EHAMILAN POSTTERM K EHAMILAN
Disusun Oleh : Fathan Mustafid
J500130035
Marlina Elviana
J500130010
Esha Putriningtyas Putriningt yas S
J500130051
Baiq Selsilya P
J500130111
Wilda Husaini
J500130117
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2017
BAB I PENDAHULUAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI
Definisi internasional dari kehamilan memanjang, yang diresmikan oleh American College of Obstetricians and Gynecologist adalah kehamilan dengan usia 42 minggu lengkap (294 hari) atau lebih terhitung mulai dari hari pertama haid terakhir. Kehamilan postterm disebut juga kehamilan serotinus, kehamilan lewat waktu, kehamilan lewat bulan, prolonged pregnancy, extended pregnancy, atau postdates.
B. EPIDEMIOLOGI
Insidensi kehamilan postterm umumnya dilaporkan sekitar 7% dari semua kehamilan. Di Eropa, perkiraan insidensi berkisar dari 0,8% menjadi 8,1%. 7Sekitar 6% dari 4 juta bayi yang lahir di Amerika Serikat selama tahun 2006 diperkirakan telah dilahirkan pada usia kehamilan 42 minggu atau lebih. Di Indonesia, sekitar 3,4-14% atau rata-rata 10% kehamilan berlangsung sampai 42 minggu atau lebih. Prevalensi kejadian ini bervariasi tergantung pada beberapa karakteristik populasi, antara lain persentasi primigravida, obesitas, kehamilan postterm sebelumnya, dan predisposisi genetik. Penentuan usia kehamilan berdasarkan USG lebih akurat jika dibandingkan dengan HPHT, dan periksaan rutin menggunakan USG secara signifikan dapat menurunkan angka kehamilan postterm. C. PATOGENESIS DAN ETIOLOGI
Patogenesis terjadinya kehamilan postterm masih belum diketahui dengan pasti. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, beberapa faktor risiko dicurigai berperan dalam kejadian ini. Agar pemahaman mengenai patogenesis kehamilan postterm menjadi jelas, hal esensial yang diperlukan terlebih dahulu adalah mengetahui patofisiologi parturisi (proses persalinan) dan memahami mengapa mekanisme tersebut gagal terjadi pada kondisi postterm. Mekanisme parturisi meliputi interaksi antara mekanisme hormonal dan proses inflamasi dimana plasenta, ibu, dan janin masing-masing memiliki peranan penting. Produksi peptida corticotrophin releasing hormone (CRH) oleh plasenta berhubungan dengan lamanya kehamilan berlangsung. Sintesis CRH oleh plasenta akan meningkat seiring dengan pertambahan usia kehamilan dan mencapai puncak pada saat persalinan. Pada wanita yang mengalami persalinan preterm, peningkatan CRH terjadi lebih cepat, sedangkan pada wanita dengan kehamilan postterm peningkatan hormon ini terjadi dengan lambat.5
Penyebab paling seringterjadinya kehamilan postterm adalah penentuan usia kehamilan yang tidak akurat. Penggunaan kriteria klinis untuk menentukan taksiran persalinan berpotensi menimbulkan overestimateusia kehamilan dan berkonsekuensi mengingkatkan insiden kehamilan postterm. Kriteria klinis yang sering digunakan untuk menentukan usia kehamilan antara lain Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT), ukuran uterus melalui pemeriksaan bimanual pada trimester pertama, persepsi gerakan janin, auskultasi denyut jantung janin, dan pengukuran tinggi fundus uteri. Beberapa teori yang diajukan pada umumnya menyatakan bahwa terjadinya kehamilan postterm sebagai akibat gangguan terhadap timbulnya persalinan. Beberapa teori antara lain sebagai berikut: 1. Pengaruh Progesteron Pengaruh hormon progesteron dalam kehamilan dipercaya merupakan kejadian perubahan endokrin yang penting dalam memacu proses biomolekular pada persalinan dan meningkatkan sensitivitas uterus terhadap oksitosin, sehingga beberapa penulis menduga bahwa terjadinya kehamilan postterm adalah karena masih berlangsungya pengaruh progesteron. 2. Teori Oksitosin Pemakaian oksitosin untuk induksi persalinan pada kehamilan postterm dipercaya bahwa oksitosin secara fisiologis memegang peranan penting dalam menimbulkan persalinan dan pelepasan oksitosin dari neurohipofisis ibu hamil yang kurang pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu faktor penyebab kehamilan postterm. 3. Teori Kortisol/ACTH (Adrenocorticotropic Hormone) janin. Dalam teori ini diajukan bahwa sebagai “pemberi tanda” untuk dimulainya persalinan adalah janin, diduga akibat peningkatan tiba-tiba kadar kortisol plasma janin. Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta sehingga produksi progesteron berkurang dan memperbesar sekresi esterogen, selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya produksi prostaglandin. Pada cacat bawaan seperti anensefalus, hipoplasia adrenal janin, dan tidak adanya kelenjar hipofisis pada janin akan menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan baik sehingga kehamilan dapat berla ngsung lewat bulan. 4. Saraf Uterus. Tekanan pada ganglion servikalis dari pleksus Frankenhauser akan membangkitkan kontraksi uterus. Pada keadaan dimana tidak ada tekanan pada pleksus ini, seperti pada kelainan letak, tali pusat pendek dan bagian bawah masing tinggi, semua hal tersebut diduga sebagai penyebab terjadinya kehamilan postterm.
5. Herediter Beberapa penulis menyatakan bahwa seorang ibu yang mengalami kehamilan postterm mempunyai kecenderungan untuk melahirkan lewat bulan pada kehamilan berikutnya.
D. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko kehamilan postterm secara umum mencakup primiparitas, riwayat kehamilan postterm sebelumnya, obesitas, faktor hormonal, dan predisposisi genetik. Telah diketahui bahwa Indeks Massa Tubuh (IMT) berpengaruh terhadap durasi kehamilan dan waktu persalinan. Wanita obesitas memiliki insidensi lebih tinggi terjadinya kehamilan postterm. Karena jaringan lemak bersifat aktif secara hormonal, dan pada wanita obesitas mengalami perubahan status metabolik, maka memungkinkan jika faktor endrokin yang berperan dalam terjadinya inisiasi persalinan mengalami perubahan pada wanita obesitas. Perubahan kadar hormon diketahui memiliki peran dalam terjadinya persalinan spontan dan juga kemungkinan memiliki peranan terhadap kejadian kehamilan postterm. Sebagai contoh defisiensi sulfatase plasenta, merupakan salah satu kelainan Xlinkedresesif yang jarang, yang dapat mencegah terjadinya persalinan spontan akibat defek pada aktivitas sulfatase plasenta dan menyebabkan penurunan kadar estriol (E3). Insufisiensi adrenal dan hipoplasia adrenal pada janin, begitu juga dengan anensefali janin (tanpa adanya polihidramnion), walaupun jarang terjadi, tetapi memiliki hubungan dengan terjadinya kehamilan postterm. Adanya kelainan janin seperti anensefalus juga dapat menyebabkan kehamilan postterm. Hal ini dapat terjadi karena ketiadaan tulang kranial yang menyebabkan tidak adanya penekanan pada pleksus frankenhauser sehingga tidak adanya rangsangan untuk uterus berkontraksi. Faktor genetik juga berperan dalam pemanjangan usia kehamilan, wanita yang lahir dari ibu dengan riwayat kehamilan postterm memiliki risiko lebih tinggi untuk kejadian kehamilan postterm dan wanita dengan riwayat kehamilan postterm pada kehamilan sebelumnya memiliki risiko 27% jika memiliki riwayat postterm 1 kali, dan 39% jika memiliki riwayat postterm 2 kali. Tabel Bishop Score: Kriteria
0
1
2
3
Pembukaan
0
1-2
3-4
5-6
Pendataran (%)
0-30
40-50
60-70
80
Penurunan Kepala
-3
-2
-1
+1, +2
Konsistensi serviks
Keras
Sedang
Lunak
Posisi serviks
Posterior
Searah jalan Anterior lahir
E. DIAGNOSIS
Beberapa kasus yang dinyatakan sebagai kehamilan postterm merupakan kesalahan dalam menentukan umur kehamilan. Kasus kehamilan postterm yang tidak dapat ditegakkan secara pasti diperkirakan sebesar 22%. Metode paling akurat untuk menentukan usia kehamilan adalah dengan biometri janin menggunakan USG pada awal kehamilan.
F. PENENTUAN USIA KEHAMILAN 1. Riwayat haid
Kesalahan terkait penentuan usia kehamilan berdasarkan HPHT sering terjadi. Jika terjadi underestimate terhadap usia kehamilan, maka akan terjadi misdiagnosis prematuritas, dan tindakan obstetrik yang tidak seharusnya dilakukan dapat terjadi. Namun, overestimasi terhadap usia kehamilan dapat meningkatkan risiko induksi persalinan yang tidak dibutuhkan. Penentuan usia kehamilan dengan HPHT memerlukan ingatan pasien yang akurat dan bahwa ovulasi terjadi pada hari ke-14 siklus menstruasi. Kesalahan dalam menentukan HPHT umumnya terjadi akibat ingatan pasien yang salah. Untuk riwayat haid yang dapat dipercaya, penderita harus yakin betul dengan HPHT nya, siklus 28 hari dan teratur, serta tidak minum pil antihami sekitar 3 bulan terakhir. 2. Riwayat pemeriksaan antenatal:
a. Denyut jantung janin Dengan stetoskop Laennec DJJ dapat didengar mulai umur kehamilan 18-20 minggu, sedangkan dengan Doppler dapat terdengar pada usia kehamilan 10-12 minggu. b. Gerakan janin
Gerak janin atau quickening pada umumnya dirasakan ibu pada umur kehamilan 18-20 minggu. Pada primigravida dirasakan sekitar umur kehamilan 18 minggu, sedangkan multigravida pada 16 minggu. c. Tes kehamilan Bila pasien melakukan pemeriksaan tes imunologik sudah terlambat 2 minggu, maka dapat diperkirakan kehamilan memang telah berlangsung 6 minggu. 3. Tinggi fundus uteri Pada trimester pertama pemeriksaan tinggi fundus uteri dalam sentimeter dapat bermanfaat bila dilakukan pemeriksaan secara berulang tiap bulan. Lebih dari 20 minggu, tinggi fundus uteri dapat menentukan umur kehamilan secara kasar. 4. Pemeriksaan ultrasonografi Ketetapan usia gestasi sebaiknya mengacu pada hasil pemeriksaan ultrasonografi pada trimester pertama. Kesalahan perhitungan rumus Naegele dapat mencapai 20%. Pada umur kehamilan 16-26 minggu, ukuran biparietal dan panjang femur memberikan ketepatan sekitar 7 hari dari taksiran persalinan. a. USG pada trimester awal kehamilan harus dilakukan pada semua wanita (biasanya di usia kehamilan 11-14 minggu), karena USG pada masa ini merupakan cara terakurat dalam menentukan usia kehamilan. b. Jika terdapat perbedaan > 5 hari antara usia kehamilan yang ditentukan dengan HPHT dan USG trimester I, maka tafsiran persalinan didasarkan oleh USG trimester I. c. Jika terdapat perbedaan > 10 hari antara usia kehamilan yang ditentukan dengan HPHT dan USG trimester II, maka tafsiran persalinan didasarkan oleh USG trimester II. d. Jika terdapat perbedaan pada USG trimester I dan II, maka usia kehamilan ditentukan oleh USG yang paling awal. Pada umur kehamilan 6 minggu sudah terlihat cincin kehamilan yang sangat khas, gerakan denyut janin terlihat jelas pada umur kehamilan 8 minggu. Sampai umur kehamilan 12 minggu panjang puncak kepala-bokong ( Crown Rump Length/ CRL) dalam milimeter memberikan ketepatan sekitar 4 hari dari taksiran persalinan. Umur kehamilan 16-20 minggu dilakukan penuekuran Biparietal Diameter (BPD) dalam milimeter serta Femur Length (FL) dalam milimeter memberikan ketepatan sekitar 7 hari dari taksiran persalinan. 5. Pemeriksaan radiologi
Umur kehamilan ditentukan dengan melihat pusat penulangan. Gambaran epifisis femur bagian distal paling dini dapat dilihat pada kehamilan 32 minggu, epifisis tibia proksimal terlihat setelah umur kehamilan 36 minggu, dan epifisis kuboid pada kehamilan 40 minggu. Cara ini sekarang jarang dipakai selain karena dalam pengenalan pusat penulangan seringkali sulit, juga pengaruh radiologik yang kurang baik terhadap janin.
G. PERMASALAHAN KEHAMILAN POSTTERM
1. Perubahan pada plasenta: Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya komplikasi pada kehamilan postterm dan meningkatnya risiko pada janin. Perubahan yang terjadi pada plasenta sebagai berikut: a. Penimbunan/deposit kalsium: pada kehamilan postterm terjadi peningkatan kalsium pada plasenta. Hal ini dapat menyebabkan gawat janin bahkan kematian janin intrauterin yang dapat meningatkan 2-4 kali lipat. Timbunan kalsium plasenta meningkat sesuai dengan progesivitas degenerasi plasenta. b. Selaput vaskulosinsisial menjadi tambah tebal dan jumlahnya berkurang. Keadaan ini dapat menurunkn mekanisme transpor plasenta. c. Terjadi proses degenerasi jaringan plasenta seperti edema, timbunan fibrinoid, fibrosis, trombosis intervili, dan infark vili. d. Adanya perubahan biokimiawi (insufisiensi plasenta) menyebabkan protein plasenta dan kadar DNA di bawah normal, sedangkan konsentrasi RNA meningkat. Transpor kalsium
tidak
terganggu,
aliran
natrium,
kalium,
dan
glukosa
menurun.
Pengangkutan bahan dengan berat molekul tinggi mengalami gangguan sehingga dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin intrauterin.
2. Komplikasi pada janin a. Berat janin Bayi postterm lebih besar dari bayi aterm dan memiliki insiden janin makrosomia yang lebih tinggi (2,5-10% di postterm dibandingkan 0,8-1% pada jangka). Makrosomia janin didefinisikan sebagai berat janin ≥ 4,5 kg, terkait dengan persalinan lama, disproporsi kepala panggul, dan distosia bahu. Distosia bahu dikaitkan dengan risiko cedera ortopedi (misalnya fraktur pada humerus dan klavikula) dan juga cedera syaraf seperti cedera pleksus brakialis dan cerebral palsy.
b. Distres janin dan oligohidramnion Gawat janin antepartum dan distres janin intrapartum merupakan akibat dari kompresi tali pusat yang disebabkan oleh oligohidramnion. Secara normal, volume cairan amnion terus berkurang setelah 38 minggu dan dapat menjadi masalah. Lebih lanjut, mekoniumm yang dilepaskan ke dalam cairan amnion yang sudah berkurang menyebabkan mekonium yang kental dan tebal sehinggal dapat menyebabkan sindrom aspirasi mekonium. c. Sindrom Postmaturitas Sindrom postmaturitas dapat dikenali pada neonatus dengan ditemukannya beberapa tanda seperti kulit keriuput, tidak merata, terkelupas, tubuh panjang dan kurus yang menunjukkan wasting , maturitas lanjut karena mata bayi terbuka, pengerutan kulit dapat sangat mencolok pada telapak tangan dan telapak kaki, kuku umumnya panjang, muka tampak menderita, dan rambut kepala banyak atau tebal.3Tidak seluruh neonatus kehamilan postterm menunjukkan tanda postmaturitas tergantung fungsi plasenta. Umumnya didapat sekitar 12-20% neonatus dengan tanda postmaturitas pada kehamilan postterm. Berdasarkan derajat insufisiensi plasenta yang terjadi, tanda postmaturitas dapat dibagi menjadi 3 stadium:9 1) Stadium I: kulit menunjukkan kehilangan verniks kaseosa dan maserasi berupa kulit kering, rapuh, dan mudah mengelupas. 2) Stadium II: gejala diatas disertai pewarnaan mekonium (kehijauan) pada kulit. 3) Stadium III: disertai pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit, dan tali pusat.
3. Komplikasi pada ibu Kehamilan postterm dikaitkan dengan risiko signifikan terhadap ibu. Terdapat peningkatan risiko: 1) distosia persalinan (9-12% dibandingkan 2-7% pada aterm); 2) laserasi perineum yang beratterkait dengan makrosomia(3,3% dibandingkan 2,6% pada aterm); 3) peningkatan seksio sesaria (14% dibandingkan 7% aterm). Persalinan sesar dikaitkan dengan peningkatan risiko endometritis dan perdarahan.Morbiditas ibu juga meningkat pada kehamilan setelah 42 minggu. Komplikasi seperti korioamnionitis, laserasi perineum yang parah, persalinan sesar, perdarahan postpartum, dan endomiometritis meningkat progresif setelah 39 minggu kehamilan. Semakin tua kehamilan, maka jumlahnya semakin banyak. Tetapi bisa juga terjadi kalsifikasi yang dini, yang akan menurunkan jumlah nutrisi dan oksigen pada bayi. Kalsifikasi plasentadikategorikan menjadi 4 grade. Grade 0 tidak ditemukan
kalsifikasi, grade 1 terlihat sedikit gambaran kalsifiaksi, grade 2 ditemukan dengan mudah kalsifikasi setengah lingkaran, grade 3 banyak ditemukan kalsifikasi berbentuk lingkarang.
H. TATALAKSANA KEHAMILAN POSTTERM
1. Antepartum Fetal Surveillance Wanita hamil yang mencapai usia kehamilan 42 minggu dan memilih untuk melanjutkan kehamilannya dengan perawatan konservatif harus menjalani antenatal fetal surveillance (AFS). Penilaian volume cairan amnion dengan USG penting dilakukan, dan persalinan harus dipertimbangkan jika terjadi gawat janin atau oligohidramnion. Jika terjadi oligohidramnion maka akan timbul masalah seperti rendahnya Apgar skor dan meningkatkan perawatan bayi postpartum di ruang intensif. Oligohidramnion dapat timbul akibat insufisiensi feto-plasenta atau peningkatan resistensi arteri renalis dan merupakan predisposisi terjadinya kompresi tali pusat, sehingga menyebabkan hipoksemia janin, lewatnya mekonium, atau aspirasi mekonium. Pemeriksaan yang lebih sering (2 kali seminggu) pada kehamilan postterm harus dilakukan karena cairan amnion dapat mengalami penurunan drastis dalam 24-48 jam. Tidak terdapat definisi oligohidramnion yang pasti pada kehamilan postterm. Definisi yang ada antara lain, diameter vertikal terbesar kantung cairan <2 cm atau amniotic fluid index (AFI) <5 cm.
2. Induksi Persalinan Induksi persalinan adalah suatu tindakan terhadap ibu hamil yang belum in partu baik secara manipulatif ataupun medisional untuk merangsang timbulnya kontraksi rahim sehingga terjadi persalinan. Induksi persalinan berbeda dengan akselerasi persalinan, dimana pada akselerasi persalinan tindakan-tindakan tersebut dikerjakan pada wanita hamil yang sudah in partu bertujuan untuk memperbaiki his. Induksi persalinan bisa dilakukan secara medis seperti infus oksitosin, prostaglandin, dan cairan hipertonik intrauterin, atau bisa juga dilakukan dengan cara manipulatif seperti amniotomi, melepaskan selaput ketuban dari bagian bawah rahim, pemakaian rangsangan listrik, dan rangsangan puting susu. Oksitosin merupakan nonpeptida yang disintesis di dalam badan sel supraoptik dan neuron paraventikuler serta dibawa sepanjang akson menuju lobus neural hipofisis posterior dalam vesikel yang terbungkus membran untuk disimpan dan kemudian
dilepaskan. Oksitosin diketahui merupakan suatu uterotonin yang sangat poten yang menyebabkan kontraksi uterus. Pada akhir kehamilan terjadi peningkatan mencolok reseptor oksitosin. Penemuan baru-baru ini menjelaskan bahwa oksitosin bekerja pada jaringan endometrium (decidua) untuk meningkatkan pelepasan prostaglandin. Induksi persalinan diindikasikan jika manfaat dilakukannya persalinan melebihi risiko yang berhubungan dengan induksi tersebut. Perhatian utama yang meliputi induksi persalinan pada kehamilan postterm tanpa risiko lainnya yaitu overstimulasi uterus, distress janin, kegagalan induksi dan peningkatan angka sectio cesarea (SC). Selain itu terdapat beberapa risiko yang berkaitan dengan induksi persalinan pada beberapa pasien dengan faktor risiko spesifik, seperti risiko ruptur uterus pada wanita dengan riwayat SC sebelumnya. Induksi persalinan memiliki angka kesuksesan sesuai dengan kondisi serviks. Induksi kemungkinan akan berhasil jika serviks telah matang. Walaupun kehamilan postterm didefinisikan sebagai masa kehamilan yang mencapai 42 minggu atau lebih, beberapa penelitian multi-centre randomized mengenai manajemen kehamilan lebih dari 40 minggu menyatakan bahwa luaran yang lebih baik akan dihasilkan dengan melakukan induksi persalinan di awal masa kehamilan 41 minggu. Penatalaksanaan pada kasus ini yaitu terminasi kehamilan dengan dilakukan induksi persalinan menggunakan oksitosin 5 iu yang di drip dengan infus D5% (melalui intarvena). Dalam mengakhiri kehamilan dengan induksi oksitosin, pasien harus memenuhi beberapa syarat, antar lain kehamilan aterm, ada kemunduran his, ukuran panggul normal, tidak ada disproporsi sefalopelvik, presentasi kepala, dan serviks sudah matang. Beberapa metode yang digunakan untuk menilai kematangan serviks antara la in pemeriksaan serviks digital (bishop skor), penilaian panjang serviks dengan USG. Hasil bishop skor adalah 4, jadi dapat disimpulkan bahwa belum terjadi pematangan serviks, tetapi tetap dipilih induksi menggunakan oksitosin, hal ini dikarenakan kepala janin belum masuk pintu atas panggul. Penggunaan oksitosin apabila terjadi his yang adekuat dapat dihentikan sewaktu-waktu dan bisa dikendalikan, berbeda dengan penggunaan misoprostol yang tidak bisa dikendalikan apabila terjadi his yang adekuat, sehingga bisa berdampak buruk pada janin. Tetesan dimulai dari 8 tpm yang dinaikkan 4tpm per 15 menit, setiap menaikkan tetasan harus observasi ketat DJJ dan his. Induksi persalian berhasil dengan infus D5% + oksitosin 5iu pada botol pertama dengan tetesan maksimal 40 tpm.
Prosedur Pemberian Infus Oksitosin: 1.
Dipasang infus Dextrosa 5% dengan 5 unit oksitosin.
2.
Tetesan dimulai dari 8 tts/menit dapat dinaikkan tetesan infus dengan 4 tts/15 menit (untuk evaluasi timbulnya kontraksi uterus) sampai timbul his yang adekuat atau tetesan maksimal 40 tts/menit.
3.
Pengawasan induksi harus dilaksanakan dengan cermat terutama mengawasi akan kemungkinan terjadinya ruptura uteri dan gawat janin.
4.
Bila sebelum 40 tpm sudah timbul kontraksi otot rahim yang adekuat, maka tetesan yang terakhir dipertahankan sampai persalinan berlangsung. Bila terjadi his yang sangat kuat, jumlah tetesan dikurangi atau sementara dihentikan.
BAB III KESIMPULAN
Pada kasus kehamilan posterm kehamilan yang terjadi >42 minggu
Untuk mengetahui hasil kehamilan secara akurat dengan melakukan USG
Pasien dengan kehamilan posterm biasanya di lakukan Antepartum Surveillance, induksi persalinan Atau dengan Sectio caesar.
Fetal
DAFTAR PUSTAKA
1. Baranova, A., et al. 2006. Gene Expression of leptin, Resistin, and Adiponectin in the White Adipose Tissue of Obese Patients with Non-Alcoholic Fatty Liver Disease and insulin Resistance. Obes Surg. Volume 16. Pp: 1118-1125.
2. Cuningham M. G.,et al . 2012. Induksi Persalinan. In: Williams Obstetrics. Section 1. 23th Ed. New York: McGraw Hill Company and EGC. Pp: 522-33.
3. Cuningham M. G.,et al . 2012. Postterm. In: Williams Obstetrics. Section 2. 23th Ed. New York: McGraw Hill Company and EGC. Pp: 877 – 87.
4. Delaney M., et al . 2008. Guidelines for the Manajemen of Pregnancy at 41+0 to 42+0 Weeks. SOGC Clinical Practice Guideline, 214: 800-810.
5. Galal, M., et al. 2012. Postterm Pregnancy. FVV in Obgyn. Volume 4 Nomor 3. Pp:175187.
6. Kistka, Z.A., et al. 2010. Risk of Postterm Delivery after Previous Postterm Delivery. Am J Obstet Gynecol.Volume 196 Nomor 3. Pp: 214e1-214e6.
7. Mandruzzato G., et al. 2010. Guidelines for the Management of Postterm Pregnancy. J. Perinal. Med. Volume 38. Pp: 111-119.
8. Martin, J.A., et al. 2009. Births: Final Data for 2006. Nasional Center for Health Statistics. Volume 57 Nomor 1.
9. Mochtar, A.B., Kristanto, H. 2010. Kehamilan Postterm. Dalam Buku Ilmu Kebidanan Edisi 4. Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
10. Prawirohardjo, S. 2010. Ilmu Bedah Kebidanan, Edisi I, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, Tahun, BAB IX Induksi persalinan Hal 73-79.
11. Taipale, P., et al. 2011. Predicting Delivery Date by Ultrasound and Last Menstrual Period on Early Gestation. Obstet Gyneol . Volume 97. Pp: 189-194.