BAB I PENDAHULUAN Kinetika kimia adalah bagian dari kimia fisika yang mempelajari tentang kecepatan reaksi-reaksi kimia dan mekanisme reaksi-reaksi tersebut. Termodinamika kimia mempelajari hubungan tenaga antara perekasi dan hasil-hasil reaksi, tidak mempelajari bagaimana reaksi-reaksi tersebut berlangsung dan dengan kecepatan berapa kesetimbangan untuk reaksi kimia ini dicapai. Hal terakhir ini dipelajari dalam
kinetika
kimia,
hingga
kinetika
kimia
merupakan
pelengkap
bagi
termodinamika kimia (Sukardjo, 2002). Tidak semua reaksi kimia dapat dipelajari secara kinetik. Reaksi-reaksi yang berjalan sangat cepat seperti reaksi-reaksi ion atau pembakaran dan reaksi-reaksi yang sangat lambat sperti pengkaratan, tidak dapat dipelajari secara kinetik. Di antara kedua jenis ini, banyak reaksi-reaksi yang kecepatannya dapat diukur. Kecepatan reaksi tergantung dari jenis zat pereaksi, temperatur reaksi dan konsentrasi zat pereaksi (Sukardjo, 2002). Kenaikan temperatur 10 oC rata-rata mempercepat reaksi 2 atau 3 kali lebih besar, hingga reaksi yang berjalan lambat pada temperatur kamar dapat berjalan cepat pada temperatur tinggi. Sebaliknya reaksi yang pada suhu kamar berjalan cepat, dapat dibekukan pada temperatur rendah. Konsentrasi pereaksi besar pengaruhnya pada kecepatan reaksi. Reaksi berjalan cepat pada awal reaksi, akan semakin lambat setelah waktu tertentu dan akan berhenti pada waktu yang tidak terhingga. Kecepatan reaksi biasanya dipelajari pada temperatur tetap, dengan menggunakan thermostat. Untuk mengetahui koefisian temperatur terhadap kecepatan reaksi, dapat diadakan percobaan pada berbagai temperatur (Sukardjo, 2002). Reaksi yang berjalan dalam satu fasa disebut reaksi homogen, misalnya reaksi antara gas-gas atau reksi dalam bentuk larutan. Pada reaksi homogen, kecepatan reaksi suatu reaksi kimia dapat dinyatakan dalam satuan mol zat pereaksi yang telah bereaksi atau mol zat hasil reaksi yang terbentuk per satuan waktu per pe r satuan volume (Fogler, 2005).
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persamaan Persamaan Kecepatan (Laju) Reaksi Homogen
Jika kecepatan reaksi menyatakan banyaknya reaktan yang bereaksi, maka kecepatan reaksi tersebut harus diberi tanda negatif dan ditulis sebagai : - r i (Fogler, 2005). Misal untuk reaksi homogen homogen :
a A + bB
r R + sS sS ,
maka :
a. Kecepatan zat A yang bereaksi ditulis : - r A b. Kecepatan zat B yang bereaksi ditulis : - r B c. Kecepatan zat R yang terbentuk ditulis : r P d. Kecepatan zat S yang terbentuk ditulis : r S S (Fogler, 2005) Kecepatan reaksi merupakan fungsi dari beberapa besaran fisik yaitu komposisi material di dalam reaktor, temperatur reaksi serta tekanan sistem untuk reaksi homogen. Bentuk tempat, sifat permukaan padatan yang kontak dengan fasa dimana reaksi terjadi, untuk sistem homogen sama sekali tidak berpengaruh (Fogler, 2005). Secara matematis kecepatan reaksi komponen A dapat ditulis; r A = f (keadaan dari sistem) r A = f (T, P, C) karena antara Tekanan (P) dan Konsentrasi (C) biasanya saling berkaitan terutama untuk sistem gas, maka : r A = f (T,C) Persamaan kecepatan reaksi yang menyatakan hubungan antara r A dan C pada umumya diperoleh berdasarkan (Fogler, 2005): a)
Hasil olahan data-data experimental
b)
Mekanisme reaksi
Bentuk persamaan kinetika reaksi homogen sederhana yang menyatakan hubungan antara kecepatan reaksi dan besaran-besaran fisik T (temperatur) dan C (konsentrasi) adalah (Fogler, 2005), Reaksi :
a A + bB
r R + sS sS
2
r A
r A
dimana :
1
dN A
V
dt
mole A yang hilang mol , (volume) (waktu) liter. detik
dC A
a
dt
b
k (T ) C A C B
k(T)
= Konstanta kecepatan reaksi (fungsi dari temperatur)
CA , CB
= Konsentasi zat A dan B di dalam larutan
a
= orde reaksi terhadap A
b
= orde reaksi terhadap B
(Fogler, 2005)
2.2 Molekularitas dan Tingkat Reaksi
Molekularitas adalah jumlah molekul zat pereaksi dalam persamaan reaksi yang sederhana, harganya satu, dua atau tiga, selalau dalam bilangan bulat (Fogler, 2005). Misalnya untuk reaksi : aA +
B
r R
+
S
molekularitas reaksi ini adalah : 2 + 1 = 3 Tingkat reaksi yaitu jumlah pangkat faktor konsentrasi di dalam persamaan kecepatan reaksi (Fogler, 2005). Misalnya reaksi : a A +
r A
a
b B + . . . + d D b
k C A C B
Dimana nilai
...C
d
D
P
a + b + ...+ d = n
: a. b, ......, d tidak harus selalu sama dengan koefisien
stoikhiometri. Pangkat dari konsentrasi disebut dengan tingkat reaksi. Jadi reaksi tingkat a terhadap A, tingkat b terhadap B dan tingkat n terhadap keseluruhan reaksi (Fogler, 2005). Molekularitas dapat sama dengan tingkat reaksi, dapat juga tidak. Tingkat reaksi ditentukan dari interprertasi data hasil percobaan reaksi di laboratorium. Tingkat (orde) reaksi dapat juga merupakan bilangan bulat, dapat juga bilangan pecahan atau nol (Fogler, 2005). Jika persamaan kecepatan reaksi secara umum dituliskan sebagai : ( - r A ) = k. CAn , maka satuan dari k = ( - r A ) / CAn
atau :
3
(waktu) 1 (konsentra si) 1
konsentras i
r A
(volume)(w aktu)(kons entrasi) n
n
(volume)
Maka tingkat reaksi dari suatu reaksi dapat dilihat dari satuan konstanta kecepatan reaksinya (k) sebagai berikut : Tabel 2.1 Satuan-Satuan Konstanta Kecepatan Reaksi (Fogler, 2005) Tingkat reaksi 0 1 2 3
Satuan k untuk pers. kecepatan reaksi dalam bentuk - r A = k CAn (mol / volume. Waktu) (mol) (volume)-1 (waktu)-1 (waktu)-1 (volume) (mol)-1(waktu)-1 (volume)2 (mol)-2(waktu)-1
Satuan k untuk pers. kecepatan reaksi dalam bentuk – r A = k p pAn (tekanan/waktu) (tekanan) (waktu)-1 (waktu)-1 (tekanan)-1 (waktu)-1 (tekanan)-2 (waktu)-1
Pada reaksi fase gas, dan reaksi yang dijalankan pada volume tetap secara isotermal, kecepatan reaksinya kadang-kadang dinyatakan dalam satuan perubahan tekanan parsial per satuan waktu (Fogler, 2005). Misalnya untuk reaksi : A(g)
R (g)
Untuk zat pereaksi : ( – r A ) = k pAn Untuk zat hasil
+
S(g)
, maka ; k p = ( – r A ) ⁄ pAn
: ( r R ) = k p PR
dan ( r S ) = k p PS
Tekanan zat pereaksi maupun zat hasil reaksi dapat dinyatakan dalam mmHg atau atm (Fogler, 2005). 2.2.1
Reaksi Tingkat Satu
Laju reaksi tingkat satu uni molekular dapat dituliskan sebagai berikut (Sukardjo, 2002): A
Hasil-hasil dC A
dt
k 1C A
Persamaan tersebut di integrasikan : A
Hasil-hasil
t=0
a
0
(a = konsentrasi awal)
t=t
(a-x)
x
(a-x = konsentrasi pada waktu t) d (a x )
dx
dt ln
dt
k 1 (a x )
a a
x
(int egrasikan )
k 1 t
4
Untuk menentukan reaksi tingkat satu atau bukan, dapat ditempuh 3 jalan (Sukardjo, 2002): a. Harga-harga konsentrasi awal (a) dan konsentrasi pada waktu tertentu (a-x), serta waktu t dimasukkan dalam rumus diatas. Bila harga k tetap untuk bermacam-macam harga (a-x) maka reaksi tingkat satu. b. Secara grafik, dapat diselidiki sebagai berikut : ln( a x ) k 1 t ln a log( a x ) (
k 1 2,303
) t log a
Bila reaksi tingkat satu, maka grafik log (a-x) terhadap t harus berupa garis lurus dan miringnya grafik ( slope) = -k 1/2,303. Harga k 1 dapat diperoleh dari miringnya grafik tersebut. k 1 = -2,303 ( slope) c. Dengan menyelidiki waktu setengah umur ( half life period ) yaitu waktu yang dipergunakan untuk bereaksinya separo pereaksi. Untuk rekasi tingkat satu, t1/2 tidak tergantung pada konsentrasi awal. a
ln
k 1 t ax t t 12 x 12 a
ln t
a 1 2
a
1 2
k 1 t
1 2
2,303 log 2 k
t
1 2
0,693 k
Contoh : a)
Reaksi homogen gas tingkat satu antara lain disosiasi termal N 2O, N2O5, i aseton, propion aldehid, macam-macam eter alifatis, senyawa-senyawa azo, amina dan etil bromide, isomeri d-pinene menjadi dipentene. Disosiasi azo isopropana membentuk nitrogen dan heksana diselidiki dengan mengukur tekanan gas selama reaksi. (CH 3 ) 2 CHN NCH(CH 3 ) 2 t=0 t=t
Pi (Pi-x)=PA
N 2 C 6 H14
0
0
x
x
Ptotal = (Pi-x) + x + x Ptotal = Pi + x
5
atau : x = (P-Pi)
P>Pi
Pada setiap saat : PA = (Pi - x) = Pi-(Pi-P) = 2Pi-P Rumus reaksi tingkat satu : k
2,303
a
log
t ax a Pi dan (a x ) ( Pi x ) atau PA k b)
2,303 t
log 2
Pi Pi P
Reaksi tingkat satu dalam larutan, antara lain uraian N2O5 dan isomerasi d pinene dalam pelarut-pelarut organik tertentu, uraian asam malonat, asam triklor asetat dan asam aseton dikarboksilat dalam air, disosiasi beberapa garam diazonium dalam air. Uraian benzene diazonium klorida dalam air membentuk gas nitrogen, kecepatannya dapat diikuti dengan mengukur gas N 2 yang timbul, pada temperatur tertentu (dalam termostat). C 6 H 5 N NCl C 6 H 5 Cl N 2 (gas ) t=0
0 ml
t=t
V ml
t=∞
Vo ml a Vo
x=V
=
k
2.2.2
2,303
t
log
a a
2,303 x
t
log
Vo Vo
x
Reaksi Tingkat Dua
Reaksi bimolekuler tingkat dua dapat dinyatakan sebagai berikut (Sukardjo, 2002): A+B t=0
a
b
0
t=t
a-x
b-x
x
Hasil-hasil
dx dt
k 2 (a
x )( b x )
6
integrasi : k 2
t
t (a b)
ln
b(a
x)
a ( b x )
2,303
t (a b)
a
0
t=t
a-x
x
b(a
x)
a ( b x )
2A t=0
log
Hasil-hasil
dx
dt
k (a
x) 2
integrasi : k 2
1
x
(
1
) atau
at a x
ax
k 2 t
1 a
Untuk menentukan reaksi tingkat dua atau bukan, dapat ditempuh 3 jalan (Sukardjo, 2002): a. Dengan memasukkan harga : a, b, t, dan x pada pers amaan, jika harga k 2 tetap maka reaksi tingkat dua. b. Secara grafik, dapat diselidiki sebagai berikut : t
2,303 k 2 (a b)
log
ax b x
2,303 k 2 (a b)
log
b a
Bila reaksi tingkat satu, maka grafik berupa garis lurus dengan slope = 2,303/k 2(a-b). Maka k 2 = 2,303/( slope)(a-b) Untuk konsentrasi sama : k 2 t
1
ax
1
a
t
1 k 2 (a x )
1 k 2 a
Grafik juga harus lurus bila reaksi tingkat dua. c. Dengan menyelidiki waktu setengah umur ( half life period ) yaitu waktu yang dipergunakan untuk bereaksinya separo pereaksi. Hanya dapat dipakai bila konsentrasi A dan B sama atau kedua atom sama. t
1 2
1
k 2 a
Contoh : a)
Reaksi tingkat dua gas
7
Dalam hal ini termasuk disosiasi termal HI, NO2, ozon, ClO, NOCl, formaldehid dan asetaldehid, kecepatannyadiselidiki sebagai berikut : 2CH3 COH 2CH 4
t=0
Pi
0
t=t
Pi-x
x
2CO
0 x
Ptotal = (Pi-x) + 2 x (Pi+x)
1
k 2 t x b)
x
(
a a
Ptot
x
)
x
Pi(Pi
x)
Pi
Reaksi tingkat dua dalam larutan Reaksi ini antara lain penyabunan ester-ester dengan basa, konversi nitroparafin menjadi asi-nitroparafin, reaksi alkil halida dengan amina, hidrolisis ester, amida dan asetal, esterifkasi asam-asam organik, reaksi NH4+ dan CNO- membentuk urea, reaksi brom asetat dengan tiosulfat atau sianida. Raksi antara etil butirat dengan barium hidroksida dengan konsentrasi awal berbeda, dapat diselidiki dengan tiap kali mengambil sejumlah campuran reaksi dan menitrer dengan standar asam, untuk menentukan basa yang tidak bereaksi. CH 3 CH 2 CH 2 COOC2
OH
CH 3 CH 2 CH 2 COO
C 2 H 5 OH
t=0
a
b
-
-
t=t
(a-x)
(b-x)
x
x
k 2
1
t (a b)
2.2.3
ln
b(a
x)
a ( b
x)
Reaksi Tingkat Tiga
Reaksi tingkat 3 termolekuler dapat dituliskan sebagai berikut (Sukardjo, 2002): A+B+C t=0
a
b
c
t=t
a-x
b-x
c-x
Hasil-hasil
dx dt
k 3 (a
x ) 2 (c
x)
integrasi :
8
k 3
1
[
x (c a )
t (c a ) 2 a (a x )
2A + B t=0
a
b
t=t
a-2x
b-x
c(a x ) a (c x )
]
Hasil-hasil
dx
dt
ln
k 3 (a
2x ) 2 ( b x )
integrasi : k 3
1
[
t (2 b a ) 2
2x (2 b a )
a (a 2 x )
3A t=0
a
t=t
a-x
ln
b(a 2x ) a ( b x )
] k 2 t
1 a
Hasil-hasil
dx dt
k (a
x) 3
integrasi : k 3
1
[
2a 2 t
x ( 2a (a
x)
x) 2
]
Untuk reaksi diatas : t
2.2.4
1 2
3
2k 3 a
2
Reaksi Pseudo Molekuler
Banyak reaksi-reaksi bimolekuler atau termolekuler tetapi reaksi tersebut tingkat satu, misal (Sukardjo, 2002): COS
H 2 O CO2
H 2S
Reaksi ini ternyata tingkat satu, terhadap COS dan tingkat O terhadap H 2O. Reaksi demikian disebut pseudo molekuler . Ini disebabkan karena airnya sangat banyak, hingga tidak berpengaruh pada kecepatan reaksi. Reaksi pseudo molekuler terjadi bila konsentrasi salah satu atau lebih reaktan tetap selama reaksi (misal : berlaku sebagai pelarut) (Sukardjo, 2002). COS
H 2 O CO2
H 2S
9
t=0
a
b
t=t
a-x
b-x
b-x b ~
dx dt
k 2 (a x ) b k 2 b(a x )
k bk 2
2,303 t
log
a a
x
2.3 Reaksi Elementer dan Nonelementer
Reaksi elementer adalah reaksi di mana orde reaksi terhadap suatu komponen/senyawa adalah sama dengan koefisien reaksi komponen/senyawa tersebut pada persamaan reaksinya (Fogler, 2005). Jadi untuk reaksi ele menter, aA
+
bB
produk
maka persamaan kinetika (persamaan kecepatan) reaksi nya, adalah (Fogler, 2005):
r A
dC A
dt
a
b
k C A C B
Penurunan persaman diatas didasarkan atas postulasi bahwa yang menjadi pengendali proses dari mekanisme reaksinya adalah tumbukan antara a molekul A dan b molekul B (Fogler, 2005). Orde (tingkat) keseluruhan reaksi elemementer adalah sama dengan
jumlah
koefisien reaksi semua reaktan yang terlibat dalam reaksi. (sama dengan a + b untuk contoh diatas) (Fogler, 2005). Untuk reaksi-reaksi yang sama sekali tidak ada hubungan antara orde reaksi dengan koefisien stoikhiometri, maka reaksinya disebut reaksi non elementer. Misalnya reaksi antara H2 dengan Br 2 menghasilkna HBr sebagai berikut (Fogler, 2005): H2
+
Br 2
2 HBr
Kecepatan reaksinya mempunyai model sebagai berikut (Fogler, 2005): 1/ 2
r HBr
k 1 ( H 2 )( Br ) k 2
( HBr ) /( Br 2 )
Reaksi non elementer seperti contoh diatas yang tampaknya seperti suatu reaksi tunggal, padahal secara mekanisme reaksi merupakan rangkaian sejumlah reaksi elementer. Reaksi-reaksi elementer ini membentuk produk-produk intermediate yang
10
jumlahnya dalam
campuiran adalah kecil sekali sehingga tidak terdeteksi pada
waktu pengukuran (Fogler, 2005).
2.4 Reaksi-Reaksi yang Kompleks
Untuk reaksi dapat balik , kecepatan reaksi ke kanan terus turun, reaksi ke kiri terus naik. Pada saat kecepatannya sama tercapai kesetimbangan. Untuk reaksi tingkat satu (Sukardjo, 2002):
k A
B k 1 dx
dt
k (a
x ) k ' x
Pada saat kesetimbangan (Sukardjo, 2002): dx dt dx
0 k '
dt dx
dt ka x k
k (a x ) ka x
k (a x )
1
(x
ln
t x
ln
at
x k (a x ) x
x
x)
(int egrasi )
x x
x
x x
x
Untuk reaksi (Sukardjo, 2002):
k
2HI
H2 (g) + I2 (g) k ’
dx dt
k (a
x) 2
k ' ( 12 x ) 2
Pada kesetimbangan (Sukardjo, 2002): k (a x ) 2
k ' 14 ( x ) 2
Substitusi pada persamaan diatas dan integrasi persamaan tersebut menghasilkan (Sukardjo, 2002):
k
x 2a (a x ) t
ln
x(a 2x ) ax a(x
x)
11
2.4.1
Reaksi Berturutan (consecutive reaction) k
k
1 2 B C A
Bila k 1 >>k 2, maka kecepatan reaksinya ditentukan oleh reaksi B -> C. Bila sebaliknya k 2 >>k 1, maka kecepatannya ditentukan oleh reaksi A -> B (Sukardjo, 2002). k
k
1 2 B C A
t=0
a
0
0
t=t
a-x
x-y
y
dx dt dy dt
k 1 (a
k 1 ( x
x ).......(1) y).......(2)
Kalau persamaan (1) di integrasikan, harga x dimasukkan dalam persamaan (2) dan kemudian juga di integrasikan maka diperoleh hubungan A, B, dan C sebagai berikut (Sukardjo, 2002):
CA CB CC
2.4.2
(a (a
x) y)
a
k 2
k 1
ae
k 1t
k 1a
(e
k 2
k 1
[(k 2
k 2 e
k 1t
k 1t
)
e
k 2 t
(k 1
)
k 1e
k 2 t
)]
Reaksi Samping ( Si de R eactions)
Pada reaksi ini, kecuali hasil utama terjadi pula hasil-hasil samping. Misalnya nitrasi p ada fenol, sekaligus terjadi para dan ortonitrofenol (Sukardjo, 2002). k 1 Fenol + HNO3
Ortonitrofenol + H2O k 2
t=0
a
Paranitrofenol + H2O
b
12
t=t
a-x
b-x
Kecepatan pembentukan (Sukardjo, 2002): O. nitrofenol = p. nitrofenol
=
d (O) dt d( p) dt
Jadi kecepatan total
k 1 (a
k 2 (a
d( x ) dt
x )( b x )
x )( b x )
(k 1 k 2 )(a x )( b x )
Perbandingan kecepatan pembentukan orto dan paranitrofenol (Sukardjo, 2002): k 1 k 2
tetap
Hal ini dapat digunakan untuk membedakan, apakah suatu reaksi merupakan reaksi berturutan atau merupakan reaksi samping. Bila reaksinya merupakan reaksi samping, maka k 1/k 2= tetap (Sukardjo, 2002).
2.5 Perhitungan Konstanta Kecepatan Reaksi
Beberapa teori yang telah diperkenalkan oleh peneliti, untuk hubungan yang dapat digunakan untuk memprediksi konstanta kecepatan reaksi antara lain : 2.5.1
Teori Arrhenius
Hubungan antara konstanta kecepatan reaksi dengan temperatur dinyatakan menurut persamaan Arhenius, adalah (Fogler, 2005): k = A e-Ea/RT ,
dimana (Fogler, 2005):
k = konstanta kecepatan reaksi A = faktor frekuensi Ea = energi aktivasi (kcal/mol) R = konstanta gas (kcal/mol*K) T = temperatur (K
13
Hubungan energi aktivasi dengan beberapa variabel dalam persamaan adalah sebagai berikut (Fogler, 2005):
Atau dapat dituliskan
Hubungan k dengan temperatur reaksi pada persamaan diatas diperoleh dari (Fogler, 2005): Untuk T = T
14
Untuk T = T o
Hubungannya:
2.5.2
Teori Tumbukan Antar Molekul
Teori ini didasarkan atas anggapan bahwa tabrakan antara 2 molekul reaktan dapat menghasilkan energi yang cukup untuk menimbulkan reaksi (Fogler, 2005). Ekspresi konstanta kecepatan reaksi (k) dan faktor frekuensi (A) untuk reaksi bimolekular sebagai berikut (Fogler, 2005): 2 HJ
H2
+
J2
Jumlah tumbukan antar molekul HJ per satuan waktu per satuan volume (Fogler, 2005): Z 11 2 n
2
2
RT M
0,5
(2.1)
Jumlah tumbukan molekul HJ yang bereaksi (Fogler, 2005): Z
= 2 Z 11
molekul/waktu.volum
atau, r
2 Z 11
N A
gmol/cm3 detik
(2.2)
Apabila diketahui , σHJ (diameter efektif tumbukan) = 3,5 oA (3,5 x 10-8 cm) n = 1 gmol HJ/cm 3 = 6,02 x 1023 molekul/cm3 T = 698,6 K R = 8,314 x 107 erg/mol oK M = Berat molekul HJ = 128 Dengan menggunakan persamaan (2.2) diperoleh,
2 x 2 (6,02 x10 23 ) 2 (3,5 x10 8 ) 2 r 6,02 x10 23
3,14 x 8,314 x10 7 x 698,6 128
0,5
r = 1,11 x 1011 gmol/cm3. detik Dari hasil percobaan di laboratorium, kecepatan reaksi disiosiasi HJ pada suhu 698,6 K dan konsentrasi reaktan 1 gmol adalah 1,24 x 10 -3 gmol/cm3.detik.
15
Menurut Arhenius perbedaan yang besar ini disebabkan tidak semua tumbukan menghasilkan reaksi. Hanya tumbukan antara molekul gas yang mempunyai tenaga sama atau lebih besar dari tenaga kritis E, yang merupakan molekul aktif yang dapat bereaksi (Fogler, 2005).
Z aktif
Z e
E / RT
Jadi, r
2 Z 11 e
E / RT
N A
(2.4)
Tetapi dengan tambahan koreksi ini masih tetap ada perbedaan antara r ekperiment dan
r teoritis . Biasanya r teoritis jauh lebih besar daripada r ekperiment , maka harus
dikoreksi lagi dengan dikalikan “Steric Factor (P)”. Sehingga rumus untuk r menjadi (Fogler, 2005): r
2 P Z 11 e
E / RT
N A
(2.5)
Perhitungan harga konstanta kecepatan reaksi menurut teori tumbukan untuk reaksi (Fogler, 2005):
A
r
+
B
R
Z AB aktif N A
+
S
(2.6)
1 1 2 8 Z AB aktif n A n B AB R T M M B A 2
r
n A n B AB N A
1 1 8 R T M M B A
0, 5
e E / RT
(2.7)
(2.8)
0,5
e
E / RT
Dari segi kinetika (Fogler, 2005):
r A
C A
dC A
n A
N A
dt
k C A C B
dan
CB
(2.9) nB
N A
maka,
(
r A )
k
n A
n B
N A N B
k
n A n B 2
N A
(2.10)
Persamaan (2.10) sama dengan (2.8), maka diperoleh (Fogler, 2005);
16
0, 5 1 1 2 E / RT k N A AB 8 R T e M M B A
(2.11)
Menurut Arrhenius (Fogler, 2005): k c
A e
Ec / RT
maka : 0, 5 1 1 A N A AB 8 R T M M B A 2
(2.12)
dan, Ec = E Harga
N A
(2.13)
2
AB
0,5 1 1 8 R T adalah konstan untuk M M B A
reaksi yang tertentu, maka dari teori tumbukan dapat dikatakan persamaan untuk menghitung nilai k adalah (Fogler, 2005): k
(konstanta )T 0,5 e
E / RT
(2.14)
Atau, ln k = ln (konstanta) + ½ ln T - E/RT 1
E
d ln k
dt
(2.15)
RT
2
RT
2
(2.16)
Persamaan Arrhenius, k
A e
Ec / RT
maka, ln k = ln A - Ec/RT d ln k dt
E c RT
2
(2.17) (2.18)
Persamaan (2.16) = (2.18) jadi : Ec = E + ½ RT
(2.19)
Pada umumnya harga E >>>> ½ RT, maka tidak akan membuat kesalahan besar jika dikatakan sebagai (Fogler, 2005): Ec ≈ E
(2.20)
17
2.5.3
Teori Pembentukan Senyawa Kompleks yang Teraktifkan
Teori ini diturunkan untuk memperbaiki harga k yang diperoleh dari teori tabrakan yang ternyata hanya sesuai
terutama untuk reaksi-reaksi bimolekuler.
Untuk sistem reaksi yang lain misalnya reaksi unimolekuler, hasilnya tidak memuaskan (Fogler, 2005). Sebagai ilustrasi kita diambil contoh reaksi sederhana antara A dan B membentuk senyawa R. Reaksi ini akan melalui tahap pembentukan senyawa kompleks yang teraktifkan (AB *) (Fogler, 2005): A
+
AB*
B
P
Bentuk hubungan yang diperoleh untuk konstanta k adalah (Fogler, 2005): k
k B T
e
S
*
/ R
e
*
E
/ RT
h
(2.21)
Dimana (Fogler, 2005): k
= konstanta Boltzman (1,380 x 10 -16 erg/K atau 1,38 x 10 -23 J/K
h
= konstanta Plank (6,024 x 10 -27 erg(sec) atau 6,024 x 10 -34 J(sec) *
= perubahan entropi dari senyawa kompleks teraktifkan
∆ E
*
= perubahan entalpi dari senyawa kompleks teraktifkan
T
= Temparatur absolut
∆S
2.5.3.1 Sistem Larutan Ideal
Untuk larutan ideal aktifitas identik dengan konsentrasi, maka harga K = K c. Dari hubungan Termodinamika (Fogler, 2005); Persamaan van Hoff (Fogler, 2005): d ln K c
maka,
dT
d ln K
dT
H
RT
H
RT
*
2
(2.22)
*
2
(2.23)
Persamaan konstanta reaksi untuk senyawa kompleks teraktifkan (Fogler, 2005): k c
k B T
h
K c
*
(2.24)
18
k B T
k c
ln
k c
e
H
*
*
/ RT S
/ R
h
d ln k c dT
k B
ln (
K c
*
1
0
*
) ln T ln
h
(2.25)
d ln K C
T
dT
1 T
(2.26) *
H
RT
2
(2.27)
Menurut Arrhenius (Fogler, 2005): d ln k c
E c
dT 1 T
maka,
RT
H
*
RT
*
2
2
E c RT
2
sehingga, E c H
k c
*
RT
k B T
e
H
atau
*
E c RT
* [ ( E c RT ) / RT ] S
(2.28)
/ R
h
jadi :
(2.29)
(2.30)
Hubungannya dengan persamaan Arrhenius (Fogler, 2005): k c
k B T
e
E c
/ RT ]
* S
/ R
h
A e
E c
/ RT
Sehingga untuk sistem larutan ideal berlaku (Fogler, 2005): A
k B T
e
*
S / R
h
(2.31)
2.5.3.2 Sistem Gas Ideal
Untuk reaktan gas yang mengikuti Hukum gas ideal ; Aktifitas ≈ Tekanan parsial, sehingga (Fogler, 2005): pV = n RT
K ≈ K p p = n/V . RT = C. RT
(2.32)
Untuk reaksi kesetimbangan (Fogler, 2005): aA
+
bB
rR
+
sS
.
(2.33)
berlaku hubungan,
19
*
* p
K
K
C Rr C sS
( RT )( r s ) ( a b )
b C Aa B
*
K c
( RT ) n
(2.34)
dimana, ∆n = (r + s) – (a + b) *
(2.35)
*
ln K p ln K c n ln R n ln T
d ln K p*
dT H
RT
* d ln K C
0
dT *
*
2
d ln K C
(2.36)
n
T
(2.37)
n
dT
.
T
(2.38)
atau, *
d ln K C
H
dT
RT
*
2
n
T
.
(2.39)
.
(2.40)
Arrhenius : *
d ln k c
dT d ln k c dT
d ln K C
dT 1 n
T
1
T
H
RT
H
*
RT
2
*
2
n
T
1
T
E c
RT
2
(2.41)
maka : E c
(1
*
n) RT H
(2.42)
atau, H
*
E c
(1 n) RT
.
(2.43)
Hubungannya dengan teori senyawa kompleks teraktifkan (Fogler, 2005): k c
k c
k B T
[ ( E c
(1 n ) RT ] RT
e
* S
R
h
k B T
e
(1 n ) S * / R
h
e
E c
/ RT ]
(2.44a)
A e
E c
/ RT
(2.44b)
Jadi,
A
k B T h
e
(1 n ) S * / R
(2.45)
20
2.6 Katalisator
Katalisator adalah zat yang dapat memoengaruhi kecepatan reaksi, tetapi zat tersebut tidak mengalami perubahan kimia pada akhir reaksi. Katalisator tidak berpengaruh pada
Go, jadi juga tidak berpengaruh terhadap tetapa kesetimbangan
△
K. Umumnya kenaikan konsentrasi katalisator juga menaikkan kecepatan reaksi, jadi agaknya katalisator ini ikut dalam reaksi, tetapi pada akhir reaksi diperoleh kembali. Katalisator juga menurunkan tenaga aktivasi hingga kecepatan reaksi lebih besar (Sukardjo, 2002). 2.6.1
Katalisator Homogen Gas
Pada reaksi (Sukardjo, 2002):
2 CH3 COH → 2CH4 2CO
∆E° = 45.500 kal uap, I
CH3 COH
CH4 CO
k
∆E° = 32.500 kal k' ~ 10.000 x k Reaksi dianggap berjalan sebagai berikut (Sukardjo, 2002): CH3 COH → CH I + CO + HI Lambat CH I + HI → CH I Cepat dx dt
2.6.2
= k . CCH COH . CI
Katalisator Homogen Larutan
Banyak katalisator jenis ini, seperti Ag+, I-, C2H5O-, asam-asam, basa-basa, asam dan basa umum (menurut Bronsted). Pada reaksi dengan katalisator asam, basa, asam-asam umum, atau basa-basa umum, konsentrasi katalisator ini juga berpengaruh terhadap kecepatan reaksi (Sukardjo, 2002). Contoh:
21
CHI
H O H O + ½ O dx dt
= k 1 . CHO . CHCl H O . H O
substrat
HA dx dt
+
hasil-hasil (katalisator asam umum)
= k 1 . CH O . Cs k CH O Cs k . CHA . Cs = Cs (k 1 . CHO k CH O k . CHA)
2.6.3
Reaksi Rantai
Reaksi ini terjadi misalnya pada reaksi antara H 2 + Br 2, H2 + Cl2, H2 + O2, Cs2 + O2, CO + O 2, dan sebagainya. Reaksi rantai adalah reaksi yang sangat cepat, terjadi beberapa tingkat diawali dengan diawali dengan proses primer tertentu (Sukardjo, 2002). Contoh: Reaksi H2 + Br 2 Reaksi permulaan: Br 2 → Br + Br Br + H2 → HBr + H (lambat) Reaksi propagasi (penyebaran): H + Br 2 → HBr + Br H + HBr → H2 + Br Reaksi pemberhentian (terminasi): Br + Br → Br 2 Pada reaksi H2 + Cl2 atau H2 + Br 2, reaksi awal disebabkan oleh Br dan Cl atom, dan ini dapat diperoleh karena reaksi dengan sinar atau uap logam seperti Na. Pada reaksi-reaksi lain, reaksi rantai disebabkan oleh adanya radikal-radikal seperti CHo3, C2Ho5, CH3COo dan sebagainya (Sukardjo, 2002). Katalisator negatif: Contoh: Br
CH4 Cl CH Cl + HCl Na SO
½ O
aldehid
Na SO
alkohol
22
Ini disebabkan karena zat tersebut memecah reaksi rantai (Sukardjo, 2002).
2.7 Aplikasi Reaksi Homogen “Pembuatan Asam Sulfat dengan Proses Kamar Timbal”
Bahan baku dalam proses ini yaitu gas SO 2. Katalis yang digunakan ialah gas NO dan NO2. Gas SO2, NO, NO2, dan uap air dialirkan ke dalam ruang yang bagian dalamnya dilapisi Pb (timbal) (Lutfiati, 2008). Proses yang terjadi adalah sebagai berikut.
Gambar 2.1 Diagram Alir Proses Kamar Timbal (Lutfiati, 2008)
Gas SO2 dan NO dimasukkan ke menara Glover bersamaan dengan gas-gas dari menara Gay Lussac, gas yang keluar dari menara Glover dimasukkan ke dalam kamar timbal dan disemprotkan dengan air sehingga menghasilkan asam sulfat 6067%. Hasil ini sebagian dikembalikan ke menara Glover yang akan menghasilkan asam 77%. Asam ini sebagian dimasukkan ke dalam menara Gay Lussac untuk menyerap gas-gas NO dan NO 2 (katalisator). Gas yang terserap ini dimasukkan kembali ke menara Glover (Lutfiati, 2008). Kamar timbal berbentuk silindris yang volumenya cukup luas. Permukaan dalamnya dilapisi timbal tipis dan disekat-sekat agar panas dapat ditransfer dengan baik, dinding bagian luar diberi sirip-sirip. Sehingga di dalam menara ini terjadi pengembunan uap asam sulfat. Menara Gay Lussac berfungsi untuk memungut
23
kembali katalisator gas NO dan NO2 di kamar timbal dengan menggunakan asam sulfat 77%. Penyerapan dilakukan pada suhu rendah antara 40-60°C. Menara Glover bertugas memekatkan hasil asam sulfat dari kamar timbal. Pemekatan ini perlu panas dan ini dapat diambil dari panas yang dibawa GHP (gas hasil pembakaran) belerang (400-600°C) (Lutfiati, 2008). Reaksi yang terjadi adalah (Lutfiati, 2008): 1) Pembakaran belerang menjadi SO2. S(s) + O2(g) → SO2(g) 2) Gas SO2 dioksidasi dengan katalis NO2 sebagai pembawa oksigen dalam air. SO2(g) + NO2(g) + H2O(l ) → H2SO4(s) + NO(g) NO yang terbentuk bereaksi dengan oksigen membentuk NO2 kembali 2NO(g) + O2(g) → 2NO2(g)
24
BAB III KESIMPULAN
25
DAFTAR PUSTAKA
Fogler, H. Scott. 2005. Elements of Chemical Reaction Engineering . 4th Edition. Pearson Education, Inc : USA. Lutfiati, Anna. 2008. Prarancangan Pabrik Asam Sulfat Dari Sulfur Dan Udara Dengan Proses Kontak Kapasitas 225.000 Ton Per Tahun. Fakultas Teknik Universitas Muhamadiyah Surakarta. Sukardjo. 2002. Kimia Fisika. Penerbit Rineka Cipta: Yogyakarta.
26