BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Berdasarkan studi epidemiologi, prevalensi rinitis alergi diperkirakan berkisar antara 10-20% (Solomon, 2005). Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its impact on Asthma) tahun 2010, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang dimediasi oleh IgE (Imunoglobulin E). Insidensi dan prevalensi rinitis alergi di Indonesia belum diketahui dengan pasti. Baratawidjaja (2006) pada penelitian di suatu daerah di Jakarta mendapatkan prevalensi sebesar 23,47% Rinitis alergi adalah penyakit yang ditandai dengan respon imun Ig-E, peradangan alergi dari mukosa hidung. T helper (Th) 2 sel memainkan peranan penting dalam perkembangan penyakit yang dimediasi Ig-E Ig -E seperti rinitis alergi, dengan kelebihan produksi lokal sitokin Th2 T h2 (IL-4, IL-5 dan IL-13) di lokasi peradangan alergi. Th1 sitokin (IL-12 dan IFN-gamma) yang dikenal untuk menekan respon imun Th2 ini, membantu pengobatan penyakit ini. (Kirmaz dkk, 2005) Diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, skin prick test (SPT), pemeriksaan IgE total. Kelainan atopi dapat didiagnosis dengan riwayat individual atau keluarga yang dikonfirmasikan dengan adanya IgE alergen spesifik atau hasil SPT yang positif. SPT dapat dilakukan dalam waktu singkat dan lebih sesuai untuk anak (Bloomfield dkk, 2006). Dengan teknik dan interpretasi yang benar, alergen berkualitas baik maka uji ini mempunyai spesifisitas da n sensitivitas yang tinggi disamping mudah, cepat, murah, aman dan tidak menyakitkan (Helmy dkk, 200 7). Pada individu yang telah tersensitisasi oleh alergen tertentu, pemberian sejumlah kecil alergen cair yang ditusukkan dengan jarum pada epidermis superfisial fleksor volar lengan bawah, atau punggung atas, akan menyebabkan kontak antara alergen dengan IgE spesifik yang terikat dengan permukaan sel mast kulit (Edgar, 2006).
B. Rumusan Masalah 1. Apa definisi dari rhiitis alergi ? 2. Apa saja klasifikasi dari rhinitis alergi ? 3. Apa etiologi dari rhinitis alergi ? 4. Apa manifestasi klinis dari rhinitis alergi ? 5. Apa patofisiologi dan pathway dari rhinitis alergi ? 6. Apa komplikasi dari rhinitis alergi ? 7. Bagaimana pencegahan rhinitis alergi ? 8. Apa pemeriksaan diagnostik rhinitis alergi ? C. Tujuan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Agar dapat mengetahui definisi dari rhiitis alergi ? Agar dapat mengetahui klasifikasi dari rhinitis alergi ? Agar dapat mengetahui etiologi dari rhinitis alergi ? Agar dapat mengetahui manifestasi klinis dari rhinitis alergi ? Agar dapat mengetahui patofisiologi dari rhinitis alergi ? Agar dapat mengetahui komplikasi dari rhinitis alergi ? Agar dapat mengetahui pencegahan dari rhinitis alergi ? Agar dapat mengetahui pemeriksaan diagnostik dari rhinitis alergi ? Agar dapat mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada pasien rhinitis alergi ?
D. Manfaat Mahasiswa diharapkan mampu memberikan wawasan mengenai konsep dasar medis dan asuhan keperawatan pada pasien penderita rhinitis alergi.
1
BAB II KONSEP DASAR TEORI I.
KONSEP DASAR MEDIK A. Pengertian Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien-pasien yang memiliki atopi, yang sebelumnya sudah tersensitisasi atau terpapar dengan allergen (zat/materi yang menyebabkan timbulnya alergi) yang sama serta meliputi mekanisme pelepasan mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen yang serupa ( behrman, dkk. 2002). Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala-gejala bersin-bersin, keluarnya cairan dari hidung, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar dengan allergen yang mekanisme ini diperantarai oleh IgE ( dorland,WA. Newman 2002). Rhinitis adalah suatu inflamasi ( peradangan ) pada membran mukosa di hidung. (Dipiro, 2005 ). Rhinitis adalah peradangan selaput lendir hidung ( Dorland, 2002 ). Rhinitis alergi Adalah istilah umum yang digunakan untuk menunjukkan setiap reaksi alergi mukosa hidung, dapat terjadi bertahun-tahun atau musiman. (Dorland,2002 ). Rinitis alergi adalah penyakit umum yang paling banyak di derita oleh perempuan dan laki-laki yang berusia 30 tahunan. Merupakan inflamasi mukosa saluran hidung yang disebabkan oleh alergi terhadap partikel, seperti: debu, asap, serbuk/tepung sari yang ada di udara. Rhinitis adalah istilah untuk peradangan mukosa. Menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi dua: a. Rhinitis akut (coryza, commond cold) merupakan peradangan membran mukosa hidung dan sinus-sinus aksesoris yang disebabkan oleh suatu virus dan bakteri. Penyakit ini dapat mengenai hampir setiap orang pada suatu waktu dan sering kali terjadi pada musim dingin dengan insidensi tertinggi pada awal musim hujan dan musim semi. b. Rhinitis kronis adalah suatu peradangan kronis pada membran mukosa yang disebabkan oleh infeksi yang berulang, karena alergi, atau karena rinitis vasomotor. B. Etiologi
Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang diawali oleh dua tahap sensitisasi yang diikuti oleh reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaitu : 1. Immediate Phase Allergic Reaction Berlangsung sejak kontak dengan allergen hingga 1 jam setelahnya 2. Late Phase Allergic Reaction Reaksi yang berlangsung pada dua hingga empat jam dengan puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan dapat berlangsung hingga 24 jam. Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas : 1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur. 2. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan. Dengan masuknya allergen ke dalam tubuh, reaksi alergi dibagi menjadi tiga tahap besar : 1. Respon Primer, terjadi eliminasi dan pemakanan antigen, reaksi non spesifik 2. Respon Sekunder, reaksi yang terjadi spesifik, yang membangkitkan system humoral, system selular saja atau bisa membangkitkan kedua system terebut, jika antigen berhasil dihilangkan maka berhenti pada tahap ini, jika antigen masih ada, karena defek dari ketiga mekanisme system tersebut maka berlanjut ke respon tersier 3. Respon Tersier , Reaksi imunologik yang tidak menguntungkan
C. Klasifikasi Berdasarkan waktunya Rhinitis Alergi dapat di golongkan menjadi: 1. Rinitis alergi musiman (Hay Fever) Biasanya terjadi pada musim semi. Umumnya disebabkan kontak dengan allergen dari luar rumah, seperti benang sari dari tumbuhan yang menggunakan angin untuk penyerbukannya, debu dan polusi udara atau asap. 2. Rinitis alergi yang terjadi terus menerus (perennial) Disebabkan bukan karena musim tertentu ( serangan yang terjadi sepanjang masa (tahunan)) diakibatkan karena kontak dengan allergen yang sering berada di rumah misalnya kutu debu rumah, bulu binatang peliharaan serta bau-bauan yang menyengat. 2
D. Patofisiologi Tepung sari yang dihirup, spora jamur, dan antigen hewan di endapkan pada mukosa hidung. Alergen yang larut dalam air berdifusi ke dalam epitel, dan pada individu individu yang kecenderungan atopik secara genetik, memulai produksi imunoglobulin lokal (Ig ) E. Pelepasan mediator sel mast yang baru, dan selanjutnya, penarikan neutrofil, eosinofil, basofil, serta limfosit bertanggung jawab atas terjadinya reaksi awal dan reaksi fase lambat terhadap alergen hirupan. Reaksi ini menghasilkan mukus, edema, radang, gatal, dan vasodilatasi. Peradangan yang lambat dapat turut serta menyebabkan hiperresponsivitas hidung terhadap rangsangan nonspesifik suatu pengaruh persiapan. (Behrman, 2000). Histamin merupakan mediator penting pada gejala alergi di hidung. Histamine bekerja langsung pada reseptor histamine selular, dan secara tidak langsung melalui refleks yang berperan pada bersin dan hipersekresi. Melalui saraf otonom, histamin menimbulkan gejala bersin dan gatal, serta vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang menimbulkan gejala beringus encer dan edema local reaksi ini timbul segera setelah beberapa menit pasca pajanan allergen. Kurang lebih 50% Rhinitis alergik merupakan manifestasi reaksi hipersensitifitas tipe I fase lambat, gejala Gejala rhinitis alergik fase lambat seperti hidung tersumbat, kurangnya penciuman, dan hiperreaktivitas lebih diperankan ooleh eosinofil. Pathway
PATHWAY RHINITIS ALERGI
Allergen
Hidung
Makrofag menangkap allergen dimukosa hidung Fragmen pendek peptice
Antigen
Fragmen +HLD
Kompleks peptice MHC Kelas II Sitokinin Terlepas
Sel Limfosit B aktif Terbentuk Ig E
Ig E masuk ke jaringan
Mengikat allergen spesifik 3
Degranulasi matosit dan basofil Terlepasnya Listamin
H Merangsang reseptor H 1 pada ujung saraf vidianus
Kelenjar mukosa dan gelombang goblet hipersekresi dan peningkatan permeabilitas kapiler Rhinore
Gangguan Harga diri
Vasolidatasi sinusoid
Hidung tersumbat
Gatal-gatal bersin
Gangguan pola tidur
Ketidakefektifan jalan nafas
Inflamasi Suhu Tubuh menurun
E. Manifestasi Klinis 1. Bersin berulang-ulang, terutama setelah bangun tidur pada pagi hari (umumnya bersin lebih dari 6 kali). 2. Hidung tersumbat. 3. Hidung meler. Cairan yang keluar dari hidung meler yang disebabkan alergi biasanya bening dan encer, tetapi dapat menjadi kental dan putih keruh atau kekuning-kuningan jika berkembang menjadi infeksi hidung atau infeksi sinus. 4. Hidung gatal dan juga sering disertai gatal pada mata, telinga dan tenggorok. 5. Badan menjadi lemah dan tak bersemangat. Gejala klinis yang khas adalah terdapatnya serangan bersin yang berulangulang terutama pada pagi hari, atau bila terdapat kontak dengan sejumlah debu. Sebenarnya bersin adalah mekanisme normal dari hidung untuk membersihkan diri dari benda asing, tetapi jika bersin sudah lebih dari lima kali dalam satu kali serangan maka dapat diduga ini adalah gejala rhinitis alergi. Gejala lainnya adalah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak. Hidung tersumbat, mata gatal dan kadang-kadang disertai dengan keluarnya air mata. F.
Pemeriksaan Diagnostik Diagnosis rinitis alergika berdasarkan pada keluhan penyakit, tanda fisik dan uji laboratorium. Keluhan pilek berulang atau menetap pada penderita dengan riwayat keluarga atopi atau bila ada keluhan tersebut tanpa adanya infeksi saluran nafas atas merupakan kunci penting dalam membuat diagnosis rinitis alergika. Pemeriksaan fisik meliputi gejala utama dan gejala minor. Uji laboratorium yang penting adalah pemeriksaan in vivo dengan uji kulit goresan, IgE total, IgE spesifik, dan pemeriksaan eosinofil pada hapusan mukosa hidung. Uji Provokasi nasal masih terbatas pada bidang penelitian. 4
G. Penatalaksanaan 1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebab 2. Pengobatan, penggunaan obat antihistamin H-1 adalah obat yang sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi atau dengan kombinasi dekongestan oral. Obat Kortikosteroid dipilih jika gejala utama sumbatan hidung akibat repon fase lambat tidak berhasil diatasi oleh obat lain 3. Tindakan Operasi (konkotomi) dilakukan jika tidak berhasil dengan cara diatas 4. Penggunaan Imunoterapi. Pemilihan obat-obatan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal antara lain : 1. Obat-obat yang tidak memiliki efek jangka panjang. 2. Tidak menimbulkan takifilaksis. 3. Beberapa studi menemukan efektifitas kortikosteroid intranasal. Meskipun demikian pilihan terapi harus dipertimbangkan dengan kriteria yang lain. 4. Kortikosteroid intramuskuler dan intranasal tidak dianjurkan sehubungan dengan adanya efek samping sistemik. Penatalaksanaan rinitis alergika meliputi edukasi, penghindaran alergen, farmakoterapi dan imunoterapi. Intervensi tunggal mungkin tidak cukup dalam penatalaksanaan rinitis alergika, penghindaran alergen hendaknya merupakan bagian terpadu dari strategi penatalaksanaan, terutama bila alergen penyebab dapat diidentifikasi. Edukasi sebaiknya selalu diberikan berkenaan dengan penyakit yang kronis, yang berdasarkan kelainan atopi, pengobatan memerlukan waktu yang lama dan pendidikan penggunaan obat harus benar terutama jika harus menggunakan kortikosteroid hirupan atau semprotan. Imunoterapi sangat efektif bila penyebabnya adalah alergen hirupan. Farmakoterapi hendaknya mempertimbangkan keamanan obat, efektifitas, dan kemudahan pemberian. Farmakoterapi masih merupakan andalan utama sehubungan dengan kronisitas penyakit. Tabel 3 menunjukkan obat-obat yang biasanya dipakai baik tunggal maupun dalam kombinasi. Kombinasi yang sering dipakai adalah antihistamin H1 dengan dekongestan. Medikamentosa diberikan bila perlu, dengan antihistamin oral sebagai obat pilihan utama. Imunoterapi pada anak diberikan secara selektif dengan tujuan pencegahan. Jenis-jenis terapi medikamentosa akan diuraikan di bawah ini. 1. Antihistamin-H1 oral Antihistamin-H1 oral bekerja dengan memblok reseptor H1 sehingga mempunyai aktivitas anti alergi. Obat ini tidak menyebabkan takifilaksis. AntihistaminH1 oral dibagi menjadi generasi pertama dan kedua. Generasi pertama antara lain klorfeniramin dan difenhidramin, sedangkan generasi kedua yaitu setirizin/levosetirizin dan loratadin/desloratadin. Generasi terbaru antihistamin-H1 oral dianggap lebih baik karena mempunyai rasio efektifitas/keamanan dan farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali sehari, serta bekerja cepat (kurang dari 1 jam) dalam mengurangi gejala hidung dan mata, namun obat generasi terbaru ini kurang efektif dalam mengatasi kongesti hidung. Efek samping antihistamin-H1 generasi pertama yaitu sedasi dan efek antikolinergik. Sedangkan antihistamin-H1 generasi kedua sebagian besar tidak menimbulkan sedasi, serta tidak mempunyai efek antikolinergik atau kardiotoksisitas. 2. Antihistamin-H1 lokal Antihistamin-H1 lokal (misalnya azelastin dan levokobastin) juga bekerja dengan memblok reseptor H1. Azelastin mempunyai beberapa aktivitas anti alergik. Antihistamin-H1 lokal bekerja sangat cepat (kurang dari 30 menit) dalam mengatasi gejala hidung atau mata. Efek samping obat ini relatif ringan. Azelastin memberikan rasa pahit pada sebagian pasien. 3. Kortikosteroid intranasal Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason, dan triamsinolon) dapat mengurangi hiperreaktivitas dan inflamasi nasal. Obat ini merupakan terapi medikamentosa yang paling efektif bagi rinitis alergik dan efektif terhadap kongesti hidung. Efeknya akan terlihat setelah 6-12 jam, dan efek maksimal terlihat setelah beberapa hari. Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih banyak dipertentangkan karena efek sistemik pemakaian lama dan efek lokal obat ini. Namun belum ada laporan tentang efek samping setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung jangka panjang. Dosis steroid topikal hidung dapat diberikan dengan dosis setengah dewasa dan dianjurkan sekali sehari pada waktu pagi hari. Obat ini diberikan pada kasus rinitis alergik dengan keluhan hidung tersumbat yang menonjol. 5
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Kortikosteroid oral/IM Kortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason, hidrokortison, metilprednisolon, prednisolon, prednison, triamsinolon, dan betametason) poten untuk mengurangi inflamasi dan hiperreaktivitas nasal. Pemberian jangka pendek mungkin diperlukan. Jika memungkinkan, kortikosteroid intranasal digunakan untuk menggantikan pemakaian kortikosteroid oral/IM. Efek samping lokal obat ini cukup ringan, dan efek samping sistemik mempunyai batas yang luas. Pemberian kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak. Pada anak kecil perlu dipertimbangkan pemakaian kombinasi obat intranasal dan inhalasi. Kromon lokal (‘local chromones’) Kromon lokal (local chromones), seperti kromoglikat dan nedokromil, mekanisme kerjanya belum banyak diketahui. Kromon intraokular sangat efektif, sedangkan kromon intranasal kurang efektif dan masa kerjanya singkat. Efek samping lokal obat ini ringan dan tingkat keamanannya baik. Obat semprot hidung natrium kromoglikat sebagai stabilisator sel mast dapat diberikan pada anak yang kooperatif. Obat ini biasanya diberikan 4 kali sehari dan sampai saat ini tidak dijumpai efek samping. Dekongestan oral Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin, merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Penggunaan obat ini pada pasien dengan penyakit jantung harus berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain hipertensi, berdebar-debar, gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala, kekeringan membran mukosa, retensi urin, dan eksaserbasi glaukoma atau tirotoksikosis. Dekongestan oral dapat diberikan dengan perhatian terhadap efek sentral. Pada kombinasi dengan antihistamin-H1 oral efektifitasnya dapat meningkat, namun efek samping juga bertambah. Dekongestan intranasal Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin, oksimetazolin, dan xilometazolin) juga merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Obat ini bekerja lebih cepat dan efektif daripada dekongestan oral. Penggunaannya harus dibatasi kurang dari 10 hari untuk mencegah terjadinya rinitis medikamentosa. Efek sampingnya sama seperti sediaan oral tetapi lebih ringan. Pemberian vasokonstriktor topikal tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak di bawah usia l tahun karena batas antara dosis terapi dengan dosis toksis yang sempit. Pada dosis toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular dan sistem saraf pusat. Antikolinergik intranasal Antikolinergik intranasal (misalnya ipratropium) dapat menghilangkan gejala beringus (rhinorrhea) baik pada pasien alergik maupun non alergik. Efek samping lokalnya ringan dan tidak terdapat efek antikolinergik sistemik. Ipratropium bromida diberikan untuk rinitis alergik pada anak dengan keluhan hidung beringus yang menonjol. Anti-leukotrien Anti-leukotrien, seperti montelukast, pranlukast dan zafirlukast, akan memblok reseptor CystLT, dan merupakan obat yang menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun dalam kombinasi dengan antihistamin-H1 oral, namun masih diperlukan banyak data mengenai obat-obat ini. Efek sampingnya dapat ditoleransi tubuh dengan baik.
H. Pencegahan Beberapa langkah/tips berikut ini dapat membantu anda bahkan jika anda tidak tahu jenis pollen apa yang membuat anda alergi. Jika anda tahu tipe pollen apa yang membuat anda alergi itu lebih bagus lagi. 1. Tetaplah berada di dalam ruangan/rumah pada waktu pollen sangat banyak di udara. Umumnya pollen sedikit di udara hanya beberapa saat setelah matahari terbit. Mereka kemudian jumlahnya makin banyak dan paling banyak pada tengah hari dan sepanjang siang. Jumlahnya kemudian berkurang menjelang matahari terbenam. 2. Tutuplah jendela dan pintu, baik pada siang maupun malam hari. Gunakan AC untuk membantu mengurangi jumlah pollen yang masuk ke dalam rumah anda. Jangan gunakan kipas dengan buangan keluar (exhaust fan) karena dapat membawa lebih banyak pollen masuk ke dalam rumah anda. 3. Potonglah rumput di halaman rumah sesering mungkin. 4. Cegah membawa pulang pollen masuk ke rumah setelah anda bepergian: a. Segeralah mandi dan ganti baju dan celana yang anda pakai di luar. b. Keringkan pakaian anda dengan mesin pengering, jangan jemur di luar. 6
5.
Berliburlah ke tempat lain pada saat musim pollen sedang berlangsung di tempat anda ke tempat di mana tanaman yang membuat anda alergi tidak tumbuh. 6. Jangan keluar rumah pada saat hujan atau hari berangin. 7. Hindari aktivitas yang membat anda terpapar dengan mold, seperti berkebun (terutama saat bekerja dengan kompos), memotong rumput. 8. Buanglah jauh-jauh dari rumah anda daun-daun yang berguguran, potongan rumput, dan kompos. Di daerah yang berudara lembab mold di dalam rumah dapat mencetuskan serangan asthma, rhinitis alergika dan dermatitis alergika. Beberapa langkah berikut dapat membantu: 1. Bersihkan kamar mandi, bathtubs, shower stalls, shower curtains, dan karet-karet jendela paling sedikit sebulan sekali dengan disinfektan atau cairan pemutih. Gunakan pemutih dengan hati-hati, karena dapat membuat hidung anda teriritasi. Jika hidung anda teriritasi, gejala alergi anda dapat memburuk. 2. Rumah harus ada aliran udara yang baik dan kering. 3. Gunakan exhaust fan di kamar mandi dan dapur. 4. Jangan gunakan karpet. Oleh karena orang dewasa menghabiskan 1/3 waktu mereka dan anak-anak menghabiskan ½ dari waktu mereka di kamar tidur, maka penting agar tidak ada alergen di kamar tidur. Jangan gunakan kasur, bantal dan guling yang diisi dengan kapuk. I.
II.
Komplikasi 1. Polip hidung. Rinitis alergi dapat menyebabkan atau menimbulkan kekambuhan polip hidung. 2. Otitis media. Rinitis alergi dapat menyebabkan otitis media yang sering residif dan terutama kita temukan pada pasien anak-anak. 3. Sinusitis kronik Otitis media dan sinusitis kronik bukanlah akibat langsung dari rinitis alergi melainkan adanya sumbatan pada hidung sehingga menghambat drainase
KONSEP DASAR KEPERAWATAN A. Pengkajian 1. Identitas klien Nama, jenis kelamin, umur, alamat, suku bangsa, penangggung biaya.
2. 3.
4.
Keluhan utama Bersin-bersin, hidung mengeluarkan sekret, hidung tersumbat, dan hidung gatal. Riwayat peyakit dahulu Apakah pasien pernah menderita penyakit THT sebelumnya? Riwayat keluarga Apakah keluarganya ada yang menderita penyakit yang di alami pasien?
5.
Pemeriksaan fisik : a. Inspeksi : permukaan hidung terdapat sekret mukoid b. Palpasi : nyeri, karena adanya inflamasi 6. Pemeriksaan penunjang : a. Pemeriksaan nasoendoskopi b. Pemeriksaan sitologi hidung c. Hitung eosinofil pada darah tepi d. Uji kulit alergen penyebab B. Diagnosa Keperawatan 1. Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi /adanya sekret yang mengental 2. Gangguan pola istirahat berhubungan dengan penyumbatan pada hidung 3. Gangguan konsep diri berhubungan dengan rhinore C. Intervensi 1. Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi/ adanya sekret yang mengental. Tujuan : Jalan nafas efektif setelah sekret dikeluarkan Kriteria Hasil : a. Klien tidak bernafas lagi melalui mulut 7
b.
Jalan nafas kembali normal terutama hidung
Intervensi
1. 2. 3.
Kaji penumpukan secret yang ada Observasi tanda-tanda vital Kolaborasi dengan tim medis
Rasional
1. 2. 3.
4.
Mengetahui tingkat keparahan dan tindakan selanjutnya Mengetahui perkembangan klien sebelum dilakukan operasi. Kerjasama untuk menghilangkan obat yang dikonsumsi
Gangguan pola istirahat berhubungan dengan penyumbatan pada hidung Tujuan : klien dapat istirahat dan tidur dengan nyaman Kriteria Hasil : Klien tidur 6-8 jam sehari
Intervensi
Rasional
1. 2. 3. 4.
Kaji kebutuhan tidur klieN Ciptakan suasana yang nyaman Anjurkan klien bernafas lewat mulut Kolaborasi dengan tim medis pemberian obat
5.
Gangguan konsep diri berhubungan dengan rhinore Tujuan: konsep diri baik setelah intervensi Kriteria Hasil: a. Pasien mengekspresikan kepercayaan diri dalam kemampuan b. Mengekspresikan kepuasan dengan citra tubuh. c. Mengekspresikan kepuasan dengan rasa berharga.
Intervensi
1.
Dorong individu untuk bertanya mengenai masalah, penanganan, perkembangan dan prognosis kesehatan, 2. Ajarkan individu menegenai sumber komunitas yang tersedia, jika dibutuhkan (misalnya : pusat kesehatan mental). 3. Dorong individu untuk mengekspresikan perasaannya, khususnya bagaimana individu merasakan, memikirkan, atau memandang dirinya
1.
Mengetahui permasalahan klien dalam pemenuhan kebutuhan istirahat tidur 2. Agar klien dapat tidur dengan tenang 3. Pernafasan tidak terganggu 4. Pernafasan dapat efektif kembali lewat hidung
Rasional
1.
Memberikan minat dan perhatian, memberikan kesempatan untuk memperbaiaki kesalahan konsep 2. Pendekatan secara komperhensif dapat membantu memenuhi kebutuhan pasienuntuk memelihara tingkah laku koping. 3. Dapat membantu meningkatkan tingkat kepercayaan diri, memperbaiki harga diri, mrnurunkan pikiran terus menerus terhadap perubahan dan meningkatkan perasaan terhadap pengendalian diri
8
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien-pasien yang memiliki atopi, yang sebelumnya sudah tersensitisasi atau terpapar dengan allergen (zat/materi yang menyebabkan timbulnya alergi) yang sama serta meliputi mekanisme pelepasan mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen yang serupa. Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala-gejala bersin-bersin, keluarnya cairan dari hidung, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar dengan allergen yang mekanisme ini diperantarai oleh IgE. Menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi dua: rhinitis akut dan rhinitis kronis. Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang diawali oleh dua tahap sensitisasi yang diikuti oleh reaksi alergi. Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas : Alergen Inhalan dan Alergen Kontaktan. Berdasarkan waktunya Rhinitis Alergi dapat di golongkan menjadi : Rinitis alergi musiman (Hay Fever) dan Rinitis alergi yang terjadi terus menerus (perennial). Gejala klinis yang khas adalah terdapatnya serangan bersin yang berulang-ulang terutama pada pagi hari, atau bila terdapat kontak dengan sejumlah debu. Sebenarnya bersin adalah mekanisme normal dari hidung untuk membersihkan diri dari benda asing, tetapi jika bersin sudah lebih dari lima kali dalam satu kali serangan maka dapat diduga ini adalah gejala rhinitis alergi. Diagnosis rinitis alergika berdasarkan pada keluhan penyakit, tanda fisik dan uji laboratorium. Penatalaksanaan rinitis alergika meliputi edukasi, penghindaran alergen, farmakoterapi dan imunoterapi. Intervensi tunggal mungkin tidak cukup dalam penatalaksanaan rinitis alergika, penghindaran alergen hendaknya merupakan bagian terpadu dari strategi penatalaksanaan, terutama bila alergen penyebab dapat diidentifikasi. B. SARAN
Untuk mengetahui dan memahami patofisiologi rhinitis alergi serta asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien yang terkena rhinitis alergi. Makalah ini diharapkan mampu memberikan wawasan tentang penyakit rhinitis alergi serta mengaplikasikan asuhan keperawatan di lapangan. Dan bagi penderita rhinitis alergi agar dapat mencegah atau menghindari dari fator pencetus terjadinya alergi.
9