BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Biji-bijian merupakan salah satu sumber pangan yang tahan lama bila disimpan dengan cara yang benar. Kebutuhan akan biji-bijian semakin meningkat disebabkan kandungan nutrisi yang tinggi seperti pati, protein, serta lemak nabati. Umumnya produk biji-bijian tergolong produk pertanian yang mudah rusak setelah panen. Perubahan-perubahan
yang terjadi
setelah
panen, distribusi,
dan
penyimpanan mempengaruhi mutu produk. Faktor-faktor seperti kelembapan dan kandungan air dalam bahan merupakan penentu kemunduran mutu produk. Produksi biji-bijian di Indonesia memiliki potensi pasar yang cukup baik, namun pada kenyataanny, produksi di tingkat petani tidak semuanya terserap oleh industri yang disebabkan oleh beberapa hal yakni kadar air tinggi, rusaknya komoditas, warna biji yang tidak seragam, biji yang pecah, serta kotoran lain yang berimplikasi pada rendahnya mutu biji-bijian yang dihasilkan. Kegagalan dalam menerapkan cara-cara dan prosedur yang baik dalam berbagai kegiatan penanganan pascapanen dapat menyebabkan menyebabkan penurunan mutu mutu yang cepat dan dan susut yang tinggi. Oleh karena itu, untuk memastikan bahwa produk biji-bijian memenuhi standar mutu, termasuk kriteria yang ditetapkan dalam setiap peraturan pangan diperlukan adanya monitoring terhadap semua aspek, seperti kualitas, kondisi penyimpanan, tingkat kerusakan, dll. Selain itu juga sangat diperlukan pengetahuan dalam memahami beberapa aspek tersebut, sehingga dapat diupayakan tindakan pencegahan dan pengembangan sistem pasca panen yang cocok untuk produk produk biji bijian. 1.2
Tujuan
Melalui percobaan ini, mahasiswa akan mampu mengetahui kualitas dari biji - bijian dan dan mengetahui pengaruh atau parameter yang paling dominan terhadap kerusakan mutu biji – biji – bijian. bijian.
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Landasan Teori
Biji-bijian adalah bahan pangan yang mempunyai daya tahan tinggi karena tidak mudah rusak saat diangkut dan tahan lama bila disimpan dengan cara yang benar. Biji-bijian dapat diartikan sebagai kelompok padi-padian atau serealia. Dalam pengertian ini biji-bijian dihasilkan oleh famili rerumputan yang kaya karbohidrat sehingga dapat dikonsumsi sebagai makanan pokok. Selain itu Kacangkacangan atau disebut juga polongan termasuk famili Leguminosa. Kacangkacangan bersifat rendah kalori, rendah lemak, serta rendah garam natrium. Kacang-kacangan juga mengandung protein, karbohidrat kompleks, folat, dan besi. Berbagai jenis kacang-kacangan dapat dibedakan berdasarkan varietas atau jenis namanya, warna, bentuk, dan karakter fisiknya. Berikut gambar dan bagian dari beberapa biji-bijian :
Gambar 2.1. Biji-bijian Sumber : Juliano et al. (1985)
Homogenisasi sampel sangat penting untuk menjamin hasil pengujian yang lebih akurat. Salah satunya bisa menggunakan metode quartering . Quartering
adalah dengan membagi sampel menjadi empat bagian, berbentuk dua buah papan dirangkai saling tegak lurus, memebentuk 4 kuadran yang saling berhadap-hadapan secara diagonal.
Gambar 2.2. Pengambilan sampel secara quartering Sumber : Park & Bell (2002)
2.1.1
Jagung
Zea mays L. atau yang lebih dikenal sebagai jagung merupakan suatu produk pangan yang tidak asing dalam kehidupan kita. Sebagai salah satu sumber karbohidrat yang mampu menggantikan nasi, jagung menjadi salah satu jenis dari sekian banyak jenis serealia yang sangat mendominasi dan mampu ditemukan dalam jenis yang beragam (Purwono et. al., 2011). Berdasarkan umurnya, jagung sendiri dapat dikelompokkan ke dalam 3 jenis yakni jagung berumur pendek/ genjah dengan masa hidup 75 hingga 90 hari, jagung berumur sedang / tengahan dengan rentang usia 90 hingga 120 hari dan jagung berumur panjang yang sudah hidup lebih dari 120 hari. Selain berdasarkan umurnya, jagung sendiri dapat dibedakan ke dalam 7 golongan berdasarkan bentuk bijinya yakni : dent corn, flint corn, sweet corn, pop corn, flour corn, pod corn, dan juga waxy corn. Kendati demikian, setidaknya terdapat 20 jenis varietas jagung unggul yang dapat ditemukan sesuai dengan macam varietas umurnya (Wirawan, 1996). Tingkat kadar air yang aman untuk menyimpan jagung pipilan adalah 13 persen dimana semakin rendah kadar air maka masa simpan produk dapat ditingkatkan (Suprapto, 1982). Hal tersebut juga didukung oleh Standar Nasional Indonesia dimana kualitas jagung dengan kadar air hingga 17 persen masih dapat diterima. Selain kadar air, beberapa parameter lain yang menentukan mutu jagung sendiri adalah butir yang rusak dimana butir ini baik yang utuh maupun pecah
3
mengalami kerusakan karena adanya pengaruh dari panas, cuaca, cendawan, hama, berkecambah dan juga kerusakan fisik lainnya. Selain butir rusak, ada pula butir pecah dimana butir jagung hanya ditemukan berukuran 0,6 atau kurang dari ukuran aslinya, serta butir warna lain yang dapat ditemukan karena adanya perbedaan varietas. Setiap parameter memiliki nilai persyaratan mutu tersendiri sesuai dengan tingkatan mutu yang tertera pada tabel Standar Nasional Indonesia seperti di bawah ini : Tabel 2.1. Persyaratan Mutu SNI Jagung No.
Jenis Uji
Satuan
1 2 3 4 5
Kadar Air Butir Rusak Butir Warna Lain Butir Pecah Kotoran
% % % % %
I Maks. 14 Maks. 2 Maks. 1 Maks. 1 Maks. 1
Persyaratan Mutu II III Maks. 14 Maks. 15 Maks. 4 Maks. 6 Maks. 3 Maks. 7 Maks. 2 Maks. 3 Maks. 1 Maks. 2
IV Maks. 17 Maks. 8 Maks. 10 Maks. 5 Maks. 2
Beberapa kerusakan pada biji jagung dapat terjadi karena adanya kelalaian baik pada saat pemanenan maupun selama proses dan juga pengangkutan. Tempat dan suasana penyimpanan juga sangat mempengaruhi perubahan mutu biji jagung yang disimpan. Pengaturan suhu, kelembapan dan kebersihan ruang penyimpanan dapat dilakukan untuk mengurangi kerusakan pada biji jagung. Proses transportasi yang baik juga dapat meminimalisir kerusakan pada biji jagung. 2.1.2
Beras
Beras merupakan buah dari tanaman padi (Oryza sativa L.) dan termasuk dalam family Gramineae, oleh karena itu digolongkan dalam kelompok bahan pangan serealia. Beras merupakan makanan pokok yang paling banyak dikonsumsi orang Asia, yakni sebesar 94% dari total semua beras yang diproduksi di dunia. Beras dapat diklasifikasikan menurut metode kultivasi, panjang grain, dan tekstur nasi. Pada umumnya, beras diklasifikasikan menurut ukuran grain-nya, yakni long grain, medium, dan short grain. Dimana bulir beras jenis medium dan short grain memiliki kandungan amilosa yang lebih rendah serta amilopektin yang lebih tinggi dibanding beras long grain sehingga memiliki tekstur nasi yang lebih lengket (Brown, 2015). Jenis-jenis beras dapat dibedakan menjadi beras putih, beras merah (red rice), beras hitam (black rice), beras coklat (brown rice), dan jenis lainnya. Beras
4
putih yang paling umum dkonsumsi merupakan beras yang telah mengalami penggilingan dan penghilangan bagian husk, bran, dan germ oleh karena itu mengandung vitamin B dan serat yang lebih rendah dari jenis beras coklat maupun hitam (Brown, 2015). Hasil panen tanaman padi akan memasuki tahap perontokan menghasilkan butir gabah. Hasil penggilingan pertama dari gabah adalah beras pecah kulit (BPK) dan sekam. BPK kemudian disosoh dan digiling kembali untuk menghasilkan beras putih dengan hasil samping dedak/bekatul. Sedangkan beras merah maupun hitam merupakan hasil penggilingan beras pecah kulit yang tidak sempurna atau disosoh sebagian (BBPADI, 2016). Menurut BSN dalam SNI 6128-2008, terdapat beberapa parameter mutu untuk menentukan klasifikasi mutu beras. Parameter tersebut adalah kadar air persentase/kadar beras/butir utuh; beras/butir kepala, yakni butir beras yang memiliki ukuran lebih besar atau sama dengan 0,75 bagian butir utuh; beras/butir menir, yakni beras yang memiliki ukuran lebih kecil dari 0,25 bagian butir utuh; beras/butir patah dengan ukuran beras 0,25-0,75 bagian beras utuh; butir kuning, mengapur, atau warna lain; butir rusak; gabah dan kotoran/benda asing lainnya. Semakin banyak jumlah butir utuh dan butir kepala akan meningkatkan mutu beras, sedangkan semakin banyak jumlah butir patah, butir menir, butir kuning, gabah, dan kotoran/benda asing lainnya menurunkan mutu beras. Berdasarkan parameter tersebut, BSN (2008) mengelompokkan beras dalam 5 golongan mutu sebagai berikut. Tabel 2.2. Klasifikasi mutu beras menurut SNI 6128 -2008
Sumber: BSN (2008)
5
Menurut Setyawan dan Doddy (2011), faktor yang menyebabkan beras kuning adalah tumbuhnya jamur selama penyimpanan beras. Jika dibiarkan lebih lama lagi, beras akan berubah menjadi kehitaman, rusak, dan membusuk. Sedangkan, keberadaan butir kapur disebabkan oleh meningkatnya kadar air selama penyimpanan. Butir utuh dan butir kepala selama penyimpanan dapat menjadi butir patah dan juga butir menir karena mengalami peningkatan kadar air yang membuat teksturnya lebih lunak sehingga beras memutih dan mudah patah. Dengan demikian, kadar air beras amat menentukan mutu beras. Kondisi lingkungan penyimpanan beras (suhu dan kelembapan) dapat menyebabkan EMC ( Equilibrium Moisture Content ) beras menjadi di atas 13%. Keberadaan butir mengapur berkaitan dengan meningkatnya butir pecah, rusak, patah, dan butir menir sehingga jumlah butir utuh maupun kepala akan menurun. Menurut Menti (2011), tinggi rendahnya mutu beras juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti spesies/varietas dari beras, kondisi lingkungan, waktu dan cara pemanenan, metode pengeringan, dan cara penyimpanan. Kadar air yang paling berpengaruh terhadap mutu beras tersebut semasa penyimpanan lebih baik kurang dari 14% karena kadar air yang tinggi dapat meningkatkan metabolisme mikroba, kapang, dan perkembangbiakan serangga. Selain itu, kadar air yang tinggi juga dapat meningkatkan laju respirasi dan mempercepat hilangnya viabilitas biji. Laju respirasi yang tinggi akan berakibat pada berkurangnya bahan cadangan makanan sehingga viabilitas biji menurun serta peningkatan suhu beras sehingga beras menjadi lebih cepat rusak (Kristiani, 2012). Permukaan butir pecah/patah juga dapat menjadi bahan pangan yang sangat mudah dimanfaatkan hama sebagai sumber makanannya sehingga semakin menurunkan mutu beras. Keberadaan gabah dan kotoran lainnya dapat menjadi sumber kontaminan bagi beras karena telah tercemar oleh mikroorganisme maupun jasad renik lainnya yang dapat mempercepat beras mengalami penurunan mutu bahkan membusuk. Namun, kadar air yang terlalu rendah (10%) juga dapat berakibat semakin cepatnya proses autooksidasi lemak, cendawan juga dapat tumbuh dan merusak biji (Kristiani, 2012; Menti, 2011).
6
Menurut Warisno et al. (2014), derajat sosoh ditentukan oleh tingkat kemampuan mesin penyosoh untuk menghilangkan lapisan bekatul dan lembaga. Penyosohan dan penggilingan juga dapat mempengaruhi kadar beras patah dan menir pada beras. Gabah dengan kadar air rendah pada proses penggilingan dapat menyebabkan hasil butir patah yang tinggi, sedangkan bila gabah memiliki kadar air tinggi juga dapat menghasilkan butir menir yang tinggi. Untuk menanggulangi tingginya butir patah yang dihasilkan, proses pemutihan beras ( polisher ) harus diperbanyak menjadi beberapa tahap atau beberapa kali penyosohan sehingga menurunkan beban gesekan yang dapat membuat beras mudah patah, namun menghasilkan beras dengan derajat sosoh tinggi. Derajat sosoh turut menentukan daya simpan beras, bersama-sama dengan kada air dan kebersihan beras dari dedak. Karena semakin rendah derajat sosoh beras, semakin tinggi kandungan lemak dalam beras yang dapat menimbulkan bau apek dbila lemak mengalami oksidasi serta bahan makanan bagi hama. Lapisan dedak yang juga merupakan aleureon mengandung serat kasar, protein, vitamin, dan lemak sehingga dapat menurunkan daya simpan, meskipun penghilangan lapisan ini dapat menurunkan nutrisi dari beras (Warisno et al., 2014). Menurut Kristiani (2012), faktor yang mempengaruhi viabilitas biji atau ketahanan biji selama disimpan terdiri atas faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri atas sifat genetic biji, daya tumbuh, kondisi kulit, dan kadar air biji. Sedangkan, faktor eksternal meliputi kemasan biji, komposisi gas, suhu, dan kelembapan ruang penyimpanan. Proses respirasi biji selama penyimpanan dapat terjadi karena keberadaan enzim-enzim (contoh: enzim α-amylase, β -amylase) yang keaktivannya dapat dihambat pada suhu rendah. Untuk menekan laju respirasi, suhu penyimpanan yang ideal untuk beras berkisar antara 15oC hingga 21 oC sehingga harus dijaga agar suhu penyimpanan beras tidak mencapai 30oC-40oC. Kelembapan yang optimum adalah di bawah 70% sehingga menghindarkan kondisi optimum untuk pertumbuhan hama. Penanganan pasca panen dan metode penyimpanan yang tepat merupakan kunci dalam menghasilkan beras bermutu tinggi (Kristiani, 2012; Sibuea, 2011; Sulardjo, 2014).
7
2.1.3
Kacang Tanah
Kacang tanah ( Arachis hypogaea L.) merupakan komoditas yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi dan merupakan salah satu sumber bahan pangan yang dapat dimanfaatkan secara luas, baik untuk diolah lebih lanjut atau dikonsumsi secara langsung. Berdasarkan umurnya, varietas kacang tanah dikelompokkan menjadi 7 jenis yakni varietas Jerapah yang berumur 90 – 95 hari, varietas Kancil yang berumur 90 – 95 hari, varietas Kelinci yang berumur 95 hari, varietas Bima yang berumur 90 – 95 hari, varietas Bison yang berumur 90 – 95 hari, varietas Tuban yang berumur 90 – 95 hari, dan varietas Singa yang berumur 90 – 95 hari (Syamsiar, 2010). Kadar air biji yang aman untuk menyimpan kacang tanah adalah kurang dari 10% karena aflatoksin terbentuk optimal pada kadar air biji 10% - 30% (Badan Litbang Pertanian, 2012). Hal ini sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang menyatakan bahwa kadar air maksimum yang masih dapat diterima adalah 8%. Selain kadar air, parameter lain yang menentukan mutu kacang tanah adalah butir keriput dimana butir ini merupakan butir kacang tanah yang mengalami perubahan bentuk dan menjadi keriput, termasuk biji yang muda dan/atau tidak sempurna pertumbuhannya. Selain butir keriput, ada pula butir rusak dimana butir kacang tanah yang kulit polongnya mengalami kerusakan dan pecah akibat terserang hama penyakit atau berjamur, serta biji satu / butir belah yang merupakan kacang tanah yang berisi satu biji kacang tanah dan butir warna lain yang dapat ditemukan karena adanya perbedaan varietas. Setiap parameter memiliki nilai persyaratan mutu tersendiri sesuai dengan tingkatan mutu yang tertera pada tabel Standar Nasional Indonesia seperti di bawah ini : Tabel 2.3. Persyaratan Mutu SNI Kacang Tanah Persyaratan Mutu No Jenis Uji Satuan I II III 1.
Kadar Air
(%)
Maks. 6
Maks. 7
Maks. 8
2.
Butir Rusak
(%)
Maks. 0
Maks. 1
Maks. 2
3.
Butir Belah
(%)
Maks. 1
Maks. 5
Maks. 10
4.
Butir Warna Lain
(%)
Maks. 0
Maks. 2
Maks. 3
8
5.
Butir Keriput
(%)
Maks. 0
Maks. 2
Maks. 4
Kacang tanah merupakan substrat yang cocok untuk tumbuh dan berkembangnya kapang, termasuk Aspergillus spp. Kontaminasi alfatoksin pada kacang tanah dapat terjadi sejak proses penyiapan bahan baku, pengolahan, penyimpanan, hingga pemasaran (Wang dan Liu, 2007). Produksi optimal aflatoksin terjadi apabila suhu tanah berkisar antara 25 – 35oC dan kadar biji lebih dari 15 – 30% (Badan Litbang Pertanian, 2012). Karena kontaminasi aflatoksin dapat terjadi sejak tanaman berada di lapang sampai proses penyimpanan dan tidak dapat dihilangkan 100% melalui proses pengolahan menjadi produk makanan atau pakan, diperlukan pengendalian melalui penanganan pra dan pascapanen yang tepat serta sortasi bahan baku yang ketat sebelum pengolahan (Giting et. al., 2005). Dengan demikian, diperlukan penanganan yang tepat pada proses pemanenan, pengolahan, distribusi, penyimpanan dan juga sortasi yang baik dengan memperhatikan aspek-aspek yang dapat mempengaruhi kualitas kacang tanah sehingga mutu kacang tanah dapat tetap terjaga. 2.1.4
Kacang Kedelai
Kedelai adalah hasil tanaman kedelai (Glycine max) berupa biji kering yang telah dilepaskan dari kulit polong dan dibersihkan. Kedelai merupakan salah satu jenis biji – bijian yang mengandung sumber protein yang cukup tinggi dan juga merupakan sumber lemak, vitamin, dan mineral. Seperti yang kita ketahui, kedelai dapat diolah menjadi berbagai bahan makanan, minuman, serta penyedap cita rasa makanan (Cahyadi, 2007). Berdasarkan umurnya, kedelai dapat digolongkan ke dalam 4 jenis yaitu kedelai umur genjah yang dapat dipanen pada umur 70 – 79 hari, kedelai varietas unggul umur sedang yang dapat dipanen lebih dari 79 hari tetapi tidak te rlalu lama yaitu pada umur 80 - 85 hari, kedelai varietas unggul umur dalam yang dapat dipanen setelah umurnya 86 - 90 hari, dan kedelai varietas unggul umur sangat dalam yang dapat dipanen setelah umurnya lebih dari 90 hari. Berdasarkan ukurannya, kedelai dapat digolongkan ke dalam 3 jenis yaitu kedelai varietas unggul biji besar dengan ukuran lebih dari 14 g per 100 biji, kedelai
9
varietas unggul biji sedang dengan ukuran sekitar 10 - 14 g per 100 biji, dan kedelai varietas unggul biji kecil dengan ukuran sekitar 10 g per 100 biji. Berdasarkan klasifikasi lainnya, adapula jenis kedelai berdasarkan varietas unggul toleran atau tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Kadar air biji kedelai pada umumnya adalah 12 – 13% (Anonim, 2015). Menurut Standar Nasional Indonesia, kadar air hingga 16% masih dapat diterima. Setiap parameter memiliki nilai persyaratan mutu tersendiri sesuai dengan tingkatan mutu yang tertera pada tabel Standar Nasional Indonesia seperti di bawah ini : Tabel 2.4. Persyaratan Mutu SNI Kedelai Persyaratan Mutu No.
Jenis Uji
Satuan I
II
III
IV
1.
Kadar Air
(%)
Max 13
Max 14
Max 14
Max 16
2.
Butir belah
(%)
Max 1
Max 2
Max 3
Max 5
3.
Butir rusak
(%)
Max 1
Max 2
Max 3
Max 5
4.
Butir warna lain
(%)
Max 1
Max 3
Max 5
Max 10
5.
Kotoran
(%)
Max 0
Max 1
Max 2
Max 3
6.
Butir keriput
(%)
Max 0
Max 1
Max 3
Max 5
Selain kadar air, ada beberapa parameter lain yang menentukan mutu kedelai seperti butir belah dimana kulit bijinya terlepas dan keping – keping bijinya terlepas atau bergeser; butir rusak yaitu biji kedelai yang berlubah karena serangan hama atau pecah karena mekanis, biologis, fisik dan enzimatis seperti berkecambah, busuk, bau tidak disukai dan perubahan warna maupun bentuk; butir warna lain yang merupakan biji kedelai yang berwarna lain dari aslinya yang disebabkan oleh varietas lain; butir keriput dimana biji kedelai berubah bentuknya menjadi keriput dan termasuk biji yang masih muda atau tidak sempurna pertumbuhannya; yang terakhir adalah kotoran misalnya benda asing seperti pasir, tanah, potongan – potongan atau sisa – sisa batang daun, kulit polong, dan biji – bijian lain yang bukan kedelai.
10
2.1.5
Kerusakan Produk Biji-bijian
Kerusakan yang terjadi pada produk biji-bijian mengakibatkan penurunan mutu baik, yang berupa susut berat karena rusak, memar, cacat dan lain-lain. Kerusakan yang terjadi selama penyimpanan akan menjadi penyebab utama penurunan mutu. Kerusakan dapat terjadi secara fisik (tekanan, getaran, suhu, kelembaban), biologi (mikroba, serangga, tungau, respirasi), dan kimia/biokimia (reaksi pencoklatan, ketengikan, penurunan nilai gizi dan keamanan terhadap kesehatan manusia). Untuk mencegah kerusakan biji yang disimpan maka diperlukan adanya monitoring yang intensif terhadap biji dan kondisi ruang penyimpanan. Kontrol terhadap ruang penyimpanan meliputi kondisi aerasi dan peralatan pendingin serta control visual terhadap hama yang muncul di dalam gudang penyimpanan. Secara berkala diperlukan adanya fumigasi terhadap biji-bijian yang disimpan. Kontrol kualitas juga harus dilakukan terhadap biji-bijian secara berkala untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi selama penyimpanan. Selain itu dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan gudang, tidak boleh disimpan terlalu lama, hindari kemasan yang rusak, memperhatikan kadar air bahan, batas simpan yang baik, kandungan air tidak lebih dari 13%, menghindari kontak langsung antara bahan baku (biji-bijian) dengan lantai dengan diletakkan diatas pallet (Kushartono, 2002).
11
BAB III METODE KERJA
3.1
Alat dan Bahan
Beberapa alat yang digunakan dalam percobaan kali ini adalah: timbangan, kertas putih, plastic dan juga label. Sedangkan bahan yang digunakan dalam percobaan kali ini adalah empat jenis biji-bijian yang berbeda yakni jagung, beras, kacang tanah dan kacang kedelai.
3.2
Prosedur Kerja
3.2.1
Jagung
Untuk melakukan uji pengujian mutu jagung maka dilakukan percobaan dengan prosedur sebagai berikut : 1. Sample dengan berat kurang lebih 500 gram tiap kelompok dipersiapkan terlebih dahulu. 2. Quartering kemudian dilakukan hingga sample berkurang menjadi kurang lebih 125 gram. 3. Penyortiran sampel dilakukan sesuai dengan parameter yang tertera dalam SNI. 4. Penimbangan untuk hasil tiap parameter dan pencatatan dilakuan. 3.2.2
Beras
Untuk melakukan uji pengujian mutu beras maka dilakukan percobaan dengan prosedur sebagai berikut : 1. Sample dengan berat kurang lebih 500 gram tiap kelompok dipersiapkan terlebih dahulu. 2. Quartering kemudian dilakukan hingga sample berkurang menjadi kurang lebih 65 gram. 3. Penyortiran sampel dilakukan sesuai dengan parameter yang tertera dalam SNI. 4. Penimbangan untuk hasil tiap parameter dan pencatatan dilakuan.
12
3.2.3
Kacang Tanah
Untuk melakukan uji pengujian mutu kacang tanah ma ka dilakukan percobaan dengan prosedur sebagai berikut : 1. Sample dengan berat kurang lebih 500 gram tiap kelompok dipersiapkan terlebih dahulu. 2. Quartering kemudian dilakukan hingga sample berkurang menjadi kurang lebih 125 gram. 3. Penyortiran sampel dilakukan sesuai dengan parameter yang tertera dalam SNI. 4. Penimbangan untuk hasil tiap parameter dan pencatatan dilakuan. 3.2.4
Kacang Kedelai
Untuk melakukan uji pengujian mutu kacang kedelai maka dilakukan percobaan dengan prosedur sebagai berikut : 1. Sample dengan berat kurang lebih 500 gram tiap kelompok dipersiapkan terlebih dahulu. 2. Quartering kemudian dilakukan hingga sample berkurang menjadi kurang lebih 125 gram. 3. Penyortiran sampel dilakukan sesuai dengan parameter yang tertera dalam SNI. 4. Penimbangan untuk hasil tiap parameter dan pencatatan dilakukan.
13
BAB IV PEMBAHASAN
4.1
Jagung
Pada percobaan kali ini, digunakan jagung dalam bentuk ja gung pipil kering atau yang lebih dikenal sebagai jagung ‘ pop corn’ . Dari sampel awal seberat 500 gram untuk setiap kelompok, dilakukan Quartering hingga didapat sampel sebesar 170.51 gram untuk kelompok 1 dan 123.70 gram untuk kelompok 2 yang selanjutnya disortasi sesuai dengan parameter uji SNI yang tertera pada tabel sebagai berikut : Tabel 4.1. Hasil Pengamatan Biji Jagung Parameter Data Mutu SNI Kadar Air 10.79 % I Butir Rusak 6.54 % IV Butir Warna Lain 0% I Butir Pecah 0.13 % I Kotoran 0% I
Persyaratan Mutu Maks. 14 % Maks 8 % Maks 1 % Maks 1 % Maks 1 %
Berdasarkan perhitungan kadar air basis basah / wet basis yang telah dilakukan terhadap sampel jagung pipil kering jenis pop corn, didapatkan nilai sebesar 10.79% dimana apabila angka tersebut dicocokkan ke dalam tabel Standar Nasional Indonesia seperti yang tertera pada tabel 4.1.1 di atas, maka mutu jagung yang digunakan pada percobaan kali ini akan masuk ke dalam mutu I. Selain pengujian kadar air, dilakukan juga sortasi sehingga didapatkan jumlah butir rusak sebesar 6.54%, butir pecah 0.13%, dan butir utuh / baik sebesar 93.25%. tidak ditemukan adanya biji warna lain karena adanya perbedaan varietas maupun kotoran dalam sampel yang digunakan. Apabila dilihat berdasarkan jumlah presentase butir rusak yang ditemukan yakni 6.54%, maka sampel yang disortasi masuk ke dalam mutu IV sedangkan jika dilihat berdasarkan jumlah butir pecah yang hanya berada pada presentase 0.13%, maka sampel jagung akan masuk ke dalam mutu I. Hal yang sama juga ditemukan untuk parameter butir warna lain dan juga kotoran dimana 0% dari keseluruhan
14
sampel ditemukan berwarna lain maupun kotoran sehingga untuk kedua parameter ini, sampel jagung juga masuk ke dalam range mutu I. Berdasarkan kelima parameter dan jenis uji yang sudah dilakukan, keempat sampel masuk ke dalam persyaratan mutu I yakni kadar air, butir pecah, butir warna lain dan juga kotoran. Sedangkan untuk butir rusak, s ampel jagung akan masuk ke dalam persyaratan mutu IV. Meski demikian, sampel jagung yang disortasi dalam percobaan kali ini masih dapat dimasukan ke dalam golongan persyaratan mutu II karena berdasarkan kelima parameter mutu yang tertera dalan Standar Nasional Indonesia, kadar air yang menjadi parameter yang paling penting masih menduduki persyaratan mutu jagung I. Kadar air menjadi salah satu parameter penyimpanan yang sangat berpengaruh terhadap tingkat kerusakan hasil panen bersamaan dengan kelembapan dan temperature penyimpanan (Effendi, 1980). Perhitungan kadar air basis basah pada kisaran angka 10.79% juga sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Suprapto (1982) bahwa sesungguhnya kadar air penyimpanan yang aman untuk jagung pipil adalah sebesar 13% sehingga sampel jagung yang digunakan sejatinya masih aman selama proses penyimpanan. Meski 4 dari kelima parameter uji persyaratan mutu jagung juga masih menempati mutu I sampel jagung pipil kering jenis pop corn yang digunakan masih termasuk ke dalam mutu II karena parameter biji rusak berpotensi untuk menyebabkan kerusakan pada biji lainnya yang bersifat dapat menular. Meski demikian, penggolongan biji jagung tidak masuk ke dalam mutu III karena rendahnya kadar air yang secraa tidak langsung masih mampu menahan dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang terdapat dalam biji jagung yang berpotensi untuk menyerang dan merusak biji lainnya. Apabila ditemukan butir jagung berwarna lain, hal itu dapat terjadi kerena adanya perbedaan varietas jagung yang diproduksi. Sedangkan untuk butir pecah sendiri, hal ini dapat digolongkan ke dalam salah satu kerusakan fisik yang dapat terjadi baik selama pemanenan, pengolahan, maupun selama pengiriman dan juga penyimpanan. Kerusakan fisik lainnya juga dapat terlihat berdasarkan jumlah presentase butir rusak. Meski demikian, butir rusak sendiri dapat muncul bukan saja karena adanya kerusakan fisik melainkan kerusakan secara kimaiwi yang bisa
15
muncul karena kerja Enzim dan juga cemaran biologis dari adanya cemaran/ kontaminasi senyawa biologis dan juga mikrobiologis seperti hama yang mampu menjadi salah satu pemicu munculnya butir rusak. Kotoran yang ditemukan dalam sampel juga merupakan salah satu contoh cemaran fisik yang didapat baik selama proses pemanenan, proses pengolahan maupun proses transportasi dan juga penyimpanan. Beberapa kerusakan seperti butir rusak dan pecah karena adanya tekanan fisik memang tidak akan menimbulkan masalah lain terhadap butir lainnya, namun kotoran dan butir rusak akibat kerusakan kimia dan biologis akan mampu mempengaruhi butir lain yang ada disekitar butir tersebut. Maka, perlu dilakukan proses pemanenan, pengolahan, transportasi, penyimpanan dan juga sortasi yang baik dengan memperhatikan setiap aspek pengolahan seperti temperatur, kelembapan, dan faktor lainnya sehingga mutu jagung dapat tetap dijaga.
4.2
Beras
Berikut data observasi mutu beras dan pengelompokkan mutunya berdasarkan klasifikasi mutu SNI 6128-2008. Tabel 4.2. Pengelompokkan mutu sampel beras analisis Parameter Mutu Data Observasi (%) Batas SNI (%) Kadar air 12,3 14 Beras Utuh 77.71 73-78 Beras Patah 12.345 10-20 Beras Menir 7.305 5 Beras Kuning 2.07 2-3 Gabah 0 0 Batu 0 0
Mutu I-IV III III Out of range III I I
Beras memiliki kadar air di bawah 14% yang dapat dinyatakan baik atau masih di dalam range SNI. Artinya pada kondisi kadar air tersebut, beras ti dak akan mudah rusak karena mikroorganisme dan hama belum mudah berkembang biak sehingga beras akan lebih tahan bila disimpan. Kadar kadar butir kepala menurut range mutu III menurut SNI (2008) adalah 73%, sedangkan mutu II 78% sehingga kadar beras utuh hasil observasi 77,71% masih dapat digolongkan dalam mutu III. Kemudian kadar butir patah menurut range mutu II SNI adalah 10%, sedangkan mutu III adalah 20%, maka pada sampel analisis beras mengandung 12% butir patah digolongkan dalam mutu III.
16
Kadar butir menir mutu V maksimal 5%, kadar butir menir dalam sampel analisis beras 7% melebihi range sehingga dinyatakan di luar mutu yang ditetapkan SNI. Batas kadar beras kuning mutu III SNI adalah 2%, mutu IV adalah 3 %, maka kadar butir menir sampel beras analisis digolongkan ke dalam mutu III. Untuk gabah dan kotoran lainnya tidak terdapat dalam sampel beras analisis maka dinyatakan mutu I. Dalam menentukan mutu beras, parameter yang paling penting adalah kadar air beras karena beras dengan kadar air yang masih ideal (di bawah 14%) dapat lebih tahan lama disimpan berhubung beras harus tahan disimpan selama proses pendistribusian dan penjualan hingga ke tangan konsumsen. Berdasarkan hasil perbandingan analisis sampel beras dengan range mutu SNI 6128-2008, beras secara keseluruhan digolongkan dalam mutu III karena meskipun kadar air beras dapat digolongkan dalam mutu I, namun hingga kelompok mutu IV batas maksimum kadar air beras masih 14%. Kemudian, berdasarkan kadar butir kepala, patah, dan menir, beras digolongkan dalam mutu III. Kadar butir utuh dan kepala adalah salah satu parameter yang menentukan nilai beras yang dibeli konsumen karena merupakan karakteristik yang pertama dan paling dominan terlihat oleh konsumen sehingga golongan mutu butir kepala menjadi parameter yang penting untuk menentukan golonan mutu beras keseluruhan, yakni mutu III. Keberadaan gabah dan kotoran lain antar setiap kelompok mutu (I-II dan seterusnya) hanya berbeda 1% sehingga dianggap kurang signifikan untuk menyatakan beras secara keseluruhan tergolong dalam mutu I hanya berdasarkan golongan mutu gabah dan kotoran sampel beras analisis. Beras mutu III dapat dinyatakan memiliki jaminan keamanan mutu yang baik karena masih berada dalam range yang telah ditetapkan SNI dan memiliki karakteristik beras yang masih bermutu baik. Kadar air dapat disimpulkan menjadi kunci penyebab parameter kerusakan beras yang lainnya, karena beras mengalami peningkatan kadar air, beras menjadi lebih lunak dan mudah patah sehingga seiring meningkatnya waktu penyimpanan, butir utuh maupun butir kepala dapat pecah menjadi butir patah dan seterusnya menjadi butir menir. Hal ini akan sangat menurunkan mutu beras, oleh karena itu kadar air merupakan parameter yang penting diperhatikan dalam menentukan masa
17
simpan beras. Kadar air beras yang terus meningkat, suhu, dan RH penyimpanan beras yang tidak dijaga dapat menyebabkan pertumbuhan jamur dan menyebabkan butir beras menguning. Bila tidak dilakukan pengawasan mutu yang baik terhadap beras yang disimpan, beras dapat terus mengalami respirasi dan autooksidasi, menghasilkan beras yang berbau apek, kehitaman, bahkan membusuk. Beras juga mengandung banyak kutu dan terkontaminasi. Untuk memperoleh dan menjaga beras bermutu tinggi, langkah penanggulangan maupun pencegahan yang perlu dilakukan adalah melakukan penanganan pasca panen yang benar dan baik, seperti menentukan waktu panen yang tepat, memilih metode pengeringan padi yang benar, perontokan, dan penggilingan padi yang optimal sehingga menghasilkan rendemen beras yang besar dan bermutu baik, tidak mengandung banyak butir patah, pembersihan gabah juga dilakukan dengan optimal agar tidak mengandung banyak kotoran asing yang dapat menurunkan mutu beras. Selain itu, proses pengemasan dan penyimpanan beras merupakan tahap yang amat krusial karena menjaga mutu beras tetap baik hingga ke tangan konsumen. Beras dapat disimpan dalam karung maupun silo, kemudian menurut Sulardjo (2014) sistem penyimpanan beras diusahakan agar karung beras tidak menyentuh lantai sehingga tidak meningkatkan kelembapan beras. Ruang penyimpanan beras juga harus memiliki sirkulasi udara yang lancar, suhu yang tepat dan harus senantiasa dikontrol, yakni di bawah 24 oC, serta RH ruangan dijaga agar kelembapan berada di bawah 70%.
4.3
Kacang Tanah
Pada percobaan kali ini, digunakan kacang tanah yang berbentuk gelondongan. Dari sampel awal seberat 500 gram, dilakukan Quartening hingga diperoleh sampel seberat 132.00 gram untuk kelompok 7 dan 142.68 gram untuk kelompok 8 yang selanjutnya disortasi sesuai dengan parameter uji SNI yang tertera pada tabel sebagai berikut : Tabel 4.3. Hasil Pengamatan Kacang Tanah Parameter Data Mutu SNI Persyaratan Mutu Kadar Air
49.18%
Out of range
Maks. 9
Butir Rusak
4.54%
Out of range
Maks. 2
18
Butir Keriput
11.22%
Out of range
Maks. 4
Berdasarkan perhitungan kadar air basis basah atau wet basis yang telah dilakukan terhadap sampel kacang tanah, didapatkan nilai kadar air sebesar 49.18% dimana apabila angka tersebut dicocokan ke dalam tabel Standar Nasional Indonesia seperti yang tertera pada Tabel 4.3.1 di atas, maka mutu kacang tanah yang digunakan pada percobaan ini tidak termasuk di dalam range parameter mutu kacang tanah berdasarkan SNI 01-3921 - 1995. Perbedaan kadar air yang cukup jauh ini dapat diakibatkan dari suhu lingkungan tempat penyimpanan produk memiliki suhu lebih tinggi sehingga uap air akan berpindah dari lingkungan ke produk sampai terjadi kondisi kesetimbangan (Adawiyah, 2006). Selain pengujian kadar air, dilakukan juga sortasi sehingga didapatkan jumlah rata-rata butir keriput sebesar 11.22% dan rata-rata butir rusak sebesar 4.54%. Berdasarkan jumlah persentase butir keriput dan butir rusak yang ditemukan yakni sebesar 11.22% dan 4.54%, maka sampel kacang tanah yang disortasi berada di luar range parameter mutu SNI kacang tanah. Hal ini dapat diakibatkan karena perbedaan varietas kacang tanah yang digunakan sehingga berpengaruh terhadap jumlah persentase butir keriput dan butir rusak kacang tanah. Didapat pula jumlah rata-rata persentase kotoran dari kacang tanah yang digunakan sebesar 0.115% dan rata-rata persentase biji satu sebesar 5.63%. Ditemukannya biji satu pada sampel dapat diakibatkan karena kacang tanah tercampur dengan varietas lain, sedangkan adanya kotoran pada sampel dikarenakan sampel tidak dibersihkan setelah tahap pemanenan sehingga sampel tercampur dengan kotoran-kotoran. Parameter butir rusak dapat digolongkan ke dalam salah satu kerusakan fisik yang dapat terjadi selama proses pemanenan, pengolahan, pengiriman, maupun penyimpanan. Sedangkan parameter butir keriput dapat pula digolongkan ke dalam salah satu kerusakan fisik yang diakibatkan pertumbuhan biji yang tidak sempurna.
4.4
Kacang Kedelai
Pada percobaan kali ini, digunakan kedelai dalam bentuk kedelai kuning kering. Dari sampel awal seberat 500 gram, dilakukan Quartering hingga didapat
19
sampel dari kelompok 3 sebesar 122.24 gram dan dari kelompok 4 sebesar 146.73 gram yang selanjutnya disortasi sesuai dengan parameter uji SN I yang tertera pada tabel sebagai berikut : Tabel 4.4. Hasil Pengamatan Biji Kedelai Parameter Data Mutu SNI Kadar Air 11.52 % I Butir Rusak 9.96 % Diluar batas maksimal Butir Warna Lain 7.12 % IV Butir Belah 4.41 % IV
Persyaratan Mutu Maks. 13 % Maks 5 % Maks 10 % Maks 5 %
Kotoran
0.66 %
II
Maks 1 %
Butir Keriput
18.75 %
Diluar batas maksimal
Maks 5 %
Berdasarkan perhitungan kadar air basis basah / wet basis yang telah dilakukan terhadap sampel kedelai kuning, didapatkan nilai sebesar 11.52% dimana apabila angka tersebut dicocokkan ke dalam tabel Standar Nasional Indonesia seperti yang tertera pada tabel 4.4.1 di atas, maka mutu kedelai yang digunakan pada percobaan kali ini akan masuk ke dalam mutu I. Selain pengujian kadar air, dilakukan juga sortasi sehingga didapatkan jumlah butir belah sebesar 4.41%, butir rusak 9.96%, butir utuh / baik sebesar 62.45%, kotoran 0.66%, butir keriput 18.75%, dan 7.12% butir warna lain. Apabila dilihat berdasarkan j umlah presentase butir belah yang ditemukan yakni 4.41%, maka sampel yang disortasi masuk ke dalam mutu IV, sedangkan jika dilihat berdasarkan jumlah butir rusak, jumlahnya cukup besar yakni 9.96%, hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah butir rusak melewati batas maksimal yang ditentukan oleh SNI yaitu 5%. Berdasarkan jumlah kotoran yakni 0.66%, maka sampel yang disortasi masuk ke dalam mutu II, lalu berdasarkan jumlah butir keriput, jumlahnya cukup besar yaitu 18.75%, hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah butir keriput melewati batas maksimal yang ditentukan oleh SNI yaitu 5%. Pada parameter butir warna lain, jumlahnya adalah 7% dan tergolong kedalam mutu IV. Berdasarkan data hasil uji parameter yang telah diperoleh yakni kadar air dengan mutu I, butir belah dan butir warna lain dengan mutu IV, butir rusak dan butir keriput yang melebihi batas maksimal dari ketentuan SNI, dan kotoran dengan mutu II, maka dapat disimpulkan bahwa kacang kedelai secara keseluruhan masuk ke dalam mutu III. Kadar air yang merupakan salah satu parameter penentuan mutu sampel kacang kedelai yang berpengaruh terhadap kualitas dari kedelai itu sendiri. Seperti yang dijabarkan oleh Anonim (2015) bahwa
20
kadar air kedelai yang aman adalah yang ada dalam range 12 – 13%. Walaupun kadar air dari kedelai masuk ke dalam mutu I, tetapi dapat kita lihat bahwa butir kedelai rusak dan keriput berada dalam jumlah yang melebihi batas maksi mal yang telah ditentukan oleh SNI dimana adanya butir rusak dan keriput dapat mempengaruhi butir kedelai yang lainnya secara keseluruhan. Apabila ditemukan butir belah, hal tersebut dikarenakan oleh tergesernya kulit atau keping – keping dari biji kacang kedelai kuning tersebut, butir kedelai berwarna lain karena adanya perbedaan varietas kedelai yang diproduksi, butir kedelai rusak karena adanya serangan hama sehingga membuat biji kedelai berlubang ataupun selama pendistribusian dan penyimpanan terpengaruh oleh faktor mekanis, fisik, biologis dan enzimatis yang memungkinkan. Butir keriput dapat ditemukan karena pertumbuhan kedelai yang tidak sempuna atau biji kedelai tersebut memang tergolong dalam biji yang masih muda disebabkan oleh proses panen yang lebih awal yang dapat menyebabkan masa simpannya tidak bertahan lama (Hieronymus, 1995). Kotoran yang ada disebabkan oleh adanya kontaminasi fisik, baik selama pendistribusian maupun penyimpanan. Sehingga, proses yang dilakukan setelah panen, pendistribusian bahan, penyimpanan, sortasi dan proses lainnya yang dilakukan perlu diperhatikan dengan baik agar tetap menjaga mutu produk yang sangat di pengaruhi oleh kadar air, RH dan parameter lainnya.
21
BAB V PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan serangkaian percobaan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa sampel biji jagung yang digunakan masuk ke dalam mutu II karena ada parameter biji rusak yang berpotensi mempengaruhi biji lainnya. Beras digolongkan dalam mutu III dengan parameter kadar air merupakan parameter yang paling penting dalam menentukan masa simpan beras dan dapat menjadi penyebab kerusakan lainnya, yakni beras melunak karena mengalami peningkatan kadar air dan melunak sehingga mudah patah. Selain itu, golongan mutu beras utuh merupakan parameter yang paling dominan dalam menentukan golongan mutu beras keseluruhan. Sedangkan untuk sampel kacang kedelai, sampel dapat digolongkan ke dalam mutu III karena tingginya angka terhitung pada beberapa parameter yang mampu mempengaruhi keseluruhan produk. Kacang tanah yang digunakan pada percobaan kali ini tidak termasuk dalam range parameter mutu SNI kacang tanah. Metode pencegahan dan penanggulangan penurunan mutu adalah melalui metode penyimpanan produk yang tepat dengan pengaturan suhu, pH, kadar air dan juga kelembapan karena merupakan kunci dalam meningkatkan masa simpan dari produk jagung, kedelai, kacang tanah, dan beras.
22
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, Siti., Safika dan Faisal Jamin. “Penentuan Aflatoksin B1 pada Makanan Olahan Kacang Tanah dengan Menggunakan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)”. Jurnal Kedokteran Hewan Volume 9 Nomor 1 Halaman 38-41. ISSN : 1978-225X, 2011. Anonim. “Pelatihan Teknis Budidaya Kedelai Bagi Penyuluh Pertanian Dan Babinsa: Perbenihan Kedelai”. Pusat Pelatihan Pertanian, 2015. Arma, Makmur Jaya et. al. “Pertumbuhan dan Produksi Jagung dan Kacang Tanah Melalui Pemberian Nutrisi Organik dan Waktu Tanam dalam Sistem Tumpangsari”. Jurnal Agroteknos Volume 3 Nomor 1 Halaman 1-7 . ISSN : 2087 – 7706, 2013. Badan Litbang Pertanian. Kacang Tanah: Sumber Pangan Sehat dan Menyehatkan Edisi 21-27 Maret No. 3449, 2012. BBPADI (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi). “Aspek Mutu Beras”. Balitbangtan-Kementerian Pertanian online. Home page on-line. Available from http://bbpadi.litbang.pertanian.go.id/index.php/berita/info-teknologi /content/264-aspek-mutu-beras; Internet; accessed on 30 January 2017. Bedjo. “Pengendalian Kumbang Bubuk Pada Penyimpanan Jagung ”. Jurnal Balai Penelitian Tanaman Pangan. Malang, 1992. Brown, Amy. Understanding Food: Principles and Preparation, 5th ed. USA: Cengage Learning, 2015. BSN (Badan Standardisasi Nasional). Beras. SNI 6128-2008. Jakarta: BSN, 2008. BSN (Badan Standardisasi Nasional). Jagung . SNI 01-3920. Jakarta: BSN, 1995. BSN (Badan Standardisasi Nasional). Kacang Tanah. SNI 01-3921. Jakarta: BSN, 1995. BSN (Badan Standardisasi Nasional). Kedelai. SNI 01-3922. Jakarta: BSN, 1995. Cahyadi, W. Kedelai : Khasiat dan Teknologi. Jakarta : Bumi Aksara, 2007. Ekowati Diah, dan Mochamad Nasir. “Pertumbuhan Tanaman Jagung Varietas BISI-2 pada Pasir Reject dan Pasir Asli di Pantai Trisik Kulonprogo”. Jurnal Manusia dan Lingkungan. Volume 18 Nomor 3, 2011.
23
Giting, E., A.A. Rahmianna dan E. Yusnawan. “Pengendalian Kontaminasi Aflatoksin pada Produk Olahan Kacang Tanah Melalui Penanganan Pra dan Pasca Panen”. Jurnal Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Jawa Timur, 2005. Kastanja, Ariance. “Identifikasi Kadar Air Jagung dan Tingkat Kerusakannya Pada Tempat Penyimpanan”. Jurnal Argoforestri Volume II Nomor I (2007). [e journal] https://jurnalee.files.wordpress.com/2013/11/identifikasi-kadarair-biji-jagung-dan-tingkat-kerusakannya-pada-tempat-penyimpanan.pdf (diakses 28 Januari 2017). Kushartono B. “Manajemen Pengolahan Pakan”. Prosiding Lokakarya Fungsional Non Peneliti. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Hal.202-209, 2002. Santoso, Hieronymus. Perontok Biji Kedelai. Jakarta: Penerbit Kanisius, 1995. Septiani, Septin. “Kajian Suhu dan Kadar Air terhadap Kualitas Benih Kedelai (Glycine max L. Merril) selama Penyimpanan”. Makalah Seminar Umum Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2012. Setyawan, Bernardus Hendra dan Franciscus Doddy. “Pengaruh Penyimpanan terhadap Kualitas Beras: Perubahan Sifat Fisik selama Penyimpanan”. Technical Report. Universitas Diponegoro, Semarang, 2011. Sibuea, Pulungan. “Survei Korelasi Populasi Sitophylus oryzae Linn. (Coleoptera: Curculionidae) dengan Beberapa Faktor Gudang Penyimpanan Beras di Bulog Medan dan Sekitarnya”. Skripsi Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara, Medan, 2011. Sulardjo. “Penanganan Pasca Panen Padi”. Magistra ISSN 0215-9511 (2014). Available from http://download.portalgaruda.org/article.php?article =253355&val=6820&title=PENANGANAN%20PASCAPANEN%20PA DI; Internet; diakses 30 Januari 2016. Syamsiar. “Teknologi Budidaya Kacang Tanah”. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), Sulawesi Tenggara, 2010. Wang, J. dan X. Liu. “Contamination of Aflatoxins in Different Kinds of Foods in China”. Journal of Biomed Environment . Sci. 20:483-487, 2007. Warisno, Wowon, Tamrin, dan Budianto Lanya. “Analisis Mutu Beras pada Mesin Penggilingan Padi Berjalan di Kabupaten Pr ingsewu”. Artikel Ilmiah Teknik Pertanian. Universitas Lampung, 2014. Widaningrum, Miskiyah dan A. S. Somantri. “Changes in Maize Grain (Zea mays L.) Physico-Chemical Properties Storaged with CO 2 Treatment.” 24
AGRITECH, Vol.30, No. 1 (2010) [e-journal] http://download.portalgaruda.org/article.php?article=409266&val=7837&tit le=PERUBAHAN%20SIFAT%20FISIKOKIMIA%20BIJI%20JAGUNG%20%20(Zea%20mays%20L.)%20PADA% 20PENYIMPANAN%20DENGAN%20PERLAKUAN%20KARBONDIO KSIDA%20(CO%20)%20%20%20Changes%20in%20Maize%20Grain%20 (Zea%20mays%20L.)%20PhysicoChemical%20Properties%20Storaged%20with%20CO%20Treatment; Internet; diakses 28 Januari 2017. Winarno, FG. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia, 2002. Wirawan, Gede N dan Muhammad Ismail Wahab. “Teknologi Budidaya Jagung”. Home-page online. Available from http://www.pustakadeptan.go.id;Internet;accessed on 28 January 2017.
25