KURIKULUM 1968
Kurikulum ini merupakan kurikulum terintegrasi pertama. Beberapa mata pelajaran, seperti Sejarah, Ilmu Bumi, dan beberapa cabang ilmu sosial mengalami fusi menjadi Ilmu Pengetahuan Sosial. Beberapa mata pelajaran, seperti Ilmu Hayat, Ilmu Alam, dan sebagainya mengalami fusi menjadi Ilmu Pengetahun Alam (IPS) atau yang sekarang sering disebut Sains Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rentjana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9. Ciri-ciri pembelajaran matematika matematika : a. Geometri penekanan lebih diberikan pada keterampilan berhitung, misalnya menghitung luas bangun geometri datar atau volume bangun geometri geometri ruang, bukan pada pengertian bagaimana bagaimana rumus-rumus untuk melakukan melakukan perhitungan tersebut diperoleh (Ruseffendi, 1985, h.33). b. Lebih mengutamakan hafalan yang sifatnya mekanis daripada pengertian (Ruseffendi, 1979, h.2). c. Program berhitung kurang memperhatikan aspek kontinuitas dengan materi pada jenjang berikutnya, serta serta kurang terkait terkait dengan dunia luar (Ruseffendi, (Ruseffendi, 1979, h.4). d. Penyajian materi kurang memberikan peluang untuk tumbuhnya motivasi serta rasa ingin tahu anak (Ruseffendi, 1979, h.5). Jika dilihat dari ciri-cirinya, pengajaran matematika pada kurikulum ini dimulai dengan penjelasan singkat yang disertai tanya-jawab dan penyajian contoh, serta dilanjutkan dengan pengerjan soal-soal latihan baik yang bersifat prosedural atau penggunaan penggunaan rumus tertentu. Dalam proses pengajaran pengajaran tersebut, pengerjaan pengerjaan soal-soal latihan merupakan merupakan kegiatan yang yang diutamakan dengan dengan maksud untuk memberi penguatan pada apa yang sudah dicontohkan guru di depan kelas. Dengan demikian, latihan untuk menghafalkan menghafalkan fakta dasar, algoritma, atau penggunaan rumus-rumus tertentu dapat dilakukan melalui pengerjan soal-soal yang diberikan.
KURIKULUM 1975
Pada Kurikulum 1975 guru dibuat sibuk dengan berbagai berbagai catatan kegiatan belajar mengajar. Pada tahun 1975, terjadi perubahan yang sangat besar dalam pengajaran matematika di Indonesia yang ditandai dengan dimasukannya matematika moderen ke dalam kurikulum 1975. Menurut Ruseffendi (1979, h.12-14), matematika moderen tersebut memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Terdapat topik-topik baru yang diperkenalkan yaitu himpunan, geometri bidang dan ruang, statistika dan probabilitas, relasi, sistem numerasi kuno, dan penulisan lambang bilangan nondesimal. Selain itu diperkenalkan pula konsep-konsep baru seperti penggunaan himpunan, pendekatan pengajaran matematika matematika secara secara spiral, spiral, dan pengajaran pengajaran geometri geometri dimulai dengan dengan lengkungan. b. Terjadi pergeseran dari pengajaran yang lebih menekankan pada hafalan ke pengajaran yang mengutamakan pengertian. c. Soal-soal yang diberikan lebih diutamakan yang bersifat pemecahan masalah daripada yang bersifat rutin. d. Ada kesinambungan dalam penyajian bahan ajar antara Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan. e. Terdapat penekanan kepada struktur. f. Program pengajaran pada matematika moderen lebih memperhatikan adanya keberagaman antar siswa. g. Terdapat upaya-upaya penggunaan istilah yang lebih t epat. h. Ada pergeseran dari pengajaran yang berpusat pada guru ke pengajaran yang lebih berpusat pada siswa. i. Sebagai akibat dari pengajaran yang lebih berpusat pada siswa, maka metode mengajar yang lebih banyak digunakan digunakan adalah penemuan penemuan dan dan pemecahan pemecahan masalah masalah dengan teknik teknik diskusi.
j. Terdapat upaya agar pengajaran matematika dilakukan dengan cara yang menarik, misalnya melalui permainan, teka-teki, atau kegiatan lapangan. KURIKULUM 1984
Alasan dalam menerapkan kurikulum baru tersebut antara lain, adanya sarat materi, perbedaan kemajuan pendidikan antar daerah dari segi teknologi, adanya perbedaan kesenjangan antara program kurikulum di satu pihak dan pelaksana sekolah serta kebutuhan lapangan dipihak lain, belum sesuainya materi kurikulum dengan tarap kemampuan anak didik. Kurikulum 1984 memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a. Berorientasi kepada tujuan instruksional. Didasari oleh pandangan Kurikulum bahwa pemberian harus benar-benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau menentukan bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa. b. Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik dengan cara belajar siswa aktif (CBSA). CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor. c. Materi pelajaran dikemas dengan nenggunakan pendekatan spiral. Spiral adalah pendekatan yang digunakan dalam pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan keluasan materi pelajaran. Semakin tinggi kelas dan jenjang sekolah, semakin dalam dan luas materi pelajaran yang diberikan. d. Menanamkan pengertian sebelum diberikan latihan. Konsep-konsep yang dipelajari siswa harus didasarkan kepada pengertian, baru kemudian diberikan latihan setelah mengerti. Untuk menunjang pengertian alat peraga sebagai media digunakan untuk membantu siswa memahami konsep yang dipelajarinya. e. Materi diberikan berdasarkan tingkat kesiapan atau kematangan siswa. Pemberian materi pelajaran berdasarkan tingkat kematangan mental siswa dan penyajian pada jenjang sekolah dasar harus melalui pendekatan konkret, semikonkret, semiabstrak, dan abstrak dengan menggunakan pendekatan induktif dari contoh-contoh ke kesimpulan. Dari yang mudah menuju ke sukar dan dari sederhana menuju ke kompleks. F. Menggunakan pendekatan keterampilan proses. Keterampilan proses adalah pendekatan belajat mengajar yang memberi tekanan kepada proses pembentukkan keterampilan memperoleh pengetahuan dan mengkomunikasikan perolehannya. Pendekatan
keterampilan proses diupayakan dilakukan secara efektif dan efesien dalam mencapai tujuan pelajaran.
Menurut Ruseffendi (1988, h.102), dimasukannya materi komputer ke dalam kurikulum matematika sekolah merupakan suatu langkah maju pada periode kurikulum ini. Hal ini dapat difahami, karena penggunaan alat-alat canggih seperti komputer dan kalkulator dapat memungkinkan siswa untuk melakukan kegiatan eksplorasi dalam proses belajar matematika mereka baik dengan menggunakan pola-pola bilangan maupun grafik.
Kelebihan : Pada pendekatan proses belajar mengajar pada kurikulum sekolah dasar diarahkan guna membentuk keterampilan murid untuk memproses pemrolehannya dengan demikian proses
belajar mengajar lebih mengacu kepada bagaimana seseorang belajar
dengan
memperhatikan kecepatan belajar murid yang merujuk kepada tiga
aspek kognitif dan psikomotor belajar murid yang merujuk kepada tiga aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Pada kurikulum ini terdapat pelaksanaan Pendidikan sejarah Perjuangan Bangsa yang disajikan secara terpisah. Kekurangan : Dilihat dari pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik maka kemungkinan anak didik yang memiliki kecendrungan lamban dalam memproses pengetahuan akan semakin tertinggal. Pengetahuan social pada kurikulum ini hanya diberikan pada mata pelajaran bersifat sejarah saja tetapi nilai sosialnya tidak ditanamkan pada peserta didik. KURIKULUM 1994
Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan UU no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem Nasional caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak. Beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Terdapat ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya sebagai berikut : a. Pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem caturwulan
b. Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi) c. Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat kurikulum inti sehingga daerah yang khusus dapat disesuaikan dengan mengembangkan pengajaran sendiri lingkungan dan kebutuhan masyarakat sekitar. d. Dalam pelaksanaan kegiatan, guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial. Dalam mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen (terbuka, dimungkinkan lebih dari satu jawaban), dan penyelidikan. e. Dalam pengajaran suatu mata pelajaran hendaknya disesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah. f. Pengajaran dari hal yang konkrit ke hal yang abstrak, dari hal yang mudah ke hal yang sulit, dan dari hal yang sederhana ke hal yang komplek. g. Pengulangan-pengulangan materi yang dianggap sulit perlu dilakukan untuk pemantapan pemahaman siswa. Masalah dalam kurikulum 1994 :
Beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran banyaknya materi/substansi setiap mata pelajaran. Materi pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa, dan kurang bermakna karena kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari.
KURIKULUM 1999
Hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak.
Terdapat ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya sebagai berikut :
Pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem caturwulan
Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi).
Kurikulum 1999 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia.
Kurikulum ini bersifat kurikulum inti sehingga daerah yang khusus dapat mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sekitar.
Menuntut siswa aktif. dalam mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen (terbuka, dimungkinkan lebih dari satu jawaban), dan penyelidikan. Dalam pengajaran suatu mata pelajaran hendaknya disesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.
Pengajaran dari hal yang konkrit ke hal yang abstrak, dari hal yang mudah ke hal yang sulit, dan dari hal yang sederhana ke hal yang komplek.
Permasalahan di atas terasa saat berlangsungnya pelaksanaan kurikulum 1994. Hal ini mendorong para pembuat kebijakan untuk menyempurnakan kurikulum tersebut. Salah satu upaya penyempurnaan itu diberlakukannya Suplemen Kurikulum 1994. Penyempurnaan tersebut dilakukan dengan tetap mempertimbangkan prinsip penyempurnaan kurikulum, yaitu Penyempurnaan kurikulum secara terus menerus sebagai upaya menyesuaikan kurikulum dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan kebutuhan masyarakat. Penyempurnaan kurikulum dilakukan untuk mendapatkan proporsi yang tepat antara tujuan yang ingin dicapai dengan beban belajar, potensi siswa, dan keadaan lingkungan serta sarana pendukungnya. Penyempurnaan kurikulum dilakukan untuk memperoleh kebenaran substansi materi pelajaran dan kesesuaian dengan tingkat perkembangan siswa.
KURIKULUM 2004 Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan mengacu pada upaya penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat kompetensi yang telah ditentukan. Implikasinya adalah perlu dikembangkan suatu kurikulum berbasis kompetensi sebagai pedoman pembelajaran.
KURIKULUM 2006 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan merupakan penyempurnaan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi. Menurut Anan Z. A yang dikutip oleh Edison, Penyebab berubahnya kurikulum 2004 (KBK) ke Kurikulum KTSP adalah Penyempurnaan KBK menjadi KTSP disebabkan KBK tidak menunjukkan hasil yang signifikan karena berbagai faktor yaitu: a. konsep KBK belum dipahami secara benar oleh guru. b. draft kurikulum yang terus-menerus mengalami perubahan. c. belum adanya panduan strategi pembelajaran yang mumpuni (mayoritas masih berbasis materi), yang bisa dipakai pegangan guru ketika akan menja¬lankan tugas instruksional bagi siswanya. Dengan demikian KTSP sebenarnya kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang telah dilaksanakan berdasarkan kurikulum 2004, hanya telah mengalami penyempurnaan dengan tujuan agar kekurangan yang terdapat dalam KBK bisa ditanggulangi, baik pada tataran perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. a.
Hakikat KTSP
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Mulyasa mengemukakan bahwa KTSP dikembangkan sesuai dengan kondisi satuan pendidikan, potensi dan karakteristik daerah, serta social budaya masyarakat setempat dan peserta didik. b. Karateristik KTSP Adapun karakteristik Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dikemukakan Mulyasa yaitu: 1. Pemberian otonomi luas kepala sekolah dan satuan pendidikan 2. Partisipasi masyarakat dan orang tua yang tinggi 3. Kepemimpinan yang demokratis dan professional 4. Tim kerja yang kompak dan transparan c.
Tujuan KTSP
Secara khusus tujuan diterapkannya KTSP menurut Mulyasa adalah untuk 1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemamdirian dan inisiatif sekoah dalam mengembangkan kurikulum, mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia.
2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam mengembangkan kurikulum melalui
pengambilan
keputusan
bersama.
3. Meningkatkan kompetensi yang sehat antara satuan pendidikan tentang kualitas pendidikan yang akan dicapai.
KTSP merupakan strategi pengembangan kurikulum untuk mewujudkan sekolah yang efektif, produktif, dan berprestasi. KTSP merupakan paradigm baru pengembangan kurikulum, yang otonomi luas pada setiap satuan pendidikan, dan perlibatan pendidikan masyarakat dalam rangka mengefektifkan proses belajar mengajardi sekolah. Otonomi diberikan agar setiap satuan pendidikan dan sekolah memiliki keleluasaan dalam mengelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar dan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. KTSP adalah suatu ide tentang pengembangan kurikulum yang diletakkan pada posisi yang paling dekat dengan pembelajaran, yakni sekolah dan satuan pendidikan. Pemberdayaan sekolah dan satuan pendidikan dengan memberikan otonomi yang lebih besar, disamping menunjukkan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat juga merupakan sarana peningkatan kualitas, efisien, dan pemerataan pendidikan. KTSP merupakan salah satu wujud reformasi pendidikan yang memberikan otonomi kepada sekolah dan satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi, tuntutan, dan kebutuhan masing masing. Otonomi dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja guru dan staf sekolah, menawarkan partisifasi langsung kelompok kelompok terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan, khususnya kurikulum. Pada system KTSP,sekolah memiliki “full authority and responsibili ty” dalam menetapkan kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan visi, misi dan tujuan tersebut, sekolah dituntut untuk mengembangkan strategi, menentukan prioritas, mengendalikan pemberdayaan berbagai potensi sekolah dan lingkungan sekitar, serta mempertanggung jawabkannya kepada masyarakat dan pemerintah. Dalam KTSP, pengembangan kurikulum dilakukan oleh guru, kepala sekolah, serta komite sekolah dan dewan pendidikan. Badan ini merupakan lembaga yang ditetapkan berdasarkan musyawarah dari pejabat daerah setempat, komisi pendidikan pada dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD), pejabat pendidikan daerah, kepala sekolah, tenaga pendidikan, perwakilan orang tua peserta didik, dan tokoh masyarakat. Lembaga inilah yang menetapkan kebijakan sekolah berdasarkan ketentuan ketentuan tentang pendidikan yang berlaku. Selanjutnya komite sekolah perlu menetapkan visi,misi dan tujuan sekolah dengan berbagai implikasinya terhadap program program kegiatan operasional untuk mencapai tujuan sekolah. KTSP atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah sebuah kurikulum operasional
pendidikan yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan di Indonesia. KTSP secara yuridis diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Penyusunan KTSP oleh sekolah dimulai tahun ajaran 2007/2008 dengan mengacu pada Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk pendidikan dasar dan menengah sebagaimana yang diterbitkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional masing-masing Nomor 22 Tahun 2006 dan Nomor 23 Tahun 2006, serta Panduan Pengembangan KTSP yang dikeluarkan oleh BSNP. Pada prinsipnya, KTSP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SI, namun pengembangannya diserahkan kepada sekolah agar sesuai dengan kebutuhan sekolah itu sendiri. KTSP (Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan) terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan
muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Pelaksanaan KTSP mengacu pada Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan SI dan SKL.
Kelebihan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) 1.
Mendorong terwujudnya otonomi sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu bentuk kegagalan pelaksanaan kurikulum di masa lalu adalah adanya penyeragaman kurikulum di seluruh Indonesia, tidak melihat kepada situasi riil di lapangan, dan kurang menghargai potensi keunggulan lokal.
2.
Mendorong para guru, kepala sekolah, dan pihak manajemen sekolah untuk semakin meningkatkan kreativitasnya dalam penyelenggaraan program-program pendidikan.
3.
KTSP sangat memungkinkan bagi setiap sekolah untuk menitikberatkan dan mengembangkan mata pelajaran tertentu yang akseptabel bagi kebutuhan siswa. Sekolah dapat menitikberatkan pada mata pelajaran tertentu yang dianggap paling dibutuhkan siswanya. Sebagai contoh daerah kawasan wisata dapat mengembangkan kepariwisataan dan bahasa inggris, sebagai keterampilan hidup.
4.
KTSP akan mengurangi beban belajar siswa yang sangat padat. Karena menurut ahli beban belajar yang berat dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak.
5.
KTSP memberikan peluang yang lebih luas kepada sekolah-sekolah plus untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan.
6.
Guru sebagai pengajar, pembimbing, pelatih dan pengembang kurikulum.
7.
Kurikulum sangat humanis, yaitu memberikan kesempatan kepada guru untuk mengembangkan isi/konten kurikulum sesuai dengan kondisi sekolah, kemampuan siswa dan kondisi daerahnya masing-masing.
8.
Menggunakan pendekatan kompetensi yang menekankan pada pemahaman, kemampuan atau kompetensi terutama di sekolah yang berkaitan dengan pekerjaan masyarakat sekitar.
9.
Standar kompetensi yang memperhatikan kemampuan individu, baik kemampuan, kecakapan belajar, maupun konteks social budaya.
10. Berbasis kompetensi sehingga peserta didik berada dalam proses perkembangan yang berkelanjutan dari seluruh aspek kepribadian, sebagai pemekaran terhadap potensi-potensi bawaan sesuai dengan kesempatan belajar yang ada dan diberikan oleh lingkungan. 11. Pengembangan kurikulum di laksanakan secara desentralisasi (pada satuan tingkat pendidikan) sehingga pemerintah dan masyarakat bersama-sama menentukan standar pendidikan yang dituangkan dalam kurikulum. 12. Satuan pendidikan diberikan keleluasaan untyuk menyususn dan mengembangkan silabus mata pelajaran sehingga dapat mengakomodasikan potensi sekolah kebutuhan dan kemampuan peserta didik, serta kebutuhan masyarakat sekitar sekolah. 13. Guru sebagai fasilitator yang bertugas mengkondisikan lingkungan untuk memberikan kemudahan belajar siswa. 14. Mengembangkan ranah pengetahuan, sikap, dan ketrampilan berdasarkan pemahaman yang akan membentuk kompetensi individual.
15. Pembelajaran yang dilakukan mendorong terjadinya kerjasama antar sekolah, masyarakat, dan dunia kerja yang membentuk kompetensi peserta didik. 16. Evaluasi berbasis kelas yang menekankan pada proses dan hasil belajar. 17. Berpusat pada siswa. 18. Menggunakan berbagai sumber belajar. 19. kegiatan pembelajaran lebih bervariasi, dinamis dan menyenangkan
Sedangkan kelemahan dari kurikulum KTSP adalah 1.
Kurangnnya SDM yang diharapkan mampu menjabarkan KTSP pada kebanyakan satuan pendidikan yang ada. Minimnya kualitas guru dan sekolah.
2.
Kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana pendukung sebagai kelengkapan dari pelaksanaan KTSP .
3.
Masih banyak guru yang belum memahami KTSP secara komprehensif baik kosepnya, penyusunannya,maupun prakteknya di lapangan
4.
Penerapan KTSP yang merekomendasikan pengurangan jam pelajaran akan berdampak berkurangnya pendapatan guru. Sulit untuk memenuhi kewajiban mengajar 24 jam, sebagai syarat sertifikasi guru untukmendapatkan tunjangan profesi.
Kurikulum 1968 Kelebihan Berorientasi pada tujuan yang ingin dicapai artinya bahwa semua komponen kurikulum diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, institusional, kurikuler dan instruksional, kurikulum ini juga disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Kekurangan Kurikulum ini hanya terdiri atas program pendidikan umum, akademis dan keterampilan saja dan sudah dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, selain itu program sosialnya tidak di terapkan secara khusus pemberian pengetahuan social hanya melengkapi pengetahuan lain, adapun mata pelajaran IPS diberikan ketika anak duduk pada kelas tiga SD.
KURIKULUM 1999
2.3 Telaah Kurikulum 1999 Kalau ada yang menyatakan bangsa Indonesia adalah bangsa yang kerdil dan tidak mau melihat kesalahan masa lalu untuk dapat menapaki masa depan dengansukses barangkali tidak sepenuhnya salah. Setidak-tidaknya hal ini berlaku dalam menjalankan sistem pendidikan nasional dalam kaitannya dengan penggantian kurikulum sekolah,pembaruan, penyempurnaan, atau apa pun namanya.Sejak tahun 1975 sampai tahun 1994 kita memiliki pengalaman "menamba lsulam" kurikulum, dan hasilnya selalu saja tidak mampu menghantarkan bangsa ini kepada kinerja pendidikan yang kompetitif dan produktif. Banyak indikator yang dapat dipakai; misalnya seperti dilaporkan oleh Bank Dunia kemampuan membaca siswa kita lebih rendah dibanding siswa di negara-negara tetangga; prestasi pelajar kita di dalam International Mathematic Olympic(IMO) selalu saja "jeblok",kecakapan berbahasa (Inggris) siswa dan guru kita begitu rendah dibanding negara-negara lain, dan sebagainya.Meskipun demikian, pengalaman buruk tersebut diulang kembali dengan"menambal sulam" Kurikulum 1994 menjadi Kurikulum 1999, atau apapun namanya.
Durasi waktu yang digunakan untuk menggarap kurikulum baru punnampak sempit sehingga, meminjam terminologi Bahasa Jawa,prosesinya kelihatan sekali grusa-grusu; yaitu tergesa-gesa dan kurang hati-hati. Pendekatannya jauh dari profesional,sehingga hasilnya pun tentu kurang optimal. Memang ada kesan yang tidak dapat ditutup-tutupi bahwa ada sesuatu yang dipaksakan dalam prosesi pembaruan kurikulum kita kali ini.Sebagian masyarakat bahkan ada yang menganggap bahwa penerapan Kurikulum 1999 kali ini merupakan upaya pemerintah untuk mengalihkan perhatian supaya masyarakat tidak complainatas terjadinya berbagai kegagalan dalam pelaksanaan pendidikan nasional. Tiga Kelemahan Apakah Kurikulum 1999 yang baru ini memang lebih efektif dan sempurna kalau dibandingkan dengan Kurikulum 1994? Sudah barang tentu hal ini masih memerlukan waktu untuk membuktikan-nya. Apakah kurikulum yang baru ini telah menyentuh kelemahan dasar yang dimiliki kurikulum lama, artinya Kurikulum 1999 dapat mengatasi kelemahan Kurikulum 1994? Untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita mencoba membuat analisis yang objektif.Di samping kelebihan yang ada, Kurikulum 1994 sebenarnya memiliki tiga kelemahan yang cukup mendasar. Adapun kelemahan yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Soal tunggalistik. Dalam realitasnya Kurikulum 1994 tidak bersifat pluralistik dikarenakan kurang mengakomodasi perbedaan potensi dan kultur yang ada di masyarakat. Kurikulum 1994 sarat dengan "muatan nasional" yang berkonotasikan pada keseragaman beban. Memang benar bahwa setiap sekolah diberi kesempatan untuk mengembangkan Muatan Lokal yang boleh berbeda antarasekolah yang satu dengan yang lainnya; namun demikian hal ini di dalam realitasnya banyak yang mandek, tidak berjalan. Bahkan di banyak sekolah Muatan Lokal dianggap sebagai sekedar asesoris yang tidak harus dipasang.Secara teknis juga sangat sulit melaksanakan Muatan Lokal dikarenakan adanya tuntutan jam wajib yang terlalu padat; yaitu 42 jam masing-masing untuk siswa kelas1, 2, dan 3 SMU dan SLTP. Juga 42 jam untuk siswa kelas 5 dan 6 SD, dan 40 jam untuk kelas 4 SD. Jumlah ini pun belum termasuk mata pelajaran "khas" bagi sekolah-sekolah s wasta yang berkarakter.
2. Soal fleksibilitas. Kurikulum 1994 terkesan kaku dan benar-benar tidak fleksibel. Beratnya beban yang ada pada kurikulum tersebut menyebabkan sivitas sekolah tidak bisa kreatif untuk mengembangkan ide dan pemikirannya. Baik sisimaterial (subject matter) maupun dari sisi cara pengajaran(methodology) kurikulum kita benar-benar kurang sensitif terhadap pengembangan kreativitas. Kelemahan ini tentu saja sangat mendasar sifatnya.Guru-guru di sekolah kita di dalam mengajar anak didik tidak lagi mengaplikasi pendekatan kreativitas dan kasih sayang tetapi lebih cenderung pada bagaimana dapat mengejar target kurikulum. Bagaimana seluruh bahan ajar dapat disampaikan kepada siswa agar supaya tidak ada keluhan di Ebtanasnya mengakibatkan sang guru terkesan terburu-buru dalam mengajar tanpa mempedulikan kemampuan siswa yang berbeda antara satu dengan lainnya. Apabila ada sebagian siswa yang tertinggal dalam mengikuti pelajaran tertentu itu menjadi persoalan yang kesekian setelah persoalan pencapaian target kurikulum itu terselesaikan. Akibatnya banyak, atau bahkan kebanyakan, siswa kita menjadi tertinggal beneran pada akhirnya.Ketiga, soal wawasan keeksaktaan. Kalau dicermati ternyata materi eksaktadalam Kurikulum 1994 relatif sangat rendah sehingga tidak mampu menciptakan secara lebih konkrit kita dapat mengambil contoh di satuan SD misalnya. Dari delapan mata pelajaran di SD ternyata hanya dua saja (25 persen) yang merupakanmatapelajaran eksakta; sedangkan yang selebihnya bersifat noneksakta. Atau, dari total 195 jam pelajaran beban kurikulum SD ternyata hanya 75 (38 persen) jam yang merupakan jam eksakta. Di SLTP dari 302 total jam pelajaran ternyata hanya 111 (37 persen) jam yang merupakan jam eksakta. Untuk SMU pada dasarnya sama saja.Rendahnya wawasan keeksaktaan anak didik sudah barang tentu berpengaruh pada banyak hal; antara lain kemampuan dalam mengembangkan teknologi. Kalau perkembangan teknologi di negara kita selama ini terkesan lamban dibanding negaralain hal itu tidak terlepas dari kasus rendahnya wawasan keeksaktaan tersebut.Apakah Kurikulum 1999 bisa mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapatdalam Kurikulum 1994. Jangankan mengatasi, secara esensial menyentuh ketiga kelemahan yang mendasar pun tidak. Ini berarti dengan atau tanpa menggunakan Kurikulum 1999 di sekolah maka tiga kelemahan tersebut tetap saja tidak dapat teratasi untuk waktu-waktu yang akan datang.Teori Three in One . Kalau perbaikan kurikulum tidak mampu menyentuh permasalahan atau kelemahan yang dimiliki oleh kurikulum yang sebelumnya sebenarnya kurikulum yang baru itu tidak perlu dilaksanakan. Ia harus dikaji kembali, disempurnakan lagi,dan divalidasi untuk bisa dijalankan di lapangan. Itupun masih ada persyaratan lainnya yang perlu dipenuhi, yaitu dilakukan sosialisasi pada orang-orang yang akan terlibat dalam pelaksanaan kurikulum baru termasuk pengelola sekolah.Adalah Curtis R. Finch dan John R. Crunkilton. Dua orang ahli kurikulum dari Virginia Polytechnic Institute and State Univer-sity ini dalam karyanya'Curriculum Development in Vocational and Technical Education : Planning, Content and Implementation' (1979) menyatakan bahwa untuk menyusun dan mengimplementasi kurikulum (baru) setidak-tidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan; masing-masing menyangkut bagaimana metode mengembangkan materi serta bagaimana membangun sistem desiminasinya.Untuk mengembangkan materi kurikulum dan membangun sis-temdesiminasinya kita dapat mengacu Teori"Three in One"; yaitu memperhatikan tigaaspek baik dalam pengembangan materi maupun tiga aspekdi dalam pembangunansistem desiminasi. Adapun ketiga aspek dalam pengembangan materi adalah menyangkut ketersediaan waktu(time), ketersediaan pakar(expertise), sertaketersediaan dana ("dollars"). Sedangkan untuk mendesiminasikannya ada tigaaspek pula yang harus
dipertimbangkan; yaitu menyangkut sejauh mana kesiapan pemakai dan pelaksana(audience), kondisi geografis(geographical consideration),dan beaya penyebaran(cost). 3. Kurikulum 1999 terasa pendek, bahkan amat pendek. Indikasinya antara lain, sekitar sebulan lalu salah seorang pejabat Departemen Pendidikan menyatakan belum tahu bentuk dan struktur kurikulum baru karena memang belum siap; tetapi beberapa hari yang lalu pimpinan sekolah sudah mendapat instruksi untuk melaksanakannya.Bukan main; mungkinkan kurikulum yang bagus dapat dihasilkan hanya dalam waktu sependek itu?Australia yang sudah lebih mapan pendidikannya saja konon memerlukan waktudua sampai ti ga tahun hanya untuk menentukan bidang-bidang apa saja yang cocok dikembangkan dalam kurikulum sekolah untuk mengantisipasi datangnya milenium ketiga nanti. Hal ini terungkap di dalam pertemuan menteri-menteri pendidikan dinegara-negara bagian Australia tanggal 22-23 April 1999 di Adelaide yang menghasilkan'The Adelaide Decralation on National Goals for Schooling in theTwenty-First Century'. Dalam hal ini nampaknya pemerintah kurang melibatkan pakar pendidikan "kelas satu"; jadi wajarlah kalau hasil yang dicapai jauh dari memuaskan.Mengenai sistemperiodisasi proses belajar mengajar di SMK dapat diambil contoh! Dalam Kurikulum1984 proses belajar mengajar dilaksanakan dengan sistem semesteran, kemudian dalam Kurikulum 1994 berubah menjadi sistem catur wulan.Kini, dalam Kurikulum 1999 kembali lagi kepada sistem semesteran. Terasa sekali bahwa perubahan sistem seperti ini tidak dilandasi pada konsepsi edukasional yang kokoh sebagai kontribusi dari para pakar pendidikan, akan tetapi lebih cenderung pada selera birokrasi sebagai keinginan dari penguasa pendidikan.Kesertaan masyarakat praktisi pendidikanyang berpengalam-an nampaknya juga(sengaja) tidak dilibatkan secara maksimal dalam penggarapan Kurikulum 1999. Para pakar dan praktisi dari lembaga swasta yang kualitas output-nya diakui sampai keAustralia, Mesir, Arab, Jepang dan negara-negara manca lainnya, yang di negerinya sendiri terkadang malah tidak diakui, nampaknya juga tidakdiikut-sertakan secara intensif. Para pakar dan praktisi dari lembaga pendidikan yang telah mendharmabaktikan pengabdiannya di dunia pendidikan sejak jaman prakemerdekaan dan eksistensinya langsung didirikan oleh Bapak Pendidikan Nasional juga tidak disertakan. Apakah Kurikulum 1999 hanya dibuat oleh kaki tangan biro-krasi? Semoga saja tidak; sebab di dalam sejarah tidak pernah ada kurikulum bikinan kaki tangan birokrasi yang hasilnya bagus.Bagaimana soal dana? Kiranya kita puncukup maklum bahwa Departemen Pendidikan bukanlah lembaga yang berlebih dalam soal uang. Kalau Departemen Pendidikan kaya dengan uang maka tidak mungkin terjadi jutaan anak yang tidak melanjutkan, ratusan ribu siswa yang putus sekolah(drop out)serta puluhan ribu mahasiswa yang mengajukan cuti kuliah. Kalau pun departemen ini berlebih uang maka pengembangan kurikulum bukanlah prioritas untuk saat ini karena soal anak pantas diprioritaskan. Belum lagi soal-soal lain yang lebih elementer seperti siswayang kurang gizi, dan sejenisnya.Tidak Strategis .Di samping mutu dari materi (subject matter) kurikulum yang masih perlu divalidasi maka momentum pelaksanaannya juga kurang strategis. Apabila kita sebarkan angket kepada guru dan pengelola sekolah mengenai ketersetujuan mereka atas pelaksanaan Kurikulum 1999 mungkin saja akan didapatkan temuan 90 dari setiap seratus guru dan pengelola pendidikan tidak setuju. Mengapa? Bagaimana mungkin mereka dapat melaksanakan kurikulum dengan baik kalau pengetahuan dan informasi mengenai kurikulumnya itu sendiri belum diperoleh secara lengkap.Kurang strategisnya momentum pelaksanaan Kurikulum 1999 juga berkait
dengan rencana dijalankannya desentralisasi pendidik-an di daerah.Sekarang ini kita sudah memiliki Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Menurut kedua UU ini Daerah Kabupaten (yang sekarang disebut Kabupaten) dan Daerah Kota (yang sekarang disebut Kota Madya) memiliki otonomi di berbagai bidang sekaligus; yaitu meliputi bidang pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja. Jadi jelaslah bahwa pendidikan (dan kebudayaan) termasuk bidang yang diotonomikan kepada Daerah; pada hal otonomi ini harus dilaksanakan selambat-lambatnya dua tahun terhitung kedua UU tersebut diundangkan. Perlu diketahui bahwa UU Nomor 22 itu diundangkan sejak tanggal 7 Mei 1999 dan UU Nomor 25 sejak tanggal 19 Mei 1999. Artinya selambat-lambatnya bulan Mei 2001 setiap daerah akan menjalankan otonomi di berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan.Kalau setiap Daerah nantinya menjalankan otonomi di bidang pendidikan maka terjadilah apa yang disebut dengan desentralisasi pendidikan; artinya pemerintah daerah berhak mengatur pelaksanaan pendidikan didaerahnya masing-masing, dari soal guru (man), keuangan (money), sarana (material) sampai kurikulum (method). Itu berarti paling lambat bulan Mei tahun 2001 nanti, kalau otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan tersebut berjalan sesuai dengan rencana, maka sekolah-sekolah di daerah berhak untuk "menolak" kurikulum dari pusat yang nota bene sakarang ini adalah Kurikulum 1999. Atau, setidak-tidaknya "menolak" sebagian materi kurikulum dari pusat untuk dapatnya mengembangkan kurikulum yang dianggap cocok dengan potensi dan kebutuhan daerah. Jadi, ada kemungkinan Kurikulum 1999 itu tahun depan atau tahun depannya menjalankan otonominya secara penuh sebagaimana diatur oleh UU. Kalau dipaksakan, pelaksanaan Kurikulum 1999 dapat mengubah "irama" belajar disekolah yang baru saja akan teratur. Kalau dipaksakan, pelaksanaan Kurikulum1999 hasilnya bisa kontra produktif. Kalau dipaksakan, pelaksanaan Kurikulum1999 dapat membingungkan para pelaksana pendidikan di lapangan. Kalau dipaksakan, pelaksanaan Kurikulum 1999 itu hanya membuang energi. 2.4 Perbedaan Kurikulum 1999 dan Kurikulum 2004 ( KBK ) Disetiap pembentukan kurikulum terjadi seiring perkembangan zaman dan timbulnya kekurangan pada kurikulum-kurikulum sebelumnya sehingga menimbulkan perbedaan-perbedaan disetiap kurikulum. Berikut perbedaan kurikulum 1999 dan kurikulum 2004 ( KBK ), antara lain sebagai berikut :
No Analisis Perbedaan 1. Pengambilan Keputusan
Kurikulum 1999 Semua aspek kurikulum ditentukan oleh departmen ( pusat ).
Kurikulum 2004 (KBK) Pembagian wewenang dalam menentukan kurikulum.
2.
Pusat Perhatian
Penyampaian materi pelajaran oleh guru
3.
Proses
Teaching:
Kompetensi dasar yang dikuasaisiswa Learning:
berpusat pada guru , metoda monoton, guru sumber ilmu utama
berpusat pada siswa, metoda bervariasi, guru sebagai fasilitator
4.
Hasil Pendidikan
Tekanan berlebihan pada aspek kognitif
5.
Evaluasi
Acuan norma dan tes obyektif
6.
Pedoman
7.
Hasil
Memadukan kurikulum kurikulum sebelumnya. Tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran lantaran beban siswa yang terlalu berat. Dari muatan nasional hingga muatan lokal.
Menekankan pada keutuhan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik Acuan kriteria, tes, dan portofoli
Diurai berdasarkan kompetensi Hasilnya belum memuaskan.Guru-guru belum paham dalam pengaplikasiannya.