KULTUR MIKROALGA
Oleh : Nama NIM Kelompok Rombongan Asisten
: Fadhila Meilasari : B1A015051 :1 :V : Nur Rosyidah
LAPORAN PRAKTIKUM FIKOLOGI
KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS BIOLOGI PURWOKERTO 2018
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Alga merupakan produsen primer dalam suatu ekosistem perairan yang uniseluler, memiliki filamen dan berkembang biak secara aseksual. Berdasarkan ukurannya, alga dapat dibedakan menjadi mikroalga dan makroalga. Makroalga adalah alga yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Sedangkan mikroalga adalah alga yang berukuran sangat kecil sehingga tidak dapat dilihat dengan kasat mata. Baik makroalga maupun mikroalga tersebar dalam perairan tawar dan laut (Feldman, 1951). Mikroalga adalah kelompok tumbuhan berukuran renik, diameternya antara 3-30 μm berupa tanaman thalus serta memiliki klorofil sehingga sangat efisien dalam menangkap dan memanfaatkan energi matahari dan CO 2 untuk keperluan fotosintesis. Mikroalga terdiri dari banyak spesies yang hampir semuanya adalah organisme akuatik. Pertumbuhan mikroalga dalam media kultur dapat ditandai dengan bertambah besarnya ukuran sel atau bertambah banyaknya jumlah sel (Sumarlinah, 2000). Mikroalga telah sejak lama dimanfaatkan sebagai bahan makanan, terutama sebagai sumber makanan, antioksidan, pewarna atau bahan aditif yang aman, serta digunakan pula dalam industri farmakologi dengan skala besar. Mikroalga mengambil peranan yang penting di alam sebagai akumulator logam berat, eliminator CO2, dan juga berasosiasi dengan bakteri untuk mengikat nitrogen (Sheehan, 1998). Dalam
biomassa
mikroalga
terkandung
bahan-bahan
penting
yang
sangat
bermanfaat, misalnya protein, karbohidrat, lemak dan asam nukleat. Persentase keempat komponen tersebut bervariasi tergantung jenis alga. Sebagai contoh, mikroalga Chlorella sp. memiliki 51-58% protein, 12-26% karbohidrat, 2-22% lemak, 4-5% nucleic acid. Asam lemak yang terkandung dalam Chlorella sp. terdiri dari linoleat sebanyak 45,068% dan 29,495 stearat (Becker, 1994).
B. Tujuan
Tujuan dari praktikum kali ini adalah untuk mengetahui cara kultur mikroalga Chlorella vulgaris dan Spirulina platensis pada skala laboratorium.
II. MATERI DAN METODE A. Materi
Bahan – bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah bibit Chlorella sp. bibit Spirulina sp., media Conway, NaCl, kaporit, tiosulfat dan akuades. Alat – alat yang digunakan pada praktikum ini adalah mikroskop, botol kultur, pipet tetes, lampu TL 40 watt, selang aerasi, aerator, beaker glass, haecytometer, sedgewich rapter, object glass dan cover glass. B. Metode
Alat-alat disterilisasi
500 ml air laut dituangkan
1 ml media conway dituang
Diberi mikroalga 10 ml
Diaerasi
Hitung kepadatan biakan mikroalga
III. A.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Gambar 3.1 Hasil Pengamatan Kultur Chlorella sp.
Perhitungan :
Rumus Perhitungan Menggunakan Haemocytometer
L2
L1
L3
L4
L5
∑L = L1+L2+L3+L4+L5 5 Rumus = ∑L x 2, 5.10 4 Kotak A L1 = 0 , L2 = 7 , L3= 30, L4= 24, L5= 20
∑L = ∑L =
1+2+3+4+5 5 0+7+30+24+20
= 81/5 = 16,2
5
Kotak B L1= 7, L2= 8, L3= 8, L4= 13, L5= 11
∑L = ∑L =
1+2+3+4+5 5 7+8+8+13+11 5
= 47/5 = 9,4 Jumlah Kepadatan
= (∑LA + ∑LB) x 2,5 x 104 = 25,6 x 2,5 x 104 = 64 x 10 4 sel/ml
Ekstimasi Bibit awal = V1.N1 x V2.N2 = V1.13.958.333 x 1x 64.10 4 =
V1. 13.958.333 x 64.10 4
V1 = 64.104/ 13.958.333 = 45851,84 ml
B. Pembahasan
Hasil pengamatan kelompok 1 yang mengkulturkan Chlorella sp. dalam media Conway, menunjukkan perbedaan setelah mengalami 4 hari masa kultur. Pada botol kultur warna berubah menjadi kehijauan namun tidak terlalu pekat dan tidak terdapat kontaminan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Eyster (1978) yang mengemukakan bahwa nutrien yang dibutuhkan oleh Chlorella sp. Berupa makronutrien dan mikronutrien. Makronutrien terdiri dari, N, P, K, Si dan Ca sedangkan mikronutrien terdiri dari Fe, Mo, Cu, Mn, Zn dan Co. Unsur yang dibutuhkan untuk pertumbuhan Chlorella sp. antara lain N (0,14-0,7 g/l) dan P (0,015-0,62 g/l). Kebutuhan unsur makro nutrien dan mikro nutrien dalam kultur Chlorella sp. Harus tercukupi untuk pertumbuhan yang optimal terutama unsur N dan P yang berfungsi untuk pembentukan klorofil dan keperluan fotosintesis (Sumarlinah, 2000). Hasil perhitungan kultur
Chlorella sp. yang diperoleh menggunakan
Haemocytometer yaitu memiliki jumlah kepadatan 64 x 10 4 sel/ml dan ekstimasi bibit awal 45851,84 ml. Cara menghitung kepadatan adalah jumlah sel yang ada pada 25 kotak hitung dikalikan 10 4 sel/ml. Jumlah kepadatan sel dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini: Kepadatan sel (sel/ml) N = Jumlah total sel x 10 4. Kotak tersebut berbentuk bujur sangkar dengan sisi 1 mm dan tinggi 0,1 mm, sehingga bila ditutup dengan cover glass, akan menghasilkan volume ruangan 0,1 mm3 atau 10-4 ml. Kotak tersebut dibagi lagi menjadi dua puluh lima kotak bujur sangkar, yang masing masing dibagi lagi menjadi enam belas kotak bujur sangkar yang lebih kecil (Isnansetyo & Kurniastuty 1995). Kultur merupakan usaha perbanyakan dengan kondisi lingkungan yang terkendali atau disesuaikan. Teknik kultur mikroalga secara umum dapat dilakukan dalam 3 tahap, yaitu skala laboratorium, skala semi massal, dan skala massal. Unitunit pembenihan ikan maupun udang biasanya hanya melakukan kultur skala semi massal dan skala massal. Namun demikian keberhasilan dari tahapan kultur semi massal dan massal tentunya tidak terlepas dari bibit yang dipergunakan (inokulum). Sementara teknik kultur fitoplankton skala laboratorium banyak mengoleksi plankton dari berbagai jenis/ strain yang tidak terkontaminasi (murni), sehingga dapat digunakan sebagai bibit yang baik. Usaha pembenihan skala industri sudah mulai melakukan kultur fitoplankton skala laboratorium untuk penyediaan bibit dalam memenuhui kebutuhan pakan alami sebagai pakan awal (Suriadnyani, 2004).
Pembudidayaan mempersiapkan
kultur
mikroalga murni
yang
skala akan
laboratorium digunakan
dilakukan
sebagai
bibit
untuk dalam
pembudidayaan skala semi massal dan akan di lanjutkan pada skala massal. Pembudidayaan mikroalga secara semi massal adalah kegiatan budidaya kultur murni mikroalga dari skala laboratorium untuk dipersiapkan pada kultur mikroalga secara massal. Pembudidayaan mikroalga secara massal dapat digunakan sebagai pakan alami yang baik untuk larva udang (Romimohtarto, 2004). Pertumbuhan Chlorella sp. dalam kultur dapat ditandai dengan bertambah besarnya ukuran sel atau bertambah banyaknya jumlah sel. Hingga saat ini kepadatan sel digunakan secara luas untuk mengetahui pertumbuhan Chlorella sp dalam kultur pakan alami. Menurut Isnansetyo & Kurniastuty (1995) ada empat fase pertumbuhan mikroalga, yaitu: 1. Fase Lag Sesaat setelah penambahan inokulum kedalam media kultur, populasi tidak mengalami perubahan. Ukuran sel pada saat ini pada umumnya meningkat. Secara fisiologis sel sangat aktif dan terjadi proses sintesis protein baru. Organisme mengalami metabolism, tetapi belum terjadi pembelahan sel sehingga kepadatan sel belum meningkat. 2. Fase Logaritmik/Eksponsial Fase ini diawali oleh pembelahan sel dengan laju pertumbuhan tetap. Pada kondisi kultur yang optimum, laju pertumbuhan pada fase ini mencapai maksimal. 3. Fase Stasioner Pada fase ini, pertumbuhan mulai mengalami penurunan dibandingkan dengan fase logaritmik. Pada fase ini laju reproduksi sama dengan laju kematian. Dengan demikian penambahan dan pengurangan jumlah sel relatif sama atau seimbang sehingga kepadatan sel tetap. 4. Fase Kematian Pada fase ini laju kematian lebih cepat daripada laju reproduksi. Jumlah sel menurun secara geometrik. Penurunan kepadatan sel ditandai dengan perubahan kondisi optimum yang dipengaruhi temperature, cahaya, pH air, jumlah hara yang ada, dan beberapa kondisi lingkungan yang lain. Menurut Bold & Wynne (1985), perkembangbiakan Chlorella sp. dalam kultur dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain media, nutrien atau unsur hara, cahaya, suhu, serta salinitas. Media merupakan tempat hidup bagi kultur Chlorella
yang pemilihannya ditentukan pada jenis Chlorella yang akan dibudidayakan. Bahan dasar untuk preservasi media yang dapat digunakan adalah agar-agar. Nutrien terdiri atas unsur-unsur hara makro (makronutrien) dan unsur hara mikro (mikronutrien). Contoh unsur hara makro untuk perkembangbiakan Chlorella adalah senyawa anorganik seperti N, K, Mg, S dan P. Unsur hara mikro adalah Fe, Cu, Zn, Mn, B, dan Mo (Basmi, 1995). Menurut George (2014) Variasi komposisi medium kultur telah dapat mengubah komposisi biokimia mikroalga yang bisa dimanfaatkan untuk produksi produk berharga seperti lipid, karbohidrat, protein dan pigmen. Media yang berbeda memiliki variasi jumlah gizi yang secara signifikan dapat mengubah kuantitas biomassa sel yang dihasilkan selama kultivasi. Karena itu, pengoptiman komposisi medium sangat penting untuk mencapai produksi mikroalga yang lebih tinggi. Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan fitoplankton di kultur terbuka antara lain: cahaya, suhu, tekanan osmosis, pH air, kandungan O 2 dan aerasi (Becker, 1994). Cahaya merupakan sumber energi untuk melakukan fotosintesis. Cahaya matahari yang diperlukan oleh fitoplankton dapat digantikan dengan lampu TL atau tungsten. Oh hama & Miyachi (1988) menyatakan bahwa intensitas cahaya saturasi untuk Chlorella berada pada intensitas 4000 lux. Hal ini menunjukkan bahwa setelah titik intensitas tersebut dicapai, maka fotosintesis tidak lagi meningkat sehubungan dengan peningkatan porsi intensitas cahaya (Basmi 1995). Aerasi dalam kultur fitoplankton digunakan dalam proses pengadukan media kultur. Pengadukan sangat penting dilakukan bertujuan untuk mencegah terjadinya pengendapan sel, nutrien tersebar dengan baik sehingga fitoplankton dalam kultur mendapatkan nutrien yang sama, mencegah sratifikasi suhu, dan meningkatkan pertukaran gas dari udara ke media (Taw, 1990). Penelitian terbaru terkait kultur mikroalga seperti yang dikemukakan oleh Munir et al . (2017) jika dibandingkan dengan masing-masing perlakuan, rata-rata kepadatan sel pada media perlakuan 60% menunjukkan kepadatan sel yang terendah sebesar 45.486 sel/ml. Rata-rata kepadatan tertinggi dihasilkan pada konsentrasi limbah cair tahu 15% yaitu sebesar 212.847 sel/ml diikuti dengan kontrol (0%), 30% dan 45% dengan rata-rata kepadatan sel berturut-turut 108.472, 62.291 dan 53.402 sel/ml. Rata-rata kepadatan sel 15% yang tinggi disebabkan limbah cair yang diberikan dalam jumlah cukup, sehingga Chlorella pyrenoidosa dapat memanfaatkan nutrien secara efektif .
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Tahapan dalam mengkultur mikroalga diawali dengan menyiapkan sampel mikroalga yang akan dikultur, kemudian dihitung kerapatan dan kepadatan mikroalga (Chlorella sp.). Selanjutnya, dimasukkan ke media yang telah mengandung media Conway dan pupuk growth. Kultur mikroalga tersebut di beri aerasi dan penyinaran lampu TL 40 Watt.
B. Saran Proses kultur harus dilakukan dengan pemantauan faktor lingkungannya, seperti pemantauan cahaya atau aerasi secara berkala. Tidak berfungsinya aerasi dapat menyebabkan kultur tidak berjalan dengan maksimal.
DAFTAR REFERENSI Basmi. 1995. Planktonologi : Organisme Penyusun Plankton, Klasifikasi dan Terminologi, Hubungan antara Fitoplankton dan Zooplankton, Siklus Produksi umumnya di Perairan. Fakultas Perikanan IPB. Bogor. Becker EW. 1994. Microalgae Biotechnology and Microbiology. New York: Cambridge University Press. Bold , H.C. & M. J. Wynne.1985. Introduction To The Alga Structure And. Reproduction. Prentice Hall Inc. Englewood. New Jersey. Eyster, C. 1978. Nutrient Concentration Requirements for Chlorella sorokiniana. Available from the author or the Mobile college Library, Mobile, Alabama 36613. 78-81. Feldman, Y. 1951. Ecology of Marine. California: Stanford University. George, B., Imran Pancha, Chahana Desai, Kaumeel Chokshi, Chetan Paliwal, Tonmoy Ghos & Sandhya Mishra. 2014. Effects of different media composition, light intensity and photoperiod on morphology and physiology of freshwater microalgae Ankistrodesmus falcatus – A potential strain for bio-fuel production. Bioresource Technology, 171: 367 – 374. Isnansetyo, A. & Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton. Yogyakarta: Kanisius. Munir, F., Hariyati R., Wiryani, E. 2017. Pengaruh Limbah Cair Tahu Terhadap Pertumbuhan Populasi Chlorella pyrenoidosa H. Chick Dalam Skala Laboratorium. Jurnal Biologi, 6 (2), pp. 84-92. Oh Hama, T. dan S. Miyachi. 1988. Chlorella. Ln: M. A. Borowitzka & L. J. Borowitzka (Eds.) Microalga Biotechnology Cambridge Press Romimohtarto K. 2004. Meroplankton Laut : Larva Hewan Laut yang Menjadi Plankton. Jakarta : Djambatan. Sheehan. 1998. A Look Back at the U.S. Department of Energy’s Aquatic Species Program Biodiesel from Algae. National Renewable Energy Laboratory. Sumarlinah. 2000. Hubungan Komunitas Fitoplankton dan Unsur Hara N dan P di Danau Sunter Selatan, Jakarta Utara. Skripsi. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan, Bogor: Institut Pertanian Bogor. Suriadnyani, N. N. 2004. Teknik Kultur Fitoplankton Secara Tradisional. Buletin teknik Litkayasa Akuakultur, 3(2), pp. 21-25.
Taw, N. 1990. Petunjuk Kultur Murni dan Massal Mikroalga. Proyek Pengembangan Udang. United Nation Development Progamme Food and Agriculture Organization of the United Station