MAKALAH GENDER DALAM KEPERAWATAN ANAK
Di bimbing oleh: ibu inayatur rosyidah,S.kep. Ns,M.kep Di susun oleh
: kelompok 20 1. Sriwati (1632100 (163210076) 76) 2. Ida suryani ningsih (163210059)
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN Semester 4-B SEKOLAH TINGGI INSAN CENDEKIA MEDIKA JOMBANG TAHUN PELAJARAN 2018/2019
KATA PENGANTAR Puji syukur syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaik an an Makalah “GENDER DALAM KEPERAWATAN ANAK” Dalam penyusunan makalah ini kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini . Adapun ucapan terima kasih kami tunjukkan kepada pihak-pihak sebagai berikut : 1.
Bapak H.Imam Fathoni S.Km.,M,M Selaku Ketua STIKES Insan Cendekia Medika Jombang yang telah memberi izin dan fasilitas sehingga Makalah ini dengan baik .
2.
Ibu Endang Y,S.Kep.,Ns.,M.Kes Selaku Pembimbing akademik kelas 4B S1 Keperawatan yang telah memberikan bimbingan berupa moral maupun moril.
3.
Ibu inayatur rosyidah S.kep,Ns,M.kep selaku dosen mata kuliah Komplementer yang telah memberi inspirasi dan membimbing dalam pembuatan makalah ini
4.
Orang Tua kami yang senantiasa mendukung dan mendoakan kami.
5.
Pihak-pihak yang tidak bisa disebut satu persatu.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, baik dari segi penyusunan, pembahasan ataupun penulisannya. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran kepada pembaca yang sifatnya membangun. Sehingga Sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
Jombang, 25 february
Penulis
Daftar isi
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG
Sejak dua dasawarsa terakhir, diskursus gender sudah mulai ramai dibicarakan orang. Berbagai peristiwa seputar dunia perempuan di berbagai penjuru dunia ini juga telah mendorong semakin berkembangnya perdebatan panjang tentang pemikiran gerakan feminisme yang berlandaskan pada analisis “hubungan gender ”. Berbagai kajian tentang perempuan digelar, di kampus-kampus, dalam berbagai seminar, tulisan-tulisan di media massa, diskusi-diskusi, berbagai penelitian dan sebagainya, yang hampir semuanya mempersoalkan tentang diskriminasi dan ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan. Pusat-pusat studi wanita pun menjamur di berbagai universitas yang kesemuanya muncul karena dorongan kebutuhan akan konsep baru untuk memahami kondisi dan kedudukan perempuan dengan menggunakan perspektif yang baru.Dimasukkannya konsep gender ke dalam studi wanita tersebut, menurut Sita van Bemmelen paling tidak memiliki dua alasan. Pertama, ketidakpuasan dengan gagasan statis tentang jenis kelamin. Perbedaan antara pria dan wanita hanya menunjuk pada sosok biologisnya dan karenanya tidak memadai untuk melukiskan keragaman arti pria dan wanita dalam pelabagi kebudayaan. Kedua, gender menyiratkan bahwa kategori pria dan wanita merupakan konstruksi sosial yang membentuk pria dan wanita.(dalam Ibrahim dan Suranto,1998: xxvi) Namun ironisnya,di tengah gegap gempitanya upaya kaum feminis memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender itu, masih banyak pandangan sinis, cibiran dan perlawanan yang datang tidak hanya dari kaum laki-laki, tetapi juga dari kaum perempuan sendiri. Masalah tersebut mungkin muncul dari ketakutan kaum laki-laki yang merasa terancam oleh kebangkitan perempuan atau mungkin juga muncul dari ketidaktahuan mereka,kaum laki-laki dan
perempuan
akan
istilah gender itu
sendiri
dana
pahakekat
dari
perjuangan gender tersebut. Bertolak dari fenomena tersebut maka konsep penting yang harus dipahami terlebih dahulu sebelum membicarakan masalah perempuan ini adalah perbedaan antara konsep seks (jenis kelamin) dengan konsep gender . Pemahaman yang mendalam atas kedua konsep tersebut sangatlah penting karena kesamaan pengertian (mutual understanding ) atas kedua kata kunci dalam pembahasan bab ini akan menghindarkan kita dari kemungkinan pemahaman pemahaman yang keliru dan tumpang tindih antara masalah-masalah perempuan yang muncul karena perbedaan akibat seks dan masalah-masalah perempuan yang muncul akibat hubungan gender ,
disamping
itu
juga
untuk
memudahkan
pemahaman
atas
konsep gender yang merupakan kata dan konsep asing ke dalam konteks Indonesia. Menurut
Bem
(1981), gender merupakan
karakteristik
kepribadian,
seseorang
yang
dipengaruhi oleh peran gender yang dimilikinya dan dikelompokkan menjadi 4 klasifikasi
yaitu maskulin, feminim, androgini dan tak terbedakan. Konsep Gender dan peran gender merupakan dua konsep yang berbeda, gender merupakan istilah biologis, orang-orang dilihat sebagain pria atau wanita tergantung dari organ-organ dan gen-gen jenid kelamin mereka.Sebaliknya menurut Basow (1992), peran gender merupakan istilah psikologis dan kultural, diartikan sebagai perasaan subjektif seseorang mengenai ke-pria-an (maleness) atau kewanitaan ( femaleness). Sementara peran gender sendiri sebagai sebuah karakteristik memiliki
determinan
lingkungan
yang
kuat
dan
berkait
dengan
dimensi
maskulin versus feminim (Stewart & Lykes, dalam Saks dan Krupat, 1998). Ketika berbicara mengenai gender, beberapa konsep berikut ini terlibat di dalamnya: 1. Gender role (peran gender), merupakan definisi atau preskripsi yang berakar pada kultur terhadapa tingkah laku pri dan wanita. 2. Gender identity (identitas gender), yaitu bagaimana seseorang mempersepsikan dirinya sendiri dengan memperhatikan jenis kelamin dan peran gender. 3. Serta sex role ideology (ideologi peran-jenis kelamin), termasuk di antaranya stereotipestereotipe gender, sikap pemerintah dalam kaitan antara kedua jenis kelamin dan statusstatus relatifnya (Segall, Dosen, Berry, & Poortiga, 1990). Kepentingan di dalam membedakan antara jenis kelamin dan gender berangkat dari pentingnya untuk membedakan antara aspek-aspek biologis dengan aspek-aspek sosial di dalam menjadi pria atau wanita. Bahkan yang paling seringg terjadi adalah bahwa orang-orang mengasumsikan kalau perbedaan kepribadian dan sikap yang tampak antara pria dan wanita sangat berkaitan dengan perbedaan jenis kelamin (Basow, 1992). Jika menyamakan antara gender dapat mengarahkan keyakinan bahwa perbedaan trait-trait dan tingkah laku antara pria dan wanita mengarah langsung kepada perbedaan secara biologis. Sementara jika kita membedakan konsep gender dan gender akan membantu kita untuk menganalisis keterkaitan yang kompleks antara gender dan peran gender secara umum. Ini yang membuat sangat penting untuk membedakan antara gender dengan peran gender
1.2 TUJUAN
Setelah membaca materi ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan mampu mengetahui tentang perspektif gender. Di samping itu mahasiswa mengetahui tentang pengertian seks dan gender, gender dan stratifikasi, gender dan sosialisasi, gender dan pekerjaan, gender dan pendidikan.Selain itu, penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Asuhan Kebidanan tentang ”Perspektif Gender”
BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 PENGERTIAN 1.
Sex (Jenis Kelamin Biologis)
Konsep seks atau jenis kelamin mengacu pada perbedaan biologis antara perempuan dan lakilaki, pada perbedaan tubuh antara laki-laki dan perempuan. Sebagaimana dikemukakan oleh Moore dan Sinclair (1995:117) “ Sex reffers to biological deferencer between man and woman, the result of differences in the chromosomes of the embryo”. Definisi konsep seks tersebut menekankan pada perbedaan yang disebabkan perbedaan kromosom pada janin. Sebagaimana dikemikakan oleh Keshtan 1995, jenis kelamin bersifat biologis dan dibawa sejak lahir sehingga tidak dapat di ubah. Sebagai contoh: hanya perempuan yang dapat hamil dan hanya laki-laki yang menjadikan perempuan hamil. Seks adalah karakteristik biologis seseorang yang melekat sejak lahir dan tidak bisa diubah kecuali dengan operasi. Alat-alat tersebut menjadi dasar seseorang dikenali jenis kelaminnya sebagain perempuan atau laki-laki. Pengertian seks atau jenis kelamin secara biologis merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis, bersifat permanen (tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan), dibawa sejak lahir dan merupakan pemberian Tuhan; sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan. Melalui penentuan jenis kelamin secara biologis ini maka dikatakan bahwa seseorang akan disebut berjenis kelamin laki-laki jika ia memiliki penis, jakun, kumis, janggut, dan memproduksi sperma . Sementara seseorang disebut berjenis kelamin perempuan jika ia mempunyai vagina dan rahim sebagai alat reproduksi, memiliki alat untuk menyusui (payudara) dan mengalami kehamilan dan proses melahirkan. Ciri-ciri secara biologis ini sama di semua tempat, di semua budaya dari waktu ke waktu dan tidak dapat dipertukarkan satu sama lain. 2.
Gender (Jenis Kelamin Sosial)
Menuruut Giddens (1989:158) konsep gende r menyangkut tentang “ Psycological, social and cultural differences between males and females “, yaitu perbedaan psikologis, sosial dan budaya antara laki-laki dan perempuan. Macionis (1996:240) mendefinisikan gender sebagai “ the significance a society attaches to biological cathegories of female and male”, yaitu arti penting yang diberikan masyarakat pada kategori biologis laki-laki dan perempuan.
Laswell and Laswell (1987:51) menafsirkan gender sebagai “ The knowledge and awareness, whether concious pr unconcious, that one belong to one sex and not to the other”, yaitu pada pengetahuan dan kesadaran, baik secara sadar ataupun tidak bahwa seseorang tergolong dalam suatu jenis kelamin tertentu dan bukan dalam jenis kelamin lain. Gender sering diidentikkan dengan jenis kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan jenis kelamin. Gender sering juga dipahami sebagai pemberian dari Tuhan atau kodrat Ilahi, padahal gender tidak semata-mata demikian. Secara etimologis kata ‘gender’ berasal dari bahasa Inggris yang berarti ‘jenis kelamin’ (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983: 265). Kata ‘gender’ bisa diartikan sebagai ‘perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dalam hal nilai dan perilaku (Victoria Neufeldt (ed.), 1984: 561). Secara terminologis, ‘gender’ bisa didefinisikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (Hilary M. Lips, 1993: 4). Definisi lain tentang gender dikemukakan oleh Elaine Showalter. Menurutnya, ‘gender’ adalah pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya (Elaine Showalter (ed.), 1989: 3). Gender bisa juga dijadikan sebagai konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu (Nasaruddin Umar, 1999: 34). Lebih tegas lagi disebutkan dalam Women’s Studies Encyclopedia bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Siti Musdah Mulia, 2004: 4). Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas, dan emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya. Gender berbeda dengan sex, meskipun secara etimologis artinya sama sama dengan sex, yaitu jenis kelamin (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983: 517). Secara umum sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis, sedang gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, dan aspekaspek nonbiologis lainnya. Kalau studi sex lebih menekankan kepada perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka studi gender lebih menekankan kepada perkembangan aspek maskulinitas dan femininitas seseorang. Sejarah perbedaan gender antara seorang pria dengan seorang wanita terjadi melalui proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh beberapa sebab, seperti kondisi sosial budaya, kondisi keagamaan, dan kondisi kenegaraan. Dengan proses yang panjang ini, perbedaan gender akhirnya sering dianggap menjadi ketentuan Tuhan yang bersifat kodrati atau seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi. Inilah
sebenarnya yang menyebabkan awal terjadinya ketidakadilan gender di tengah-tengah masyarakat. Gender memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang dan dapat menentukan pengalaman hidup yang akan ditempuhnya. Gender dapat menentukan akses seseorang terhadap pendidikan, dunia kerja, dan sektor-sektor publik lainnya. Gender juga dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak seseorang. Jela snya, gender akan menentukan seksualitas, hubungan, dan kemampuan seseorang untuk membuat keputusan dan bertindak secara otonom. Akhirnya, genderlah yang banyak menentukan seseroang akan menjadi apa nantinya. 3.
Teori-teori Gender
Secara khusus tidak ditemukan suatu teori yang membicarakan masalah gender. Teori-teori yang digunakan untuk melihat permasalahan gender ini diadopsi dari teori-teori yang dikembangkan oleh para ahli dalam bidang-bidang yang terkait dengan permasalahan gender, terutama bidang sosial kemasyarakatan dan kejiwaan. Karena itu teori-teori yang digunakan untuk mendekati masalah gender ini banyak diambil dari teori-teori sosiologi dan psikologi. Cukup banyak teori yang dikembangkan oleh para ahli, terutama kaum feminis, untuk memperbincangkan masalah gender, tetapi dalam kesempatan ini akan dikemukakan beberapa saja yang dianggap penting dan cukup populer.
teori struktural fungsional
Teori atau pendekatan struktural-fungsional merupakan teori sosiologi yang diterapkan dalam melihat institusi keluarga. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas beberapa bagian yang saling memengaruhi. Teori ini mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam suatu masyarakat, mengidentifikasi fungsi setiap unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi unsur-unsur tersebut dalam masyarakat. Banyak sosiolog yang mengembangkan teori ini dalam kehidupan keluarga pada abad ke-20, di antaranya adalah William F. Ogburn dan Talcott Parsons (Ratna Megawangi, 1999: 56). Struktur dan fungsi dalam sebuah organisasi ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh budaya, norma, dan nilai-nilai yang melandasi sistem masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 56).
Teori sosial dan konflik Menurut Lockwood, suasana konflik akan selalu mewarnai masyarakat, terutama dalam hal distribusi sumber daya yang terbatas. Sifat pementingan diri, me nurutnya, akan menyebabkan diferensiasi kekuasaan yang ada menimbulkan sekelompok orang menindas kelompok lainnya. Perbedaan kepentingan dan pertentangan antar i ndividu
pada akhirnya dapat menimbulkan konflik dalam suatu organisasi atau masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 76). Dalam masalah gender, teori sosial-konflik terkadang diidentikkan dengan teori Marx, karena begitu kuatnya pengaruh Marx di dalamnya. Marx yang kemudian dilengkapi oleh F. Engels, me ngemukakan suatu gagasan menarik bahwa perbedaan dan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan tidak disebabkan oleh perbedaan biologis, tetapi merupakan bagian dari penindasan kelas yang berkuasa dalam relasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga. Hubungan laki-lakiperempuan (suami-isteri) tidak ubahnya dengan hubungan ploretar dan borjuis, hamba dan tuan, atau pemeras dan yang diperas. Dengan kata lain, ketimpangan peran gender dalam masyarakat bukan karena kodrat dari Tuhan, tetapi karena konstruksi masyarakat.
Teori fiminisme liberal Teori ini berasumsi bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Karena itu perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan lakilaki. Meskipun demikian, kelompok feminis liberal menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal masih tetap ada pembedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun juga, fungsi organ reproduksi bagi perempuan membawa konsekuensi logis dal am kehidupan bermasyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 228).
Teori feminisme marxis sosialis Feminisme ini bertujuan mengadakan restrukturisasi masyarakat agar tercapai kesetaraan gender. Ketimpangan gender disebabkan oleh sistem kapitalisme yang menimbulkan kelas-kelas dan division of labour, termasuk di dalam keluarga. Gerakan kelompok ini mengadopsi teori praxis Marxisme, yaitu teori penyadaran pada kelompok tertindas, agar kaum perempuan sadar bahwa mereka merupakan ‘kelas’ yang tidak diuntungkan. Proses penyadaran ini adalah usaha untuk membangkitkan rasa emosi para perempuan agar bangkit untuk merubah keadaan (Ratna Megawangi, 1999: 225).
Teori psikoanalisa
Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Sigmund Freud (1856-1939). Teori ini mengungkapkan bahwa perilaku dan kepribadian laki-laki dan perempuan sejak awal ditentukan oleh perkembangan seksualitas. Freud menjelaskan kepribadian seseorang tersusun di atas tiga struktur, yaitu id, ego, dan superego. Tingkah laku seseorang menurut Freud ditentukan oleh interaksi ketiga struktur itu. Id sebagai pembawaan sifat-sifat fisik biologis sejak lahir. Id bagaikan sumber energi yang memberikan kekuatan terhadap kedua sumber lainnya. Ego bekerja dalam lingkup rasional dan berupaya menjinakkan keinginan agresif dari id. Ego berusaha mengatur hubungan antara keinginan subjektif individual dan tuntutan objektif realitas sosial.
Superego berfungsi sebagai aspek moral dalam kepribadian dan selalu mengingatkan ego agar senantiasa menjalankan fungsinya mengontrol id (Nasaruddin Umar, 1999:46). Itulah beberapa teori-teori gender yang dapat digunakan untuk memahami berbagai persoalan gender dalam kehidupan kita. Tentu saja masih banyak lagi teori Gender bukanlah kodrat atau ketentuan dari sang pencipta. Misalnya keyakinan bahwa lakilaki itu kuat, kasar dan rasional, sedangkan perempuan lemah, lembut dan emosional, bukanlah ketentuan kodrat sang pencipta, melainkan hasil sosialisasi melalui sejarah yang panjang. 2.2 GENDER DAN SOSIALISASI 1.Pengertian Sosialisasi
Kuatnya citra gender sebagai kodrat, yang melekat pada benak masyarakat, bukanlah merupakan akibat dari suatu proses sesaat melainkan telah melalui suatu proses dialektika, konstruksi sosial, yang dibentuk, diperkuat, disosialisasikan secara evolusional dalam jangka waktu yang lama, baik melalui ajaran-ajaran agama, negara, keluarga maupun budaya masyarakat, sehingga perlahan-lahan citra tersebut mempengaruhi masing-masing jenis kelamin, laki-laki dan perempuan secara biologis dan psikologis. Melalui proses sosialisasi, seseorang akan terwarnai cara berpikir dan kebiasaan-kebiasaan hidupnya. Dengan proses sosialisasi, seseorang “diharapkan” menjadi tahu bagaimana ia mesti bertingkah laku di tengah-tengah masyarakat dan lingkungan budayanya, sehingga bisa menjadi manusia masyarakat dan “beradab”. Sosialisasi merupakan salah satu proses belajar kebudayaan dari anggota masyarakat dan hubungannya dengan sistem sosial. Sosialisasi menitikberatkan pada masalah individu dalam kelompok. Oleh karena itu proses sosialisasi melahirkan kedirian dan kepribadian seseorang. (Soelaeman, 1998:109) Kedirian sebagai suatu produk sosialisasi, merupakan kesadarn terhadap diri sendiri dan memandang adanya pribadi orang lain di luar dirinya. Adapun asal mula timbulnya kedirian antara lain karena: a) Dalam proses sosialisasi seseorang mendapat bayangan dirinya, yaitu setelah memperhatikan cara orang lain memandang dan memperlakukan dirinya. Misalnya, apakah dirinya dianggap baik, buruk, pintar, cantik dan sebagainya.
b) Dalam proses sosialisasi juga membentuk kedirian yang ideal. Orang yang bersangkutan mengetahui dengan pasti apa-apa yang harus dia lakukan agar memperoleh penghargaan dari orang lain. Proses sosisalisasi sebenarnya berawal dari dalam keluarga. Gambaran diri seseorang merupakan pantulan perhatian yang diberikan keluarga kepada dirinya. Persepsinya tentang diri, tentang dunia dan masyarakat sekelilingnya secara langsung dipengaruhi oleh tindakan dan keyakinan keluarganya. Sehingga nilai-nilai yang dimiliki oleh seorang individu dan berbagai peran yang diharapkan dilakukan olehnya, smeua berawal dari dalam lingkungan sendiri. Sosialisasi pada dasarnya menunjuk pada semua faktor dan proses yang membuat setiap manusia menjadi selaras dalam hidupnya di tengah-tengah orang lain. Sehingga meskipun proses sosialisasi yang dijalani setiap orang tidak selalu sama, namun secara umum sasaran sosialisasi itu sendiri hampir sama di berbagai tempat dan budaya, yaitu antara lain: a) Individu harus diberi ilmu pengetahuan (keterampilan) yang dibutuhkan bagi kehidupan kelak di masyarakat. b) Individu harus mampu berkomunikasi secara efektif dan mengembangkan kemampuannya. c) Pengendalian fungsi-fungsi organik yang dipelajari melalui latihan-latihan mawas diri yang tepat. d) Bertingkah laku selaras dengan norma atau tata nilai dan kepercayaan pokok yang ada pada lembaga atau kelompok khususnya dan masyarakat umumnya.
2.Sosialisasi Peran Gender
Sosialisasi yang jika kita cermati pengertiannya, yaitu merupakan sebuah proses yang membantu individu melalui belajar dan penyesuaian diri, bagaimana bertindak dan berpikir agar ia dapat berperan dan berfungsi baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. (Noor, 1997:102) telah juga dilakukan tidak hanya melalui lembaga keluarga dan lembaga adat, melainkan juga oleh lembaga negara dan lembaga pendidikan. Pranata sosial yang kita masuki sebagai individu, sejak kita memasuki keluarga pada saat lahir, melalui pendidikan, kultur pemuda, dan ke dalam dunia kerja dan kesenangan,
perkawinan dan kita mulai membentuk keluarga sendiri, memberi pesan yang jelas kepada kita bagaimana orang “normal” berperilaku sesuai dengan gendernya.(Mosse, 1996:63) Karena konstruksi sosial budaya gender , seorang laki-laki misalnya haruslah bersifat kuat, agresif, rasional, pintar, berani dan segala macam atribut kelelakian lain yang ditentukan oleh masyarakat tersebut, maka sejak seorang bayi laki-laki lahir, dia sudah langsung dibentuk untuk “menjadi’ seorang laki-laki, dan disesuaikan dengan atribut-atribut yang melekat pada dirinya itu. Demikian pula halnya dengan seorang perempuan yang karena dia lahir dengan jenis kelamin perempuan maka dia pun kemudian dibentuk untuk “menjadi” seorang perempuan sesuai dengan kriteria yang berlaku dalam suatu masyarakat dan budaya dimana dia lahir dan dibesarkan, misalnya bahwa karena dia dilahirkan sebagai seorang perempuan maka sudah menjadi “kodrat ” pula bagi dia untuk menjadi sosok yang cantik, anggun, irrasional, emosional dan sebagainya. Proses sosialisasi peran gender tersebut dilaksanakan melalui berbagai cara, dari mulai pembedaan pemilihan warna pakaian, accessories, permainan, perlakuan dan sebagainya yang kesemuanya diarahkan untuk mendukung dan memapankan proses pembentukan seseorang “menjadi” seorang laki-laki atau seorang perempuan sesuai dengan ketentuan sosial budaya setempat. Pembedaan identitas berdasarkan gender tersebut telah ada jauh sebelum seseorang itu lahir. Sehingga ketika pada akhirnya lingkungan yang menyambutnya dengan serangkaian tuntutan peran gender. Akibatnya jika terjadi penyimpangan terhadap peran gender yang sudah menjadi bagian dari landasan kultural masyarakat dimana dia hidup, maka masyarakat pun lantas menilai hal tersebut sebagai sesuatu yang negatif bahkan mungkin sebagai penentang terhadap budaya yang selama ini sudah mapan. Dan sampai sejauh ini yang sering menjadi korban adalah kaum perempuan. Penjajahan kultural yang demikian panjang dan membuat perempuan lebih banyak menjadi korban itu terus dilestarikan. Rasionalisasi kultural inilah yang pada gilirannya membuat perempuan
secara
psikologis
mengidap
sesuatu
yang
oleh
Collete
Dowling
disebut Cinderella Complex, suatu jaringan rasa takut yang begitu mencekam, sehingga kaum wanita merasa tidak berani dan tidak bisa memanfaatkan potensi otak dan daya kreativitasnya secara penuh. (Ibrahim dan Suranto, 1998:xxvi) Pemapanan citra bahwa seorang perempuan itu lebih cocok berperan sebagai seorang ibu dengan segala macam tugas domestiknya yang selalu dikatakan sebagai “urusan perempuan”, seperti membersihkan rumah, mengurus suami dan anak, memasak, berdandan dan sebagainya. Sementara citra laki-laki, disosialisasikan secara lebih positif, dimana dikatakan bahwa laki-laki karena kelebihan yang dimilikinya maka lebih sesuai jika dibebani dengan “urusan-urusan laki-laki” pula dan lebih sering berhubungan dengan sektor publik, seperti mencari nafkah, dengan profesi yang lebih bervariasi daripada perempuan. Kesemua itu
disosialisasikan sejak dari kelas satu Sekolah Dasar melalui buku-buku pelajaran di sekolah hingga Panca Dharma Wanita, yang menyatakan bahwa tugas utama seoarang perempuan adalah sebagai “pendamping” suami, dan itulah yang diyakini secara salah oleh sebagian orang sebagai “kodrat wanita.” 3.Agen Sosialisasi Gender
Keluarga Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Sosialisasi gender berawal dari keluarga, keluargalah yang mula-mula mengajarkan kepada anak laki-laki untuk menganut sifat maskulin dan seorang anak perempuan untuk menganut sifat feminin. Melalui pembelajaran gender (Gender learning) yaitu proses pembelajaran femininitas dan maskulinitas yang berlangsung sejak dini. Seseorang mempelajari peran gender (gender role) yang oleh masyarakat dianggap sesuai dengan jenis kelaminnya. Salah satu media yang digunakan orang tua untuk memperkuat identitas ge nder ialah mainan, yaitu dengan menggunakan mainan yang berbeda untuk tiap jenis kelamin. (sex differentiated toys atau gender-typed toys). Meskipun sewaktu masih bayi seorang anak diberi mainan berupa boneka, namun boneka yang diberikan kepada bayi laki-laki cenderung berbeda dengan boneka yang diberikan kepada bayi perempuan. Kalo bayi perempuan diberikan boneka yang menggambarkan wanita yang cantik, atau hewan yang halus seperti kelinci, tapi kalau bayi laki-laki diberi boneka yang menggambarkan seorang pria yang gagah seperti seekor hewan buas: macan atau beruang.
Kelompok Bermain Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Kelompok bermain merupakan agen sosialisasi gender yang telah sejak dini membentuk perilaku dan sikap kanak-kanak di bidang sosial gender. Kelompok bermain menjalankan peran yang cukup besar, dijumpai segregasi menurut jenis kelamin, yaitu: anak perempuan bermain dengan anak perempuan sedangkan anak laki-laki bermain dengan anak laki-laki merupakan suatu kebiasaan yang cenderung memperkuat identitas gender. Pola segregasi menurut jenis kelamin/ sex bermula pad usia pra sekolah ini cenderung bertahan di kala anakanak memasuki sekolah dan bahkan sering berlanjut sampai pendidikan tinggi. Sebagai agen sosial, kelompok bermainpun menetapkan kontrol sosial bagi anggota yang tidak mentaati peraturannya. Seorang anak laki-laki yang mamilih untuk bermain dengan kelompok perempuan cenderung di cap ”sissy” atau ’banci” dan menghadapi resiko dikucilkan. Hal serupa juga dihadapi oleh anak perempuan yang cenderung bermain dengan anak laki-laki di cap sebagai ’tomboy’.
Sekolah Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Sebagai agen sosialisasi gender sekolah menerapkan pembelajaran gender malalui media utamanya yaitu kurikulum formal. Dalam pelajaran prakarya, misalnya ada sekolah yang memisahkan siswa dengan siswi agar masing-masing dapat diberi pelajaran yang berbeda.
Siswi misalnya dapat diminta mempelajari hal-hal yang bersangkutan dengan ekonomi rumah tangga sedangkan siswa mwmpelajari hal yang berhubungan dengan tehnik pertukangan. Pembellajaran lain berlangsung melalui apa yang Moore and Sinclair (1995) dinamakan kurikulum terselubung (hidden curriculum) , para guru sering memperlakukan siswi secara berbeda dengan siswa. Perilaku yang ditolerir bila dilakukan siswa tetapi tidak dapat ditolerir bila dilakukan siswi.
Media masa sebagai agen sosialisasi gender
Sebagimana hlnya seperti buku kriteria untuk kanak-kanak dan remaj a serta buku pelajaran di sekolah, maka media masa pun sangat berperan dalam sosialisasi gender. Baik melaui pemberitaanyya, kisah fiksi yang dimuatnya, maupun melalui iklan yang dipasang di dalamnya. Media masa baik media cetak maupun elektronik, sering memuat iklan menunjang sterotip gender (Gender Sterotyped Advertising). Iklan yang mempromosikan berbagai produk keperluan rumah tangga seperti: sabun cuci, bumbu masak, minyak goreng, pembersih lantai, dsb cenderung menampilkan perempuan sebagi peran ibu rumah tangga, sedangkan iklan yang mempromosikan produk mewah yang merupakan simbol status kesuksesan dalam pekerjaan cenderung menampilkan laki-laki. Meskipun iklan yang menampilkan perempuan di ranah publik banyakn namun iklan yang diperankan perempuan cenderung posisi pekerjaan rendah dalam organisasi, seperti misalnya peran sebagai receptionist, pramugari, sekretaris atau kasir dan bukan pada jabatan berstatus tinggi seperti misalnya presiden direktur bank atau kapten penerbangan. 2.3 GENDER DAN STRATIFIKASI
Pembedaan laki-laki dan perempuan berlandaskan gender mungkin tidak akan mendatangkan masalah jika pembedaan itu tidak melahirkan ketidakadilan gender ( gender inequalities) baik bagi kaum laki-laki maupun bagi kaum perempuan. Meski ketidakadilan itu lebih banyak dirasakan oleh kaum perempuan, sehingga bermunculanlah gerakan-gerakan perjuangan gender. Ketidakadilan gender tersebut antara lain termanifestasi pada penempatan perempuan dalam stratifikasi sosial masyarakat, yang pada kelanjutannya telah menyebabkan kaum perempuan mengalami apa yang disebut dengan marginalisasi dan subordinasi. 1.Pengertian StratifikasI
Bila ditinjau dari asal katanya, istilah stratifikasi berasal dari kata stratus yang artinya lapisan (berlapis-lapis). Sehingga dengan istilah stratifikasi diperoleh gambaran bahwa dalam tiap kelompok
masyarakat
selalu
terdapat
perbedaan
kedudukan
seseorang
dari
yang
berkedudukan tinggi sampai yang berkedudukan rendah, berlapis-lapis dari atas ke bawah.
Pelapisan sosial dalam masyarakat tersebut terjadi karena adanya “sesuatu” yang dihargai dalam masyarakat tersebut. Misalnya, berupa pemilikian uang atau benda-benda ekonomis lainnya seperti mobil, rumah, benda-benda elektronik dan lain sebagainya. Pemilikan kekuasaan, ilmu pengetahuan, agama atau keturunan keluarga. Untuk selanjutnya masyarakat dinilai dan ditempatkan pada lapisan-lapisan tertentu berdasarkan tingkat kemampuannya dalam memiliki “sesuatu” yang dihargai tersebut. Disamping itu, pelapisan dalam masyarakat juga bisa bersifat tertutup, dimana didalamnya tidak memungkinkan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan lain, baik gerak pindahnya ke atas maupun ke bawah. Misalnya, penempatan seseorang dalam lapisan tertentu yang diperoleh berdasarkan kelahiran. Contoh paling banyak terdapat pada masyarakat dengan sistem kasta, masyarakat feodal dan masyarakat rasial. Sementara pada masyarakat dengan sistem pelapisan terbuka, setiap orang mempunyai kesempatan untuk naik ke lapisan yang lebih tinggi tetapi juga dimungkinkan untuk jatuh ke lapisan yang lebih rendah. Stratifikasi Perempuan Berlandaskan Perbedaan Gender
Jika kita mengaitkan masalah gender dengan stratifikasi maka mau tidak mau kita harus melihat kembali pada proses sosialisasi yang telah mengawali pemapanan pembedaan lakilaki dan perempuan berdasarkan hubungan gender. Selama ini telah disosialisasikan, ditanamkan sedemikian rupa, ke dalam benak, ke dalam pribadi-pribadi seseorang, laki-laki dan perempaun, bahwa karena “kodrat”-nya seorang laki-laki berhak dan sudah seharusnya untuk mendapat kebebasan, mendapat kesempatan yang lebih luas daripada perempuan. Tuntutan nilai-nilai yang ditentukan oleh masyarakat telah mengharuskan seorang laki-laki untuk lebih pintar, lebih kaya, lebih berkuasa daripada seorang perempuan. Akibatnya segala perhatian dan perlakuan yang diberikan kepada masing-masing dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan tersebut pun disesuaikan dan diarahkan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Kepada laki-laki diberikan prioritas dan kesempatan lebih luas untuk sekolah dan menuntut ilmu lebih tinggi daripada kesempatan yang diberikan kepada kaum perempuan. Kepada kaum laki-laki pula dibuka pintu selebar-lebarnya untuk bekerja di berbagai sektor publik dalam dunia pekerjaan yang dianggap maskulin, sementara perempuan lebih diarahkan untuk masuk ke sektor domestik dengan pekerjaan- pekerjaan yang selama ini memang dianggap sebagai “urusan” perempuan. Bertolak dari kondisi tersebut maka akses perempuan terhadap “sesuatu” yang dihargai dalam masyarakat, yang menjadi sumber kelahiran pelapisan dalam masyarakat pun menjadi sangat rendah. Sehingga kaum perempuan dengan segala keterbatasan yang sudah ditentukan oleh masyarakat untuknya terpaksa menempati lapisan yang lebih rendah di masyarakat daripada kaum laki-laki.
2.4 GENDER DAN PENDIDIKAN
Dalam berbagai masyarakat maupun dalam kalangan tertentu dalam masyarakat dapat kita jumpai nilai dan aturan agama ataupun adat kebiasaan yang tidak mendukung bahkan melarang keikutsertaan wanita dalam pendidikan formal. Ada nilai yang mengemukakan bahwa ” wanita tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya akan ke dapur juga”. Ada yang mengatakan bahwa wanita harus menempuh pendidikan yang dianggap oleh orang tuanya sesuai dengan kodrat wanita dan ada ya ng berpandangan bahwa ”seorang gadis sebaiknya menikah pada usia muda agar tidak menjadi perawan tua”. Atas dasar nilai dan aturan demikian yang ada masyarakat yang mengizinkan wanita bersekolah tapi hanya sampai pada jenjang tertentu atau dalam jenis pendidikan tertentu saja. Ada pula masyarakat yang sama sekali tidak membenarkan anak gadisnya untuk bersekolah. Sebagai akibat ketidaksamaaan kesempatan demikian maka dalam banyak masyarakat dijumpai ketimpangan dalam angka partisipasi dalam pendidikan formal. Prestasi akademik maupun motivasi belajar sering bukan
merupakan penghambat partisipasi wanita, karena siswi yang
berprestasi pun sering tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. 2.5 GENDER DAN PEKERJAAN
Apabila orang membahas pekerjaan yang dilakukan wanita maka yang dibayangkan mungkin hanyalah pekerjaan yang dijumpai di ranah publik: pekerjaan di tempat kerja formal seperti pabrik dan kantor, pekerjaan dalam perekonomian formal. Pada umumnya orang melupakan bahwa di rumahpun wanita sering melakukan berbagai kegiatan yang menghasilkan dana. Ada yang menawarkan berbagai jenis jasa, ada yang melakukan perdagangan eceran, memproduksi hasil pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan maupun produk lain yang dipasarkan. Moore and Sinclair (1995) mendefinisikan dua macam segregasi jenis kelamin dalam angkatan kerja yaitu segregasi vertikal dan segregasi horizontal. Segregasi vertikal mengacu pada terkonsentrasinya pekerjaan wanita pada jenjang rendah pada organisasi, seperti misalnya jabatan pramuniaga, sales promotion girl, pramusaji, tenaga kebersihan pramugari, pengasuh anak, sekretaris, kasir, dan sebagainya. Sedangkan segregasi horizontal mengacu pada kenyataan bahwa pekerjaan wanita sering terkonsentrasi pada jenis pekerjaan yang berbeda dengan jenis pekerjaan laki-laki, memberi kesan seakan-akna jenis pekerjaan tertentu relatif tertutup bagi kaum wanita seperti misalnya di bidang ilmu pengatahuan alam dan technologi. 2.6 GENDER DALAM KESEHATAN
Kesehatan reproduksi mencakup proses reproduksi, fungsi-fungsi dan sistem reproduksi dan semua tahap kahidupan. Kesehatan reproduksi berimplikasi bahwa orang akan mendapat kehidupan seksual yang bertanggung jawab, memuaskan, serta aman: dan mereka mendapat
kemampuan untuk reproduksi dan kebebasan untuk menentukan kapan dan bagaimana bereproduksi. Secara implisit berarti laki-laki dan perempuan mempunyai hak untuk diberitahu dan mendapatkan akses untuk metode fertilitas
yang aman, efektif, dapat
dijangkau dan dapat diterima sesuai dengan pilihan mereka. Mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dan memungkinkan wanita mendapatkan keamanan ketika hamil dan melahirkan dan menyediakan layanan agar pasangan mendapatkan kesempatan yang baik untuk melahirkan bayi yang sehat. Akses untuk kesehatan reproduksi dan pelayanan kesehatan seksual termasuk keluarga berencana antara lain: konseling KB, pelayanan pre-natal, kelahiran yang aman, pelayanan post-natal, pencegahan dan penanganan yang layak untuk infertilitas, pencegahan aborsi dan manajemen konsekuensi aborsi, pengobatan ”reproductive tract infection” penyakit menular seksual (PMS), an kondisi kesehatan reprodksi yang lain. Pelayanan untuk HIV/AIDS, cancer, infertilitas, kelahiran dan aborsi harur tersedia dalam pelayanan kesehatan reproduksi. 1. Tiga generasi kependudukan dan KB:
Program pengendalian penduduk ke negara-negara berkembang karena ketidakcukupan pangan
Akar permasalahan adalah faktor kemiskinan yang memicu pertambahan penduduk, selanjutnya perlu pengembangan alat kontrasepsi yang ampuh untuk menghambat laju pertambahan penduduk.
Ketidak berdayaan wanita dalam proses pertambahan penduduk, hal ini terbukti dengan masih tingginya angka kematian ibu (AKI) di negara-negara berkembang
Dalam pelayanan KB, perempuan dikorbankan untuk pencapaian target kependudukan menurut survey di puskesmas. Petugas rekruitmen KB adalah PLKB sedangkan pelayan dan penerima keluhan adalah puskesmas. Sehingga sering adanya subordinasi antara keduanya. Hal ini juga dipengaruhi sikap petugas kesehatan terhadap KB dan peranannya dalam memberikan bantuan medis. Karena umumnya pelayanan keluhan sangat terbatas.
Perspektif Gender Di indonesia terlihat dari masih tingginya angka kematian ibu (AKI) karena lemahnya posisi tawar wanita dalam kesehatan reproduksi, mencakup: hak untuk mendapatkan berbagai informasi tentang kesehatan reproduksi, termasuk hak dalam menentukan kapan ingin memiliki anak dan jarak antar kehamilan/ kelahiran yang aman, hak menentukan jumlah anak yang diinginkan, hak pelayanan keluraga berencana, dst. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah budaya atau adat yang berlaku di wilayah tersebut. Masih adanya kepercayaan melahirkan ke dukun, juga masih adanya kebiasaan adat yang
merugikan seperti: tidak boleh periksa hamil sebelum 3 bulan, tidak boleh keluar rumah sebelum nifas 40 hari, larangan mengkonsumsi daging, ikan dll. Apabila perempuan melanggar aturan yang berlaku di masyarakat umumnya menjadi bahan gunjingan dan bahkan bisa di acuhkan masyarakat lain. Hal-hal tersebut merupakan perspektif gender yang merugikan kaum wanita, serta menyumbang masih tingginya Angka Kematian Ibu di Indonesia.
Ketimpangan Gender Pada awal munculnya HIV/AIDS di indonesia di anggap sebagai penyakit impor. Media masa serta pejabat pemerintahah terkesan menutupi dan tidak mengakui hal tersebut. Padahal penyebabny adalah masalah seksual (adanya homoseksual dan perilaku seks bebas), namun stigma terhadap pegawai seks komersial tetap tidak melihat pada seringnya berganti pasangan, poligami dan kawin cerai. Upaya pencegahannya dengan kampanye seks yang aman karena takut diselewengkan menjadi seks bebas. Sedangkan penanganan HIV/AIDS melalui pendekatan moral yang tidak konvensional dengan melihat pada pola perilaku nyata. Sosialisasi penggunaan kondom untuk menghindari bahaya penularan penyakit seksual. Hal ini adalah upaya yang paling minim diantara keburukan yang lain.
BAB 3 PENUTUP
3.1 KESIMPULAN Seks adalah karakteristik biologis seseorang yang melekat sejak lahir dan tidak bisa diubah kecuali dengan operasi. Alat-alat tersebut menjadi dasar seseorang dikenali jenis kelaminnya sebagain perempuan atau laki-laki. Definisi gender sebagai “ the significance a society attaches to biological cathegories of female and male”, yaitu arti penting yang diberikan masyarakat pada kategori biologis lakilaki dan perempuan. Ada beberapa sub bahasan dalam makalah ini, antara lain: gender dan sosialisasi, gender dan stratifikasi, gender dan pendidikan, gender dan pekerjaan, gender dalam kesehatan. Tidak ada satu pun teori yang khusus digunakan untuk mengkaji permasalahan gender. Teoriteori yang dikembangkan untuk gender ini diadopsi dari teori-teori yang dikembangkan oleh para ahli dalam bidang-bidang yang terkait dengan permasalahan gender, terutama teori-teori sosiologi dan teori psikologi. Teoriteori dimaksud adalah Teori Struktural-Fungsional, Teori Sosial-Konflik, Teori Feminisme Liberal, Teori Feminisme Marxis-Sosialis, Teori Feminisme Radikal, Teori Ekofeminisme, dan Teori Psikoanalisa. Perspektif gender di indonesia terlihat dari masih tingginya angka kematian ibu (AKI) karena lemahnya posisi tawar wanita dalam kesehatan reproduksi, mencakup: hak untuk mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi, hak menentukan kapan dan jarak antar kehamilan/ kelahiran yang aman, menentukan jumlah anak, hak pelayanan keluraga berencana, dst. 3.2 SARAN Tiada kesempurnaan di dunia ini kecuali Allah yang Esa, seperti itu pula makalah ini. Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ”Perspektif Gender” ini masih belum sempurna, masih banyak materi yang belum di tulis maupun berbagai kesalahan penulisan maupaun ejaan. Untuk itu penulis menerima kritik maupun saran dari pembaca untuk perbaikan penyusunan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA 1. Modul Sosiologi Komunikasi oleh Heri Budiyanto S.Is M.Si pokok bahasan Gender dan media masa : Pusat pengembangan Bahan ajar UMB. 2. Gender, kesehatan dan pelayanan kesehatan, mata kuliah ilmu sosial dan kesehatan masyarakat oleh Ratna Siwi Fatmawati, 6/5/2010 3. Budiman, Arief, Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat . Jakarta, Gramedia,1985 4. Fakih, Mansour, DR. Analisis Gender dan Transformasi Sosial . Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997 5. Ibrahim, Idi Subandy dan Hanif Suranto, (ed). Wanita dan Media. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998 6. Illich, Ivan. Matinya Gender . Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998