1 Laporan Praktikum M.K Endokrinologi Ikan
Hari/Tanggal: Senin/12 Januari 2015 Asisten: Fajar Maulana, S.Pi., M.Si
ENDOKRINOLOGI IKAN (PENGAMATAN KELENJAR ENDOKRIN IKAN MAS DAN LELE)
DISUSUN OLEH:
ARDANA KURNIAJI C151140261
ILMU AKUAKULTUR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015
2
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktikum Endokrinologi ikan. Praktikum Endokrinologi ikan dilaksanakan di Kolam percobaan Babakan, Departemen BDP Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada keluarga tercinta yang senantiasa mendoakan kesuksesan bagi penulis dalam penyelesaikan laporan ini. Terimakasih kepada asisten dan dosen pengampuh mata kuliah Endokrinologi ikan atas bimbingan dan ilmu yang diberikan selama praktikum, tidak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih untuk seluruh anggota kelompok atas kerjasamanya dalam praktikum patologi ikan ini. Penulis sadar jika dalam penyusunan laporan ini masih terdapat banyak sekali kekurangan dan salah, mohon kiranya dimaafkan dan diilhami sebagai contoh yang baik agar di kemudian hari tidak di ulangi. Semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi semua pihak yang membacanya. Terima kasih.
Bogor, Januari 2015
Ardana Kurniaji C151140261
3
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i KATA PENGANTAR ................................................................................... ii DAFTAR ISI .................................................................................................. iii I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang .................................................................................... B. Tujuan ...................................................................................................
1 2
II. METODE PRAKTIKUM A. Waktu dan Tempat ................................................................................ B. Alat dan Bahan .................................................................................... C. Prosedur Praktikum ................................................................................
3 3 3
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengamatan .................................................................................... 1. Hasil pengamatan pada ikan lele ...................................................... 2. Hasil pengamatan pada ikan mas ....................................................
4 4 8
B. Pembahasan ............................................................................................. 1. Perbandingan Berat Ikan dan berat organ ........................................ 2. Jenis organ dan hormone yang dihasilkan........................................ 3. Kelainan dan ketiadaan hormon .......................................................
11 12 13 45
IV. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ................................................................................................. 49 B. Saran ........................................................................................................ 49 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
4 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya organisme merupakan kumpulan molekul yang saling mempengaruhi sedemikian rupa sehingga berfungsi secara stabil dan bersifat hidup. Interaksi tersebut kemudian membentuk suatu unit fungsi dalam satuan sistem organ yang bekerja berdasarkan koordinasi. Sistem endokrin merupakan sistem yang tersusun oleh kelenjar-kelenjar endokrin. Kelenjar endokrin mensekresikan senyawa kimia yang disebut hormon. Hormon merupakan senyawa protein atau senyawa steroid yang mengatur kerja proses fisiologis tubuh. Hormon bekerja sama dengan sistem saraf untuk mengatur pertumbuhan, keseimbangan internal dan reproduksi. Kedua sistem tersebut mengaktifkan sel untuk berinteraksi satu dengan yang lain dengan menggunakan pesan kimia. Kelenjar endokrin menggunakan pesan kimia berupa hormon yang diedarkan oleh sistem trasnportasi (darah), dan mempengaruhi sel target yang ada diseluruh tubuh. Kerja sistem endokrin lebih lambat dibandingkan dengan sistem saraf, sebab untuk mecapai sel target hormon harus mengikuti aliran sistem transportasi. Dalam dunia kelimuan, sistem endokrin dipelajari dalam cabang ilmu endokrinologi. Endokrinologi merupakan bidang ilmu yang memepelajari tentang hormon dalam tubuh organisme. Sistem endokrin, dalam kaitannya dengan sistem saraf, mengontrol dan memadukan fungsi tubuh. Kedua sistem ini bersama-sama bekerja untuk mempertahankan homeostasis tubuh. Fungsi mereka satu sama lain saling berhubungan, namun dapat dibedakan dengan karakteristik tertentu. Bila sistem endokrin umumnya bekerja melalui hormon, maka sistem saraf bekerja melalui neurotransmiter yang dihasilkan oleh ujung-ujung saraf. Ikan salah satu organisme yang juga memiliki sistem endokrin. Sistem endokrin pada ikan lebih sederhana namun hampir sama dengan hewan vertebrata lainnya. Hormon-hormon pada ikan ini berperan mengatur pertumbuhan dan keseimbangan tubuh terutama pada lingkungan yang hipoosmotik ataupun hiperosmotik. Kelenjar endokrin disebut juga kelenjar buntu karena hormon yang dihasilkan tidak dialirkankan melalui suatu saluran tetapi langsung masuk
5 kedalam pembuluh darah. Hormon dari kelenjar endokrin mengikuti peredaran darah ke seluruh tubuh hingga mencapai organ-organ tertentu. Meskipun semua hormon mengadakan kontak dengan semua jaringan dalam tubuh, namun hanya sel atau jaringan yang mengandung reseptor yang spesifik terhadap hormon tertentu yang terpengaruh hormon tersebut. Oleh sebab itu, pengaturan sekresi hormon dalam tubuh dilakukan oleh kelenjar endokrin secara dinamis melalui saluran kelenjar endokrin. Setiap kelenjar juga mensekresikan hormon berbeda berdasarkan kebutuhan tubuh dan interaksi antara saraf dan sistem endokrin. Karena pentingnya pengetahuan mengenai kelenjar endokrin tersebut, maka praktikum ini perlu dilakukan untuk mengetahui letak dan fungsi dari kelenjarkelenjar endokrin pada ikan.
1.2 Tujuan Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui lebih lanjut mengenai letak, bobot, fungsi dan kelainan apa saja dari kelenjar-kelenjar yang ada pada ikan.
6 II. METODOLOGI
2.1 Waktu dan Tempat Praktikum endokrinologi ikan dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 20 Desember 2014 di Kolam Percobaan Babakan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 2.2 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah 1 set alat bedah, timbangan, mistar, kamera, ember, alat tulis, plastik hitam, tissue ikan mas jantan dan betina serta ikan lele jantan. 2.3 Prosedur Kerja Prosedur kerja pada praktikum ini meliputi seleksi ikan, pengukuran bobot ikan, pembedahan dan pengamatan kelenjar endokrin pada ikan. Seleksi ikan dilakukan dengan memilih ikan yang berukuran dewasa dan telah matang gonad baik ikan jantan maupun betina. Kemudian pengukuran bobot ikan dilakukan dengan menimbang berat ikan satu persatu dan mengukur panjang totalnya. Adapun pembedahan dilakukan dengan meletakkan ikan pada meja dengan kepala berada dikiri, kemudian dengan menusukkan gunting bedah dengan bagian yang tumpul kebagian anus, kemudian mengirisnya dari rongga perut kebagian atas. Setelah gunting mencapi ujung rongga perut bagian atas terdepan (belakang kepala) gunting diarahkan kebagian bawah sampai kedasar perut kemudian membuka daging yang telah tergunting. Selain itu, dilakukan pula pembedahan pada kepala ikan dengan memotong bagian atas tulang kepala ikan untuk pengamatan hipofisa. Selanjutnya adalah pegamatan dan penimbangan kelenjar endokrin.
7 III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Pengamatan Hasil pengamatan pada praktikum pengamatan kelenjar endokrin pada ikan lele dan ikan mas dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil pengamatan kelenjar endokrin pada ikan jantan dan betina Ikan Lele No.
Jantan 1 2 3 4 5 6
Ikan Mas
Parameter Panjang Berat Hati Pankreas Ginjal Gonad
31,5 cm 280 g 5,00 g 0,98 g 1,77 g 3,85 g
Jantan II 35 cm 400 g 11,03 g 1,05 g 2,55 g 1,93 g
Jantan 27,5 cm 380 g 0,64 g 1,85 g 51,53 g
Betina 26,5 cm 420 g 0,63 g 0,52 g 52,15 g
3.1.1 Hasil Pengamatan pada Ikan Lele Adapun hasil pengamatan kelenjar endokrin pada ikan lele adalah sebagai berikut:
3
1
4
2
Gambar 1 Hasil pengamatan kelenjar endokrin ikan lele, (1) hati, (2) pankreas, (3) ginjal, (4) gonad
8 Adapun gambar dan sketsa hasil pengamatan kelenjar endokrin pada ikan lele adalah sebagai berikut: a. Hipofisa
Gambar 2 Hipofisa ikan lele
b. Hati
Gambar 3 Hati ikan lele
9 c. Pankreas
Gambar 4 Pankreas ikan lele
d. Ginjal
Gambar 5 Ginjal ikan lele
10 e. Gonad
Gambar 6 Gonad ikan lele
f. Urofisis
Gambar 7 Kelenjar Urofisis ikan lele
11 3.1.2 Hasil Pengamatan pada Ikan Mas Adapun hasil pengamatan kelenjar endokrin pada ikan lele adalah sebagai berikut: 3
1
2
Gambar 8 Hasil pengamatan kelenjar endokrin ikan mas, (1) hati, (2) gonad, (3) ginjal Adapun gambar dan sketsa hasil pengamatan kelenjar endokrin pada ikan mas adalah sebagai berikut: a. Hipofisa
Gambar 9 Hipofisa pada ikan mas
12 b. Hati
Gambar 10 Hati pada ikan mas
c. Ginjal
Gambar 11 Ginjal pada ikan mas
13 d. Gonad pada ikan mas jantan
Gambar 12 Gonad pada ikan mas jantan
e. Gonad pada ikan mas betina
Gambar 13 Gonad pada ikan mas betina
14 f. Kelenjar Urofisis pada ikan mas
Gambar 14 Kelenjar urofisis pada ikan mas betina 3.2 Pembahasan Sistem endokrin merupakan sistem kontrol kelenjar yang terdapat dalam tubuh organisme dan tidak memiliki saluran (ductless) khusus, sehingga dalam sekresi senyawa aktif biologinya seringkali melalui aliran darah untuk sampai pada organ target dan menimbulkan aksi. Sistem endokrin disusun atas berbagai kelenjar-kelenjar endokrin. Kelenjar endokrin mensekresikan senyawa kimia yang disebut hormon. Hormon ini merupakan senyawa protein atau senyawa steroid maupun derivatnya yang berperan mengatur kerja proses fisiologis tubuh. Menurut Anwar (2005) bahwa hormon diturunkan dari unsur-unsur penting hormon peptida dari protein, hormon steroid dari kolesterol, dan hormon tiroid serta katekolamin dari asam amino. Hormon-hormon ini bekerjasama dengan sistem saraf pusat sebagai fungsi pengatur dalam berbagai kejadian dan metabolisme dalam tubuh. Jika hormon sudah berinteraksi dengan reseptor di dalam atau pada se-lsel target, maka komunikasi intraseluler dimulai. Untuk itu perlu diketahui mengenai proses pengaturan sekresi hormon, pengikatan dengan protein transpor, pengikatan dengan reseptor dan kemampuan untuk didegradasi dan
dibersihkan
berkepanjangan.
agar
tidak
memberikan
dampak
metabolisme
yang
15 Sistem endokrin dapat dijumpai pada semua golongan hewan, baik vertebrata maupun invertebrata. Sistem endokrin (hormon) dan sistem saraf secara bersama lebih dikenal sebagai supra sistem neuroendokrin yang secara kooperatif untuk menyelenggarakan fungsi kendali dan koordinasi pada tubuh hewan. Pada umumnya, sistem endokrin bekerja untuk mengendalikan berbagai fungsi fisiologis tubuh, antara lain aktivitas metabolisme, pertumbuhan, reproduksi, regulasi osmotik, dan regulasi ionik (Isnaeni 2006). Pada ikan, sistem endokrin bekerja lebih sederhana dari mamalia meskipun jenis hormone dan kelenjar yang dihasilkan sama, namun fungsi dan peruntukan hormone pada beberapa kasus menunjukkan perbedaan. Untuk meninjau ukuran dan fungsi dari organ penghasil hormone, berikut ini pembahasan hasil praktikum yang telah dilakukan. 3.2.1 Perbandingan Berat Ikan dan Berat Organ Berdasarkan hasil pengamatan pada praktikum ini diperoleh panjang ikan lele jantan adalah 31,5 cm sedangkan pada ikan lele betina 35 cm. sedangkan berat ikan adalah 280 g pada jantan dan 400 g pada betina. Jika dibandingkan dengan berat organ masing-masing, maka ikan lele memiliki bobot hati 1,78% dari berat tubuh yakni 5 g, bobot pancreas 0,35% yakni 0,98 g, bobot ginjal 0,63% yakni 1,77 g dan bobot gonad 1,37% yakni 3,85 g. Ikan mas jantan memiliki panjang yang lebih rendah dibandingkan ikan lele, namun berat yang lebih tinggi. Berdasarkan hasil pengukuran menunjukkan bahwa ikan mas jantan memiliki bobot yang lebih rendah dari ikan betina. Panjang ikan jantan adalah 27,5 cm sedangkan ikan betina 26,5cm namun berat ikan betina adalah 420 g sedangkan pada ikan jantan 380 g. Jika diamati berat gonad keduanya, ikan jantan memiliki persentase berat gonad yang lebih tinggi dari berat tubuhnya jika dibandingkan dengan ikan betina, hasil pengukuran menunjukkan bahwa ikan betina memiliki berat gonad 12,38% sedangkan ikan jantan 13,56%. Adapun berat hati keduanya sama yakni 0,64 g namun persentase dari berat tubuh ikan jantan lebih tinggi yakni 1,68% sedangkan betina 1,50%, begitupula berat ginjalnya yang ada pada kedua ikan yakni 1,85 g pada ikan jantan dan 0,52 pada ikan betina. Persentase berat ginjal menunjukkan ikan jantan memiliki berat ginjal 0,48% dan ikan betina 0,12%.
16 3.2.2 Jenis dan Fungsi Hormon yang dihasilkan Organ Kelenjar endokrin meiliki beberapa karakteristik, antara lain: 1) Kelenjar endokrin tidak memiliki duktus, kelenjar ini mensekresi hormon langsung ke dalam cairan jaringan di sekitar sel-selnya. Sebaliknya, kelenjar eksokrin seperti kelenjar saliva, mensekresi produknya ke dalam duktus, 2) Kelenjar endokrin biasanya mensekresi lebih dari satu jenis hormon (kelenjar paratiroid yang hanya mensekresi paratiroid merupakan suatu pengecualian, 3) Konsentrasi hormon dalam sirkulasi darah adalah rendah, hormon yang bersirkulasi dalam aliran darah hanya sedikit jika dibandingkan dengan zat aktif biologis lainnya seperti glukosa dan gliserol, walaupun hormon dapat mencapai sebagian besar sel tubuh, hanya sel target tertentu yang memiliki reseptor spesifik yang dapat dipengaruhi, dan 4) Kelenjar endokrin memiliki persediaan pembuluh darah yang baik, secara mikroskopis, kelenjar tersebut terdiri dari korda atau sejumlah sel sekretori (Sloane 2003). 1. Hipofisa Hipofisa atau kelenjar pituitaria adalah suatu kelenjar endokrin penting pada semua hewan vertebrata (bertulang belakang) termasuk ikan. Hal ini karena hipofisa memproduksi hormone-hormon penting dalam tubuh. Karena letaknya di bawah otak, maka kelenjar ini sering disebut sebagai kelenjar bawah otak. Pada ikan, hipofisa terletak di sebelah belakang "chiasma nervi optici", yakni persilangan nervus opticus yang menuju ke mata. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Letak Hipofisa pada nomor 9 (Sutomo 1998)
17 Bentuk hipofisa membulat sampai agak lonjong tergantung dari jenis ikannya, ukurannya relatif sangat kecil lebih kurang sebesar butiran beras. Seperti halnya pada kelenjar endokrin lainnya, hipofisa kaya akan vaskularisasi pembuluh darah sehingga dalam keadaan segar tampak berwarna putih kemerahan. Gambaran mikroanatomi hipofisa yang terpotong vertikal (tegak) dapat dilihat pada Gambar 2. Kelenjar terdiri atas dua bagian yaitu neurohipofisa dan adenohipofisa. Bagian adenohipofisa terbagai lagi atas tiga bagian yaitu proadenohipofisa,
mesoadenohipoflsa
dan
metaadenohipofisa.
Bagian
mesoadenohipofisa mampu memproduksi gonadotropin, yakni suatu hormon yang mempunyai peranan penting dalam sistem reproduksi. Hormon ini dapat merangsang perkembangan dan pematangan testis dan ovarium (Sutomo 1988).
Gambar 2. Diagram kelenjar hipofisa pada ikan: (a) "lamprey" petromyzon ; (b) "dogfish Shark" (Squalus); (c) "trout" (Salmo); (d) "perch" (Perca). HL. lumen hipofisa; IN, infundibulum; MA, meso-adenohipofisa; ME, meta-adenohipofisa; NE, neurohipofisa; PA, pro-adenohipofisa; SV, kantong vasculosus; VL, lobus ventral. (Lagler et al. 1977).
18 Pada ikan yang telah dewasa, hormon ini diproduksi lebih banyak daripada ikan yang masih muda dan jumlahnya mening- kat pada saat menjelang musim pemijahan. Hormon yang telah diproduksi dicurahkan langsung ke dalam pembuluh darah. Melalui sistem sirkulasi darah inilah akhirnya gonadotropin sampai ke organ sasarannya (gonad). Di sini gonadotropin memainkan aksinya, yakni menginduksi jaringan gonad dalam memproduksi steroid-steroid kelamin seperti androgen, estrogen dan progesteron yang secara langsung berperan terhadap perkembangan gonad. Melihat kenyataan bahwa hipofisa mengandung hormon gonadotro- pin, para ahli telah tertarik untuk meman- faatkan kelenjar tersebut sebagai bahan perangsang pemijahan pada ikan. Beberapa percobaan telah dilakukan dan terbukti bahwa penyuntikkan ekstrak kelenjar hi-pofisa dapat merangsang pematangan gamet (sel kelamin), ovulasi dan pemijahan. Kelenjar hifofisis terletak di dasar tengkorak, di dalam fossa hifofisis tulang sfenoid. Kelenjar itu terdiri atas dua lobus, yaitu anterior dan poterior, dan bagian diantara kedua lobus itu ialah pars intermedia (Pearce 2008). Kelenjar hifofisis dapat dikatakan sebagai kelenjar pemimpin, sebab sebuah hormonhormon yang dihasilkannya dapat mempengaruhi pekerjaan kelenjar lainnya. Lobus anterior (adenohipofisis) menghasilkan sejumlah hormon yang bekerja sebagai zat pengendali produksi dari semua organ endokrin yang lain (Syaifuddin 1997). Kelenjar ini disebut pula hypophysa terletak pada lekukan tulang di dasar otak (sela tursika) di bawah diencephalon. Suatu tangkai yang menghubungkan antara kelenjar ini dengan diencephalon disebut Infundibulum. Kelenjar ini walaupun kecil, fungsi dan strukturnya merupakan organ tubuh yang sangat rumit dan sulit, terdiri dari dua bagian utama, yaitu adenophipofisa dan neurohipofisa. Pada stadia embrionik, kelenjar ini berasal dari gabungan elemen neural yang tumbuh ke bawah dari diencephalon dan elemen epithel (kantung rathke) yang tumbuh ke atas dari bagian dorsal rongga mulut. Pertumbuhan dari hypophysa, berasal dari dua macam organ, yaitu: Neurohypophyse dan Adenohypophyse. Neurohypofise dibentuk dari bagian alas diencephalon (Infundibulum) sedangkan Adenohypophyse, terbentuk dari perlekukan bagian ektodermal dari rongga mulut embrio (stomodaeum), disebut kantong hypophyse atau kantung rathke. Hubungannya dengan rongga mulut akan hilang setelah
19 pertumbuhan selesai. Adenohipofisa terdiri atas pars distalis dan pars intermedia, sedangkan neurohipofisa hanya terdiri atas pars nervosa yang berfungsi mensekresi ocytoxin, arginin vasoticin dan isotocin. Pars distalis merupakan bagian utama adenohipofisa yang mengandung sel-sel pesekresi hormon prolaktin, hormon adrenocorticotropic (ACTH), hormon pelepas tiroid (Thyroid Stimulating Hormone), hormon pertumbuhan (STH-Somatropin), dan gonadotropin serta pars intermedia mensekresi hormon pelepas melanosit (Melanocyte Stimulating Hormone), yang mana, pelepasan hormonnya diatur oleh faktor-faktor yang berasal dari hipotalamus. Kelenjar Hipofisa
Adenohipofisa
Pars distalis - Prolaktin
Neurohipofisa
Pars intermedia - MSH
- ACTH - TSH
Pars nervosa - Ocytoxin - Arginin vasotocin - Isotocin
- STH - GonadotropinGambar 3 Hormon-hormon yang disekresi hipofisa
Adapun hormon-hormon yang diproduksi oleh kelenjar hipofisa adalah sebagai berikut: a. Growth Hormone (GH) Hormon pertumbuhan (Growth Hormone / GH) pada ikan berperan untuk memacu pertumbuhan, disamping terlibat juga dalam fungsi osmoregulasi, pengaturan keseimbangan cairan elektrolit dan proses-proses metabolism (Buwono dan Suparta 2007).
Hormon pertumbuhan merupakan hormone
polipeptida yang dilepaskan dari adenohipofisa yang menginduksi hati agar mensisntesis somatomedin yang berperan langsung dalam pertumbuan, baik
20 pertumbuhan tulang, otot maupun sel-sel lain. Hormone pertumbuhan mampu meningkatkan nafsu makan, konversi pakan, sintesis protein, menurunkan ekskresi nitrogen, merangsang metabolism dan ioksidasi lemak serta memacu sintesis dan pelepasan insulin. Selain itu hormone pertumbuhan juga berperan dalam reproduksi dan osmoregulasi (Li et al. 2005). Growth hormone (GH), atau dikenal juga sebagai somatic hormon (STH) mempunyai berat molekul 22.000 serupa berbagai spesies (jenis) mamalia, misalnya manusia, sapi, domba dan sebagainya. Growth hormon telah diisolasi dari ikan Tilapia, dari hasil tersebut dibuktikan bahwa struktur asam amino sebanyak 191 asam amino, dengan 2 isulfida atau cystein – 53 dan cys-165, dan cys 182 dan 189, satu triptopan dan mengandung sedikit metionin dan histidin. Fungsi growth hormon adalah memainkan peranan penting di dalam metabolisme protein, lemak, dan karbohidrat, jugar transpor asam amino, bertindak sebagai pemerkuat di dalam meningkatkan pengaruh hormon-hormon lain. Growth hormon adalah hormon anabolik protein yang mempengaruhi pertumbuhan banyak jaringan, tidak hanya sistem kerja saja. Hormon ini tampak menunda katabolisme asam-asam dan memacu inkorporasinya ke dalam protein tubuh. Pengaruh GH (STH) terhadap species lain mempunyai kekhususan tertentu. Hormon tumbuh yang diperoleh dari ekstrak hipofisa dari ikan tidak akan memberikan efek bila diberikan pada tikus. Sebaliknya ikan akan tumbuh dengan tambah baik bila ikan tersebut diberi hormon tumbuh dari sapi. Growth hormone telah diisolasi dari kelenjar hipofisa ikan grass carp, kemudian disuntikkan sebanya 0,2 ig/g dan 1 ig/g setelah 35 hari diperoleh laju pertumbuhan 24 % dan 53% lebih besar dibandingkan dengan kontrol. Sekresi hormon pertumbuhan dipengaruhi oleh hormon GnRH seperti dibuktikan pada ikan mas. Juvenil kan grass carp dilaporkan bahwa penyuntikan SGnRH, LHRH, Testosteron dan estradiol dapat meningkatkan sekresi hormon pertumbuhan; demikian juga ikan dipindahkan dari atau menuju media yang bersalinitas (Lin et al. 1995). Hormon pertumbuhan berdasarkan mekanisme kerja, dapat dibagi menjadi dua yaitu mekanisme langsng dan tidak langsung. Mekanisme langsung adalah mekanisme pengkatan hormone pertumbuhan dengan reseptor pada sel target misalnya sel adiposity. Interaksi hormone pertumbuhan dan reseptor akan
21 mengakibatkan pemecahan trigliserida. Mekanisme tidak langsung adalah mekanisme dengan insulin like growth factor I (IGF-I). IGF-I adalah hormone yang disekresian oleh hati akibat adanya hormone pertumbuhan. IGF-I akan merangsang diferensiasi miogenik dan merangsang proferasi dan diferensiasi sel otot dan tulang (Matty 1985). Perkembangan bioteknologi akuakultur banyak mendukung berbagai teknik dalam memanipulasi pertumbuhan ikan, seperti seleksi, transgenesis, dan aplikasi hormon pertumbuhan. Metode seleksi merupakan salah satu cara untuk mendapatkan populasi yang lebih unggul pada generasi berikutnya. Kendala yang dihadapi dari metode ini adalah lamanya waktu yang dibutuhkan dalam menghasilkan generasi berikutnya. Seleksi pada ikan gurame membutuhkan waktu 2-3 tahun setiap generasinya dan hanya mengalami perbaikan rata-rata 10% per generasi. Penerapan transgenesis pada gurame juga masih sulit untuk dilaksanakan. Hal ini dikarenakan pemijahan buatan masih belum dikuasai, selain itu penerapan transgenesis masih menimbulkan kontroversi terhadap keamanan pangan dari organisme hasil transgenik (Muladno, 2010).
Gambar 4 Mekanisme Pelepasan Growth Hormon (Wong, 2010)
22 Menurut Acosta et al. (2009) dalam Ratnawati dkk. (2012) Hormon pertumbuhan (growth hormone) merupakan polipeptida yang diproduksi dikelenjar pituitary yang berfungsi dalam pertumbuhan organisme vertebrata. Dengan kemajuan bioteknologi, gen penyandi GH dari berbagai jenis ikan telah diidolasi dan protein rekombinannya (rGH) dapat diproduksi dalam jumlah banyak menggunakan bakteri sebagai bioreactor. Pemberian rekombinan GH (rGH) dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti dengan penyuntikan atau injeksi, pemberian langsung melalui oral, dan perendaman. Teknik penyuntikan dirasa kurang aplikatif karena ikan harus diinjeksi satu per satu. Oleh karena itu, dibutuhkan metode yang lebih efisien dan efektif dalam penerapan pemberian rGH, sehingga diharapkan dapat meningkatkan efektivitas penyerapan rGH untuk meningkatkan laju pertumbuhan ikan gurame (Acosta et al. 2009). b. Prolaktin Hormon prolaktin. Pada teleostei, aksi-aksi prolaktin sehubungan dengan reproduksi dan perawatan anak serta osmoregulasi. Tingkah laku reproduksi yang dipengaruhinya adalah pembuatan sarang, persiapan migrasi prapemijahan, sekresi vesikula seminalis, dan lain-lain. Sedangkan, yang berhubungan dengan osmoregulasi adalah ekskresi ginjal, sekresi mucus kulit (Fujaya 2004).
Gambar 5 Proses sintesis Prolaktin (Bowen, 2002)
23 Prolaktin terdiri dari 199 pasang asam. amino hormon polipeptida dengan berat molekul 23.000 Dalton dan disintesis serta disekresi oleh laktotrop yang terdapat pada hipofise anterior. Sama seperti hormon hipofise anterior yang lain, prolaktin juga dikontrol oleh hypothalamic-releasin factors. Sekresi prolaktin terutama dihambat oleh dopamin yang disekresi oleh neuron dopaminergik tuberoinfundibular. Hormon prolaktin adalah hormon yang diproduksi oleh sel-sel kelenjar hipofisis pada otak. Apabila kadar prolaktin terlalu tinggi maka bisa menyebabkan reaksi negatif, sehingga akan membatasi produksi hormon GnRH dan FSH di mana kedua hormon ini memiliki peran penting bagi proses ovulasi. Hormon GnRH dan FSH bertanggung jawab bagi pertumbuhan ovum (sel telur) di dalam ovarium. Jika kadar prolaktin di dalam tubuh tinggi, maka ovulasi tidak terjadi (Hoarizt et al. 2001). c. Arginin Vasotosin (AVT) Arginin vasotosin merupakan salah satu hormone yang diproduksi dari kelenjar hipofisis, hormone ini diproduksi dibagian belakang (posterior) hipofisis. Arginin vasotocin menyebabkan peningkatan produksi urin pada ikan air tawar, adapun oxytocin berperan dalam produksi vasoconstriction pada pembuluh darah insang. Di dalam darah, AVT berpengaruh terhadap kontraksi otot polos dinding pembuluh darah, juga berperan dalam kontraksi otot polos ovarian dan oviduct. Kelenjar pituitari sering diberi gelar kelenjar induk (master gland) karena banyak mempengaruhi kegiatan kelenjar lainnya. Menurut Yuwanta (2004) Hormon arginin vasotosin merupakan hormone yang disekresikan oleh hipofisis posterior, dan bersama dengan prostaglandin menyebabkan kontraksi uterus dan eksplusi telur.
Gambar 6 Struktur kimia Arginin Vasotosin (Edgar 2009)
24 Arginin vasotocin adalah oligopeptide yang homolog dengan oksitosin dan vasopressin yang ditemukan di semua vertebrata non mamalia (termasuk burung, ikan, dan amfibi). Arginin vasotocin (AVT) adalah hormon yang diproduksi oleh sel-sel neurosecretory dalam kelenjar pituitari (neurohypophysis) yang menjadi regulator endokrin
utama
dalam pengaturan keseimbangan cairan dan
homoeostasis osmotik dan juga terlibat dalam perilaku sosial serta seksual pada vertebrata nonmamalia (Anthoni 1995). Hal ini juga didukung dengan pernyataan Balment et al. (2007) bahwa Arginin vasotosin (AVT) merupakan hormone dari sekresi sistem neuroendokrin dan memberikan regulasi integratif dari berbagai aspek fisiologi ikan, termasuk prilaku biologi dan musiman, respon terhadap stres, metabolisme, reproduksi, fungsi kardiovaskular, dan osmoregulasi. Mekanisme regulasi AVT/AVP melibatkan baik diubah sekresi peptida neurohypophysial dan perubahan ekspresi reseptor sasaran jaringan/modulasi tindakan. Kedua mekanisme tersebut mampu berintegrasi dengan tindakan sistem hormon liannya. d. Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) FSH merupakan hormon yang dihasilkan oleh kelenjar Hipofisa anterior, fungsi hormon ini pada induk betina, dapat merangsang perkembangan folikel melalui mekanisme yang hingga kini belum dapat diterangkan. Dibantu oleh LH (Luteinizing Hormone), membuat perkembangan folikel dan ovarium dapat mencapai kematangan sempurna. Sedangkan pada induk jantan, dapat merangsang spermatogenesis (pembentukan sel spermatozoa) dalam tubuh seminiferi testis. LH dan ICSH merupakan hormon yang dihasilkan oleh hipofisa anterior dan mempunyai fungsi:pada induk betina ,membantu perkembangan folikel sehingga dapat mencapai pematangan sempurna,merangsang produksi estrogen dan progesteron,serta ovulasi.sedangkan pada induk jantan,dapat merangsang sel-sel Leydig dari testis untuk mensintesa dan mensekresikan hormon testoteron. LH-RH (Luteinizing Hormon Releasing Hormon) adalah hormon yang dihasilkan oleh hipotalamus. Hormon ini molekulnya sangat kecil dibandingkan dengan hormon golongan lainnya, yakni terdiri dari 10 asam amino (dekapeptida). LH-RH disebut juga dengan nama GnRH-II. Karena LH-RH waktu paruhnya
25 pendek sehingga mudah terurai daridalam tubuh maka para ahli menciptakan LHRH sintesis yang lebih tahan.
Gambar 7 Mekanisme sekresi dan peranan hormone FSH-LH dalam ovulasi
Jika hormon yang digunakan adalah LH-RHa, berarti biomanipulasi yang dilakukan berada pada tingkat kelenjar hipofisa. Hormon LH-RHa tersebut berfungsi merangsang kelenjar hipofisa untuk melepaskan LH (Luetininizing Hormon) atau GtH-II. GtH-II atau LH inilah berperan dalam merangsang gonad (ovarium) untuk mengsekresikan 17α 20β Progesteron yang berfungsi dalam merangsang proses pematangan tahap akhir dari oocyte (telur). Setelah telur mencapai pematangan tahap akhir, maka LH (GtH-II) merangsang telur tersebut untuk ovulasi. Menurut Jones (1987), dalam meransang proses ovulasi ini, pertama-tama hormon LH merangsang pelepasan plasminogen aktivator dari sel granulosa folikel. Setelah sekresi plasminogen aktivator meninggi, maka plasminogen dari cairan folikel dan cairan ekstra seluler edema dirombak menjadi plasmin. Plasmin ini akan mengaktifkan laten collagenase pada dinding collagen folikel yang menghasilkan collagenase. Collagenase ini akan memecah collagen, sehingga terjadi pembebasan telopeptida collagen. Telopeptida collagen ini akan menekan dinding folikel sehingga pecah dan terjadi ovulasi. Kemudian hormon
26 LH juga berfungsi merangsang sel-sel folikel untuk menghasilkan estrogen, dan hormon estrogen inilah yang berfungsi merangsang tingkah laku pemijahan pada ikan. Jadi organ target dari hormon LH-RHa adalah kelenjar hipofisa. Berdasarkan uraian diatas, maka diketahui bahwa FSH dan LH adalah dua hormon yang mempunyai daya kerja mengatur fungsi kelenjar kelamin. FSH mempunyai daya kerja merangsang pertumbuhan folikel pada ovarium dan pada testis memberikan rangsangan terhadap spermatogenesis. LH mempunyai daya kerja merangsang ovulasi dan menguningkan folikel ovarium dan pada hewan jantan. Hormon ini merangsang fungsi sel-sel interstisial pada testis serta mempertinggi atau meningkatkan produksi hormon steroid, baik pada hewan betina maupun hewan jantan. e. Adenocortocotropic Hormone (ACTH) Kortikotropin (bahasa Inggris: corticotropin, adrenocorticotropic hormone, ACTH) adalah hormon stimulator hormon dari golongan kortikosteroid, dengan panjang 39 AA dan waktu paruh sekitar 10 menit. ACTH disintesis dari irisan pre pro-opiomelanokortin, sebuah polipeptida yang terdiri dari 267 asam amino. Fragmen irisan
yang terjadi antara lain ACTH, ACTH, β-lipotropin,
γlipotropin, MSH, βendorfin dan peptida opioid. POMC, ACTH dan β-lipotropin disekresi oleh kortikotrop yang terletak pada adenohipofisis dari kelenjar hipofisis setelah distimulasi oleh CRH yang disekresi oleh hipotalamus. Peran utama ACTH adalah menstimulasi sintesis dan sekresi glukokortikoid dan androgen pada korteks adrenal melalui pencerap ganda protein-G yang bergantung pada mekanisme cAMP. Sebelum berlangsungnya sintesis steroid, ACTH akan meningkatkan konsentrasi kolesterol esterase dan mendifusikan kolesterol melalui membranmitokondria dan meningkatkan sintesis pregnenolon. Kortikotropin adalah
hormon
stimulator
hormon
dari
golongan
kortikosteroid, dengan panjang 39 AA dan waktu paruh sekitar 10 menit. Hormon ini merangsang kelenjar hipofisis dan mengeluarkan hormon adrenokortikotropik (ACTH).
ACTH
disintesis
dari
irisan
pre-pro-opiomelanokortin,
sebuah polipeptida yang terdiri dari 267 asam amino. Fragmen irisan yang terjadi antara lain ACTH, β-lipotropin, γ-lipotropin, MSH, β endorfin dan peptida opioid.
27 POMC, ACTH dan β-lipotropin disekresi oleh kortikotrop yang terletak pada adenohipofisis dari kelenjar hipofisis setelah distimulasi oleh CRH yang disekresi oleh hipotalamus. Peran utama ACTH adalah menstimulasi sintesis dan sekresi glukokoetikoid dan androgen pada korteks adrenal melalui pencerap ganda protein-G yang bergantung pada mekanisme cAMP. Sebelum berlangsungnya sintesis steroid, ACTH akan meningkatkan konsentrasi kolesterol esterase dan mendifusi kolesterol melalui membran mitokondria dan meningkatkan sintesis pregnenolon.
Gambar 8 Mekanisme Homeostatis adaptif dari pelepasan ACTH (Vladimir and Ward 1992) Kortikotropin (bahasa
Inggris: corticotropin,
adrenocorticotropic
hormone, ACTH) adalah hormon stimulator hormon dari golongan kortikosteroid, dengan panjang 39 AA dan waktu paruh sekitar 10 menit. Hormon ACTH dihasilkan oleh kelenjar hipofisis anterior. Peran utama ACTH adalah menstimulasi sintesis dan sekresi glukokortikoid dan androgen pada korteks adrenal melalui pencerap ganda protein-G yang bergantung pada mekanisme cAMP. Sebelum berlangsungnya sintesis steroid, ACTH akan meningkatkan konsentrasi kolesterol esterase dan mendifusikan kolesterol melalui membran mitokondria dan meningkatkan sintesis pregnenolon. Mekanisme Kerja ACTH (kortikotropin) adalah ACTH adalah produk dari proses pasca translasi prekursor polipeptida Pro-Opiomelanokortin, Organ target ACTH adalah korteks adrenal
28 tempat kortikotropin terikat. Setelah di korteks adrenal, ACTH akan memacu perubahan Kolesterol menjadi pregnolon. Kemudian dari pregnolon dihasilkanlah adrenokortikosteroid dan androgen adrenal. Dimana fungsi kortisol adalah kerja antiinflamasi, meningkatkan glukoneogenesis, meningkatkan penghancuran protein, Mobilitas lemak, Mobilitas protein, Stabilisasi lisosom. f. Tirotropin Stimulating Hormone (TSH) Tirotropin adalah hormon yang dihasilkan oleh kelenjar hipofise otak bagian
anterior
dan
berfungsi
untuk
memelihara
perkembangan kelenjar
tiroid dan
merupakan
pertumbuhan
stimulator
bagi
dan
sekresi
hormon T4 dan T3 yang dihasilkan oleh kelenjar tersebut. Hormon tirotropin adalah glikoproten dan memiliki dua subunit, yaitu subunit α (alpha) dan β (beta) Thyrotropin-releasing hormone (TRH), juga disebut Thyrotropin-releasing factor (TRF), thyroliberin atau protirelin, adalah tropis , hormon tripeptidal yang merangsang
pelepasan
TSH
( thyroid-stimulating
hormone )
dan
prolaktin dari hipofisis anterior. TRH telah digunakan secara klinis untuk pengobatan degenerasi spinocerebellardan gangguan kesadaran pada manusia Hormon pelepas-tirotropin (TRH) merupakan suatu tripeptida,piroglutamilhistidil-prolineamida, disintesis oleh neuron dalam nuklei supraoptik dan supraventrikuler dari hipotalamus.
Gambar 9 Mekanisme kerja hormone TSH pada kelenjar tiroid
29
Hormon ini disimpan di eminensia mediana dari hipotalamus dan kemudian diangkut via sistem venosa portal hipofisis ke batang hipofisis ke kelenjar hipofisis anterior, dimana ia mengendalikan sintesis dan pelepasan dari TSH. TRH juga ditemukan pada bagian lain dari hipotalamus, otak, dan medulla spinalis, dimana ia berfungsi sebagai suatu neurotransmiter. Gen untuk prepro TRH mengandung suatu unit transkripsi 3.3-kb yang menjadi enam molekul TRH. Gen ini juga menjadi neuropeptida lain yang secara biologik kemungkinan bermakna. Pada kelenjar hipofisis anterior, TRH berikatan dengan reseptor membran spesifik pada tirotrop dan sel pensekresi-prolaktin, merangsang sintesis dan
pelepasan
TSH
maupun
prolaktin.
Hormon
tiroid
menyebabkan
suatu pengosongan lambat dari reseptor TRH hipofisis, mengurangi respons TRH. Estrogen meningkatkan reseptor TRH, meningkatkan kepekaan hipofisis terhadapTRH (Sacher et al. 2000). Thyrotropin-releasing hormone (TRH) berfungsi untuk merangsang pituitari untuk melepas thyroid stimulating hormone (TSH). Thyrotropin-releasing hormone (TRH) juga disebut thyrotropin-releasing factor (TRF), thyroliberin atau protirelin, adalah tropik tripeptide hormon yang merangsang pelepasan thyroidstimulating hormone dan prolaktin oleh hipofisis anerior. TRH diproduksi oleh hipotalamus dalam neuron medial nukleus paraventrikular. Pada awalnya disintesis sebagai prekursor asam amino polipeptida-242 yang berisi 6 salinan urutan-Glu--Nya Pro-Gly-, diapit dengan di-dasar peptida yang kemudian diproses melalui proteolisis untuk memberikan molekul TRH matang. Hormon ini akan melintasi median eminensia ke kelenjar hipofisis anterior melalui sistem portal hypophyseal mana merangsang pelepasan thyroid-stimulating hormone dari sel yang disebut thyrotropes dan kelebihan kadar menghambat dopamin, yang merangsang pelepasan prolaktin, yang pada gilirannya menurunkan GnRH. TRH juga
dapat
dideteksi
di
daerah
lain
dari
tubuh
termasuk sistem
pencernaan dan pulau pankreas, serta otak. Hormon pelepas-tirotropin (TRH) merupakan suatu tripeptida, piroglutamil-histidil-prolineamida, disintesis oleh neuron dalam nuklei supraoptik dan supraventrikuler dari hipotalamus . Hormon ini disimpan eminensia mediana dari hipotalamus dan kemudian diangkut via
30 sistem venosa portal hipofisis ke batang hipofisis ke kelenjar hipofisis anterior, di mana ia mengendalikan sintesis dan pelepasan dari TSH (Anwar 2005). g. Melanocyte Stimulating Hormone (MSH) Hormon melanocyte stimulating (secara singkat disebut sebagai MSH atau intermedins) adalah kelas hormon peptida yang diproduksi oleh sel-sel di lobus antara kelenjar hipofisis. Melanocyte stimulating hormone (MSH) berperan dalam mengatur sintesis butiran pigmen (melanin) dalam sel khusus dan dengan demikian mempengaruhi perubahan pigmentasi kulit. MSH juga mengatur konsentrasi dan distribusi melanin dalam sel-sel pigmen. MSH diproduksi dan disekresi oleh lobus antara kelenjar hipofisis di sebagian besar vertebrata . Setelah disekresikan, hormon beredar dalam darah dan terikat pada reseptor pada permukaan sel target (Hadley 2005).
Gambar 10 Mekanisme kerja MSH dalam pigmentasi (Landau 2002)
Hormon melanocyte stimulating hormone (MSH) adalah hormon dari peptide dalam tubuh yang mengatur fungsi sel-sel pigmen kulit (melanosit). MSH juga mempengaruhi jenis sel dan bentuk sintetis. Polipeptida yang strukturnya mirip dengan MSH dalam tubuh termasuk Melanotan I dan II Melanotan yang diperdagangkan. MSH terutama mempengaruhi fungsi kulit. Struktur kulit berlapis-lapis. Lapisan terluar dari kulit yang disebut stratum korneum terdiri dari sel-sel mati dan cornified. Di bawah stratum korneum adalah epidermis. Lapisan paling dalam dari epidermis mengandung sel pigmen khusus yang disebut melanosit yang memproduksi melanin dan diatur oleh hormone MSH. Ketika kulit
31 terkena cahaya, melanin mengikat cahaya dan sebagai konsekuensinya, melanosit diaktifkan dan mulai menghasilkan lebih banyak melanin. Ketika jumlah melanin meningkat, warna kulit menjadi lebih gelap. Pigmen melanin pada kulit melindungi kulit terhadap luka yang disebabkan oleh cahaya. MHS juga ditemukan mempengaruhi asupan nutrisi. MSH memiliki banyak titik aksi, reseptor, dalam tubuh yang memungkinkan untuk digunakan pada berbagai keperluan medis yang berbeda (Milington 2006). h. Oksitosin Hormon oksitoksin merupakan hormone peptid yang diproduksi dari kelenjar hipofisa ikan. Pada ikan hormon oksitosin bekerja setelah telur siap untuk dikeluarkan dari dalam tubuh. Mekanisme kerja hormon oksitosin yang dihasilkan oleh hipofisis posterior melalui sistem persarafan, sedangkan hipofisis anterior melalui sistem pembuluh darah. Hormon hipofisis posterior yang dihasilkan oleh badan sel neuron di dalam paraventrikular dan nukleus supraoptik hipotalamus, mengalir melalui serabut saraf ke hipofisis posterior dan dilepaskan ke dalam aliran darah saat saraf terstimulasi (CCL 1998). Selain itu, menurut Ester (2004) berdasarkan efek fisiologinya, hormon oksitosin ini berfungsi mempercepat proses persalinan dengan merangsang kontraksi otot polos uterus pada manusia.
Gambar 11 Struktur Kimia Oksitoksin Oksitosin menyebabkan otot polos uterus berkontraksi dalam stadium akhir kehamilan, selain itu juga memulai kontraksi sel mioepitel pada alveoli dan saluran keluar kelenjar mammae (Tambajong 1995). Pemberian oksitosin merangsang timbulnya kontraksi otot uterus yang belum berkontraksi dan
32 meningkatkan kekuatan serta frekuensi kontraksi otot pada uterus yang sudah berkontraksi (Francis and John 1998). Sedangkan pada penelitian ini diduga bahwa kerja hormon oksitosin akan dilepaskan hipofisis posterior menuju otot halus ovari ikan, sehingga akan lebih memudahkan ikan mengeluarkan telur saat stripping dilakukan sehingga penggunaan hormon oksitosin membantu dalam pemijahan ikan lele. Secara stabilitas evolusi, sebutan oksitosin untuk mamalia, mesotosin untuk nonmamalia seperti burung dan reptil serta isotosin untuk ikan bertulang sejati (Michel et al. 1993). Menurut Viveiros et al. (2003) telah diketahui pada kelenjar pituitari ikan lele Afrika terdiri atas sebagian besar dari oksitosin ikan seperti peptida yaitu isotosin dan sistem reproduksi ikan lele afrika sensitif terhadap efek hormone oksitosin yaitu saat kontraksi folikel induk betina ketika ovulasi diamati dan kontraksi pada testis jantan dengan bertambahnya konsentrasi cairan sperma induk jantan. 2. Hati Hati merupakan organ penting dalam tubuh karena memiliki banyak fungsi, salah satu fungsinya adalah sebagai tempat sintesis vitelogenin dalam proses pematangan gonad. Proses pembentukan dan pematangan gonad betina diawali dengan proses pembentukan kuning telur yang disebut juga deutoplasma merupakan bahan makanan cadangan telur. Bahan makanan ini dilindungi oleh membran yang disebut yolk sac. Pembentukan kuning telur merupakan salah satu bagian penting dalam proses pematangan gonad dan ovulasi pada ikan betina. Vitelogenin adalah bakal kuning telur yang merupakan komponen utama dari oosit yang sudah tumbuh dan dihasilkan di hati. Vitelogenin ini berupa glikoposfoprotein yang mengandung kira-kira 20% lemak, terutama posfolipid, trigliserida dan kolesterol. Bobot molekul vitelogenin berkisar antara 200 kDa pada ikan salmon (Tang dan Affandi 2000). Vitelogenin ikan mengandung sejumlah gugus fosfat, beberapa diantaranya berupa fosfor protein yang diendapkan sebagai posvitin. Berbeda dengan kandungan fosfat, kandungan lipid pada ikan biasanya sekitar dua kali lebih banyak dibanding kelompok hewan vertebrata lainnya. Kandungan lipid sekitar 20% berdasar bobot ikan, tergantung pola hidup dan kebiasaan makannya.
33 Ikan mas koki mempunyai kandungan lipid 21%, sedangkan pada rainbow trout dan sea trout masing-masing 21% dan 19%. Material lipida yang kemudian membentuk lipovitelin kuning telur ini dapat digolongkan sebagai polar lipid/lipida kutub. Pada vitelogenin rainbow trout, lipida kutub menyusun sampai 82% dari total vitelogenin (Tang dan Affandi 2000). Selama perkembangan oosit, vitelogenin (Vg) disintesis di hati dibawah rangsangan hormon estrogen. Sekresi vitelogenin diairkan melalui aliran darah dalam bentuk persenyawaan dengan Ca2+ (Yaron dan Sivan 2006). Pada beberapa spesies, rangsangan hormon estrogen (seperti estradiol-17β) dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi plasma dari vitelogenin (prekursor protein kuning telur yang diproduksi oleh hati), tetapi tidak menyebabkan bergabungnya vitelogenin ke dalam butiran kuning telur dengan oosit (Davy dan Chouinard dalam Tang dan Affandi 2000). Vitellogenesis, dicirikan oleh bertambah banyaknya volume sitoplasma yang berasal dari luar sel, yakni kuning telur atau vitelogenin, oleh karena itu maka kualitas telur sangat ditentukan selama proses tersebut berlangsung. Beberapa faktor seperti kualitas pakan, lingkungan dan aktifitas hormon sangat berperan untuk menunjang keberhasilan proses tersebut (Fujaya 2004). Penelitian pada ikan medaka (Oryzias latipes) menunjukkan bahwa cahaya dan suhu berpengaruh terhadap kualitas telur dan interval pemijahan (Kogera et al. 1999). Selama proses vitelogenesis akan terjadi penambahan ketebalan pada zona radiata, sel-sel granulosa dan teka. Sel-sel teka inilah yang nanti bertanggung jawab dalam sintesis 17α-Hidroksiprogesteron dan testosteron. Oleh sel-sel granulosa, hormon tersebut diubah menjadi 17α, 20β-dihidroksi-4-pregnen-3-one (17,20-P) dan estradiol-17β. Sirkulasi estradiol-17β mengatur pengembangan beberapa gen vitelogenin (Vg) (Fujaya 2004). Vitelogenesis dan diferensiasi oosit diawali dengan adanya sinyal lingkungan seperti hujan, perubahan suhu atau katersedian substrat untuk penempelan telur yang diterima oleh sistem syaraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus. Hipotalamus akan merespon sinyal tersebut dengan melepaskan GnRH (Gonadotropin Releasing Hormon) yang bekerja di kelenjar hipofisis. Selanjutnya kelenjar hipofisis akan melepaskan hormon gonadotropin I yang
34 bekerja di lapisan teka pada oosit (Zairin 2003). Penulis lain menamakan hormon tersebut dengan GTH I (Tang dan affandi, 2000) atau Yaron dan Siva (2006) menyebutnya sebagai follicle stimulating hormone (FSH).
Bahkan secara
spesifik, Tang dan Affandi (2000) menjelaskan bahwa penamaan GTH berlaku untuk ikan, sedangkan FSH berlaku untuk tetrapoda. Dalam perkembangan telur berikutnya, GTH II dapat disebut juga luteinizing hormone (LH).
Gambar 12 Proses vitelogenesis pada hati (Aida et al. 1991 dalam Zairin 2003)
Akibat kerja hormon gonadotropin I, lapisan teka akan mensintesis testosteron dan di lapisan granulosa, testosteron akan diubah menjadi estradiol17β oleh enzim aromatase.
Estradiol-17β akan merangsang hati untuk
mensintesis vitelogenin yang merupakan bakal kuning telur. Melalui aliran darah, vitelogenin akan diserap secara selektif oleh lapisan folikel oosit (Zairin 2003; Yaron dan Sivan 2006). Proses inilah yang dikenal dengan vitelogenesis, sedangkan proses selanjutnya adalah pematangan akhir yang di dalamnya terjadi pergerakan inti telur ke tepi, peleburan inti atau germinal vesicle break down (GVGD) dan ovulasi yang ditandai dengan pecahnya lapisan folikel dan keluarnya telur ke dalam rongga ovari (Zairin, 2003; Santos, et al., 2005; Yaron dan Sivan, 2006) (Gambar 7). Proses vitelogenesis secara alami dipengaruhi oleh adanya isyarat-isyarat lingkungan seperti fotoperiod, suhu, aktivitas makanan dan faktor sosial yang semuanya akan merangsang hipotalamus untuk mensekresikan
35 hormon – hormone Gonadotropin Releasing Hormon (GnRH). GnRH yang disekresikan tersebut kemudian akan merangsang hipofisa untuk mensekresikan hormon gonadotropin (GtH). GtH yang diproduksi oleh kelenjar pituitary (hipofisa) tersebut dibawa oleh darah ke dalam sel teka yang berada pada gonad untuk menstimulasi terbentuknya testosteron. Testosteron yang terbentuk kemudian akan masuk ke dalam sel granulosa untuk diubah oleh enzim aromatase menjadi hormon estradiol 17β yang selanjutnya akan dialirkan oleh darah kedalam hati untuk mensintesis vitelogenin. Vitelogenin yang dihasilkan kemudian dialirkan kembali oleh darah kedalam gonad untuk diserap oleh oosit sehingga penyerapan vitelogenin ini disertai dengan perkembangan diameter telur (Sumantri 2006). Selain fungsi sebagai tempat berlangsungnya vitelogenesis, hati juga menyimpan energi dalam bentuk glikogen. Glikogen dibentuk dari suatu jenis zat gula yang disebut glukosa. Ketika kadar gula dalam darah tinggi, hati mengkombinasi molekulmolekul glukosa yang tersusun dalam rantai panjang menjadi glikogen melalui proses glikogenesis. Ketika kadar glukosa dalam darah lebih rendah dari kebutuhan tubuh, hati mengubah glikogen menjadi glukosa. Hormone yang berperan dalam proses penyimpanan dan perombakan glikogen dihati dan glukosa didarah adalah hormone insulin dan hormon glukagon. 3. Pankreas Pankreas adalah suatu kelenjar yang majemuk yang terdiri atas jaringan eksokrin dan endokrin. Komponen eksokrin mensekresikan getah pankreas yang dicurahkan ke dalam duodenum lewat saluran pankreas, sedangkan komponen endokrin (pulau-pulau pankreas) membebaskan hormonnya secara langsung kedalam sirkulasi darah. Pada semua vertebrata, terdapat tiga sel-sel pulau yang memliki fungsi independen: sel-sel A, menghasilkan glukagon; sel-sel B, menghasilkan insulin; dan sel-sel D belum diketahui secara jelas hormon yang dihasilkannya, namun bebeapa peneliti mengemukakan bahwa hormon tersebut identik dengan somatostatin dan secara khusus berpungsi sebagai penghambat pertumbuhan (Fujaya 2004). Adapun hormone-hormon yang disekresikan oleh pancreas adalah sebagai berikut.
36 a. Insulin Insulin adalah sebuah hormon polipeptida yang mengatur metabolisme karbohidrat. Selain merupakan "efektor" utama dalam homeostasis karbohidrat, hormon
ini
juga
ambil
bagian
dalam
metabolisme lemak (trigliserida)
dan protein hormon ini bersifat anabolik yang artinya meningkatkan penggunaan protein. Hormon tersebut juga memengaruhi jaringan tubuh lainnya. Insulin menyebabkan sel (biologi) pada otot dan adiposit menyerap glukosa dari sirkulasi darah melalui transporter glukosa GLUT1 dan GLUT4 dan menyimpannya sebagai glikogen di dalam hati dan otot sebagai sumber energi. Kadar insulin yang rendah
akan
mengurangi
penyerapan
glukosa
dan
tubuh
akan
mulai
menggunakan lemak sebagai sumber energi. Insulin digunakan dalam pengobatan beberapa jenis diabetes mellitus. Pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 bergantung pada insulin eksogen (disuntikkan ke bawah kulit/subkutan) untuk keselamatannya karena kekurangan absolut hormon tersebut; pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 memiliki tingkat produksi insulin rendah atau kebal insulin, dan kadang kala membutuhkan pengaturan insulin bila pengobatan lain tidak cukup untuk mengatur kadar glukosa darah (Haney at al. 2010). Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan oleh sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah. Secara fisiologis, regulasi glukosa darah yang baik diatur bersama dengan hormone glukagon yang disekresikan oleh sel alfa kelenjar pankreas. Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormon insulin) pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, preproinsulin mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang kemudian dihimpun dalam gelembung-gelembung (secretory vesicles) dalam sel tersebut. Di sini, sekali lagi dengan bantuan enzim peptidase, proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk disekresikan secara bersamaan melalui membran sel. Mekanisme diatas diperlukan bagi berlangsungnya proses metabolisme secara normal, karena fungsi insulin memang sangat dibutuhkan dalam proses
37 utilisasi glukosa yang ada dalam darah. Kadar glukosa darah yang meningkat, merupakan komponen utama yang memberi rangsangan terhadap sel beta dalam memproduksi insulin. Disamping glukosa, beberapa jenis asam amino dan obatobatan, dapat pula memiliki efek yang sama dalam rangsangan terhadap sel beta. Mengenai bagaimana mekanisme sesungguhnya dari sintesis dan sekresi insulin setelah adanya rangsangan tersebut, merupakan hal yang cukup rumit dan belum sepenuhnya dapat dipahami secara jelas (Ceriello 2002). Diketahui ada beberapa tahapan dalam proses sekresi insulin, setelah adanya rangsangan oleh molekul glukosa. Tahap pertama adalah proses glukosa melewati membrane sel. Untuk dapat melewati membran sel beta dibutuhkan bantuan senyawa lain. Glucose transporter (GLUT) adalah senyawa asam amino yang terdapat di dalam berbagai sel yang berperan dalam proses metabolisme glukosa. Fungsinya sebagai “kendaraan” pengangkut glukosa masuk dari luar kedalam sel jaringan tubuh. Glucose transporter 2 (GLUT 2) yang terdapat dalam sel beta misalnya, diperlukan dalam proses masuknya glukosa dari dalam darah, melewati membran, ke dalam sel. Proses ini penting bagi tahapan selanjutnya yakni molekul glukosa akan mengalami proses glikolisis dan fosforilasi didalam sel dan kemudian membebaskan molekul ATP. Molekul ATP yang terbentuk, dibutuhkan untuk tahap selanjutnya yakni proses mengaktifkan penutupan K channel pada membran sel. Penutupan ini berakibat terhambatnya pengeluaran ion K dari dalam sel yang menyebabkan terjadinya tahap depolarisasi membran sel, yang diikuti kemudian oleh tahap pembukaan Ca channel. Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca sehingga menyebabkan peningkatan kadar ion Ca intrasel. Suasana ini dibutuhkan bagi proses sekresi insulin melalui mekanisme yang cukup rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan.(Gambar 13). Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan kebutuhan tubuh normal oleh sel beta dalam dua fase, sehingga sekresinya berbentuk biphasic. Seperti dikemukakan, sekresi insulin normal yang biphasic ini akan terjadi setelah adanya rangsangan seperti glukosa yang berasal dari makanan atau minuman. Insulin yang dihasilkan ini, berfungsi mengatur regulasi glukosa darah agar selalu dalam batas-batas fisiologis, baik saat puasa maupun setelah mendapat beban. Dengan demikian, kedua fase sekresi insulin yang berlangsung secara
38 sinkron tersebut, menjaga kadar glukosa darah selalu dalam batas-batas normal, sebagai cerminan metabolisme glukosa yang fisiologis (Kramer 1995). Sekresi fase 1 (acute insulin secretion responce = AIR) adalah sekresi insulin yang terjadi segera setelah ada rangsangan terhadap sel beta, muncul cepat dan berakhir juga cepat. Sekresi fase 1 (AIR) biasanya mempunyai puncak yang relatif tinggi, karena hal itu memang diperlukan untuk mengantisipasi kadar glukosa darah yang biasanya meningkat tajam, segera setelah makan. Kinerja AIR yang cepat dan adekuat ini sangat penting bagi regulasi glukosa yang normal karena pasa gilirannya berkontribusi besar dalam pengendalian kadar glukosa darah postprandial. Dengan demikian, kehadiran AIR yang normal diperlukan untuk mempertahankan berlangsungnya proses metabolisme glukosa secara fisiologis. AIR yang berlangsung normal, bermanfaat dalam mencegah terjadinya hiperglikemia akut setelah makan atau lonjakan glukosa darah postprandial (postprandial spike) dengan segala akibat yang ditimbulkannya termasuk hiperinsulinemia kompensatif.
Gambar 13 Mekanisme sekresi insulin pada sel beta akibat stimulasi glukosa (Kramer 1995) b. Glukagon Glukagon adalah antagonis dari insulin yang disekresi pada saat kadar gula darah dalam darah rendah. Pada prinsipnya menaikkan kadar gula di dalam darah. Dia diproduksi di sel alpha dari pankreas. Glukagon melewati dalam proses sintesenya yang disebut sebagai limited proteolyse, yang artinya molekul
39 glucagon berasal dari prohormon yang lebih tepatnya disebut sebagai prohormon. Gen untuk glukagon selain di pankreas juga terdapat di otak dan sel enteroendokrin L di sistem pencernaan (Ileum dan Kolon). Hormon glucagon disekresikan oleh sel-sel α pankreatik dari pancreas. Pankreas merupakan organ penghasil
glucagon
sebagai pasangan sistem
endokrin
yang sekresinya
kombinasinya merupakan faktor utama dalam mengatur metabolisme bahan bakar Glukagon mempengaruhi banyak proses metabolisme yang juga dipengaruhi oleh insulin dan berlawanan dengan efek insulin.
Gambar 14 Mekanisme kerja glukagon
Glukagon bekerja terutama di hati, tempathormon ini menimbulkan berbagai efek pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yaitu Efek pada karbohidrat, mengakibatkan peningkatan pembentukan dan pengeluaranglukosa oleh hati sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa darah. Glukagon menimbulkan efek hiperglikemik dengan menurunkan sintesis glikogen, meningkatkan glikogenolisis dan merangsang glukoneogenesis. Efek pada lemak, mendorong penguraian lemak dan menghambat sintesa trigliserida. Glukagon meningkatkan
pembentukan
keton
(ketogenesis)
di
hati
dengan
mendorong perubahan asam lemak menjadi badan keton. Efek pada protein,
40 glukagon menghambat sintesa protein dan meningkatkan penguraian protein di hati. Stimulasi glukoneogenesis juga memperkuat efek katabolik glukagon padametabolisme protein di hati. Walaupun meningkatkan katabolisme protein di hati,glukagon tidak memiliki efek bermakna pada kadar asam amino darah karena hormon initidak mempengaruhi protein otot, simpanan protein yang utama di tubuh. c. Somatostatin Hormon somatostatin yang disekresikan oleh sel-sel delta pulau langerhans merupakan suatu senyawa polipeptida yang hanya terdiri atas 14 asam amino yang mempunyai waktu paruh yang sangat singkat dalam sirkulasi darah yaitu hanya 3 menit lamanya. Hampir semua faktor yang berhubungan dengan pencernaan makanan akan merangsang sekresi somatostatin. Faktor-faktor ini adalah (1) naiknya kadar glukosa darah, (2) naiknya kadar asam amino, (3) naiknya kadar asam lemak, dan (4) naiknya konsentrasi beberapa macam hormon pencernaan yang dilepaskan oelh bagian atas saluran cerna sebagai respon terhadap asupan makanan (Guyiton and Hall 2008). Somatostatin dijumpai di sel D pulau Langerhans pancreas. Menghambat sekresi insulin, glukagon, dan polipeptida pankreas dan mungkin bekerja lokal di dalam pulau pankreas secara parakrin. Penderita tumor pancreas penyekresi somatostain (somatostatinoma) mengalami hiperglikemia dan gejala-gejala diabetes lain yang menghilang setelah tumor diangkat. Para pasien juga mengalami dispepsia akibat lambatnya pengosongan lambung serta penurunan sekresi asam lambung, dan batu empedu, yang dicetuskan oleh penurunan kontraksi kantong empedu akibat inhibisi sekresi CCK. Sekresi somatostatin pancreas meningkat oleh beberapa rangsangan yang juga merangsang sekresi insulin, yakni glukosa dan asam amino, terutama arginin dan leusin. Sekresi juga ditingkatkan oleh CCK. Somatostatin dikeluarkan dari pancreas dan saluran cerna ke aliran darah perifer. Sel-sel D merupakan sel yang terakhir yang menerima aliran darah di pulau pancreas, hal ini dikarenakan sel D terletak di bagian hilir dari sel β dan α. Dengan demikian somatostatin hanya dapat mengatur sekresi insulin dan glucagon melalui sirkulasi sistemik. Peran fisiologis somatostatin belum diketahui secara
41 pasti. Jika diberikan dalam jumlah yang memberikan efek farmakologis, somatostatin menghambat hampir semua sekresi endokrin dan eksokrin pancreas, usus, dan kantung empedu. Somatostatin juga dapat menghambat sekresi kelenjar saliva, dan pada kondisi tertentu dapat memblok sekresi paratiroid, kalsitonin, prolaktin, dan ACTH. Sel α lebih sensitive sekitar 50 kali terhadap somatostatin daripada sel β, tetapi penghambatan sekresi glucagon lebih bersifat sementara. Somatostatin juga menghambat absorbsi nutrient dari usus, menurunkan motilitas usus, dan mengurangi aliran darah visera (Costof 2008). 4. Ginjal Alat ekskresi ikan berupa sepasang ginjal yang memanjang (opistonefros) dan berwarna kemerah-merahan. Pada beberapa jenis ikan, seperti ikan mas, saluran ginjal (kemih) menyatu dengan saluran kelenjar kelamin yang disebut saluran urogenital. Saluran urogenital terletak di belakang anus, sedangkan pada beberapa jenis ikan yang lain memiliki kloaka. Karena ikan hidup di air, ikan harus selalu menjaga keseimbangan tekanan osmotiknya. Pada ikan yang bernapas dengan insang, urin dikeluarkan melalui kloaka atau porus urogenitalis; dan karbon dioksida dikeluarkan melalui insang. Pada ikan yang bernapas dengan paru-paru, karbon dioksida dikeluarkan melalui paru-paru; dan urin dikeluarkan melalui kloaka. Mekanisme ekskresi pada ikan yang hidup di air tawar dan air laut berbeda. Ikan yang hidup di air tawar mengeksresikan amonia dan aktif menyerap oksigen melalui insang, serta mengeluarkan urin dalam jumlah yang besar. Sebaliknya, ikan yang hidup di laut akan mengekskresikan amonia melalui urin yang jumlahnya sedikit (Burhanudin 2010). Adapun beberapa hormone yang disekrekan oleh ginjal adalah sebagai berikut. a. Aldosteron Aldosteron adalah hormon steroid dari golongan mineralokortikoid yang disekresi dari bagian terluar zona glomerulosa pada bagian korteks kelenjar adrenal oleh rangsangan dari peningkatan angiotensin II dalam darah. Aldosteron memodulasi
konsentrasi
mineralokortikoid menyebabkan
garam
pada tubulus
darah distal di
dengan
mengaktivasi
dalam ginjal yang
peningkatan permeabilitas membran
pencerap kemudian
apisal dari sel yang
42 membentuk cortical collecting tube, atau collecting ducts. Hal ini menyebabkan peningkatan volume dan tekanan darah. Aldosteron juga meningkatkan aktivitas sodium/potasium-adenosina trifosfatase pada membran serosal. Perubahan ini menyebabkan peningkatan reabsorpsi sodium dan menimbulkan energi potensial bertegangan negatif yang lebih tinggi pada bagian lumen yang berfungsi sebagai energi penggerak bagi ekskresi potasium dan hidrogen (Kufe et al. 2003).
Gambar 15 Struktur kimia hormone aldosteron (www.wikipedia.com) Hormon aldosteron disekresikan oleh zona glomerulosa (lapisan terluar) dari korteks adrenal. Fungsi utama hormon ini adalah untuk mengatur jumlah kalium dan natrium yang dilewatkan ke dalam urin. Produksi aldosteron dikontrol oleh renin angiotensin system (RAS) atau renin angiotensin aldosterone system (RAAS). Ini adalah sistem hormon yang mengatur tekanan darah dan keseimbangan cairan dalam tubuh. Umumnya renin diproduksi oleh ginjal saat tubuh kehilangan banyak garam dan air dari tubuh pada proses osmoregulasi. Renin pada gilirannya memicu produksi angiotensin yang pada akhirnya merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan hormon aldosteron. Penurunan tekanan darah juga merangsang sekresi aldosteron. Jadi, bersama dengan sistem renin angiotensin, aldosteron membantu ginjal untuk mempertahankan mineral penting seperti sodium dan kalium. Aldosteron juga dapat menyempitkan
43 pembuluh darah oleh peningkatan natrium dan retensi air, yang dengan demikian meningkatkan tekanan darah. b. Kortisteroid Kortikosteroid adalah glukokortikoid merupakan kortikosteroid dengan 21 atom karbon dibentuk dari kolesterol di korteks adrenal yang berada di bagian atas ginjal. Dalam proses pembentukan kortikosteroid ini dibutuhkan bermacammacam enzim. Sebagian besar kolesterol yang digunakan untuk steroidogenesis (pembentukan steroid) berasal dari luar (eksogen). Dalam korteks adrenal, kortikosteroid tidak di simpan sehingga harus disintesis terus menerus. Jumlah yang tersedia dalam kelenjar adrenal tidak cukup untuk mempertahankan kebutuhan normal bila biosintesis berhenti, meskipun hanya untuk beberapa menit saja. Oleh karenanya kecepatan biosintesisnya disesuaikan dengan kecepatan sekresinya. Kortikosteroid dilepaskan dari daerah korteks kelenjar adrenal. Hormon kortikosteroid yang disekresikan oleh kelenjar adrenal termasuk hormon hidrokortison
dan
kortikosteron.
Hidrokortison
atau
kortisol
mengatur
metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Hidrokortison dan kortikosteron memainkan peran penting dalam mengatur respon inflamasi tubuh. Kortikosteron juga mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dan karenanya dapat digunakan sebagai agen penekan kekebalan tubuh. Sekresi kedua hormon ini dikendalikan oleh hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang disekresikan oleh kelenjar hipofisis (Timothy et al. 2011). c. Epinefrin (Adrenalin) dan Noepinefrin (Noadrenalin) Kedua hormon ini disekresikan oleh bagian dalam kelenjar adrenal yaitu medula adrenal dan biasanya dikenal pula sebagai adrenalin. Epinefrin dan norepinefrin disebut katekolamin karena disekresikan untuk merespon kondisi stres fisik atau mental. Epinefrin, juga dikenal sebagai adrenalin, memainkan peran penting dalam konversi glikogen menjadi glukosa. Hormon ini juga diperlukan oleh tubuh untuk kelancaran arus darah ke otak dan otot. Selain itu, epinefrin juga berperan meningkatkan denyut jantung dan melemaskan otot polos paru-paru. Selain itu, hormon ini juga memicu pelebaran pembuluh darah kecil di paru-paru, jantung, ginjal, dan otot.
44 Epinefrin merupakan hormone yang dilepaskan oleh kelenjar adrenal dan dikeluarkan dalam keadaan ekstrem atau darurat. Epinefrin merupakan hormone adrenal yang memiliki metal terikat pada nitrogen. Epinefrin bekerja sebagai neurontransmitter yang mengantarkan sinyal antara neuron dan sel-sel dalam tubuh.
Gambar 16 Struktur Kimia Epinefrin Epinefrin disekresikan di bawah pengendalian sistem persarafan simpatis. Dapat meningkat dalan keadaan dimana individu tidak mengetahui apa yang akan terjadi. Pengeluaran yang bertambah akan meningkatkan tekanan darah untuk melawan shok yang disebabkan oleh situasi darurat (Bramardianto, 2013). Sekresi hormon epinefrin pada manusia melalui peningkatan kerja sistem pernafasan yang mengakibatkan paru-paru bekerja ekstra untuk mengambil oksigen lebih banyak hingga meningkatkan peredaran darah di seluruh bagian tubuh mulai dari otot-otot hingga ke otak, dan peningkatan tersebut disebutkan beberapa riset dapat mencapai 300% melebihi batas normal. Akibatnya, bukan jantung saja yang dapat berdebar lebih kencang, namun keseluruhan sistem tubuh termasuk pengeluaran keringat juga akan meningkat dengan cepat. Aliran darah di kulit akan berkurang untuk dialihkan ke organ lain yang lebih penting sehingga orang-orang yang menghadapi stress biasanya mudah berkeringat, dimana dalam pengertian awam sering disebut keringat dingin. Sekresi ini menaikkan konsentrasi gula darah dengan menaikkan kecepatan glikogenolisis di dalam liver. Rangsangan sekresi epinefrin bisa berupa stress fisik atau emosional yang bersifat neurogenik.
45 Faktor yang berfungsi mengatur sekresi epinefrin, antara lain: (a) Faktor saraf, yang merupakan bagian medula mendapat pelayanan dari saraf otonom. Oleh karena itu sekresinya diatur oleh saraf otonom, (b) Faktor kimia: Susunan bahan kimia atau hormon lain dalam aliran darah mempengaruhi sekresi hormon tertentu, dan (c) Komponen non hormonal. Epinefrin segera dilepaskan di dalam tubuh saat terjadi respon terkejut atau waspada.
Saat tubuh mengalami
ketegangan yang parah, hipotalamus mengirimkan perintah ke kelenjar pituitari agar melepaskan ACTH (hormon adrenokortikotropis). merangsang
korteks
adrenal,
mendorong
Di sisi lain, ACTH
pembuatan
kortikosteroid.
Kortikosteroid ini memastikan produksi glukosa dari molekul-molekul seperti protein, yang tak mengandung karbohidrat. Akibatnya, tubuh menerima tenaga tambahan dan tekanan pun berkurang (Sari dkk. 2008). Hormon epinefrin berfungsi memicu reaksi terhadap tekanan dan kecepatan gerak tubuh. Tidak hanya gerak, hormon ini pun memicu reaksi terhadap efek lingkungan seperti suara derau tinggi atau intensitas cahaya yang tinggi. Reaksi yang sering dirasakan adalah frekuensi detak jantung meningkat, keringat dingin dan keterkejutan atau shock. Fungsi hormon ini mengatur metabolisme glukosa terutama disaat stress. Hormon epinefrin timbul sebagai stimulasi otak, menjadi waswas dan siaga. Dan secara tidak langsung akan membuat indra kita menjadi lebih sensitif untuk bereaksi. Stress dapat meningkatkan produksi kelenjar atau hormon epinefrin. Sebenarnya, jika tidak berlebihan, hormon bisa berakibat positif, lebih terpacu untuk bekerja atau membuat lebih fokus. Tetapi, jika hormon diproduksi berlebihan akibat stress yang berkepanjangan, akan terjadi kondisi kelelahan bahkan menimbulkan depresi. Penyakit fisik juga mudah berdatangan, akibat dari darah yang terpompa lebih cepat, sehingga menganggu fungsi metabolisme dan proses oksidasi di dalam tubuh. Epinefrin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek. Hormon epinefrin menyebar di seluruh tubuh, dan menimbulkan tanggapan yang sangat luas, misalnya laju dan kekuatan denyut jantung meningkat sehingga tekanan darah
46 meningkat, kadar gula darah dan laju metabolisme meningkat, bronkus membesar sehingga memungkinkan udara masuk dan keluar paru-paru lebih mudah, pupil mata membesar, kelopak mata terbuka lebar, dan diikuti dengan rambut berdiri. Keadaan stress akan merangsang pengeluaran hormon epinefrin secara berlebihan sehingga menyebabkan jantung berdebar keras dan cepat. Hormon epinefrin diproduksi dalam jumlah banyak pada saat sedang marah. Indikasi stress adalah sulit tidur, cepat lelah, mudah terusik, kepala pusing, dan sebagainya. Penderita stress umumnya juga kehilangan nafsu makan. Hormon epinefrin mempengaruhi otak akan membuat indra perasa merasa kebal terhadap sakit, kemampuan berpikir dan ingatan meningkat, paru-paru menyerap oksigen lebih banyak, glukogen diubah menjadi glukosa yang bersama-sama dengan oksigen merupakan sumber energi. Detak jantung dan tekanan darah juga meningkat sehingga metabolisme meningkat. Pada manusia, hormon ini berfungsi untuk mencegah efek penuaan dini seperti melindungi dari Alzheimer, penyakit jantung, kanker payudara dan ovarium juga osteoporosis. Semakin tinggi tingkat DHEA (dehidroepiandrosteron) dalam tubuh, maka makin padat tulang. 5. Gonad Dalam proses reproduksi, sebelum terjadi pemijahan sebagian besar hasil metabolism tertuju pada perkembangan gonad. Bobot gonad ikan akan mencapai maksimum sesaat ikan akan memijah, kemudian akan menurun dengan cepat selama pemijahan berlangsung sampai selesai. Umumnya peningkatan bobot gonad ikan betina pada saat matang gonad dapat mencapai 10-25% dari bobot tubuh dan 5-10% pada ikan jantan. Semakin besar tingkat kematangan gonad, diameter telur yang ada dalam gonad semakin membesar. Perkembangan gonad ikan dibagi menjadi dua yakni tahapan pertumbuhan gonad sampaii ikan dewasa (sexually mature” dan selajutnya adalah pematangan gamet (Effendi, 1997). Gonad merupakan kelenjar endokrin yang dipengaruhi oleh gonadotropin hormon (GtH) yang disekresikan kelenjar pituitari. Meskipun gonadotropin tidak secara langsung mempengaruhi perkembangan telur atau seperma ikan, namun mempengaruhi sekresi estrogen oleh sel folikel telur dan androgen oleh jaringan testis. Estrogen yang umum didapatkan dalam cairan ovarium teleostei adalah estradiol -17β yang merupan derivat dari 17αhydroxyprogesterone, sedangkan
47 androgen yang umum disintesis adalah testosteron. Organ target estrogen adalah sel-sel hati. Pada hati, estradiol berperan membawa pesan agar vitelogenin segera disintesis. Vitelogenin adalah bahan baku kuning telur yang di sekresi sel-sel hati dan dibawa ke gonad oleh darah. Sedangkan 17αhydroxyprogesterone terutama berperan pada akhir pematangan gonad untuk merangsang ovulasi (Bond, 1979). Perkembangan gonad pada ikan membutuhkan hormon gonadotropin yang dilepaskan oleh kelenjar pituitari yang kemudian terbawa aliran darah masuk ke gonad. Gonadotropin kemudian masuk ke sel teka, menstimulir terbentuknya testosteron yang kemudian akan masuk ke sel granulosa untuk diubah oleh enzim aromatase menjadi estradiol 17β. Hormon estradiol 17β kemudian masuk ke dalam hati melalui aliran darah dan merangsang hati untuk mensintesis vitelogenin yang akan dialirkan lewat darah menuju gonad untuk diserap oleh oosit sehingga penyerapan vitelogenin ini disertai dengan perkembangan diameter telur (Sumantri 2006). Perkembangan telur pada tahap penyerapan vitelogenin akan berhenti ketika oosit telah mencapai ukuran maksimal. Menurut Nagahama et al. (1995), proses pematangan oosit terjadi karena rangsangan Leutinizing Hormone (LH) pada folikel, kemudian terjadi proses pembentukan hormon steroid, pada sel teka membentuk 17α-hidroksiprogesteron dan pada sel granulose terbentuk 17α,20βdihidroksi-4-pregnen-3-one, dan hormon steroid yang terakhir inilah yang mempunyai peranan sebagai mediator kematangan oosit lebih lanjut. Menurunnya produksi estradiol 17β dan aktivitas aromatase, ternyata diikuti oleh peningkatan testosterone, dan 17α,20β-dihidroksi-4-pregnen-3-one (17α,20β-DP) sehingga oosit mengalami GVBD (germinal vesicle break down) dan berakhir pada ovulasi. Ovulasi merupakan proses keluarnya sel telur (yang telah mengakhiri pembelahan miosis kedua) dari folikel ke dalam lumen ovarium atau rongga perut (Nagahama 1987). Proses ovulasi terdiri dari beberapa tahapan. Pada tahap awal lapisan folikel melepaskan diri dari oosit, pada saat akan terjadi ovulasi, mikrofili pada kedua permukaan tersebut sedikit demi sedikit terpisah, hal tersebut dimungkinkan dilakukan oleh enzim proteolitik. Sebelum terjadi ovulasi, sel telur akan mengalami pembesaran. Folikel membentuk semacam benjolan yang semakin membesar sehingga menyebabkan
48 dinding folikel pecah. Pecahnya dinding folikel terjadi pada bagian yang paling lemah (bagian membran) dengan bantuan enzim. Sel-sel teka secara faal bertindak sebagai otot halus yang dapat mendorong oosit keluar dari folikel. Hal ini disebabkan adanya semacam sel otot halus yang pipih dan serat kolagen yang terletak berdekatan dengan basal lamina. Menurut Basuki (2007), mekanisme hormonal untuk vitelogenesis, pematangan serta ovulasi oosit melibatkan GnRH, gonadotropin, estradiol 17β, testosteron, 17α-20β dihidroksiprogesteron, dan aromatase. 6. Urofisis Urofisis, nama lain the caudal neurosekretori sistem, merupakan neurosekretori yang terletak pada bagian belakang spinal cord. Urofisis didapatkan pada setiap spesies ikan, namun fungsi hormon yang dihasilkannya masih menimbulkan kontrofersi, walaupun secara umu, sekresi urofisis berhubungan dengan fungsi osmoregulasi, dimana pengaruh terbesarnya adalah pada ginjal. Ada empat jenis hormon yang diidentifikasi dari urofisis, yakni urotensin I, II, III dan IV. Pada ikan, urotensin I belum diketahui efeknya secara pasti, namun pada bertebrata darat, berperanan dalam penurunan tekanan darah. Urotensin II berperan dalam kontradiksi otot licin, misalnya otot rektum dan kandung kemih Urotensis III menstimulasi peningkatan penyerapan NA+ oleh insang dan pelepasan NA+ oleh ginjal. Urotensin Ivdiduga adalah arginine vasotocin,tetapi hanya teridentifikasi pada rainbow trout Jepang. Pada ikan karper, urofisis memproduksi sejumlah besar acetylcholine (Fujaya 2004). 3.2.3 Kelainan dan Solusi Ketiadaan Hormon Dalam sistem endokrin juga dikenal adanya gangguan atau endocrine disturbing hormone. Kondisi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor sehingga menyebabkan
kelebihan
produksi
hormone,
kekurangan
produksi
atau
penggantian fungsi hormone oleh senyawa atau zat lain dalam tubuh. Adapun beberapa gangguan pada sistem endokrin pada ikan adalah sebagai berikut:
49 a. Gangguan pada reproduksi Gangguan sistem endokrin yang dapat terjadi adalah adanya mekanisme “feminisasi” pada ikan jantan yaitu perubahan pada perkembangan duktus gonad, baik pembentukan rongga ovari seperti betina dan/atau keberadaan sel germ jantan dan betina pada gonad yang sama, peningkatan konsentrasi vitellogenin, perubahan pada perkembangan ginjal, gangguan fungsi imun dan menyebabkan kerusakan genotoksik (Tang dan Affandi 2001). Hormon adalah zat kimia organik yang dibentuk dalam sel atau kelenjar yang sehat dan normal, disekresikan langsung ke dalam darah dan dibawa ke sel/organ target, jumlahnya sangat kecil (g=10-6 g, ng=10-9 g) tetapi pengaruhnya besar berperanan dalam integrasi dan koordinasi fungsi tubuh. Karena itu hormon disebut juga pembawa pesan atau pesuruh kimia. Ada empat klasifikasi kimiawi hormon yakni steroid, tiroksin, katekolamin dan protein. Pada protein dan katekolamin, hormon adalah pembawa pesan I dan cAMP adalah pembawa pesan II, sedangkan pada steroid dan tiroksin tidak ada pembawa pesan II tetapi hormon tersebut bisa langsung ke inti untuk menyampaikan pesan yang dibawanya (Rahman 2008) Hormon tidak akan bekerja pada sel yang tidak memiliki reseptornya tetapi bila hormon tersebut tiba pada sel/organ target maka reseptornya akan mengikat hormone tersebut. Reseptor pada permukaan sel biasanyamengenali jenis hormone protein dan katekolamin. Interaksi hormone dan reseptor pada permukaan sel merangsang peningkatan atau penurunan konsentrasi cAMP, Ca2+, atau beberapa substansi lain. Sedangkan reseptol pada sitosol atau inti, biasanya meningkatkan transkripsi gen gen spesifik. Pada ikan, hormone dihasilkan dari kelenjar endokrin antara lain pituitary, tiroid, ginjal, gonad, pankreas dan urophisis (Rahman 2008). b. Kelainan pada insulin Gangguan, baik dari produksi maupun aksi insulin, menyebabkan gangguan pada metabolisme glukosa, dengan berbagai dampak yang ditimbulkannya. Pada dasarnya ini bermula dari hambatan dalam utilisasi glukosa yang kemudian diikuti oleh peningkatan kadar glukosa darah. Secara klinis, gangguan tersebut dikenal sebagai gejala diabetes melitus. Pada diabetes melitus tipe 2 (DMT2), yakni jenis diabetes yang paling sering ditemukan, gangguan metabolisme glukosa
50 disebabkan oleh dua faktor utama yakni tidak adekuatnya sekresi insulin (defisiensi insulin) dan kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin), disertai oleh faktor lingkungan ( environment ). Sedangkan pada diabetes tipe 1 (DMT1), gangguan tersebut murni disebabkan defisiensi insulin secara absolut. Gangguan metabolisme glukosa yang terjadi, diawali oleh kelainan pada dinamika sekresi insulin berupa gangguan pada fase 1 sekresi insulin yang tidak sesuai kebutuhan (inadekuat). Defisiensi insulin ini secara langsung menimbulkan dampak buruk terhadap homeostasis glukosa darah. Yang pertama terjadi adalah hiperglikemia akut pascaprandial (HAP) yakni peningkatan kadar glukosa darah segera (10-30 menit) setelah beban glukosa (makan atau minum). Kelainan berupa disfungsi sel beta dan resistensi insulin merupakan faktor etiologi yang bersifat bawaan (genetik). Secara klinis, perjalanan penyakit ini bersifat progressif dan cenderung melibatkan pula gangguan metabolisme lemak ataupun protein. Peningkatan kadar glukosa darah oleh karena utilisasi yang tidak berlangsung sempurna pada gilirannya secara klinis sering memunculkan abnormalitas dari kadar lipid darah. Untuk mendapatkan kadar glukosa yang normal dalam darah diperlukan obat-obatan yang dapat merangsang sel beta untuk peningkatan sekresi insulin (insulin secretagogue) atau bila diperlukan secara substitusi insulin, disamping obat-obatan yang berkhasiat menurunkan resistensi insulin (insulin sensitizer). Keadaan hiperglikemia yang terjadi, baik secara kronis pada tahap diabetes, atau hiperglikemia akut postprandial yang terjadi ber-ulangkali setiap hari sejak tahap TGT, memberi dampak buruk terhadap jaringan yang secara jangka panjang menimbulkan komplikasi kronis dari diabetes.Tingginya kadar glukosa darah (glucotoxicity) yang diikuti pula oleh dislipidemia (lipotoxicity) bertanggung jawab terhadap kerusakan jaringan baik secara langsung melalui stres oksidatif, dan proses glikosilasi yang meluas. Resistensi insulin mulai menonjol peranannya semenjak perubahan atau konversi fase TGT menjadi DMT2. Dikatakan bahwa pada saat tersebut faktor resistensi insulin mulai dominan sebagai penyebab hiperglikemia maupun berbagai kerusakan jaringan. Ini terlihat dari kenyataan bahwa pada tahap awal DMT2, meskipun dengan kadar insulin
51 serum yang cukup tinggi, namun hiperglikemia masih dapat terjadi. Kerusakan jaringan yang terjadi, terutama mikrovaskular, meningkat secara tajam pada tahap diabetes, sedangkan gangguan makrovaskular telah muncul semenjak prediabetes. Semakin tingginya tingkat resistensi insulin dapat terlihat pula dari peningkatan kadar glukosa darah puasa maupun postprandial. Sejalan dengan itu, pada hepar semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, menyebabkan semakin tinggi pula tingkat produksi glukosa dari hepar. c. Kelainan pada pertumbuhan Pembentukan growth hormon yang berlebihan akan mengakibatkan terjadinya pertumbuhan raksasa (gigantism). Efek hormon tumbuh ini akan terlihat dengan jelas sekali pada bagian tulang panjang. Pertumbuhan tulang yang berlebihan dapat mengakibatkan kelainan pada persendian, sehingga mekanisme kerja dari persendian terebut menjadi tidak normal lagi. Akibat dari agromegali ini dapat menyebabkan timbulnya infeksi pada persendian-persendian yang dapat berakibat
pada kepincangan. Estrogen
yang tinggi
dapat
menghambat
pertumbuhan. Karena itu, hormon ini akan mengurangi sintesis somatomedin (IGF-1), tetapi tidak menghambat kerja somatomedin. Produksi hormon tiroid yang berlebihan akan mengakibatkan terjadinya gangguan terhadap konversi keratin menjadi kreatinin. Akibat dihambatnya pembentukan kreatinin ini maka pembentukan fosfokreatin juga terhambat yang berakibat dieksresikannnya keratin ke dalam urine. Kehilangan keratin dari otot-otot menyebabkan kerja otot tidak efisien. Demikian juga, apabila terjadi kekurangan produksi hormon tumbuh di dalam tubuh organisme, maka akan terjadi kelainan-kelainan pertumbuhan. Kekurangan GH akan mengakibatkan kekerdilan (dwarfism). Kekurangan hormon tiroid (hipotirodism) menghambat terjadinya proses osifikasi (pembentukan tulang), menghambat proses metamorfosa pada amphibia, menurunkan pristaltic usus, penumpukan asam sulfur kondroitin, polysakharida dan asam hyaluronik yang menyebabkan terjadinya peregangan dan pembengkakan tenunan pengikat kulit.
52 IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan dan pembahasan, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: a. Sistem endokrin merupakan sistem kontrol kelenjar yang terdapat dalam tubuh organisme dan tidak memiliki saluran (ductless) khusus, sehingga dalam sekresi senyawa aktif biologinya seringkali melalui aliran darah untuk sampai pada organ target dan menimbulkan aksi. b. Kelenjar yang diamati dan hormone yang dihasilkan meliputi hipofisa yang menghasilkan hormone pertumbuhan, prolaktin, FSH-LH, MSH, TSH dan ACTH serta Arginin Vasotosin dan oksitosin. Pada hati terjadi aktifitas vitelogenesis yang melibatkan hormon estrogen. Pada ginjal diproduksi hormone aldosteron, kortikosteroid, epinefrin dan noepinefrin. Sedangkan pada pancreas diproduksi hormone insulin, glucagon dan somatostatin. Pada gonad disintesis estrogen dan androgen dan pada urofisis disintesa urotensin I dan urotensin II. c. Kelainan-kelainan yang terjadi pada sistem endokrin meliputi kelainan pada organ reproduksi, pertumbuhan dan kelainan pada pancreas. 4.2 Saran Dalam praktikum selanjutnya disarankan untuk dilakukan pengujian laju penggunaan hormone yang diinjeksikan ke ikan untuk pengamatan pertumbuhan dan perubahan fisiologisnya.
53 DAFTAR PUSTAKA
Acosta, J., M.P. Estrada, Y. Carpio, O. Ruiz, R. Morales, E. Martinez, J. Valdes, C. Borroto, V. Besada, A. Sanchez and F. Herrera. 2009. Tilapia somatotropin polypeptides: potent enhancers of fish growth and innate immunity. Biotecnologia Aplicada, 26: 267-272. Anwar, R. 2005. Biosintesis, Sekresi dan Mekanisme Kerja. Artikel Fertilitas dan Endokrinologi Reproduksi. Fakultas Kedokteran Univ. Padjajaran. Bandung. Anwar, R. 2005. Fungsi dan Kelainan Kelenjar Tiroid. Artikel. Fertilitas dan Endokrinologi Reproduksi. Fakultas Kedokteran. Universitas Padjajaran, 65 hal. Basuki F. 2007. Optimalisasi Pematangan Oosit dan Ovulasi pada Ikan Mas Koki (Carassius auratus) melalui Penggunaan Inhibitor Aromatase. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bowen, R. 2002. Prolaktin. http://arbl.cvmbs.colostate.edu. Diakses pada tanggal 6 Januari 2015. Bramadianto. 2013. Efinefrin dan Non Epinefrin (online). Tersedia: http://www.bramardianto.com diunduh pada 1 Januari 2015. Burhanuddin, Andi. 2010. Ikhtiologi Ikan dan Aspek Kehidupannya. Yayasan Citra Emulsi. Unhas Makassar. Buwono, I. D. dan Suparta, M. H. 2007. Isolasi Fragmen Tertentu Gen Hormon Pertumbuhan Ikan Mas Majalaya dan Nila Gift dengan Metode CTAB-PCR. Jurnal FPIK Unpad; 1-12. Cambrigde Communication Limited. 1998. Kelenjar Endokrin dan Sistem Persarafan. Asih Y, penerjemah; Monica E, editor. Jakarta (ID): EGC. Terjemahan dari: Anatomy & physiology: a selfintructional course 2 The Endocrine Glands and The Nervous system Ceriello A, 2002. The possible role of postprandial hyperglycemia in the pathogenesis of diabetic complications. Diabetologia 42:117-22. Costoff A. 2008. Endocrinology: The Endocrine Pancreas. Article of Medical College of Georgia. 16 pg. Edgar. 2009. Chemichal structure of vasotocin. On Work. En.wikipedia.org. Diakses pada tanggal 6 Janurai 2015. Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan (bagian I: Study Natural History). Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ester M. 2004. Farmakologi Kebidanan. Jakarta (ID). EGC. Ferrannini E, 1998. Insulin resistance versus insulin deficiency in non insulin dependent diabetes mellitus: Problems and prospects. Endocrine Reviews 19: 477-90. Francis SG, John DB. 1998. Endokrinologi dasar dan klinik. Jakarta (ID). EGC. Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan: Dasar pengembangan teknik perikanan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 179 hal. Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Rineka Cipta. Jakata.
54 Guyton dan Hall.2008. Fisiologi Kedokteran Ed 11. Jakarta : EGC. Hadley ME (Oct 2005). "Discovery that a melanocortin regulates sexual functions in male and female humans". Peptides 26 (10): 1687–9 Haney, P. M., Slot, J. W., Piper, P. W., James, D. E., Mueckler, M. 1991. "Intracellular targeting of the insulin-regulatable glucose transporter (GLUT4) is isoform specific and independent of cell type". Rockefeller University Press. Howaritz, B dan Henrv J.B. 2001. Evaluation of endocrine function. In John, B.H (eds), (7117iCUl Diagnosis and Management by Laboratory Methods. 2 1 st ed. Philadelphia: WB Saunders Company. Isnaeni, W. 2006. Fisiologi Hewan. Jogyakarta: Kanisus. Kales, Anthony (1995). The Pharmacology of sleep. Berlin: Springer-Verlag. Kogera, C.S., Teha, S.J., and Hinton, D.E. 1999. Biology of Reproduction, 61: 1287-1293. Society for the Study of Reproduction, Inc. Kramer W, 1995. The molecular interaction of sulphonylureas. DRCP 28: 67 – 80. Kufe, Donald W.; Pollock, Raphael E.; Weichselbaum, Ralph R.; Bast, Robert C., Jr.; Gansler, Ted S.; Holland, James F.; Frei III, Emil. (2003). "Holland-Frei Cancer medicine Multistage Carcinogenesis". Dana-Farber Cancer Institute, Harvard Medical School Boston, Department of Surgical Oncology, University of Texas, MD Anderson Cancer Center, Mount Sinai School of Medicine New York (ed. 6) (Hamilton on BC Decker Inc.,). hlm. Physiologic and Pharmacologic Effects of Corticosteroids. Landau, M. Melanocyt Commandeer Cell Survival Pathway. Article of Hardvard University. Oncology. USA. Li, W. S., Chen, D., Wong AOL and Lin, H. R. 2005. Molecul Cloning, Tissue Distribution and ontogeny of mRNA expression of growth in orange-spotted grouper Ephiphelus coioides. Joural of Endocrinol, 78-79. Matty, A. J. 1985. Fish Endocrinology. Croom Helm London and Sydney Timber Press. Portland, Oregon. 267 p. Michel G, Chauvet J, Chauvet MT, Clarke C, Bern H, Acher R. 1993. Chemical identification of the mammalian oxytocin in Holocephalian Fish Hydrolagus colliei. J General and Comparative Endocrinology. 92: 260-268. Millington GW (May 2006). "Proopiomelanocortin (POMC): the cutaneous roles of its melanocortin products and receptors". Clin. Exp. Dermatol. 31 (3): 407–12. Muladno. 2010. Teknologi Rekayasa Genetika. IPB Press. Bogor. Nagahama Y, Yoshikuni M, Yamashita M, Tokumoto T, Katsu Y. 1995. Regulation of Oocyte Growth and Maturation in Fish. Dev Biol 30 : 103-145. Nagahama Y. 1987. Gonadotropin Action on Gametogenesis and Steroidogenesis in Teleost Gonads. Zool Sci 4 : 209-222. Pearce, E. 2008. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
55 Ratnawati, P., Alimuddin, Arfah, H. dan Sudrajat, A. O. 2012. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan gurami yang direndam dalam air tawar mengandung hormone pertumbuhan. Jurnal Akuakultur, 11 (2); 162-167. Sacher, Ronald; Richard A. McPherson (2000). Wildmann's Clinical Interpretation of Laboratory Tests, 11th ed. F.A. Davis Company. Sari, G. M., Setyawan, S., Rahayu, A. 2008. Efek Pemberian Epinefrin terhadap Hemoglobin, jumlah eritrosit dan retikulosit. J. Penelit. Med. Eksakta, 7 (1): 1-8 Sloane, E. 2003. Anatomi dan Fisiologi. Jakarta: EGC. Sumantri D. 2006. Efektifitas Ovaprim dan Aromatase Inhibitor dalam Mempercepat Pemijahan pada Ikan Lele Dumbo Clarias sp. Skripsi. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Sumatri, D. 2006. Efektivitas ovaprim dan aromatase inhibitor dalam mempercepat pemijahan pada ikan lele dumbo Clarias sp. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sutomo. 1988. Peranan Hipofisa dalam Produksi Benih. Jurnal Oseana. XIII (3); 109-123. Syaifuddin, H. 1997. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Perawat. Jakarta: EGC. Tambajong Jan. 1995. Sinopsis Histologi. Jakarta (ID): EGC Tang, U. M. dan R. Affandi. 2000. Biologi reproduksi ikan. Bogor. 150 hal. Timothy, E., Comstock, L. dan DeCory, H. H. 2011. Kemajuan Terapi Kortikosteroid untuk Peradangan pada mata. Jurnal Global Kedokteran Negeri, Farmasi, Bausch & Lomb Inc, 1400 Goodman Utara. Viveiros ATM, Jatzkowski, Komen J. 2003. Effect of Oxytocin on semen release respone in African catfish Clarias gariepinus. J Theriogenology. 59: 1905-1917. Wong, A. O. L. 2010. Endocrinology and Cell Biology Division, School of Biological Science. Hongkong University. Hongkong. Yaron, Z., and Sivan, B. 2006. Reproduction. Page 343-386. In The physiology of fishes. Third edition. Evan, D.H. and Claiborne, J.B. (eds.) CRC Press. 601 pages. Yuwanta, T. 2004. Dasar Ternak Unggas. Kanisius. 133 hal. Zairin, M., Jr. 2003. Endokrinologi dan peranannya bagi masa depan perikanan Indonesia. Orasi ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Fisiologi Reproduksi dan Endokrinologi Hewan Air. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 71 hal.
56 Lampiran: Dokumentasi Praktikum
1. Pengukuran ikan lele dan ikan mas
2. Penimbangan Ikan dan penimbangan organ
3. Pembedahan dan Pengamatan Ikan