15
Laporan Kasus
Demam Tifoid pada Anak Laki-laki Berusia 9 Tahun
Penyaji : Indri May Arfah Harahap (130100045)
Sonya Desfirina (130100072)
Hari/Tanggal : 06 November 2017
Jam/Tempat : 10.00 /BIKA USU lantai 2
Pembimbing : dr. Tri Faranita, M. Ked(Ped), Sp. A
PENDAHULUAN
Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar yang tidak hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia.Virus dan bakteri adalah factor utama dalam menyebabkan penyakit infeksi.Penyakit infeksi bakteri yang sering menyebabkan penyakit pada manusia adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yaitu demam tifoid.1
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever.2 Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella Typhi yang ditularkan melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi.3 Penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang penting di dunia, terkait dengan angka morbiditas dan mortalitas yang ditimbulkan penyakit ini terutama pada negara berkembang. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam tifoid diseluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian tiap tahunnya.WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk demam tifoid.Di Indonesia, kasus demam tifoid ditemukan 350-810 kasus per 100.000 penduduk setiap tahun. Hasil riset kesehatan dasar tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi demam tifoid sebesar 1,6% dan Profil KesehatanIndonesia tahun 2015 menyatakan demam tifoid atau paratifoid menempati urutan ke 3 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2015 yaitu sebanyak 41.3,4
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi pada anak maupun dewasa.Anak merupakan yang paling rentan terkena demam tifoid, walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari dewasa. Di hampir semua daerah endemik, insidensi demam tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun.5
Penyebab demam tifoid adalah bakteri dari Genus Salmonella. Salmonella memiliki dua spesies yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori.Bakteri ini berbentuk batang, Gram-negatif, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagela.Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 66oC) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan klorinasi.5
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan asimtomatik.Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental.5
Gambaran klinis demam tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan bahkan asimtomatik.Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, serologis, dan bakteriologis.5
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.5
Keputusan Kementerian Kesehatan RI No 364 tahun 2006 tentang pedoman pengendaliandemam tifoid, menjelaskan bahwa beberapa keadaan kehidupan manusia yang sangat berperan pada penularan demam tifoid antara lain adalah higiene perorangan yang rendah, higiene makanan dan minuman yang rendah, kebersihan lingkungan yang kurang, tidak memadainya penyediaan air bersih, jamban yang ada tidak memenuhi syarat, tidak diobatinya pasien atau karier demam tifoid secara sempurna, serta program imunisasi untuk demam tifoid masih belum membudaya.6
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk melaporkan kasus Demam Tifoid pada anak usia 9 tahun.
KASUS
Anak laki-laki, KK, berusia 9 tahun, datang ke IGD Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara pada tanggal 16 oktober 2017 dengan keluhan demam. Hal ini dialami pasien sejak ±2 minggu sebelum masuk rumah sakit, dimana demam bersifat naik turun. Demam terutama dirasakan pada malam hari dan turun pada pagi hari. Demam turun dengan obat penurun panas dan kemudian demam kembali lagi.Riwayat berpergian ke daerah endemis malaria tidak dijumpai.
Keluhan mual dan muntah dijumpai. Muntah dirasakan os sejak ±5 hari sebelum masuk rumah sakit dengan frekuensi 2-3 kali/hari dengan volume ±100 cc .isi muntah os berupa apa yang dimakan dan diminum oleh os. Penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan ±2 kg dijumpai dalam 2 minggu ini.Keluhan sulit menelan tidak dijumpai.
Batuk dialami os sejak ±2 minggu sebelum masuk rumah sakit.Batuk disertai dengan dahak berwarna putih.Volume dahak ±2-5 cc/keluarin dahak. Batuk berdarah tidak dijumpai. Setelah 2 hari masuk rumah sakit, os tidak merasakan batuk lagi.Riwayat kontak dengan penderita TB tidak dijumpai.
Bibir pecah-pecah dan lidah terasa kotor dialami os sejak ±2 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Mencret juga dirasakan os sejak ±3 hari sebelum masuk rumah sakit dengan frekuensi 3-4 kali/hari.Volume mencret ±30-50 cc/kali mencret. Konsistensi air lebih banyak dibandingkan ampas. Mencret tidak disertai dengan darah dan lender. Mencret tidak dijumpai lagi sejak 2 hari setelah masuk rumah sakit. Buang air kecil (BAK) dalam batas normal. Nyeri perut juga dialami os sejak ±5 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan disekitar daerah pusar. Riwayat makan makanan sembarangan diakui oleh os ketika pulang dari sekolahnya.
Riwayat Kehamilan : Ibu berumur 24 tahun saat mengandung os. Riwayat demam, hipertensi dan DM tidak dijumpai.Riwayat pemakaian obat dan minum jamu-jamuan tidak dijumpai.
Riwayat Kelahiran : Pasien adalah anak pertama dan lahir secara PPV, BBL = 3600 gram, PB = tidak diketahui, sianotik tidak dijumpai dan menangis spontan.
Riwayat Imunisasi : belum pernah imunisasi.
Riwayat ASI : 0 – 6 bulan
Riwayat Penyakit Terdahulu : Os sudah berobat ke klinik dokter umum pada hari ke-3 dan hari ke-10 sakit.
Riwayat Pemakaian Obat : Antibiotik, Paracetamol dan vitamin.
PEMERIKSAAN FISIK :
Status presens :
Sensorium
: ComposMentis, suhu: 39,1 C, BB: 21 kg, TB: 125 cm
BB/U
:
72,41%
BB/TB : 81,50%
TB/U
:
99,3% Suhu
Keadaan umum: sedang, keadaan penyakit: sedang dan keadaan gizi : kurang.
Dypsnoe (-), anemia (-), jaundice (-), sianosis (-), edema (-)
Kepala
Mata : RC +/+, pupil isokor Ø 2mm/2mm, konjungtiva palpebral inferior pucat +/+
T/H/M : dbn/ dbn/ coated tongue
Leher : TVJ R-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Thorax : Simetris fusiformis, retraksi (-)
HR : 120 x/ menit, regular, murmur (-)
RR : 24 x/ menit, regular, ronki (-)
Abdomen : Peristaltik (+) N, hati / limpa : tidak teraba
Extremitas : Nadi 120 x/menit, reguler, akral hangat, t/v cukup, CRT <3"
Diagnosa Kerja : Demam tifoid + Gizi kurang
Diagnosa Banding : - Demam tifoid
TB paru
GE kronis
Tatalaksana : 1. Tirah baring
2. M II 1920 kkal dengan 45 gram protein
3. IVFD RL 60 gtt/i (mikro)
4. Inj.Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam/ IV
5. Paracetamol 4 x 250 mg
Rencana Penjajakan : 1. Kultur Darah
2. Urinalisa
3. Pemeriksaan Feses
4. Foto thorax
5. Cek sputum SPS
16 Oktober 2017
DARAH
Hb : 7,6 g/dL
Eritrosit : 2,62 x 106/mm3
Leukosit : 5,80 x 103/mm3
Trombosit : 104.000/μL
Ht : 21,20 %
MCV : 80,90
MCH : 29,00
MCHC : 35,80
Hitung Jenis :
Eosinofil : 0.30 %
Basofil : 0,20 %
Neutrofil : 88,6 %
Limfosit : 7,8 %
Monosit : 3,1%
ELEKTROLIT
Na/K/Cl : 119 / 3,36 /89
DIABETES
Glukosa Darah Sewaktu : 109 mg/dL
SEROLOGI
Anti S.typhi IgM (Tubex) : Skala 6
FOLLOW UP HARIAN DI RUANGAN
Tanggal 17/10/2017
S : Demam (+) hari ke 11. Demam naik turun terutama pada sore menjelang malam hari.Pada siang hari, demam turun tetapi tidak mencapai suhu normal.Mencret (-), mual (+), muntah (-).
O : Sensorium : Compos Mentis
HR : 88 x/ menit, regular, murmur (-)
RR : 30 x/ menit, regular, t/v cukup, akral hangat, CRT <2", TD : 95/70 mmHg
Kesadaran : GCS 15 (E4V5M6), suhu : 39.1°C, BB: 21 kg, TB : 125cm
BB / U : 72.4% BB / TB : 87.5%
TB / U : 92.6%
Keadaan umum : ringan, Keadaan penyakit : ringan, Keadaan gizi : gizi kurang
Dyspnoea (-), anemia (-), jaundice (-), sianosis (-), edema (-).
Kepala :
Mata : RC +/+, pupil isokor Ø 2mm/2mm, konjungtiva palpebral inferior pucat +/+
T/H/M : dbn/ dbn/ coated tongue
Leher : TVJ R-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Thorax : Simetris fusiformis, retraksi (-)
HR : 88 x/ menit, regular
RR : 30 x/ menit, regular, ronki (-)
Abdomen : Peristaltik (+) N, hati / limpa : tidak teraba
Extremitas : Nadi 88 x/menit, reguler, akral hangat, t/v cukup, CRT <3"
A : Demam tifoid + Gizi kurang
P : - IVFD D5% Nacl 0.9% 60 gtt / i (mikro)
- Inj. Ceftriaxone 1 gr / 12 jam / IV(H1)
- Paracetamol 4x250 mg
- Diet M II 1.920 kkal dengan 45 gram protein
R/ Koreksi Hiponatremia
125-119 x 0.6 x BB = 75.6 mEq
Nacl 0.9% 75.6/ 154x1000 = 490 cc habis dalam 4 jam
= 122 cc/jam
Tanggal 18/10/2017
S : Demam (+) hari ke 12. Demam naik turun, demam tinggi terutama pada sore menjelang malam hari.Pada siang hari, demam turun tetapi tidak mencapai suhu normal. Muntah (-), mencret (-), perut terasa kembung (+)
O : Sensorium : Compos Mentis
HR : 86 x/ menit, regular, murmur (-)
RR : 30 x/ menit, regular, t/v cukup, akral hangat, CRT <3", TD : 95/70 mmHg.
Kesadaran : GCS 15 (E4V5M6), suhu : 38°C, BB: 21 kg, TB : 125 cm
BB / U : 72.4% BB / TB : 87.5%
TB / U : 92.6%
Keadaan umum : ringan, Keadaan penyakit : ringan, Keadaan gizi : gizi kurang
Dyspnoea (-), anemia (-), jaundice (-), sianosis (-), edema (-).
Kepala
Mata : RC +/+, pupil isokor Ø 2mm/2mm, konjungtiva palpebral inferior pucat +/+
T/H/M : dbn/ dbn/ coated tongue
Leher : TVJ R-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Thorax : Simetris fusiformis, retraksi (-)
HR : 86 x/ menit, regular
RR : 30 x/ menit, regular, ronki (-)
Abdomen : Peristaltik (+) N, hati / limpa : tidak teraba
Extremitas : Nadi 86 x/menit, reguler, akral hangat, t/v cukup, CRT <3"
A : Demam tifoid + Hiponatremia + Gizi kurang
P : - IVFD D5% Nacl 0,9% 60 cc/ jam 20 gtt/i (makro)
-Inj. Ceftriaxone 1 gr / 12 hour / iv (H2)
- Paracetamol 4x250 mg
- Vit B Complex
- Diet M II tanpa serat daging
Tanggal 19/10/2017
S : Demam (-), mual (+), muntah (-)
O : Sensorium : Compos Mentis
HR : 88 x/ menit, regular, murmur (-)
RR : 20 x/ menit, regular, t/v cukup, akral hangat, CRT <3", TD : 95/70 mmHg
Kesadaran : GCS 15 (E4V5M6), suhu : 36,6°C, BB: 21 kg, TB : 125cm
BB / U : 72.4% BB / TB : 87.5%
TB / U : 92.6%
Keadaan umum : ringan, Keadaan penyakit : ringan, Keadaan gizi : gizi kurang
Dyspnoea (-), anemia (-), jaundice (-), sianosis (-), edema (-).
Kepala
Mata : RC +/+, pupil isokor Ø 2mm/2mm, konjungtiva palpebral inferior pucat +/+
Leher : TVJ R-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Thorax : Simetris fusiformis, retraksi (-)
HR : 88 x/ menit, regular
RR : 20 x/ menit, regular, ronki (-)
Abdomen : Peristaltik (+) N, hati / limpa : tidak teraba.
Extremitas : Nadi 88 x/menit, reguler, akral hangat, t/v cukup, CRT <3"
A : Demam tifoid + Gizi kurang
P : - IVFD D5% Nacl 0.9% 60 gtt / i (mikro)
- Inj. Ceftriaxone 1 gr / 12 jam / IV
- Paracetamol 4x250 mg (kp)
- Diet M II 1920 kkal dengan 45 gram protein
DISKUSI
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi, bakteri gram negatif yang ditularkan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi.3
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella Paratyphi (S. paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sitemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke kantung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan kembali ke dalam lumen usus secara intermiten. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, oleh karena makrofag telah teraktivasi sebelumnya maka saat fagositosis kuman Salmonellaterjadi pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik.7
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10 sampai 14 hari.Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.Gejala klinis dari demam tifoid adalah demam naik secara bertahap pada minggu pertama lalu menetap (kontinyu) atau remiten pada minggu kedua.Demam terutama sore / malam hari, sakit kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare perasaan tidak enak di perut, batuk dan epitaksis. Pada minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif, coated tongue (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus,gangguan mental berupa somnolen, sopor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan di Indonesia.7,8
Dari pemeriksaan laboratorium, ditemukan leukopenia, limfositosis relatif, monositosis, eosinofilia, dan trombositopenia ringan.Terjadinya leukopenia akibat depresi sumsum tulang oleh endotoksin dan mediator endogen yang ada.Diperkirakan kejadian leukopenia 25%, namun banyak laporan bahwa dewasa ini hitung leukosit kebanyakan dalam batas normal atau leukositosis ringan.Kejadian trombositopenia sehubungan dengan produksi yang menurun dan destruksi yang meningkat oleh sel-sel RES. Sedangkan anemia juga disebabkan produksi hemoglobin yang menurun serta kejadian perdarahan intestinal yang tidak nyata (occultbleeding). Perlu diwaspadai bila terjadi penurunan hemoglobin secara akut pada minggu 3-4, yang biasanya disebabkan oleh perdarahan hebat dalam abdomen.9
Pada pemeriksaan penunjang, Uji Widal : deteksi titer antibodi terhadap S.typhi, S.paratyphiyakni aglutinin O (dari tubuh kuman) dan aglutinin H (flagela kuman). Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, puncak pada minggu keempat, dan tetap tinggi dalam beberapa minggu dengan peningkatan aglutinin O terlebih dahulu baru diikuti aglutinin H. aglutinin O menetap 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap 9-12 bulan. Titer antibodi O >1 : 320 atau antibodi H > 1 : 640 menguatkan diagnosis pada gambaran klinis yang khas. Uji Tubex : Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit. Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.15 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%.10 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.9 Ada 4 interpretasi hasil : Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid.Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.Skala 4-5 adalah Positif.Menunjukkan infeksi demam tifoid.Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid.11 Uji Typhidot : deteksi IgM dan IgG pada protein membran luar S.typhi. Hasil positif diperoleh 2-3 hari setelah infeksi dan spesifik mengidentifikasi IgM dan IgG terhadap S.typhi.Sensitivitas 98% spesifisitas 76,6%. Uji IgM Dipstick : deteksi khusus IgM spesifik S.typhi pada spesimen serum atau darah dengan menggunakan strip yang mengandung antigen lipopolisakarida S.typhi dan anti IgM sebagai kontrol. Sensitivitas 65-77% spesifisitas 95-100%.Akurasi diperoleh bila pemeriksaan dilakukan 1 minggu setelah timbul gejala. Kultur Darah : hasil positif memastikan demam tifoid namun hasil negatif tidak menyingkirkan.12 Pada pasien ini di dapatkan hasil laboratoriumnya adalah trombositopenia, hemoglobin yang menurun. Sedangkan leukosit dan monosit dalam batas normal.Pada pemeriksaan penunjang serologi anti S.typhi IgM (Tubex) ditemukan skala 6. Pada pasien ini didiagnosis berdasarkan gejala klinis adalah demam, yang sudah dirasakan pasien sejak ± 2 minggu, demam bersifat naik turun, demam tinggi terutama sore menjelang malam hari.Pasien juga mengeluhkan sakit kepala dan sakit perut. Hal ini sudah dirasakan pasien sejak ± 2 minggu disertai dengan mual dan muntah.Muntah dikeluhkan pasien ± 5 hari dengan frekuensi 2-3 kali / hari. Isi muntah apa yang di minum dan di makan oleh pasien, dengan volume ± 100 cc / hari. Nafsu makan pasien juga menurun sejak ± 1 minggu, namun minum masih kuat.Riwayat jajan sembarangan di akui oleh ibu pasien.Diare juga dijumpai pada pasien sejak ± 3 hari ini, dengan frekuensi 3-4 kali / hari dengan volume 30-50 cc / kali diare. Air lebih banyak daripada ampas.
Manajemen suportif sangat penting pada demam tifoid, selain pengobatan utama dalam bentuk antibiotik. Pemberian rehidrasi oral atau parenteral, penggunaan antipiretik, nutrisi yang adekuat dan transfusi darah jika ada indikasi adalah manajemen yang membantu meningkatkan kualitas hidup anak dengan demam tifoid. Pemilihan antibiotika lini pertama untuk pengobatan demam tifoid pada anak-anak di negara berkembang didasarkan pada faktor kemanjuran, ketersediaan dan biaya.13Pilihan terapi antibiotik pada demam tifoid adalah golongan dari Fluoroquinolone, seperti ofloxacin, ciprofloxacin, levofloxacin atau gatifloxacin. Masalah pengobatan demam tifoid saat ini adalah resistensi terhadap beberapa obat antibiotik yang umum digunakan untuk demam tifoid atau yang disebut dengan Multi Drug Resistance (MDR). WHO telah memberikan rekomendasi pengobatan antibiotik untuk demam tifoid, yang dibagi atas pengobatan demam tifoid yang tidak rumit, baik sebagai terapi primer atau alternatif dan terapi untuk demam tifoid berat atau dengan komplikasi.13
Chloramphenicol masih merupakan pilihan pertama obat demam tifoid pada anak-anak, meski menurut WHO obat tersebut dimasukkan sebagai obat alternatif atau lini kedua karena obat lini pertama adalah fluoroquinolone, terutama untuk pengobatan demam tifoid pada orang dewasa. Pemberian obat cephalosporin generasi ketiga seperti ceftriaxone atau cefotaxime ditunjukkan pada kasus obat resisten chloramphenicol dan obat antibiotik untuk demam tifoid lainnya.Untuk beberapa kasus yang resisten terhadap fluoroquinolone, obat ceftriaxone dianggap masih sensitif dan membawa hasil yang baik bila digunakan sebagai terapi alternatif, bersama dengan azithromycin dan cefixime. Pemberian ceftriaxone harus diberikan selama 14 hari, karena jika diberikan selama 7 hari, kemungkinan kambuh meningkat dalam 4 minggu setelah terapi ceftriaxone dihentikan.14,15
Dalam hal ini pengobatan demam tifoid dengan pengobatan suportif pada pasien ini meliputi tirah baring, IVFD D5% Nacl 0,9% 60 cc / jam : 20 tetes / menit (makro), Inj. Ceftriaxone 1 gr / 12 jam / IV, Paracetamol 4x250 mg, Vitamin B kompleks, Diet M II tanpa serat daging.
Perjalanan utama penularan demamtifoid adalah melalui air minum atau makan-makanan yang terkontaminasi oleh Salmonella typhi. Pencegahan didasarkan pada akses terhadap air bersih dan mempromosikan praktik penanganan makanan yang aman. Pendidikan kesehatan sangat penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan mendorong perubahan perilaku.12 Pada pasien ini di dapatkan BB / U : 72.4%, TB / U : 92.6%, BB / TB : 87.5%,
maka pasien tersebut termasuk dalam kategori gizi kurang.14
Status gizi
BB/TB
(% median)
BB/TB WHO 2006
IMT CDC 2000
Obesitas
>120
> +3
> P95
Overweight
>110
> +2 hingga +3 SD
P85 – p95
Normal
>90
+2 SD hingga -2 SD
Gizi kurang
70-90
< -2 SD hingga -3 SD
Gizi buruk
<70
< - 3 SD
KESIMPULAN
Pasien a.n Keis Kaisa didiagnosa dengan demam tifoid + gizi kurang berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.Pasien pulang atas permintaan sendiri pada tanggal 20 Oktober 2017
DAFTAR PUSTAKA
Suwandi JF & Sandika J. Sensitivitas Salmonella thypi Penyebab Demam Tifoid terhadap Beberapa Antibiotik. Majority. Februari 2017; 6(1): 41-45.
Rahma V, Hanif M & Efrida. Gambaran Hasil Uji Widal Berdasarkan Lama Demam pada Pasien Suspek Demam Tifoid. Jurnal Kesehatan Andalas. 2016; 5(3): 687-691.
World Health Organization. Immuniza-tion, vaccines, and biological (updated: 13 April 2015). Diunduh di: http://www.who.int/immunization/diseases/typhoid/en/. (Diakses 24 Oktober 2017).
Nelwan RHH. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. CDK-192. 2012; 39(4): 247-150.
Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-345.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Kementerian Kesehatan RI No. 364 Tahun2006 tentang Pedoman Pengendalian DemamTifoid.
Widodo D, Demam Tifoid. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kelima. Jakarta : Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam: 2009. Hal : 2797-805.
Matsumoto Y, Ikemoto A, Wakai Y, Ikeda F, Tawara S, Matsumoto K. Mechanism of Therapeutic Effectiveness of Cefixime against Typhoid Fever. Antimicrob Agents Chemother 2011; 45: 2450–2454.
Bhutta ZA, Khan IA, Shadmani M. Failure of short-course ceftriaxone chemotherapy for multidrug-resistant typhoid fever in children: a randomized controlled trial in Pakistan. Antimicrob Agents Chemother 2013;44:450-2
Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003. h. 2-20.
Kliegman R M, Stanton B M, St. Geme J W, Schor N F. Nelson Textbook of Pediatrics ed 20th Edition. Philadelphia: Elsevier; 2016.
Wibisono E, Susilo A, Nainggolan L. Dalam : Buku Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Keempat. Jakarta : Penerbit Media Aesculapius: 2014. Hal : 721-23.
Frenck RW Jr, Mansour A, Nakhla I, Sultan Y, Putnam S, Wierzba T, Morsy M, Knirsch C. Short-course azithromycin for the treatment of uncomplicated typhoid fever in children and adolescents. Clin Infect Dis 2012;38:951-7
Wain J, Bay PV, Vinh H, Duong NM, Diep TS, Walsh AL, Parry CM, Hasserjian RP, Ho VA, Hien TT, Farrar J, White NJ, Day NP. Quantitation of bacteria in bone marrow from patients with typhoid fever; relationship between counts andclinical features. Vaccine 2011; 39: 1571-6.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi Asuhan Nutrisi Pediatrik. 2011: 05-06.