NO.4 / TAHUN I /MARET 2010
bulletin AGITPROP
TENTANG NILAI PAKAI NO.4 / TAHUN I /MARET 2010
PROBLEMFILSAFAT
1
ESSEIEDITORIAL
Bulletin Problem Filsafat edisi keempat ini memuat tulisan-tulisan tentang paragraf ketiga dan keempat Bab I Das Kapital yang dikupas pada diskusi tanggal 18 dan 25 Februari. Fokus dari seluruh kajian yang dimuat di sini adalah tentang nilai-pakai (use value). Dua makalah presentasi kawan Anom Astika menjelaskan, secara berurutan, tentang paragraf ketiga dan keempat: yang pertama membahas tentang kebergunaan barang, sementara yang kedua berbicara tentang nilai pakai. Sebagaimana kekhasan analisisnya pada presentasi terdahulu, kawan Anom akan memeriksa konseptualisasi Marx tentang guna dan nilai-pakai dalam kaitan erat dengan formulasi Marx dalam karya-karya di luar Kapital. Setelah dua makalah presentasi kawan Anom, Problem Filsafat kali ini juga memuat catatan diskusi tanggal 25 Februari. Selain itu, dalam bulletin kali ini juga dimuat makalah kawan Berto Tukan tentang karya Engels, The Origin of Family, Private Property and State yang dipresentasikannya pada tanggal 11 Maret dalam diskusi edisi khusus Komunitas Marx untuk memperingati Hari Perempuan Sedunia.
2
PROBLEMFILSAFAT
NO.4 / TAHUN I /MARET 2010
ARTIKELDISKUSI
Tentang Ikhwal yang Berguna
Sebelum aku lanjutkan pada alinea berikutnya, aku baru menyadari bahwa pembahasan pada minggu lalu memang tampak berputar-putar tanpa arah. Masing-masing kawan berusaha menjelaskan apa kaitan antara kalimat pertama dengan kalimat kedua dan ketiga. Aku sendiri sampai akhir diskusi masih terus belum menangkap pusaran makna seperti apa yang hendak digambarkan oleh Marx. Diskusi katarsis di warung GM [warung pojok Mas Gun & Mbak May--ed.] pun baru menangkap adanya dialektika antara komoditas dan kebutuhan manusia. Jarak sehari kemudian aku sempat membaca sebuah artikel Coen Husain Pontoh yang menggambarkan pemikiran Naomi Klein, yang menyatakan bahwa adanya pasar bebas bukanlah karena sifat alami dari pasar itu sendiri, tetapi oleh karena krisis ekonomi, dan adanya pasar bebas di berbagai negeri dunia ketiga selalu berseiring dengan naiknya rejim-rejim otoriter yang melindungi adanya pasar bebas. Terkesiap cukup lama aku setelah membaca artikel itu, sambil lalu membuka kembali catatan catatan diskusi komunitas Marx. Baru kemudian ku sadari bahwa salah satu problem yang membuat pusaran
NO.4 / TAHUN I /MARET 2010
oleh ANOM ASTIKA
makna itu tak berhenti, adalah karena ketika kita mendiskusikan komoditas sebagai sesuatu yang asing, kita tidak menangkap atau mungkin lupa akan diskusi pekan-pekan sebelumnya bahwa ketika Marx menulis komoditas itu selalu berada dalam pengandaian proses produksi. Sebuah proses yang mengandaikan adanya penciptaan-penciptaan barang secara masif di luar kebutuhan manusia. Komoditas menjadi asing bukan oleh karena manusia yang menciptakannya atau mengenalinya, tidak mengetahui atau tidak menyadari kehadirannya, tetapi oleh karena komoditas itu sendiri merupakan bentuk yang kesekian-kalinya yang dihasilkan oleh proses produksi. Komoditas menjadi asing oleh karena ketiadaan identitasnya, dan bukan selalu berarti tidak memiliki nilai pakai atau nilai guna. Tetapi oleh karena keberadaan komoditas itu sendiri berlawanan dengan kebutuhan manusia. Sebagai contoh ketika kita membeli sepatu olahraga yang bermerek Reebok, Bally, Nike atau Puma, kita hanya tahu bahwa sepatu dengan cap itu selalu adalah yang berkualitas tinggi. Tetapi kita tidak pernah tahu bagaimana sepatu itu dibuat, bahan dasarnya apa saja, siapa yang
PROBLEMFILSAFAT
3
ARTIKELDISKUSI
mengerjakannya, dan yang lebih parah lagi kita mengenali merek-merek tersebut sebagai merek impor atau internasional, walaupun pabrik-pabriknya ada di Bekasi maupun di Tandes, Surabaya. Dan manusia maupun masyarakat pun tak memiliki kendali atas keberlanjutan dari proses produksi komoditas, kecuali kaum kapitalis. Artinya proses produksi kapitalisme di dalam banyak hal berbeda dengan alam chaos yang dibayangkan oleh para filsuf-filsuf yunani sebagai yang membentuk keadaan yang melingkupi kehidupan manusia, sebagaimana pula yang tergambar dalam kitab Kejadian. Bagi Marx, yang disebut sebagai chaos itu adalah produksi komoditas itu sendiri. Apabila memang demikian yang dipikirkan oleh Marx lalu bagaimana kebutuhan manusia dapat digambarkan sebagai dasar dari kepentingan manusia di dalam mempertahankan kehidupannya? Pada bagian ini Marx meletakkan pemikirannya di dalam tulisan Economic and Philosophical Manuscript 1844:1 Karenanya ekonomi politik tidak mengenal si penganggur maupun si pekerja, sepanjang ia hanya berada di luar hubungan kerja ini. Para bajingan, pengemis, pengangguran, penipu, kaum kelaparan, penyakitan, dan kriminal –semuanya bukan lah figur-figur yang eksis bagi ekonomi politik tapi hanya untuk nyalang tatap oleh yang lain, yaitu para dokter, hakim, penggali kubur, dan juru sita, dll; figur figur semacam itu adalah para hantu di luar ranahnya. Karenanya bagi ekonomi politik kebutuhan pekerja hanyalah satu –memelihara pekerja sepanjang dia mampu bekerja dan sejauh mana diperlukan untuk mencegah kepunahan ras pekerja. Upah kerja dengan demikian sama pentingnya seperti pemeliharaan dan perbaikan alat produktif lainnya, atau sebagai konsumsi kapital secara umum, yang diperlukan bagi reproduksi kapital dengan kepentingan, seperti bahan bakar yang diperlukan agar roda tetap berputar.
Apa yang dimaksud oleh Marx di dalam kutipan di muka bukanlah dalam arti kebutuhan manusia dalam arti yang murni dan sepenuh-penuhnya, tetapi kebutuhan manusia itu sendiri juga merupakan hasil dari dialektika relasi-relasi sosial. Artinya kebutuhan manusia untuk mempertahankan hidup pun bukan sekedar realisasi dari kebutuhan hidupnya –seperti untuk tetap hidup manusia perlu makan-- tetapi terdapat kondisi-kondisi yang menciptakan adanya kebutuhan untuk makan. Bagaimana kemudian dengan kebutuhan-kebutuhan manusia yang bergerak di luar relasi-relasi sosial, ataupun kebutuhan individual manusia? Pada bagian ini pemikiran Marx berdialektika dengan problem psikologis manusia, dan memang tidak bisa dipungkiri bahwa di dalam hal ini sedikit dari pemikirannya yang mampu menjawab persoalan tersebut. Sekalipun demikian, alangkah baiknya jika kita kembali berupaya menelusuri pemikiran Marx melalui teks dari The Holy Family:2 Si pendeta memukul kepalanya sendiri. Demi mengatasi ide sensualitas, pertama tama dia harus mengatasi susu-
4
PROBLEMFILSAFAT
nan syaraf dan sirkulasi darah yang cepat –tuan Szelgia meyakini dalam makna ‘sempit’ bahwa kehangatan tubuh yang lebih besar berasal dari panas darah di nadi; dia tidak mengetahui bahwa binatang berdarah panas disebut demikian karena suhu darahnya, lepas dari berbagai modifikasi kecil, selalu tetap berada dalam tingkat konstan. Segera tiada lagi susunan syaraf, dan darah di nadi tak lagi panas, maka tubuh yang penuh dosa, tempat dari hasrat sensual menjadi bangkai dan jiwa dapat mengubah tanpa batas akan ‘pemikiran umum’, ‘cinta murni’ dan ‘moral murni’. Si pendeta merendahkan derajat sensualitas pada bidang luas dimana dia menghapuskan elemen dasar cinta sensual yang mengilhaminya –sirkulasi darah yang cepat, yang membuktikan bahwa manusia tidak mencintai lewat sikap tak acuh yang tak peka, tetapi susunan syaraf yang menghubungkan organ itulah tempat utama dari sensualitas di dalam otak.
Melalui kutipan di muka Marx mencoba menjelaskan bahwa di dalam hal-hal yang paling sublim dalam kehidupan manusia sekalipun, yang kerap dibuat sebagai sesuatu yang misterius bagi kaum terdidik, --dalam hal ini ide sensualitas-- pada dasarnya adalah sebuah gerak dari hal hal yang material dari dalam tubuh maupun dalam keterkaitannya dengan obyek di luar tubuh, dan karenanya juga dengan relasi-relasi sosial. Sehingga bagi Marx tidak ada subyek tanpa ketersituasian. Problematiknya kemudian bagaimana subyek tersebut berhadapan dengan produksi komoditas. Memang belum selalu dapat dibayangkan atau bahkan diramalkan dengan jelas bagaimana reaksi psikologis masyarakat Jawa pada masa awal abad ke-20 ketika untuk pertama kalinya melihat kereta api. Tetapi, banyak penulis seperti Mas Marco Kartodikromo menggambarkan kereta api sebagai awal jaman baru. Sebuah jaman yang sarat dan akan dikendalikan oleh teknologi tinggi. Akan tetapi bagaimana sebenarnya problematik komoditas di hadapan subyek manusia? Kalimat 1 alinea 3 Bab 1 Bagian 1 Das Kapital:
Setiap barang yang berguna, seperti besi, kertas, dan sebagainya, dapat dipandang dari dua titik pandangan, dari pandangan kualitas dan kuantitas.
Penggal awal alinea tiga ini menunjukkan bagaimana gambaran komoditas, sebagai sebuah barang, sebuah benda yang berguna di hadapan subyek manusia. Dalam hal ini Marx meletakkan dasar material bagi keberadaan sebuah benda. Sehubungan dengan perdebatannya dengan Proudhon di dalam The Poverty of Philosophy, Marx menuliskan:3 Dalam setiap epik sejarah, kepemilikan berkembang secara berbeda beda dan di bawah kondisi relasi sosial yang berbeda. Sehingga untuk menjelaskan kepemilikan borjuis tidak lain adalah memberikan penjelasan tentang semua relasi sosial dari produksi borjuis. Upaya menjelaskan kepemilikan seolah sebagai relasi yang independen, kategori yang terpisah, sebuah gagasan yang abstrak dan abdi, sudah pasti sebuah ilusi metafisika atau yurisprudensi.
NO.4 / TAHUN I /MARET 2010
ARTIKELDISKUSI
Kutipan di muka sebenarnya memberikan konteks dari barang atau benda yang berguna dalam arti sosial. Sebuah benda, ataupun barang tidaklah lepas dari kepemilikan, dan karenanya adalah bagian dari relasi-relasi sosial. Oleh karenanya, oleh karena kepemilikan tersebut plus relasi-relasi sosial yang melingkupi barang tersebut, maka keberadaan sebuah barang itu selalu jamak, dan oleh karena relasi-relasi sosial tertentu maka ada berbagai kualitas. Walau demikian penggal kalimat tersebut tidak selalu bermakna bahwa semua benda lepas dari kegunaannya selalu berada dalam konteks kepemilikan dan relasi sosial. Karena kita akan mengalami kesulitan untuk menjelaskan sampah atau produksi limbah pabrik sebagai sesuatu yang berguna, dan pantas dimiliki. Sehingga kata ‘guna’ di sini pun juga bermakna sosial, atau bentukan dari relasi-relasi sosial. Dengan kata lain, ‘kebergunaan’ sebuah barang itu pun ditentukan oleh relasi-relasi sosial, yang menentukan juga seberapa banyak ‘yang berguna’ itu diproduksi dan akhirnya pantas untuk dimiliki. Kalimat 2 dan 3 alinea 3 Bagian 1 Buku Das Kapital: Setiap barang yang berguna merupakan suatu keseluruhan yang terdiri atas banyak sifat; dan oleh karena itu dapat berguna dalam berbagai cara. Penemuan cara-cara ini dan karenanya penemuan berbagai kegunaan barang adalah pekerjaan sejarah.4 Demikian juga penetapan tolok-ukur yang diakui secara sosial bagi kuantitas-kuantitas barang-barang yang berguna ini. Keaneka-ragaman tolok-ukur berasal-muasal sebagian dari keaneka-ragaman sifat benda-benda yang diukur itu, dan sebagian dari kaidah kebiasaan.
Penggal alinea yang selanjutnya menunjukkan bagaimana Marx menggambarkan kondisi fisik dari sebuah barang yang dianggap berguna. Sebuah kertas karena sifatnya yang tipis dan lentur, maka ia dapat dipergunakan baik sebagai tempat menulis, maupun sebagai pembungkus, dan sebagainya. Meskipun demikian tidak berarti bahwa sifat sifat dari sebuah barang mengandaikan juga keberadaan barang tersebut seperti dalam sebuah relasi sosial manusia. Artinya bahwa sifat lentur dari kertas tidak dengan sendirinya berfungsi sebagai pembungkus. Sejarah atau relasi-relasi sosial manusia yang menentukan bagaimana keterkaitan di antara berbagai barang atau benda itu dirumuskan. Sehingga Marx di dalam hal ini mengkritik pemahaman Barbon yang melihat ada makna hakiki dari sebuah barang, sebagaimana yang terdapat dalam gambaran hubungan antara magnet dan besi. Dalam analogi yang berbeda sehubungan dengan perkembangan ilmu pengetahuan Marx menuliskan di dalam Afterword to the Second Edition of Capital:5 Jadi tanah hidup yang darinya Ekonomi Politik itu lahir tidak ada. Ilmu Pengetahuan ini mesti diimpor dari Inggris dan Perancis sebagai suatu barang-jadi; para
NO.4 / TAHUN I /MARET 2010
profesor Jerman masih tetap murid-murid. Pernyataan teoretikal dari suatu realitas asing itu di tangan mereka berubah menjadi kumpulan dogma, yang ditafsirkan oleh mereka dalam pengertian suatu dunia burjuis-kecil yang mengelilingi mereka, dan karenanya disalahtafsirkan. Perasaan ketakmampuan (impotensi) ilmiah, suatu perasaan yang tidak-sepenuhnya dapat ditindas, dan kesadaran yang tidak menyenangkan bahwa mereka mesti menguasai wilayah yang dalam kenyataan sepenuhnya asing bagi mereka, hanyalah secara tidak-sempurna disembunyikan di bawah suatu parade erudisi literer dan historikal, atau oleh suatu percampuran bahan-bahan tambahan yang dipinjam dari yang disebut ilmu-ilmu pengetahuan Kameral6, suatu bunga-rampai pengetahuan-pengetahuan dangkal yang api-penyuciannya mesti dilalui calon birokrasi Jerman yang penuh harapan itu.
Di dalam penjelasan analogis tersebut Marx menunjukkan bagaimana kemampuan manusia, yang seharusnya dapat bergerak lebih jauh di dalam merumuskan ilmu pengetahuan tidak mendapatkan basis materialnya. Ilmu pengetahuan sebagai sebuah benda yang berguna, ketika ia tidak diolah lebih lanjut, tidak dihubungkan dengan pengetahuan-pengetahuan yang lain, tidak didialektikakan dengan kondisi-kondisi material yang membentuk pengetahuan tersebut, tidak dilihat sebagai sebuah produk sejarah, maka ilmu pengetahuan tersebut tidak lebih dari sebuah dogma. Pun demikian halnya dengan keberadaan bendabenda yang dianggap berguna. Catatan Akhir:
1. Karl Marx, The Economic and Philosophical Manuscript 1844, bab Antithesis of Capital and Labour. Landed Property and Capital, diambil dari situs www.marxists.org. 2. Karl Marx, The Holy Family, Chapter “Critical Criticism” As a Mystery-Monger, Or “Critical Criticism” As Herr Szeliga, seksi “The Mystery of Educated Society”, diambil dari situs www. marxists.org. 3. Karl Marx, The Poverty of Philosophy, Bab Property or Ground Rent, diambil dari situs www.marxists.org. 4. “Barang mempunyai suatu manfaat hakiki” (ini pada Barbon adalah istilah khusus untuk nilai-pakai), “yang di mana-mana mempunyai manfaat yang sama; sebagaimana magnit menarik besi”. (idem hal. 6). Sifat magnit menarik besi, akan menjadi berguna, hanya setelah dengan perantaraan sifat itu ditemukan kutub magnetik itu. —Catatan kaki dari Marx. 5. Karl Marx, Capital, Afterwords to the Second Edition, diambil dari situs www.marxists.org. 6. [Kameralwissenschaft, atau Cameralism, adalah versi Jerman untuk Merkantilisme. Ia cenderung melihat ekonomi politik dalam pengertian sempit sebagai suatu materi keuangan dan administrasi, karena ia lahir sebagai suatu perangkat ide-ide mengenai bagaimana para penguasa negara-negara kepangeranan Jerman dapat menggunakan pemasukan-pemasukan mereka untuk memajukan kesejahteraan negara. Orang-orang Kameralis terkemuka adalah von Hörnigkh pada abad ke XVII dan Justi pada abad ke XVIII.]
PROBLEMFILSAFAT
5
ARTIKELDISKUSI
Rumusan Pertama tentang Nilai-Pakai oleh ANOM ASTIKA
Sekarang kita akan mulai memasuki alinea ketiga dari buku Kapital. Dari alinea ini dan berlanjut dengan alinea-alinea berikutnya, persoalan-persoalan di seputar nilai pakai dan nilai tukar akan diperbincangkan lebih lanjut. Kalimat 1-4 alinea 3 Bab 1 Bagian 1 buku Das Kapital:
Kegunaan suatu barang menjadikannya suatu nilai-pakai.1 Tetapi kegunaan ini bukan sesuatu di awang-awang. Karena ditentukan oleh sifat-sifat fisikal barang-dagangan, maka ia tidak mempunyai eksistensi yang terpisah dari barang-dagangan itu. Oleh karenanya ia merupakan badan fisikal barang dagangan itu sendiri, seperti besi, gandum, intan, yang adalah nilai-pakai, atau sesuatu yang berguna.
Persoalan kebergunaan barang sudah didiskusikan sepekan lalu, dan telah ditegaskan pula bahwa kegunaan selalu mengandung unsur kepemilikan dan oleh karenanya makna dari kegunaan selalu berkait dengan relasi-relasi sosial. Dalam penggal alinea di dalam kalimat pertama ini, pemahaman tentang kebergunaan dan atau kegunaan diletakkan dalam relasi sosial yang paling konkrit, dan diwujudkan dalam bentuk nilai. Arti nilai di sini tidak sama dengan harga, ataupun proporsi dan kuantitas dari barang, dan bukan juga abstraksi dari relasi relasi sosial. Melainkan sebuah pemahaman terhadap upaya pembentukan relasi diantara pengguna barang (manusia) dengan barang sebagai bentuk dari material alam. Sehubungan dengan kalimat terakhir ini Marx di dalam Economic and Philosophical Manuscript menegaskan:2 Anda harus membuat segala sesuatu yang anda miliki mampu dijual, misalnya, yang berguna. Jika saya bertanya kepada ahli ekonomi politik: Apakah saya harus menuruti hukum-hukum ekonomi jika saya mengekstraksikan uang dengan menawarkan tubuh saya untuk dijual, dengan menyerahkannya pada hasrat buruk orang lain? (Kaum pekerja pabrik di Perancis menyebut pelacuran istri dan anak anak perempuan mereka sebagai jam kerja ke sepuluh, yang secara harafiah benar adanya).....Maka si ahli ekonomi politik menanggapi saya: Kamu tdiak melanggar hukum hukum saya; tapi apa yang dikatakan oleh Saudara Etik dan Saudara Agama tentang hal itu. Etik dan Agama
6
PROBLEMFILSAFAT
ekonomi politik saya tidak perlu membuktikan apa-apa lagi kepadamu, tetapi –kepada siapa Saya sekarang percaya, ekonomi politik atau etik? – Etika ekonomi politik adalah akuisisi, kerja, penghematan, ketenangan hati – tetapi ekonomi politik berjanji memuaskan kebutuhan saya. --Etika ekonomi politik adalah keberlimpahan akan kesadaran yang baik, akan keutamaan, dsb.; tapi bagaimana saya dapat hidup dengan penuh keutamaan jika Saya tidak hidup? Dan bagaimana Saya memiliki kesadaran yang baik jika saya tidak mengetahui segala sesuatunya?
Dari kutipan di muka, perlu diperhatikan bahwa sebentuk tubuh pun dirumuskan oleh relasi sosial. Apa yang diungkapkan oleh Marx bukan pada soal bagaimana sebuah tubuh dan atau barang dapat diperbandingkan dengan barang yang lain untuk memungkinkan adanya pertukaran. Akan tetapi kebergunaan sebuah barang selalu didasari oleh pengandaian perihal relasi sosial yang berkepentingan terhadap barang tersebut. Jikalau barang-barang tersebut belum dianggap sebagai sesuatu yang berguna secara sosial, dan karenanya belum dapat dianggap sebagai barang sosial, maka kegunaannya bersifat individual. Kendati demikian, di dalam perkembangan masyarakat yang berlangsung hingga saat ini sudah tentu semua barang bersifat sosial, dan yang bersifat subyektif tidak ditemukan fakta sejarahnya. Oleh sebab itu, kebergunaan sebuah barang, dan atau penentuan akan kebergunaan sebuah barang, yang kemudian disebut sebagai nilai pakai, selalu bersifat politis.3 Problematik ‘yang politik’ dalam kaitannya dengan pembentukan nilai pakai perlu diperhatikan di sini oleh sebab relasi sosial yang membentuk dan atau merumuskan nilai pakai itu belum selalu dapat mengolah ataupun menggali daya guna maupun potensi dari sebuah barang. Dan pengolahan itu pun sangat bergantung pada perkembangan peradaban yang melingkupi relasi-relasi sosial. Sebagai contoh, di dalam sejarah perkembangan masyarakat di Indonesia, dan atau setidaknya yang berada di kawasan Asia Tenggara, pangan penduduknya didominasi oleh tanaman padi, dan seluruh pengolahan pangannya selalu berbasis pada tanaman tersebut. Padi dipisahkan dari kulitnya, untuk kemudian diolah menjadi nasi dan bubur. Akan tetapi
NO.4 / TAHUN I /MARET 2010
ARTIKELDISKUSI
pengolahan tersebut belum sampai pada teknik fermentasi ataupun peragian; sebuah teknik pengolahan pangan yang justru biasa dilakukan oleh masyarakat di Eropa di dalam membuat roti dan anggur. Di sinilah makna kegunaan tidak berada di awang-awang melainkan sangat ditentukan oleh sifat fisik barang tersebut. Oleh Marx problematik yang demikian ini dijelaskannya di dalam naskah Pre Capitalist Economic Formation:4 Ketika manusia pada akhirnya menetap, dengan cara mana komunitas asali ini dibentuk akan bergantung pada berbagai kondisi eksternal,seperti iklim, geografi, fisik sebagaimana juga kekhususan alami mereka seperti karakter kesukuannya: komunitas, atau mungkin gerombolan kesukuan yang berkembang spontan dengan ikatan darah, bahasa, adat dan sebagainya merupakan pra kondisi awal dari penyesuaian tujuan hidup, dan atas aktivitas yang mereproduksi dan memberikan ekspresi material pada, atau memanfaatkannya (aktivitas seperti penggembala, pemburu, penanam tumbuhan dsb). Bumi adalah laboratorium besar, senjata yang memberikan sarana maupun materi kerja, dan juga lokasi, basis dari komunitas. Hubungan manusia pada bumi adalah yang naif; mereka menghargai diri mereka sendiri sebagai pemilik komunal, sebagaimana juga komunitas yang memproduksi dan mereproduksi dengan sendirinya melalui kerja yang hidup. Hanya sejauh individu adalah anggota –dalam makna harafiah ataupun figuratif-- komunitas itu, maka dia dapat menghargai dirinya sebagai pemilik. Kenyataannya, penyesuaian melalui proses kerja yang terjadi di bawah prakondisi ini, yang bukan merupakan produk kerja, muncul sebagai prakondisi alamiah.
Oleh karena Marx mengemukakan hal tersebut, maka problematik epistemologi Marxis tidak bisa dibangun dengan begitu sederhana lewat diktum basis menentukan
suprastruktur, sebagaimana yang sudah berkali kali didukung maupun ditentang oleh berbagai kalangan penulis. Tetapi mungkin lebih tepatnya, ketergantungan suprastruktur terhadap basis selalu berada dalam pengandaian relasirelasi dialektis di antara manusia dengan alam, dan bukan relasi-relasi dialektis di antara manusia dengan alam yang menentukan perkembangan suprastruktur. Artinya relasirelasi dialektis di antara manusia dengan alam belum selalu menghasilkan bentuk kebudayaan, ataupun pemahaman yang baru terhadap alam, dan belum tentu juga menghasilkan bentuk hubungan kepemilikan yang baru misalnya. Apabila sedemikian hebatnya pengaruh relasi dialektis diantara manusia dengan alam dan begitu hebatnya pengaruh relasi tersebut terhadap pembentukan kebudayaan, tentunya tidak perlu puluhan ribu tahun untuk berevolusi menjadi Adam dan Hawa, dan Teillhard de Chardin tidak perlu susah susah merumuskan bahwa Yesus adalah Homo Sapiens anak cucu Homo Erectus, saudara kembar Homo Javanicus dan Homo Florensis. Diktum itu benar, tetapi pemahamannya tidak bisa mekanis; kita akan kesulitan untuk menjelaskan bagaimana Hypatia seorang budak perempuan mampu atau mendapatkan kesempatan belajar dan mengajar astronomi di masa awal perkembangan kristiani. Karenanya penting kemudian untuk melihat derat-derat pena Marx pada kalimat selanjutnya dalam alinea ketiga. Kalimat 5-10 alinea 3 Bab 1 Bagian 1 buku Das Kapital:
Sifat suatu barang-dagangan ini tidak bergantung pada jumlah kerja yang diperlukan untuk memperoleh/menghak-miliki kualitas-kualitas kegunaannya. Ketika membahas nilai-nilai pakai, kita selalu berasumsi bahwa kita berurusan dengan kuantitas-kuantitas tertentu, misalnya sekian lusin jam-tangan, sekian yard/ello kain lenan, atau sekian ton besi. Nilai-nilai pakai barang-barang dagangan memberikan bahan bagi suatu cabang khusus ilmu-pengetahuan, yakni pengetahuan komersial mengenai barangbarang dagangan.5 Nilai-nilai pakai hanya menjadi kenyataan [verwirklicht] di dalam pemakaian atau dalam konsumsi. Nilai-nilai pakai merupakan isi material kekayaan, apapun bentuk sosialnya. Di dalam bentuk masyarakat yang dibahas di sini mereka adalah juga pengandung/penghasil fisikal [Träger] nilai-tukar (tempattempat penyimpanan –depositories—nilai-tukar).
Pada kalimat pertama dalam penggal kedua alinea ini dikemukakan dengan cukup jelas bahwa keberadaan sebuah barang,
NO.4 / TAHUN I /MARET 2010
PROBLEMFILSAFAT
7
ARTIKELDISKUSI
dalam arti kebergunaannya tidak bergantung pada jumlah kerja yang diperlukan. Apa maknanya? Bagaimana kemudian keterkaitan dari kalimat pertama ini dengan pembahasan yang sebelumnya bahwa kebergunaan sebuah barang itu dibentuk oleh relasi-relasi sosial? Apakah dengan demikian relasi-relasi sosial tersebut tidak memiliki keterkaitan apapun terhadap kebergunaan sebuah barang? Problematik dari kebergunaan sebuah barang bukan terletak pada bagaimana sebuah barang itu diproses ataupun diolah. Tetapi pada bagaimana kebergunaan itu dirumuskan ataupun didefinisikan secara sosial, sementara secara intrinsik barang tersebut sudah melahirkan potensi potensi untuk dipergunakan. Sebuah barang misalnya batu, secara intrinsik sudah berperan sebagai lawan dari air, dalam kategori padat dan cair; sebagai lawan dari kayu dalam kategori keras lunak; dan relasi-relasi sosial yang kemudian merumuskannya sebagai alat penghancur yang lunak, maupun alat penangkis yang cair. Lalu bagaimana dengan persoalan kuantitas dan kualitas dari barang barang tersebut? Problematiknya tetap, relasi-relasi sosial yang merumuskan kebergunaan dari barang tersebut lepas dari bagaimana barang-barang tersebut berproses secara alamiah. Tumpukan kayu lapuk misalnya, apabila dilihat menurut kacamata pikiran kita saat ini adalah sesuatu yang harus dibuang karena sudah tidak berguna lagi. Tetapi secara alamiah kayu lapuk tersebut melalui proses-prosesnya merupakan unsur dasar pembentuk minyak bumi. Demikian juga dengan hidrogen dan oksigen yang secara alamiah merupakan unsur unsur pembentuk air. Di dalam relasi sosial pula dirumuskan bagaimana terjadinya sebuah barang, dan pengetahuan tersebut di dalam masyarakat kapitalis dianggap sebagai pengetahuan tentang barang dagangan. Sementara dalam masyarakat Hellenistik, keberadaan air misalnya belum dapat terdefinisikan secara kimiawi. Air hanya merupakan realitas yang tersedia di mana-mana, dan menjadi bagian dari upaya penghidupan masyarakat tersebut. Tak mengherankan jika muncul pemahaman bahwa “Ada” dalam konteks pemikiran Thales adalah Air dalam pengertiannya yang paling abstrak. Tetapi seiring dengan perkembangan sejarah, perkembangan relasirelasi sosial di kemudian hari, maka air adalah sesuatu yang bisa diperdagangkan, baik itu sebagai sarana produktif, reproduktif dan rekreatif. Marx menegaskan dalam bentuk kritik tentang hal ini di dalam The German Ideology:6
guhnya adalah pertanyaan itu sendiri. Konsekuensinya, di satu sisi, sebagai ganti manusia nyata dan kesadaran nyata mereka tentang relasi relasi sosial mereka, yang muncul menghadapi mereka sebagai sesuatu yang independen, dia hanya memiliki ekspresi abstrak: kesadaran diri. Seperti juga sebagai ganti dari produksi nyata, dia menyebutnya aktivitas dari kesadaran diri, yang menjadi indpenden. Di pihak lain, sebagai ganti dari alam nyata dan relasi sosial aktual yang eksis, dia membuat ringkasan filosofis dari semua kategori filosofis atau nama dari semua relasi dengan menyebutnya: substansi; ….. Jelaslah bahwa dengan dua abstraksi ini, yang tidak masuk akal dan kosong ini, dia dapat melakukan semua silat lidah tanpa harus mengetahui sesuatu pun tentang manusia yang nyata dan hubungan hubungan sosial mereka.
Lebih jauh lagi seperti yang ditegaskan di dalam kalimat alinea ketiga di muka problematik kebergunaan barang akan makin jelas ketika barang itu sudah dikonsumsi, dan ketika itu sudah dikonsumsi maka di dalam barang tersebut sudah terkandung unsur-unsur atau potensi dari sebuah barang untuk dipertukarkan. Catatan Akhir
1. “Nilai alamiah sesuatu barang terdiri atas kemampuannya memenuhi kebutuhan yang yang diperlukan atau melayani kemudahan-kemudahan kehidupan manusia. “ (John Locke, Some Considerations on the Consequences of the Lowering of Interest, 1691, in Works, edit. London 1777, jilid II, hal. 28). Pada para penulis Inggris abad ke XVII kita masih sering menemukan kata “worth” dipakai untuk nilai-pakai dan “value” untuk nilai-tukar. Ini sungguh sesuai dengan semangat suatu bahasa yang suka memakai sebuah kata Teutonik untuk hal sesungguhnya, dan sebuah kata Romawi untuk pemikirannya. —Catatan kaki dari Marx. 2. Karl Marx, Economic and Philosophical Manuscript of 1844, bab Human Requirements and Division of Labour Under the Rule of Private Property, diambil dari situs www.marxists.org. 3. Alain Badiou, Metapolitics diterjemahkan oleh Jason Barker (London: Verso), 1998. 4. Karl Marx, Pre-Capitalist Economic Formation, bab I, diambil dari situs web www.marxists.org 5. Di dalam masyarakat burjuis berlaku fiksi hukum ekonomi, seolah-olah setiap orang, sebagai pembeli barang dagangan memiliki pengetahuan-ensiklopedik mengenai barang-barang dagangan. —Catatan kaki dari Marx. 6. Karl Marx, The German Ideology, Bab The Leipzig Council, di ambil dari situs web www. marxists.org.
...Baginya frasa filosofis tentang persoalan yang sesung-
8
PROBLEMFILSAFAT
NO.4 / TAHUN I /MARET 2010
SENISASTRA
BERTOLT BRECHT
PERTANYAAN-PERTANYAAN DARI SEORANG BURUH YANG MEMBACA Siapakah yang membangun tujuh gerbang Thebes? Pada buku-buku akan kau temukan nama para raja. Apakah raja-raja itu yang mengangkat beratnya batu? Dan Babilon yang tiap kali dihancurkan, Siapa yang selalu membangunnya kembali? Di kota emas Lima, di rumah macam apa para pekerja itu tinggal? Pada malam ketika Tembok Besar Cina selesai dibangun Ke mana para kuli pergi? Roma Agung tumpah-ruah dengan gerbang kejayaan. Siapa yang mendirikannya? Atas siapakah Caesar berjaya? Apakah Bizantium tersohor Menyediakan puri-puri untuk seluruh penduduknya? Bahkan dalam dongeng Atlantis, pada malam ketika samudra menerkam, masih saja para Tuan menjerit-jerit memanggil budak-budaknya. Aleksander muda menaklukan India. Apakah ia melakukannya seorang diri? Caesar menundukkan Galia. Tidakkah ia membawa setidaknya seorang juru masak bersamanya? Philip dari Spanyol tersedu-sedu melihat armadanya tumpas. Hanya dia sendirikah yang menangis? Frederick Kedua memenangkan Perang Tujuh Tahun. Siapa yang ikut memenangkannya? Pada setiap lembar kegemilangan. Siapakah yang memasak untuk pesta kemenangan? Tiap sepuluh tahun muncul orang besar. Siapa yang harus membayar ongkosnya? Begitu banyak pewartaan. Begitu banyak pertanyaan.
NO.4 / TAHUN I /MARET 2010
PROBLEMFILSAFAT
9
CATATANDISKUSI
KONFIGURASI NILAI-PAKAI Catatan Diskusi 25 Februari 2010 oleh MARTIN SURYAJAYA
Dalam catatan atas karya Adolph Wagner, Lehrbuch der politischen Ökonomie, yang ditulis menjelang kematiannya, Marx mengatakan, “bagi saya, nilai-pakai memegang peranan yang jauh lebih penting ketimbang [apa yang dipahami] di dalam ekonomi sampai saat ini.”1 Peran penting ini ditegaskan pula oleh Althusser ketika ia menyatakan, dalam Lire le Capital, bahwa dalam hal distingsi nilai, revolusi teoretik Marx tidak terletak pada konsep nilai-tukar, melainkan justru pada konseptualisasinya tentang nilai-pakai2—sesuatu yang hanya diandaikan begitu saja oleh ahli-ahli ekonomi politik klasik dalam membangun justifikasi alamiah bagi pertukaran.3 Nilai-pakai menjadi kian penting manakala kita melihat, dalam paragraf kelima Kapital, perumusan Marx yang pertama tentang nilai-tukar, yakni sebagai proporsi antar berbagai nilai-pakai.4 Dengan menyadari sifat konstitutif nilai-pakai terhadap nilai-tukar, kita mendapat kesan seolah para pemikir ekonomi politik sebelum Marx, dengan pengabaiannya terhadap hakikat nilai-pakai, justru melupakan pendasaran dari ekonomi politik itu sendiri. Melihat rapuhnya fondasi ekonomi politik itulah Marx mengintervensi dengan elaborasi tentang nilai-pakai dan sesuatu yang mengeram di dalamnya—sesuatu yang memungkinkan, sekaligus direpresi oleh, ekonomi politik. Perdebatan tentang nilai-pakai, dengan demikian, adalah perdebatan tentang fondasi ekonomi politik itu sendiri. Perdebatan dalam diskusi Komunitas Marx tanggal 25 Februari diawali dengan penafsiran Sholeh atas presentasi Anom Astika berkenaan dengan sifat intrinsik nilaipakai dalam benda-benda. Melalui kerangka pikir Althusserian Sholeh menyatakan bahwa relasi antara basis dan superstruktur tersusun oleh overdeterminasi (determinasi resiprokal) dan bukan determinisme searah di mana basis sepenuhnya menentukan superstruktur. Konsekuensi dari logika Althusserian ini, menurut Sholeh, adalah bahwa nilai-pakai—sebangun dengan struktur basis—mesti diandaikan telah selalu bersifat sosial—atau diresapi oleh superstruktur. Dari sini, Sholeh mengambil kesimpulan lebih jauh lagi: nilai-pakai tidak ada di dalam objeknya, ia sepenuhnya ditentukan melalui konvensi superstruktural. Artinya,
10
PROBLEMFILSAFAT
tidak ada nilai-pakai yang intrinsik. Anom segera menolak kesimpulan ini sebab penyimpulan Sholeh tersebut bertolak belakang dengan pengertian Marx tentang nilai-pakai yang baru saja dipresentasikan Anom. Bagi Anom, adalah sesuatu yang jelas bahwa Marx mengafirmasi adanya nilai-pakai yang intrinsik dalam objeknya. Ini diperlihatkan dalam penjelasan Marx pada awal paragraf keempat: “Kebergunaan sebuah bendalah yang menjadikannya suatu nilai-pakai. Tetapi kebergunaan ini tidak terkatung-katung di awang-awang. Ia terkondisikan oleh sifat fisik komoditas, dan tak memiliki keberadaan terpisah dari sifat fisik itu.”5 Corak intrinsik ini ditegaskan lagi oleh Marx pada beberapa kalimat sesudahnya, kali ini dengan sentuhan Aristotelian: “Nilai-pakai hanya teraktualisasi [verwirklicht] dalam penggunaan atau konsumsi.”6 Implikasi dari pernyataan ini adalah bahwa nilai-pakai telah terdapat secara intrinsik pada objeknya dalam wujud potensi yang baru menjadi “ada”, dalam arti aktual, melalui konsumsi—atau, dalam rumusan Marx selanjutnya, melalui materialisasi kerja.7 Artinya, nilai-pakai bukanlah hasil konvensi sepenuhnya, melainkan pertamatama selalu ditentukan oleh prakondisi materialnya. Walaupun betul bahwa, seperti dikatakan Rangga, kita tidak akan menemukan apa yang disebut sebagai “nilai” dalam sebutir mutiara yang dibelah, namun potensi nilai-pakai telah ada di sana. Beranjak menuju problematisasi atas deskripsi Marx tentang masyarakat alamiah yang dikutip Anom di makalahnya, Yosie mempertanyakan logika yang ada di balik pikiran Marx ketika ia mengandaikan kealamiahan primordial dari masyarakat primitif. Teks yang menjadi sumber rujukan tersebut tak lain adalah Pre-Capitalist Economic Formation: “Bumi adalah laboratorium besar, persenjataan yang menyediakan baik sarana dan materi kerja, sekaligus lokasi, basis dari komunitas. Hubungan manusia dengannya bersifat naif [penekanan dari Yosie]; mereka melihat diri mereka sendiri sebagai pemilik komunalnya, sebagaimana komunitas yang memproduksi dan mereproduksi dirinya melalui kerja yang hidup.”8 Apa yang dipersoalkan oleh Yosie bukanlah perkara editorial semata, melainkan logika
NO.4 / TAHUN I /MARET 2010
CATATANDISKUSI
dasar yang menuntun Marx untuk, dalam kata-kata Yosie, “mempostulatkan suatu kemurnian utuh di awal-mula sejarah—dalam nama kenaifan.” Jika Marx memang mempostulatkan adanya kemurnian asali ini (dalam wujud nilai-pakai murni yang belum terkontaminasi oleh nilai tukar apapun, misalnya), maka narasi historis Marx akan tak ubahnya narasi religius yang mempostulatkan Taman Eden asali yang terdegradasi dalam dunia dan akan diraih kembali di suatu saat nanti. Konsekuensinya, menurut Yosie, materialisme historis pun gagal—sains sejarah tak lagi terbedakan dari narasi mitis tentang penebusan. Betulkah demikian? Pertama-tama, kita mesti berupaya mengklarifikasi terlebih dahulu kata “naif ” yang dipakai Marx di sini. Dalam tafsir saya, sebagaimana saya pertahankan dalam diskusi malam itu, kata “naif ” dipakai Marx bukan dalam arti “polos” atau “tanpa noda” seperti Adam dan Hawa sebelum mengenal hasrat (sebelum memakan buah dari Pohon Pengetahuan). Penggunaan kata ini hanya dapat kita mengerti apabila kita melihat penjelasan Marx tentang akumulasi primitif dalam Bab terakhir Kapital. Ekonomi politik klasik—dalam konteks ini Marx mengacu pada Adam Smith—selalu berangkat dari suatu postulat tentang “akumulasi terdahulu”, yakni sebuah akumulasi yang primitif dalam arti mendahului sistem akumulasi kapital. Konon suatu ketika di awal sejarah, terdapat sekelompok manusia yang ulet dan sekelompok manusia yang malas. Sementara pihak kedua bermalas-malasan dan menghambur-hamburkan kekayaan dalam aktivitas yang eksesif, pihak pertama justru rajin menabung dan mengakumulasi kekayaannya. Demikianlah, kaum yang ulet menjadi kaya dan kaum yang malas menjadi miskin—itulah sejarah yang menjadikan masa kini nampak seperti apa yang kita lihat: ada beda antara yang kaya dan yang miskin. Marx melihat dalam model argumentasi semacam ini sebuah upaya untuk menjustifikasi tatanan yang ada. Justifikasi ini dibangun melalui mistifikasi tentang asal-usul: kemalasan adalah “dosa asal”9 kaum miskin yang akan terus dibawanya sepanjang segala masa. Marx melawan postulat ekonomi politik klasik ini dengan menunjukkan bahwa apa yang disebut-sebut sebagai akumulasi primitif (the so-called primitive accumulation) bukanlah proses separasi antara dua jenis keutamaan, antara dua jenis moral, melainkan separasi historis antara produsen dan sarana-sarana produksinya. “Yang disebut-sebut sebagai akumulasi primitif, karenanya, tidak lain daripada proses historis penceraian produsen dari sarana-sarana produksi.”10 Oleh karenanya, dalam fase yang disebut “primitif ” atau “pra-kapitalis” pun sudah terdapat pendasaran bagi kapitalisme, yakni separasi antara produsen dan sarana produksi—sebuah separasi yang akan terus dipegang dan diperluas oleh kapitalisme. Artinya juga, alam pra-kapitalis bukanlah sebuah alam yang “naif ” jika kita mengartikan kata tersebut sebagai kepolosan murni tanpa noda-noda kapital. Apa yang terjadi secara ekonomis di dalam era akumulasi primitif dan mengarahkannya menuju kapitalisme
NO.4 / TAHUN I /MARET 2010
adalah kemunculan nilai tukar dan kepemilikan pribadi. Hal ini tergambar dalam penyelidikan sejarah yang dilakukan Engels dalam The Origin of Family, Private Property and State (yang dikupas oleh Berto dalam tulisannya di bulletin edisi ini). Engels menjelaskan bagaimana perubahan modus produksi “berburu dan meramu” ke modus produksi pastoral (beternak) melibatkan transformasi konsep nilai dan kepemilikan. Apabila dalam modus produksi berburu dan meramu, kepemilikan dimengerti sebagai ikhwal komunal dan nilai suatu benda dipahami dari segi kebergunaannya, dalam modus produksi pastoral, kepemilikan menjadi perkara privat dan nilai tukar menjadi penting. Modus produksi pastoral bermula ketika manusia menemukan teknologi peternakan, yakni teknik domestifikasi hewan liar menjadi hewan ternak yang jinak. Apa yang muncul untuk pertama kalinya di sini adalah nilai tukar. Dengan ditemukannya teknologi beternak, produksi hewan-hewan tersebut (misalnya daging, susu, telur) dapat mencipta ekses terhadap kebutuhan suku peternak tersebut. Reproduksi hewan-hewan ternak tersebut melampaui batas konsumsi yang diperlukan oleh suku. Akibat dari ekses ini adalah keperluan untuk mempertukarkan produk yang berlebih itu dengan suku lain. Di sini pertukaran mengalami intensifikasi menjadi suatu rutinitas.11 Kelebihan produksi mulai dialokasikan secara sistematis untuk dipertukarkan. Artinya, muncullah barang yang diproduksi untuk tujuan pertukaran dan bukan untuk dipakai secara langsung (dengan asumsi bahwa reproduksi barang tersebut niscaya melebihi kebutuhan yang ada). Lahirlah nilai tukar sebagai sesuatu yang ada terpisah dan mengatasi nilai-pakai. Namun proses ini berjalan bebarengan dengan perubahan konsep kepemilikan. Perubahan ini terkait dengan relasi gender. Dalam modus produksi berburu dan meramu, pembagian kerja di antara lelaki dan perempuan terjadi secara setara: keduanya memegang posisi yang setara dalam kerangka produksi barang-barang yang diperlukan untuk masyarakat suku tersebut (lelaki berburu dan perempuan meramu). Namun dalam modus produksi pastoral, dengan transformasi dari perburuan ke peternakan, lelaki hadir sebagai pemegang kendali atas ekses produksi, lelaki hadir sebagai gembala kemakmuran masyarakat—sesuatu yang, dari perspektif produksi suku tersebut, tak tertandingi oleh perempuan yang masih tetap dengan modus produksi meramunya. Engels menulis: ”Segala surplus yang diperoleh dari produksi kini jatuh ke tangan lelaki; perempuan hanya mengambil bagian dalam mengkonsumsinya, namun ia tidak mengambil bagian dalam kepemilikannya.”12 Artinya, kepemilikan komunal yang berbasis pada kesetaraan produksi digantikan oleh kepemilikan privat. Kepemilikan pribadi pertama dalam sejarah, karenanya, adalah kepemilikan pribadi lakilaki.13 Apabila nilai tukar dapat dipisahkan dan diposisikan lebih tinggi ketimbang nilai-pakai oleh modus produksi yang mengarah pada kapitalisme (modus produksi pastoral), maka pertanyaan kawan Henry Stephen malam itu
P R O B L E M F I L S A F A T 11
CATATANDISKUSI
menjadi penting: Apakah basis yang menentukan derajat nilai tukar dan nilai-pakai? Pertanyaan ini tak pelak lagi mengarahkan kita kepada ontologi Marx, yakni konsepsinya tentang kerja.14 Dalam Kapital I edisi pertama, Marx menulis bahwa substansi nilai adalah kerja.15 Marx menambahkan penjelasan yang menekankan bahwa substansi nilai yang dimaksud di sini belum termasuk nilai-pakai. Sebab ia hendak berbicara tentang benda alamiah yang berguna tanpa tersentuh kerja manusia: air, udara, tanah. Dalam kasus seperti itu, tak mungkin berbicara bahwa air sama sekali tak punya nilai-pakai tanpa kerja manusia. Kerja baru menjadi substansi nilai-pakai apabila kita tengah berbicara tentang komoditas: substansi guna dari komoditas selalu merupakan kerja.16 Artinya, fondasi nilai-pakai dari suatu benda tidak selalu kerja, akan tetapi fondasi nilai-pakai dari komoditas niscaya kerja. Kerja sebagai substansi, substratum, nilai—inilah yang kembali ditegaskan Marx dalam pemaparannya tentang bentuk relatif nilai. Ini dimulai dengan kritik atas konsepsi relatif tentang nilai. Yang dimaksud dengan bentuk relatif di sini mengacu pada “keniscayaan” bahwa sebuah dapat bernilai hanya dalam relasinya dengan yang lain. “20 yar linan = 20 yar linan, bukanlah suatu ekspresi nilai. […] Nilai sebuah linan karenanya hanya dapat diekspresikan secara relatif, yakni di dalam komoditas lain,” demikian Marx.17 Nilai sebuah komoditas tergantung pada (relatus est) relasi komoditas itu terhadap komoditas yang lain, pun jika kedua komoditas itu memiliki nilai-pakai yang sama sekali berbeda. Keberadaan sebuah nilai dari kain linan diekspresikan dalam relasi kesetaraan atau perbedaan di antara linan dan mantel—“eksistensi linan sebagai nilai termanifestasikan dalam kesetaraannya dengan mantel, sama seperti domba sebagai hakikat-diri orang-orang Kristiani diperlihatkan dalam kemiripannya dengan Anak Domba Allah.”18 Sebuah ikhwal hanya menjadi bermakna, bernilai, sejauh ia diperbandingkan dengan ikhwal yang lain, sejauh identitasnilai-dirinya dikonstitusikan melalui mediasi yang-lain— itulah hukum pertukaran kaum Merkantilis! Bagi kaum Merkantilis yang merayakan perdagangan bebas ini, tulis Marx, “tak ada nilai maupun besaran nilai yang mungkin selain melalui ekspresinya dalam relasi pertukaran, yakni, dalam daftar harian harga-harga terkini di pasar bursa.”19 Apa yang dikaburkan oleh mereka dan yang berhasil dilihat Marx tak lain adalah fondasi nilai itu sendiri—sesuatu yang ada melampaui mediasi pertukaran, mendahului representasi yang-lain. Sesuatu itulah yang dikupas Marx dalam pembacaannya atas Aristoteles. Setelah mengutip persamaan Aristoteles dalam Etika Nikomakhea: (5 kasur = 1 rumah), Marx menunjukkan teks di mana Aristoteles berhasil mengidentifikasi asal-muasal yang memungkinkan persamaan tersebut: “tak akan ada pertukaran tanpa kesetaraan, dan tak akan ada kesetaraan tanpa keseukuran [commensurability]” (Etika Nikomakhea V, 1133b16-18). Namun identifikasi yang telah berhasil dibuat Aristoteles ini tak membuahkan pengertian
12
PROBLEMFILSAFAT
nyata tentang asal-muasal itu sebab, persis pada kalimat selanjutnya, Aristoteles menulis: “nyatanya, tak mungkinlah benda-benda yang begitu berbeda dapat menjadi seukuran” (113b18-19). Ketakberhasilan menunjuk asal-muasal itulah yang mendorong Aristoteles, pada kalimat berikutnya, untuk mengandaikan adanya kesepakatan sebagai dasar penentuan persamaan antar komoditas: “Mestilah ada sebuah unit yang ditentukan oleh kesepakatan (yang kemudian disebut uang); sebab itulah yang membuat segala ikhwal seukuran, sejauh segala benda diukur melalui uang” (1133b20-22). Berangkat dari teks Aristoteles inilah Marx lantas menulis: Aristoteles sendiri menunjukkan kepada kita apa yang menghalangi analisis lebih jauh: kurangnya konsep nilai. Apa elemen homogen, substansi bersama, yang direpresentasikan rumah dari perspektif kasur, dalam ekspresi nilai bagi kasur? Hal itu, nyatanya, tidak ada, kata Aristoteles. Namun mengapa tidak? Terhadap kasur, rumah merepresentasikan sesuatu yang setara, sejauh ia merepresentasikan apa yang sungguh setara, baik dalam kasur maupun rumah. Sesuatu itu adalah kerja manusia.20 Di sini Marx kembali menegaskan kerja sebagai substansi nilai, sebagai yang-melandasi (substratum), sebagai elemen homogen yang menjadi basis determinasi pertukaran/perbandingan antar nilai, sebagai subjek yang konstitutif terhadap nilai. Itulah yang belum berhasil disadari Aristoteles ketika ia berefleksi tentang substansi dasar dari keseukuran hal-ikhwal.21 Melalui penjelasan di ataslah pertanyaan yang diajukan kawan Muhammad al-Fayyadl malam itu—Bagaimana proporsi nilai itu ada? Tidakkah itu tercipta melalui konsensus?—dapat dijawab. Keberhasilan Marx dalam hal ini adalah menelanjangi ilusi kontraktualisme dan konsensualisme dalam konstitusi nilai. Nilai sebuah barang tidak dikonstitusikan melalui lobi, negosiasi, atau kesepakatan di antara individu yang dipostulatkan secara spekulatif sebagai setara. Nilai sebuah barang tidak ditentukan melalui kompromi antar individu yang saling bertikai, tidak ditentukan oleh Adam yang diberi hak prerogatif dari Allah untuk menamai segala ikhwal di dunia, tidak juga ditentukan oleh konsensus antar individu yang rasional. Kerjalah yang menjadi sumber konstitutif dari nilai. Teori kontrak selalu menjadi justifikasi retrospektif bagi rezim borjuasi sebab kontrak hanyalah fenomena dari kepemilikan pribadi—seperti dikatakan oleh Anom dalam diskusi di warung setelah ruang diskusi dikunci. Kontrak, sebagaimana pertukaran, hanya dimungkinkan sejauh mengandaikan institusionalisasi kepemilikan pribadi: kita dapat menetapkan konsensus tentang harga beras sejauh beras itu sendiri merupakan bagian dari horizon kepemilikan dari setiap aku dalam kita. Padahal, seperti telah kita lihat dalam karya Engels, konsepsi kepemilikan pribadi baru muncul sesudah terjadi pembagian kerja ke dalam modus produksi pastoral; artinya, sesudah kerja itu sendiri dijalankan.
NO.4 / TAHUN I /MARET 2010
CATATANDISKUSI
Catatan Akhir:
1. Karl Marx, Marginal Notes on Wagner’s “Lehrbuch der politischen Ökonomie”, 1883, dalam www.marxists.org. 2. Lih. Louis Althusser dan Etienne Balibar, Reading Capital diterjemahkan oleh Ben Brewster (London: Verso), 1979, hlm. 80. 3. Ini juga ditegaskan bahkan oleh musuh teoretik Althusser, yakni G.A. Cohen, di dalam karya seminalnya yang menandai kelahiran mazhab Marxisme Analitik: “Use-value is the substance of commodity, and the body of capital. Political economy examines not the content or substance or body, but exchange-value and capital, the social forms they assume.” G.A. Cohen, Karl Marx’s Theory of History: A Defense (New Jersey: Princeton University Press), 2000 (Expanded Edition), hlm. 103. 4. “Exchange-value appears first of all as the quantitative relation, the proportion, in which use-values of one kind exchange for use-values of another kind.” Karl Marx, Capital Vol I diterjemahkan oleh Ben Fowkes (Middlesex: Penguin Books), 1979, hlm. 126. 5. “The usefulness of a thing makes it a use-value. But this usefulness does not dangle in mid-air. It is conditioned by the physical properties of the commodity, and has no existence apart from the latter.” Ibid. 6. Ibid. Akar kata verwirklich (aktualisasi) adalah kata wirklich (aktual) yang juga merupakan akar kata dari wirklichkeit (aktualitas). Kata wirklichkeit inilah yang dipakai orang Jerman untuk menerjemahkan kata energeia (actus; aktualitas) yang digunakan Aristoteles sebagai bentuk realisasi dari dunamis (potensi). 7. Lih. Ibid., hlm. 129. 8. Lih. kutipan Anom tentangnya dalam bulletin ini hlm. 12. 9. “This primitive accumulation plays approximately the same role in political economy as original sin does in theology. […] Long, long ago there were two sorts of people; one, the diligent, intellegent and above all frugal élite; the other, lazy rascals, spending their substance, and more, in riotous living. […] Thus it came to pass that the former sort accumulated wealth, and the latter sort finaly had nothing to sell except their own skins. And from this original sin dates the poverty of the great majority who, despite all their labour, have up to now nothing to sell but themselves”. Karl Marx, Capital Vol I, op.cit., hlm. 873. 10. Ibid., hlm. 875. 11. “These pastoral tribes not only produced more articles of food, but also a greater variety than the rest of the barbarians. […] This, for the first time, made regular exchange possible.” Friedrich Engels, Origin of Family, Private Property and State dalam Karl Marx and Friedrich Engels: Selected Works Vol II,
NO.4 / TAHUN I /MARET 2010
diedit dan diterjemahkan oleh Institut Marxisme-Leninisme (Moscow: Foreign Languages Publishing House), 1958, hlm. 309. 12. Ibid., hlm. 311 13. Dari perspektif totalitas masyarakat suku, produktivitas masyarakat pastoral ada di tangan lelaki sebagai Sang Gembala, yaitu ia yang memproduksi sekaligus memiliki sarana produksinya. Sementara perempuan dikesampingkan efektivitas modus produksinya jika dibandingkan dengan Sang Gembala. Perempuan, dalam perspektif totalitas produksi masyarakat, tak lagi memegang kendali atas sarana-sarana produksi yang esensial bagi suku tersebut (kecuali rahimnya sendiri). Artinya, sejauh perempuan merupakan subjek pertama yang diceraikan dari sarana produksi ekonomi, maka dapat dikatakan bahwa perempuan adalah proletariat pertama dalam sejarah. 14. Konsepsi kerja sebagai intisari materialisme Marxis dapat kita lihat dari Tesis I yang ditulis Marx tentang Feuerbach. Ini pernah diulas dalam Problem Filsafat, no. 1, November 2009, hlm. 19-20. 15. Karl Marx, Capital Vol I, op.cit., hlm. 131. 16. “A thing can be a use-value without being a value. This is the case whenever its utility to man is not mediated through labour. Air, virgin soil, natural meadows, unplanted forests, etc. fall into this category. A thing can be useful, and a product of human labour, without being a commodity.” Ibid. Dari kutipan ini terlihat bahwa ada distingsi penting antara benda dan komoditas. Beberapa paragraf kemudian Marx memperjelas sumber nilai dari segala komoditas: “the value of a commodity represents human labour power pure and simple, the expenditure of human labour in general.” Ibid., hlm. 135. 17. Ibid., hlm. 140. 18. Ibid., hlm. 143. 19. Ibid., hlm. 153. 20. Ibid., hlm. 151. 21. Marx kemudian menunjukkan bahwa ketidakberhasilan Aristoteles ini bukanlah sesuatu yang aksidental. Ia berdasar pada konfigurasi historis yang melingkupi Aristoteles, yakni ekonomi politik Yunani pada masanya yang bertopang pada kerja budak. Artinya, kerja di mata Aristoteles tidak tampak sebagai elemen homogen yang menyetarakan sebab kerja itu sendiri di masa hidupnya dilakukan oleh para budak. Aristoteles tak dapat menyadarinya, seperti ditulis Marx, “because Greek society was founded on the labour of slaves, hence had as its natural basis the inequality of men and of their labourpowers.” Ibid., hlm. 152.
P R O B L E M F I L S A F A T 13
ARTIKELDISKUSI
KEKALAHAN PEREMPUAN KEKALAHAN KEPEMILIKAN KOMUNAL oleh BERTO TUKAN
Hari perempuan sedunia (8 Maret) diwarnai dengan berbagai perayaan. Demonstrasi dan berbagai acara dilakukan untuk mengenang hari ini. Mungkin karena kita hidup di Indonesia yang medianya begitu getol mengeksploitasi berita-berita ‘aneh’ sehingga tanpa perlu mencari tahu dengan sungguh-sungguh bukti-bukti ‘vulgar’ penindasan perempuan, kita serta merta disuguhkan ‘kisah’ tentang seorang istri yang dihantam dengan laptop oleh suaminya hingga mangkat, lalu setelah iklan sejenak, ada berita yang saking sudah biasanya, membuat kita berkata dalam hati, “oh, penggusuran toh?”. Maka, relevanlah membicarakan penindasan ‘perempuan’ pada hari-hari ini. Tulisan ini sekadar penuturan kembali—dengan keterlupaan di sana-sini—atas penindasan perempuan, yang ternyata berkorelasi jalannya dengan perubahan struktur sosial yang dimungkinkan oleh perubahan/penemuan/ pengefektifan alat-alat produksi demi kebutuhan hidup manusia, seperti yang diuraikan Engels dalam The Origin of the Family, Private Property and the State. *** Permasalahan penindasan perempuan sudah menjadi perhatian Marx dan Engels, jauh sebelum The Origin
14
PROBLEMFILSAFAT
ditulis.1 Dalam German Ideology di tahun 1846, mereka menulis bahwa pembagian kerja pertama adalah antara laki-laki dan perempuan dalam hal prokreasi dan pertentangan kelas yang pertama dalam sejarah berkembang bersamaan dengan pertentangan antara pria dan wanita di dalam perkawinan monogami.2 Dalam The Origin, Engels meneliti lebih jauh— berdasarkan penemuanpenemuan antropologi termutakhir waktu itu terkhusus karya Lewis H. Morgan, Ancient Society— hubungan antara kemerosotan kaum perempuan, properti-pribadi, pembentukan negara, dan pertentangan kelas. Karya ini diterbitkan pada 1884 dan berdasarkan atas beberapa catatan Marx atas karya Morgan. Baik Marx mau pun Engels terkejut bahwa Morgan dalam karyanya itu menggunakan pendekatan materialis (produksi dan reproduksi kebutuhan hidup). Sehubungan dengan emansipasi perempuan, Reed menulis dalam kata pengantar untuk The Origin: …dia (Engels) menunjukkan sebab-sebab historis yang nyata di balik bencana besar kejatuhan kaum perempuan, dan dengan demikian ia memberi kecerahan bagi masa depan emansipasi perempuan.
Masyarakat Komunal dan Pembagian Kerja Spontan Pembabakan kebudayaan masyarakat pra-sejarah Morgan ditandai dengan cara mereka memenuhi kebutuhan hidup. Diawali dengan zaman kebuasan yang terbagi dalam tahap perkembangan rendah, menengah, dan tinggi. Setiap perubahan dari tahap yang satu ke yang lainnya didorong oleh penemuan alat produksi. Penemuan api, tombak, pentungan, dan pengolahan binatang air menandakan perubahan dari tahap rendah ke menengah. Saat ini, manusia mulai
NO.4 / TAHUN I /MARET 2010
ARTIKELDISKUSI
menyebar ke berbagai penjuru. Hal ini selain karena ditemukannya beberapa bahan konsumsi yang memungkinkan manusia tidak hanya tinggal di hutan—tetapi juga bisa di pesisir pantai, sungai atau danau—tentu juga disebabkan oleh ketakmampuan hutan, yang harus berbagi dengan binatang lainnya, memenuhi kebutuhan populasi manusia yang meningkat. Faktor populasi ini, pada hematnya, mengiringi juga perkembangan ke tahap lainnya. Pemutakhiran atas tombak dan pentungan dalam rupa busur dan anak panah (sebagai alat berburu) menandai peralihan ke tahap tinggi. Saat ini juga sudah mulai ada pemukiman dan beberapa hal lain seperti pembuatan kano, rumah sederhana, serta tenunan sederhana. Dengan mulai munculnya pemukiman, pembagian kerja secara alamiah pun timbul di mana lelaki mencari makanan dan perempuan mengurusi rumah dengan kekuasaan sepenuhnya atas rumah di tangan perempuan. Pemukiman, lantas penemuan tembikar menandakan perubahan dari zaman kebuasan ke zaman barbarisme tingkat rendah. Keadaan alam yang berbeda berpengaruh pada perbedaan karakteristik barbarisme rendah di masingmasing belahan bumi. Perbedaan ketersediaan pangan oleh alam untuk manusia mengakibatkan perbedaan durasi di setiap periodenya. Penjinakan berbagai binatang dan budi daya bermacam bebijian muncul di belahan bumi timur. Sedangkan di belahan barat hanya Lyama yang diternakan dan jagung untuk pertaniannya. Produksi bahan pangan pun meningkat pesat di timur yang memungkinkan populasi bertambah pesat. Pada zaman kebuasan ini (dan hingga barbarisme rendah) perkawinan yang terjadi adalah ‘perkawinan kelompok’. Perkawinan kelompok ini dimulai dengan ‘hubungan terbuka’ lantas ‘perkawinan sedarah’4: setiap laki-laki dalam satu generasi adalah suami bagi setiap perempuan dalam generasi yang sama dan setiap perempuan dalam generasi itu adalah istri untuk setiap laki-laki. Begitu pula generasi selanjutnya. Pembagian kerja di antara ‘keluarga’ saat ini terjadi secara spontan dan segala alat produksi yang ada di dalam gen adalah milik bersama setiap anggota gen. Engels menyebutnya sebagai “properti yang dihasilkan” (earned property). Di tahap selanjutnya, ‘keluarga punaluan’ yang berkembang bertahap. Dimulai dari pelarangan nikah antar saudara kandung (incest) hingga antara saudara sepupu pertama, kedua dan ketiga. Di sini terlihat, bagaimana pelarangan terhadap pernikahan sedarah berjalan terus, dan menurut Engels, “..tapi selalu dalam pengelompokan spontan tanpa kesadaran yang jelas akan tujuannya”.5 ‘Keluarga punaluan’ membentuk institusi gen.6 Di dalam ‘perkawinan kelompok’ yang terjadi adalah si ibu mengenal siapa-siapa anak yang dilahirkannya dan si anak mengenal siapa ibunya; sedangkan ayah kandung tidak bisa dikenali. Maka, garis keturunan hanya bisa dikenali sebagai garis ‘keturunan ibu’ dan warisan mnejadi “hak-ibu”. Masa ‘perkawinan kelompok’ yang maternal ini menyebar
NO.4 / TAHUN I /MARET 2010
di segala penjuru bumi dalam waktu yang berbeda dengan beberapa variasi. Cikal-bakal pernikahan monogami sudah mulai muncul di zaman ini oleh praktik penculikan perempuan untuk dijadikan istri. Terkadang juga dengan pembelian perempuan, lelaki memberikan hadiah pada gen perempuan untuk mendapatkan perempuan. Dengan ini, mulai muncul pula ‘perkawinan berpasangan’ temporal yang menjadi semakin kentara di zaman barbarisme tinggi. Masyarakat Produsen dan Awal Mula Penindasan Perempuan Pada zaman barbarisme menengah belahan timur memanfaatkan sistem irigasi dan pembuatan batubata untuk rumah. Sedangkan di belahan barat, ketika masih dalam barbarisme rendah ke barbarisme menengah, intervensi dari luar terjadi, intervensi dari kelompok masyarakat yang sudah mengalami kemajuan ke zaman peradaban. Namun tentu saja, kaum kolonial ini juga mengalami perubahan bertahap yang lebih kompleks tanpa loncatan tiba-tiba ini. Di sini terlihat pula bagaimana penguasaan terhadap alat produksi yang lebih canggih dan mutakhir menundukan dengan mudah alat produksi yang masih ‘primitif ’: suku-suku Indian Amerika sudah mencapai tahap pemanfaatan logam dan masih menggunakan persenjataan dari batu. Akibat imperialisme ini, perubahan secara alamiah dari Suku Indian Amerika dihentikan dan mereka dipaksakan untuk mengikuti apa yang telah ada pada masyarakat imperialisme. Peternakan muncul lebih dahulu dari pada pertanian di belahan timur. Pertanian muncul akibat semakin berkurangnya pangan untuk ternak dari alam, sehingga cara baru harus diciptakan. Pertanian yang awalnya untuk binatang ini, pada gilirannya dimanfaatkan untuk manusia juga. Pembagian kerja alamiah di zaman kebuasan dan barbarisme rendah (lelaki mencari makanan dan perempuan mengurusi rumah dengan kekuasaan sepenuhnya di tangan perempuan) mengakibatkan lelaki yang mengusahakan bahan pangan baru ini (peternakan dan pertanian). Alat-alat produksi baru pada awalnya masih sebagai milik gente pada peralihan barbarisme rendah ke menengah. Pada tahap ini, muncul pembagian kerja baru yakni penggembala, ketika ternak harus digembalakan berpindah-pindah, sebelum ditemukannya pertanian. Yang patut dilihat pula bahwa saat inilah pertukaran dalam skala kecil terjadi ketika ada bagian bumi tertentu yang memberi penghasilan berlimpah dengan tingkat konsumsi yang tak rendah, sehingga kelebihannya bisa dipertukarkan kepada suku-suku lain yang berada di keadaan alam yang berbeda, namun juga pertukaran ini dikarenakan suku penggembala butuh peralat lain yang bisa didapatkannya dari para pengrajin. Maka, komoditas yang digunakan para penggembala saat itu tentu saja ternak. Di sini, kebutuhan akan sebuah alat tukar sudah mulai muncul. Perkawinan pada masa ini mulai berkembang menjadi perkawinan pasangan di mana selain ada ibu kandung ada juga ayah kandung yang dikenali. Perbudakan mulai muncul ketika ternak dan pertanian berkembang pesat
P R O B L E M F I L S A F A T 15
ARTIKELDISKUSI
dan dibutuhkan penggarap lain untuk mengerjakannya. Laki-laki sebagai pengguna alat kerja di luar rumah, otomatis adalah juga pemilik budak. Namun, pewarisan harta miliknya masih tetap jatuh pada gen-nya (bukan anak-anak kandungnya yang warisannya ada dalam gen ibu). Perubahan dari properti-kelompok ke propertipribadi perlahan-lahan terjadi ketika kekayaan atas alat-alat baru ini menempatkan posisi lelaki lebih tinggi dari sebelumnya. Kebutuhan untuk mewariskan kekayaan laki-laki pada anaknya pun terlihat mendesak (ketika sekarang lelaki bisa mengenali yang mana anaknya). Namun, ini bisa dilakukan ketika garis keturunan berdasarkan ibu diganti oleh garis keturunan ayah. Dan ini dilakukan. Dengan demikian, properti yang dulunya adalah milik gen berubah menjadi milik seorang lelaki. Ketika lelaki memiliki kekuasaan atas pangan dan garis keturunan pun berdasarkan garis keturunannya, lelaki juga lantas mengambil alih pengurusan rumah tangga dan perempuan menjadi hanya sekadar pembantu, pemuas nafsu lelaki dan juga sebagai alat melanjutkan garis keturunan lelaki. Periode ini oleh Engels disebut “peristiwa sejarah dunia kekalahan perempuan”. Monogami yang terjadi sebenarnya hanya untuk perempuan saja. Sebagai properti, dia harus tunduk pada sang pemilik dan tak punya hak mengatur sang pemilik. Adanya poligami dan kemunculan hetaerisme7; perzinahan di mana perempuanlah yang selalu dianggap salah sedangkan lelaki tidak membuktikan itu. Perkawinan monogami adalah perkawinan berlandaskan ekonomi; perkawinan untuk mempertahankan propertipribadi atau menambanya. Telenovela-telenovela Amerika Latin dan film-film Bollywood mungkin bisa menggambarkan dengan lebih baik masalah ini. Dalam wajahnya yang termutakhir, cinta individu—yang baru mulai muncul cikal bakalnya pada ‘perkawinan pasangan temporal’—yang dipercayai sebagai landasan perkawinan monogami modern menjadi tak penting khususnya dalam kelas borjuis. Proletar sebagai yang tak berpunya tak punya cukup alasan untuk melakukan perkawinan berlandaskan ekonomi ini. Maka monogami berdasarkan cinta individu menjadi mungkin. Namun, konstruksi sosial borjuis menimbulkan imajinasi borjuis pula di kelas proletar. Demikianlah, dalam masyarakat yang baru. Lelaki menjadi superior karena ia sebagai pemilik alat-alat produksi. Penemuan-penemuan baru dan tuntutan-tuntutan baru dalam kerja yang lebih ‘beradab’ ini lantas membutuhkan pekerja tambahan yang didapat dari budak sebagai hasil peperangan. Muncul pula saat itu logam mulia sebagai alat tukar. Bersamaan dengan itu, muncul kelas baru dalam masyarakat yakni pedagang sebagai perantara atas pembagian kerja yang makin mencolok dan ekstrim. Kehadiran kelas pedagang ini, pada akhirnya menciptakan uang sebagai alat tukar: ”Komoditas yang dihasilkan dari komoditas telah ditemukan, yang merangkul semua komoditas lain yang tersembunyi di dalamnya; alat ajaib yang dapat mengubah segala sesuatu atas kehendak akan apa yang menarik dan
16
PROBLEMFILSAFAT
diharapkan” (hal. 210). Komoditas, perbudakan, uang, dan tanah menjadi kekayaan yang dimiliki waktu itu. Kepemilikan tanah pun berubah seperti properti-gen lainnya yang menjadi properti-pribadi. Penguasaan terhadap tiga hal itu membagi masyarakat dalam kelas-kelas; sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Pada awal kemunculan peradaban yang ditandai dengan kemunculan negara, yang sebentar lagi akan dilihat, kita saksikan bahwa masyarakat terbagi dalam kelas-kelas berlandaskan pada kepemilikan alat produksi dan juga pembagian kerja. Di sini muncul pula tentu saja para pemilik yang sangat dominan dan para pemilik yang sangat tidak dominan atau pun yang sama sekali tidak memiliki. Namun, sistem gen yang sangat komunistik tidak memfasilitasi bentuk kekayaan baru yang adalah proverti-pribadi ini. Maka, muncullah institusi baru ini yakni negara yang dalam bahasa Engels; “sebuah institusi yang akan mengabadikan, bukan hanya kebangkitan pembagian kelas yang baru dalam masyarakat, tetapi juga hak dari kelas bermilik untuk menghisap kelas yang tak bermilik, dan kekuasaan kelas bermilik atasa kelas yang tak bermilik”.8 Jelaslah di sini, negara adalah institusi yang dibangun atas kebutuhan melegitimasi properti-pribadi yang ‘mengkhianati’ properti komunal nenek moyangnya dan untuk melegitimasi—setidak-tidaknya dalam pandangan Engels—penindasan yang dilakukan kelas berpunya (laki-laki, pemilik tanah, pedagang besar) terhadap kelas miskin papa (perempuan, petani tanpa ladang, dan budak). Dinihari Negara dan Pengukuhan Properti-Pribadi Perbudakan, penbagian kerja yang semakin menyempit dan kepincangan institusi gen dalam menghadapi perubahan di tengah masyarakat mendesak kemunculan negara; walau pun pengaturan kepemimpinan di dalam gen (yang pada akhirnya menjadi sesuatu yang turun temurun dan dalam garis laki-laki serta pengambilalihan mereka atas properti-komunal menjadi properti-pribadi) turut ambil bagian penuh dalam pembentukan negara. Engels dalam The Origin menggambarkan kemunculan Negara Yunani, Romawi dan Jerman, yang adalah cikal bakal dari negara modern Eropa. Negara Athena bercikal-bakal dari perdagangan yang semakin meluas, memusat di suatu tempat sebagai titik temu, maka terbangunlah komunitas dari berbagai gen, suku yang bercampur baur.9 Institusi baru diciptakan untuk mengatur masyarakat dengan karakteristik ini. Selanjutnya masyarakat dibagi ke dalam tiga kelas eupatrides (bangsawan), geomoroi (penggarap tanah), dan demiurgi (pengrajin). Menurut Engels, ini memecah komunitas gen ke dalam kelas-kelas baru; komunitas gen yang anggotanya setara kini terbagi dalam kelas-kelas yang tidak setara dengan hak tertentu ada pada kelas tertentu saja. Uang dan praktek lintah darat menjadi sarana penindasan ini. Hukum-hukum diciptakan, seperti penggadaian, hukum hutang-piutang, menjadi alat legitimasi atas penindasan. Jabatan-jabatan atas urusan publik dibentuk,
NO.4 / TAHUN I /MARET 2010
ARTIKELDISKUSI
begitu juga dengan angkatan perang yang dibentuk dalam rangka pengamanan diri. Solon melakukan reformasi pada 254 SM di mana ia menghapus hutang-hutang dan membagikan tanah pada yang tak berpunya dan yang lari ke luar negeri. Selain itu, dia juga membagi masyarakat dalam empat kelas berdasarkan kepemilikan tanah dengan tiga kelas adalah mereka yang memiliki tanah beserta hasilnya dengan jumlah yang bervariasi sedangkan golongan keempat adalah mereka yang tak berpunya. Tiga kelas pertama berhak menduduki jabatan pemerintahan sedangkan kelas keempat berpartisipasi dalam hak bicara dan hak pilih dalam majelis rakyat. Di sini jelaslah bahwa properti-privat menjadi nilai ukur keterlibatan seseorang dalam bernegara. Dalam kemajuannya, Athena menjadi lebih demokratis dan tak ada perbudakan, praktek lintah darat tak ada lagi tetapi praktek perbudakan baru muncul, yakni dengan penaklukan atas daerah-daerah bukan Athena sebagai sumber budak atau pekerja. Negara Roma juga dibangun dalam rumusan ini; sebagai institusi yang melindungi properti-pribadi sang kaya. Konstitusi baru Roma yang militeristik dibentuk pula berdasarkan jumlah kekayaan; di mana lima kelas pertama sebagai pemilik kekayaan dengan jumlah tertentu dan kelas keenam adalah proletariat yang tidak berhak menjadi tentara dan bebas dari pajak. Dalam majelis centuriae, kelas pertama memiliki suara terbanyak. *** Jelaslah kini, di dalam zaman kita, zaman peradaban, yang terjadi adalah praktek penindasan dari kelas berpunya terhadap kelas tak berpunya atas dasar mempertahankan dominasi atau menambah properti-pribadi dengan wajahnya yang paling mutakhir sekarang ini. Penindasan oleh ‘Sang Adam’ terhadap ‘Si Tulang Rusuknya’ menjadi sesuatu yang terasa patut diterima sebagai kodrat, karena seperti yang dinyanyikan Ahmad Dhani, “hawa tercipta di dunia untuk menemani sang adam”. Dalam rangka perkawinan monogami yang berbasiskan kebutuhan ekonomi ini, Engels mengungkapkan bahwa apakah mungkin ketika properti-pribadi dihapuskan monogami pun hilang? Atau sebaliknya? Atau malah ketika private property sudah tak ada, perkawinan yang muncul adalah monogami yang setara, tanpa ada penindasan. Dalam sejarah perjuangan perempuan, pemikiran Engels (dan juga Marx) cukup berperan penting, termasuk juga August Babel, Woman and Socialism. Clara Zetkin, seorang feminis Jerman, misalnya memperjuangkan faktor ekonomi perempuan sebagai titik pijak kesetaraan perempuan, suatu hal yang ditekankan Engels dalam The Origin. Clara Zetkin ini pula yang memprakarsai hari perempuan internasional pada 1907 yang terus dirayakan hingga sekarang.
bisa dilacak, sebagai salah satu contoh, dalam The Communist Manifesto, di mana Marx dan Engels menulis bahwa kaum borjuis memandang istrinya sebagai (sama seperti) alat produksi. Bdk. Economic and Philosophy Manuscrip of 1844 and Communist Manifesto, diterjemahkan oleh Martin Milligan (New York: Prometheus Books), 1988, hal. 227. 2. Terrell Carver, The Very Short Introduction of Engels, (New York: Oxford University Press Inc), 1981, hal. 72. Di dalam German Ideology ini, Marx dan Engels melihat adanya ‘tumpang tindih’ antara sosial dan natural: ‘‘the production of life, both of one’s own in labour and of fresh life in procreation, now appears as a twofold relation: on the one hand as a natural, on the other as a social relation’. Ronaldo Munck, Marx @ 2000 : Late Marxist Perspectives (New York : St. Martin’s Press, Inc), 2000, hal. 80. 3. Keluarga sendiri merupakan istilah yang problematis. Keluarga di sini tidak dipahami sebagaimana pemahaman atasnya saat ini, tetapi merujuk pada suatu kumpulan masyarakat yang bersifat komunal. Maka, ketika membicarakan masyarakat pra-kapitalis, pemahaman atas kata ‘keluarga’ merujuk pada sifatnya yang komunal sedangkan masyarakat kapitalis keluarga menjadi seperti yang dipahami sekarang. 4. Mengenai ‘perkawinan sedarah’, dalam beberapa mitos asalusul masyarakat kita bisa menemukannya. Mitos-mitos di daerah Pulau Timor, NTT, dan Maluku mengisahkan tentang manusia ‘mitis’ yang menikah dengan saudara/saudari kandungnya sendiri. Bdk, F.A.E. van Wouden, Klen, Mitos dan Kekuasaan, (Jakarta: Grafiti Press), 1985, hal. 93. 5. Pernikahan tak sedarah ini oleh Morgan menyebabkan sebuah seleksi alam yang tak terkira, yakni membentuk kondisi fisik dan mental yang tak terkira. Morgan menemukan bahwa ketika dua suku berbeda bercampur menjadi satu masyarakat maka akan ada pembentukan otak baru dengan kemampuan yang luar biasa dari sebelumnya. Selain itu, populasi yang bertambah dalam satu gen mengakibatkan gen itu harus dipecah. Ketika gen kedua terpisah dari gen induk, disertai pula dengan dilarangnya perkawinan sedarah ini. 6. Gen/klen : lingkaran terbatas kerabat saudara dari garis keturunan perempuan. 7. Berasal dari kata hetaira (Yunani) yang berarti pelacur kelas tinggi. Hetaearisme merujuk pada praktik pelacuran. 8 Ibid. The Origin, hal. 130 9 Sunda Kalapa a.k.a. Batavia a.k.a. Jakarta merupakan salah satu contoh tempat yang seperti ini. Meski masih dalam polemik, ada kemungkinan Orang Betawi adalah kumpulan budak yang didatangkan dari berbagai penjuru oleh Jan Pieterzoen Coen pada abad ke-18. Para Budak ini nantinya hidup berbaur dengan penduduk bebas yakni orang Tionghoa, tentara bayaran Jepang, orang Moor, dll. Lance Castles, The Ethnic Profile of Jakarta, Jurnal Indonesia thn. 1967.
Catatan Akhir:
1. Sharon Smith, Engels and the Origin of Women’s Oppression, International Socialist Review, Issue 2, Fall 1997. Menurut Smith, hal ini
NO.4 / TAHUN I /MARET 2010
P R O B L E M F I L S A F A T 17
DAFTAR ISI :
DAFTAR ISI Editorial ...........................................................2 Artikel Diskusi Tentang Ikhwal yang Berguna ...........................................................3 Rumusan Pertama tentang Nilai-Pakai ...........................................................6 Seni Sastra Puisi Bertolt Brecht .........................................................9 Catatan Diskusi Konfigurasi Nilai-Pakai .........................................................10 Artikel Diskusi Kekalahan Perempuan, Kekalahan Kepemilikan Komunal .........................................................14 Bulletin Problem Filsafat adalah terbitan berkala dari Komunitas Marx STF Driyarkara. Bulletin ini bermaksud menjadi media publikasi wacana Marxisme. Bulletin Problem Filsafat mencakup makalah presentasi dalam diskusi, resensi buku, film, juga karya-karya sastra. Bulletin Problem Filsafat membuka ruang bagi perdebatan seputar wacana Marxisme. e-mail :
[email protected] 18
PROBLEMFILSAFAT
NO.4 / TAHUN I /MARET 2010