Kebijakan Riset dan Inovasi Nasional 1 Benyamin Lakitan2
“Pemerintah memajukan iptek dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”
Sebelum upaya mewujudkan sistem inovasi menjadi kebijakan pemerintah dan menjadi populer, amanah konstitusi sesungguhnya sejak awal sudah lebih mengutamakan peran iptek dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memajukan peradaban, dibandingkan pencapaian prestise akademik. Walaupun demikian, amanah konstitusi ini tidak boleh ditafsirkan sebagai pilihan antara menyejahterakan rakyat atau mengikuti perkembangan teknologi maju, karena hakikinya kesejahteraan rakyat tersebut membutuhkan baik teknologi sederhana maupun teknologi maju. Edgerton (2006) juga mengingatkan bahwa teknologi yang dibutuhkan dan memberi kontribusi terhadap perkembangan peradaban suatu bangsa bukan hanya teknologi yang spektakuler tetapi juga teknologi sederhana yang umum dijumpai dalamkehidupan sehar-hari. Dalam ungkapan beliau: “History is changed when we put into it the technology that counts: not only the famous spectacular technologies but also the low and ubiquitous ones”. Dengan demikian maka akan sangat keliru jika kemajuan pembangunan iptek hanya diukur berdasarkan tingkat kemajuan teknologi yang mampu dikuasai, tetapi tidak memberikan kontribusi nyata terhadap upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Pilihan untuk pengembangan teknologi sederhana, menengah, atau maju hendaknya didasarkan pada realita kebutuhan dan persoalan nyata yang dihadapi bangsa dan negara. Dengan demikian, maka teknologi yang dihasilkan akan berpeluang untuk digunakan baik dalam kegiatan ekonomi maupun digunakan untuk kepentingan negara yang lain, sehingga amanah konstitusi untuk menyejahterakan rakyat dapat dipenuhi.
1 Keynote Speech pada Seminar Hasil Penelitian Universitas Sriwijaya, 1 Desember 2011 2 Deputi Bidang Kelembagaan Iptek, Kementerian Riset dan Teknologi R.I.
Kebijakan Riset dan Inovasi Nasional, UNSRI 1 Desember 2011
Pasal 31 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945
1
SINas untuk Kesejahteraan Rakyat
Gambar 2. Unsur esensial dan konsepsi sistem inovasi (Lakitan 2011a)
Dalam setiap sistem inovasi, baik SINas maupun Sistem Inovasi Daerah (SIDa) ataupun sistem inovasi yang fokus pada suatu isu tertentu, akan selalu memerlukan peran dari para aktor pengembang teknologi, pengguna teknologi, dan para pihak yang ikut mewujudkan ekosistem inovasi yang kondusif. Perguruan tinggi, sesuai dengan tridharma yang diusungnya, akan sangat dibutuhkan untuk berperan sebagai pengembang teknologi, selain sebagai pemasok sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas yang dibutuhkan pada berbagai posisi dalam sistem inovasi. Tautan antara pembangunan iptek dengan pembangunan ekonomi terjadi ketika teknologi yang dihasilkan digunakan dalam kegiatan ekonomi. Kemajuan perekonomian dan peningkatan persaingan sebaliknya juga akan menciptakan kebutuhan teknologi baru. Oleh sebab itu, untuk memperbesar peluang agar tautan itu terjadi, maka pengembangan teknologi perlu berorientasi pada kebutuhan atau persoalan nyata (demand-driven).
Kebijakan Riset dan Inovasi Nasional, UNSRI 1 Desember 2011
Penguatan Sistem Inovasi Nasional (SINas) yang menjadi program utama Kementerian Riset dan Teknologi pada dasarnya merupakan langkah strategis dalam memenuhi amanah konstitusi agar iptek berkontribusi terhadap kesejahteraan rakyat, yakni dengan mengarahkan agar teknologi yang dihasilkan melalui serangkaian kegiatan riset adalah teknologi yang relevan dengan realita kebutuhan pengguna atau dapat menjadi solusi bagi persoalan bangsa, masyarakat, atau industri. Teknologi tersebut selain secara teknis relevan, tetapi juga diharapkan secara ekonomi sesuai dengan kapasitas adopsi para pengguna potensialnya (Gambar 1).
2
Secara ringkas, sistem inovasi hanya akan terwujud jika teknologi digunakan dalam proses produksi barang atau jasa yang dibutuhkan konsumen; atau digunakan oleh pemerintah dalam rangka menjaga keutuhan kedaulatannya atau untuk meningkatkan kualitas layanan publik. Secara sederhana namun tegas dan jelas, The World Bank (2010) menggunakan pernyataan: ‘What is not disseminated and used is not an innovation’ sebagai deskripsi tentang inovasi. Teknologi super canggih belum dapat dikategorikan sebagai inovasi jika teknologi tersebut tidak digunakan; sebaliknya invensi sederhana dapat dikategorikan sebagai inovasi jika digunakan oleh industri, masyarakat, dan/atau pemerintah.
Dalam konteks SINas, maka mutlak perlu terjadi aliran informasi kebutuhan teknologi dan persoalan nyata yang membutuhkan solusi teknologi dari pihak pengguna teknologi ke pihak pengembang teknologi. Prasyarat agar aliran ini terjadi adalah [1] keterbukaan atau keinginan dari pihak pengguna untuk berbagi informasi tentang kebutuhan dan persoalan teknologi; dan [2] sensitivitas pihak pengembang teknologi dalam mencermati kebutuhan realita teknologi dan persoalan teknologi yang dibutuhkan pengguna. Keyakinan pihak pengguna atas kapasitas lembaga pengembang teknologi dalam menghasilkan teknologi yang sesuai kebutuhan, handal secara teknis, dan kompetitif secara ekonomi akan menjadi pemicu terjadinya aliran informasi. Jika saat ini aliran tersebut masih tersendat, maka adalah bijak jika kedua belah pihak melakukan swa-evaluasi, mencermati tentang apa yang perlu dibenahi di wilayah peran masing-masing. Selain aliran informasi, maka aliran paket teknologi dari pengembang ke pengguna perlu pula terjadi. Prasyarat agar aliran teknologi ini terjadi adalah: [1] teknologi yang dikembangkan dan ditawarkan oleh perguruan tinggi atau lembaga litbang relevan dengan kebutuhan pengguna; [2] teknologi yang ditawarkan sepadan dengan (atau dapat juga jika lebih rendah dari) kapasitas adopsi pengguna potensialnya; dan [3] penggunaan teknologi tersebut mempunyai prospek keuntungan yang lebih baik dibandingkan dengan teknologi serupa yang sudah tersedia. Pemerintah diharapkan dapat memainkan peran sebagai fasilitator, intermediator, dan regulator agar suasana yang kondusif dapat diwujudkan, untuk merangsang pengguna dan pengembang teknologi mengintensifkan komunikasi dan interaksinya. Untuk menjalankan fungsinya tersebut, pemerintah perlu memahami kapasitas dan keterbatasan, atau kekuatan dan kelemahan, yang dimiliki pihak pengembang teknologi, serta juga memahami kebutuhan dan kendala yang dihadapi pihak pengguna teknologi.
Kebijakan Riset dan Inovasi Nasional, UNSRI 1 Desember 2011
Komunikasi dan interaksi antara pengembang dan pengguna teknologi perlu intensif dan kontinyu agar SINas atau SIDa dapat produktif mengalirkan kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi nasional atau daerah. Sebagai sebuah sistem, maka SINas dan SIDa tidak dapat dipandang hanya sebagai kumpulan dari lembaga, tetapi yang lebih penting adalah terjadinya aliran informasi dan produk teknologi antar-lembaga.
3
Sosok Ideal Lembaga Riset
Gambar 2. Tiga kapasitas yang harus dimiliki lembaga riset dan pengembang teknologi (Lakitan, 2011b) Indikator konvensional untuk ukuran kinerja lembaga riset dan pengembang teknologi perlu diperbaharui, jika konteksnya adalah sistem inovasi dan jika lembaga ini diharapkan akan secara nyata berkontribusi dalam upaya kolektif menyejahterakan rakyat sebagaimana yang diamanahkan konstitusi. Sebagai contoh, jumlah sumberdaya manusia dengan latar belakang jenjang pendidikan formal S3 tetap jadi indikator yang bermanfaat, tapi lebih penting lagi adalah jumlah sumberdaya manusia dengan bidang ilmu yang sesuai dengan kepakaran yang dibutuhkan untuk mengembangkan teknologi yang sesuai kebutuhan nyata, karena isu relevansi
Kebijakan Riset dan Inovasi Nasional, UNSRI 1 Desember 2011
Dalam konteks sistem inovasi, sosok ideal lembaga riset dan pengembang teknologi perlu dilihat dari 3 perspektif, yakni: [1] kapasitasnya dalam mengakses informasi tentang realita kebutuhan teknologi, potensi sumberdaya yang dapat dikelola atau diakses, teknologi yang telah tersedia, perkembangan mutakhir ilmu pengetahuan, keberadaan pakar luar-lembaga yang potensial untuk berkolaborasi, dan sumber pembiayaan kegiatan riset (sourcing capacity); [2] kapasitasnya dalam mempublikasikan hasil-hasil risetnya, mendifusikan paket teknologi yang dihasilkan, dan memberikan landasan akademik untuk perumusan kebijakan publik (disseminating capacity); dan [3] kapasitas intinya dalam pelaksanaan riset dan pengembangan teknologi secara produktif, bermutu, dan relevan, serta sepadan dengan kapasitas adopsi calon pengguna potensialnya (R&D capacity) (Gambar 2).
4
kepakaran menjadi sangat penting pada saat ini. Contoh lainnya adalah jumlah paten yang didaftarkan tetap menjadi indikator yang baik, walaupun diketahui hanya sedikit paten yang kemudian betul-betul diadopsi oleh para pengguna teknologi secara komersial. Indikator yang lebih relevan dalam konteks sistem inovasi adalah jumlah royalti yang diterima, sebagai bukti bahwa teknologi yang dihasilkan tersebut telah secara nyata dimanfaatkan. Lembaga riset dan pengembang teknologi saat ini harus berani menghadapi tantangan baru dan tidak mungkin hanya melakukan business as usual dan bersembunyi dibalik topeng akademik. Para pakar di lembaga pengembang teknologi, terutama di perguruan tinggi, saat ini menjadi tumpuan harapan masyarakat untuk melahirkan inovasi teknologi sebagaimana yang diharapkan (Kim et al., 2010) untuk menghasilkan produk baru dan/atau kebutuhan baru agar pertumbuhan ekonomi tetap dapat berlanjut.
MP3EI yang sudah diluncurkan oleh Presiden Republik Indonesia di Jakarta pada tanggal 27 Mei 2011, bukan hanya merupakan panduan akademik tetapi juga telah mendapatkan dasar hukumnya dengan penetapannya melalui Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011. Berdasarkan konsepsi MP3EI, ada tiga strategi utama dalam mempercepat dan memperluas pembangunan ekonomi Indonesia, yakni: [1] Pengembangan potensi ekonomi melalui koridor ekonomi; [2] penguatan konektivitas nasional; dan [3] penguatan kemampuan SDM dan iptek nasional (Gambar 3). Perguruan tinggi dapat berkontribusi pada ketiga strategi MP3EI ini, yakni memberikan masukan dan telaah akademis tentang potensi ekonomi pada masing-masing koridor dan strategi pengelolaannya; memformulasikan konsepsi untuk meningkatkan konektivitas nasional, baik secara fisik (physical connectivity), kelembagaan (institutional connectivity), maupun sosial budaya (people-to-people connectivity); dan yang paling utama adalah menyiapkan SDM yang berkualitas dan iptek yang relevan dengan kebutuhan nasional. Pilihan strategi ini mempertegas argumen bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa yang akan datang membutuhkan kontribusi teknologi yang lebih nyata, karena Indonesia tak selamanya dapat mengandalkan hasil eksploitasi sumberdaya alam untuk menyokong perekonomiannya. Namun demikian, sangat penting dan krusial untuk dipahami bahwa teknologi hanya akan berkontribusi terhadap perekonomian jika teknologi tersebut digunakan dalam kegiatan ekonomi, terutama dalam proses produksi barang ataupun jasa yang dibutuhkan konsumen. MP3EI dirancang untuk mewujudkan Visi Indonesia 2025, yakni masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dak makmur. Untuk itu, selain tiga strategi utama yang sudah ditetapkan tersebut, juga diperlukan tiga inisiatif strategis, yakni: [1] Mendorong investasi skala besar di 22 kegiatan ekonomi utama; [2] Sinkronisasi rencana aksi nasional untuk merevitalisasi kinerja sektor riil; dan [3] Pengembangan center of excellence di setiap koridor ekonomi. Untuk mendukung pengembangan pusat unggulan ini, maka Kementerian Riset dan Teknologi telah
Kebijakan Riset dan Inovasi Nasional, UNSRI 1 Desember 2011
MP3EI sebagai Acuan Pengembangan Teknologi
5
Gambar 3. Prinsip dasar, strategi utama, dan inisiatif strategis MP3EI dalam rangka mewujudkan Visi Indonesia 2025 (Perpres 32/2011)
MP3EI membagi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi 6 koridor ekonomi (KE), yakni: [1] KE Sumatera, [2] KE Jawa, [3] KE Kalimantan, [4] KE Sulawesi, [5] KE Bali-Nusa Tenggara, dan [6] KE Papua-Maluku. Untuk masing-masing KE ini telah pula ditetapkan tema pembangunannya (Gambar 4).
Kebijakan Riset dan Inovasi Nasional, UNSRI 1 Desember 2011
mengambil inisiatif untuk mendorong terbentuknya pusat-pusat unggulan dimaksud pada masing-masing koridor ekonomi.
6
Penetapan tema pembangunan ekonomi untuk masing-masing koridor tersebut didasarkan antara lain atas potensi ekonominya masing-masing. Sebagai contoh, KE Sumatera diarahkan untuk menjadi sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbung energi nasional, karena Sumatera merupakan produsen sawit dan karet utama serta memiliki deposit batubara yang besar, selain minyak dan gas. Dua puluh dua kegiatan ekonomi utama MP3EI tersebar di berbagai sektor pembangunan. Ada 8 kegiatan yang termasuk dalam sektor pertanian, perikanan, kehutanan, atau industri berbasis pertanian, yakni: pertanian pangan, peternakan, perikanan, kelapa sawit, kakao, karet, perkayuan, serta makanan dan minuman (Gambar 5). Jika MP3EI dijadikan sebagai acuan untuk pembangunan ekonomi dan SINas diposisikan sebagai wahana bagi teknologi untuk menyejahterakan rakyat sebagaimana amanah konstitusi, maka kegiatan ekonomi utama MP3EI harusnya dijadikan ‘focus’ kegiatan riset dan koridor ekonomi MP3EI harusnya dijadikan sebagai ‘locus’ bagi kegiatan riset dan pengembangan di Indonesia.
Kebijakan Riset dan Inovasi Nasional, UNSRI 1 Desember 2011
Gambar 4. Tema pembangunan masing-masing koridor ekonomi berdasarkan MP3EI (Prepres 32/2011)
7
Arah Kebijakan Riset dan Inovasi Nasional. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi Nomor 246/M/Kp/IX/2011 telah ditetapkan arah penguatan SINas untuk meningkatkan kontribusi iptek terhadap pembangunan nasional yang diformulasikan dalam bentuk 11 butir rekomendasi, yakni: (1) Pengembangan teknologi Indonesia perlu difokuskan untuk memenuhi realita kebutuhan dan/atau menjadi solusi bagi permasalahan yang dihadapi oleh pengguna teknologi, termasuk masyarakat, industri, dan lembaga pemerintah sesuai dengan konsepsi penguatan SINas; (2) Kapasitas lembaga pengembang teknologi perlu direvitalisasi agar mempunyai tiga kapasitas yang dibutuhkan dalam menopang SINas, yakni kapasitas riset dan pengembangan, kapasitas sourcing, dan kapasitas difusinya;
Kebijakan Riset dan Inovasi Nasional, UNSRI 1 Desember 2011
Gambar 5. Kegiatan ekonomi utama berdasarkan MP3EI (Perpres 32/2011)
8
(3) Kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi perlu ditingkatkan agar proses difusi teknologi dalam rangka mewujudkan SINas dapat lebih berpeluang untuk terlaksana, sehingga teknologi dapat secara nyata berkontribusi terhadap pembangunan nasional; (4) Peran lembaga intermediasi perlu lebih dioptimalkan sehingga interaksi dan komunikasi antara lembaga pengembang dan pengguna teknologi dapat lebih intensif dan produktif, dengan demikian maka upaya penguatan SINas dapat mengalami akselerasi. Peran lembaga intermediasi perlu diperluas sehingga tidak hanya memasarkan teknologi tetapi juga membantu mengidentifikasi kebutuhan dan permasalah yang dihadapi para pengguna teknologi. Partisipasi pihak non-pemerintah perlu dirangsang untuk berperan dalam intermediasi ini;
(6) Pembangunan Science and Technology Park (STP) perlu disegerakan agar tersedia wahana untuk mendorong interaksi dan komunikasi antara lembaga pengembang-intermediasipengguna teknologi, dimana kawasan Puspiptek Serpong dapat diprioritaskan untuk ditransformasi secara fisik dan fungsional menjadi STP; (7) Pengembangan pusat unggulan inovasi (center of excellence on innovation) perlu segera diinisiasi dalam rangka memberikan dukungan terhadap implementasi strategi pokok ketiga MP3EI, yakni meningkatkan kontribusi teknologi terhadap percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia; (8) Pembentukan konsorsium inovasi berdasarkan isu spesifik yang menjadi sasaran bersama (common goal) dan memiliki nilai strategis nasional perlu didorong karena akan menjadi vehicle yang efektif sebagai model implementasi SINas; (9) Peran Dewan Riset Nasional (DRN) perlu direvitalisasi, antara lain melalui perbaikan komposisi keanggotaannya agar secara lebih seimbang mewakili komunitas pengembang dan pengguna teknologi, serta dari unsur pemerintah. Kemungkinan reposisi DRN juga perlu dipertimbangkan agar peran koordinasi DRN menjadi lebih efektif; (10) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta turunannya Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi perlu disinkronisasikan, diperbaiki, atau bahkan dilengkapi dengan produk turunannya sehingga bisa diimplementasikan secara efektif dan utuh; dan (11) Orientasi pengembangan SINas harus berbasis sumberdaya nasional dan lebih diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan domestik sehingga diharapkan akan mampu meningkatkan kemandirian, harkat, dan martabat bangsa Indonesia
Kebijakan Riset dan Inovasi Nasional, UNSRI 1 Desember 2011
(5) Pemerintah menyiapkan ‘panggung’ bagi para aktor inovasi agar dapat berinteraksi secara intensif dan produktif, melalui pemberlakukan regulasi dan kebijakan yang kondusif, terutama di sektor riset dan teknologi, keuangan, pendidikan, ketenagakerjaan, perindustrian, dan perdagangan;
9
Referensi Akademis Edgerton, D. 2006. The Shock of the Old. Profile Books Ltd., London Kim, T.Y., A. Heshmati, and J. Park. 2010. Decelerating Agricultural Society: theoritical and historical perspectives. Technological Forcasting and Social Change 77:479-499 Lakitan, B. 2011a. National Innovation System in Indonesia: Present status and challenges. Keynote paper Presented at the Annual Meeting of Science and Technology Studies, Tokyo Institute of Technology, 10-12 June 2011 Lakitan, B. 2011b. Indikator Kinerja Lembaga Litbang di Era Informasi Terbuka. Makalah pengarahan pada Temu Peneliti Badan Litbang dan Diklat VIII Kementerian Agama RI di Makassar tanggal 12-15 April 2011 World Bank. 2010. Innovation Policy: a guide for developing countries. The World Bank, Washington DC
Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Keputusan Menegristek No. 246/M/Kp/IX/2011 tentang Arah Penguatan Sistem Inovasi Nasional untuk Meningkatkan Kontribusi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi terhadap Pembanguan Nasional.
Kebijakan Riset dan Inovasi Nasional, UNSRI 1 Desember 2011
Referensi Regulasi
10