Laporan Kunjungan Lapangan Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara
Disusun oleh:
Nama
: Noorma Paramitha
NIM
: 4411413009
Prodi
: Biologi
Mata kuliah : ichtiology
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2016
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Berdasarkan SK Menteri Kelautan dan Perikanan tugas yang dibebankan pada BBPBAP adalah melaksanakan pengembangan dan penerapan teknik perbenihan, pembudidayaan, pengelolaan kesehatan ikan dan pelestarian lingkungan budidaya. Visi BBPBAP Jepara adalah mewujudkan balai sebagai instansi pemberi pelayanan prima dalam pembangunan dan pengembangan sistem usaha budidaya air payau yang berdaya saing, berkelanjutan dan berkeadilan. Misi BBPBAP Jepara yaitu mengembangkan rekayasa teknologi budidaya berbasis agribisnis dan melaksanakan alih teknologi kepada dunia usaha, meningkatkan kapasitas kelembagaan, mengembangkan sistem informasi IPTEK perikanan, mengembangkan jasa pelayanan dan sertifikasi serta memfasilitasi upaya pelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya. Bangunan yang dimiliki BBPBAP Jepara adalah berupa gedung perkantoran,
laboratorium,
bangsal
perbenihan,
ruang
kuliah,
auditorium, garasi, asrama, guest home, rumah dinas, dan pos satpam. Dalam Kunjungan Lapangan mata Kuliah ikhtiologi, Kami melakukan kunjungan di beberapa laboratorium dan bangsal perbenihan di BBPBAP Jepara antara lain bangsal perbenihan kepiting, MKHA, laboratorium pakan buatan, laboratorium pakan alami, bangsal pembesaran nila salin, dan bangsal pembenihan ikan bandeng.
Tujuan Kunjungan lapangan ke BBPBAP Jepara yaitu pengamatan langsung kondisi lapangan budidaya di BBPBAP Jepara yang meliputi perbenihan kepiting, MKHA, pakan alami dan buatan, pembesaran nila salin dan pembenihan ikan bandeng. Laporan ini dibuat untuk mendeskripsikan mengenai perbenihan kepiting beserta faktor-faktor yang mempengaruhi, menganalisis komponen-komponen pakan alami dan pakan buatan, mendeskripsikan pengujian mikrobiologi kesehatan hewan akuatik, serta mendeskripsikan mengenai budidaya pembesaran ikan nila salin. B. Rumusan Masalah 1. Bagaiamanakah Kondisi lingkungan dan pakan yang diperlukan untuk budidaya pembenihan kepiting bakau? 2. Bagaimanakah tahapan-tahapan pembuatan
serta
komponen-
komponen utama pakan buatan hewan akuatik (udang, ikan, dan kepiting)? 3. Mengapa Lumbricus rebellus dipilih sebagai komoditas pakan alami
di BBPBAP Jepara? 4. Bakteri apa sajakah yang menyebabkan penyakit pada hewan
akuatik di BBPBAP Jepara? Apakah bahaya bakteri tersebut terhadap hewan akuatik di BBPBAP Jepara? 5. Bagaimanakah kondisi lingkungan yang
diperlukan
untuk
pembesaran ikan nila salin? C. Tujuan Penelitian 1. Menganalisis kondisi lingkungan dan pakan yang diperlukan untuk budidaya pembenihan kepiting bakau . 2. Menganalisis tahapan-tahapan pembuatan
serta
komponen-
komponen utama pakan buatan hewan akuatik (udang, ikan, dan kepiting) 3. Meganalisis efektivitas Lumbriscus rubellus sebagai pakan alami hewan akuatik di BBPBAP Jepara. 4. Mendeskripsikan bakteri parasit beserta bahaya yang ditimbulkan pada hewan akuatik.
5. Menganalisis kondisi lingkungan yang diperlukan untuk pembesaran ikan nila salin.
BAB II PEMBAHASAN A. Profil BBPBAP Jepara
1. Sejarah Berdirinya BBPBAP Jepara Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara dalam perkembangannya sejak didirikan mengalami beberapa kali perubahan status dan hierarki. Pada awal berdirinya tahun 1971, lembaga ini bernama Research Center Udang (RCU) dan secara hierarki berada dibawah Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan Departemen Pertanian. Pada tahun 1977, RCU diubah namanya menjadi Balai Budidaya Air Payau (BBAP) sehubungan dengan perubahan fungsi dari semula hanya pusat riset udang menjadi pusat riset banyak komoditi budidaya laut, yang secara struktural resmi berada dibawah Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian. Pada tahun 2000 setelah terbentuknya Departemen Ekplorasi Laut dan Perikanan, keberadaan BBAP masih dibawah Direktorat Jenderal Perikanan. Akhirnya pada bulan Mei 2001, status BBAP ditingkatkan menjadi Eselon II dengan nama Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) dibawah Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan. 2. Letak Geografis dan Keadaan Alam Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara terletak di Desa Bulu, Kecamatan Jepara, Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Letak geografis BBPBAP Jepara adalah 110 0 39’ 11’’ BT dan 60 33’ LS. BBPBAP Jepara terletak di Kelurahan Bulu dengan batas-batas antara lain sebelah barat berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur dan selatan berbatasan dengan Kelurahan Demaan dan sebelah utara dengan Kelurahan Kauman. Mayoritas penduduknya bermata pencarian sebagai petani dan nelayan, memiliki garis pantai sepanjang 3,67 km.
Luas kompleks BBPBAP Jepara kurang lebih 64,5472 ha yang terdiri dari kompleks balai seluas sepuluh ha dan tambak seluas 54,5472 ha. Kompleks Balai terdiri dari perkantoran, perumahan, asrama, unit pembenihan, unit pembesaran, lapangan olah raga, auditorium dan laboratorium. BBPBAP Jepara dan sekitarnya merupakan daerah beriklim tropis dengan hujan terjadi pada bulan November-Maret, musim pancaroba terjadi pada bulan April-Juni dan musim kemarau terjadi pada bulan Juli-Oktober. 3. Struktur Organisasi dan Tenaga Kerja Berdasarkan SK Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : KEP. 26 C/MEN/2001 tanggal 1 Mei 2001 tentang organisasi dan tata kerja BBPBAP Jepara yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Perairan. Didalam struktur organisasi tersebut terdapat kelompok jabatan fungsional yang mempunyai tugas melaksanakan kegiatan perekayasaan, pengujian, pembimbingan, penerapan standar teknik alat dan mesin, sertifikasi pembenihan dan pembudidayaan, penyuluhan hama dan penyakit, pengawasan benih dan kegiatan lain yang sesuai dengan masing-masing jabatan fungsional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kelompok jabatan fungsional yang terdapat di BBPBAP Jepara yaitu, jabatan fungsional Perekayasaan, jabatan fungsional Pustakawan serta jabatan Teknisi Litkayasa. Struktur Organisasi Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, terdiri dari bidang pelayanan teknik, bidang standarisasi dan informasi, bidang tata usaha dan kelompok jabatan fungsional.
Untuk mempermudah koordinasi dan memperlancar
pelaksanaan tugas pejabat fungsional dibentuk kelompok kegiatan perekayasaan yang terdiri dari kelompok kegiatan kesehatan ikan dan lingkungan, kelompok kegiatan pakan hidup dan buatan, kelompok
kegiatan national shrimp broodstock center (NSBC), kelompok kegiatan perbenihan dan kelompok kegiatan pembesaran. BBPBAP Jepara didukung sumberdaya manusia sebanyak 191 orang, terdiri dari 161 orang PNS, empat orang CPNS dan 26 orang Tenaga Kontrak. Tingkat pendidikan pegawai di BBPBAP Jepara bervariasi dari jenjang SD sampai tamatan S2. Namun demikian untuk meningkatkan SDM dilingkungannya, BBPBAP Jepara juga melakukan peningkatan kompetensi baik dengan pendidikan formal maupun non formal kepada pegawainya agar perkembangan ilmu pengetahuan dan keahlian terus meningkat. 4. Visi dan Misi BBPBAP Jepara Visi BBPBAP Jepara adalah mewujudkan balai sebagai instansi pemberi pelayanan prima dalam pembangunan dan pengembangan sistem usaha budidaya air payau yang berdaya saing, berkelanjutan dan berkeadilan. Misinya yaitu mengembangkan rekayasa teknologi budidaya berbasis agribisnis dan melaksanakan alih teknologi kepada dunia usaha, meningkatkan kapasitas kelembagaan, mengembangkan sistem informasi IPTEK perikanan, mengembangkan jasa pelayanan dan sertifikasi serta memfasilitasi upaya pelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya. 5. Sarana dan Prasarana BBPBAP Jepara
Untuk mendukung seluruh kegiatan, di BBPBAP Jepara dilengkapi dengan berbagai sarana dan prasarana. Beberapa
unit
laboratorium
telah
dioperasionalkan
guna
menunjang pencapaian produksi dan penerapan teknik budidaya berwawasan lingkungan. Laboratorium tersebut meliputi : a. Laboratorium pakan : 2 unit b. Laboratorium kesehatan ikan dan lingkungan : 2 unit
BBPBAP Jepara dilengkapi dengan sarana transportasi berupa 4 unit kendaraan roda dua, 2 unit kendaraan roda tiga, 9 unit kendaraan roda empat dan 4 unit kendaraan roda enam guna mendukung kelancaran tugas dan kegiatan balai. Sumber energi utama di BBPBAP Jepara adalah listrik, karena listrik merupakan sarana vital dan merupakan salah satu pendukung utama kegiatan balai secara umum. Listrik diperlukan secara terusmenerus selam 24 jam. Pembangkit tenaga listrik yang digunakan berasal dari jaringan PLN dengan daya terpasang sebesar 147 KVA dan 197 KVA dengan panjang jaringan 5000m, 6 buah genset masingmasing dengan daya 150 KVA (dua buah), 80 KVA (satu buah), 250 KVA (satu buah), 125 KVA (satu buah) yang digunakan untuk menanggulangi sewaktu-waktu aliran listrik PLN mengalami gangguan atau padam. BBPBAP Jepara memiliki jaringan air tawar dalam komplek perbenihan, perkantoran dan rumah tangga sepanjang 1.000 m dengan tandon air dan pompa. Jaringan air laut digunakan untuk mensuplai kebutuhan di perbenihan serta laboratorium dengan panjang jaringan sepanjang 2.500 m yang dilengkapi dengan tandon, tower dan jaringan aerasi. Bangunan yang dimiliki BBPBAP Jepara adalah berupa gedung perkantoran,
laboratorium,
bangsal
perbenihan,
ruang
kuliah,
auditorium, garasi, asrama, guest home, rumah dinas, dan pos satpam. Gedung perkantoran meliputi : gedung utama (2 lantai) yang digunakan untuk perpustakaan, ruang rapat, ruang para pejabat struktural beserta staf, serta 5 buah bangunan gedung lainnya digubakan untuk para pejabat Struktural, Fungsional Perekayasa, Pengawas dan Litkayasa. B. Bangsal Perbenihan Kepiting 1. Siklus Hidup Kepiting Bakau
Kasry (1996) menyatakan kepiting bakau dalam menjalani hidupnya beruaya dari perairan pantai ke perairan laut, kemudian induk dan anak-anaknya akan berusaha kembali ke perairan hutan bakau untuk berlindung, mencari makan atau membesarkan diri. Kepiting bakau melangsungkan perkawinan di perairan bakau, setelah selesai maka secara perlahan-lahan sesuai dengan perkembangan telurnya yang betina akan beruaya ke laut menjauhi pantai mencari perairan yang kondisinya cocok untuk melakukan pemijahan. Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan atau yang telah dewasa akan tetap berada di perairan bakau, tambak, atau sekitar perairan pantai yang berlumpur dan memiliki organisme makanan berlimpah. Kepiting bakau dapat menghasilkan dua ribu sampai delapan ribu telur tergantung dari ukuran dan umur dari kepiting betina yang memijah. Pemijahan kepiting bakau umumnya berlangsung sepanjang tahun, namun kegiatan bertelur pada setiap perairan tidak semua pemijahan berlangsung pada dasar perairan yang dalam dan mengikuti periode bulan, khususnya bulan-bulan yang baru dengan jarak ruaya yang tidak lebih dari satu kilometer dari pantai. Kepiting bakau memiliki daya toleransi hidup pada salinitas air yang rendah (10 – 24 o/oo). Tingkat perkembangan kepiting bakau dapat dibagi atas tiga fase yaitu fase telur (embrionik), fase larva dan fase kepiting
(Estampador,
1949
dalam
Mulya,
2000).
Tingkat
perkembangan tersebut antara lain tingkat zoea, tingkat megalova, tingkat kepiting muda dan tingkat kepiting dewasa (Boer et al., 1993 dalam Rosmaniar, 2008). Setelah telur menetas maka muncul larva tingkat I (zoea I) yang terus menerus berganti kulit (moulting) kemudian terbawa arus ke perairan pantai sampai lima kali (zoea V), membutuhkan waktu 18 hari selanjutnya akan berganti kulit menjadi megalova yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa kecuali masih memiliki bagian ekor yang panjang.
Tingkat megalova ke tingkat kepiting muda membutuhkan waktu 11 - 12 hari pada salinitas 29 – 33 o/oo sebelum berganti kulit menjadi tingkat kepiting pertama. Kasry (1996) menyatakan apabila salinitas air lebih rendah (21 – 27o/oo) pada tingkat megalova, kepiting muda bergerak ke arah pantai memasuki perairan payau. Siahainenia (2000) menyatakan dari tingkat megalova ke kepiting muda memerlukan waktu 15 menit. Kepiting muda akan bermigrasi kembali ke hulu estuaria, kemudian berangsur-angsur memasuki hutan mangrove, hingga berkembang menjadi kepiting dewasa.
GaaaaGambar 1. Siklus Hidup Kepiting Bakau (Kasry, 1991). GaaaaGambar 2. Siklus Hidup Kepiting Portunidae
2. Hubungan Parameter Fisik Kimia Air dan Substrat Terhadap Perkembangan Kepiting Bakau a. Suhu
Suhu merupakan faktor yang banyak mendapat perhatian dalam pengkajian kelautan. Apabila suhu di permukaan air meningkat, kepiting akan lebih lama tinggal dalam lubang.
perairan yang mempunyai suhu tinggi cenderung menaikkan angka pertumbuhan kepiting bakau dan waktu dewasa menjadi singkat. Suhu air yang lebih rendah dari 20 oC dapat mengakibatkan aktivitas dan nafsu makan kepiting bakau turun secara drastis. Suhu yang optimal untuk pertumbuhan kepiting yaitu antara 25 oC- 30 oC. b. Kecerahan
Selama
periode
pasang
surut
maupun
pasang
naik
menunjukkan bahwa perbedaan waktu menyebabkan adanya perbedaan kecerahan. Waktu pasang surut pengaruh daratan lebih dominan sehingga tingkat kecerahannya lebih rendah sedangkan pada waktu pasang naik laut memiliki kecerahan lebih tinggi berpengaruh terhadap kondisi perairan, juga dipengaruhi oleh adanya limbah yang menutupi permukaan perairan sehingga dapat menghalangi penetrasi cahaya. c. Salinitas Air
Salinitas disebut kadar garam atau kegaraman. Jumlah berat semua garam yang terlarut dalam 1 liter air, biasanya dinyatakan dengan satuan o/oo (permil, garam per mil). Salinitas berpengaruh terhadap setiap fase kehidupan kepiting bakau, terutama pada saat moulting. Kasry (1996) menyatakan kepiting bakau dewasa kawin dan mematangkan telurnya pada perairan yang mempunyai salinitas 15 o/oo – 29
o
/oo walaupun belum diketahui pengaruh salinitas
terhadap pertumbuhannya. Kepiting bakau akan mengubah konsentrasi cairan tubuhnya sesuai dengan lingkungannya melalui kombinasi proses osmosis dan difusi. Kisaran salinitas yang sesuai bagi kepiting adalah 10 – 30 o/oo atau digolongkan ke dalam air payau. d. Derajat Keasaman (pH)
Kehidupan organisme aquatik sangat dipengaruhi oleh fluktuasi nilai pH. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa membahayakan kelangsungan hidup organisme karena menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Soim (1999) menyatakan bahwa pH yang sesuai untuk kepiting bakau berkisar antara 7,2 7,8. Sedangkan menurut Kasry (1996) pH yang baik untuk kepiting adalah 7,0 - 8,0. Sehingga dapat disimpulkan, PH air yang sesuai untuk kepiting bakau yaitu berkisar 7,0-8,0. e. Kandungan Oksigen Terlarut atau Disolved Oxygen (DO) Disolved Oxygen (DO) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut ini merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama dibutuhkan untuk respirasi bagi sebagian besar organisme air. Oleh sebab itu kelarutan oksigen dalam air sangat dipengaruhi suhu. Kepiting dapat hidup pada perairan yang memiliki kandungan oksigen terlarut lebih dari 4 mg/liter. 3. Pakan Kepiting Bakau
Pakan untuk kepiting besar yaitu ikan segar diblender. Selain itu juga diberi makanan tambahan berupa aritmia. Kepiting mulai hari pertama diberi pakan berupa rotifer atau basulus selain itu juga diberi vitamin.
Gambar 3. Artemia C. Laboratorium Pakan Buatan
Gambar 4. Rotifer
1. Peralatan di Laboratorium Pakan Buatan Dalam laboratorium pakan buatan terdapat peralatanperalatan yang menunjang pembuatan pakan buatan antara lain mesin penepung, mesin extruder, mesin pencampur, mesin pencetak, blender, mesin pengering drum dryer, dan oven. a. Mesin Penepung Mesin penepung digunakan untuk menghaluskan semua bahan baku yang akan digunakan untuk membuat pakan pelet terapung. Kehalusan dari keluaran bahan dapat disesuaikan sesuai keinginan dengan cara mengganti saringan output yang terdapat di dalam mesin. Berdasar informasi dari BBPBAP, bahan yang akan digiling dengan mesin ini harus dalam keadaan kering sehingga dapat halus dengan sempurna dan membuat kerja mesin menjadi lebih ringan, namun apabila bahan yang dimasukkan kurang kering maka yang akan terjadi adalah bahan yang berada di saluran output akan masih terasa kasar dan tidak bisa benarbenar halus, serta dapat menyumbat saringan output, sehingga dapat merusak mesin. b. Mesin Extruder Mesin Ekstruder berfungsi untuk mengaduk dan menekan material, proses yang terjadi di mesin extruder juga ditambahkan
uap
agar
material
yang
keluar
dapat
mengembang c. Mesin Pencampur Mesin pencampur yang digunakan di laboratorium pakan buatan di BBPBAP Jepara adalah mixer seperti yang terdapat pada perusahaan roti, menggunakan bahan stainless steel sehingga lebih awet dan tidak mudah berkarat atau rusak.
Kelemahannya, harga dari alat ini relatif mahal dan pengoperasiannya membutuhkan tenaga listrik yang relatif besar, sehingga untuk pembuatan pakan dalam jumlah sedikit penggunaan mesin ini tidak efektif, dan disarankan untuk mencampur semua bahan pakan secara manual dengan menggunakan tangan. d. Mesin Pencetak Mesin pencetak digunakan untuk mencetak pakan menjadi pelet atau bentukan silindris yang padat dan kompak, sehingga mudah dalam pengaplikasian pakan pada ikan atau udang. Alat pencetak pelet di laboratorium pakan buatan BBPBAP Jepara terdiri dari 2 jenis, yaitu yang menggunakan sumber tenaga dari listrik dan diesel, masing – masing 2 buah alat bertenaga listrik dan 1 buah alat bertenaga mesin diesel. Kapasitas produksi maksimal sebesar 30 kg/jam. Diameter keluaran dapat disesuaikan sesuai kebutuhan, mulai dari 1 mm hingga 8 mm. Mesin diesel yang digunakan di BBPBAP menggunakan merk TONGFENCO bertenaga 7,7 HP. Kapasitas lebih besar, karena terdiri dari double layer dengan ukuran masing-masing layer yang lebih besar dari pencetak elektrik, sehingga dapat menampung dan mencetak bahan dengan kapasitas yang jauh lebih besar untuk waktu yang sama, produksi hingga 75 kg/jam. e. Blender Blender digunakan untuk menghaluskan bahan pakan dalam jumlah kecil, terdapat 2 buah blender di laboratorium pakan buatan BBPBAP Jepara. Tenaga dari blender ini tidak dapat diforsir terlalu tinggi dan terus menerus, karena blender ini mudah mengalami overheat dan dapat mengalami kerusakan. f. Mesin pengering drum dryer
Pakan yang baru saja keluar dari mesin pencetak serta masih dalam keadaan basah dan hangat segera dimasukkan kedalam mesin ini, fungsi dari mesin ini adalah untuk membuat agregat pelet yang sudah terbentuk tersebut menjadi lebih kompak serta untuk memperhalus permukaan pelet. Cara kerja mesin ini adalah dengan memanaskan drum dengan api dari kompor elpiji, lalu memutar drum tersebut secara kontinyu sehingga pakan yang berada di dalamnya akan terpanaskan dan kompak secara merata. g. Oven Oven digunakan untuk mengeringkan pakan maupun bahan baku pakan yang akan diolah menjadi pakan pelet di lingkungan BBPBAP Jepara. Oven berukuran tinggi dua meter, lebar dua meter dan ketebalan ± satu meter. Di dalam oven ini tersusun rak-rak yang digunakan sebagai tempat untuk mengeringkan bahan. Oven ini mempunyai dua pintu, dan jumlah rak ada lima buah di setiap pintu, sehingga total terdapat sepuluh rak. Sumber panas oven menggunakan energi dari dua buah lampu bohlam sepuluh watt pada setiap rak, sehingga total terdapat 20 buah lampu. Lampu-lampu ini terhubung secara paralel di setiap rak, sehingga rak yang tidak
digunakan
dapat
dimatikan
lampunya
untuk
menghemat energi. 2. Teknik Pembuatan Pakan Apung di BBPBAP Jepara a. Persiapan bahan Baku
Bahan baku untuk pembuatan pakan buatan harus memenuhi beberapa kriteria, antara lain bahan pakan harus mempunyai nilai gizi tinggi, mudah diperoleh, mudah diolah, tidak mengandung racun, harganya relatif murah, serta bukan
merupakan makanan pokok manusia sehingga tidak merupakan saingan bagi manusia. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bahan baku di BBPBAP Jepara yang akan digunakan untuk pembuatan pakan terapung antara lain adalah nilai gizi, kandungan dalam bahan pakan serta ketersediaan. Pengetahuan mengenai nilai gizi dalam bahan baku sangat penting untuk menentukan formulasi bahan pakan di dalam pakan buatan. Bahan pakan hendaknya mudah dicerna dan bermanfaat bagi tubuh ikan. Kecernaan bahan pakan tergantung pada masing-masing jenis ikan, misalnya ikan karnivora hendaknya tidak diberikan pakan dengan bahan-bahan asal tumbuhan karena ikan jenis ini tidak mempunyai enzim untuk memecah selulosa. Bahan baku pakan yang mudah diperoleh dengan harga murah dalam proses pembuatan pakan ikan apung di BBPBAP Jepara antara lain terigu untuk ternak serta kedelai dan tepung ikan yang dibeli dari nelayan setempat sebagai sumber protein. Bahan yang dipersiapkan untuk membuat pakan harus dipastikan bisa tersedia secara terus-menerus agar apabila pembuatan pakan ini dibuat secara massal akan berjalan secara lancar dan tidak terhambat serta memiliki nilai protein yang tinggi. Secara umum ikan memanfaatkan protein sebagai sumber energi utama, sehingga komponen utama yang harus tersedia saat membuat pakan ikan adalah protein. Namun demikian, pakan ikan tidak hanya berfungsi sebagai penghasil energi, sehingga ketersediaan komponen lain dalam pembuatan pakan ikan juga sangat penting seperti karbohidrat, lemak, serta vitamin. Pemilihan dan pensortiran bahan baku pembuatan pakan dilakukan secara manual di BBPBAP Jepara, dengan mayoritas sumber dari pasar atau penjual lokal di Jepara.
Racun adalah zat yang dapat menyebabkan sakit atau kematian, mengganggu pertumbuhan, terakumulasi dalam tubuh dan dapat merusak nilai gizi pakan buatan. Kemungkinan adanya racun dalam bahan baku harus dideteksi sedini mungkin agar tidak membahayakan ikan peliharaan. Penyimpanan yang terlalu lama dapat menyebabkan bahan baku pakan mengalami kerusakan fisik, kimia atau meningkat kandungan racunnya. Perubahan ini dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba, serangga atau karena adanya proses oksidasi pada bahan pakan. b. Penyusunan Ransum Penyusunan bahan pakan ikan biasanya didasarkan pada kandungan protein dari setiap bahan untuk menentukan prakiraan akhir kadar protein pakan. Di BBPBAP Jepara, penyusunan ransum dilakukan dengan cara yang lebih modern menggunakan software komputer Microsoft Excel untuk penyusunan ransum pakan dengan hasil yang lebih cepat dan akurat. Bahan-bahan utama yang digunakan dalam pembuatan pakan ikan antara lain tepung ikan, kedelai, ragi, minyak ikan, vitamin dan mineral, serta bahan perekat. Tepung ikan, merupakan bahan utama dalam penyusunan ransum ikan. Tepung ikan memiliki kandungan protein yang tinggi yaitu 55. Mutu protein tepung ikan sangat dipengaruhi oleh cara penanganan dan proses pengolahannya. Ciri-ciri tepung ikan yang dipakai untuk bahan pembuat pakan antara lain adalah: secara kasat mata terlihat bersih dan tidak terkontaminasi oleh serangga atau kutu, berbau seperti ikan kering, terasa kering dan tidak terasa lembab bila dipegang, tidak tengik, tidak berbau apek maupun asam. Kedelai yang dijadikan bahan baku pakan ikan dapat berupa tepung atau bungkil. Kedelai merupakan sumber protein
nabati yang sangat baik dipakai dalam formulasi pakan ikan. Keunggulan kedelai adalah mudah dicerna dan mengandung asam amino esensial. Kedelai memiliki kandungan protein kasar 42 – 50 %. Selain itu, kedelai memiliki harga yang terjangkau dan mudah untuk didapatkan. Menurut Sutikno (2011) selain kedelai, bahan baku nabati dapat berupa jagung kuning (kadar proteinnya rendah (8,9%)), dedak halus (kandungan protein kasar 13,5%), dan bungkil kacang tanah (kandungan protein kasar 47,0%), Di BBPBAP Jepara, minyak ikan digunakan sebagai bahan sumber lemak yang rendah kolesterol, minyak ikan juga mengandung vitamin A dan D dalam jumlah yang tinggi, kedua vitamin ini merupakan dua macam vitamin yang larut dalam lemak. Minyak ikan juga berfungsi sebagai bahan attractan karena baunya yang khas membuat ikan lebih terangsang untuk memakan pakan yang diberikan. Yeast atau ragi adalah mikroorganisme yang berasal dari spesies Saccharomyces cerevisiae yang dimanfaatkan dalam pembuatan roti. Pada kondisi air yang cukup dan adanya makanan bagi ragi, khususnya gula, maka yeast ini akan tumbuh dan mengubah karbohidrat dan gula menjadi alkohol dan karbondioksida (Mudjiman, 2004). Gas karbondioksida yang terbentuk kemudian ditahan oleh bahan pakan sehingga gas tersebut terperangkap di dalam pori pakan. Bahan perekat digunakan untuk membuat pakan menjadi kompak, tidak cepat hancur saat dimasukkan kedalam air dan membuat pakan dapat tahan lebih lama didalam air. Beberapa bahan yang berfungsi sebagai perekat antara lain adalah agaragar, gelatin, tepung kanji, terigu dan tepung sagu (Mudjiman 2004).
Penambahan
vitamin
dan
mineral
kedalam
pakan
umumnya dilakukan dengan menggunakan premix atau vitamin mix. Premix ini diformulasikan khusus untuk menyadiakan vitamin atau menggantikan vitamin yang hilang selama proses pembuatan pakan. Hingga sekarang belum ada vitamin mix yang diperuntukkan khusus untuk ikan sehingga pembuatan pakan ikan di BBPBAP Jepara menggunakan premix untuk ayam ras dengan merk TOP MIX. Jumlah penggunaan premiks vitamin dan mineral dalam ramuan pakan ikan cukup 1-2% saja. Premiks untuk pakan udang jumlahnya dapat diperbanyak hingga 10-15%. Hal ini disebabkan udang sering berganti kulit sehingga membutuhkan banyak mineral. c.
Penepungan
Bahan baku yang akan digunakan dihancurkan sehingga menjadi tepung dengan menggunakan alat berupa penggiling tepung. Penepungan dilakukan menggunakan mesin penepung jenis disc mill yang menggunakan tenaga motor listrik AC sebagai penggerak dengan power sebesar 7,5 kW atau setara dengan 10 HP. Tahapannya adalah, bahan yang telah kering ditampung pada tempat penampungan dibagian atas mesin, lalu bahan tersebut dikeluarkan atau diturunkan secara perlahanlahan kedalam bilik mesin penghancur, didalam bilik mesin ini pakan akan dihancurkan dengan prinsip bahan dihancurkan dengan pisau yang berputar cepat pada sebuah piringan, setelah itu bahan yang telah hancur akan keluar melalui saringan dengan lubang yang berukuran sekitar 80 mesh, namun bahan yang ukurannya masih kasar tidak akan bisa masuk dan akan dihaluskan lagi hingga ukurannya kecil dan bisa masuk ke dalam saringan, bahan yang lolos melewati saringan ini secara otomatis akan keluar dari mesin melalui lubang yang berada di
bagian bawah mesin. Pada lubang ini dipasang kantung kain yang telah diikat di bagian ujungnya untuk menampung tepung hasil dari bahan yang telah dihancurkan tersebut. d. Pengayakan
Alat ini berfungsi untuk menyaring bahan yang digiling dari alat disk mill sehingga ukuran bahan menjadi seragam dan akan
memudahkan
pengolahan
selanjutnya.
Sebaiknya
menggunakan ukuran mash yang kecil sehingga bagian yang masih
kasar
akan
digiling
kembali
(Gunawan
2010).
Pengayakan difokuskan untuk bahan baku yang telah lama disimpan dan tidak digiling langsung dengan mesin (tepung yang telah tersedia), lalu diayak secara manual menggunakan ayakan yang terbuat dari bahan anyaman kawat dengan diameter output sebesar 90 mesh, proses ini juga ditujukan untuk mencegah adanya kontaminan semisal kerikil dan bahan lain seperti dari jenis serangga yang sering menyerang bahan pakan yang sudah lama disimpan di dalam gudang. e. Penimbangan
Masing-masing bahan yang akan dipakai untuk membuat pakan dan telah berbentuk tepung kering lalu diambil dan ditimbang satu persatu sesuai dengan formulasi yang telah ditentukan. Penimbangan dilakukan menggunakan timbangan analitik dengan sensitifitas sebesar 0,1 gram. Bahan-bahan yang telah sesuai dengan takaran yang ditentukan lalu ditampung kedalam ember atau plastik secara terpisah untuk selanjutnya dilakukan pencampuran. f. Pencampuran Pencampuran dilakukan secara manual dengan tangan dan bantuan sendok yang terbuat dari kayu, pencampuran dimulai dari kuantitas bahan yang paling sedikit dilanjutkan
bertahap sampai pada bahan dengan kuantitas paling banyak, proses pencampuran ini dilakukan sampai campuran semua bahan benar-benar merata, homogen dan tidak ada yang menggumpal, sehingga akan membuat pencetakan menjadi lebih sempurna dan terhindar dari ketidakseragaman kandungan dari setiap butiran pakan yang telah tercetak. Vitamin dan mineral dicampur terpisah dengan sumber lemak (minyak) dan selanjutnya dicampurkan terakhir ke dalam campuran bahan kering. Tahap terakhir adalah pencampuran binder dan air kedalam campuran pakan, binder dicampurkan selagi masih hangat-hangat kuku. Penambahan binder dilakukan sedikit demi sedikit sampai jumlah binder dirasa sudah cukup, apabila binder sudah habis dan dirasa masih kurang (adonan masih terlalu kering) dapat ditambahkan air panas kedalam adonan pakan (tanpa menambah formulasi binder), dan dilakukan hingga bahan berbentuk seperti remah yang tidak lengket satu sama lain, apabila dipadatkan dengan tangan dapat dibentuk menjadi gumpalan yang mudah pecah. Binder dibuat menggunakan bahan tepung tapioka dengan berat kering sebanyak ± 5 persen dari berat total seluruh bahan pakan dalam bentuk kering. Pencampuran ini juga menentukan kualitas dari suatu pakan, apabila pencampuran dilakukan dengan teliti maka akan dihasilkan campuran bahan pakan yang homogen, sehingga pada saat pakan sudah dicetak dan sudah kering tiap butirannya mengandung kandungan yang sama. g. Fermentasi
Proses fermentasi dilakukan dengan menggunakan soda kue sebanyak 5 gram per kilogram bahan pakan.
Caranya adalah dengan mengaduk soda kue secara merata pada bahan pakan yang telah tercampur homogen kedalam 1 ember plastik dan sedikit dipadatkan, lalu semua bahan tadi ditutup rapat dan didiamkan selama 2 jam agar proses fermentasi terjadi. Selanjutnya bahan siap dicetak dengan menggunakan mesin pencetak pelet. Soda kue adalah bahan yang terdiri dari natrium bikarbonat
murni,
bahan
ini
biasa
dugunakan
untuk
mengembangkan adonan, membuat adonan pakan mengembang karena membuat jutaan gelembung gas karbondioksida yang masing-masing berukuran sangat kecil. Gelembung-gelembung gas tersebut dilepas dalam adonan yang masih basah, yang kemudian memuai karena panas dari mesin pencetak, dan setelah adonan mengeras maka gelembung-gelembung itu terperangkap di tempat masing-masing, akibatnya berat jenis pakan akan menjadi ringan dan dapat mengapung di air.
h. Pencetakan Pencetakan pakan di BBPBAP Jepara dilakukan dengan menggunakan mesin pencetak pelet yang digerakkan oleh tenaga listrik. Bahan-bahan yang telah tercampur dan difermentasi lalu dimasukkan kedalam alat pencetak sedikit demi sedikit hingga adonan pakan habis. Alat pencetak pelet ini berbentuk silinder dengan motor di bagian belakang alat sebagai tenaga penggerak. Bagian dalam alat terdapat ulir pengepres bahan adonan pelet. Ulir pengepres ini mendorong bahan adonan ke arah ujung silinder dan menekan plat berlubang sebagi pencetak pelet. Lubang plat ini berdiameter dua milimeter, sesuai dengan ukuran pelet yang dikehendaki, pelet yang telah keluar dari lubang cetakan lalu ditampung di
dalam ember dan dipotong menggunakan tangan dengan ukuran panjang 1 cm. i. Pengeringan Tahap
pertama
pengeringan
adalah
dengan
menggunakan mesin pengering drum dryer, yaitu alat pengering awal dan untuk membuat pelet kasar yang baru keluar dari mesin pencetak menjadi bentukan pelet yang lebih
kompak
dan
dengan
permukaan
yang
halus.
Pengeringan dengan alat ini tidak boleh terlalu lama, melainkan hanya 10 menit saja, karena suhunya yang tinggi dapat merusak vitamin dan nutrisi lain di dalam pakan. Tahap kedua adalah mengeluarkan pakan yang telah setengah kering dari drum dryer, lalu menampung pakan dengan nampan atau loyang, pakan diratakan pada nampan dan lapisan pakan ini tidak boleh terlalu tebal agar pakan cepat kering, selanjutnya nampan tersebut dimasukkan dan disusun sedemikian rupa kedalam oven untuk membuat pakan menjadi kering sempurna. Tahap ini dapat memakan waktu hingga 48 jam untuk menghasilkan pakan yang benarbenar kering dan siap untuk dikemas ataupun dapat langsung digunakan. Pakan dapat juga dikeringkan dengan cara dianginanginkan atau dijemur dibawah sinar matahari akan tetapi cara ini tidak efektif dilakukan pada saat musim hujan. j. Pengemasan Pakan yang telah dikeringkan selama 24-48 jam di dalam oven lalu dikeluarkan dan diangin-anginkan selama 30 menit didalam ruangan agar suhu pakan menjadi dingin dan uap air pada pakan menghilang. Pakan yang telah kering ( 10-12% kadar air) lalu dikemas dalam kantong plastik
untuk menjaga kualitasnya serta agar tidak terkena serangan jamur maupun serangga. k. Penyimpanan Penyimpanan
dimaksudkan
agar
pakan
tidak
mengalami kerusakan dan tetap terjaga mutunya, sehingga penyimpanan dengan cara yang benar mutlak diperlukan untuk menjaga mutu dan nutrisi dari pakan tersebut agar tetap optimal pada saat pakan diberikan pada ikan. Persyaratan umum di laboratorium pakan buatan BBPBAP Jepara untuk menyimpan pakan pelet yang telah jadi antara lain adalah pakan harus disimpan di tempat yang kering, sejuk dan berventilasi agar sirkulasi udara lancar dan tidak terjadi kelembaban yang berlebihan, pakan juga harus disimpan di atas rak kayu/falet dan hindari penyimpanan langsung di atas lantai agar kekeringan pakan terjaga sehingga pakan tidak cepat rusak, sebaiknya hindari juga kontak pakan dengan sinar matahari langsung agar tidak mengurangi nilai nutrisi dan vitamin pakan. Lama penyimpanan pakan buatan disesuaikan dengan kondisi fisik dan kimia pakan tersebut, namun umumnya pakan yang telah tersimpan terlalu lama akan terkontaminasi serangga ataupun teroksidasi oleh mikroba sehingga bersifat toksik. Pakan yang telah rusak jangan digunakan, karena mutunya telah menurun dan tidak layak diberikan pada ikan.
Gambar 5. Pakan buatan hewan akuatik di BBPBAP Jepara.
Gambar 6. Kondisi bangsal pakan buatan BBPBAP Jepara
D. Bangsal Pakan Alami Pakan alami yang dijadikan komoditas BBPBAP Jepara yaitu Lumbricus rubellus karena Lumbricus rubellus dijadikan sebagai asupan pakan induk udang. Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan cacing Lumbricus rubellus sebagai asupan pakan induk pada udang menyebabkan kematangan gonad pada produksi induk lebih tinggi. Jika biasanya telur yang dihasilkan 750.000/ekor dengan pengkayaan nutrisi pakan berupa cacing Lumbricus rubellus jumlah telur dapat meningkat hingga 1.500.000/ekor. Pakan Lumbricus rubellus diberikan pada calon induk yang umurnya lebih dari delapan bulan. Menurut Tanake et al. (2013) cacing tanah merupakan pakan alami yang mengandung protein sebesar 72%. Cacing tanah sangat mudah dicerna dalam alat pencernaan dan mudah dipecah menjadi asam-asam amino yang berguna untuk tubuh ikan. Peran cacing tanah pada pakan adalah sebagai pengganti tepung ikan. Hal ini dikarenakan protein yang terkandung dalam tubuh cacing tanah lebih tinggi dibandingkan dengan tepung ikan. Dengan demikian, penggunaan cacing tanah dapat digunakan sebagai sumber protein pada pakan. Hartono (2009), menambahkan substitusi tepung ikan dengan silase tepung cacing tanah berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan, efisiensi pakan serta kelulushidupannya.
Lumbricus rubellus yang dibudidaya BBPBAP Jepara berasal dari Wonosobo berusia remaja. Di BBPBAP diperkaya (enrichment) dengan memberi pakan ampas tahu, spirulina, dan sayuran seperti kol. Pemberian pakan pada Lumbricus rubellus berupa ampas tahu dan spirulina diberikan sehari sekali. Sedangkan, pakan sayuran berupa kol diberikan seminggu sekali. Berdasarkan hasil penelitian Soni et al. (2011) cacing yang diberikan sebagai pakan induk diperkaya dengan spirulina gell selama 3 hari berturut-turut. Pengkayaan spirulina dilakukan melalui pakan yang dicampur dengan ampas tahu dengan perbandingan ampas tahu: spirulina gel = 2:1 dengan dosis total pakan sekitar 15% biomassa cacing/hari. Pengkayaan ini sangat sederhana tetapi sangat efektif, terbukti seluruh pakan adonan yang diberikan habis dimakan oleh cacing dalam semalam. Aplikasi L. rubellus yang dikayakan spirullina sp. mampu meningkatkan produktivitas induk, yaitu fekunditas meningkat sebesar 40% dan produksi induk meningkat sebesar 17% jika dibanding dengan performen reproduksi induk matang telur di alam. Pada dasarnya jenis cacing yang paling disukai udang yaitu Nereis atau cacing laut. Namun, Nereis lebih sulit dibudid ayakan sehingga dipilih cacing Lumbricus rubellus sebagai komoditas pakan alami di BBPBAP Jepara. Budidaya Nereis untuk digunakan sebagai pakan alami sedang berada pada tahap uji coba.
8. Gambar Tempat 9. cacing Gambar 7. Spirulina sp. Gambar budidaya Lumbriscus rubellus Sebagai pakan dengan pemberian ampas Lumbriscus tahu
E. Laboratorium Mikrobiologi Kesehatan Hewan Akuatik
(MKHA) Laboratorium Mikrobiologi Kesehatan Hewan Akuatik (MKHA) merupakan laboratorium yang
menjadi bagian dari Laboratorium
Kesehatan Hewan Akuatik di BBPBAP Jepara. Peralatan yang terdapat pada laboratorium MKHA secara umum sama dengan laboratorium mikrobiologi pada umumnya. Peralatan yang terdapat di laboratorium MKHA diantaranya peralatan gelas (cawan petri, Erlenmeyer, tabung reaksi, gelas ukur, dsb), Laminar Air Flow, Oven, autoclave, Shaker, dsb. Metode pengujian mikrobiologi meliputi: penentuan angka lempeng total bakteri Vibrio sp., penentuan Coliform dan identifikasi bakteri yaitu Vibrio harveyi, Vibrio alginolyticus, Vibrio Chloreae dan Vibrio parahaemolycus. Pengujian mikrobiologi terhadap air dilakukan seminggu sekali. Air merupakan salah satu media pertumbuhan bakteri. Kualitas air yang rendah dapat memacu pertumbuhan bakteri, sehingga menjadi patogen dan dapat menimbulkan penyakit dan kematian pada udang windu. Sebaliknya jika kualitas air tambak dapat dipertahankan, keberadaan Vibrio sp tidak akan menimbulkan penyakit. keberadaan Vibrio sp pada air dipengaruhi oleh limbah yang dapat mengakibatkan menurunnya kualitas perairan tambak. Besamya pengaruh serangan Vibrio sp. terhadap budidaya hewan akuatik menyebabkan identifikasi terhadap bakteri Vibrio sp. perlu dilakukan. Vibrio Menyebabkan beberapa penyakit pada udang diantaranya penyakit udang menyala, Nekrosis, Septisemia, dan Penyakit Udang Bengkok.
Penyakit udang menyala menyerang udang pada stadia larva sampai dengan awal pasca larva, dengan ciri-ciri antara lain larva yang terserang penyakit kelihatannya menyala apabila diamati pada kondisi yang gelap, larva kelihatan lemah, tidak aktif berenang, nafsu makan menurun, tampak bercak merah (red discoloration). Penyakit yang menyerang adalah bakteri Vibrio sp. Penyakit ini terjadi pada saat musim hujan dimana salinitas menurun. Selain itu perubahan temperatur yang menyolok antara siang dan malam. Hal ini mengakibatkan perubahan lingkungan yang derastis yang berakibat larva udang mengalami stres yang kemudian penyakit masuk kedalam tubuh larva. Nekrosis; Penyebab nekrosis ini adalah bakteri dari genus Vibrio yang merupakan infeksi sekunder dari infeksi pertama yang disebabkan oleh luka, erosi bahan kimia atau lainnya. Gejala yang terjadi pada udang antara lain muncul beberapa nekrosis (berwarna kecoklatan) di beberapa tempat (multilokal), yaitu pada antena, uropod, pleopod, dan beberapa alat tambahan lainnya, usus udang kosong, karena tidak ada nafsu makan. Septisemia;
Penyebab
sepsemia
adalah
bakteri
Vibrio
alginolyticus,. Penyakit ini menyerang melalui infeksi sekunder dari infeksi pertama yang disebabkan defisiensi vitamin C, toxin, luka dan karena stres yang berat. Gejala yang terjadi dari udang windu antara lain menyerang larva dan post larva terdapat sel-sel bakteri yang aktif dalam haemolymph (sistem darah udang). Penyakit udang bengkok; penyakit ini adalah jenis bakteri Vibrio sp. Ciri-ciri larva udang yang terserang penyakit ini antara lain badan larva tampak bengkok, gerakan kurang aktif, tubuh, molting tidak sempurna dan antena berwarna merah. Usaha untuk mencegah penyakit ini adalah dengan mengawasi kestabilan kualitas air baik suhu dan
salinitas, mengadakan desinfeksi terhadap bak-bak pemeliharaan, pemberian pakan dengan nilai nutrisi yang tinggi dan menambahkan kalsium serta mineral lain kedalam makanan.
Gambar 10. Peralatan Laboratorium MKHA.
di
Gambar 10. Peralatan gelas di Laboratorium MKHA.
F. Pembesaran Ikan Nila Salin Ikan Nila Salin merupakan jenis ikan unggul yang dihasilkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Disebut Nila Salin, karena nila jenis ini tahan hidup pada air salinitas tinggi hingga 20 promil sehingga jenis ikan nila ini layak dibudidayakan di tambak. Perekayasa Biologi dan Budidaya Ikan BPPT Husni Amarullah menuturkan, seleksi awal untuk menemukan Nila Salin ini memang melalui uji tantang, yakni mengganti air tawar dengan air laut secara bertahap. Ikan nila yang diuji tersebut merupakan hasil dari proses seleksi persilangan (dialling crossing) dari delapan varietas ikan nila yang dimulai pada tahun 2009. Kolam penampungan induk ikan nila di BBPBAP Jepara sekaligus dapat digunakan untuk kolam pemijahan. Jumlah kolam
pemijahan ikan nila salin di BBPBAP jepara sejumlah 10 kolam, dengan luas kolam 4 m2. Ketinggian air pada kolam pemijahan tersebut yaitu 70 cm. Kepadatan induk pada tiap kolam sebanyak 1 - 3 ekor/m 2. Kolam pemijahan yang digunakan berupa kolam berbentuk persegi yang dilengkapi saluran inlet dan outlet. Pada saluran inlet jarang digunakan, karena pasokan air untuk proses pemijahan berupa air tawar. Kolam pemijahan ini berbahan dasar semen yang dibentuk cekung menuju saluran oulet. Induk yang akan dipijahkan harus memiliki kriteria tertentu. Adapun kriteria indukan yang siap dipijahkan yaitu; gerakannya lincah, warna tubuh cerah, kondisi ikan sehat, bagian tubuh tidak cacat, pada ikan jantan apabila diurut bagian perut mengeluarkan cairan berwarna putih kental sedangkan pada ikan betina pada alat kelaminnya berwarna kemerahan dan mengeluarkan telur jika diurut. Indukan yang siap memijah biasanya berumur 5 - 6 bulan, dengan panjang lebih dari 11 cm. Bobot tubuh untuk ikan betina ≥ 100 g, sedangkan untuk ikan jantan ≥ 200 g. Ikan jantan cenderung lebih besar dibanding ikan betina. Induk yang biasa dipijahkan pada BBPBAP jepara ini berasal dari BBAT seperti Janti dan Sukabumi. Beberapa faktor penting yang harus diperhatikan dalam budidaya ikan nila salin yaitu pemilihan benih, persiapan kolam, pemberian pakan, hingga penanganan penyakit. 1. Memilih benih ikan nila Pemilihan benih merupakan faktor penting yang menentukan tingkat keberhasilan budidaya ikan nila. Untuk hasil maksimal sebaiknya gunakan benih ikan berjenis kelamin jantan. Karena pertumbuhan ikan nila jantan 40% lebih cepat dari pada ikan nila betina. Budidaya ikan nila secara monosex (berkelamin semua) lebih produktif dibanding campuran. Karena ikan nila mempunyai sifat gampang memijah (melakukan perkawinan). Sehingga bila budidaya dilakukan secara
campuran, energi ikan akan habis untuk memijah dan pertumbuhan bobot ikan sedikit terhambat. 2. Persiapan kolam budidaya Budidaya ikan nila bisa menggunakan berbagai jenis kolam, mulai dari kolam tanah, kolam semen, kolam terpal, jaring terapung hingga tambak air payau. Dari sekian jenis kolam tersebut, kolam tanah paling banyak digunakan karena cara membuatnya cukup mudah dan biaya konstruksinya murah. 3. Pemeliharaan budidaya ikan nila Setelah semua persiapan selesai dilakukan dan benih sudah ditebarkan ke dalam kolam, langkah selanjutnya adalah merawat ikan hingga usia panen. Tiga hal yang paling penting dalam pemeliharaan budidaya ikan nila adalah pengelolaan air, pemberian pakan dan pengendalian hama penyakit. a. Pengelolaan air Agar pertumbuhan budidaya ikan nila maksimal, pantau kualitas air kolam. Parameter penentu kualitas air adalah kandungan oksigen dan pH air. Bisa juga dilakukan pemantauan kadar CO 2, NH3 dan H2S bila memungkinkan. Bila kandungan oksigen dalam kolam menurun, perderas sirkulasi air dengan memperbesar aliran debit air. Bila kolam sudah banyak mengandung NH3 dan H2S yang ditandai dengan bau busuk, segera lakukan penggantian air. Caranya dengan mengeluarkan air kotor sebesar ⅓ nya, kemudian menambahkan air baru. Dalam keadaan normal,pada kolam seluas 100 m2 atur debit air sebesar 1 liter/detik. b. Pemberian pakan Pengelolaan pakan sangat penting dalam budidaya ikan nila. Biaya pakan merupakan komponen biaya paling besar dalam budidaya ikan nila. Berikan pakan berupa pelet dengan kadar protein 20-30%.
Ikan nila membutuhkan pakan sebanyak 3% dari bobot tubuhnya setiap hari. Pemberian pakan bisa dilakukan pada pagi dan sore hari. Setiap dua minggu sekali, ambil sampel ikan nila secara acak kemudian timbang bobotnya. Lalu sesuaikan jumlah pakan yang harus diberikan. Perhitungan dosis pakan budidaya ikan nila: Dalam satu kolam terdapat 1500 ekor ikan nila berukuran 10-20 gram/ekor. Rata-rata bobot ikan → (10+20)/2 = 15 gram/ekor. Perhitungan pakannya → 15 x 1500 x 3% = 675 gram = 6,75 kg per hari Mengecek bobot ikan setiap dua minggu untuk menyesuaikan jumlah pakan. c. Pengendalian hama dan penyakit Seperti telah disebutkan sebelumnya, ikan nila merupakan ikan yang tahan banting. Pada situasi normal, penyakit ikan nila tidak banyak mengkhawatirkan. Namun bila budidaya ikan nila sudah dilakukan secara intensif dan massal, resiko serangan penyakit harus diwaspadai. Penyebaran penyakit ikan sangat cepat, khususnya untuk jenis penyakit infeksi yang menular. Media penularan biasanya melewati air. Jadi bisa menjangkau satu atau lebih kawasan kolam. Untuk penjelasan lebih jauh silahkan baca hama dan penyakit ikan nila.
BAB III PENUTUP A. Simpulan 1. Kondisi lingkungan yang diperlukan kepiting bakau meliputi suhu, kecerahan, salinitas air, PH, Kandungan
Oksigen Terlarut atau Disolved Oxygen (DO). Suhu optimal untuk pertumbuhan kepiting yaitu antara 25 oC30 oC. Kecerahan dipengaruhi oleh adanya limbah yang menutupi
permukaan
perairan
sehingga
dapat
menghalangi penetrasi cahaya. Kisaran salinitas yang sesuai bagi kepiting adalah 10 – 30 o/oo atau digolongkan ke dalam air payau. PH air yang sesuai untuk kepiting bakau yaitu berkisar 7,0-8,0. Serta, Kepiting dapat hidup pada perairan yang memiliki kandungan oksigen terlarut lebih dari 4 mg/liter. Pakan untuk kepiting besar yaitu ikan segar diblender. Selain itu juga diberi makanan tambahan berupa aritmia. Kepiting mulai hari pertama diberi pakan berupa rotifer atau basulus selain itu juga diberi vitamin. 2. Tahapan-tahapan pembuatan pakan buatan hewan akuatik di BBPBAP Jepara meliputi persiapan bahan baku, penyusunan
ransum,
penepungan,
pengayakan,
penimbangan, pencampuran, fermentasi, pencetakan, pengeringan, pengemasan, dan penyimpanan. Bahanbahan utama yang digunakan dalam pembuatan pakan ikan antara lain tepung ikan, kedelai, ragi, minyak ikan, vitamin dan mineral, serta bahan perekat. 3. Penggunaan cacing Lumbricus rubellus sebagai asupan pakan induk pada udang menyebabkan kematangan gonad pada produksi induk lebih tinggi. Di BBPBAP diperkaya (enrichment) dengan memberi pakan ampas tahu, spirulina, dan sayuran seperti kol. 4. Bakteri parasit pada hewan akuatik di BBPBAP Jepara yaitu genus Vibrio. Spesies Vibrio yang diidentifikasi pada uji mikrobiologi di BBPBAP Jepara yaitu Vibrio
harveyi, Vibrio alginolyticus, Vibrio Chloreae dan Vibrio parahaemolycus.Vibrio menyebabkan beberapa penyakit pada udang
diantaranya penyakit udang menyala,
Nekrosis, Septisemia, dan Penyakit Udang Bengkok. 5. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap budidaya ikan nila salin yaitu pemilihan benih, persiapan kolam, pemberian pakan, hingga penanganan penyakit.
Daftar Pustaka Gunawan, D. 2010. Pedoman Pembangunan Pabrik Pakan Skala Kecil dan Proses Pengolahan Pakan. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan. Kasry, A.1996. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Medan: PT. Bhratara Niaga.
Soni,A.F.M., J. Sumarwan & A. Gunarso. 2011. Enrichment Spirulina (Spirulina platensis) Melalui Cacing (Lumbricus rubellus) terhadap performance Kematangan Gonad Induk Udang Windu (P. monodon).Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. Jepara: BBPBAP Jepara. Sutikno, Erik. 2011. Pembuatan Pakan Buatan Ikan Bandeng. Jepara: Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. Tanake,G.T., D. Rachmawati & Subandiyono.2013.Pengaruh Substitusi Tepung Ikan dengan Silase Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) dalam Pakan Buatan terhadap Pemanfaatan Pakan Dan Pertumbuhan Juvenil Kerapu Macan (Epinephelus fuscogutattus).Journal of Aquaculture Management and Technology. 2(3): 20-26.