KAJIAN PERILAKU SWAMEDIKASI MENGGUNAKAN OBAT ANTI JAMUR VAGINAL (“KEPUTIHAN”) OLEH WANITA PENGUNJUNG APOTEK DI KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2006 (Aspekappropriateness daneffectiveness)
Aris Widayati Fakultas Farmasi, Minat Farmasi Klinis dan Komunitas Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
[email protected] ABSTRAK
Tindakan swamedikasi cenderung meningkat. Wanita adalah pelaku dengan modalitas lebih tinggi dibandingkan pria baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya. Sebuah penelitian penelitian di Yogyakart Yogyakartaa menyebutkan menyebutkan bahwa 74,50% wanita melakukan melakukan swamedikasi swamedikasi menggunakan obat demam untuk anak (Rinukti &Widayati, 2005). Vaginitis dalam masyarakat umum dikenal dengan nama keputihan, merupakan penyakit yang secara khusus menyerang wanita. Di Finlandia penggunaan obat antifungi untuk mengatasi keputihan masihoveruse, terkait dengan pengenalan penyakit dan pemilihan obatnya (Sihvo, et al, 2000). Seperti apakah perilaku swamedikasi menggunakan antijamur vaginal untuk mengatasi keputihan yang dilakukan oleh wanita di Kota Yogyakarta?
Jenis penelitian adalah observasional evaluatif. Kriteria inklusi subyek adalah wanita pengunjung pengunjung apotek apotek yang membeli membeli obat obat keputihan keputihan untuk untuk swamedikasi swamedikasi di Kota Yogyakart Yogyakarta. a. Alat
pengambil data berupa kuisioner yang disebarkan selama 1 bulan di 87 apotek. Kuisioner yang terisi sebanyak 157. Parameter evaluasi adalah
appropriatenessdan effectiveness.
Sebanyak 89,17% responden berumur antara 16 sampai 56 tahun. Pendidikan terakhir responden 51,59% SMU/sederajad, 51,59% responden karyawan swasta, 59,24% telah menikah. Hasil evaluasi yaitu: 1) terdapat
inappropriateness / ketidaksesuaian pada pengenalan penyakit, 2) pada pemilihan obat keputihan sudah memenuhi parameterappropriateness, 3) sebanyak 63,69% efektif. I. PENDAHULUAN A. Latar belakang
Tindakan swamedikasi (self medication) mempunyai kecenderungan untuk meningkat. Beberapa faktor berperan dalam peningkatan tersebut, yaitu: pengetahuan masyarakat tentang penyakit ringan dan berbagai gejala serta pengobatannya, motivasi masyarakat untuk mencegah atau mengobati penyakit ringan yang mampu dikenali sendiri, ketersediaan dan kemudahan mendapatkan obat – obat yang dapat dibeli bebas tanpa resep dokter atau OTR / Obat Tanpa Resep (OTC / Over The Counter) secara luas dan terjangkau untuk mengatasi penyakit ringan atau gejala yang muncul, serta diterimanya pengobatan tradisional sebagai bagian dari sistem kesehatan.
Kecenderungan swamedikasi lebih banyak dilakukan oleh wanita jika dibandingkan dengan pria baik untuk mengatasi masalah kesehatan anggota keluarga maupun diri sendiri. Fakta di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa 60% wanita dan 46% pria menggunakan suplemen
makanan, dan masing – masing sebanyak 30% dan 23% menyatakan menggunakannya sebagai salah satu metode pengobatan bagi penyait ringan yang biasa dialami (Pal, 2002). Sebuah penelitian di Yogyakarta menemukan bahwa sebanyak 74,5% wanita melakukan swamedikasi menggunakan obat demam bagi anak mereka untuk mengatasi demam pada anak (Rinukti &Widayati, 2005).
Kandidiasis vaginalis atau lebih populer dimasyarakat luas dengan istilah “keputihan” merupakan masalah kesehatan paling umum pada wanita. Di Indonesia datanya masih terpisah pisah antara pola penyakit dan pola penatalaksanaannya. Populasi wanita pengunjung apotek di Yogyakarta diasumsikan mempunyai tingkat pengetahuan dan kepedulian tentang kesehatan yang relatif tinggi, dan hal tersebut merupakan salah satu faktor yang berperan dalam fenomena meningkatnya perilaku swamedikasi di masyarakat.
Menurut Sihvo, et al (2000a) vaginitis menyerang pada hampir 75% wanita selama hidupnya dan sekitar 40 – 50%-nya kasus kekambuhan. Sihvo (2000a) menyatakan penggunaan antifungi di Finlandia pada vaginitis masih “overuse” terkait dengan ketepatan pengenalan penyakit dan pemilihan obatnya. Tindakan swamedikasi dengan antijamur vaginal dikategorikan tidak sesuai apabila sebelumnya tidak pernah didiagnosis kandidiasis oleh dokter, digunakan untuk wanita dibawah usia 16 tahun, dan wanita hamil tanpa rekomendasi atau pengawasan dokter. Suatu studi menyatakan bahwa 50% wanita yang mendiagnosis sendiri kasus ini, ternyata tidak ditemukan adanyayeast sebagai penyebab (pengenalan penyakit atau diagnosis tidak tepat) (Brownan d Chin, 2002).
Data di atas menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan tindakan swamedikasi oleh masyarakat dan kelompok wanita merupakan pelaku denganmodalitas tinggi. Hal ini menimbulkan
berbagai pertanyaan yang sekaligus merupakan permasalahan yang harus dikaji, antara lain: sudah sesuaikah pengenalan terhadap gejala atau penyakit ringan yang diderita atau apakah selfdiagnosis sudah tepat?, sudah sesuaikan pemilihan obat untuk swamedikasi?, seperti apa efektivitas pilihan obat tersebut? Berbagai pertanyaan yang muncul tersebut mendorong dilakukannya kajian terhadap perilaku swamedikasi oleh wanita menggunakan obat antijamur vaginal (“keputihan”) terutama mengenai kerasionalan penggunaan obatnya (dengan 2 parameter kerasionalan, yaitu:appropriateness dan effectiveness).
B. Tinjauan Pustaka 1. Perawatan Sendiri (Self-care) dan Swamedikasi (self- medication) Swamedikasi adalah bagian dari self-care. Menurut World Health Organization(WHO) tahun 1998, self-care didefinisikan sebagai “what people do for themselves to establish and maintain health, prevent and deal with illness”. Swamedikasi didefinisikan sebagai pemilihan dan penggunaan obat – obatan (termasuk produk herbal dan tradisional) oleh individu untuk mengobati penyakit atau gejala yang dapat dikenali sendiri (“the selection and use of medicines (include herbal and tradisional product) by individuals to treat self-recognised illnesses or symptoms”). Swamedikasi juga didefinisikan sebagai penggunaan obat – obatan tanpa resep dokter oleh masyarakat atas inisiatif mereka sendiri (FIP & WSMI, 1999).
Swamedikasi memberikan keuntungan, antara lain kepraktisan dan kemudahan melakukan tindakan pengobatan dan biaya yang dikeluarkan lebih murah (Rantucci, 1997). Penggunaan obat tanpa resep untuk swamedikasi menuntut kepastian bahwa obat tersebut terbukti aman, berkualitas dan memberikan efikasi sesuai yang diharapkan (Holtand Hall, 1990).
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 922/MENKES/PER/X/1993 pasal 15 ayat 4 menyebutkan bahwa dalam upaya penggunaan obat yang benar oleh masyarakat, apoteker wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat secara tepat, aman, dan rasional atas permintaan masyarakat (DepKes RI, 1996a).
Swamedikasi pada wanita harus mempertimbangkan keadaan khusus yang mungkin menyertai, yaitu kehamilan dan menyusui. Pada wanita menyusui, perlu dihindari penggunaan obat – obat yang akan terekskresi lewat air susu. (Wells, Dipiro, Schwinghammer, Hamilton, 2002).Penggunaan kontrasepsi danHor mon e
Replacement Therapy juga perlu dipertimbangkan, karena interaksi obat yang potensial terjadi (Anderson,2002).
Golongan obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter adalah obat bebas, bebas terbatas dan OWA, khusus untuk yang disebut terakhir adalah obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter hanya oleh Apoteker di Apotek dan terbatas pada obat keras yang tercantum dalam lampiran Keputusan Menteri Kesehatan RI tentang Obat Wajib Apotek (DepKes RI, 1996c).
Sampai saat ini terdapat 3 daftar yang memuat golongan OWA yang lazim disebut OWA No.1, 2, dan 3. Obat antijamur yang terdapat dalam Daftar Obat Wajib Apotek No. 1 adalah mikonazol, ekonazol, nistatin dan tolnaftat. Daftar Perubahan Golongan Obat No. 1, tolnaftat sebagai obat luar untuk infeksi jamur dengan kadar sama atau kurang dari 1% diubah menjadi obat bebas. Obat antifungi topikal yang terdapat dalam Daftar Obat Wajib Apotek No. 2 ialah obat – obat yang mengandung isokonazol, ketokonazol, oksikonazol, dan tiokonazol (Sartono, 1996).
2. Kandidiasis Vaginalis (Candidiasis vaginal) dan Penatalaksanaannya
Infeksi jamur pada vagina paling sering disebabkan olehCandida,spp, terutama Candida albicans. Vaginitis bukan merupakan penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual, meskipun aktivitas seksual juga mempengaruhi. (Brown and Chin, 2002).
Gejala yang muncul adalah kemerahan pada vulva, bengkak, iritasi, dan rasa panas. Tanda klinis yang tampak adalah eritema,fissuring, sekret menggumpal seperti keju, lesi satelit dan edema. Penegakan diagnosis harus didukung data laboratorium terkait, selain gejala dan tanda klinis yang muncul dan hasil pemeriksaan fisik seperti PH vagina dan pemeriksaan mikroskopik untuk mendeteksi blastospora dan pseudohifa (Brownand Chin, 2002).
Tujuan terapinya adalah mengatasi gejala yang muncul. Tes kesembuhan
tidak terlalu penting apabila gejala sudah teratasi.
Terapi nonfarmakologis dapat dilakukan dengan mengindari penggunaan sabun atau parfum vaginal untuk mencegah iritasi, menjaga agar area vaginal tetap bersih dan kering dan menghindari penggunaan pakaian dalam yang ketat. Meminum minumanyo gurt yang mengandung Lactobacillus acidophilus setiap hari akan mengurangi kekambuhan.
Terapi farmakologis menggunakan obat –obat sebagai berikut: butoconazol, klotrimazol, mikonazol, tikonazol, ekonazol, fentikonazol, nistatin, terkonazol, ketokonasol, itrakonazol, dan flukonazol (Brownand Chin, 2002). Semua jenis antifungi dari golongan azol tersebut mempunyai efikasi yang relatif sama (Hughes, 1998). Terapi antijamur dapat secara oral ataupun topikal.
Secara oral direkomendasikan antijamur flukonazol, secara topikal adalah butokonazol, klotrimazol, mikonazol, nistatin, terkonazol, dan tiokonazol (Bennet, 2002).
Beberapa nama dagang obat tradisional untuk keputihan telah banyak dikenal masyarakat antara lain melalui iklan baik di media cetak maupun elektronik. Nama dagang obat tradisional yang dipublikasikan kegunaannya untuk mengatasi keputihan antara lain mengandung ekstrak daun sirih.
C. Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan mengkaji kerasionalan perilaku swamedikasi menggunakan antijamur vaginal (“keputihan”) oleh wanita pengunjung Apotek di Kota Yogyakarta dengan 2 parameter yaitu:appropriateness daneffectiveness. Ketidakrasonalan yang mungkin ditemukan dapat dijadikan dasar untuk mengembangkan metode –metode peningkatan perilaku wanita dalam berswamedikasi khususnya pada penggunaan antijamur vaginal menuju kerational
drug use, dengan luaran akhir peningkatan quality of life.
II. METODOLOGI Penelitian ini merupakan suatu survei observasional epidemiologik dengan
rancangan deskriptif-evaluatif 1. Alat yang digunakan adalah kuisioner 2. Jalannya penelitian a.Persiapan. Dilakukan pembuatan kuisioner dan uji validitas serta reliabilitas
kuisioner. Uji validitas yang dilakukan adalah validitascontent atau isi untuk memenuhi salah satu syarat ketepatukuran suatu alat ukur. Uji reliabilitas dengan metode alpha cronbach dilakukan terhadap sejumlah sampel yang mempunyai karakteristik yang mirip dengan subyek uji sesungguhnya, untuk memenuhi syarat ketelitian suatu alat ukur (alpha: 0,70) (Pratiknya, 2003).
b. Penentuan responden. Responden adalah wanita yang mengunjungi apotek di Kota Yogyakarta selama 1 bulan yaitu Bulan Agustus 2006, yang membeli obat antijamur vaginal untuk swamedikasi baik obat moderen atau obat tradisional (kriteria inklusi) dengan metode pengambilan sampel responden secaraaccidental
sampling method. Jumlah seluruh Apotek di Kota Yogyakarta berdasarkan data dari
Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta adalah 113 apotek sehingga responden penelitian akan diambil dari 113 apotek tersebut. Diperoleh 87 apotek yang dapat digunakan sebagai tempat penelitian karena 26 apotek tidak aktif dan tidak bersedia berpartisipasi.
c. Penyebaran kuisioner. Dilakukan oleh petugas apotek yang sebelumnya melalui Apoteker Pengelola Apotek telah menyatakan bersedia dan telah diberi penjelasan perihal kriteria inklusi responden. Masing – masing apotek menerima 10 bendel kuisioner. Kuisioner dikembalikan oleh responden pada saat itu juga agar tidak ada masalah dalam pengembalian, sehingga diharapkan kuisioner yang diisi responden semuanya kembali.
d. Rekapitulasi, pengolahan dan analisis data. Rekapitulasi data dilakukan setelah semua kuisioner terkumpul. Pengolahan data dilakukan berdasarkan hasil rekapitulasi data dengan metode statistik deskriptif. Analisis Kerasionalan swamedikasi dikaji dengan 2 parameter menurut Cippole (1991), yaitu: kesesuaian (appropriateness) dan keefektivan (effectiviness).