Teori Arsitektur I
1. PENDAHULUAN Kemajuan ekonomi di banyak negara berkembang mengakibatkan ekspansi yang cepat dari kota. Mengembangkan kota biasanya ditandai dengan perkembangan fisik termasuk bangunan, jalan dan sistem infrastruktur. Pengembangan ini menyebabkan ketidakseimbangan ketidakseimbangan antara ketersediaan lahan dan permintaan lahan, akibatnya, hasil untuk meningkatkan nilai lahan dan perubahan penggunaan lahan di pusat-pusat perkotaan. Manfaat lingkungan dan peluang menyediakan oleh vegetasi sebagai unsur ruang terbuka perkotaan. Manfaat tersebut meliputi perbaikan iklim mikro perkotaan dengan shading dan angin pengendalian (Shasua-bar & Hoffman, 2000; Yu & Hien, 2006), pengurangan polusi udara dengan penyerapan polutan, dan pengurangan kebisingan. Di daerah tropis lembab panas, intensitas tinggi radiasi matahari dan kecepatan angin yang rendah adalah masalah yang dialami oleh pengguna ruang terbuka. Mengurangi radiasi matahari dan meningkatkan dan mengarahkan angin modifikasi yang membantu untuk membawa iklim mikro perkotaan yang ideal (Katzschner, 2002). Makalah ini membahas strategi untuk mengurangi radiasi matahari dan mengarahkan angin menggunakan vegetasi di daerah perkotaan. Secara khusus, kertas menguraikan konfigurasi tata letak vegetasi dalam mengurangi radiasi matahari dan mengarahkan angin. Pertama, ia menjelaskan masalah termal iklim ruang terbuka perkotaan di daerah tropis. Kemudian, membahas tentang potensi vegetasi di ameriolating iklim mikro perkotaan, dan, akhirnya, itu menggambarkan strategi untuk mengkonfigurasi tata letak vegetasi untuk ameriolate iklim mirco. Meminimalkan radiasi matahari langsung dan kecepatan angin mengoptimalkan faktor dalam merancang ruang terbuka perkotaan di daerah tropis lembab panas. Vegetasi memiliki potensi untuk mengurangi suhu lingkungan. Bentuk dan konfigurasi pengaruh radiasi matahari, suhu, kelembaban udara dan angin dari perkotaan. Penelitian ini mengkaji dampak vegetasi dalam mengatasi suhu udara perkotaan dan mengeksplorasi kemungkinan konfigurasi vegetasi untuk memaksimalkan efek pendinginan di ruang terbuka perkotaan. Kata kunci: vegetasi, ruang terbuka, iklim mikro, tropis lembab panas
Jurnal Arsitektur Vegetasi
1
Teori Arsitektur I
2. PEMBAHASAN Memang agak sulit untuk memilih karakteristik vegetasi untuk ruang terbuka perkotaan di panas tropis lembab kota. Di satu sisi, kepadatan harus lebih tinggi untuk membuat efek bayangan yang lebih besar. Namun di sisi lain, semakin tinggi nilai kerapatan menciptakan efek obstruksi angin yang harus dihindari dalam lembab daerah tropis yang panas. Efek bayangan vegetasi tergantung pada karakteristik vegetasi dan configuration.Geometry dari kanopi, daun kepadatan wilayah dan tinggi pohon merupakan karakteristik vegetasi yang mempengaruhi efek shading. Piramidal dan Roundhead kanopi memiliki daerah yang diarsir lebih besar dari kolumnar. Vegetasi yang memiliki nilai lebih kepadatan, memiliki nilai infiltrasi panas yang lebih besar (Shahidan, Salleh dan Shariff, 2006). Konfigurasi vegetasi juga memainkan peran penting dalam menentukan daerah yang diarsir pada ruang terbuka perkotaan. Jarak antar pohon harus disimpan dalam berbagai bayangan pohon. Dengan demikian, hal itu akan membuat area shading contiuous di ruang terbuka perkotaan. Orientasi baris vegetasi harus peduli dengan posisi matahari (ShasuaBar & Hoffman, 2000). Dalam rangka mengoptimalkan potensi angin lembab daerah iklim tropis, vegetasi chanells panas dan menyimpang angin. Kepadatan dan konfigurasi pohon dapat mendorong arah angin daripada geometri kanopi. Namun, kepadatan tinggi tajuk pohon dapat menghalangi arah angin daripada mengarahkan.
3. MASALAH THERMAL iklim RUANG TERBUKA KOTA DI HOT HUMID TROPIC AREA Iklim di daerah lembab dan panas yang ditandai dengan suhu udara yang tinggi (27 32 OC) yang disebabkan oleh tingginya intensitas radiasi matahari (400 Watt/m2), kelembaban relatif tinggi (75 - 80%) dan kecepatan angin yang rendah sekitar 1 - 2 m / s (Soegiyanto, 1998; Mansy, 2006). Meminimalkan radiasi matahari langsung dan mengoptimalkan arah angin mengurangi suhu udara di daerah perkotaan. Radiasi matahari langsung memiliki hubungan tertutup dengan rasio tinggi bangunan sekitarnya dan lebar ruang terbuka (H / W ratio) (Scudo, et al., 2004). Ketika H / W rasio kecil, itu membuat intensitas radiasi matahari pada ruang terbuka perkotaan menjadi tinggi. Bangunan dan jalan menyerap panas dari radiasi matahari dan memancarkan ke sekitarnya, dan dengan demikian meningkatkan suhu tanah dan permukaan. Kondisi ini menciptakan suasana tidak nyaman bagi orang-orang. Efek Re-radiasi dari penutup tanah yang salah ruang terbuka perkotaan juga meningkatkan suhu di sekitarnya (Huang, 2008). Vegetasi di ruang terbuka memiliki nilai reflektansi rendah yang membantu untuk mengurangi suhu udara di perkotaan sekitarnya. Masalah lain termal iklim ruang terbuka perkotaan di daerah tropis lembab panas adalah bagaimana mengoptimalkan kecepatan dan arah angin. Secara teori, peningkatan kecepatan angin memberikan kenyamanan pada pejalan kaki ruang terbuka perkotaan. Gerakan udara menggabungkan massa udara yang lebih rendah. Ini menciptakan sensasi menyegarkan bagi pejalan kaki (Corbella & Magalhaes, 2008). Oleh karena itu, angin harus diarahkan ke daerah yang dibutuhkan (Koefoed & Gaardsted, 2004). Kelimpahan pohon di
Jurnal Arsitektur Vegetasi
2
Teori Arsitektur I
daerah tropis akan memungkinkan efek ini berlangsung di kota-kota dan kota-kota negaranegara tropis.
4. POTENSI VEGETASI DI PERKOTAAN iklim mikro Bentuk perkotaan, ditandai dengan lingkungannya dibangun, kekasaran permukaan, geometri perkotaan, permukaan tanah dan sifat bahan permukaan dapat mengubah profil perkotaan iklim mikro dan mempengaruhi unsur-unsur iklim (Barbiratto, 2005; Linberg, 2003; Shasua-bar & Hoffman, 2000). Pohon bisa mengubah rasio H / W yang mempengaruhi geometri perkotaan (Shasua-bar & Hoffman, 2000). Daun dari pohon dan tanah vegetasi penutup keduanya memiliki reflektansi minimum yang mengurangi albedo perkotaan. 4.1 Vegetasi dan Radiasi Matahari Daun individu vegetasi memungkinkan beberapa radiasi yang akan dikirim melalui mereka (20%), menyerap sebagian radiasi (55%), dan merefleksikan beberapa radiasi (25%) (Scudo, 2001). Radiasi matahari yang telah arbsorbed oleh daun kemudian ditransmisikan kembali oleh evapotranspirasi (Hiraoka, 2002). Evapotranspirasi meningkatkan kelembaban relatif dan akibatnya mengurangi suhu udara. Struktur mahkota, dimensi, bentuk dan warna daun vegetasi pengaruh tingkat pengurangan radiasi matahari (Bueno-Bartholomei dan Labaki, 2005). Dengan sampel spesies pohon di Brazil, Bueno-Bartholomei dan Labaki menemukan bahwa pengurangan radiasi matahari adalah antara 76,3-92,8% di musim panas. Shahidan, Salleh dan Shariff (2006) membandingkan infiltrasi panas rata-rata di bawah kanopi dari dua pohon Malaysia yang memiliki nilai kerapatan perbedaan. Hasilnya adalah infiltrasi panas rata-rata Messua Ferrea adalah 97% sementara bahwa Hura crepitans adalah 86%. (Tabel 1.)
Jurnal Arsitektur Vegetasi
3
Teori Arsitektur I
4.2 Vegetasi dan Suhu Efek pendinginan oleh vegetasi telah diamati oleh para peneliti Zahoor tersebut (1997), Saxena (2001), Hiraoka (2002), dll Zahoor (1997) di Pakistan menemukan vegetasi yang signifikan berpengaruh terhadap suhu setempat dan efektif dalam mengurangi suhu udara sekitar 6 -7 ° F. Sementara Saxena (2001) oleh simulasi komputer juga menemukan bahwa suhu di lingkungan perumahan yang dikelilingi oleh pohon memiliki 1,34 deg F lebih rendah daripada tanpa vegetasi.
Dengan simulasi komputer, Hiraoka (2002) mengamati distribusi temperatur udara sekitar 10 m tinggi pohon tunggal (Gambar 1). Menurut simulasi, jangkauan maksimum maksimum suhu udara berkurang adalah sekitar 25 m dari pohon. Distribusi suhu udara masih tergantung pada kecepatan dan arah angin.
Dalam penelitian mereka, Vinet, et al (2001) menemukan bahwa suhu pada area hijau turun pukul 01.00 WIB. (Gambar 2) Hien, et al (2006) melaporkan bahwa perbedaan suhu puncak antara area hijau padat dan daerah jarang di Singapura yang memiliki iklim tropis
Jurnal Arsitektur Vegetasi
4
Teori Arsitektur I
lembab bisa setinggi 4 ° C pukul 01.00 WIB. Mayer dan Matzarakis (2002) menegaskan hasil yang serupa.
4.3 Vegetasi dan Angin Selain itu, vegetasi memiliki potensi besar untuk mengontrol gerakan udara. Pengaruh vegetasi di angin tidak dapat ditentukan dengan pasti. Kita hanya dapat membuat dugaan, berdasarkan teori dan observasi, untuk menunjukkan bagaimana vegetasi dapat mempengaruhi angin (Scudo, 2002). Vegetasi mempengaruhi pola pergerakan udara melalui bimbingan, filtrasi, obstruksi dan defleksi (Gambar 3). Efektivitas pengendalian udara gerakan tergantung pada karakteristik vegetasi. Geometri, tinggi, permeabilitas dan mahkota vegetasi adalah karakteristik vegetal struktural yang mempengaruhi pergerakan udara pengendali. (Scudo, 2002)
Stathopoulos et al. (1994) menemukan bahwa satu baris, tinggi kerapatan vegetasi penahan angin mengurangi infiltrasi udara sekitar 60% bila ditanam sekitar empat ketinggian pohon jauh dari bangunan. Mereka juga menemukan bahwa efisiensi penahan angin tergantung pada arah angin yang dominan.
Jurnal Arsitektur Vegetasi
5
Teori Arsitektur I
5. URBAN iklim mikro PENGENDALIAN STRATEGI MELALUI VEGETASI Peran vegetasi dalam mengendalikan iklim mikro perkotaan dapat diamati pada 3 tingkat yang berbeda: tingkat bangunan, jalan, dan di tingkat kota dan sub-urban. Pengaruh vegetasi pada iklim mikro perkotaan dapat dibagi dalam lima efek besar: efek bayangan, efek suhu tanah, efek suhu permukaan, efek refleksi gelombang pendek dan efek angin (Scudo, 2002) (Tabel 2).
6. RUANG TERBUKA dan RUANG TERBUKA HIJAU I. Ruang Terbuka (Open Space ) Sampai saat ini pemanfaatan ruang masih belum sesuai dengan harapan yakni terwujudnya ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan. Menurunnya kualitas permukiman di perkotaan bisa dilihat dari kemacetan yang semakin parah, berkembangnya kawasan kumuh yang rentan dengan bencana banjir/longsor serta semakin hilangnyaruang terbuka(Openspace)untuk artikulasi dan kesehatan masyarakat.
Jurnal Arsitektur Vegetasi
6
Teori Arsitektur I
Sebagai wahana interaksi sosial,ruang terbukadiharapkan dapat mempertautkan seluruh anggota masyarakat tanpa membedakan latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya. Aktivitas di ruang publik dapat bercerita secara gamblang seberapa pesat dinamika kehidupan sosial suatu masyarakat. Ruang terbukamenciptakan karakter masyarakat kota. Tanpa ruang-ruang publik masyarakat yang terbentuk adalah masyarakat maverick yang nonkonformis-individualisasosial , yang anggota-anggotanya tidak mampu berinteraksi apalagi bekerja sama satu sama lain. Agar efektif sebagai mimbar, ruang publik haruslah netral. Artinya, bisa dicapai (hampir) setiap penghuni kota. Tidak ada satu pun pihak yang berhak mengklaim diri sebagai pemilik dan membatasi akses ke ruang publik sebagai sebuah mimbar politik. Ruang terbuka adalah ruang yang bisa diakses oleh masyarakat baik secara langsung dalam kurun waktu terbatas maupun secara tidak langsung dalam kurun waktu tidak tertentu.Ruangterbukaitu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang terbuka hijau seperti taman kota, hutan dan sebagainya. Dilihat dari sifatnyaruangterbukabisa dibedakan menjadiruang terbuka privat(memiliki batas waktu tertentu untuk mengaksesnya dan kepemilikannya bersifat pribadi, contoh halaman rumah tinggal), ruang terbuka semi privat (ruang publik yang kepemilikannya pribadi namun bisa diakses langsung oleh masyarakat. Selain ituruang terbukapun bisa diartikan sebagai ruang interaksi (Kebun Binatang, Taman rekreasi, dll). Ditinjau dari pengertian di atas,ruang terbukatidak selalu harus memiliki bentuk fisik (baca: lahan dan lokasi) definitif. Dalam bahasa arsitektur,ruang terbukayang telah berwujud fisik ini sering juga disebut sebagairuang publik, sebutan yang sekali lagi menekankan aspek aksesibilitasnya. Stephen Carr dalam bukunya Public Space, ruang publikharus bersifat responsif, demokratis, dan bermakna. Ruang publik yang responsif artinya harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas. Secara demokratis yang dimaksud adalah ruang publik itu seharusnya dapat dimanfaatkan masyarakat umum tanpa harus terkotakkotakkan akibat perbedaan sosial, ekonomi, dan budaya. Bahkan, unsur demokratis dilekatkan sebagai salah satu watak ruang publik karena ia harus dapat dijangkau (aksesibel) bagi warga dengan berbagai kondisi fisiknya, termasuk parapenderita cacat tubuh maupun lansia. Ruang-ruang terbuka atau ruang-ruang publik ditinjau dari bentuk fisiknya dapat rupa Ruang Terbuka Hijau dan atau Ruang Terbuka Binaan (Publik atau Privat)
II. Ruang Terbuka Hijau (Green Open spaces ) Secara definitif, Ruang Terbuka Hijau (Green Openspaces) adalah kawasan atau areal permukaan tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, dan atau sarana lingkungan/kota, dan atau pengamanan jaringan prasarana, dan atau budidaya pertanian. Selain untuk meningkatkan kualitas atmosfer, menunjang kelestarian air dan tanah, Ruang Terbuka Hijau (Green Openspaces)di tengahtengah ekosistem perkotaan juga berfungsi untuk meningkatkan kualitaslansekap kota. Sejumlah areal di perkotaan, dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, ruang publik, telah tersingkir akibat pembangunan gedung-gedung yang cenderung berpola “kontainer”(container development) yakni bangunan yang secara sekaligus dapat menampung berbagai aktivitas sosial ekonomi, seperti Mall, Perkantoran, Hotel, dlsbnya, yang berpeluang menciptakan kesenjangan antar lapisan masyarakat. Hanya orang-orang kelas menengah ke atas saja yang “percaya diri” untuk datang ke tempat-tempat semacam itu.
Jurnal Arsitektur Vegetasi
7
Teori Arsitektur I
Ruang terbuka hijau yang ideal adalah 30 % dari luas wilayah. Hampir disemua kota besar di Indonesia,Ruang terbuka hijausaat ini baru mencapai 10% dari luas kota. Padahal ruang terbuka hijau diperlukan untuk kesehatan, arena bermain, olah raga dan komunikasi publik. Pembinaan ruang terbuka hijau harus mengikuti struktur nasional atau daerah dengan standar-standar yang ada. Contoh, Curtibas, sebuah kota di Brazil yang menjadi bukti keberhasilan penataan ruang yang mengedepankan RTH di perkotaan. Melalui berbagai upaya penataan ruang seperti pengembangan pusat perdagangan secara linier ke lima penjuru kota, sistem transportasi, dan berbagai insentif pengembangan kawasan, persampahan dan RTH, kota tersebut telah berhasil meningkatkan rata-rata luasan RTH per kapita dari 1 m2 menjadi 55 m2 selama 30 tahun terakhir. Sebagai hasilnya kota tersebut sekarang merupakan kota yang nyaman, produktif dengan pendapatan per kapita penduduknya yang meningkat menjadi dua kali lipat. Hal tersebut menunjukkan bahwa anggapan pengembangan RTH yang hanya akan mengurangi produktivitas ekonomi kota tidak terbukti. Kebijaksanaan pertanahan di perkotaan yang sejalan dengan aspek lingkungan hidup adalah jaminan terhadap kelangsungan ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau ini mempunyai fungsi“hidro-orologis”,nilai estetika dan seyogyanya sekaligus sebagai wahana interaksi sosial bagi penduduk di perkotaan.Taman-taman di kota menjadi wahana bagi kegiatan masyarakat untuk acara keluarga, bersantai, olah raga ringan dan lainnya. Demikian pentingnya ruang terbuka hijau ini, maka hendaknya semua pihak yang terkait harus mempertahankan keberadaannya dari k einginan untuk merobahnya. Ruang Terbuka Hijau(Green Openspaces) terdiri dari Ruang Lindung(RTHL) DanRuang Terbuka Hijau Binaan(RTH Binaan).
Terbuka
Hijau
Ruang Terbuka Hijau Lindung (RTHL) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka/ umum, di dominasi oleh tanaman yang tumbuh secara alami atau tanaman budi daya. Kawasan hijau lindung terdiri dari cagar alam di daratan dan kepulauan, hutan lindung, hutan wisata, daerah pertanian, persawahan, hutan bakau, dsbnya. Ruang Terbuka Hijau Binaan (RTHB) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka/ umum, dengan permukaan tanah di dominasi oleh perkerasan buatan dan sebagian kecil tanaman.
III. Ruang Terbuka Binaan (Built Openspaces) Ruang Terbuka Binaan atau Built Openspaces, terdiri dariRuang Terbuka Binaan Publik(RTBPU) DanRuang Terbuka Binaan Privat(RTBPV). Ruang Terbuka Binaan Publik(RTBP) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka/ umum, dengan permukaan tanah di dominasi keseluruhan oleh perkerasan. Ruang Terbuka Binaan Publik makro antara lain: ruang jalan, kawasan bandar udara, kawasan pelabuhan laut, daerah rekreasi, dan Ruang Terbuka Binaan Publik mikro seperti mall di lingkungan terbatas, halaman mesjid, halaman gereja, plaza di antara gedung perkantoran dan kantin. Ruang Terbuka Binaan Privat(RTBPV) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbatas/ pribadi.
Jurnal Arsitektur Vegetasi
8
Teori Arsitektur I
Ruang Terbuka Binaan Privat antara lain: halaman rumah tinggal dengan berbagai luasan persil Ruang Terbuka Hijau Lindung (RTHL) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannyalebih bersifat terbuka/ umum, di dominasi oleh tanaman yang tumbuh secara alami atau tanaman budi daya. Kawasan hijau lindung terdiri dari cagar alam di daratan dan kepulauan, hutan lindung, hutan wisata, daerah pertanian, persawahan, hutan bakau, dsbnya. Ruang Terbuka Binaan Publik (RTBP) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka/ umum,dengan permukaan tanah di dominasi keseluruhan oleh perkerasan. Ruang Terbuka Binaan Publik makro antara lain: ruang jalan, kawasan bandar udara, kawasan pelabuhan laut, daerah rekreasi, dan Ruang Terbuka Binaan Publik mikro seperti mall di lingkungan terbatas, halaman mesjid, halaman gereja, plaza di antara gedung perkantoran dan kantin.
7. RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) Ruang Terbuka Hijau Binaan (RTHB) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka/ umum, dengan permukaan tanah di dominasi oleh perkerasan buatan dan sebagian kecil tanaman. Kawasan/ruang hijau terbuka binaan sebagai upaya menciptakan keseimbangan antara ruang terbangun dan ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai paru-paru kota, peresapan air, pencegahan polusi udara dan perlindungan terhadap flora Adapun kawasan ruang terbuka hijau binaan dimanfaatkan untuk fasilitas umum rekreasi dan olahraga taman, kebun hortikultura, hutan kota, taman di lingkungan perumahan, pemakaman umum, jalur hijau umum, jalur hijau pengamanan sungai, jalur hijau pengamanan kabel tegangan tinggi, dan termasuk bangunan pelengkap atau kelengkapannya Ruang Terbuka Binaan Privat (RTBPV) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbatas/ pribadi. Ruang Terbuka Binaan Privat antara lain: halaman rumah tinggal dengan berbagai luasan persil. 8. PENDEKATAN KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU DAN FUNGSINYA Pendekatan ini didasarkan pada bentuk-bentuk fungsi yang dapat diberikan oleh ruang terbuka hijau terhadap perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan, atau dalam upaya mempertahankan kualitas yang baik. a.
Daya Dukung Ekosistem
Perhitungan kebutuhan ruang terbuka hijau dilandasi pemikiran bahwa ruang terbuka hijau tersebut merupakan komponen alam, yang berperan menjaga keberlanjutan proses di dalam ekosistemnya. Oleh karena itu ruang terbuka hijau dipandang memiliki daya dukung
Jurnal Arsitektur Vegetasi
9
Teori Arsitektur I
terhadap keberlangsungan lingkungannya. Dalam hal ini ketersediaan ruang terbuka hijau di dalam lingkungan binaan manusia minimal sebesar 30%. b . Pengendalian Gas Berbahaya dari Kend araan Berm otor
- Gas-gas yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor sebagai gas buangan bersifat menurunkan kesehatan manusia (dan makhluk hidup lainnya), tertama yang berbahaya sekali adalah dari golongan Nox, CO, dan SO 2. Diharapkan ruang terbuka hijau mampu mengendalikan keganasan gas-gas berbahaya tersebut, meskipun ruang terbuka hijau sendiri dapat menjadi sasaran kerusakan oleh gas tersebut. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan adalah mengadakan dan mengatur susunan ruang terbuka hijau dengan komponen vegetasi di dalamnya yang mampu menjerat maupun menyerap gas-gas berbahaya. Penelitian yang telah dilakukan di Indonesia (oleh Dr. Nizar Nasrullah) telah menunjukkan keragaman kemampuan berbagai jenis pohon dan tanaman merambat dalam kaitannya dengan kemampuan untuk menjerat dan menyerap gas-gas berbahaya tersebut.Perkiraan kebutuhan akan jenis vegetasi sesuai dengan maksud ini tergantung pada jenis dan jumlah kendaraan, serta susunan jenis dan jumlahnya. - Sifat dari vegetasi di dalam ruang terbuka hijau yang diunggulkan adalah kemampuannya melakukan aktifitas fotosintesis, yaitu proses metabolisme di dalam vegetasi dengan menyerap gas CO 2, lalu membentuk gas oksigen.CO 2adalah jenis gas buangan kendaraan bermotor yang berbahaya lainnya, sedangkan gas oksigen adalah gas yang diperlukan bagi kegiatan pernafasan manusia. Dengan demikian ruang terbuka hijau selain mampu mengatasi gas berbahaya dari kendaraan bermotor, sekaligus menambah suplai oksigen yang diperlukan manusia. Besarnya kebutuhan ruang terbuka hijau dalam mengendalikan gas karbon dioksida ini ditentukan berdasarkan target minimal yang dapat dilakukannya untuk mengatasi gas karbon dioksida dari sejumlah kendaraan dari berbagai jenis kendaraan di kawasan perkotaan tertentu.
c.
P en g a m a n an L i n g k u n g a n H i d r o l o g i s
- Kemampuan vegetasi dalam ruang terbuka hijau dapat dijadikan alasan akan kebutuhan keberadaan ruang terbuka hijau tersebut.Dengan sistem perakaran yang baik, akan lebih menjamin kemampuan vegetasi mempertahankan keberadaan air tanah. Dengan semakin meningkatnya areal penutupan oleh bangunan dan perkerasan, akan mempersempit keberadaan dan ruang gerak sistem perakaran yang diharapkan, sehingga berakibat pada semakin terbatasnya ketersediaan air tanah. - Dengan semakin tingginya kemampuan vegetasi dalam meningkatkan ketersediaan air tanah, maka secara tidak langsung dapat mencegah terjadinya peristiwa intrusi air laut ke dalam sistem hidrologis yang ada, yang dapat menyebabkan kerugian berupa penurunan kualitas air minum dan terjadinya korosi/ penggaraman pada benda-benda tertentu. d . Pengendalian Su hu Udara Perkotaan
- Dengan kemampuan untuk melakukan kegiatan evapo-transpirasi, maka vegetasi dalam ruang terbuka hijau dapat menurunkan tingkat suhu udara perkotaan. Dalam skala
Jurnal Arsitektur Vegetasi
10
Teori Arsitektur I
yang lebih luas lagi, ruang terbuka hijau menunjukkan kemampuannya untuk mengatasi permasalahan „heat island ‟ atau „pulau panas‟, yaitu gejala meningkatnya suhu udara di pusat-pusat perkotaan dibandingkan dengan kawasan di sekitarnya. - Tingkat kebutuhan ruang terbuka hijau untuk suatu kawasan perkotaan bergantung pada suatu nilai indeks, yang merupakan fungsi regresi linier dari persentase luas penutupan ruang terbuka hijau terhadap penurunan suhu udara. Jika suhu udara yang ditargetkan telah ditetapkan, maka melalui indeks tersebut akan dapat diketahui luas penutupan ruang terbuka hijau minimum yang harus dipenuhi. Namun yang harus dicari terlebih dahulu adalah nilai dari indeks itu sendiri. e. Pengendalian Thermo scape di K awasan Perkotaan
- Keadaan panas suatu lansekap (thermoscpe) dapat dijadikan sebagai suatu model untuk perhitungan kebutuhan ruang terbuka hijau.Kondisi Thermoscape ini tergantung pada komposisi dari komponen-komponen penyusunnya. Komponen vegetasi merupakan komponen yang menunjukan struktur panas yang rendah, sedangkan bangunan, permukiman, paving, dan konstruksi bangunan lainnya merupakan komponen dengan struktur panas yang tinggi. Perimbangan antara komponen-komponen dengan struktur panas rendah dan tinggi tersebut akan menentukan kualitas kenyamanan yang dirasakan oleh manusia. Guna mencapai keadaan yang diinginkan oleh manusia, maka komponenkomponen dengan struktur panas yang rendah (vegetasi dalam ruang terbuka hijau) merupakan kunci utama pengendali kualitas thermoscape yang diharapkan.Keadaan struktur panas komponen-komponen dalam suatu keadaan thermoscape ini dapat diukur dengan mempergunakan kamera infra merah. - Keadaan panas suatu ruang lansekap yang dirasakan oleh manusia merupakan indikator penting dalam menilai suatu struktur panas yang ada. Guna memperoleh keadaan yang ideal, maka diperlukan keadaan struktur panas yang dirasakan nyaman oleh manusia. Dengan demikian, terdapat suatu korelasi antara komponen-komponen penyusun struktur panas dalam suatu keadaan thermoscape tertentu, dan rasa panas oleh manusia. Secara umum dinyatakan bahwa komponen-komponen dengan struktur panas rendah dirasakan lebih nyaman dibandingkan dengan struktur panas yang lebih tinggi.
f. Pengendalian B ahaya-Bahaya Lingk ung an
- Fungsi ruang terbuka hijau dalam mengendalikan bahaya lingkungan terutama difokuskan pada dua aspek penting : pencegahan bahaya kebakaran dan perlindungan dari keadaan darurat berupa gempa bumi. - Ruang terbuka hijau dengan komponen penyusun utamanya berupa vegetasi mampu mencegah menjalarnya luapan api kebakaran secara efektif, dikarenakan vegetasi mengandung air yang menghambat sulutan api dari sekitarnya. Demikian juga dalam menghadapi resiko gempa bumi yang kuat dan mendadak, ruang terbuka hijau merupakan tempat yang aman dari bahaya runtuhan oleh struktur bangunan. Dengan demikian, ruang terbuka hijau perlu diadakan dan dibangun ditempat-tempat strategis di tengah-tengah lingkungan permukiman.
Jurnal Arsitektur Vegetasi
11
Teori Arsitektur I
9. PENDEKATAN KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASAR FUNGSINYA Pendekatan ini didasarkan atas satu atau lebih manfaat yang dapat diperoleh oleh pengguna, terutama di kawasan perkotaan. Secara umum manfaat yang diinginkan adalah berupa perolehan kondisi dan atau suasana yang sifatnya membangun kesehatan jasmani dan rohani manusia. a. Peningkatan kesehatan dan kesegaran lingkungan b. Penciptaan susunan ruang vista c. Penciptaan ruang bagi pendidikan lingkungan.
9.1. Pola Pengembangan Ruang Terbuka Hijau di Beberapa Kota Besar Pola pengembangan ruang terbuka hijau di berbagai kota memiliki keragaman penanganan yang disesuaikan dengan kondisi fisik wilayah, pola hidup masyarakat, dan konsistensi kebijakan pemerintah. Berikut akan diuraikan beberapa kasus pengembangan ruang terbuka hijau kota sebagai bahan komparasi untuk memperoleh masukan yang komprehensif mengenai rumusan bentuk pengaturan yang akan dihasilkan.
9.1.2
Ruang Terbuka Hijau
Kesadaran pembangunan perkotaan berwawasan lingkungan di negara-negara maju telah berlangsung dalam hitungan abad. Pada jaman Mesir Kuno, ruang terbuka hijau ditata dalam bentuk taman-taman atau kebun yang tertutup oleh dinding dan lahan-lahan pertanian seperti di lembah sungai Efrat dan Trigis, dan taman tergantung Babylonia yang sangat mengagumkan,The Temple of Aman Karnak , dan taman-taman perumahan. Selanjutnya bangsa Yunani dan Romawi mengembangkan Agora, Forum, Moseleum dan berbagai ruang kota untuk memberi kesenangan bagi masyarakatnya dan sekaligus lambang kebesaran dari pemimpin yang berkuasa saat itu. Berikutnya pada jaman Meldevel, pelataran gereja yang berfungsi sebagai tempat berdagang, berkumpul sangat dominan sebelum digantikan jaman Renaisance yang glamour dengan plaza, piaza dan square yang luas dan hiasan detail serta menarik.Seni berkembang secara optimal saat ini, sehingga implementasi keindahan dan kesempurnaan rancangan seperti Versailles dan kota Paris menjadi panutan dunia. Gerakan baru yang lebih sadar akan arti lingkungan melahirkan taman kota skala besar dan dapat disebut sebagai pemikiran awal tentang sistem ruang terbuka kota. Central Park New York olehFrederick Law Olmested danCalvert Voux melahirkan profesi Arsitektur Lansekap yang kemudian mengembang dan mendunia. Melihat kenyataan tersebut tampaknya kebutuhan ruang terbuka yang tidak hanya mengedepankan aspek keleluasaan, namun juga aspek kenamanan dan keindahan di suatu kota sudah tidak dapat dihidari lagi, walaupun dari hari ke hari ruang terbuka hijau kota menjadi semakin terdesak. Beberapa pakar mengatakan bahwa ruang terbuka hijau tidak boleh kurang dari 30%, Shirvani (1985), atau 1.200 m 2tajuk tanaman diperlukan untuk satu orang, Grove (1983). Bagaimana kota-kota di Mancanegara menghadapi hal ini, berikut diuraikan beberapa kota-kota yang dianggap dapat mewakili keberhasilan Pemerintah Kota dalam pengelolaan ruang terbuka hijau kota.
Jurnal Arsitektur Vegetasi
12
Teori Arsitektur I
Singapura, dengan luas 625 Km 2dan penduduk 3,6 juta pada tahun 2000 dan kepadatan 5.200 jiwa/ km 2, diproyeksikan memiliki ruang terbangun mencapai 69% dari luas kota secara keseluruhan. Dalam rencana digariskan 24% atau 177 Km 2sebagai ruang terbuka, sehingga standar ruang terbukanya mencapai 0,9 ha per 1.000 orang. Tokyo, melakukan perbaikan ruang terbuka hijau pada jalur hijau jalan, kawasan industri, hotel dan penutupan beberapa jalur jalan.Walaupun luas kota Tokyo sangat terbatas, namun Pemerintah kota tetap mengusahakan taman-taman tersebut, yang memiliki standar 0,21 ha per 1.000 orang. Sementara itu, pendekatan penyediaan ruang terbuka hijau yang dilakukan di Bombay – India, dapat pula dijadikan masukan awal untuk dapat memahami Hirarki Ruang Terbuka Hijau di lingkungan permukiman padat. Menurut Correa, (1988), dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa apabila diabstraksikan kebutuhan akan hal-hal yang bersifat sosial tercermin di dalam 4 (empat) unsur utama, yaitu :
tan bersama seluruh warga masyarakat Penelitian ini lebih lanjut mengungkapkan bahwa diperkirakan 75% fungsi ruang terbuka hijau dapat tercapai. Hal ini dikarenakan padatnya tingkat permukiman sehingga ruang terbuka berfungsi menjadi daerah interaksi antar individu yang sangat penting bahkan dibutuhkan.
Untuk menentukan standar RTH perlu dibuatkan suatu penelitian berdasarkan studi banding standar yang berlaku di negara lain. Kondisi Ruang Terbuka Hijau Kota-Kota Besar No.
Kota 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 1
Singapura Baltimore Chicago San Fransisco WashingtonDC Muenchen Amsterdam Geneva Paris Stocholm Kobe Tokyo
Populasi (juta jiwa) 2,70 0,93 3,37 0,66 0,76 1,27 0,81 0,17 2,60 1,33 1,40 11,8
RTH (m /jiwa) 7,0 27,0 8,80 32,20 45,70 17,60 29,40 15,10 8,40 80,10 8,10 2,10 2
Sumb er : Liu Thai Ker, 1994
Dalam rangka optimalisasi distribusi penyediaan ruang terbuka hijau kota, contoh kasus pengembangan pembangunan pertamanan yang diterapkan di Roterdam ( A.B GrovedanR.W. Cresswell dalamCity Landscape) dapat dikemukakan tabel dibawah ini: Ruang Terbuka Hijau Kota Roterdam terbagi sebagaimana ditampilkan dalam tabel berikut ini :
Jurnal Arsitektur Vegetasi
13
Teori Arsitektur I
TabelPembagian Ruang Terbuka Hijau Kota Roterdam U
Jenis Ruang nit Terbuka Hijau 1 Ruang Terbuka Hijau di Lokasi Perumahan (House Block Greenspace)
Keterangan – 5000m2
perumahan – 3,7 m2/ penduduk
Ruang Terbuka Hijau di Bagian Kota (Quarter Greenspace)
+300 – 500 m – 4,5 m2/ penduduk
Ruang Terbuka Hijau Di Wilayah Kota (District Greenspace)
max = 800 m – 4,8
m2/
penduduk
Ruang Terbuka Hijau Kota (Town Greenspace)
s/d 3 ruang terbuka hijau bagian wilayah kota – 200 Ha daerah rekreasi – 12,8
m2/
penduduk
Jurnal Arsitektur Vegetasi
14
Teori Arsitektur I
10. KESIMPULAN Main masalah termal iklim di ruang terbuka perkotaan di daerah tropis lembab panas bagaimana meminimalkan radiasi matahari tinggi dan mengoptimalkan angin. Vegetasi memiliki potensi dalam mengatasi perkotaan iklim mikro ruang terbuka. Konfigurasi vegetasi merupakan salah satu faktor penentu untuk mendapatkan manfaat dari potensi vegetasi lembab ruang terbuka perkotaan panas. Penelitian-penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui pengaruh dari konfigurasi vegetasi terhadap kondisi iklim mikro dan konfigurasi ideal untuk vegetasi tropis lembab perkotaan ruang terbuka panas....
Jurnal Arsitektur Vegetasi
15
Teori Arsitektur I
Daftar Pustaka
Avissar, R (1996), Potential Effect of Vegetation on The Urban Environment , Atmospheric Environment Vol. 30, No. 3, pp. 437-448
Thermal
Barbirato, G. M, Torres,C.S., Lisboa, T.A. (2005) Microclimatic Condition of Urban Public Spaces in a Tropical City , www.geo.uni.lodz.pl/~icuc5/text/O_2_5.pdf - 23 Okt 2005. Bueno-Bartholomei, C.L., & Labaki, L.C. (2005) How Much Does the Change of Species of Trees Affect Their Solar Radiation Attenuation?, www.geo.uni.lodz.pl/~icuc5/text/O_1_4.pdf - 23 Okt 2005. Corbella, O.D., Magalhaes, M.A.A.A. (2008) Conceptual differences between the bioclimatic urbanism for Europe and for the tropical humid climate, Renewable Energy 33 (2008) 1019 –1023 Hiraoka, H. (2002) Simulating the Microclimate Produced by a Single Tree , Ecole d‟Architecture de Nantes (CERMA), Proceedings International Workshop on Architectural an Urban Ambient Environment, Nantes, 6 –8 February 2002 Huang, L, et, al (2008), A fieldwork study on the diurnal changes of urban microclimate in four types of ground cover and urban heat island of Nanjing, China, Building and Environment 43 (2008) 7 –17 Kane, R. P. (1997) The Ecological and Biological Benefit of Open Space , in The Benefits of Open Space, Leonard W. Hamilton, Ph.D (ed), Great Swamp Watershed Association Karima Ait-Ameur, K., Chatelet, A. (2002), Microclimatic characterisation of urban public spaces. Application to the city of Toulouse, within the SAGACités Project framework , Proceedings International Workshop on Architectural an Urban Ambient Environment, Nantes Katzschner, L. (2002) Bioclimatic Characterisation of Urban Microclimates for the Usage of Open Spaces, Ecole d‟Architecture de Nantes (CERMA), Proceedings International Workshop on Architectural an Urban Ambient Environment, Nantes Kofoed, N. & Gaardsted, M. (2004) Considerations of the Wind in Urban Spaces, paper on “Designing Open Spaces in the Urban Environment: a Bioclimatic A pproach, Dr.Maria Nikolopoulou (eds), Center for Renewable Energy Sources, Department of Buildings, Greek Matsuoka, R., H., and Kaplan, R (2008), People needs in the urban landscape: Analysis of Landscape And Urban Planning contributions, Landscape and Urban Planning, Vol. 84, Issue 1, 11 January 2008, Pages 7-19 Majid, N. H. A. et al, (2005) Open Spaces for People: An Overview of Open Space Typologies and Utilization in Kuala Lumpur , Proceeding The 6th International Seminar on Sustainable Environment and Architecture (SENVAR 6), Department of Architecture, Institut Teknologi Bandung, Indonesia, 19 – 20 September 2005 Mansy, K. (2006) Five Locations to Represent World Climates, Proceeding PLEA2006 - The 23rd Conference on Passive and Low Energy Architecture, Geneva, Switzerland, 6-8 September 2006
Jurnal Arsitektur Vegetasi
16
Teori Arsitektur I
Nikolopoulou, M., Lykoudis, S., (2007) Use of outdoor spaces and microclimate in a Mediterranean urban area, Building and Environment, Volume 42, Issue 10, p.p 36913707 Panagopoulos, I, et. al., (2005), Turbulent Dispersion and Prediction of Wind Circulation Pattern in an Urban Environment – The Effect of Vegetation, www.safetynet.de/conference2/papers/CH2_pap.pdf, akses tanggal 26 Oktober 2005 Pasaogullari, N. & Doratli, N. (2004), Measuring Accesibility and Utilization of Public Spaces in Famagusta, Cities, Vol 21 Issue 3, pp 225-235 Peeters, A. and Etzion, Y., (2005), Automated Recognition of Morphological Patterns in Urban Open Spaces, Proceedings of the ISPRS joint conference 3rd International Symposium Remote Sensing and Data Fusion Over Urban Areas (URBAN 2005) and 5th International Symposium Remote Sensing of Urban Areas (URS 2005), ,M. Moeller, E. Wentz (ed) Tempe, AZ, USA, March 14-16 2005 Rubinstein, N. J., (1997) The Psichological Value of Open Space, in The Benefits of Open Space, Leonard W. Hamilton, Ph.D (ed), Great Swamp Watershed Association Salingaros, N. A. (1999), Urban space and its information field , Journal of Urban Design, Volume 4 (1999) pages 29-49 Saxena, M. (2001) Microclimate Modification: Calculating the Effect of Trees on Air Temperature, www.sbse.org/awards/docs Scudo, G. (2002) Thermal Comfort in Greenspace, Proceeding COST C 11 "Green structures and urban planning" - Milan Oct 2002 Scudo, G, et al, (2004), Evaluation of Radiation Conditions in Urban Spaces, in “Designing Open Spaces in the Urban Environment: a Bioclimatic Approach”, Dr.Maria Nikolopoulou (eds), Center for Renewable Energy Sources, Department of Buildings, Greek Shahidan, M.F., Salleh, E., Shariff, M.K.M. (2006) The Influence Of Tree Canopy On The Thermal Environment In A Tropical Climate, Proceeding 2nd International Conference on Sustainable Architecture and Urban Design in Tropical Regions, 3-5 April 2006, Jakarta Shasua-Bar, L., & Hoffman, M., E. (2000), Vegetation as a climatic component in the design of an urban street ; An empirical model for predicting the cooling effect of urban green areas with trees, Energy and Buildings 31 (2000) pp. 221 –235 Soegiyanto (1998) Bangunan di Indonesia dengan Iklim Tropis Lembab Ditinjau dari Aspek Fisika Bangunan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta Stathopoulos, T, Chiovitti, D and Dodaro, L (1994), Wind shielding effects of trees on low buildings, Building and Environment, Volume 29, Issue 2, 1994, Pages 141-150 Stabler, L. B. (2005) Microclimate in a Desert City were Related to Land Use and Vegetation Index ,
Jurnal Arsitektur Vegetasi
17
Teori Arsitektur I
Vinet, J. (2002) Modelling The Impact of Urban Vegetation to Analyse Urban Microclimate and Outdoor Thermal Comfort , Proceedings International Workshop on Architectural an Urban Ambient Environment, Nantes, 6 –8 February 2002 Winarna (2006) Conflict of Interest in Public Space Arrangement, Proceeding 2nd International Conference on Sustainable Architecture and Urban Design in Tropical Regions, 3-5 April 2006, Jakarta Woolley, H (2003) Urban Open Space, Routledge Zahoor, A. (1997) Effect of Trees in Ameliorating Air Temperature in Urban Setting in Pakistan, Dissertation unpublished, University of Idaho
Jurnal Arsitektur Vegetasi
18