22
Mata Kuliah : Komunikasi Gender dalam Pembangunan
Dosen : Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala S Hubeis.
Kelompok : 4 (empat)
PERBEDAAN SEKS DAN GENDER:
ALIRAN-ALIRAN FEMINISME
Di susun oleh:
Riyadi (I-362-13-0061)
Gusmia Arianti (I-352-13-0011)
Fadzriani Nur (I-352-13-0111)
Meylin Azizah (I-352-13-0071)
Sekolah Pascasarjana
Program Studi Komunikasi Pembangunan
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia- IPB
2014
PERBEDAAN SEKS DAN GENDER
Adanya kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dikarenakan oleh masyarakat, khususnya masyarakat awam, sulit membedakan antara konsep seks dan konsep gender (Susanto, 2005:48). Padahal, pemahaman akan perbedaan antara kedua hal tersebut sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan diskriminasi sosial yang menimpa perempuan. Hal ini lebih dikarenakan adanya keterkaitan antara perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) serta kaitannya terhadap ketidakadilan gender dan struktur keadilan masyarakat secara lebih luas.
Oleh karena itu, memahami perbedaan yang jelas antara konsep seks dan gender sangat diperlukan dalam membahas masalah ketidakadilan sosial (Fakih dalam Simon, 2012). Ini lebih dikarenakan oleh keterkaitan antara persoalan gender dengan persoalan kekerasan terhadap perempuan.
Akar perbedaan antara laki-laki dan perempuan dapat diwakili oleh dua konsep, yaitu jenis kelamin (seks) dan gender. Perbedaan jenis kelamin mengacu pada perbedaan fisik (perbedaan fungsi reproduksi), sedangkan gender merupakan konstruksi sosio-kultural. Pada prinsipnya, gender merupakan interpretasi kultural atas perbedaan jenis kelamin. Bagaimanapun, gender memang berkaitan dengan perbedaan jenis kelamin, akan tetapi tidak selalu berhubungan dengan perbedaan fisiologis seperti yang selama ini banyak dijumpai dalam masyarakat (Simon, 2012).
Gender membagi atribut dan pekerjaan menjadi "maskulin" dan "feminin". Gender yang berlaku dalam suatu masyarakat lebih ditentukan oleh pandangan masyarakat tentang hubungan antara laki-laki dan kelaki-lakian, dan antara perempuan dan keperempuanan. Umumnya, jenis kelamin laki-laki berhubungan dengan gender maskulin, sementara jenis kelamin perempuan berkaitan dengan gender feminin. Akan tetapi, hubungan itu bukan merupakan korelasi absolut (Roger dalam Simon, 2012).
Hubeis (2010:71) memaparkan bahwa memang ada perbedaan mendasar antara perempuan dan laki-laki dalam ciri biologis yang primer dan sekunder. Ciri biologis primer yaitu tidak dapat dipertukarkan atau diubah (sulit) dan merupakan pemberian atau ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa, kecuali dengan cara operasi seperti kasus artis Dorce Gamalama yang berubah dari laki-laki menjadi perempuan, tapi tetap tidak memiliki kemampuan untuk hamil karena diluar kemampuan medis (ciptaan Tuhan). Begitupun untuk kasus Thomas Beatie yang berganti kelamin dari perempuan menjadi laki-laki, tapi tetap mampu mengandung seorang bayi sebab bagaimanapun ia tidak bisa menghilangkan kodratnya sebagai seorang perempuan, yakni menstruasi, hamil, dan melahirkan.
Lebih lanjut Hubes mengatkan bahwa adapun ciri biologis sekunder tidak mutlak menjadi milik dari lelaki atau perempuan, misalnya suara halus dan lembut tidak selalu milik seorang perempuan karena ada laki-laki yang suaranya halus dan lembut. Begitupun dengan rambut panjang, juga bukan milik manusia berjenis kelamin perempuan karena laki-laki pun ada yang berambut panjang (tidak hanya masa sekarang, dahulu pun tepatnya pada zaman raja-raja masa lalu di Inggris, misalnya, dimana laki-laki bangsawan juga berambut panjang selain perempuan).
Disinilah letak perbadaan Seks dan gender, di mana Seks bersifat universal sementara gender tidak. Hal ini disebabkan oleh gender bervariasi dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain dan dari waktu ke waktu. Sekalipun demikian, ada dua elemen gender yang bersifat universal: 1) Gender tidak identik dengan jenis kelamin; 2) Gender merupakan dasar dari pembagian kerja di semua masyarakat (Gallery dalam Simon, 2012).
Adapun gender dapat beroperasi di masyarakat dalam jangka waktu yang lama karena didukung oleh sistem kepercayaan gender (gender belief system). Sistem kepercayaan gender ini mengacu pada serangkaian kepercayaan dan pendapat tentang laki-laki dan perempuan dan tentang kualitas maskulinitas dan femininitas. Sistem ini mencakup stereotype perempuan dan laki-laki, sikap terhadap peran dan tingkah laku yang cocok bagi laki-laki dan perempuan, sikap terhadap individu yang dianggap berbeda secara signifikan dengan "pola baku".
Dengan kata lain, sistem kepercayaan gender itu mencakup elemen deskriptif dan preskriptif, yaitu kepercayaan tentang "bagaimana sebenarnya laki-laki dan perempuan itu" dan pendapat tentang "bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan itu". Sistem kepercayaan gender itu sebetulnya merupakan asumsi yang benar sebagian, sekaligus salah sebagian.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa beberapa aspek stereotype gender dan kepercayaan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan itu memang didasarkan pada realitas. Aspek-aspek ini sekaligus merupakan pencerminan distribusi perempuan dan laki-laki ke dalam beberapa peranan yang berbeda. Pada saat yang sama, tidak dapat diragukan lagi bahwa kepercayaan orang bukanlah merupakan gambaran akurat suatu realitas karena ia mengandung bias persepsi dan kesalahan interpretasi.
Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap kebudayaan mempunyai citra yang jelas tentang bagaimana "seharusnya" laki-laki dan perempuan itu. Ini sejalan dengan penelitian Williams dan Best (seperti dikutip oleh Deaux & Kite dalam Simon, 2012) yang mencakup 30 negara di mana menampilkan semacam konsensus tentang atribut laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa sekalipun gender itu tidak universal, akan tetapi "generalitas pankultural" itu ada. Pada umumnya laki-laki dipandang sebagai lebih kuat dan lebih aktif, serta ditandai oleh kebutuhan besar akan pencapaian, dominasi, otonomi dan agresi. Sebaliknya perempuan dipandang sebagai lebih lemah dan kurang aktif, lebih menaruh perhatian pada afiliasi, keinginan untuk mengasuh dan mengalah.
Adapun citra laki-laki dan perempuan ini pertama kali terbentuk mengenai gambaran ideal tentang laki-laki dan perempuan melalui sosialisasi dalam keluarga. Sosialisasi sendiri merupakan proses yang berlangsung seumur hidup dan dapat terjadi di berbagai institusi selain keluarga, misalnya sekolah dan Negara.
Melihat fenomena ketidakadilan yang menimpa perempuan, muncullah sekumpulan kaum perempuan yang berupaya untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang kerap di abaikan. Misalnya hak mengakses pendidikan, kesehatan, memperoleh pekerjaan, beroganisasi, dll. Paham mereka dinamakan feminisme, adapun orang-orang di dalamnya disebut feminis. Pencetus awal feminisme adalah kaum perempuan, namun perlu di garisbawahi bahwa kini feminisme tidak hanya di dominasi oleh kaum perempuan, tapi juga laki-laki turut tergabung di dalamnya meskipun belum terlalu banyak, misalnya Alm. Mansour fakih, dll.
Aliran-Aliran Feminisme
Hak-hak perempuan yang terabaikan tersebut seringkali berujung pada sebuah diskriminasi, eksploitasi, kekerasan, ketidakadilan, dan lain-lain yang mana kaum feminis menganggapnya sebagai sebuah penindasan yang dialami perempuan. Penindasan terhadap perempuan berlangsung di hampir semua negara dan golongan agama. Di mana penindasan yang berlangsung di hampir semua negara tersebut telah berhasil dibongkar oleh para feminis di negaranya masing-masing, dan terus berupaya membongkar pengalaman ketertindasan yang dialami oleh kaum perempuan. Tujuan utama dibongkarnya ketertindasan perempuan tersebut adalah untuk memperjuangkan kemanusiaan kaum perempuan agar bisa setara dengan kaum laki-laki khususnya dalam memperoleh akses seperti yang telah dikemukakan di atas.
Tak ada yang tahu persis awal mula feminsme muncul. Meskipun begitu, di duga terjadi setelah paderi-paderi gereja menuding perempuan sebagai pembawa sial dan sumber malapetaka karena dianggap sebagai biang keladi kejatuhan Adam dari Surga (Deane-Drummond, 2006). Feminisme mulai menampakkan eksistensinya pada era liberalisme di Eropa dan saat terjadinya Revolusi Prancis di abad ke XVIII (18) yang gemanya kemudian melanda ke Amerika Serikat dan seluruh dunia. Saat itu, Mary Wollstonecraft di akhir abad ke 18 menulis sebuah buku berjudul, "Vindication of the right of women", yang isinya dapat dikatakan meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme di kemudian hari (Faizain, 2012).
Inti dari ajaran feminisme adalah agar perempuan memiliki kesetaraan seperti halnya kaum laki-laki dalam memiliki akses seperti yang telah dikemukakan di atas. Akan tetapi, dalam menuju kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki, kaum feminis terbagi-bagi lagi ke dalam aliran-aliran sesuai dengan fokus utama ajaran mereka. Berikut aliran-aliran dalam feminisme:
Aliran Liberal
Feminisme liberal adalah salah satu bentuk feminisme yang mengusung adanya persamaan hak untuk perempuan dapat diterima melalui cara yang sah dan perbaikan perbaikan dalam bidang sosial, dan berpandangan bahwa penerapan hak-hak wanita akan dapat terealisasi jika perempuan disejajarkan dengan laki-laki. Hal tersebut seiring dengan beberapa sumber teori mengenai feminisme liberal;
Apa yang disebut sebagai feminisme liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia pribadi dan umum. Setiap manusia mempunyai kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, terutama pada perempuan, akar ketertindasan dan keterbelakangan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka persaingan bebas dan punya kedudukan setara dengan laki-laki.
Selain itu pendapat tersebut diatas, sejalan dengan apa yang dipaparkan oleh Tong (2006:18) bahwa:
Tujuan umum dari feminisme liberal adalah untuk menciptakan "masyarakat yang adil dan peduli tempat kebebasan berkembang". Hanya dalam masyarakat seperti itu, perempuan dan juga laki-laki dapat mengembangkan diri.
Feminisme liberal berpandangan bahwa kaum perempuan harus mempersiapkan dirinya untuk dapat mensejajarkan kedudukannya dengan laki-laki dengan cara mengambil berbagai kesempatan yang menguntungkan serta mengenyam pendidikan, mengingat bahwa perempuan adalah mahluk yang rasional dan bisa berpikir seperti laki-laki.
Feminisme liberal menginginkan kebebasan untuk kaum perempuan dari opresi (suatu tindakan dengan kekuatan yang tersistematis dan memperoleh dukungan sosial untuk melakukan penganiayaan dan eksploitasi dari sebuah kelompok ataupun individu yang dapat membuat seseorang yang berada dibawah opresi merasakan kesengsaraan dan penderitaan), patriarkal (mendasarkan diri pada oposisi biner "laki-laki >< perempuan" di mana term laki-laki berada pada posisi mendominasi term perempuan, dan gender (sekumpulan ciri-ciri khas yang dikaitkan dengan jenis kelamin seseorang dan diarahkan pada peran sosial atau identitasnya dalam masyarakat). Aliran ini juga mencakup 2 bentuk pemikiran politik yaitu Clasiccal Liberalism dan Welfare Liberalism. Classical Liberalism percaya bahwa idealnya, negara harus menjaga kebebasan rakyatnya, dan juga memberi kesempatan kepada individu-individu untuk menentukan kepemilikannya. Disisi lain, Welfare Liberalism, percaya bahwa Negara harus fokus akan keadilan ekonomi daripada kemudahan-kemudahan untuk kebebasan sipil. Mereka menganggap program pemerintah seperti keamanan sosial dan kebebasan sekolah sebagai cara untuk mengurangi ketidakadilan dalam masyrakat sosial. Baik classical maupun Welfare Liberalism percaya bahwa campur tangan pemerintah dalam kehidupan pribadi mereka tidaklah dibutuhkan (Tong: 2006).
Feminisme liberal juga menciptakan dan mendukung perundanga- undangan yang menghapuskan halangan-halangan pada perempuan untuk maju. Perundang-undangan ini memperjuangkan kesempatan dan hak untuk perempuan, termasuk akses yang mudah dan setaranya upah yang diterima oleh perempuan dengan laki-laki sebab kerapkali gaji perempuan lebih rendah padahal apa yang telah dikerjakan adalah sama.
Perkembangan gerakan feminisme liberal sendiri terbagi menjadi 3 tahap yaitu:
Perkembangan feminisme pada abad 18. Pada abad ke 18, gerakan feminisme liberal menyuarakan pendidikan yang sama untuk perempuan. Karena lahirnya gerakan feminisme liberal ini berawal dari anggapan nalar laki-laki dan perempuan memiliki kapasitas yang berbeda maka kaum feminisme liberal mengusung pendidikan sebagai jalan untuk menyetarakan kemampuan nalar laki-laki dengan perempuan. Melalui pendidikan maka perempuan dapat menyetarakan posisinya di masyarakat agar tidak dipandang sebelah mata dan ditindas lagi. Adapun hak pendidikan bagi perempuan ini dilatarbelakangi oleh kritikan Wollstonecraft terhadap E-mail sebuah novel karya Jean Jackques Rosseau yang membedakan pendidikan bagi laki-laki dan perempuan. Dalam novel tersebut diceritakan bahwa pendidikan yang diterima oleh laki-laki lebih menekankan pada hal-hal yang rasional dan ilmu-ilmu yang mempelajadi ilmu alamiah, sosial, dan humaniora karena nantinya akan menjadi seorang kepala keluarga; sedangkan pendidikan yang diterima oleh perempuan lebih menekankan pada emosional atau ilmu-ilmu seperti puisi dan seni dikarenakan nantinya perempuan akan menjadi seorang istri yang pengertian, perhatian, dan keibuan. Dari hal tersebut, maka feminisme liberal menyeruakan jalan keluar sebuah pendidikan yang setara dengan laki-laki dengan cara mengajarkan hal-hal yang yang rasionalitas sehingga perempuan juga dapat menjadi makhluk yang mandiri (Tong, 2006).
Perkembangan feminisme liberal pada abad ke 19. Pada abad ini, kaum feminisme liberal menyuarakan hak-hak sipil yang harus diterima oleh kaum perempuan dan kesempatan ekonomi bagi perempuan. Kaum feminisme liberal memiliki pendapat bahwa pendidikan saja tidak cukup untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan. Untuk itu, harus ada kesempatan ekonomi yang harus diberikan pada perempuan agar kesetaraan dapat dicapai. Kesempatan untuk berperan dalam ekonomi dan dijamin hak-hak sipil bagi perempuan diantara hak untuk berorganisasi, hak untuk kebebasan berpendapat, hak untuk memilih dan hak milik pribadi (Tong, 2006).
Perkembangan feminisme liberal abad ke 20. Pada abad ini, perkembangan feminisme liberal ditandai dengan lahirnya gerakan atau organisasi yang menyuarakkan hak-hak perempuan, seperti NOW (National Organization for Women). Organisasi ini juga tidak lain bertujuan menyarankan agar perempuan dapat memiliki hak atau kesempatan pendidikan dan ekonomi agar dapat setara dengan laki-laki (Tong, 2006).
Pada masa perkembangannya, feminisme liberal juga diiringi oleh perkembangan terbitnya buku-buku yang menyuarakan hak-hak perempuan. Buku-buku itu misalnya the Feminine Mysitique dan the Second Stage.
Berdasarkan pemaparan di atas, inti dari feminisme liberal antara lain (Suharto, 2006):
Memfoukskan pada perlakuan yang sama terhadap wanita di luar, daripada di dalam, keluarga.
Memperluas kesempatan dalam pendidikan dianggap sebagai cara paling efektif melakukan perubahan sosial.
Pekerjaan-pekerjaan "wanita", semisal perawatan anak dan pekerjaan rumah tangga dipandang sebagai pekerjaan tidak terampil yang hanya mengandalkan tubuh, bukan pikiran rasional.
Perjuangan harus menyentuh kesetaraan politik antara perempuan dan laki-laki melalui penguatan perwakilan perempuan di ruang-ruang publik. Para feminis liberal aktif memonitor pemilihan umum dan mendukung laki-laki yang memperjuangkan kepentingan perempuan.
Berbeda dengan para pendahulunya, feminisme liberal saat ini cenderung lebih sejalan dengan model liberalisme kesejahteraan atau egalitarian yang mendukung sistem kesejahteraan negara (welfare state) dan meritokrasi (menunjuk kepada bentuk sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan yang dapat dipakai untuk menentukan suatu jabatan tertentu).
Aliran Radikal
Feminisme radikal lahir dari aktivitas dan analis politik mengenai hak-hak sipil dan gerakan-gerakan perubahan sosial pada tahun 1950an dan 1960an; serta gerakan-gerakan wanita yang semarak pada tahun 1960an dan 1970an (Saulnier dalam Suharto, 2006). Namun demikian, mazhab ini dapat dilacak pada para pendukungnya yang lebih awal. Lewat karyanya Vindication of the rights of women, Mary Wollstonecraft pada tahun 1797 menganjurkan kemandirian wanita dalam bidang ekonomi. Maria Stewart, salah satu feminis kulit hitam pertama, pada tahun 1830an mengusulkan penguatan relasi di antara wanita kulit hitam. Elizabeth Cudy Stantonpada tahun 1880an menentang hak-hak seksual laki-laki terhadap wanita dan menyerang justifikasi keagamaan yang menindas wanita (Saulnier dalam Suharto, 2006).
Menurut Arivia (2003: 100-102), inti gerakan feminis radikal adalah isu mengenai penindasan perempuan. Mereka mencurigai bahwa penindasan tersebut disebabkan oleh adanya pemisahan antara lingkup privat dan lingkup publik, yang berarti bahwa lingkup privat dinilai lebih rendah daripada lingkup publik, dimana kondisi ini memungkinkan tumbuh suburnya patriarki.
Dalam konsep feminisme radikal, tubuh dan seksualitas memegang esensi yang sangat penting. Hal ini terkait dengan pemahaman bahwa penindasan diawali melalui dominasi atas seksualitas perempuan dalam lingkup privat. Kaum feminis radikal meneriakkan slogan bahwa "yang pribadi adalah politis", yang berarti penindasan dalam lingkup privat adalah merupakan penindasan dalam lingkup publik.
Feminis radikal memberikan prioritas pada upaya untuk memenangkan isu-isu tentang kesehatan, misalnya perdebatan mengenai aborsi dan penggunaan alat kontrasepsi yang aman. Mereka ingin menyadarkan perempuan bahwa "perempuan adalah pemilik atas tubuh mereka sendiri", mereka memiliki hak untuk memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan tubuh mereka, termasuk dalam hal kesehatan dan reproduksi.
Para feminis radikal juga memberi perhatian khusus pada isu tentang kekerasan laki-laki terhadap perempuan. Dominasi laki-laki dalam sistem patriarki membuat kekerasan yang menimpa perempuan, seperti pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, pornografi, pelecehan seksual, menjadi tampak alami dan "layak". Sejalan dengan pemahaman ini, tercipta pula dikotomi mengenai good girls dan bad girls. Apabila seorang perempuan berperilaku baik, terhormat, dan patuh, maka ia tidak akan dicelakai (Arivia, 2003 : 103).
Mengingat bahwa dalam sistem patriarkhi, laki-lakilah yang memegang kendali kekuasaan dan dominasi, maka laki-laki jugalah yang berhak memberikan definisi mengenai perilaku yang "dapat diterima" dan "pantas", atau dengan kata lain, seorang perempuan harus bertindak tanduk dalam suatu pola perilaku untuk memenuhi cita rasa laki-laki dan untuk menyenangkan mereka agar memperoleh posisi yang aman dan nyaman. Dalam hubungan laki-laki dan perempuan yang demikian, terdapat suatu pola superordinat - subordinat, pengampu-diampu, suatu target yang sangat ingin dihapuskan oleh feminis radikal.
Selanjutnya, terdapat perpecahan dalam feminis radikal, yaitu radikal libertarian dan radikal kultural. Feminisme radikal libertarian memberikan perhatian lebih pada konsep isu-isu feminin, pada hak-hak reproduksi dan peran seksual. Menurut kelompok ini, solusi atas masalah ini adalah dengan mengembangkan ide androgini, yaitu sebuah model yang mempromosikan pembentukan manusia seutuhnya dengan karateristik maskulin - feminin (Arivia, 2003 : 108).
Di lain pihak, feminis radikal kultural bersikeras pada proposisi yang menyatakan bahwa perempuan seharusnya tidak seperti laki-laki, dan tidak perlu bagi perempuan untuk berperilaku seperti laki-laki. Kaum feminis radikal kultural mencegah penerapan nilai-nilai maskulin yang secara kultural dikenakan pada pria, misalnya kebebasan, otonomi, intelektual, kehendak, hirarki, dominasi, budaya, transendensi, perang dan kematian.
Perbedaan antara feminisme radikal libertarian dengan feminisme radikal kultural mengungkapkan adanya perbedaan sudut pandang yang tajam antara keduanya mengenai reproduksi. Dimana pertentangannya memperdebatkan apakah reproduksi merupakan sumber "penindasan perempuan atau "kekuatan perempuan" (Arivia, 2003:109). Meskipun demikian, terdapat satu hal yang mengikat ide radikal feminisme, yaitu pada pemahaman dasar bahwa sistem gender adalah basis dari penindasan perempuan. Feminis mengangkat isu-isu tentang seksisme, patriarkhi, hak-hak reproduksi, kekuatan hubungan laki-laki dan perempuan, dikotomi antara ranah privat dan ranah publik. Lebih lanjut, Arivia (2003:152) menyatakan bahwa terdapat berbagai kritik terhadap feminisme radikal bahwa ide telah terperangkap pada anggapan bahwa pada dasarnya perempuan lebih baik daripada laki-laki, dan bahwa ideologi juga tereduksi menjadi dikotomi antara laki-laki dan perempuan.
Contoh kasus:
"My body, my choice, my pleasure", demikian bunyi stiker yang cukup profokatif ini terbaca jelas di belakang sebuah mobil yang sedang melintas di kawasan Lenteng Agung. Kebetulan saat itu saya dalam perjalanan mengisi seminar di UIN Ciputat tentang kesetaraan gender.
Pesan dalam stiker itu mengingatkan saya pada sebuah aksi demonstran menolak Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU AP) yang mengusung poster-poster bertuliskan: "My body, my rights, tolak RUU APP!!", "RUU APP: Phobia terhadap tubuh perempuan", "Seksualitas bukan ukuran moralitas", dsb.
Mungkin pembuat stiker itu menganggap bahwa agama dan negara yang dikuasai laki-laki adalah bahaya laten yang perlu terus diwaspadai sehingga kewaspadaan terhadap segala yang mengancam tubuh perempuan harus selalu dihidupkan (Shalahuddin, 2012).
Feminisme Marxis Dan Sosialis
Meskipun terdapat sejumlah persamaan antara feminisme Marxis dan sosialis, akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan yang tegas. Feminis sosialis menekankan bahwa penindasan gender disamping penindasan kelas adalah merupakan sumber penindasan perempuan. Sebaliknya, feminis Marxis berargumentasi bahwa sistem kelas bertanggungjawab terhadap diskriminasi fungsi dan status.
Feminis Marxis percaya bahwa perempuan borjuis tidak mengalami penindasan seperti yang dialami perempuan proletar. Penindasan perempuan juga terlihat melalui produk-produk politik, struktur sosiologis dan ekonomis yang secara erat bergandengan tangan dengan sistem kapitalisme. Seperti halnya Marxisme, feminis Marxis memperdebatkan bahwa eksistensi sosial menentukan kesadaran diri. Perempuan tidak dapat mengembangkan dirinya apabila secara sosial dan ekonomi tergantung pada laki-laki. Untuk mengerti tentang penindasan perempuan, relasi antara status kerja perempuan dan citra diri mereka dianalisa.
Feminis Marxis ataupun sosialis mencuatkan isu pada kesenjangan ekonomi, hak milik properti, kehidupan keluarga dan domestik di bawah sistem kapitalisme dan kampanye tentang pemberian upah bagi pekerjaan-pekerjaan domestik. Gerakan ini dikritik karena hanya melihat relasi kekeluargaan yang semata-mata eksploitasi kapitalisme, dimana perempuan memberikan tenaganya secara gratis. Feminis Marxis dan sosialis mengabaikan unsur-unsur cinta, rasa aman dan rasa nyaman, yang padahal juga berperan penting dalam pembentukan sebuah keluarga. Ideologi ini hanya menekankan fokus pada eksploitasi dalam kapitalisme dan ekonomi. Bukan memberi perhatian lebih pada masalah gender, justru berkonsentrasi pada analisis kelas (Nope, 2005:152). Menurut Rosemary Hennesy dan Chrys Ingraham di tahun 1997 (dalam Apriani, 2013), feminisme Marxis dan sosialis melihat budaya sebagai suatu arena produksi sosial, arena dimana feminis berjuang daripada melihat budaya sebagai suatu kehidupan sosial secara keseluruhan.
Contoh kasus:
Di Inggris, Kelompok Kanan terbentuk kuat di kalangan perempuan pekerja. Mereka melaksanakan pemogokan untuk menuntut persamaan upah. Sementara itu kelompok kiri sangat dipengaruhi oleh paham Sosialis Marxisme (Thornham, 2006). Namun aliran kanan dan kiri di Inggris bersatu d tahun 1970 dan menyerukan feminisme. Secara kompak mereka menuntut persamaan upah, persamaan pendidikan dan kesempatan kerja, tempat penitipan anak 24 jam, alat kontrasepsi gratis, dan aborsi sesuai kebutuhan.
Menurut Engels, perempuan dan laki-laki memiliki peranan-peranan penting dalam memelihara keluarga inti. Namun karena tugas-tugas tradisional wanita mencakup pemeliharaan rumah dan penyiapan makanan; sedangkan tugas laki-lakimencari makanan, memiliki, dan memerintah budak, serta memiliki alat-alat yang mendukung pelaksanaan tugas-tugas tersebut; laki-laki memiliki akumulasi kekayaan yang lebih besar ketimbang wanita. Akumulasi kekayaan ini mengakibatkan posisi laki-laki di dalam keluarga menjadi lebih penting daripada wanita dan pada gilirannya mendorong laki-laki untuk mengeksploitasi posisinya dengan menguasai wanita dan menjamin warisan bagi anak-anaknya (Suharto, 2006).
Inti ajaran feminis sosialis (Saulnier dalam Suharto, 2006). adalah:
Wanita tidak dimasukkan dalam analisis kelas, karena pandangan bahwa wanita tidak memiliki hubungan khusus dengan alat-alat produksi. Karenanya, perubahan-perubahan alat-alat produksi merupakan 'necessary condition' meskipun bukan 'sufficient condition', dalam mengubah faktor-faktor yang mempengaruhi penindasan terhadap wanita.
Menganjurkan solusi untuk membayar wanita atas pekerjaannya yang ia lakukan di rumah. Status sebagai ibu rumah tangga dan pekerjaannya sangat penting bagi berfungsinya sistem kapitalis. Logikanya: 'capitalism depends on the housewife's free labor to maintain its workers; if the housewife refused to continue to work without pay, capitalism could not function.
Kapitalisme memperkuat seksisme, karena memisahkan antara pekerjaan bergaji dengan pekerjaan rumah tangga (domestic work) dan mendesak agar wanita melakukan pekerjaan domestik. Akses laki-laki terhadap waktu luang, pelayanan-pelayanan personal, dan kemewah-mewahan telah mengangkat standar hidupnya melebihi wanita; karenanya adalah laki-laki sebagai anggota sistem patriarkal, bukan hanya cara-cara ekonomi kapitalis, yang diuntungkan oleh tenaga kerja wanita.
Feminisme Eksistensialisme
Simone de Beauvoir (dalam Arivia, 2003 : 122-123) menyatakan bahwa dalam feminisme eksistensialisme penindasan perempuan diawali dengan beban reproduksi yang herus ditanggung oleh tubuh perempuan. Dimana terdapat berbagai perbedaan antara perempuan dan laki-laki, sehingga perempuan dituntut untuk menjadi dirinya sendiri dan kemudian menjadi "yang lain" karena ia adalah makhluk yang seharusnya di bawah perlindungan laki-laki, bagian dari laki-laki karena diciptakan dari laki-laki. Dengan demikian, perempuan didefinisikan dari sudut pandang laki-laki, sehingga laki-laki adalah subjek dan perempuan adalah objeknya atau "yang lain".
Teori terdahulunya adalah teori Jean Paul Sartre yang menyatakan bahwa ada tiga jenis eksistensi atau keberadaan, yaitu etre ens soi (ada pada dirinya), etre pour soi (ada bagi dirinya) dan etre pour les autres (ada untuk orang lain). Konflik menurut teori ini adalah inti dari hubungan antar subjek, sehingga hubungan antara individu juga berdasarkan pada konflik (Arivia, 2003: 71-76). Argumentasi ini sejalan dengan ide Shulamith Firestone dalam bukunya yang berjudul The Dialectic of Seks : The Case for Feminist Revolution (dalam Arivia, 2003 : 67-68), dimana ia mengklaim bahwa beban reproduksi dan tanggungjawab untuk merawat anak membawa perempuan dalam posisi tawar yang rendah terhadap laki-laki.
Istilah "Diri" (The Self) dan Liyan (The Other) mulai dipakai oleh pergerakan feminisme eksistensialis. Dalam bahasa eksistensialis, laki-laki dinamai sang "Diri", sedangkan perempuan sebagai Liyan (The other). Simone de Beauvoir, seorang feminis eksistensialis berusaha mencari jawaban mengapa laki-laki sampai dinamai "Diri" dan perempuan "Liyan". Ia berspekulasi bahwa dengan memandang dirinya sebagai subjek yang mampu mempertaruhkan nyawanya dalam perempuan, laki-laki memandang perempuan sebagai objek, yang hanya mampu memberi kehidupan (baca: anak). "Diri" dan "Liyan" ini juga didukung oleh pendidikan, institusi, keluarga, dan masyarakat yang semuanya menganut pola pikir patriarki. Seorang perempuan pada akhirnya tidak dapat keluar dari permasalahan dalam dirinya, karena pola pikir patriarkis ini mengekangnya untuk menjadi berbeda.
Contoh kasus:
Pada masa setelah Perang Dunia II, impian para perempuan bukan mengejar karier dan pendidikan, tetapi menikah, mempunyai anak yang banyak dan tinggal di suburban dengan rumah yang indah. Seperti yang dituliskan oleh Betty Friedan dalam bukunya yang berjudul The Feminine Mystique. Impian yang disamaratakan untuk seluruh perempuan sebenarnya adalah bentuk pengekangan terhadap eksistensi perempuan, karena mereka hanya dijadikan objek. Teori Beauvoir dan Betty Friedan saling berhubungan dan sama-sama menekankan kepada perempuan bahwa kaum patriarkat menginternalisasi perempuan dari diri mereka sendiri. Akibatnya banyak perempuan yang termakan oleh konstruksi yang dibangun berdasarkan pemikiran laki-laki (Dewi, 2009).
Feminisme Psikoanalitis
Pendekatan feminisme psikoanalisis merupakan pendekatan yang berdasar pada teori psikoanalisis Freud. Feminis psikoanalisis percaya bahwa ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan berakar dari rangkaian pengalaman seksualitas masa kanak-kanak hingga dewasa yang mengakibatkan perbedaan cara pandang, tidak hanya laki-laki memandang dirinya sebagai maskulin, dan perempuan memandang dirinya sebagai feminin, tetapi juga masyarakat memandang bahwa maskulinitas lebih baik daripada femininitas (Tong, 2006: 190).
Feminisme psikoanalisis banyak diilhami dari pemikiran-pemikiran Freud tentang determinisme. Menurut Freud seperti dikutip Tong, secara biologis laki-laki memiliki penis dan perempuan tidak memiliki penis. Pandangan ini menjadi dasar penindasan terhadap kaum perempuan (Tong, 2006: 194). Lebih lanjut Tong mengatakan bahwa Pandangan mengenai determinisme ditolak oleh penganut feminisme psikoanalisis, antara lain Nancy Chodorow yang menulis The Reproduction of Mothering di tahun 1978. Chodorow menolak gagasan Freud tentang determinisme tersebut. Dia juga menolak gagasan Freud bahwa bayi adalah pengganti penis bagi perempuan sehingga perempuan ingin menjadi ibu.
Menurut doktrin psikoanalisis, perempuan tidak memiliki penis dan laki-laki memilikinya. Ketika perempuan sadar bahwa dirinya tidak memiliki penis maka dia merasa terkastrasi (cemas) dan inferior. Chodorow menganalisis mengapa perempuan ingin menjadi seorang ibu dengan tahapan perkembangan psikoseksual pra-Oedipal.
Menurutnya, bayi laki-laki dan perempuan memiliki pengalaman relasional-objek yang berbeda terhadap ibunya. Hubungan pra-Oedipal seorang bayi laki-laki dengan ibunya dipicu secara seksual saat menyusui dan hal itu tidak terjadi pada bayi perempuan. Bayi laki-laki merasakan bahwa tubuh ibunya tidak seperti dirinya.
Pada tahap Oedipal, anak laki-laki sadar jika perbedaan fisik dengan ibunya merupakan masalah dan kekuasaan harus diperoleh melalui identifikasi dirinya dengan laki-laki, ayahnya. Sehingga dia harus melepaskan diri dari keterikatan terhadap ibunya. Sedangkan hubungan pra-Oedipal bayi perempuan dengan ibunya merupakan "simbiosis yang diperpanjang" dan "over identifikasi narsisistis" karena rasa gender dan rasa diri bayi perempuan bertautan dengan rasa gender dan rasa diri ibunya. Selama tahapan Oedipal, simbiosis ibu dengan anak perempuan melemah dan digantikan dengan hasrat anak pada sesuatu yang disimbolkan oleh ayahnya yaitu otonomi dan kemandirian. Chodorow berpendapat bahwa pengalihan objek cinta awal anak perempuan dari objek perempuan, ibunya kepada objek laki-laki, ayahnya tidak pernah benar-benar selesai sehingga dia cenderung menemukan hubungan emosional yang paling kuat bersama perempuan lain dan berakibat terjadinya persahabatan sesama perempuan dan hubungan lesbian.
Menurut Freud seperti dikutip Tong, anak-anak mengalami tahapan psikoseksual yang sangat jelas. Tahapan yang dialami anak-anak tersebut antara lain;
Tahap oral, yaitu ketika bayi menemukan kenikmatan saat mengisap payudara ibunya dan jarinya.
Tahap anal, yakni ketika anak berusia dua sampai tiga tahun menyukai sensasi saat pengendalian pengeluaran kotorannya.
Thap falik, yaitu ketika anak berusia tiga sampai empat tahun menemukan kenikmatan pada genitalnya.
Tahap laten ketika anak berusia enam tahun sampai pubertas.
Tahapan genital dimulai saat remaja dengan ditandai kebangkitan dorongan seksualnya. Jika normal, dorongan itu akan diarahkan menuju anggota jenis kelamin yang berbeda dan menjauh dari stimulasi otoerotis dan homoerotis (Tong dalam Wardani, 2009).
Berdasarkan tahapan seksualitas di atas, ketidaksetaran gender antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat berakar dari rangkaian pengalaman seksualitas masa kanak-kanak hingga dewasa yang mengakibatkan perbedaan cara pandang, tidak hanya laki-laki memandang dirinya sebagai maskulin, dan perempuan memandang dirinya sebagai feminin, tetapi juga cara masyarakat memandang bahwa maskulinitas lebih baik daripada femininitas.
Feminisme Postmodern
Feminism postmodern berusaha menghindari setiap tindakan yang akan mengembalikan pemikiran falogosentris (phallogocentric), setiap gagasan mengacu pada kata (logos) yang style-nya adalah laki-laki. Sehingga dapat dijelaskan bahwa feminism postmodern melihat dengan curiga mengenai pemikiran feminis yang berusaha menjelaskan suatu hal mengenai penyebab opresi terhadap perempuan dan untuk mencapai kebebasan (dalam Azhar, 2012).
Secara mudah Feminism Postmodern merupakan sebuah kritikan kepada cara berfikir laki-laki yang diproduksi melalui bahasa laki-laki. Feminism Postmodern berusaha membongkar narasi-narasi besar yang ada. Sehingga dapat dijelaskan bahwa Feminisme Postmodern juga berusaha melawan peraturan-peraturan yang sudah langgeng di Masyarakat. Postmodernism menolak batasan-batasan antara seni tinggi dan seni rendah, menolak pembatasan genre dan menawarkan keberanian dalam mempermainkan makna. Seni postmodern dan juga pemikiran postmodern menawarkan refleksifitas dan kesadaran diri, fragmentasi dan diskontinuitas (terutama dalam struktur cerita), ambiguitas, simultansi dan penekanan pada subyek yang distruktur ulang.
Hal tersebut diperkuat oleh Beauvoir mengenai ke-Liyanan bahwa bagi feminism postmodern memungkinkan perempuan untuk mengambil jarak dan mengkritisi norma, nilai dan praktik-praktik yang dipaksakan oleh kebudayaan dominan (patriarki) terhadap semua orang khusunya pada perempuan di dalam lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, ke-Liyanan merupakan cara ber-Ada, cara berpikir dan cara bertutur yang memungkinkan adanya keterbukaan, pluralitas, keragaman dan perbedaan.
Contoh kasus (Azhar, 2012):
Lady Gaga atau "Mother Monster" merupakan penyanyi pop terkenal yang berasal dari Amerika Serikat yang disebut-sebut sebagai ratu pop dunia yang memiliki gaya tersendiri dalam menunjukkan identitasnya sebagai seorang musisi. Gaga yang awalnya merupakan penulis lagu untuk label rekamannya kini Gaga menjadi salah satu artis yang dikontrak oleh Kon Live Distribution yang merupakan Label rekaman yang besar di Amerika Serikat.
Dari sejumlah selebritis Hollywood, Gaga memiliki ciri khas tersendiri dalam berpakaian, berdandan, berperilaku dan sejumlah lagu-lagunya yang dianggap oleh sejumlah orang melecehkan ajaran agama tertentu. Tidak hanya itu saja Gaga pun disebut-sebut sebagai seorang transgender dan merupakan seorang pecinta sesama jenis (gay). Hal tersebut terjadi karena sejumlah penggemar Gaga yang biasa disebut little monster sebagian besar merupakan seorang gay sehingga Gaga menjadi icon bagi seluruh gay yang berada di dunia.
Sikap kontroversial Gaga seperti saat berpakaian dengan baju daging hewan yang telah mati dalam menghadiri penghargaan bergengsi di Hollywood dan saat Gaga menggunakan baju dari gelembung sabun saat sedang bernyanyi di atas panggung. Dari penampilan Gaga tersebut dapat dilihat bahwa Gaga memiliki selera sendiri dalam berpakaian dan dapat dinilai memiliki selera yang aneh. Di sejumlah video clip Gaga pun selalu "menyajikan" tubuh dengan balutan kain yang sangat minim dan menampilkan tatanan rambut yang disebut "nyentrik" serta tidak lupa tarian yang dianggap sangat seronok. Gaga pun disebut sebagai pemuja setan karena mandi menggunakan darah segar dalam bath up dan seperti saat Gaga tidur di dalam peti mati sebelum menerima penghargaan. Hal-hal tersebut merupakan bagian dari ritual yang dijalankan oleh Gaga sebagai seorang pemuja setan.
Dengan sikap kontroversialnya Gaga menjadi idola baru bagi kaum muda di berbagai negara hal tersebut didukung dengan prestasi Gaga dalam bidang tarik suara yang terbukti dari tingkat penjualan album yang tinggi di tingkat dunia dan sejumlah tour dunia berhasil menyedot perhatian masyarakat dunia. Tidak hanya itu lagu-lagu milik Gaga mampu menduduki nomor satu di tangga lagu Billboard Dance dan mencapai posisi sepuluh besar di seluruh dunia. Sehingga tidak salah jika Gaga menjadi selebritas yang berpengaruh di dunia khususnya dalam genre music pop. Walaupun demikian sejumlah kritik keras datang dari sejumlah masyarakat yang menilai penampilan dan lagu-lagu milik Gaga dapat merusak generasi muda sehingga sejumlah konser dan lagu milik Gaga diboikot oleh pemerintah.
Dari kasus diatas dapat kita analisis dengan menggunakan pendekatan Feminism Postmodern bahwa perilaku yang ditunjukkan oleh Gaga berupaya melawan dan menentang sejumlah konstruksi-konstruksi sosial yang dibangun oleh masyarakat bahwa wanita seharusnya berpakaian dengan anggun dan cantik. Dapat kita lihat dalam sejumlah acara penghargaan di luar negeri sejumlah selebritis berdandan secantik mungkin dan menggunakan gaun terbaiknya sesuai dengan trend yang ada dengan tujuan untuk memperoleh perhatian dari wartawan. Banyak sejumlah artis yang dinilai sebagai artis berpenampilan buruk karena tidak sesuai dengan dress code atau disebut sebagai salah kostum maupun tidak mengikuti trend yang sedang berkembang saat ini. Namun bagi Gaga hal tersebut justru sebagai upaya untuk melawan norma maupun nilai yang berkembang di masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bahwa Gaga ingin terlihat berbeda dengan orang lain dan melawan peraturan-peraturan yang ada tentang gaya berbusana maupun dalam berdandan. Gaga seakan ingin menjadi seorang manusia bebas tanpa ada aturan yang mengekang dalam berperilaku dan berpenampilan.
Ekofeminisme
Kajian feminisme dan gender mencakup aspek yang sangat luas mengenai ketimpangan gender dan gerakan feminisme dalam berbagai bidang. Salah satu bidang feminisme adalah lingkungan hidup di mana salah satu pemikirnya adalah Vandana Shiva dari India yang sering disebut dengan kajian ekofeminsime. Ekofeminisme ini menghubungkan antara feminisme dan ekologi yang berarti didalamnya tercakup aspek Politik, Demokrasi, Gerakan Sosial, Lingkungan Hidup, Ketimpangan Gender dan tentunya Hak Asasi Manusia.
Vandana Shiva dalam bukunya yang berjudul Staying Alive: Women, Ecology, and Development menyatakan bahwa berdasarkan pengalamannya di India di mana Pembangunan Ekses (Ekses=besar-besaran) dari globalisasi membuat perempuan india tereksklusi dari alam sebagai sumber pendapatan perempuan di india. Lebih lanjut, Shiva mengatakan dalam pembangunan di india hanya melibatkan laki-laki dan serta merta menghancurkan alam yang menjadi sumber pendapatan perempuan, hal ini membuat negara dan pasar memperlakukan perempuan secara tidak adil dengan cara memiskinkan perempuan. Hal ini tidak hanya terjadi di India, Di Indonesia Revolusi Agraria membuat banyak perempuan pekerja di bidang pertanian kehilangan pekerjaannya (dalam Halim, 2012)
Dalam rangka usaha memberikan kesetaraan gender para aktivis dalam kerangka gerakan sosial mereka memiliki berbagai macam strategi. Menurut Vandana Shiva dalam rangka kesetaraan gender dengan memperjuangkan lingkungan adalah dengan cara pengetahuan. Menurutnya, kekuatan yang paling besar adalah pengetahuan, maka dari itu, ia aktif menuliskan pemikirannya dalam rangka perjuangan ekofeminsime ini. Selain itu terdapat juga melalui gerakan-gerakan sosial seperti gerakan memeluk pohon yang terinspirasi gerakan mahatma Gandhi. (dalam Halim, 2012).
Di indonesia gerakan ekofeminisme pun telah berkembang. salah satu tokoh ekofeminisme adalah Aleta Baun dari NTT. Salah satu gerakan yang dilakukan dalam ranah ekofeminisme adalah dengan cara melakukan protes dengan menunjukan dada mereka. Hal ini menurutnya untuk menunjukan bahwa alam ini merupakan "ibu" dimana diharuskan manusia berbakti padanya karena alamlah yang memberi manusia kehidupan. Dalam perkembangannya gerakan ini tidak hanya memobilasasi massa untuk melakukan gerakan ini, namun lebih lanjut melakukan edukasi keterkaitan antara alam dan ketimpangan gender. Sehingga dalam perjuangan ideologi ekofeminsime dapat dikatakan memperjuangkan nilai nyata yang tidak bisa ditolak oleh masyarakat dan usaha dalam ranah demokrasi pun sangat terasa. Yakni tidak hanya sekadar mengharapkan adanya perempuan dalam lembaga legislatif tapi lebih dari itu dapat memperjuangkan alam yang erat kaitannya dengan perempuan. Hal ini senada dengan pendapat Susan Grifin (dalam Arivia, 2003:146), di mana perempuan dianggap mempunyai kemampuan terhadap pelestarian alam karena pada dasarnya perempuan mencintai kelangsungan hidup dan bukannya kematian. Perempuanlah yang melahirkan anak, maka ia mengenal betul arti kehidupan.
Feminisme Lesbianisme
Esensi dari lesbianisme adalah politik, karena ideologi ini mengkritisi supremasi laki-laki melalui lembaga dan ideologi yang heteroseksual. Charlotte Bunch menyajikan perbedaan yang jelas antara lesbian dan perempuan murni, lesbianisme menekankan keterikatan perempuan terhadap perempuan, sementara heteroseksual menekankan keterikatan perempuan terhadap laki-laki (dalam Arivia, 2003).
Dalam heteroseksual, laki-laki menikmati hak-hak istimewa yang lebih tinggi. Sebaliknya perempuan dianggap sebagai suatu bentuk properti laki-laki. Tubuhnya, pelayanannya, dan anak-anaknya menjadi milik laki-laki. Kenyataan ini memicu sejumlah perempuan untuk mendobrak sistem patriarkhi - konvensional dan mengembangkan suatu gaya hidup baru dengan karakter yang sarat budaya feminin, yaitu lesbianisme yang kontroversial.
Freedman dkk (dalam Apriani, 2013) mengatakan bahwa lesbianisme lebih terbentuk oleh keterkaitan ideologi dan politik, seperti halnya praktek seksual. Dalam pengertian ini, lesbianisme bukan hanya terbatas pada aktivitas seksual saja, melainkan juga mungkin meliputi konsep sosiopolitik dari suatu komunitas.
Daly dalam Apriani (2013) mengatakan bahwa dominasi laki-laki terhadap perempuan terentang dalam sepanjang abad dan segala budaya. Sistem patriarkhi melembagakan penindasan perempuan termasuk kekerasan seksual atau "sado-ritual", seperti budaya pengikatan kaki (agar memiliki bentuk tertentu), mutilasi genital perempuan, suttee di India, pembakaran tukang sihir perempuan dan ginekologi.
Contoh Kasus (INSIST, 2012):
Pada 1972, Charlotte Bunch menulis artikel "Lesbians in Revolt" diharian feminis The Furies, yang terbit di Washington DC. Artikel itu kemudian dibukukan oleh Diana Press pada tahun 1975 dengan tema: Lesbianism and the Women's Movement. Menurut Charlotte Bunch, lesbianisme lebih dari sekedar pilihan dari sebuah orientasi seksual. Ia adalah ekspresi melawan ketidakadilan gender.
Bagi gerakan feminisme, lesbian mempunyai arti politis, yaitu:
Sebagai landasan untuk membebaskan perempuan (liberation of women);
Wujud pemberontakan terhadap otoritas laki-laki yang selalu mengatur perempuan bagaimana seharusnya berperangai, merasakan, melihat dan hidup di dunianya;
Wujud kecintaan perempuan terhadap dirinya sendiri, karena dalam budaya Barat khususnya, mereka sering dinomorduakan. Selanjutnya,
Lesbianisme juga merupakan simbol penolakan dominasi seksual dan politik laki-laki. Dengan lesbianisme, perempuan menantang dunia laki-laki, organisasi sosialnya, ideologinya dan anggapannya tentang perempuan sebagai makhluk lemah. Tindak lesbian bukan sebatas pilihan seksual, tetapi merupakan pilihan politik. Sebab hubungan laki-laki dan perempuan pada intinya adalah hubungan politis yang melibatkan kekuasaan dan dominasi.
Lesbianisme mengutamakan perempuan di saat dunia menyatakan supremasi laki-laki.
Sebagai usaha untuk menghancurkan sistem yang seksis, rasis, kapitalis dan imperialis
Menurut kaum feminis-lesbian, imperialisme yang hakiki adalah penindasan laki-laki terhadap perempuan; laki-laki mengklaim tubuh dan pelayanan perempuan sebagai propertinya. Di samping itu, lesbianisme dimaknai sebagai bukti solidaritas perempuan untuk sesamanya, baik dalam hal perasaan, fisik, politik maupun ekonomi. Lesbianisme bukan saja sebagai jalan alternatif terhadap penindasan yang terjadi dalam relasi laki-laki dan perempuan, tetapi lebih karena ungkapan kecintaan terhadap sesama perempuan. Jika perempuan menolak lesbianisme, berarti mereka menerima statusnya sebagai kelas dua.
Masih menurut feminis-lesbian masalah homoseksualitas bukanlah masalah privat, tapi masalah politik penindasan, dominasi dan kekuasaan. Oleh karena itu, lesbianisme sebagai sikap yang menolak heteroseksual adalah solusi untuk mengakhiri penindasan dengan cara merebut kekuasaan. Sebab laki-laki sebagai penguasa yang bergantung pada subordinasi perempuan tidak akan menghentikan aksi penindasannyasecara suka rela. Laki-laki akan terus bergantung kepada kepasrahan perempuan untukmenjadi superior. Menolak untuk pasrah kepada laki-laki akan memaksa mereka berfikir ulang tentang perilaku seksisnya.
Lebih lanjut, kata kaum feminis-lesbian, lesbian dipandang sebagai ancaman mendasar bagi supremasi laki-laki, baik dari sisi ideologi, politik, individu maupun ekonominya. Lesbian mengancam ideologi supremasi laki-laki dengan cara menghancurkan mitos di kalangan masyarakat, bahwa perempuan adalah inferior, lemah, pasif dan selalu bergantung pada laki-laki. Bahkan secara literal, lesbian tidak membutuhkan laki-laki, sekalipun untuk mendapatkan keturunan, jika sains kloning telah berkembang.
Demikianlah ideologi lesbianisme yang merebak di Amerika Serikat pada era 1970an dan berkaitan langsung dengan semangat kesetaraan gender. Bahkan baru-baru ini Presiden Obama mengakui hak melakukan pernikahan sesama jenis. Dalam wawancaranya dengan reporter ABC, Robin Roberts, ia berkata: "I've just concluded that for me personally it is important for me to go ahead and affirm that I think same Seks couples should be able to get married".
DAFTAR PUSTAKA
Apriani, Fajar. 2013. Berbagai Pandangan Mengenai Gender dan Feminisme.
http://portal.fisip-unmul.ac.id/site/wp content/uploads/2013/06/GENDER_FEMINISME%20(06-10-13-07-50-50).pdf. Diakses 11 September 2014.
Arivia, Gadis. 2003. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Azhar, Annisa. 2012. Lady Gaga dalam Bingkai Feminisme Postmodern. http://azharharr.blogspot.com/2012/10/lady-gaga-dalam-bingkai-feminism.html. Diakses 11 September 2014.
Deane-Drummond, Celia. 2006. Teologi dan Ekologi cetakan ketiga. Diterjemahkan oleh Robert P. Borrong. Jakarta: Gunung Mulia.
Dewi, Nyoman Yatmi Pravita. 2009. Citra Perempuan Tokoh Utama Die Kleine sebagai Subordinat dalam Novel RELAX karya Alexa Hennig Von Lange. http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/123199-RB11N435c-Citra%20perempuan-Literatur.pdf. Diakses 11 September 2014.
Faizain, Khoirul. 2012. Mengintip Feminisme dan Gerakan Perempuan. http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/egalita/article/download/1951/pdf. Diakses 11 September 2014.
Halim, M. Thomi. 2012. Ekofeminisme: Aktualisasi Perjuangan Perempuan dalam Ranah Demokrasi. https://www.academia.edu/3694251/Ekofeminisme_Aktualisasi_Perjuangan_Perempuan_dalam_Ranah_Demokrasi. Diakses 11 September 2014.
Hubeis, Aida.2010.Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. Bogor: IPB Press.
INSIST. 2012. Lesbianisme dan Kesetaraan Gender. http://insistnet.com/lesbianisme-dan-kesetaraan-gender/. Diakses 11 September 2014.
Nope, Marselina C.Y., Jerat Kapitalisme atas Perempuan, Cetakan Pertama, Resist Book, Yogyakarta, 2005.
Shalahuddin, Henri. 2012. Lamunan Feminis dan Problem "Pemberdayaan Wanita". http://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2012/01/02/2226/lamunan-feminis-dan-problem-pemberdayaan-wanita.html#.VBcWFvl_uZE. Diakses 11 September 2014.
Simon, Riyadi. 2012. Konsep Seks dan Gender. https://www.academia.edu/7324971/KONSEP_SEKS_DAN_GENDER. Diakses 11 September 2014.
Suharto, Edi (2006), "Teori Feminis dan Social Work", makalah yang disampaikan pada Workshop on Feminist Theory and Social Work, Pusat Studi Wanita, Universitas Islam Negeri (UIN), Sunan Kalijaga, Yogyakarta 13 April 2006.
Thornham, S. 2006. ―Feminism and Film dalam The Routledge Companion to Feminism and Postfeminism. Editor Sarah Gamble. London and New York: Routedge.
Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Thought, Pengantar paling Komprehensif Kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra.
Wardani, Eka Harisma. 2009. Belenggu-Belenggu Patriarki: Sebuah Pemikiran Feminisme Psikoanalisis Toni Morrison dalam The Bluest Eye. http://core.kmi.open.ac.uk/download/pdf/11717425.pdf. Diakses 11 September 2014.