Teori Feminisme
Feminisme berasal dari bahasa Latin, femina atau perempuan. Istilah ini mulai digunakan pada tahun 1890-an dengan mengacu pada teori kesetaraan laki-laki dan perempuan serta pergerakan untuk memperoleh hak-hak perempuan. Feminisme merupakan faham untuk menyadarkan posisi perempuan yang rendah dalam masyarakat, dan keinginan memperbaiki atau mengubah keadaan tersebut. Posisi perempuan selama ini di masyarakat selalu berada di bawah atau di belakang laki-laki. Posisi yang sangat tidak menguntungkan bagi perempuan untuk mengembangkan dirinya, feminisme menjadi bergerak bagi perubahan posisi perempuan di masyarakat.
Awal abad ke-18 dapat disebut sebagai titik awal dalam sejarah feminisme. Walaupun sudah ada wanita yang melakukan usaha untuk mendapat posisi yang diakui masyarakat, tetapi feminisme belum terlalu banyak berkembang pada saat itu. Pada masa itupun yang bermunculan adalah para wanita yang menulis karya yang menunjukkan tuntutan mereka untuk mendapatkan persamaan hak, khususnya dalam bidang pendidikan. Kemudian para wanita mulai tertarik dengan ide-ide baru yang muncul setelah revolusi Perancis. Mereka membayangkan kalau hubungan antar gender yang saat itu berlaku dihapuskan dan muncul dalam bentuk berbagai macam asosiasi yang ingin menghentikan dominasi pria dan menolak anggapan umum bagaimana menjadi seorang wanita saat itu.
Lahirnya gerakan feminisme dipelopori oleh kaum perempuan yang terbagi menjadi dua gelombang dan pada masing-masing gelombang memiliki perkembangan yang sangat pesat. Pada gelombang pertama kata feminisme sendiri pertama kali dikreasikan oleh aktivis sosialis utopis yaitu Charles Fourier pada tahun 1837. Kemudian pergerakan yang berpusat di Eropa ini pindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak adanya buku yang berjudul the subjection of women pada tahun 1869 karya John Stuart Mill, dan perjuangan ini menandai kelahiran gerakan feminisme pada gelombang pertama. Gerakan ini sangat diperlukan pada saat itu abad 18 karena banyak terjadi pemasungan dan pengekangan akan hak-hak perempuan. Selain itu, sejarah dunia juga menunjukkan bahwa secara universal perempuan atau feminine merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomorduakan oleh kaum laki-laki atau maskulin terutama dalam masyarakat patriaki. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan tejadinya Revolusi Perancis di abad ke-18 dimana perempuan sudah mulai berani menempatkan diri mereka seperti laki-laki yang sering berada di luar rumah.
Sedangkan pada gelombang kedua pada saat berakhirnya perang dunia kedua dengan lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajahan Eropa maka lahirlah gerakan feminisme gelombang kedua pada tahun 1960 dimana fenomena ini mencapai puncaknya dengan diikutsertakannya kaum perempuan dan hak suara perempuan dalam hak suara parlemen. Pada gelombang kedua ini terdapat slogan Personal is Political yang secara harafiah memiliki makna pribadi adalah politis. Slogan tersebut memberikan kesimpulan bahwa feminisme gelombang kedua tidak hanya berusaha untuk memperluas jangkauan kesempatan sosial yang terbuka bagi perempuan, namun juga melakukan intervensi dalam bidang reproduksi, representasi seksualitas dan kultural untuk mengubah kehidupan pribadi dan dosmetik mereka. Pada puncak gelombang kedua ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dari selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan. Namun keberhasilan gelombang kedua ini hanya dapat dirasakan oleh kebanyakan perempuan-perempuan negara dunia pertama yang negaranya terlibat dalam perang dunia pertama dan kedua.
Dengan keberhasilan gelombang kedua, perempuan dunia pertama melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuan-perempuan yang teropresi di dunia ketiga dengan asumsi bahwa semua perempuan adalah sama. Fredrick Engels, berpandangan bahwa wanita telah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh kapitalis dan para lelaki dengan budaya patriakinya. Hal ini terjadi karena para wanita khususnya dari kalangan menengah kebawah harus menanggung beban ganda dengan bekerja di sektor publik untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan juga tidak bisa meninggalkan sektor domestik yang dibebankan oleh wanita karena budaya patriarki yang tumbuh subur.
Selain itu wanita yang hanya bergelut pada urusan domestik saja juga mengalami tindak kekerasaan karena disebabkan sang suami yang bekerja di sektor publik yang mencari nafkah cenderung merasa lebih superior karena bisa mencari nafkah untuk keluarga. Sementara istri akan diposisikan inferior karena menurut kaum laki laki sektor domestik tidaklah lebih penting dari sektor publik. Kapitalisme dan juga budaya patriaki telah bergandengan tangan.
Setelah feminisme gelombang kedua, selanjutnya muncul feminisme gelombang ketiga. Gelombang ketiga ini dimulai pada akhir 1980-an oleh feminis yang menginginkan keragaman perempuan (women's diversity) secara khusus dalam teori feminis dan politik. Beberapa tokoh pemimpin gerakan ini adalah Rebecca Walker, Lesley Heywood, dan Jennifer Drake. Feminisme gelombang ketiga ini masih sulit didefinisikan dan label ini masih mempunyai arti yang sangat sedikit. Namun pada saat itu feminisme menunjukkan vitalitas dan perempuan punya potensi untuk mengambil tindakan tidak hanya secara personal saja tetapi jugas secara politis. Para wanita telah dan terus menemukan berbagai macam tempat untuk menjalankan dan mengekspresikan identitas politik dan kampanye masalah tersendiri secara optimis yang dapat menjadi batu loncatan untuk lebih luas lagi.
Teori feminis berusaha menganalisis berbagai kondisi yang membentuk kehidupan kaum perempuan dan menyelidiki beragam pemahaman kultural mengenai apa artinya menjadi perempuan. Awalnya teori feminis diarahkan oleh tujuan politis gerakan perempuan yakni kebutuhan untuk memahami subordinasi perempuan dan eksklusi atau marjinalisasi perempuan dalam berbagai wilayah kultural maupun sosial.
Dalam mendefinisikan feminisme, sekiranya ada yang perlu digaris bawahi. Pertama, feminisme bukan berarti bertarung melawan laki-laki, akan tetapi feminisme merupakan sebuah perjuangan menentang perspektif maskulin yang sudah demikian terinternalisasi dalam pemikiran masyakarat sehingga dianggap sebagai sesuatu yang benar. Kedua feminisme tidak dapat dipahami secara monolitik.
Secara garis besar ada 3 aliran feminisme yaitu:
Feminisme liberal
Pada dasarnya seorang perempuan mempunyai sifat yang sama yaitu manusiawi dan bagaimanapun perempuan merupakan makhluk yang rasional, karena itu perempuan berhak mendapatkan hak-haknya untuk mementukan diri sendiri sebagaimana laki-laki. Aliran feminisme Liberal berakar dari filsafat liberalisme yang memiliki konsep bahwa kebebasan merupakan hak setiap individu sehingga ia harus diberi kebebasan untuk memilih tanpa terkekang oleh pendapat umum dan hukum. Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan rasionalitas. Aliran tersebut lebih melibatkan perempuan dalam berbagai peran dan menuntut kesamaan status baik dalam tatanan sosial, ekonomi maupun politik. Karena semua manusia diciptakan seimbang dan mestinya tidak terjadi penindasan antara satu dengan yang lainnya. Feminisme liberal diinspirasi oleh prinsip-prinsip pencerahan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai kekhususan-kekhususan dengan kehendak semua peran, termasuk bekerja diluar rumah.
Feminisme Liberal lahir pertama kali pada abad 18 dirumuskan oleh Mary wollstonecrat dalam tulisannya A Vindication of the Right of Women (1759-1799) dan abad 19 oleh John Stuart Mill dalam bukunya Subjection of Women dan Harriet Taylor Mills dalam bukunya Enfranchisemen of Women, kemudian pada abad 20 Betty Friedan dalam The Feminis Mistique dan The second Stage. Para feminis liberal mendasarkan pemikirannya berdasarkan konsep liberal dimana pria dan wanita itu memiliki hak dan kesempatan yang sama, pria dan wanita merupakan makhluk yang sama-sama memiliki rasionalitas, yang dimana rasionalitas itu sendiri memiliki dua aspek, yaitu moralitas (decision maker) dan prudensial (pemenuhan kebutuhan sendiri).
Para penganut feminisme liberal yang dipelopori oleh Mary Wollstonecraft berpendapat bahwa perempuan seperti halnya laki-laki mampu untuk mengembangkan kapasitas intelektual dan moralitas mereka. Hal ini berarti bahwa perempuan adalah makhluk yang rasional seperti laki-laki yang juga mempunyai hak untuk ikut serta dalam kehidupan politik, seperti unutk memberikan sumbangan pada perdebatan tentang isu-isu politik, sosial, dan moral, daripada sebagai makhluk terkurung dan tersingkirkan dalam ruang privat di rumah dan keluarga, yang diwakili oleh laki-laki sebagai kepala keluarga. Kaum feminisme liberal tertarik dalam meningkatkan status perempuan di seluruh dunia, meningkatkan partisipasi perempuan dalam kehidupan publik dan mendapatkan akses pada kekuasaan.
Feminisme Liberal percaya bahwa kesetaraan dan keadilan gender akan bisa dicapai dengan menghapuskan hambatan yang bersifat regulatif (terkait dengan peraturan hukum), yang membedakan hak laki-laki dan perempuan. Ketidaksetaraan dalam bidang politik membuat mereka untuk membuat sebuah gerakan yang memiliki tujuan untuk mengintegrasikan diri mereka kedalam perpolitikan global disemua tingkatan. Feminisme liberal fokus pada perjuangan hak-hak yang setara antara perempuan dan laki-laki, yang diperlihatkan oleh hukum yang ada.
Pandangan feminisme liberal bersifat reformis dan moderat. Isu persamaan hak antara laki-laki dan perempuan serta perluasan hak-hak individu seperti jatah kuota sekina persen bagi perempuan di bangku parlemen atau pemerintahan berikut solusi-solusinya, adalah gaya Feminisme Liberal. Termasuk juga pelibatan perempuan dalam pembangunan, yang populer disebut Women in Development, merupakan ciri utama dari gerakan feminisme Liberal ini. Semua aksi dan pergerakan ini dilakukan sedikit demi sedikit sehingga menjadi bukit, yang pada akhirnya memaksa kaum lelaki untuk memberikan ruang kosong bagi keterlibatan kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan.
Feminisme sosialis
Feminis sosialis menekankan pada aspek gender dan ekonomis dalam penindasan atas kaum perempuan. Perempuan dapat dilihat sebagai penghuni kelas ekonomi dalam pandangan Marx dan "kelas seks, artinya, perempuan menampilkan pelayanan berharga bagi kapitalisme baik sebagai pekerja maupun istri yang tidak menerima upah atas kerja domestik mereka serta menggambarkan posisi rendah perempuan dalam struktur ekonomi, sosial, dan politik dari sistem kapitalis, serta adanya analisis patriarki (pemusatan pada laki-laki). Fokusnya adalah kapitalisme dan patriarki menempatkan perempuan pada posisi yang tidak istimewa.
Ada beberapa perbedaan pendirian dalam feminis, terutama yang berkaitan dengan pembebasan perempuan dengan perjuangan kelas, akibatnya dapat dikatakan bahwa kaum feminis terpecah menjadi dua kubu yaitu feminis sosialis dan feminis radikal. Dikeduanya pun memiliki pandangan yang berbeda terhadap subordinasi perempuan. Yang satu memandang subordinasi perempuan sebagai akibat dari kapitalisme, dan yang lain memandang suborbinasi perempuan sebagai akibat dari patriarki, yaitu sistem dominasi laki-laki.
Mereka berpendapat bahwa penghapusan sistem kapitalis merupakan cara agar perempuan mendapat perlakuan yang sama. Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya, sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaan pribadi (private property) kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Feminisme sosial mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme, dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Feminisme sosial menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan.
Kemudian, muncul sebuah alternatif lain yang mengatakan bahwa subordinasi perempuan terdapat pada relasi sosial reproduksi. Sebagian besar feminis mendefinisikan pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan yang tidak produktif namun tetap dipandang sebagai mereproduksi daya kerja. Gagasan bahwa subordinasi perempuan berakar pada reproduksi memiliki sejarah yang penting dalam Marxisme. Gagasan tersebut berasal dari tesis Engels yang berkata bahwa "kekalahan historis jenis kelamin perempuan" terjadi seiring munculnya kepemilikan pribadi dan terbentuknya hak laki-laki untuk mewariskan hak milik pada keturunannya dan karenanya memonopoli kemampuan reproduksi perempuan.
Teori feminisme sosialis hadir karena berusaha menciptakan posisi yang sederajat dengan kepentingan modal dan kekuasaan. Feminis sosialis menuntut keadilan dari kelas borjuis yang memiliki modal untuk tidak membedakan mereka dengan laki-laki dalam pemberian upah, dan memberi kesempatan bagi mereka untuk cuti kerja sesuai dengan kebutuhan, seperti cuti hamil, dan menyusui anak. Salah satu isu sentral yang dibahas feminis sosialis adalah menelaah hubungan antara kerja domestik dengan kerja upahan atau dalam sosiologi lebih suka menyebutnya antara keluarga dan kerja. Asumsi yang digunakan oleh feminisme sosialis adalah bahwa dalam masyarakat, kapitalis bukan satu-satunya penyebab utama keterbelakangan wanita sebagai wanita. Mereka mengatakan faktor gender, kelas, ras, individu atau kelompok dapat juga berkontrabusi bagi keterbelakangan wanita.
Feminisme Postmodern
Ide Posmo ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena pertentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Feminisme postmodern berpendapat bahwa gender tidak bermakna identittas atau struktur sosial. Postmoderen menggali persoalan alienasi perempuan seksual, psikologis, dan sastra dengan bertumpu pada bahasa sebagai sebuah sistem. Aliran ini memberi gambaran bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan haruslah diterima dan dipelihara. Mereka menganggap bahwa masyarakat telah diluar untuk saling berhubungan diantara keduanya. Lebih jelasnya aliran ini menolak adanya otoritas.
Mungkin posmodernisme paling baik dilihat sebagai "suasana" yang tumbuh dari perasaan runtuhnya fondasi pemikiran modern yang tampaknya menjamin sebuah arti yang stabil dari konsep-konsep seperti kebenaran, pengetahuan, diri, dan nilai. Penolakan untuk memisahkan wilayah pengetahuan, pada kenyataannya, menyerap baik pengetahuan maupun pengalaman ke dalam dunia estetis. Bahkan pengetahuan ilmiah menjadi sebuah fiksi: tidak ada "fakta" yang objektif karena "fakta" juga diproduksi melalui bentuk-bentuk pengamatan dan wawasan yang ditentukan oleh bingkai teoritis.
Ihab Hassab mengajukan sebuah definisi epos yang berguna mengenai posmodernisme sebagai sebuah "gerakan antinomi yang mengandaikan pembongkaran besar dalam pemikiran barat. Ia menggunakan kata "pembongkaran" untuk mencakup istilah-istilah seperti dekonstruksi, desentralisasi, demistifikasi, diskontinuitas, dan perbedaan, yang sangat menonjol dalam wacana posmodern. Berbagai istilah tersebut mengandaikan atau menuntut penolakan atas gagasan mengenasi subjek yang koheren dan rasional dan akhirnya atas "narasi besar" mengenai kebenaran universal.
Era postmodernisme diperkenalkan lewat seni-seni postmo yang mengkritik dikotomi high art dan low art. Dalam arsitektur, perdebatan postmodern ditandai oleh dikotomi modern dan tradisional yang mengabur. Tataran epistomologis postmodern memberikan kegairahan ilmiah baru yang mulai lelah dengan pengagungan empirisme, rasionalisme, dan seluruh teori-teori besar yang dimulai sejak abad pencerahan.
Dalam pemikiran modern terdapat oposisi biner yang tajam, maka di dalam pemikiran postmodern oposisi tersebut dihilangkan. Maka, dalam feminisme postmodern, dikotomi identitas laki-laki dan perempuan juga tidak menjadi relevan. Postmodernisme mengatakan bahwa seluruh realitas terdiri dari teks, oleh sebab itu, pengetahuan tentang perempuan maupun laki-laki tekstual. Dengan demikian, kontribusi terbesar pemikiran feminisme postmodernisme adalah dekonstruksi teks-teks yangm bias gender.
Kritik-kritik postmodernisme mempunyai kesamaan dengan postfeminisme tentang dominasi wacana sentral, metanarasi laki-laki yang menghasilkan perdebatan posisi epistomologis baru. Namun, ada sikap ambivalensi kelompok feminisme terhadap postmodernisme. Di satu pihak feminisme merasa mempunyai alat baru dalam menafsirkan teks-teks perempuan, tetapi dilain pihak ada ketidakpuasan feminisme terhadap postmodernisme yakni kecenderungannya meminggirkan analisis gender. Kaum feminis khawatir dengan pernyataan-pernyataan postfeminis seperti Linda Nicholson, persoalan tokoh feminis postmo ini adalah tidak mau terang-terangan memihak feminisme dalam arti, ikut berjuang di dalam pergerakan-pergerakan, tetapi lebih nyaman mengutak-atik menjadi pemaksaan dalam semua aspek kehidupan.
Apa pun polemiknya, harus diakui bahwa kemajuan yang telah dicapai oleh para feminis di Barat merupakan kerja keras lebih dari 20 tahun yang menggembirakan untuk sebagian besar perempuan yang kini telah merasakan manfaatnya. Akan tetapi, satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa representasi perempuan ini dapat saja menjadi kekerasan baru. Hal inilah yang kini terjadi di Barat di mana representasi perempuan menjadi wacana yang mendominasi dan pada akhirnya membentuk gaya otoriter yang baru. Hal tersebut bagi para perempuan generasi baru dianggap sudah usang. Ada era baru, kegairahan baru, cara pandang, dan epistomologi baru yang ditawarkan di era komputerisasi atau postmodern ini. Dan kelihatannya bagi para perempuan generasi muda tahun 2000-an sekarang ini, formulasi tentang identitas seksual mereka, dirumuskan berbeda.
Teori Gender
Pembahasan mengenai gender telah ada sejak zaman dahulu dan masih cukup hangat diperbincangkan hingga kini. Gender dan berbagai tujuan kesetaraannya merupakan salah satu penentu pembangunan negara. Gender merupakan konsep sosial yang berkaitan dengan sejumlah karateristik psikologis dan perilaku yang secara kompleks telah dipelajari seseorang melalui pengalaman sosialisasinya.
Laki-laki dan perempuan memiliki berbagai perbedaan, tidak hanya terbatas pada perbedaan biologis, melainkan terdapat pada faktor sosial dan budaya. Dikotomi antara laki-laki dan perempuan juga tercermin dalam pengkotak-kotakan antara pekerjaan laki-laki dengan pekerjaan perempuan. Pengkotakan pekerjaan tersebut dikenal dengan istilah pembagian kerja secara seksual.
Pada dasarnya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dari dua konsep yakni jenis kelamin dan gender. Pertama, konsep jenis kelamin membicarakan kodrat dari Tuhan yang telah diberikan kepada manusia sejak lahir hingga meninggal dunia. Kodrat tersebut terlihat dari ciri fisik yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Ciri fisik terletak pada bagian reproduksi yang sudah tidak dapat dipertukarkan peranannya antara laki-laki dan perempuan. Kodrat tersebut juga tidak dapat diubah. Menurut pengertian jenis kelamin, perbedaan perempuan dan laki-laki adalah apabila perempuan memiliki alat kelamin, haid, hamil, melahirkan dan menyusui. Sementara laki-laki hanya memiliki alat kelamin dan sperma.
Kedua konsep gender yang merupakan hasil dari konstruksi sosial yang diciptakan oleh manusia. Gender memiliki sifat tidak tetap, berubah-ubah dan dapat ditukar. Salah satunya berdasarkan waktu, tempat dan budaya yang ada. Gender merupakan konstruksi sosio-kultural. Pada prinsipnya gender merupakan interpretasi kultural atas perbedaan fisiologis seperti yang selama ini banyak dijumpai di masyarakat. Gender sendiri memiliki konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat keadaan sosial dan dapat berubah oleh keadaan sosial pula. Peran Gender memiliki pengaruh terhadap pola relasi antara laki-laki dan perempuan yang bergantung pada budaya masyarakat tertentu.
Kata gender awalnya berasal dari bahasa inggris yang artinya adalah jenis kelamin namun ternyata pengertian gender tidaklah sesempit itu melainkan banyak yang dapat diulas dari beberapa pengertian dari berbagai pendapat. Diantaranya gender diartikan dalam buku Sex and Gender yang ditulis oleh H.T Wilson adalah suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan antara perempuan dan laki-laki.
Berbeda dengan pandangan yang telah dikemukakan tersebut bahwa terdapat pengertian gender yang digunakan adalah interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Pandangan masyarakat tentang perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman dan dukungan dari masyarakat itu sendiri.
Di dalam Women's Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep cultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karateristik emosional, antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di dalam masyarakat. Pendapat tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh Hillary M. Lips dalam bukunya yang berjudul Sex and Gender; An Introduction yang menjelaskan bahwa gender adalah harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan.
Membahas permasalahan gender berarti membahas permasalahan perempuan dan juga laki – laki dalam kehidupan masyarakat. Dalam pembahasan mengenai gender, termasuk kesetaraan dan keadilan gender dikenal adanya 2 aliran atau teori yaitu teori nurture dan teori nature. Namun demikian dapat pula dikembangkan satu konsep teori yang diilhami dari dua konsep teori tersebut yang merupakan kompromistis atau keseimbangan yang disebut dengan teori equilibrium.
Aliran Nurture
Menurut teori nurture adanya perbedaan perempuan dan laki – laki adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu membuat perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan laki – laki dalam perbedaan kelas. Laki – laki diidentikkan dengan kelas borjuis, dan perempuan sebagai kelas proletar.
Aliran Nature
Menurut teori nature adanya pembedaan laki – laki dan perempuan adalah kodrat, sehingga harus diterima. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi dan implikasi bahwa diantara kedua jenis kelamin tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada yang tidak bisa karena memang bebeda secara kodrat alamiahnya. Dalam proses perkembangannya, disadari bahwa ada beberapa kelemahan konsep nurture yang dirasa tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga maupun bermasyarakat, yaitu terjadi ketidak-adilan gender, maka beralih ke teori nature. Agregat ketidak-adilan gender dalam berbagai kehidupan lebih banyak dialami oleh perempuan, namun ketidak-adilan gender ini berdampak pula terhadap laki – laki.
Aliran Equilibirium
Kemudian ada yang disebut dengan keseimbangan (equilibrium) yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dengan laki – laki. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum perempuan dan laki – laki, karena keduanya harus bekerja sama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, maka dalam setiap kebijakan dan strategi pembangunan agar diperhitungkan kepentingan dan peran perempuan dan laki – laki secara seimbang. Hubungan diantara kedua elemen tersebut bukan saling bertentangan tetapi hubungan komplementer guna saling melengkapi satu sama lain. Hubungan laki – laki dan perempuan bukan dilandasi konflik dikotomis, bukan pula struktural fungsional, tetapi lebih dilandasi kebutuhan kebersamaan guna membangun kemitraan yang hamonis, karena setiap pihak memiliki kelebihan sekaligus kelemahan yang perlu diisi dan dilengkapi pihak lain dalam kerjasama yang setara.
Selain itu terdapat pula teori fungsional struktural yang memandang bahwa munculnya tuntutan untuk kesetaraan gender dalam peran sosial di masyarakat merupakan sebagai akibat dari adanya perubahan struktur nilai sosial ekonomi di masyarakat. Pada era globalisasai yang penuh dengan berbagai persaingan peran seseorang tidak lagi mengacu pada norma-norma kehidupan sosial yang lebih banyak mempertimbangkan faktor jenis kelamin, akan tetapi lebih ditentukan oleh daya saing dan keterampilan.
Banyak sekali permasalahan yang terjadi akibat ketidakadilan gender. Perempuan kerap kali menjadi korban diskriminasi. Akibat ketidakadilan tersebut peran perempuan dan laki-laki kerap kali dibedakan dan cenderung kesempatan peran perempuan di ranah publik lebih kecil dibanding laki-laki. Adapun bentuk-bentuk diskriminasi yang dirasakan akibat ketidakadilan gender adalah:
Stereotipe (Pelabelan)
Stereotipe atau pelabelan adalah pemberian label atau cap terhadap seseorang sehingga menimbulkan anggapan yang salah terhadap orang tersebut. Pelabelan disini didasari dengan adanya pembedaan karakter serta peran antara laki-laki dan perempuan, di mana perempuan sering dianggap sebagai lebih lemah, penggoda, dan cengeng sementara laki-laki dianggap lebih kuat, dan memiliki kekuasaan.
Subordinasi
Posisi atau peran yang dinilai lebih rendah dibanding peran yang lain, ketidakadilan gender memandang bahwa terdapat penilaian mengenai posisi atau peran perempuan dalam masyarakat yang dianggap lebih rendah dibanding peran laki-laki
Marginalisasi
Perempuan hanya pencari nafkah tambahan merupakan salah satu bentuk peminggiran atau marginalisasi peran ekonomi perempuan. Tidak hanya dalam bidang ekonomi dalam bidang politik pun perempuan sering kali dipinggirkan karena dianggap tidak pantas memegang peran seorang pemimpin
Peran Ganda
Peranan perempuan dalam sektor publik tidak diiringi dengan berkurangnya beban kerja perempuan dalam rumah tangga. Peran reproduktif perempuan dianggap hanya menjadi tanggung jawab perempuan. Perempuan dari kalangan miskin harus tetap bekerja mencari nafkah diluar rumah dan harus tetap bertanggung jawab terhadap pekerjaan reproduksinya
Kekerasan
Adanya pembedaan karakter antara perempuan dan laki-laki di mana terdapat anggapan bahwa perempuan itu feminim, lemah, dan objek seks dijadikan alasan terjadinya berbagai tindakan kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan tersebut dapat dalam bentuk fisik, seksual, ekonomi dan lainnya.
Asmaeny Azis, Feminisme Profetik (Yogjakarta: Kreasi Wacana, 2007), 78
Ratna Saptari, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1997), 47
June Hannam, Feminism (London: Pearson/Longman, 2007), 6
Aida Fitalaya, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Dadang S. Anshori Membincangkan Feminisme (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), 115
Ritzer George, Teori Sosiologi : Dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012), 523
Ratna Batara, Demokrasi Keintiman (Yogyakarta: LkiS, 2005), 46.
Ritzer George, Teori Sosiologi : Dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, 519.
Jane C. Ollenburger, Sosiologi Wanita (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), 48
Alfian Rokhmansyah, Pengantar Gender & Feminisme (Yogyakarta: Garudhawaca, 2016), 47.
Free Hearty, Keadilan Gender (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2015), 29.
June Hannam, Feminism, 166.
Stevi Jackson & Jackie Jones, Pengantar Teori-Teori Feminis Kontemporer (Yogjakarta: JALASUTRA, 2009), 1.
Nurul Agustina, Islam Negara Civil Society; Gerakan Feminisme Islam dan Civil Society ( Jakarta: Paramadina, 2005), 379.
Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir (Yogjakarta:Qalam, 2004), 382.
Umar Nasruddin, Argumen Kesetaraan Gender dalam Perspektif al-Qur'an (Jakarta:Paramadina, 2001), 65
Hartini, Feminisme Liberal, http://www.asppuk.or.id/index.php/artikel/99-feminisme-liberal diakses pada 23 Juni 2017
Yohanes Sulaiman, Menyoal Teori dalam Ilmu Hubungan Internasional (Malang: Intrans Publishing, 2014), 327
Yohanes Sulaiman, Menyoal Teori dalam Ilmu Hubungan Internasional, 340.
Soetjito A. Trimayuni, Gender & Hubungan Internasional, (Yogjakarta: JALASUTRA, 2013), 27.
Kalyanamitra,Perlunya Belajar Feminisme, www.kalyanamitra.or.id/2013/07/perlunya-belajar-feminisme-bagian-pertama/ diakses pada 23 Juni 2017.
Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik; Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik (Yogjakarta: Graha Ilmu, 2007), 47.
Alfian Rokhmansyah, Pengantar Gender & Feminisme, 53.
Stevi Jackson & Jackie Jones, Pengantar Teori-Teori Feminis Kontemporer, 23.
Sutan Sjahrir, Sosialisme Indonesia, Pembangunan (Jakarta:Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional, 1982), 91.
Stevi Jackson & Jackie Jones, Pengantar Teori-Teori Feminis Kontemporer, 32.
Ben Agger, Teori Sosial Kritis (Yogjakarta: Kreasi Wacana, 2003), 229-230.
Stevi Jackson & Jackie Jones, Pengantar Teori-Teori Feminis Kontemporer, 305.
Stevi Jackson & Jackie Jones, Pengantar Teori-Teori Feminis Kontemporer, 306.
Gadis Arivia, Feminisme ; Sebuah Kata Hati, (Jakarta: Kompas, 2006), 19.
Gadis Arivia, Feminisme ; Sebuah Kata Hati, 20.
Gadis Arivia, Feminisme ; Sebuah Kata Hati, 21
Sapariniah Sadli, Berbeda Tapi Setara (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010), 23.
Fauzi Ridjal. Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia (Yogjakarta: PT. Tian Wacana,1993), 29
Fauzie Ridjal, Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, 30
H.T Wilson, Sex and Gender: Making Cultural Sense Of Civilization (New York: The Netherland By E.J Brill, 1989), 2
Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Buku Saku Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender (Jakarta: KPP & PA, 2009), vi
Fadilah Suragala, dkk, Pengantar Kajian Gender (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), 54.
Richard A. Lippa, Gender, Nature, & Nurture (New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, 2005), 187.
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender (Jakarta: Mizan, 1999), 94.
Sasongko, Konsep & Teori Gender (Jakarta: Bkkbn, 2009), 19.
Sasongko, Konsep & Teori Gender, 20.
Pengertian Gender menurut Para Ahli, Http://id.shyoong.com/society-n-news/genders/220358- diunduh pada 5 Juni 2017
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak & Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Bidang Ketenagakerjaan bagi Lembaga Masyarakat (Jakarta, 2010), 26-28.