakang keluhan yang dialaminya. Untuk menangani dospepsia organik, perlu dilakukan pengobatan terhadap etiologinya. Sedangkan, pada dispepsia fungsional pun, perlu
1
dijelaskan patogenesis yang menyebabkan dispepsia yang dialaminya. Pasien diminta untuk menghindari makanan pencetusnya, dan melakukan rujukan. 1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi
Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom atau kumpulan gejala/ keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut terasa penuh/ begah. Keluhan ini tidak perlu selalu semua ada pada tiap pasien, dan bahkan pada satu pasien pun keluhan dapat berganti atau bervariasi baik dari segi jenis keluhan maupun kualitasnya. Terdapat berbagai definisi tentang dyspepsia. Salah satunya yang dapat dipakai adalah dyspepsia refers to pain or discomfort centered in the upper abdomen. abdomen . Definisi ini berdasarkan kriteria Roma II tahun 1999-2000. Jadi dispepsia bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan suatu sindrom yang harus dicari penyebabnya.1 2.2. Etiologi 1
Gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna: tukak gaster/ duodenum, gastritis, tumor, infeksi Helicobacter infeksi Helicobacter pylori.
Obat-obatan: anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa jenis antibiotik, digitalis, teofilin, dan sebagainya.
Penyakit pada hati, pankreas, sistem bilier: hepatitis, pankreatitis, kolesistitis kronik.
Penyakit sistemik: diabetes melitus, penyakit tiroid, penyakit jantung koroner.
Bersifat fungsional: yaitu dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak terbukti adanya kelainan/ gangguan organik/ struktural biokimia. Tipe ini dikenal sebagai dipepsia fungsional atau dispepsia non ulkus.
2.3. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, dispepsia dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu: 9
2
1. Dispepsia organik yaitu dispepsia yang disebabkan oleh kelompok penyakit organik seperti tukak peptik, gastritis, batu kandung empedu, dll. 2. Dispepsia fungsional yaitu kelompok di mana sarana penunjang diagnostik yang konvensional
atau
baku
(radiologi,
endoskopi,
laboratorium)
tidak
dapat
memperlihatkan adanya gangguan patologis struktural atau biokimiawi. Sedangkan berdasarkan gejala klinis, dispepsia dibagi atas: 4 1. Dispepsia akibat gangguan motilitas
Pada dispepsia akibat gangguan motilitas keluhan yang paling menonjol adalah perasaan kembung, rasa penuh ulu hati setelah makan, cepat merasa kenyang disertai sendawa. 2. Dispepsia akibat tukak
Pasien tukak peptik memberikan ciri-ciri keluhan seperti nyeri ulu hati, rasa tidak nyaman/ discomfort disertai muntah. Pada tukak duodeni rasa sakit timbil waktu pasien merasa lapar, rasa sakit bisa membangunkan pasien tengah malam, rasa sakit hilang setelah makan dan minum obat antasida ( Hunger Pain Food Relief = HPFR). Rasa sakit tukak gaster timbul setelah makan, berbeda dengan tukak duodeni yang merasa enak setelah makan, rasa sakit tukak gaster sebelah kiri dan rasa sakit tukak duodeni sebelah kanan garis tengah perut. Rasa sakit bermula pada satu titik ( pointing sign) akhirnya difus bisa menjalar ke punggung. Ini kemungkinan disebabkan penyakit bertambah berat atau mengalami komplikasi berupa penetrasi tukak ke organ pankreas. 3. Dispepsia akibat refluks
Pada dispepsia akibat refluks keluhan yang menonjol berupa perasaan nyeri ulu hati dan rasa seperti terbakar, harus disingkirkan adanya pasien kardiologis. 4. Dispepsia tidak spesifik 2.4. Patofisiologi 1. Dispepsia Fungsional
Proses patofisiologis yang paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam lambung, infeksi Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral.5 3
(a) Abnormalitas Motorik Gaster
Dengan studi Scintigraphic Nuklear dibuktikan lebih dari 50% pasien dispepsia non ulkus mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam gaster. Demikian pula pada studi monometrik didapatkan gangguan motilitas antrum postprandial, tetapi hubungan antara kelainan tersebut dengan gejala-gejala dispepsia tidak jelas. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa fundus gaster yang "kaku" bertanggung jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal seharusnya fundus relaksasi, baik saat mencerna makanan maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari corpus gaster menuju ke bagian fundus dan duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada beberapa pasien dyspepsia non ulkus, refleks ini tidak berfungsi dengan baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat. 5,6
(b) Perubahan sensifitas gaster
Lebih 50% pasien dispepsia non ulkus menunjukkan sensifitas terhadap distensi gaster atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat: makanan yang sedikit mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi gaster intestinum atau distensi dini bagian Antrum postprandial dapat menginduksi nyeri pada bagian ini. 5,6
(c) Stres dan faktor psikososial
Beberapa studi mengatakan stres yang lama menyebabkan perubahan aktifitas vagal, berakibat gangguan akomodasi dan motilitas gaster.
5,6
(d) Sekresi asam lambung
Umumnya mempunyai tingkat sekresi asam lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang rata – rata normal. Diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut.5,6 (e) Ambang Rangsang Persepsi
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor mekanin, dan nociceptor. Pada dispepsia ini mempunyai hipersensitivitas viseral terhadap distensi balon di gaster atau duodenum. Penelitian menggunakan balon intragastrik mendapatkan hasil pada 50% populasi dengan dispepsia fungsional sudah 4
timbul rasa nyeri atau tidak nyaman di perut pada pada inflasi balon dengan volume yang lebih rendah dibandingkan volume yang menimbulkan rasa nyeri pada populasi kontrol.5,6
(f) Disfungsi Autonom
Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proximal lambung waktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang. 5,6
(g) Hormonal
Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis dispepsia fungsional. Dilaporkan adanya penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan gangguan mtilitas antroduodenal. Dalam beberapa percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin mempengaruhi
kontraktilitas
otot
polos
dan
memperlambat
waktu
transit
gastrointestinal.5,6
(h) Diet dan Faktor Lingkungan
Kebanyakan pasien dispepsia fungsional mengeluhkan intoleransi terhadap makanan berlemak dan dapat didemonstrasikan hipersensitivitasnya terhadap distensi lambung yang diinduksi oleh infus lemak ke dalam duodenum. Gejalanya pada umumnya adalah mual dan perut kembung. 5,6
(i) Helicobacter pylori
Peranan infeksi Helicobacter pylori pada gastritis dan ulkus peptikum sudah diakui, tetapi apakah Helicobacter pylori dapat menyebabkan dispepsia non ulkus masih kontroversi. Gastritis adalah suatu keadaan peradangan atau pendarahan mukosa lambung. Gastritis karena bakteri H. pylori dapat mengalami adaptasi pada lingkungan dengan pH yang sangat rendah dengan menghasilkan enzim urease yang sangat kuat. Enzim urease tersebut akan mengubah urea dalam lambung menjadi ammonia sehingga bakteri Helicobacter pylori yang diselubungi “awan amoniak” yang dapat melindungi diri dari keasaman lambung. Kemudian dengan flagella Helicobacter pylori menempel pada dinding lambung dan mengalami multiplikasi. Bagian yang 5
menempel pada epitel mukosa lambung disebut adheren pedestal . Melalui zat yang disebut adhesin , Helicobacter pylori dapat berikatan dengan satu jenis gliserolipid yang terdapat di dalam epitel. Selain urease, bakteri juga mengeluarkan enzim lain misalnya katalase, oksidase, alkaliposfatase, gamma glutamil transpeptidase, lipase, protease, dan musinase. Enzim protease dan fosfolipase diduga merusak glikoprotein dan fosfolipid yang menutup mukosa lambung. H. Pylori juga mengeluarkan toksin yang beperan dalam peradangan dan reaksi imun local. 5,6
Gambar Infeksi Helicobacter Pylori6
6
2. Dispepsia Organik (a) OAINS
Obat anti-inflamasi non-steroid merusak mukosa lambung melalui beberapa mekanisme. Obat-obat ini menghambat siklooksigenase mukosa lambung sebagai pembentuk prostaglandin dari asam arakidonat yang merupakan salah satu faktor defensif mukosa lambung yang sangat penting. Selain itu, obat ini juga dapat merusak secara topikal. Kerusakan topikal ini terjadi karena kandungan asam dalam obat tersebut bersifat korosif, sehingga merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian aspirin juga dapat menurunkan sekresi bikarbonat dan mukus oleh lambung, sehingga kemampuan faktor defensif terganggu.
(b) Ulkus Peptikum
Ulkus peptikum merupakan keadaan di mana kontinuitas mukosa esophagus, lambung ataupun duodenum terputus dan meluas sampai di bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi, walaupun seringkali dianggap juga sebagai ulkus. Prostaglandin yang terdapat dalam jumlah berlebihan dalam mucus gastric dan tampaknya berperan penting dalam pertahanan mukosa lambung. Aspirin, alkohol, garam empedu dan zat – zat lain yang merosak mukosa lambung mengubah permeabilitas sawar epitel, sehingga memungkinkan difusi balik asam klorida yang mengakibatkan kerosakan jaringan, terutama pembuluh darah. Histamin dikeluarkan, merangsang sekresi asam dan pepsin lebih lanjut dan meningkatkan permeabilitas kapiler terhadap protein. Mukosa menjadi edema dan sejumlah besar protein plasma dapat hilang. Mukosa kapiler dapat rusak, mengakibatkan terjadinya hemoragi interstitial dan perdarahan.
(c) Ulkus Duodenum
Daya tahan duodenum yang kuat terhadap ulkus peptikum diduga akibat fungsi kelenjar Brunner (kelenjar duodenum submukosa dalam dinding usus)
yang
memproduksi sekret mukoid yang sangat alkali, pH 8 dan kental untuk menetralkan kimus asam. Penderita ulkus peptikum sering mengalami sekresi asam berlebihan.
7
PATHWAY DISPEPSIA
Perubahan pola makan, pengaruh obat-obatan alkohol, nikotin, rokok, tumor/kanker saluran pencernaan, stres,
Erosi dan ulcerasi mukosa lambung
Pelepasan mediator kimia (bradikinin, histamin, prostaglandin)
Peningkatan produksi HCL
Impuls ke fleksus meissner ke nervus vagus
Merangsang medulla oblongata Nosiceptor Impuls kefleksus miesenterikus pada dinding lambung Saraf afferen Anoreksia, mual Thalamus Intake kurang
muntah
Corteks cerebri
Nyeri
Nutrisi Kurang
Perubahan kesimbangan cairan dan elektrolit
8
2.5. Manifestasi Klinik
Klasifikasi didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan, membagi dispepsia menjadi tiga tipe : 7 1. Dispepesia dengan keluhan seperti ulkus (tipe like ulcer), dengan gejala: a. Nyeri epigastrium terlokalisasi b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasida c. Nyeri saat lapar d. Nyeri episodic
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (tipe dysmotility), dengan gejala: a. Mudah kenyang b. Perut cepat terasa penuh saat makan c. Mual d. Muntah e. Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas) f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan
3. Dispepesia nonspesifik (tidak ada gejala seprti kedua ti pe di atas)
Sindroma dyspepsia dapat bersifat rigan, sedang, dan berat, serta dapat akut atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan. Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin dsertai dengan sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa penderita,makan dapat memperburuk nyeri, pada penderita yang lain, ma kan bisa mengurangi nyerinya. Gejala lain meliputi nafsu makan yang menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut kembung).7
2.6. Diagnosis
Dispepsia melalui simptom-simptomnya sahaja tidak dapat membedakan antara dispepsia fungsional dan dispepsia organik. Diagnosis dispepsia fungsional adalah diagnosis yang telah ditetapkan, dimana pertama sekali penyebab kelainan organik atau struktural harus disingkirkan melalui pemeriksaan. Pemeriksaan yang pertama dan banyak membantu adalah pemeriksaan endoskopi. Oleh karena dengan pemeriksaan ini dapat terlihat kelainan di 9
oesophagus, lambung dan duodenum. Diikuti dengan USG (Ultrasonography) dapat mengungkapkan kelainan pada saluran bilier, hepar, pankreas, dan penyebab lain yang dapat memberikan perubahan anatomis. Pemeriksaan hematologi dan kimia darah akan dapat mengungkapkan penyebab dispepsia seperti diabetes, penyakit tyroid dan gangguan saluran bilier. Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa pertanda tumor.1 Kriteria Diagnostik Dispepsia Fungsional berdasarkan Kriteria Rome III, harus termasuk: a. berasa terganggu setelah makan b. cepat kenyang c. nyeri epigastrik d. panas/ rasa terbakar di epigastrik DAN Terbukti tidak ada penyakit struktural termasuk endoskopi proksimal yang dapat menjelaskan penyebab terjadinya gejala klinis tersebut. Kriteria haruslah terjadi dalam masa 3 bulan terakhir dengan onset gejala klinis sekurang-kurangnya 6 bulan sebelum diagnosis. 8
2.7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan untuk penanganan dispepsia terbagi beberapa bagian, yaitu: a. Pemeriksaan laboratorium
Untuk mengidentifikasi adanya faktor infeksi (leukositosis), pakreatitis (amylase, lipase), keganasan saluran cerna (CEA, CA 19-9, AFP). Biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urine. Dari hasil pemeriksaan darah bila ditemukan lekositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak berarti kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsia tukak, sebaiknya diperiksa asam lambung. Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa petanda tumor, misalnya dugaan karsinoma kolon perlu diperiksa CEA, dugaan karsinoma pankreas perlu diperiksa CA 19-9.
1
10
b. Barium enema
Untuk
memeriksa
esofagus,
lambung
atau
usus
halus
dapat
dilakukan pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi kelainan struktural dinding/mukosa saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak atau gambaran ke arah tumor.1,8 c. Endoskopi
Untuk
memeriksa
esofagus,
lambung
atau
usus
halus dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari lapisan lambung. Contoh tersebut kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi oleh Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik. 2,3,7 Pemeriksaan ini sangat dianjurkan untuk dikerjakan bila dispepsia tersebut disertai oleh keadaan yang disebut alarm symptoms, yaitu adanya penurunan berat badan, anemia, muntah hebat dengan dugaan adanya obstruksi, muntah darah, melena, atau keluhan sudah berlangsung lama, dan terjadi pada usia lebih dari 45tahun.1 Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi adalah: a. CLO (rapid urea test) b.Patologi anatomi (PA) c.Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan d. PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian 1 d. Pemeriksaan radiologi
Digunakan OMD dengan kontras ganda, serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test (belum tersedia di Indonesia). Pemeriksaan radiologis dilakukan terhadap saluran makan bagian atas dan sebaiknya dengan kontras ganda. Pada refluks gastroesofageal akan tampak peristaltik di esofagus yang menurun terutama di bagian distal, tampak anti-peristaltik di antrum yang meninggi serta sering menutupnya pilorus, sehingga sedikit barium yang masuk ke intestin.Pada tukak baik di lambung, maupun di duodenum akan terlihat gambar yang disebut niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari tukak yang jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan dasar licin). Kanker di lambung secara radiologis, akan tampak massa yang ireguler tidak terlihat peristaltik di daerah kanker, bentuk dari lambung berubah. Pankreatitis akut perlu dibuat foto polos abdomen, yang akan 11
terlihat tanda seperti terpotongnya usus besar (colon cut off sign), atau tampak dilatasi dari intestin terutama di jejunum yang disebut sentina loops. 1
2.8. Diagnosa Banding2
Dispepsia non ulkus
Gastro-oesophageal reflux disease.
Ulkus peptikum.
Obat-obatan: obat anti inflamasi non-steroid, antibiotik, besi, suplemen kalium, digoxin.
Malabsorbsi Karbohidrat (lactose, fructose, sorbitol).
Cholelithiasis or choledocholithiasis.
Pankreatitis Kronik.
Penyakit sistemik (diabetes, thyroid, parathyroid, hypoadrenalism, connective tissue disease).
Parasit intestinal.
Keganasan abdomen (terutama kanser pancreas dan gastrik).
Mesenterika iskemik kronik
2.9. Tatalaksana pada Dispepsia Antasida
Sebelum kita memahami peran penting dari histamin dalam aktivitas sel parietal merangsang, netralisasi asam yang disekresikan dengan antasida merupakan bentuk utama terapi untuk tukak lambung. Mereka sekarang jarang, jika pernah, digunakan sebagai agen terapeutik utama tetapi sering digunakan oleh pasien untuk mengurangi gejala-gejala dispepsia. Para agen yang paling umum digunakan adalah campuran aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida. Aluminium hidroksida dapat menghasilkan penipisan sembelit dan fosfat, magnesium hidroksida dapat menyebabkan mencret 10,11 12
Banyak antasida yang umum digunakan (misalnya, Maalox, Mylanta) memiliki kombinasi dari kedua aluminium dan magnesium hidroksida untuk menghindari efek samping. Persiapan yang mengandung magnesium tidak boleh digunakan pada pasien gagal ginjal kronik
karena
hypermagnesemia
mungkin,
dan
aluminium
dapat
menyebabkan
neurotoksisitas kronis pada pasien ini. Kalsium karbonat dan natrium bikarbonat adalah antasida kuat dengan berbagai tingkat potensi masalah. Penggunaan jangka panjang dari kalsium karbonat (mengkonversi ke kalsium klorida dalam lambung) dapat menyebabkan susu-alkali syndrome (hypercalcemia, hyperphosphatemia dengan calcinosis ginjal mungkin dan pengembangan menjadi insufisiensi ginjal). Natrium bikarbonat dapat menyebabkan alkalosis sistemik 10,11. H2 Receptor Antagonis
Empat dari agen-agen yang saat ini tersedia (simetidin, ranitidin, famotidin, dan nizatidine), dan struktur saham mereka homologi dengan histamin. Meskipun masing-masing memiliki potensi yang berbeda, semua secara signifikan akan menghambat sekresi asam basal dan dirangsang untuk tingkat yang sebanding bila digunakan pada dosis terapi. Selain itu, mirip ulkus-penyembuhan tingkat yang dicapai dengan masing-masing obat bila digunakan pada dosis yang tepat. Saat ini, kelas ini obat sering digunakan untuk pengobatan ulkus aktif (4-6 minggu) dalam kombinasi dengan antibiotik diarahkan pada pemberantasan H. pylori (lihat di bawah) 10,11. Simetidin adalah H2 antagonis reseptor pertama digunakan untuk pengobatan gangguan lambung asam. The dianjurkan dosis awal profil cimetidine adalah 300 mg qid. Penelitian selanjutnya telah mendokumentasikan efektivitas menggunakan 800 mg pada waktu tidur untuk pengobatan ulkus aktif, dengan tingkat kesembuhan mendekati 80% pada 4 minggu. Simetidin mungkin lemah efek samping antiandrogenic mengakibatkan ginekomastia reversibel dan impotensi, terutama pada pasien yang menerima dosis tinggi untuk jangka waktu yang lama (bulan ke tahun, seperti dalam ZES). Dalam pandangan kemampuan simetidin untuk menghambat sitokrom P450, pemantauan hati-hati obat-obatan seperti warfarin, phenytoin, dan teofilin ditunjukkan dengan penggunaan jangka panjang. Lain langka efek samping reversibel dilaporkan dengan simetidin termasuk kebingungan dan peningkatan kadar serum aminotransferase, kreatinin, dan prolaktin serum. Ranitidin, famotidin, dan nizatidine merupakan antagonis reseptor H2 lebih kuat daripada simetidin. 13
Masing-masing dapat digunakan sekali sehari pada waktu tidur untuk pencegahan ulkus, yang umumnya dilakukan sebelum penemuan H. pylori dan pengembangan inhibitor pompa proton (PPI). Pasien dapat mengembangkan toleransi terhadap blocker H2, peristiwa langka dengan PPI (lihat di bawah). Sebanding rejimen dosis malam hari adalah 300 mg ranitidine, famotidine 40 mg, dan 300 mg nizatidine. Tambahan langka, toksisitas sistemik reversibel dilaporkan dengan antagonis reseptor H2 meliputi pansitopenia, neutropenia, anemia, dan trombositopenia, dengan tingkat prevalensi bervariasi 0,01-0,2%. Simetidin dan ranitidin (sampai batas tertentu) dapat mengikat hati sitokrom P450, famotidin dan nizatidine tidak 10,11. Pompa Proton (H +, K +-ATPase) Inhibitor
Omeprazole, esomeprazole, lansoprazole, rabeprazole, pantoprazole dan diganti turunan benzimidazole yang mengikat kovalen dan ireversibel menghambat H +, K +-ATPase. Esomeprazole, anggota terbaru dari kelas ini obat, adalah S-enansiomer omeprazol, yang merupakan campuran rasemat dari kedua S-dan R-isomer optik. Ini adalah agen penghambat yang paling ampuh acid yang tersedia. Omeprazole dan lansoprazole adalah PPI yang telah digunakan untuk waktu yang lama. Keduanya adalah asam-labil dan diberikan sebagai enterik berlapis butiran dalam kapsul berkelanjutan-release yang larut dalam usus kecil pada pH 6. Lansoprazole tersedia dalam tablet oral disintegrasi yang dapat diambil dengan atau tanpa air, keuntungan bagi individu yang memiliki disfagia signifikan. Kinetika penyerapan mirip dengan kapsul. Selain itu, lansoprazole-naproxen kombinasi persiapan yang telah dibuat tersedia ditargetkan pada penurunan NSAID-terkait cedera gastrointestinal (lihat di bawah). Omeprazol tersedia sebagai non-enterik berlapis-butiran dicampur dengan natrium bikarbonat dalam bentuk bubuk yang dapat diberikan secara oral atau melalui tabung lambung. The natrium bikarbonat memiliki dua tujuan: untuk melindungi omeprazole dari degradasi asam dan untuk mempromosikan alkalinisasi lambung cepat dan proton aktivasi pompa berikutnya, yang memfasilitasi tindakan cepat dari PPI. Pantoprazole dan rabeprazole tersedia sebagai tablet salut enterik. Pantoprazole juga tersedia sebagai formulasi parenteral untuk infus. Agen ini adalah senyawa lipofilik, saat memasuki sel parietal, mereka diprotonasi dan terjebak dalam lingkungan asam dari sistem tubulovesicular dan canalicular. Agen ini potently menghambat semua fase sekresi asam lambung. Onset kerja cepat, dengan efek penghambatan asam maksimum antara 2 dan 6 jam setelah pemberian dan durasi inhibisi berlangsung hingga 72-96 jam. Dengan dosis harian diulang, efek asam progresif 14
penghambatan diamati, dengan basal dan secretagogue-merangsang produksi asam yang dihambat oleh> 95% setelah 1 minggu terapi. Waktu paruh PPI adalah ~ 18 jam, oleh karena itu bisa memakan waktu antara 2 dan 5 hari untuk sekresi asam lambung kembali ke tingkat normal setelah obat ini telah dihentikan. Karena pompa harus diaktifkan untuk agen ini menjadi efektif, keberhasilan mereka dimaksimalkan jika mereka diberikan sebelum makan (kecuali untuk formulasi segera-release omeprazol) (misalnya, di pagi hari sebelum sarapan). Ringan sampai moderat hypergastrinemia telah diamati pada pasien yang memakai obat ini. Tumor karsinoid dikembangkan di beberapa hewan diberi obat preclinically, namun, pengalaman yang luas telah gagal untuk menunjukkan perkembangan tumor lambung karsinoid pada manusia. Serum gastrin tingkat kembali ke tingkat normal dalam waktu 1-2 minggu setelah penghentian obat. Faktor intrinsik (IF) produksi juga terhambat, namun vitamin B12 anemia kekurangan zat-jarang, mungkin karena toko-toko besar vitamin. Seperti halnya agen yang mengarah ke hypochlorhydria signifikan, PPI dapat mengganggu penyerapan obat-obatan seperti ketoconazole, ampisilin, besi, dan digoksin. Hati sitokrom P450 dapat dihambat oleh PPI sebelumnya (omeprazole, lansoprazole). Rabeprazole, pantoprazole, esomeprazole dan tidak muncul untuk berinteraksi secara signifikan dengan obat dimetabolisme oleh sistem sitokrom P450. Signifikansi klinis keseluruhan pengamatan ini tidak jelas ditetapkan. Perhatian harus diambil ketika menggunakan warfarin, diazepam, atazanavir, dan fenitoin bersamaan dengan PPI. Jangka panjang asam penindasan, terutama dengan PPI, telah dikaitkan dengan insiden yang lebih tinggi dari komunitas-pneumonia. Pengamatan ini memerlukan konfirmasi tetapi harus waspada praktisi untuk berhati-hati ketika merekomendasikan agen ini untuk penggunaan jangka panjang, terutama pada pasien usia lanjut berisiko untuk mengembangkan pneumonia10,11. Dua formulasi baru dari agen penghambatan asam sedang dikembangkan. Tenatoprazole adalah PPI yang mengandung cincin imidazopyridine bukan cincin benzimidazole, yang mempromosikan penghambatan pompa proton ireversibel. Agen ini memiliki panjang paruh daripada PPI lain dan mungkin bermanfaat untuk menghambat sekresi asam nokturnal, yang memiliki relevansi yang signifikan dalam penyakit gastroesophageal reflux (GERD). Sebuah kelas baru kedua agen adalah kalium-kompetitif antagonis pompa asam (P-kabin). Senyawa ini menghambat sekresi asam lambung melalui pengikatan kompetitif kalium dari H +, K +ATPase10,11.
15
Sitoprotektif Agen
Sukralfat Sukralfat adalah garam sukrosa kompleks di mana kelompok hidroksil telah digantikan oleh aluminium hidroksida dan sulfat. Senyawa ini tidak larut dalam air dan menjadi pasta kental dalam lambung dan duodenum, mengikat terutama untuk situs ulserasi aktif. Sukralfat dapat bertindak dengan beberapa
mekanisme:
melayani
sebagai
penghalang fisikokimia,
mempromosikan tindakan trofik oleh faktor pertumbuhan mengikat seperti EGF, meningkatkan sintesis prostaglandin, merangsang sekresi lendir dan bikarbonat, dan meningkatkan pertahanan mukosa dan perbaikan. Toksisitas dari obat ini jarang terjadi, dengan sembelit yang paling umum (2-3%). Ini harus dihindari pada pasien dengan insufisiensi
ginjal
kronis
untuk
mencegah
aluminium-induced
neurotoksisitas.
Hypophosphatemia dan pembentukan bezoar lambung juga telah dilaporkan jarang. Dosis standar sucralfate adalah 1 g qid 10,11. Bismuth Bismuth-mengandung senyawa obat pilihan untuk mengobati PUD. Kebangkitan dalam penggunaan agen-agen ini karena efeknya terhadap H. pylori. Bismuth subcitrate koloid (CBS) dan bismuth subsalicylate (BSS, Pepto-Bismol) adalah persiapan yang paling banyak digunakan. Mekanisme yang mendorong para agen penyembuhan ulkus tidak jelas. Mekanisme potensial termasuk coating ulkus, pencegahan lebih lanjut pepsin / HCl yang disebabkan kerusakan; pengikatan pepsin, dan stimulasi prostaglandin, bikarbonat, dan sekresi lendir. Efek samping jangka pendek penggunaan termasuk tinja berwarna hitam, sembelit, dan penggelapan dari lidah. Penggunaan jangka panjang dengan dosis tinggi, terutama dengan CBS gemar diserap, dapat menyebabkan neurotoksisitas. Senyawa ini biasanya digunakan sebagai salah satu agen dalam anti-H. pylori rejimen10,11. Prostaglandin Analog Dalam pandangan peran sentral mereka dalam mempertahankan integritas mukosa dan perbaikan, analog prostaglandin stabil dikembangkan untuk pengobatan PUD. Mekanisme yang obat ini cepat diserap memberikan efek terapeutik adalah melalui peningkatan pertahanan mukosa dan perbaikan. Analog prostaglandin meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, merangsang aliran darah mukosa, dan mengurangi pergantian sel mukosa. Toksisitas 16
yang paling umum dicatat dengan obat ini adalah diare (10-30% kejadian). Toksisitas utama lainnya termasuk perdarahan rahim dan kontraksi, misoprostol dikontraindikasikan pada wanita yang mungkin hamil, dan wanita usia subur harus dibuat jelas menyadari hal ini toksisitas obat yang potensial. Dosis terapi standar 200 g qid10,11. Operasi
Pembedahan dirancang untuk mengurangi sekresi asam lambung. Operasi yang paling sering dilakukan meliputi (1) vagotomy dan drainase (oleh pyloroplasty, gastroduodenostomy, atau gastrojejunostomy), (2) vagotomy sangat selektif (yang tidak memerlukan prosedur drainase), dan (3) vagotomy dengan antrectomy. Prosedur tertentu yang dilakukan ditentukan oleh keadaan yang mendasari: darurat vs elektif, derajat dan luasnya ulkus duodenum, dan keahlian dari ahli bedah. Selain itu, tren telah menuju operasi minimal invasif dan anatomimelestarikan10. 2.10. Komplikasi Perdarahan gastrointestinal
Perdarahan gastrointestinal adalah komplikasi yang paling umum diamati di PUD. Ini terjadi pada ~ 15% pasien dan lebih sering pada individu> 60 tahun. Insiden yang lebih tinggi pada orang tua kemungkinan disebabkan oleh peningkatan penggunaan NSAID dalam kelompok ini. Hingga 20% dari pasien dengan ulkus terkait berdarah perdarahan tanpa tanda-tanda peringatan sebelumnya atau gejala10. Perforasi
Ulkus terkait kedua yang paling umum adalah komplikasi perforasi, yang dilaporkan dalam sebanyak 6-7% dari pasien PUD. Seperti dalam kasus perdarahan, kejadian perforasi pada orang tua tampaknya meningkat sekunder untuk peningkatan penggunaan NSAID. Penetrasi adalah bentuk perforasi ulkus di mana terowongan tempat tidur ke organ yang berdekatan. Dus cenderung untuk menembus ke posterior pankreas, menyebabkan pankreatitis, sedangkan GUS cenderung menembus ke dalam hati lobus kiri. Fistula Gastrocolic terkait dengan Gus juga telah dijelaskan10.
17
Gastric Outlet Obstruksi
Obstruksi lambung adalah paling umum ulkus berhubungan dengan komplikasi, terjadi pada 1-2% pasien. Seorang pasien mungkin memiliki obstruksi relatif sekunder untuk ulkus terkait peradangan dan edema di wilayah peripyloric. Proses ini sering sembuh dengan penyembuhan ulkus. Sebuah obstruksi, tetap mekanik sekunder untuk pembentukan bekas luka di daerah peripyloric juga mungkin. Yang terakhir ini membutuhkan intervensi endoskopi (pelebaran balon) atau bedah. Tanda dan gejala obstruksi mekanik relatif terhadap dapat mengembangkan secara diam-diam. Onset baru cepat kenyang, mual, muntah, sakit perut peningkatan postprandial, dan penurunan berat badan harus membuat obstruksi lambung kemungkinan diagnosis 10.
2.11. Prognosis
Dyspepsia fungsional mempunyai prognosis baik apabila dilakukan pemeriksaan klinis dan penunjang yang akurat serta tatalaksana yang baik. Walalaupun modalitas pengobatanya menjadi luas berdasarkan kompleksitas patogenesisnya, serta lebih ke arah hanya
untuk
menurunkan/menghilangkan
gejala.
Pilihan
pengobatan
berdasarkan
pengelompokan gejala utama dapat dianjurkan, walaupun masih dapat diperdebatkan manfaatnya9.
18
BAB 3 KOLEGIUM PENYAKIT DALAM (KPD) CATATAN MEDIK PASIEN
No. Reg. RS : 27 87 09 Nama lengkap : Melosian Tanggal lahir :
Umur : 26 tahun
Alamat : Asr. Kodam
Jenis Kelamin : Perempuan No. Telepon : -
Pekerjaan : IRT
Status : Sudah Menikah
Pendidikan :
Jenis Suku :
Agama : Islam
Dokter Muda: Dokter
: dr. Burham
ANAMNESIS
Alloanamnesis
Autoanamnesis
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Keluhan Utama
: Nyeri ulu hati
Deskripsi
: Hal ini dialami os sejak ±2 hari yang lalu. Rasa nyeri seperti diperas.Rasa nyeri tidak ada kaitan dengan sebelum makan atau setelah makan. Nyeri ulu hati membaik dengan makan obat maag. Os suka makan makanan pedas. Mual (+) muntah (-). BAK (+) Normal BAB (+) Normal.
RPT
:-
RPO
:-
RIWAYAT KELUARGA : tidak dijumpai penyakit yang serupa
19
RIWAYAT PRIBADI
Riwayat Alergi
Hobi
Tahun
Bahan / obat
Gejala
-
-
-
Olah Raga
Riwayat imunisasi : tidak ada yang khusus Tahun Jenis imunisasi : tidak ada yang khusus
Kebiasaan Makanan : Makanan Pedas Merokok
: (-)
Minum Alkohol
: (-)
Hubungan Seks Bebas: (-)
ANAMNESIS UMUM (Review of System)
Berilah Tanda Bila Abnormal Dan Berikan Deskripsi Umum: Pasien lemah Kulit: Tidak ada keluhan Kepala dan leher: Tidak ada keluhan Mata: Tidak ada keluhan Telinga: Tidak ada keluhan Hidung: Tidak ada keluhan Mulut dan Tenggorokan: Tidak ada keluhan Pernafasan: Tidak ada keluhan Payudara: Tidak ada keluhan Jantung: Tidak ada keluhan
Abdomen: Tidak ada keluhan Ginekologi: Tidak ada keluhan Alat kelamin: Tidak ada keluhan Ginjal dan Saluran Kencing: Tidak ada keluhan Hematologi: Tidak ada keluhan Endokrin/Metabolik: Tidak ada keluhan Muskuloskeletal: Tidak ada keluhan Sistem saraf: Tidak ada keluhan Emosi: Terkontrol Vaskuler: Tidak ada keluhan
DESKRIPSI UMUM
Ringan
Sedang
Berat
Kesan Sakit Gizi BB: 55 Kg, TB: 160 cm RBW= 91.6%
20
TANDA VITAL
Kesadaran
Compos Mentis
Deskripsi: Komunikasi baik, rasa awas terhadap lingkungan baik Nadi (HR) 70 x/i Reguler, t/v: kuat Tekanan darah Berbaring: Duduk: Lengan kanan : 120/70 mmHg Lengan kanan : 120/70 mmHg Lengan kiri : 120/70 mmHg Lengan kiri : 120/70 mmHg Temperatur Aksila: 36,6 °C Rektal : tdp Pernafasan Frekuensi: 20 x/menit Deskripsi: reguler, abdominotorakal KULIT: ikterus (-), petekie (-), purpura (-), hematoma (-), edema (-), turgor kulit baik. KEPALA DAN LEHER: simetris, TVJ R-2 cm H2O, trakea medial, pembesaran KGB(-),
pembesaran kelenjar tiroid (-), kaku kuduk (-). MATA: konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-), RC +/+, pupil isokor,
ka=ki, ø 3mm. TELINGA: dalam batas normal HIDUNG: dalam batas normal RONGGA MULUT DAN TENGGORAKAN: dalam batas normal TORAKS Depan
Belakang
Inspeksi
Simetris fusiformis
Simetris fusiformis
Palpasi
Stem fremitus paru kiri = paru kanan Sonor di kedua lapangan paru
Stem fremitus paru kiri = paru kanan Sonor di kedua lapangan paru
SP: vesikuler ST: -
SP: vesikuler ST: -
Perkusi Auskultasi
JANTUNG
Batas Jantung Relatif: Atas
: ICR III Sinistra
Kanan : LSD Kiri
: ICR V 1 cm medial LMCS
Jantung : HR: 70 x/i,reguler, intensitas cukup 21
M1>M2 ,A2>A1 ,P2>P1 ,A2>P2, desah (-), gallop (-)
ABDOMEN
Inspeksi
: Simetris
Palpasi
: Soepel
-
Hati: Tidak teraba
-
Limpa : Tidak teraba Schuffner : -, Haecket : -
-
Ginjal : Tidak teraba
Perkusi
: Timpani
Auskultasi
: Peristaltik normal
PINGGANG
Tapping pain (-), ballotement (-)
EKSTREMITAS:
Superior : akral hangat, edema (-/-) Inferior : akral hangat, edema (-/-)
ALAT KELAMIN:
Tidak dilakukan pemeriksaan
Rectal Toucher (RT) :
Tidak dilakukan pemeriksaan
NEUROLOGI:
Refleks Fisiologis : (+) normal Refleks Patologis : (-) BICARA
Dalam batas normal
22
RENCANA AWAL Nama : Melosina Rencana yang akan dilakukan masing-masing masalah (meliputi rencana untuk diagnosa, penatalaksanaan dan edukasi) No Rencana Rencana Masalah Rencana terapi Rencana edukasi . diagnosa monitoring 1. Nyeri ulu - Tirah baring Menerangkan dan hati - Diet MB menjelaskan kepada - IVFD RL pasien dan keluarga 20gtt/i tentang keadaan, - Inj Ranitidin penatalaksanaan dan 1amp/12 jam komplikasi penyakit -Antasida syr pada pasien dan 3xCI keluarga. - Neurobrad tab 1x1 -as. Mefanamat tab 3x1
PEMERIKSAAN LABORATORIUM RUTIN 1. 08 Januari 2013 Darah
Hb: 13.6 g% Leukosit:7.7x103/mm3 LED: 9 EritrositHt: 40.6 % Platelet:383x103/mm3
Kimia Klinik Metabolisme karbohidrat Glukosa darah puasa : 93 mg/dl Cholesterol: 145mg HDL cholesterol: 43mg% LDL cholesterol: 89mg% 23
Triglyseride: 63mg% Ginjal Ureum : 15 mg/dL Kreatinin : 0.6 mg/dL As.urat: 4.6 SGOT: 97unit SGPT: 86unit Hati Bilirubin total:0.3mg% Bilirubin Direk: 0.18mg%
24
RESUME DATA DASAR (Diisi dengan Temuan Positif)
Oleh dokter : dr. Burham Nama Pasien : Melosina
No. RM: 27 87 09
KELUHAN UTAMA: nyeri ulu hati ANAMNESIS : (Riwayat Penyakit Sekarang, Riwayat Penyakit Dahulu, Riwayat Pengobatan, Riwayat Penyakit Keluarga, dll.) Hal ini dialami os sejak ±2 hari yang lalu. Rasa nyeri seperti diperas.Rasa nyeri tidak ada 1. 2.
kaitan dengan sebelum makan atau setelah makan. Nyeri ulu hati membaik dengan makan obat maag. Os suka makan makanan pedas. Mual (+) muntah (-). BAK (+) Normal BAB (+) Normal.
3. PEMERIKSAAN FISIK Kepala: konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), Sklera ikterik (-/-) Leher: dalam batas normal Toraks: Inspeksi: simetris fusiformis Palpasi: stem fremitus paru kiri = kanan Perkusi: sonor di kedua lapangan paru Auskultasi: SP: vesikuler . ST: Abdomen: Inspeksi: simetris Palpasi: soepel, H/L/R tidak teraba Perkusi: timpani Aukultasi: peristaltik normal Pinggang, inguinal, dan genitalia dalam batas normal Ekstremitas superior : edema (-/-) Ekstremitas inferior: edema (-/-), 4. PEMERIKSAAN LABORATORIUM Hb: 13.6 g% Leukosit:7.7x103/mm3 LED: 9 EritrositHt: 40.6 % Platelet:383x103/mm3 Metabolisme karbohidrat Glukosa darah puasa : 93 mg/dl Cholesterol: 145mg HDL cholesterol: 43mg% LDL cholesterol: 89mg% Triglyseride: 63mg% 25
Ginjal Ureum : 15 mg/dL Kreatinin : 0.6 mg/dL As.urat: 4.6 SGOT: 97unit SGPT: 86unit Hati Bilirubin total:0.3mg% Bilirubin Direk: 0.18mg%
RENCANA AWAL Nama Penderita: Eli Munthe No. RM: 541197 Rencana yang akan dilakukan masing-masing masalah (meliputi rencana untuk diagnosis, penatalaksanaan dan edukasi) Masalah Rencana Rencana Rencana Diagnosa Terapi Edukasi Nyeri ulu hati - Tirah baring Menerangkan dan - Diet MB menjelaskan keadaan, - IVFD RL 20gtt/i penatalaksanaan dan - Inj Ranitidin 1amp/12 jam komplikasi penyakit -Antasida syr 3xCI pada pasien dan - Neurobrad tab 1x1 keluarga -as. Mefanamat tab 3x1
Follow up 08 Januari 2013 & 09 Januari 2013 Tgl
08 Januari 2013
S
Nyeri ulu hati & pusing (+)
O
Sens: CM TD : 120/80 mmHg HR : 72 x/i RR : 20 x/i T : 36,5 oC
A
Dispepsia
P Terapi - Tirah baring - Diet MB - IVFD RL 20 gtt/i - Inj. Ranitidin 1amp/12jam - Neurogard tab 1x1
Anjuran -
26
09 Januari 2013
Nyeri ulu hati & pusing (+)
Sens: CM TD : 130/70 mmHg HR : 70 x/i RR : 20 x/i T : 36,5 oC
Dispepsia
-Neurodex 2x1 - Tirah baring - Diet MB - IVFD RL 20 gtt/i - Inj.Ranitidin 1amp/12jam - Neurogad 3x1 (k/p) - Neurobio 3x1 -Antasida syr 3xCI -Curcuma 3x1 Methiosin 3x1
-
Kesimpulan :
Ibu M, 26 tahun didiagnosis dengan Dispepsia. Berikut ini merupakan prognosis pasien tersebut: - Ad Vitam
: dubia ad bonam
- Ad Functionam
: dubia ad bonam
- Ad Sanactionam
: dubia ad bonam
VERIFIKASI
Dokter Ruangan
Chief of Ward
Sie. Pendidikan
Tanda tangan
27
BAB 4 KESIMPULAN
Dispepsia merupakan keluhan yang sangat umum, terjadi pada lebih dari seperempat populasi, tetapi hanya kurang lebih seperempatnya berkonsultasi ke dokter. Terdapat banyak penyebab dispepsia, antaranya adalah gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna; tukak gaster atau duodenum, gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori. Obat – obatan seperti anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa antibiotik, digitalis, teofilin dan sebagainya. Penyakit pada hati, pankreas, sistem bilier, hepatitis, pankreatitis, kolesistetis kronik. Penyakit sistemik: diabetes mellitus, penyakit tiroid, penyakit jantung koroner. Bersifat fungsional, yaitu dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak terbukti adanya kelainan atau gangguan organik atau struktural biokimia, yaitu dispepsia fungsional atau dispepsia non ulkus. Dispepsia adalah merupakan suatu simptom atau kelompok keluhan atau gejala dan bukan merupakan suatu diagnosis. Sangat penting mencari clue atau penanda akan gejala dan keluhan yang merupakan etiologi yang bisa ditemukan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Disebabkan kanker digestif bagian atas jarang pada umur <50 tahun, pemeriksaan endoskopi direkomendasi pada pasien yang berusia > 50 tahun. Juga direkomendasi pada pasien yang mangalami penurunan berat badan yang signifikan, terjadi pendarahan, dan muntah yang terlalu teruk. Penatalaksanaan dispepsia adalah meliputi pola hidup sehat, berpikiran positif dan pemakanan yang sehat dan seimbang, selain daripada pengobatan. Pengobatan dispepsia adalah antaranya seperti antasid, antikolinergik, antagonis reseptor histamin2, Proton Pump Inhibitor, sitoprotektif, golongan prokinetik, antibiotik untuk infeksi Helicobacter pylori dan kadang – kadang diperlukan psikoterapi.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Djojoningrat D. Pendekatan klinis penyakit gastrointestinal. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke – 4. FKUI; 2007.h.285. 2. Jones MP. Evaluation and treatment of dyspepsia. Post Graduate Medical Journal 2003;79:25-29. 3. Karakteristik Penderita Dispepsia Rawat Inap Di RS Martha Friska Medan Tahun 2007.
Edisi
2010.
Accessed
from:
http://library.usu.ac.id/index.php/index.php?option=com_journal_review&id. 4. Tarigan, P., 2009. Tukak Gaster. In Sudoyo AW et al, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing. 516-517. 5. Ringerl Y.,2005. Functional Dyspepsia. UNC Division of Gastroenterology and Hepatology. 2005;1:1-3. 6. Tack J., 2004. Pathophysiology and Treatment of Functional Dyspepsia. In : Gastroenterology 2004; 127 : 1239-1255. 7. Jupriansyah, 2012. Laporan Pendahuluan Askep Gawat Darurat dengan Klien Dispepsia di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Muhammadiyah PLG. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bina Husada, Palembang. 8. Tack J, Nicholas J, Talley, Camilleri M, Holtmann G, Hu P,
et al. Functional
Gastroduadenal. Gastroenterology 2006;130:1466-1479. 9. Djojoningrat.D. , 2007. Dyspepsia Fungsional. In : Sudoyo , A.W. et al , ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi 4 jilid 1 : InternaPublishing. 352 – 354. 10. Valle. J.D. Peptic Ulcer Disease and Related Disorders. In Fauci , A.S. et al, ed. HARRISON'S Principles of Internal Medicine 18 th edition Volume 2. USA : McGrawHill. 2438 - 2459. 11. Tjay , T.H. , Rahardja , K. , 2007. Obat-obat lambung. In : Tjay , T.H. , Rahardja , K. , ed. Obat – Obat Penting edisi keenam. Jakarta : Elex Media Komputindo. 262 - 279.
29