MAKALAH ETIKA DAN PERUNDANG-UNDANGAN
KASUS OBAT PALSU
DISUSUN OLEH: I G. N. Indra Permana Jaya (118115011) I Made Wisnu Joniada
(118115012) (118115012 )
Puspita Mutiarasari Mutiarasari
(118115026)
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2011
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Obat palsu kini menjadi bahaya permanen bagi masyarakat. Di Indonesia, persentase peredaran obat palsu sangat beragam. Pemerintah memperkirakan peredarannya sekitar 1-1,5 persen, sedangkan Badan Kesehatan Dunia/WHO memperkirakan sebesar 10 persen. Kerugian negara akibat pemalsuan di sektor farmasi ini telah mencapai lebih dari Rp 600 miliar pada Produk Kotor Domestik di Indonesia untuk tahun 2002 saja, kata Sekretaris Jenderal Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) Justisiari Perdana Kusuma di Jakarta. Kerugian negara hingga Rp 600 miliar itu merujuk pada Studi Dampak Ekonomi Makro yang dilakukan oleh LPEM Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 2002 dan baru dirilis tahun 2005. Lama dirilis karena memang sulit mengumpulkan datanya. Yang terkait dengan obat ilegal ini adalah obat palsu, obat yang standarnya tidak sesuai klaim, dan terjadi penyalahgunaan. Menurut Justisiari, tahun 2007 ada lebih dari 500 penggerebekan obat -obatan ilegal, namun sangat sedikit kasus yang berujung ke pengadilan. Hukuman pun tidak diterapkan secara maksimal. Dalam praktik pun menimbulkan permasalahan ketika terkait dengan Undang-Undang. Apakah akan menggunakan UndangUndang Merek, Undang-Undang Kesehatan, KUHP atau Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Harus dipakai Undang-Undang yang tepat untuk menjerat pelaku, kata Justisiari.
BAB II KASUS DAN PEMBAHASAN
A. KASUS “Sindikat Pembuat Obat Palsu di Depok” Rabu, 26 Januari 2011- Depok. Pabrik obat palsu beromzet puluhan juta rupiah
digerebek petugas gabungan Polda Metro Jaya dan Polresta Depok. Puluhan ribu obat berbagai jenis dan merek disita berikut dua tersangka pengelola As,26, dan DS,30,diamankan polisi. Kapolresta Depok, Kombes Ferry Abraham, menyatakan tersangka merupakan bagian dari sindikat pembuat obat palsu dengan cara obat kadaluarsa kembali dikemas dengan kemasan dipesan dari percetakan daerah Senen, Jakarta Pusat. Botol dan penutup dibeli dari wilayah Cibinong, Bogor. "Tanggal kadaluarsanya dikerok dan dicetak kembali dengan alat yang mereka punya. Caranya sangat sederhana, hanya menggunakan mesin cetak manual. Mesinnya juga ikut kami sita," katanya didampingi Kasatreskrim Kompok Ade Rahmad Idnal di Aula Polres Depok, Selasa (25/1). "Kami masih mengejar tiga lainnya, pemasok dan penjual. Kami juga akan berkoordinasi dengan dinas kesehatan Depok untuk merazia obat di toko obat." Terungkapnya berawal dari informasi warga yang curiga aktifitas rumah selama tiga tahun terakhir di Kampung Cimpaeun RT 001/04, Kel. Cimpaeun, Kec. Tapos. Pabrik yang dikelola As, yang ahli meracik otodidak karena pernah bekerja enam tahun sebagai apoteker, dengan raihan keuntungan mencapai Rp 5juta/bulan, sangat tertutup dan melapor ke polisi.. Singkatnya, polisi menggerebek setelah As tak bisa menunjukkan surat izin usaha. Sewaktu digeledah petugas mendapati ratusan ribu obat-obatan berbagai jenis dan merek termasuk botol dan kemasan kardus obat disita..Sedikitnya 12 macam obat disita di antaranya obat batuk, vitamin suplemen hingga susu bubuk untuk penyakit diabetes. Waspadai Peredaran Obat Palsu (Koran Tempo: Kamis, 27 januari 2011)
JAKARTA – Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) meminta warga Jakarta mewaspadai peredaran obat illegal. “Jakarta merupakan pusat ekonomi termasuk untuk perdagangan obat seluruh Indonesia. Jadi peluang orang menyelewengkan obat kedaluwarsa atau obat palsu lebih besar,” kata Kepala BPOM Kustantinah kemarin.
Kustantibah meminta warga tidak membeli obat disembarang tempat. Sebaiknya, kata Kustantinah, membeli di apotek. Pasalnya apotek membeli dari jalur resmi, mengerti cara penyimpanan obat yang benar dan baik, serta memiliki apoteker yang mengerti farmasi. “Banyak masyarakat yang mencari murah dengan beli diluar apotek. Padahal beli obat bukan soal murah atau mahal, melainkan soal benar atau tidak,” ujarnya. Di Jakarta, Kustantinah melanjutkan, banyak tempat yang masih menjadi lahan bagi peredaran obat palsu atau obat kedaluwarsa. Termasuk diantaranya Jatinegar a. “Kalau di pasar obat Pramuka sudah ada peningkatan, beberapa sudah ada apoteker dan asisten apoteker yang mengerti perobatan. Walaupun masih ada satu – dua pelanggaran,” ucap dia. Adapun BPOM berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan untuk mengawasi apotek-apotek yang ada di Jakarta. Supaya setiap obat yang beredar di apotek terjamin sesuai dengan uji stabilitasnya (uji lama masa edar yang diperbolehkan supaya tetap aman dikonsumsi an berkhasiat bagi tubuh). “Terutama cara penyimpanannya,” kata Kustantinah. Pada Sabtu malam pecan lalu, Polda Metro Jaya dan Polresta Depok menggerebek pabrik obat palsu di kampong Cimpaeun, Tapos, Depok. Polisi menyita ratusan barang bukti ratusan ribu obat asli tapi palsu. Onat-obat ini sebenarnya sudah kedaluwarsa, tetapi kemudian dikemas ulang seperti obat baru. Polisi menangkap pengedar obat palsu berinisial AS dan DS. Mereka berdua tertangkap tangan membeli dan menampung obat yang tidak layak edar. Polisi masih memburu tiga buron kasus peredaran obat palsu di Depok. “Kami sudah berkoordinasi untuk mencari tiga orang itu,” kata Kepala Bidang Humas Kepolisian Metro Jaya Komisaris Besar Baharudin Djafar dalam kesempatan terpisah. Mereka adalah HR di Depok, MN di Bogor dan JE adalah pengedar oabtr palsu, sedangkan MN adalah pemasok.
B. PEMBAHASAN
Pada prinsipnya penggunaan obat-obatan ditinjau dari tujuan pembuatan dan fungsinya adalah untuk menyembuhkan segala macam keluhan penyakit pada manusia atau hewan. Hal tersebut telah sesuai dengan apa yang dimaksudkan dalam pasal 1 ayat 8 Undang-Undang No. 36 tahun 2009 yang dimaksud obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia. Obat palsu menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1010/Menkes/Per/XI/2008 tentang registrasi obat adalah obat yang diproduksi oleh yang tidak berhak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau produksi obat dengan penandaan yang meniru identitas obat lain yang telah memiliki izin edar. Izin edar yang dimaksud adalah bentuk persetujuan registrasi obat untuk dapat diedarkan di wilayah lndonesia. Menurut Permenkes RI No. 1010/Menkes/Per/XI/2008 pasal 2 ayat 1 tentang Registrasi Obat, “Obat yang diedarkan di wilayah Indonesia, sebelumnya harus dilakukan registrasi untuk memperoleh Izin Edar.” Semua produk obat yang beredar di pasaran Indonesia wajib diregistrasi di Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM). Dengan demikian, semua produk yang diregistrasi akan melalui tahapan evaluasi oleh Badan POM meliputi aspek keamanan, kualitas, dan kemanfaatan yang berkaitan dengan produk tersebut. Oleh karena itu, semua produk yang telah lolos dievaluasi oleh Badan POM akan mendapatkan ijin edar melalui perolehan nomor registrasi. Khusus dalam kaitan dengan kualitas, Badan POM juga mensyaratkan bahwa obat harus diproduksi menurut cara memproduksi yang baik. Hal ini berarti, produk tersebut harus diproduksi dalam fasilitas produksi yang memenuhi persyaratan CPOB (Cara Pembuatan Obat Yang Baik). Selain itu dalam standar registrasi obat jadi sendiri di dalamnya juga mengatur persyaratan CPOB dalam proses produksi obat-obatannya. CPOB merupakan proses pembuatan obat-obatan yang merupakan metode pengujian dan spesifikasi terhadap semua bahan yang digunakan serta produk jadi dengan bukti yang shahih (syarat farmakope termasuk di dalamnya). CPOB menyangkut seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu dan bertujuan untuk menjamin bahwa obat yang dibuat senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang telah ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Dengan demikian,
obat yang diproduksi di sarana yang memenuhi persyaratan tersebut, maka mutu dari produk yang ada di pasar akan terjamin dengan adanya ketentuan ini. Kenyataannya untuk kasus diatas, pelanggaran pelaku yaitu melakukan registrasi palsu dengan menggunakan kemasan obat lain yang telah diperbarui, kemudian baru diedarkan ke pasaran. Pelaku tidak punya izin edar dalam menjual obat tersebut sehingga ia tidak melakukan registrasi obat. Pada pasal 6 ayat 1 Permenkes RI No. 1010/Menkes/Per/XI/2008 , “Registrasi obat produksi dalam negeri hanya dilakukan oleh industri farmasi yang memiliki izin industri farmasi yang dikeluarkan oleh Menteri.” Pemalsuan nomor registrasi obat oleh pelaku melanggar ketentuan tersebut karena si pelaku tidak mempunyai izin edar. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 242 Tahun 2000, obat palsu adalah obat yang diproduksi pihak yang tak berhak meliputi produk yang mengandung bahan berkhasiat dengan kadar yang memenuhi syarat, diproduksi, dikemas dan diberi label seperti produk aslinya, tetapi bukan dibuat oleh pabrik aslinya, obat yang mengandung bahan berkhasiat dengan kadar yang tidak memenuhi syarat. produk dibuat dengan bentuk dan kemasan seperti produk asli, tetapi tidak mengandung bahan berkhasiat, produk yang menyerupai produk asli, tapi mengandung bahan berkhasiat yang berbeda dan produk yang diproduksi tidak berijin. Termasuk juga produk obat impor yang tidak resmi dapat dikelompokkan sebagai obat palsu sebab tanpa memiliki izin edar yang dikeluarkan Badan POM sesuai dengan Peraturan Menteri kesehatan No. 949/Menkes/SK/VI/2000. Ketidakpedulian para pelaku yang memproduksi obat palsu terhadap kerugian yang ditimbulkan bagi masyarakat tidak hanya terbatas pada proses produksi semata yang tidak memenuhi persyaratan registrasi obat jadi dan ketentuan syarat seperti yang diatur dalam pasal 105 ayat 1 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa “Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus memenuhi syarat farmakope Indonesia atau buku standar lainnya.”. Produk obat palsu yang dibuat pelaku tidak sesuai pasal 98 ayat 3 dan pasal 105 ayat 1 tersebut, karena tidak terjamin baik dari segi keamanan dan mutu, serta standar yang ditentukan. Namun lebih dari itu, pada sistem pendistribusiannya yang sering kali tidak melalui jalur resmi (legal), tentunya hal ini dibuktikan dengan maraknya peredaran obat-obatan yang tidak terdaftar secara resmi.
Munculnya produk berupa obat palsu yang membahayakan kesehatan dan jiwa konsumen, dalam pandangan hukum sebagai suatu perbuatan yang dilarang sebagaimana telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku, baik dalam ketentuan UndangUndang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan maupun yang terdapat dalam ketentuan UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Perlindungan konsumen adalah jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para konsumen atas setiap produk bahan makanan yang dibeli. Namun dalam kenyataannya saat ini konsumen banyakj yang dirugikan semata-mata demi keuntungan suatu pihak seperti pada kasus diatas yang merupakan pelanggaran yang merugikan para konsumen dalam tingkatan yang dianggap membahayakan kesehatan bahkan jiwa dari para konsumen. Tindakan menjual kembali obat yang kadaluarsa berarti akan merugikan jiwa konsumen yang menggunakan obat tersebut karena efektifitas obat menurun, hilang, bahkan menimbulkan efek yang tidak diinginkan yang akan berefek buruk pada tubuh bahkan mengancam jiwa. oleh karena itu konsumen menjadi hal utama yang harus diperhatikan. Konsumen dalam undang undang tersebut memiliki hak-hak yang tercantum dalam Pasal 4. Hak-hak konsumen yang dilanggar dalam kasus pengedaran obat palsu dan tidak berizin yaitu yang diatur dalam butir (a) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Dalam hal ini, adalah obat yang seharusnya memenuhi memenuhi syarat farmakope Indonesia atau buku standar lainnya. Butir (c) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Konsumen dengan membeli obat seharusnya mendapatkan informasi mengenai obat, pengobatan dan fungsi dari obat tersebut untuk menyembuhkan penyakit, jika konsumen mendapatkan obat yang palsu berarti konsumen tidak mendapat informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai produk obat tersebut. Butir (g) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Konsumen memiliki hak untuk mendapat perlakuan yang benar dan jujur, dengan dijualnya produk obat palsu, mengindikasikan terdapat pelanggaran hak konsumen untuk dilayani secara benar dan jujur. Pelaku juga dalam hal mengedarkan produknya melanggar kewajiban sebagai pelaku usaha yang diatur dalam undang undang, yaitu pada pasal 7 Undang-Undang No.8 tahun 1999 (huruf a-d), yaitu: a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. Pasal 8 ayat 4 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 yang mengatur pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa. Berdasarkan pasal 8 tersebut, pelaku telah melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dimana pelaku dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran. Pihak BPOM telah memperingatkan pelaku untuk menghentikan penjualan produk obat palsu, namun selama diperingatkan pelaku tidak pernah mengindahkan, oleh karena itu pelaku melanggar ayat 4 tersebut karena tidak segera menarik produk obat palsu dari peredaran. Hal ini dapat membahayakan keselamatan bahkan mengancam jiwa konsumen. Pelanggaran terhadap pasal 8 ini dikenakan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah).sesuai dengan pasal 62 Undang-Undang No.8 tahun 1999. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 Tentang Pengamanan dan Penggunaan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan, pasal 98 ayat 1, 2 dan 3 yang berbunyi : 1. Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/ bermanfaat, bermutu, dan terjangkau. 2. Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan,mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat. 3. Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pelanggaran pemalsuan obat tersebut terhadap pasal 98 ayat 1, 2 dan 3 Undang-Undang No. 36 tahun 2009 dengan pelaku yang bukan ahli farmasi dalam hal ini adalah seorang apoteker dan tanpa ijin edar dikenakan pidana berlapis sesuai pasal 196, 197 dan 198 yaitu penjara paling lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Seperti dijelaskan pada pasal berikut ini:
-
Pasal 196 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau
alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan,
khasiat atau
kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) tentang Pengamanan dan Penggunaan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). -
Pasal 197 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau
alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) yang berbunyi “Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar” dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). -
Pasal 198 Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik
kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat 1 “Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.” dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Sebelum diterbitkan Undang-Undang No. 36 tahun 2009, terdapat Peraturan Pemerintah RI No. 72 Tahun 1998 yang dibuat dengan menimbang pada Undang-Undang kesehatan sebelumnya yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 yang mengatur tentang Persyaratan Mutu, Keamanan Dan Kemanfaatan pada Bab II, tentang Produksi pada Bab III, tentang Pengedaran pada Bab IV, tentang Persyaratan Mutu, Keamanan Dan Kemanfaatan dan Kemasan Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan pada BAB VI. BAB II Pasal 2 ayat 1 “Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diproduksi dan/atau diedarkan harus memenuhi persyaratan m utu, keamanan, dan kemanfaatan” dan ayat 2 yang berisi:
a. Sediaan farmasi yang berupa bahan obat dan obat sesuai dengan persyaratan dalam buku farmakope atau buku standar lainnya yang ditetapkan oleh Menteri. b. Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional sesuai dengan persyaratan dalam buku Materi Medika Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri. c. Sediaan farmasi yang berupa kosmetika sesuai dengan persyaratan dalam buku Kodeks Kosmetika Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri. d. Alat kesehatan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri. BAB III tentang produksi pada pasal 3, “Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diproduksi oleh badan usaha yang telah memiliki izin usaha industri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” dan pasal 5 ayat 1, “Produksi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus dilakukan dengan cara produksi yang baik.” BAB IV dalam hal Peredaran di bagian kedua yaitu Izin Edar pasal 9 ayat 1 berbunyi “Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah memperoleh izin edar dari Menteri”. Dan ayat 2 berbunyi “Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi sediaan farmasi yang berupa obat tradisional yang diproduksi oleh perorangan.” Hal ini telah melanggar peraturan yang ada, dimana pelaku melakukan produksi obat tanpa adanya izin usaha industri sehingga cara si pengedar melakukan pengedaran dengan cara ilegal yaitu dengan mengemas obat yang sudah kadaluarsa ataupun mengubah tanggal kadaluarsanya kemudian dijual di pasar-pasar tradisional, toko obat serta kaki lima. BAB VI dalam hal Kemasan Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan pada pasal 24 ayat 1, juga dilanggar oleh pelaku dikarenakan pelaku mengemas kembali dengan kemasan yang mungkin menggunakan bahan kemasan yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau dapat mempengaruhi berubahnya persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sediaan farmasi dan alat kesehatan. Pada undang-undang No. 36 tahun 2009 menyebutkan bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu dicabut dan diganti. Oleh karena itu seluruh peraturan lain yang berhubungan dengan kesehatan yang masih mengacu pada Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tidak digunakan lagi, kecuali apabila undang-undang yang baru belum mengatur tentang beberapa hal yang disebutkan pada peraturan yang lama.
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kasus mengemas dan menjual kembali obat yang sudah kadaluarsa dengan mengepaknya dengan botol dan tutup botol, dan karton obat palsu seperti pada kasus diatas tersebut telah melanggar : 1. Undang-Undang RI No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Pasal 98 ayat 1, 2 dan 3; serta pada pasal 105 ayat 1. 2. Undang-Undang RI No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 ayat 1, pasal 7 ayat 1, 2, 3 dan 4, serta pasal 8 ayat 1,2 dan 3. 3. Peraturan Pemerintah RI No. 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan pada Pasal 2 ayat 1 dan 2, pasal 3, pasal 5 ayat 1, pasal 9 ayat 1, pasal 24 ayat 1, dan pasal 28 ayat 1 dan 2. 4. Permenkes RI No. 1010/Menkes/Per/XI/2000 tantang Regisrasi Obat pada Pasal 2 ayat 1 dan pasal 6 ayat 1.
B. SARAN
1. Perhatikan nomor registrasi sebagai tanda sudah mendapat ijin untuk dijual di Indonesia. 2. Apabila membeli obat dengan resep dokter, perhatikan apakah merek obat sudah sesuai dengan resep dokter. 3. Periksalah kualitas kemasan & kualitas fisik produk obat tersebut. 4. Periksalah nama dan alamat produsen, apakah tercantum dengan jelas. 5. Baca Indikasi, Aturan Pakai, Peringatan, Kontra Indikasi, Efek Samping, Cara Penyimpanan, dan semua informasi yang tercantum pada kemasan. 6. Periksa tanggal kadaluarsa obat dengan memilih obat dengan tanggal kadaluarsa yang masih lama. 7. Untuk obat ethical, belilah obat hanya di apotik berdasarkan resep dokter. 8. Jika obat akan dibuang, maka kardus atau botol harus disobek, kardus digunting, dan isi dipecah. Ini untuk mengurangi resiko obat diambil lagi, atau kemasannya digunakan mengisi obat palsu.
9. Apotek, rumah sakit atau pabrik obat berperan aktif dalam pemusnahan obat yang dimiliki masyarakat, karena jika tetap dibuang oleh masyarakat, walaupun tidak diambil oleh orang (dikarenakan sudah serpihan), tetap saja zat aktif limbah obat itu dapat mencemari lingkungan. 10. BPOM sebagai otoritas kompeten yang mengawasi peredaran obat juga diharapkan aktif melakukan pengawasan dan penegakan hukum di lapangan, bekerja sama dengan BPOM di daerah-daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1999 , Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta.
Anonim, 2009, Undang-Undang RI No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Jakarta. Anonim, 1998, Peraturan Pemerintah RI No. 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan, Jakarta.
Anonim, 2000, Permenkes RI No. 1010/Menkes/Per/XI/2000 tantang Regisrasi Obat , Jakarta. Anonim,
2008,
Obat
Palsu
Rugikan
Negara
Rp
600
Miliar ,
http://nasional.kompas.com/read/2008/04/24/20204739, Diakses Tanggal 22 November 2011. Anonim,
2011,
Waspadai
Peredaran
Obat
Palsu,
http://www.mirror.unpad.ac.id/koran/korantempo/2011-01-27/korantempo_2011-01 27_142.pdf , Diakses Tanggal 22 November 2011. Anonim,
2011,
Sindikat
Pembuat
Obat
Palsu
di
Depok ,
http://www.ikatanapotekerindonesia.net/pharmacy-news/22-pharmacy-news/1720sindikat-pembuat-obat-palsu-di-depok-.html, Diakses Tanggal 22 November 2011. I M.A. Gelgel Wirasuta, N.K. Sri Dewi, N.P. Eni Parmiati, dan I.A. K. Wardani, 2010, Info Kesehatan Tentang Obat Palsu, http://putrawan1.blogspot.com/2010/09/info-kesehatan-
tentang-obat-palsu-i-m.html, Diakses Tanggal 22 November 2011.
LAMPIRAN A. Contoh Perbandingan Obat Asli dan Obat Palsu
asli
palsu
B. DATA OBAT PALSU (Tahun 2008)