KONSEP HOSPITALISASI 1. Definisi Hospitalisasi
Hospitalisasi adalah masuknya individu ke rumah sakit sebagai pasien dengan berbagai alasan seperti pemeriksaan diagnostik, prosedur operasi, perawatan medis, pemberian obat dan menstabilkan atau pemantauan kondisi tubuh. (Heri Saputro, Saputro, 2017). Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di umah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah. Selama proses tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami berbagai kejadian yang menurut beberapa penelitian ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat traumatik dan penuh dengan stress. (Yupi Supartini, 2012). Berbagai perasaan yang sering muncul pada anak, yaitu cemas, marah, sedih, takut, dan rasa bersalah (Wong, 2000). Perasaan tersebut dappat timbul karena menghadapi sesuatu yang baru dan belum pernah dialami sebelumnya, rasa tidak aman dan tidak nyaman, perasaan kehilangan sesuatu yang biasa dialaminya, dan sesuatu yang dirasakan menyakitkan. Tidak hanya anak, orang tua juga mengalami hal yang sama. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang tua mengalami kecemasan yang tinggi saat perawatan anaknya di rumah sakit walaupun beberapa orang tua juga dilaporkan tidak mengalaminya karena perawatan anak dirasakan dapat mengatasi permasalahannya (Hallstrom dan Elander, 1997, Brewis, E, 1995). Terutama pada mereka yang baru pertama kali mengalami perawatan anak di rumah sakit, dan orang tua yang kurang mendapat dukungan emosi dan sosial dari keluarga, kerabat, bahkan petugas kesehatan akan menunjukkan perasaan cemasnya. Penelitian lain menunjukkan pada saatmendengarkan keputusan doktertentang dignosis penyakit anaknya merupakan kejadian yang sangat sa ngat membuat stress orang tua (Tiedeman, 1997). Apabila anak stress selama dalam perawatan, orang tua menjadi stress pula, dan stress orang tua akan membuat stress anak semakin
meningkat, (Supatini, 2000). Anak adalah bagian dari kehidupan orang tuanya sehingga apabila adapengalaman yang mengganggu kehidupannya maka orang tua pun merasa sangat stress. Dengan demikian, asuhan keperawatan tidak bisa hanya berfokus pada anak, tetapi juga pada orang tuanya. (Yupi Supartini, 2012).
2. Respon Emosional Terhadap Hospitalisasi a. Masa Bayi (Infant, 0-1 tahun)
Masalah utama yang terjadi adalah karena dampak dari perpisahan dengan orang tua sehingga ada gangguan pembentukan rasa percaya dan kasih sayang. Pada anak usia lebih dari enam bulan terjadi stranger anxiety atau cemas bila berhadapan dengan orang yang tidak dikenalnya dan cemas karena perpisahan. Reaksi yang sering muncul paada anak usia ini adalah menangis, marah dan banyak melakukan gerakan sebagai sikap stranger anxiety. Bila ditinggalkan ibunya, bayi akan merasakan cemas karena perpisahan dan perilaku yang ditunjukkan adalah dengan menangis keras. Respons terhadap nyeri atau adanya perlukaan biasanya menangis keras, pergerakan tubuh yang banyak, dan ekspresi wajah yang tidak menyenangkan. (Yupi Supartini, 2012). b. Masa Balita (Toddler, 2-3 tahun)
Anak usia toddler bereaksi terhadap hospitalisasi sesuai dengan sumber stresnya. Sumber stress yang utama adalah cemas akibat perpisahan. Respons perilaku anak sesuai dengan tahapannya, yaitu tahap protes, putus asa, dan pengingkaran (denial). Pada tahap protes, perilaku yang ditunjukkan adalah menangis kuat,menjerit memanggil orang tua atau menolak perhatian yang diberikan orang lain. Pada tahap putus asa, perilaku yang ditunjukkan adalah menangis berkurang, anak tidak aktif, kurang menunjukkan minat untuk bermain dan makan, sedih dan apatis. Pada tahap pengingkaran, perilaku yang ditunjukkan adalah secara samar memulai perpisahan, membina
hubungan secara dangkal, dan anak mulai terlihat menyukai lingkungannya. (Yupi Supartini, 2012). Oleh karena adanya pembatasan terhadap pergerakannya, anak akan kehilangan kemampuannya untuk mengontrol diri dan anak menjadi tegantung pada lingkungannya. Akhirnya, anak akan kembali mundur dengan kemampuan sebelumnya atau regresi. Teerhadap perlukaan yang dialami atau nyeri yang dirasakan karena mendapatkan tindakan invasif, seoerti injeksi, infus, pengambilan darah, anak akan meringis, menggigit bibirnya dan memukul. Walaupun demikian, anak dapat menunjukkan lokasi nyeri dan mengkomunikasikan rasa nyerinya. (Yupi Supartini, 2012). c. Masa Pra Sekolah (3-6 tahun)
Perawatan anak di rumash sakit memaksa anak untuk berpisah dari lingkungannya yang dirasakan aman, penuh kasih sayang, dan menyenagkan, yaitu lingkungan rumah, permainan dan teman sepermainanya. Reaksi terhadap perpisahan yang ditunjukkan anak usia pra sekolah adalah dengan menolakmakan, sering bertanya, menangis walaupun secara perlahan, dan tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan. Perawatan di rumah sakit juga membuat anak kehilangan kontrol terhadap dirinya. Perawatan di rumah sakit mengharuskan adanya pembatasan aktivitas anak sehingga anak merasa kehilangan kekuatan diri. Perawatan di rumah sakit sering kali dipersepsikan anak prasekolah sebagai hukuman sehingga anak akan merasa malu, bersalah, atau takut. Ketakutan anak terhadap perlukaan muncul
karena
anak
menganggap
tindakan
dan
prosedurnya
mengancam integritas tubuhnya. Oleh karena itu, hal ini menimbulkan reaksi agresif dengan marah dan berontak, ekspresi verbal dengan mengucapkan kata-kata marah, tidak mau bekerja sama dengan perawat, ketergantungan ada orang tua. (Yupi Supartini, 2012). d. Masa Sekolah (6-12 tahun)
Perawatan anak dirumah sakit memaksa anak berpisah dengan lingkungan yang dicintainya, yaitu keluarga dan terutama kelompok
sosialnya dan menimbulkan kecemasan. Kehilangan kontol juga akiba dirawat
di
rumah
sakit
karena
adanya
pembatasan
aktivitas.
Kehilangan kontrol tersebut berdampak pada perubahan peran dalam keluarga, anak kehilangan kelompok sosialnya karena ia biasa melakukan kegiatan bermain atau pergaulan soaial,perasaan takut mati, dan adanya kelemahan fisik. Reaksi terhadap perlukaan atau rasa nyeri akan ditunjukkan dengan ekspresi baik secara verbal maupun non verbal karena anak sudah mampu mengkomunikasikannya. Anak usia sekolah sudah mampu mengontrol perilakunya jika merasa nyeri, yaitu dengan menggigit bibir atau menggigit dan memegang sesuatu dengan erat. (Yupi Supartini, 2012). e. Masa Remaja (12-18 tahun)
Anak usia remaja mempersepsikan perawatan di rumah sakit menyebabkan timbulnya perasaan cemas karena harus berpisah dengan teman sebayanya. Telah diuraikan pada kegiatan belajar sebelumnya bahwa anak remaja begitu percaya dan sering kali terpengaruh oleh kelompok sebayanya. Apabila harus dirawat di rumah sakit, anak akan merasa kehilangan dan timbul perasaan cemas akibat perpisahan tersebut. Pembatsan aktivitas di rumah sakit membuat anak kehilangan kontrol terhadap dirinya dan menjadi bergantung pada keluarga atau petugas kesehatan di rumah sakit. Reaksi yang sering muncul terhadap pembatasan aktivitas ini adalah dengan menolak perawatan atau tindakan yang dilakukan padanya atau anak tidak mau kooperatif dengan petugas kesehatan atau menarik diri dari keluarga, sesama pasien, dan petugas kesehatan (isolasi). Perasaan sakit karena perlukaan atau pembedahan menimbulkan respons anak bertanyatanya, menarik diri dari lingkungan, dan/ menolak kehadiran orang lain. (Yupi Supartini, 2012).
3. Faktor-Faktor Yang Dapat Menyebabkan Stress Akibat Hospitalisasi Pada Anak a. Perkembangan Usia
Reaksi
anak
terhadap
sakit
berbeda-beda
sesuai
tingkat
perkembangan anak. Pada anak usia sekolah reaksi perpisahan adalah kecemasan karena berpisah dengan orang tua dan kelompok sosialnya. Pasien anak usia sekolah umumnya takut pada dokter dan suster. b. Pola Asuh Keluarga
Pola asuh keluarga yang terlalu protektif dan selalu memanjakan anaknya juga dapat mempengaruhi reaksi takut dan cemas anak dirawat di rumah sakit. Berbeda dengan keluarga yang suka memandirikan anak untuk aktivitas sehari-hari anak akan lebih kooperatif bila di rumah sakit. c. Keluarga
Keluarga yang terlalu khawatir atau stress anaknya dirawat di rumah sakit akan menyebabkan anak menjadi semakin stress dan takut. d. Pengalaman dirawat di Rumah Sakit Sebelumnya
Apabila anak pernah mengalami pengalaman tidak menyenangkan dirawat di rumah sakit sebelumnya akan menyebabkan anak takut dan trauma. Sebaliknya apabila anak dirawat di rumah sakit mendapatkan perawatan yang baik dan menyenagkan maka anak akan lebih kooperatif pada perawat dan dokter. e. Support Sistem yang Tersedia
Anak mencari dukungan yang ada dari orang lain untuk melepaskan tekanan akibat penyakit yang dideritanya. Anak biasanya akan minta dukungan kepada orang terdekat dengannya misalnya orang tua atau saudaranya. Perilaku ini biasanya ditandai dengan permintaan anak untuk ditunggu selama dirawat di rumah sakit, didampingi saat dilakukan treatment padanya, minta dipeluk saat merasa takut dan cemas bahkan saat merasa ketakutan.
4. Metode Pendekatan Hospitalisasi Pada Anak
Pendekatan perawat untuk dapat
keperawatan adalah
suatu usaha yang dilakukan
membantu mengatasi masalah klien. Khususnya
membantu menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan kecemasan
dan
ketakutan
pada
anak
akibat
hospitalisasi.
Dimana
perawat
membutuhkan suatu pemahaman untuk dapat melakukan pendekatan yang sesuai engan kebutuhan klien khususnya saat perawat berada di rumah sakit. Dalam melakukan pendekatan peran perawat sangat penting dalam proses meminimalkan hospitalisasi dan dampak. Adapun cara pendekatan yang dapat dilakukan perawat meliputi : a. Komunikasi terapiutik pada anak dan memberi informasi yang baik pada anak. Dalam melakukan komunikasi terapiutik dengan anak usia sekolah, perawat harus tetap memperhatikan tingkat kemampuan bahasa anak yang berupa menggunakan kata sederhana yang lebih spesifik, jelaskan sesuatu yang membuat ketidakjelasan pada anak atau sesuatu yang diketahui. Dalam melakukan pendekatan pada anak dapat berupa memberi informasi yang baik pada anak. Informasi yang baik tersebut dengan cara menjelaskan prosedur atau tindakan yang akan diberikan pada anak usia sekolah dan fungsi alat yang digunakan serta efek yang terjadi saat dilakukan tindakan medis karena pada usia sekolah keingintahuan pada aspek fungsional dan prosedural dari objek tertentu sangat tinggi. (Asmadi, 2008). b. Hubungan yang terapiutik Perawat dalam melakukan pendekatan pada anak harus menjalin hubungan yang terapiutik, karena anak bukan miniatur orang dewasa. Anak mempunyai dunia sendiri. Sudah bisa berfikir sehingga perawat harus dapat menjalin rasa saling percaya dalam merawat anak yang sedang sakit. Apabila terjadi hubungan yang terapiutik antara perawat dan anak akan memudahkan perawat dalam mendekati anak yang sakit. (Asmadi, 2008). c. Melibatkan orang tua anak Orang tua merupakan orang yang dekat dengan anak sehingga perawat dalam merawat anak harus dekat engan orang tua anak. Perawat harus dapat berkomunikasi pada orang tua anak dilibatkan juga dalam tindakan keperawatan maupun orang tua suruh menemani anak
di rumah sakit dan apabila orang tua mau pergi atau bekerja seharusnya ada anggota keluarga yang menemani anak. (Yupi Supartini, 2012). d. Memodifikasi ruangan anak di rumah sakit dan ruang bermain Perawat harus dapat memanfaatkan sarana dan prasarana yang ada di rumah sakit untuk mengatasi anak yang cemas dan takut. Berbagai upaya bisa dilakukan untuk mengurangi stress akibat hospitalisasi pada anak, dan agar anak dapat beradaptasi dengan stressor yang dialaminya diantaranya
perawat
melakukan
pendekatan
yang
terapeutik
berdasarkan pada usia anak, penggunaan pakaian seragam yang berwarna-warni dari perawat yang bertugas diruangan tersebut, dan memodifikasi ruangan perawatan melalui penggunaan cat dinding yang berwarna-warni, dan pemasangan gambar-gambar yang menarik bagi anak diruangan tersebut. Ruang anak juga harus memenuhi kriteria seperti nyaman, bebas bergerak untuk anak, memberikan suasana seperti di lingkungan rumah dan menciptakan lingkungan yang berpendidikan. (Iyam Mariam, 2016). e. Terapi Bermain Meskipun demikian dirawat dirumah sakit tetap merupakan masalah besar dan menimbulkan ketakutan, cemas, bagi anak. Hospitalisasi juga dapat diartikan adanya perubahan psikis yang dapat menjadi sebab anak dirawat dirumah sakit menurut (Priyoto, 2014). Bermain adalah penting untuk kesehatan mental, emosional, dan sosial. Oleh karena itu, sangat penting adanya ruang bermain khusus bagi anak untuk memberi rasa aman dan menyenangkan. Dalam pelaksanaan aktivitas bermain dirumah sakit, perlu diperhatikan prinsip-prinsip bermain dan permainan yang sesuai dengan usia atau tingkat pertumbuhan serta perkembangan anak sehingga tujuan bermain yaitu untuk mempertahankan proses tumbuh kembang dapat dicapai secara optimal. Di samping itu, keterlibatan orang tua dalam aktivitas bermain sangat penting karena anak akan merasa aman sehingga dia mampu mengekspresikan perasaannya secara bebas dan terbuka menurut (Nursalam, 2008).
Terapi bermain merupakan terapi yang diberikan kepada anak yang mengalami stres, ketakutan, sehingga anak dapat mengenal lingkungan, belajar mengenai perawatan dan prosedur yang dilakukan serta staf rumah sakit yang ada dalam (Wong, 2009). Bermain merupakan suatu aktivitas di mana anak dapat melakukan atau mempraktikkan keterampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi kreatif, mempersiapkan diri untuk berperan danberperilaku dewasa (Hidayat, 2008). Bermain merupakan bentuk infatil dari kemampuan orang dewasa untuk menghadapi dari berbagai macam pengalaman dengan cara menciptakan model situasi tertentu dan berusaha untuk menguasainya melalui eksperimen dan perencanaan (Ambarwati, 2012). Berdasarkan hasil penelitian ini ada pengaruh terapi bermain dengan penurunan stres hospitalisasi anak prasekolah hal ini dibuktikan dengan pemberian terapi bermain yang telah dilakukan oleh peneliti kepada anak prasekolah yang mengalami stres hospitalisasi yang diberikan selama 30 menit setelah anak dirawat di rumah sakit selama 1 hari mampu mengalihkan perhatian anak dari hal-hal yang membuat anak takut yang terjadi selama perawatan di rumah sakit. Pemberian terapi bermain pada 12 anak yang berumur 5 tahun sebanyak 11 anak mengalami stres sedang dan 1 anak mengalami stres berat hal itu dikarenakan anak yang berumur 5 tahun lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar hal ini ditunjukkan dengan anak mulai mengenal lingkungan sekitar, sudah tidak menangis ketika perawat datang, dan mau jika dibujuk untuk makan. Riwayat pernah menjalani rawat inap di rumah sakit sebelumnya ikut berpengaruh dari 27 anak yang pernah di rawat di rumah sakit sebelumnya didapatkan hasil 1 anak mengalami stres berat dan 26 anak mengalami stres sedang, hal ini terjadi karena anak sudah pernah mengalami perawatan yang sama di masa lalu sehingga anak lebih mudah untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar hal ini ditunjukkan dengan anak tidak takut atau menangis bila dilakukan pemeriksaan oleh dokter atau perawat, anak
mau minum obat, anak tidak terlihat memeluk orang tua, anak lebih terlihat aktif dan mau bermain serta anak sudah tidak menolak makan ini menunjukkan anak sudah mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Bermain adalah kegiatan yang menyenangkan bagi anak. Pada usia prasekolah anak sering menghabiskan waktunya untuk bermain. Terapi bermain disini meliputi terapi bermain aktif dengan menggunakan permainan seperti menyusun balok menjadi rumahrumahan atau kereta, bermain mencocokkan bentuk, mewarnai gambar, bermain bolabola kecil, bermain mengamati bentuk dan terapi bermain pasif dengan mendengarkan cerita. Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti di Rumah Sakit Baptis Kediri, anak cenderung tertarik dengan permainan menyusun balok, karena anak dapat mengekspresikan
keinginannya
dengan
menyusun
balok
sesuai
keinginan anak seperti menyusun berbentuk kereta, menyusun berbentuk tembok tinggi dan menara atau piala. Anak yang ketika dirawat dirumah sakit diberikan terapi bermain akan dapat menemukan mekanisme koping baru dalam menghadapi masalah yang terjadi di rumah sakit. Mekanisme koping di sini adalah anak akan menemukan cara dalam menghadapi stres yang dialaminya, misalnya anak akan lebih mampu menghadapi masalah yang dihadapi selama perawatan di rumah sakit, anak mampu beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan asing, sehingga akan terjadi perubahan perilaku pada anak. Anak akan lebih sering merengek karena perlukaan pada tubuh, dan juga anak akan meminta untuk ditemani orang tuanya secara terus-menerus. Anak yang dirawat dirumah sakit cenderung menjadi lebih pendiam karena anak merasa asing dengan lingkungan yang baru ditempatinya sehingga itu berpengaruh dengan nafsu makan anak yang berkurang, anak sering menolak makan ketika dirumah sakit dan porsi makan anak selalu tidak habis. Perubahan perilaku diatas anak dapat disebut sedang mengalami stres hospitalisasi. Stres hospitalisasi dapat mempengaruhi perilaku anak ketika di rawat di rumah sakit, untuk mengurangi dampak dari stres hospitalisasi tersebut bisa digunakan terapi bermain. Terapi
bermain dapat menurunkan stres hospitalisasi pada anak karena anak yang dirawat dirumah sakit dapat mengeluarkan rasa takutnya dan mengalihkan perhatiannya dengan bermain. Bermain adalah terapi yang cocok diberikan kepada anak prasekolah yang dapat memberi rasa aman dan menyenangkan bagi anak. Ketika anak mulai nyaman dan bisa beradaptasi
dengan
lingkungan
sekitar
maka
anak
dapat
mempertahankan proses tumbuh kembang secara optimal. Hal ini sejalan dengan teori Wong tahun 2009 yang menyatakan bermain dirumah sakit dapat memberikan pengalihan atau distraksi dan menyebabkan relaksasi, membantu anak lebih merasa aman di lingkungan yang asing, membantu mengurangi stres akibat perpisahan dan sebagai alat untuk melepaskan ketegangan dan ungkapan perasaan. ( Dewi Ika Sari Hari Poernomo, 2017).
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, Alimul Aziz. (2008). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1. Jakarta: Salemba Medika. Ambarwati, Fitri Respati. (2012). Buku Pintar Asuhan Keperawatan Bayi dan Balita. Yogyakarta: Cakrawala Ilmu. Asmadi. (2008). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Nursalam. (2008). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (untuk perawat dan bidan). Jakarta: Salemba Medika. Priyoto. (2014). Konsep Manajemen Stress. Yogyakarta: Nuha Medika. Saputro, Heri, dkk. 2017. Anak Sakit Wajib Bermain di Rumah Sakit. Jakarta : Forum Ilmiah Kesehatan (FORIKES). Sari Hari Poernomo, Dewi Ika,dkk. 2017. Penurunan Stres Hospitalisasi pada Anak Prasekolah dengan Terapi Bermain di RS. Baptis Kediri. Diakses tanggal 4 April 2018. 19.22
Iyam Mariam. 2016. Pengaruh Terapi Bermain Terhadap Reaksi Hospitalisasi Pada Anak Usia Toddler Yang Mengalami Hospitalisasi Di Ruang Tanjung Rsud R.Syamsudin, Sh. Kota Sukabumi . Diakses tanggal 4 April 2018. 23.12