Hilmy Bakar Almascaty
Reaktualisasi Worldview Musli Muslim m Awal Awal Nusa Nusant ntara ara
1
2
Hilmy Bakar Almascaty adalah seorang pendakwah, penulis, peneliti, aktivis, pengusaha dan sejak tahun 1983 menjadi pelatih pengembangan sumber daya manusia berasaskan Islam di Asia Tenggara. Pendiri dan Presiden Al-Hilal Group Internasional, Pernah menjabat sebagai: Pendiri Warta Merah Putih (2012), Penasihat Tim Sukses Pemenangan Pusat Partai Aceh (2012), Konsultan Investasi dan Pengembangan Ekonomi Stategis Pemerintah Aceh (2011), Kordinator Pembangunan Masjid Agung Banda Aceh dan Rekonstruksi IAIN Aceh (2005-2009), Direktur Direktur Nasional Lembaga Lembaga Kemanusiaan Kemanusiaan Hilal Merah (2003-2009), Kordinator Kordinator Aliansi Peduli Aktivis Aktivis (2005-2006), Panglima Operasi Operasi Kemanusiaan Ormas Islam di Aceh (20042005), Ketua DPP Front Pembela Islam (2004-2005), Wakil Ketua PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah (2002-2005), Kordinator Nasional Mudzakarah Mudzakarah Ulama, Habaib dan Cendekiawan Muslim (20022006), Ketua Persaudaraan Pekerja Muslim (2000-2003), Direktur R&D Universitas Islam Azzahra (2005-2006), Anggota Pleno Partai Bulan Bintang (2002-2003), (2002-2003), Bendahara Umum Partai Daulat Rakyat (1998-2000), Preskom Madani Group (1999-2004), Pendiri dan Deputy Presiden Intelektual Muda Muslim Asia Tenggara (1995-1997), Direktur di beberapa Perusahaan Multinasional Malaysia dan beberapa jabatan dan konsultan di swasta dan pemerintah (1996 – 1998). Menjadi dosen dan Direktur Institut Pendidikan Islam Safa Malaysia dan Ketum Yayasan Islam An-Nur (1986 – 1993). Pernah aktiv di Pelajar Islam Indonesia (PII), Pemuda Masjid BKPMI, Gerakan Mujahidin Ansharullah, Persekutuan Pelajar Islam Asia Tenggara (PEPIAT), Jama‟ah Darul Darul Arqam dan Angkatan Angkatan Mujahidin Mujahidin Nusantara (AMIN). (AMIN). Lahir di Mataram NTB pada 01 Agustus 1966. Mendapat Pendidikan di Madrasah Diniyah dan SD Kristen Jayapura-Papua (1974), Madrasah Tsanawiyah Mataram NTB (1979), Madrasah Aliyah Jogyakarta (1981), Islamic College Malaysia, Ma‟had Aly Al-Dakwah Al -Dakwah Sekolah Tinggi Islam (1985), Diploma Madya Pentadbiran Perniagaan Institut Tun Abdul Razak (ITTAR) Malaysia (1991), Pasca Sarjana Fakultas Pentadbiran Perniagaan (MBA) Universiti Kebangsaan Malaysia (1994), Doktor Administrasi Bisnis (DBA) Manajemen, Institute of Management Studies-American Studies-American World University University (1999), (1999), Program Doktor Doktor Falsafah Falsafah (Ph.D) bidang Sejarah Melayu pada Institutut Tamadun Melayu Antarabangsa (ATMA) Universiti Kebangsaan Malaysia (2009), dan sedang menyelesaikan program Doktor Falsafah (Ph.D) bidang Peradaban Islam di CASIS-Universiti Teknologi Malaysia (UTM). Menulis buku: Ummah Melayu Kuasa Baru Abad 21 (Berita Publ. Malaysia-1994), Malaysia-1994), Generasi Penyelamat Ummah (Berita Publ. Malaysia-1995), Panduan Jihad untuk Aktivis Islam (GIP-JKT, 2001), Membangun Kembali Sistem Pendidikan Kaum Muslimin (Azzahra Press, 2002). Dan 20 buku lainnya di web: www.scribd.com/hilmy www.scribd.com/hilmy bakar Menulis di berbagai koran dan majalah nasional dan regional, terutama Malaysia. Menjadi nara sumber di berbagai seminar/konferensi nasional dan regional. Pernah diwawancarai diwawancara i media masa lokal dan internasional seperti CNN, BBC, CNBC, Al-Jazeera, Spain TV, La Monde, The Washington Post, Newsweek dll. Pada November 2001 majalah internasional ASIAWEEK ASIAWEEK meletakkannya sebagai cover (sampul depan) dan menjuluki sebagai tokoh jembatan Moderat Islam dengan Radikal Islam di Asia Tenggara. Sejak sepuluh tahun terakhir tengah mengembangkan kerangka pemikiran “Islam Sodagar” sebagai antitesa terhadap “Islam Sufi”, “Islam Kekuasaan”, “Islam Radikal Fundamentalis”, “Islam ModeratModerat -Liberal” dan bentuk pemikiran pemikiran Islam lainnya. Diharapkan aliran Islam Sodagar sebagai sebagai pilar “Sodagarship” “Sodagarship” menjadi penggerak kebangkitan kebangkitan Islam Islam dan kaum muslimin, khususnya para pengusaha yang peranannya dalam sejarah tidak terjangkau, padahal mereka memiliki peranan sangat s angat penting sebagai pelopor pengembangan peradaban.
3
Daftar Isi
Pengantar Pertama: Citra Islam Dan Dan Muslim Nusantara Nusantara Masa Masa Kini Kedua: Melacak Genetik Unggul Sodagar Nusantara Ketiga: Merekonstruksi Sejarah Islamisasi Nusantara Keempat: Muhammad SAW Sebagai Sodagar Kelima: Sodagar Muslim Awal- Profil Sodagar Percontohan Percontohan Keenam: Reaktualisasi Worldview Islam Sodagar Nusantara Ketujuh: Kesimpulan - Penutup
4
Sinopsis Allah SWT di dalam al-Qur‟an al-Qur‟an telah memperingatkan kaum Muslim akan tindakan orang-orang kafir dan munafik yang tidak akan berhenti mendatangkan fitnah sehingga mereka mau mengikuti ajaran atau millah, pola hidup, pandangan orang-orang kafir tersebut. Dengan berbagai tipu dayanya mereka berusaha mengkerdilkan, mendiskreditkan bahkan membalik fakta dengan berbagai teori yang mereka rekayasa agar kaum Muslim asing dengan dirinya atau nenek moyang serta tradisi dan sejarah keagungan mereka. Coba kita membaca kembali sejarah Islam di Nusantara, terutama yang berhubungan dengan sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Sejak sekolah menengah sampai ke perguruan tinggi kita selalu dihadapkan dengan pengkaburan, penyesatan bahkan penipuan demi penipuan yang dilakukan oleh para orientalis dari Portugis, Inggris, Belanda dan lainnya yang diikuti oleh antek-anteknya. Para kolonialis dengan segala ambisinya sebagai penjajah telah merancang berbagai strategi untuk tetap menjadikan bangsa jajahannya sebagai masyarakat yang bodoh, tertinggal, terbelakang dan tidak memiliki harkat serta martabat. Salah satu cara efektif yang dilakukannya adalah dengan memanipulasi sejarah bangsa yang dijajahnya, memisahkannya dari pengetahuan generasi muda sebagaimana dinyatakan Prof. SMN. al-Attas dalam karya munumentalnya Islam dan Sekulerisme . Peninggalan-peninggalan agung nenek moyang mereka dibawa kabur, dirampok bahkan dihancurkan agar generasi muda tidak memiliki jati diri lagi. Itulah sebabnya bangsa-bangsa penjajah, baik Inggris, Portugis maupun Belanda telah membawa semua bukti peninggalan kegemilangan Islam di Asia Tenggara ke Eropa dengan alasan pengembangan pengetahuan. Bangsa yang tidak mengetahui masa lalunya, maka tidak akan memiliki masa depan, seperti ungkapan TS. Elliot, ”masa lalu dan masa kini akan menjadi kelanjutan masa depan”. Atau seperti diungkapkan Prof. al-Attas dalam untaian syair indah: ”Hati yang hampa tiada mengandung Sejarah Bangsa Tiadakan dapat tahu menilai hidup yang mulia Penyimpan Khabar Zaman yang Lalu menambah lagi Pada umurnya umur berulang kali ganda”1 Itulah sebabnya Prof. al-Attas menganggap Sejarah sangat penting dari sudut memahami dengan sebenarnya perjalanan jauh sebuah bangsa, memahami pencapaianpencapaian agung dan mengelakkan kesalahan-kesalahan kesalahan-kesalahan masa lalu, dan mengambil pelajaran (iktibar) yang juga dianjurkan oleh Allah SWT dalam al- Qur‟an dan mayoritas cendekiawan. Lebih jauh bagi Prof. al-Attas sejarah Islam sebagai sejarah pengislahan (pembentukan) manusia sejagat ( Islam as World History) adalah fardu ain bagi golongan terdidik dari kalangan umat Islam untuk membuktikan dengan tepat bahwa Islam telah menyumbang secara bermakna dan berkelanjutan untuk kebaikan umat manusia, baik Muslim atau tidak, secara langsung atau tidak langsung. 2 Untuk menghapuskan jejak sejarah Muslimin Asia Tenggara, para penjajah Barat dengan program tersistematis dan segala perangkatnya telah berupaya menghapuskan tapaktapak kegemilangan sejarah kaum Muslimin masa lalu, termasuk memalsukan peranan para penggerak perubahan yang telah menciptakan kegemilangan peradaban berdasarkan ajaran Islam. Contoh terdekat adalah seperti yang dilakukan penjajah Belanda terhadap pusat
1 2
Prof. SMN. Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Kuala Lumpur: DBP, 1972. Prof. Wan M. Nor Wan Daud, Falsafah dan Metodologi Pengkajian Sejarah SMN. al-Attas, CASIS, 2011 5
pemerintahan Kerajaan Islam Pasai yang diketahui pernah menjadi pusat gerakan Islamisasi di Asia Tenggara yang telah melahirkan Kerajaan Islam dari Campa, Patani, Kelantan, Malaka, Palembang, Demak, Cirebon, Banten, Makassar, Bugis, Borneo, Sulu, Mindanao sampai Maluku dan Fak-Fak di Papua. Setelah menguasai Aceh, penjajah Belanda merubah Pusat Kerajaan Pasai di sekitar daerah Geudong Aceh Utara menjadi pusat pembuangan dan penampungan penderita penyakit menular seperti lepra. Secara otomatis wilayah ini ditinggalkan penduduk dan menjadi kota mati, yang mengakibatkan punahnya peninggalan sejarah akibat tidak terawat. Pada saat yang sama para cendekiawan penjajah Belanda seperti Snouck mengadakan penelitian mendalam terhadap sejarah dan budaya Aceh sampai ke Mesir dan Mekkah dengan tujuan utama membalikkan fakta dan menyembunyikan kebesaran kerajaan-kerajaan Islam, baik di Jeumpa, Perlak maupun Pasai. Dengan pengetahuannya yang mendalam tentang Islam dan sejarahnya, Snouck telah mengeluarkan sebuah teori Islamisasi Nusantara, khususnya Aceh yang dikatakannya bermula pada abad ke 13 M. Dengan teorinya ini seakan-akan Snouck ingin menyatakan bahwa terjadinya Islamisasi di Nusantara bermula hanya seratus tahun sebelum ketibaan penjajah Barat yang membawa agama Kristen. Bagi mereka ajaran Islam hanya menempel tipis dilapisan terluar raga di antara bathin yang sudah mendarah daging dengan tradisi Hindu-Budha, sehingga dengan mudah disingkirkan dari sanubari masyarakat Nusantara, apalagi ajaran Islam dibawa oleh para pedagang Gujarat India juga telah mengalami m engalami proses Indiaisasi yang kental dengan tradisi, mistik, ajaran dan budaya Hindu. Dengan teori Gujarat yang diserukannya, Snouck bersama pengikutnya jelas ingin meniadakan peranan Muslim Arab dalam sejarah pembentukan dan pengembangan peradaban di Asia Tenggara. Padahal fakta ilmiah terkini menyebutkan bahwa sebelum Islam tiba, para pedagang Nusantara telah berdagang ke Jazirah Arabia, sementara pedagang Arab telah bermukim di sepanjang pantai utara pulau Sumatra. Maka ketika Islam diserukan Nabi Muhammad langsung tersebar di kalangan pedagang Arab ataupun Nusantara yang sudah hilir mudik selama lebih 500 tahun sebelum kedatangan Islam. Ironisnya teori Gujarat penjajah ini banyak diikuti oleh para cendekiawan muslim yang telah mengaburkan sejarah Nusantara. Untuk membantah teori Islamisasi di Nusantara yang dikemukakan cendekiawan penjajah Belanda (teori Gujarat) ini, maka tulisan tokoh sejarah Nusantara, Prof. al-Attas cukup la ma Islam yang berkenaan dengan menjadi hujjah: ”Jikalau kita tinjau semua kenyataan tulisan lama kepulauan ini kita akan dapati, berdasarkan kajian ini, bahwa tiada satupun laporan, rujukan atau sebutan yang merujuk kepada penulis India atau kepada kitab yang berasal dari India dan digubah oleh orang India. Bahkan penulis-penulis yang disebutkan ‟berasal dari India‟ oleh para sarjana Barat khususnya biasanya sebenarnya penulis-penulis bangsa Arab, dan kitab-kitab yang berasal dari negeri Arab atau Timur Tengah (Farsi), dan kebanyakannya yang disebut sebagai ‟Farsi‟ itupun sebenarnya Arab, baikpun ditilik sebagai bangsa, mahupun wakil dari sesuatu kebudayaan. Muballigh-muballigh lama Islam di daerah inipun terdiri dari orang-orang Arab atau Arab-Farsi, dan ini nyata dari gaya nama dan gelaran mereka masing-masing. m asing-masing. Memanglah benar bahwa setengah daripada mereka itu datang melalui India, akan tetapi setengah daripada mereka itu juga datang langsung dari negara Arab, dan ada yang melalui negara Farsi dan negara China; dan ada juga yang melalui negara-negara Maghrib dan Turki. Walau bagaimanapun, yang penting ialah bahwa kandungan faham keagamaan yang dibawa oleh mereka itu adalah bersifat Timur Tengah dan bukan India. Lagi pula kandungan dan cara penghuraian akidah-akidah pelbagai madhab ilmu tasawwuf, peribentuk tulisan „Jawi‟ serta chorak beberapa huruf hurufnya, nama gelaran bagi hari-hri mingguan, cara melafazkan Al-Qur'an, dan beberapa perkara penting lainnya menyatakan ciri-ciri tegas bangsa Arab, Arab, bukan India, sebagai pembawa dan penyebar asli agama Islam di Kepulanan Melayu-Indonesia. Dari segi pandangan orang Islam, soal bangsa apa yang 6
membawa Islam kemana itu mungkin tidak begitu penting, asalkan apa yang dibawanya itu ialah Islam. Namun dari segi pandangan sejarah sangatlah penting bagi para ahlinya mengemukakan butir-butir faktanya dengan tepat dan benar, sebab kesimpulan-kesimpulan yang akan dirumuskan dari butir-butir butir -butir fakta itu justru akan tentu mempengaruhi corak permusan-perumusan teori persejarahan. Maka dari itu lebih penting dan benar tepat apabila dinyatakan, misalnya, bahwa Ibn Rushd dan Ibn al-'Arabi itu adalah orang Arab dan bukan Sepanyol, dan karya-karya mereka mewakili pemikiran Arab-Islam (mungkin juga Yunani) dan bukan Sepanyol. Begitulah perihal muballigh-muballigh Islam didaerah kepulauan ini, dan karya-karya penting yang membawa kesan mendalam tentang Islam disini kebanyakannya merupakan sumbangan bangsa dan hasil dayacipta Arab-Islam dan bukan India. Selain dari mereka muballigh-muballigh Islam yang kemudian meneruskan dengan lebih giat lagi tugas penyebaran Islam itu terdiri dan bangsa Melayu sendiri, sendiri, dan Jawa, dan bangsa-bangsa lain dari kalangan bumiputra sendiri. Kenyataan ini tiada sekali-kali bertujuan untuk mengabaikan peranan orang India dan negeri India dalam memperkembangkan Islam disini, akan tetapi kenyataan ini menayangkan bagaimana dalam soal asal-usul Islam pun para sarjana dan orientalis Barat telah mengikut jejak langkah lampau membesar-besarkan membesar-besarkan peranan orang dan negeri India terhadap sejarah kita.” Mengetahui dengan pasti proses Islamisasi yang digerakkan oleh kalangan tertentu di Indonesia adalah sebuah keniscayaan untuk menjawab sebuah pertanyaan besar sepanjang masa ”kenapa Islam m memenang emenangkan kan pertarungan di Indonesia sebagai agama mayoritas sampai saat ini?” atau pertanyaan lain ”kenapa Islam di Indonesia berbeda den gan Islam di dunia Arab atau Persia misalnya?”. Berangkat dari asumsi bahwa apa yang dikenal dengan Islamisasi yang pada awalnya digerakkan oleh Rasulullah dengan para sahabat agungnya, yang dilanjutkan para Khalifah Rasyidah yang menjadi acuan acuan dasar para pendakwah-sodagar pendakwah-sodagar untuk menegakkan menegakkan kalimat Allah di Nusantara adalah berbeda dengan Arabisasi yang digerakkan para Dinasti penakluk yang meluaskan wilayah kekuasaan dan memaksakan budaya dan tradisi Arab kepada taklukannya. Pada awal kebangkitan Islam pasca Khalifah Rasyidah, sangat tipis perbedaan antara Islamisasi dan Arabisasi, karena sama-sama dilakukan oleh orang-orang Arab, namun orientasi dan pencapaian merekalah yang membedakannya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Nabi: Diriwayatkan bahwasanya Rasulullah telah bersabda: ”Tegaklah pada kamu zaman Nubuwwah (Kenabian) sampai beberapa masa yang dikehendaki Allah, maka terjadilah ia, kemudian diangkat. Kemudian tegaklah sesudah itu pada kamu zaman Khalifah atas Manhaj Nubuwwah Nubuwwah (metode Kenabian), maka terjadilah ia padamu beberapa lama yang dikehendaki Allah, kemudian Mulkan Adhudhan Adhudhan ) maka diangkat. Kemudian tegaklah pada kamu Kerajaan yang menggigit ( terjadilah ia padamu beberapa lama yang dikehendaki Allah, kemudian diangkat. Kemudian tegaklah sesudah itu Kerajaan sesat (Mulkan Jabariyan) , terjadilah beberapa lama yang dikehendaki Allah, Nubuwwah kemudian diangkat. Kemudian setelah itu tegaklah padamu Khalifah atas Manhaj Nubuwwah (metode Kenabian) yang mengamalkan sunnah Rasul di kalangan manusia. Islam akan tersebar luas di muka bumi yang diridhai oleh penghuni langit dan bumi... Langit tidak akan meninggalkan setetespun air hujan, kecuali ia mencurahkannya. Dan bumi tidak akan meninggalkan tanaman dan barakahnya kecuali ia akan mengeluarkannya”.3 Menurut catatan para ahli sejarah, 4 proses Islamisasi berjalan sejak zaman Rasulullah dan diemban turun temurun oleh para Khalifah Rasyidah yang empat, dan diteruskan melalui 3
4
Hadits ini diriwayatkan dari Abu Ubaidullah al-Jarrah dan diriwayatkan oleh Imam Tabrany. Diriwayatkan pula oleh Khuzaifah al-Yaman oleh Imam Ahmad (4/273) dalam Musnadnya. Telah berkata al-Hatamy dalam Majmu‟ al-Zawaid, al -Zawaid, (5/179), diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Bazzar, dan Tabrany dalam al-Ausath menyatakan perawinya adalah thiqah. Dan al-Hafidz alIraqi berkata :‟ini :‟ini adalah hadits Shohih‟. Sebagaimana dinukil dari Muhammad Nasiruddin al-Bany dalam Salsilah al-Hadits alShahih. (Damsyik: al-Maktab al-Islamy tt, hal. 9. Lihat misalnya: Thabary, Tarikh Umam wa al-Mulk, Beirut: Dar Fiqr, 1979. Abul Hasan an-Nadwy, Madza Khasira al-Alam bi inhithoth al-Muslimun ?. Abul A‟la al-Maududi, al -Maududi, al-Khilafah wa al-Mulk,. al-Mulk,. Khalid Muhammad Khalid, Rijal Haula al-Rasul, Beirut: 7
jalur pengetahuan pengetahuan dan kultural yang telah memberikan cahaya dan kekuatan kepada umat manusia, menciptakan peradaban agung sebagai petunjuk menuju kebenaran. Proses Islamisasi telah melahirkan manusia-manusia agung penerus Rasul dan Khalifahnya yang mengutamakan kepentingan Islam di atas segala-galanya, yang dalam kasus Islamisasi Nusantara selanjutnya disebarkan oleh para pendakwah-sodagar yang hilir mudik dari dunia Arab ke Cina melintasi kepulauan Nusantara, yang telah membentuk citra Islam yang damai, bersahabat, toleran, menghormati dan mengembangkan budaya lokal dan membumi. Yang telah berhasil mengembangkan sebuah peradaban baru dengan corak budaya dan tradisi yang kaya dan beraneka ragam. Hal yang bersebrangan dengan gerakan Arabisasi yang dilakukan Dinasty Umayyah dan Abbasiah, yang sudah terkontaminasi oleh pola kekuasaan ala Romawi sebagai sebuah emperium yang menempuh jalur kekuasaan dan struktural. Proses Arabisasi Arabisas i yang berlangsung dari Bagdad, Mesir, Syiria, Asia Barat Daya, Afrika, Turki, Eropa dan sekitarnya yang dilakukan dinasti Umayyah atau Abbasiah yang berlangsung dengan penaklukan dan peperangan, yang juga melahirkan citra Islam yang hirarkhis, superior, intoleran, penuh kontradiksi dan perbedaan yang mengekang inovasi dan pengembangan pemikiran. Setiap dinasti memiliki kuasa untuk menentukan mazhab mana yang mesti dijalankan, yang diikuti tentunya dengan peperangan demi peperangan sesama Muslim yang memakai legalitas agama untuk menjatuhkan ataupun menaikkan dinastinya. Proses Islamisasi yang khas di Nusantara inilah yang perlu diluruskan dan dikemukakan fakta-faktanya dengan tepat untuk menjawab kebohongan-kebohongan para cendekiawan kolonial dengan segala agenda jahatnya. Dengan mengetahui proses Islamisasi dengan dinamika sejarah serta mengetahui tokoh-tokoh penggeraknya, diharapkan akan merubah pemahaman tentang Islam yang telah berkembang dengan peradaban Islam ala Nusantara. Proses Islamisasi yang terencana ini telah memberi kemenangan kepada Islam secara fenomenal, dua agama raksasa Hindu-Budha yang telah bertapak ribuan tahun tersingkir, kecuali di pulau Bali, bahkan pendekatan ini telah melahirkan tokoh-tokoh ulama agung Nusantara berkelas dunia pada abad 15-17 M seperti Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrany, Nuruddin al-Raniry, Saif al-Rizal al-Minangkabawy, Abdul Rauf al-Singkily, Nawawi al-Banteny, Yusuf al-Makkasary al-Makkasary dan lainnya. Sebelumnya pada abad 14 M di Kerajaan Pasai-Aceh telah muncul tokoh ulama Maulana Akbar (Sayyid Husein al-Kubra) yang telah melahirkan gerakan Wali Sembilan dengan tokoh sentralnya Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Rahmatillah (Sunan Ampel), yang telah mewariskan dasar-dasar keislaman yang berkembang bersama dinamika sejarah masyarakat Nusantara dengan tingkat pengetahuan dan peradabannya. Selanjutnya keislaman yang ditanamkan para pendakwah agung ini tidak mampu dicungkil penjajah Barat Kristen yang telah menggunakan berbagai cara untuk menukar keimanan masyarakat Nusantara. Sejak kedatangan penjajah hingga saat ini jumlah kaum Muslimin tetap di atas 85 % dari seluruh bangsa Indonesia. Ironisnya, generasi muda kita, termasuk cendekiaw annya lebih mengagungkan para pemikir-pemikir luar yang belum tentu ijtihad-nya bersesuaian dengan kondisi dan situasi masyarakat kita. Sebagai contoh, pada abad ke 17 M di Kerajaan Aceh Darussalam, telah tampil Ulama yang bergelar Maulana Syiah Kuala (Abdul Rauf al-Singkily) sebagai Qadhi Malik alAdhil atau setingkat Mufti Negara. Beliau menfatwakan bahwa wanita boleh menjadi Sultan, dan selama hampir 60 tahun Kerajaan Aceh dipimpin oleh para Sultanah tanpa ada sanggahan dari para Ulama di Haramain, bahkan dalam hal-hal tertentu beliau mendapat dukungan dari Dar Fiqr, 1975. Muhammad al-Ghazaly, Fiqh al-Sirah, Beirut: Dar Fiqr, 1978. Yusuf al-Khandahlawy, Hayat al-Shahabah, Lucnow: Dar Ulum, 1980. Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, London: Chiristopher, 1955. R.A. Nicholson, Literary History of the Arab. Chambridge: Cambridge Univ. Press,1930. 8
para Ulama Haramain di Mekkah, seperti dukungan gurunya Syaikh Ibrahim al-Qurany tentang salahnya fatwa al-Raniry yang telah menyesatkan para pengikut aliran Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin al-Sumatrany yang telah mengantarkan kegemilangan Kerajaan Aceh Darussalam sebagai pelopor peradaban Islam Nusantara. Sepatutnya peninggalan para Ulama Nusantara dikembangkan sebagai dasar dan pilar dalam membangun sebuah peradaban Nusantara, sesuai dengan dinamika sejarah dan tingkatan masyarakatnya. masyarakatnya. Namun ironisnya, ironisnya, sejak masa penjajahan telah masuk berbagai aliran Islam yang justru menghujat apa yang telah dikembangkan oleh para Ulama Nusantara terdahulu, kebanyakannya menyatakan diri sebagai Islam murni yang akhirnya menimbulkan dilemma bahkan konflik di tengah masyarakat sampai sekarang. Katakanlah kehadiran faham puritan Islam yang diusung kaum muda lulusan Mekkah pasca berkuasanya Dinasti Saud atas dukungan Wahhabi pada abad 19 yang bersemangat dan telah melahirkan pemahaman baru Islam yang seakan-akan meniadakan karya-karya agung Ulama Nusantara sebelumnya. Para penggagas puritanisme begitu yakin bahwa membawa pemahaman baru dalam masyarakat, tanpa menyertakan pemahaman Ulama Nusantara sebelumnya sebagai sebuah gagasan pembaharuan dan kembali kepada sumber asli Islam, al-Qur‟an al- Qur‟an dan al-Sunnah al-Sunnah an-sich. Namun ironisnya, merekapun akhirnya terjebak menciptakan mazhab baru dengan penafsiranpenafsiran para tokohnya. Padahal belum tentu penafsiran tokoh-tokoh mereka lebih autoritatif daripada Ulama Nusantara terdahulu yang telah meninggalkan beberapa kitab agung berdasarkan pemahaman mendalam mereka terhadap al-Qur‟an al-Qur‟an dan al-Sunnah al-Sunnah tentunya. Tindakan ini jelas menyalahi hukum alam tentang tahapan demi tahapan dalam membangun sebuah masyarakat, dan tidak diragukan akhirnya setelah seabad didengungkan, kini aliran pemikiran ini telah menempuh pembaharuan yang juga menyadari hakikat tahapan-tahapan perubahan pada masyarakat. Mungkin faham semacam ini sesuai untuk masyarakat Badui dalam kehidupan padang pasir yang ganas, simplistik, tidak teratur, monoton dan tertutup (puritan) dengan ajaran Islam yang sangat ketat dan tidak memberi kesempatan kepada kaum wanitanya untuk berkembang secara maksimal. Namun faham ini akan mengalami pergesekan dengan faham yang lebih mapan dan telah diterima sebagai cara hidup masyarakat Nusantara yang mayoritas petani, pedagang, menjunjung tinggi peran wanita, dengan kebebasan yang telah diajarkan para Ulama terdahulu, dengan mendapat restu para Ulama di Mekkah, Baghdad atau Mesir tentunya, karena mereka adalah alumni pendidikan tinggi Islam di dunia Arab juga. Untuk lebih memperkuat dominasinya, selanjutnya penjajah atau bonekanya akan menjalankan politik belah bambu, satu diangkat yang satunya diinjak, pecah belah lalu menguasai. Sebagaimana yang mereka telah lakukan kepada kaum Muslimin di Asia Tenggara. Bangsa terbesar Muslim Nusantara dipecah belah dengan pendekatan kesukuan dengan meniupkan fanatisme jahiliyah menggantikan menggantikan ghirah Islamiyah yang telah disemai para Ulama terdahulu yang telah membuahkan ukhuwah (persaudaran) Islam. Bangsa yang tidak mau takluk dibawah jajahannya, diadu domba dengan saudaranya seagamanya sendiri. Penjajah kafir Belanda telah mengadu domba bangsa bangsa Padang dengan dengan bangsa Aceh yang sama-sama diketahui sebagai pilar utama Islam Nusantara. Bangsa Padang direkrut menjadi tentara Belanda yang terkenal dengan Pasukan Marsose, lalu mereka diperintahkan diperintahkan untuk memerangi bangsa Aceh yang tidak mau tunduk kepada penjajah. Terjadilah pertumpahan darah sesama Muslim, yang satu menjadi antek Belanda dan yang satu sebagai pejuang yang berjihad melawan kezaliman Belanda. Berapa banyak mujahidien fie sabilillah di Aceh yang dibantai pasukan Marsose yang didirikan oleh antek Belanda bernama M. Syarief, tokoh Padang yang
9
akhirnya mendapat medali penghargaan tertinggi dari Ratu Belanda karena membantai saudara Muslimnya di Aceh. Inilah yang telah dilakukan para bangsa penjajah, baik Portugis, Inggris, Belanda dan penjajah-penjajah kafir lainnya. Setelah mereka menjajah sebuah bangsa, maka sejarah bangsa itu akan dihilangkan, dikaburkan dan dimanipulasi, sehingga generasi muda terpisah dengan sejarah dan tradisi nenek moyang mereka dengan segala keagungannya. Pada saat yang sama si penjajah menggantikan dengan sejarah yang mereka rekayasa, dengan maksud agar anak bangsa ini merasa rendah diri dan senantiasa mengangungkan penjajahnya. Itulah sebabnya peninggalan peradaban bangsa-bangsa Muslim yang menunjukkan keagungannya diboyong ke negaranya atau dimusnahkan agar tidak dapat dikenali lagi oleh generasi muda. Akibatnya generasi muda bangsa terjajah inipun tidak mengenal lagi keagungan tradisi dan peradaban mereka dan tidak menimbulkan kebanggaan kebanggaan pada dirinya sebagai pewaris peradaban bangsanya. Keagungan sejarah dan peradaban kaum Muslimin Sumatra-Nusantara yang telah berkembang pesat dalam bentuk pemikiran, budaya, seni, pengetahuan serta teknologi dinisbikan. Kaum Muslim sebelum kedatangan imperialis kolonialis kafir ini digambarkan sebagai sebuah bangsa primitif yang bar-bar, bertelanjang seperti orang Papua yang pakai koteka dan perempuan kelihatan payudaranya, yang kadang-kadang disorongkannya kepada babi peliharannya untuk menetek bersama anaknya. Bangsa Muslim yang sudah kosmopolit dan berhubungan dengan pusat peradaban di Mesir, Parsia ataupun Cina ini digambarkan sebagai bangsa sejenis monyet yang mereka juluki sebagai bangsa moor , yang masih melekat sampai saat ini kepada Muslim di Mindanao sebagai bangsa Moro. Seakan-akan kedatangan penjajah yang menindas dan serakah inilah yang telah menjadikan bangsa Muslim maju, padahal kenyataannya merekalah yang telah menghancurkan peradaban, memecah belah, mengadu domba, mengeksploitasi alamnya, memperbudak dan membodohi masyarakatnya. Penjajahlah yang telah mengantarkan bangsa Muslim kembali pada titik terendah peradabannya. Belah bambu yang dilakukan penjajah Belanda tidak berakhir hanya mengadu domba antar suku saja, bahkan dengan kajian-kajian ilmiyah para cendekiawannya mereka telah mengadu domba pusat-pusat peradaban di Asia Tenggara sehingga menimbulkan benturan peradaban. Setelah menguasai pulau Jawa, para cendekiawan kolonialis Belanda memproklamirkan Jawa sebagai pusat peradaban Nusantara yang berdasarkan kepada tradisi Hindu, itulah sebabnya mereka mendukung bangsa ini bernama Hindos Nesos, atau bangsa Hindu. Pemahaman ini menanamkan segala peradaban Nusantara adalah berporos di Jawa yang berdasarkan Hindu dengan sejarah kegemilangan beberapa kerajaan Hindu, seperti Majapahit, Singosari, Blambangan dan lainnya. Sementara pada saat yang sama mereka meniadakan peranan Sumatra sebagai sebuah pusat pertumbuhan peradaban baru yang berdasarkan kepada Islam. Penjajah melakukan ini karena mereka tidak mampu menguasai pusat peradaban Sumatra Islam yang berada di Aceh. Para pejuang Aceh melawan dengan gagah perkasa para kolonilis kafir ini. Maka untuk melemahkan kembali bangsa Nusantara yang sudah mayoritas Islam, penjajah Belanda mengangkat peradaban Jawa-Hindu dan menginjak peradaban Sumatra-Islam, mendidik kader-kader pelanjutnya yang akibatnya telah mempengaruhi corak peradaban bangsa Indonesia. Perlawanan demi perlawanan di Aceh sejatinya adalah kelanjutan dari sebuah perang peradaban yang dikobarkan oleh penjajah Belanda untuk melemahkan Indonesia, namun ironisnya para petinggi bangsa Indonesia yang telah terdidik dengan pola penjajah Belanda tidak mau memahami akar masalah ini sehingga pemberontakan demi pemberontakan terjadi di Aceh. Maka tidak mengherankan apabila 10
generasi muda Aceh sangat antusias mengadakan perlawanan terhadap Jakarta yang dianggapnya sebagai kelanjutan peradaban Jawa-Hindu dan antek penjajah sampai saat ini. Hal serupa juga dilakukan penjajah terhadap beberapa entis. Etnis Arab yang notabene adalah para penggerak dakwah Islam yang menentang penjajahan diadu domba dengan etnis lainnya, baik etnis bumiputera ataupun Cina. Dalam kegiatan ekonomi, penjajah Belanda menekan habis-habisan entis Arab karena dianggap menjadi patron perjuangan bumiputera dalam memperjuangkan kemerdekaan. Dan memang sejarah telah mencatat bahwa etnis Arab yang telah datang sejak awal abad masehi, atau 500 tahun sebelum Islam berkembang di dunia Arab, telah menjadi bagian dari pembentukan sejarah dan peradaban Asia Tenggara. Kedatangan Islam telah menambah peranan etnis Arab sebagai pelopor perubahan peradaban di Asia Tenggara dan menjadi pemuka-pemuka masyarakat, baik sebagai Raja, Ulama dan pedagang. Dengan pengaruh dan kekuatan yang ada, para Raja keturunan Arab ini kemudian mengembangkan dakwah Islamiyah sehingga berhasil mendirikan jaringan kerajaan Islam yang terbentang dari Patani, Kelantan, Malaka, Aceh, Palembang, Jambi, Demak, Banten, Bugis, Makassar, Borneo, Sulu-Mindanao, Selaparang, Bima, Maluku sampai Fak-Fak di Papua, yang menjadi poros utama pembentuk p embentukan an peradaban baru Nusantara yang berdasarkan Islam dengan bahasa Melayu, yang berbasiskan bahasa Arab. Kedatangan penjajah Belanda telah meruntuhkan jaringan ini dan mengungkit dendam lama. Strategi inilah yang telah dilakukan penjajah kafir Belanda. Untuk menghadapi perjuangan masyarakat Aceh sebagai front terakhir perjuangan kaum muslimin Asia Tenggara, penjajah belanda telah mengerahkan segala kemampuannya. Karena dibandingkan dengan bangsa-bangsa Muslim Melayu lainnya, Aceh adalah pusat Islamisasi terawal di kawasan ini, dan menjadi bangsa Muslim pertama yang memerangi penjajah kafir dan antek-anteknya dengan semangat jihad fie sabilillah sejak mereka menjajah Malaka. Aceh menjadi benteng utama pertahanan Islam yang tidak pernah ditaklukkan penjajah kafir dan mampu mempertahankan wilayah kekuasannya dengan perjuangan yang penuh herois. Perlawanan agung yang telah mendatangkan mendatangkan kerugian besar kepada penjajah Belanda kafir sebagaimana dinyatakan petinggi Belanda Paul Van ‟t Veer, V eer, dalam De Acheh Oorlog; “Bangsa Belanda dan negeri Belanda tidak pernah menghadapi satu peperangan yang lebih besar daripada peperangan dengan Acheh. Menurut kurun waktunya, perang ini dapat dinamakan perang delapan puluh tahun. Menurut korbannya -lebih seratus ribu orang yang mati- perang ini adalah suatu kejadian militer yang tidak ada bandingannya dalam sejarah bangsa Belanda. Untuk negeri dan bangsa Belanda, perang Acheh itu lebih daripada hanya pertikaian militer: selama satu abad inilah persoalan pokok politik internasional, politik nasional, dan politik kolonial Belanda”. Belanda”. Untuk mencapai sebuah renaisan yaitu kebangkitan kembali peradaban Nusantara dengan segala keagungan dan kegemilangannya, kegemilang annya, sejarah buram Nusantara Nusantara yang dicitrakan para penjajah dan antek-anteknya harus didekonstruksi, dihancurkan berkeping-keping menjadi serpihan-serpihan yang akan dianalisis bagian demi bagian secara detil. Dari hasil dekonstruksi inilah, sejarah Nusantara direkonstruksi, dibangun kembali bagian demi bagiannya sebagaimana citra sebenarnya agar dapat menjadi spirit kebangkitan kembali yang dicita-citakan. Inilah yang oleh para ahli disebut sebagai deconstruction for reconstruction (meruntuhkan untuk membangun kembali). Dalam kontek kebangkitan, sejarah bukan hanya dapat dijadikan sebagai spirit dalam membangkitkan kesadaran masyarakat. Namun lebih jauh sejarah dapat dijadikan sebagai landasan dalam membangun kebijakan pembangunan masa depan. Berdasarkan data-data sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya, seorang perencana kebijakan masyarakat dapat merancang sebuah model pembangunan yang sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakatnya sebagaimana tercatat dalam sejarah. 11
Dalam bidang pembangunan ekonomi misalnya, berdasarkan data sejarah, para ahli ekonomi dapat merancang model pembangunan ekonomi sesuai menurut budaya, potensi, watak dan dinamika masyarakatnya, membangun sebuah model Economic of Civilization . Membangkitkan kemakmuran masyarakat menurut jati dirinya yang diturunkan secara genetik, spiritual ataupun tradisi bergenerasi. Maka disinilah pentingnya memahami sejarah, yang akan menjadi tolak ukur dalam membangun sebuah visi ke depan khususnya bagi bangsa Indonesia yang tengah mencari solusi dalam menghadapi krisis demi krisis yang tengah dihadapinya. Sejarah panjang pembangunan peradaban yang telah dialami bertingkat-tingkat dengan dinamisasinya dapat dijadikan sebagai dasar dalam mengembangkan peradaban unggul berkelas dunia. Selanjutnya diharapkan dapat mengantarkan bangsa Indonesia sebagai penggerak kebangkitan Islam sebagaimana ramalan para cendekiawan Muslim terkemuka seperti Malik ben Nabi, Prof. Fazlurrahman, Prof. SMN. Al-Attas, maupun cendekiawan Barat seperti Alvin Toffer. Metodologi Rekonstruksi Sejarah Islamisasi Nusantara Untuk mendapatkan gambaran umum tentang sejarah Islamisasi Nusantara, penelitian ini akan menggunakan metodologi ‟konvensional‟ yang telah disepakati penggunanannya oleh para pakar sejarah, seperti metode kualitatif, kuantitatif, perbandingan dan terutamanya metode sejarah. Metode kualitatif biasanya diartikan sebagai sebuah metode yang dihasilkan daripada data-data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan merupakan suatu kajian ilmiah. Bagdan dan Taylor sebagaimana dikutip Jexy, mendifinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penyelidikan yang akan menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. (Jexy J. Moleong 1999 : 3) Sebagian besar penelitian terdiri daripada kajian perpustakaan yang menelaah berbagai literatur, baik yang berbahasa Indonesia, Malaysia, Inggris, Arab dan lainnya dari koleksi pribadi atau koleksi di berbagai perpustakaan, baik di Aceh, Malaysia, Indonesia dan lainnya untuk memudahkan saya membuat sebuah tinjauan dan ulasan yang menyeluruh tentang literatur yang relevan mengenai tema ini serta untuk mengutip data-data sekunder mengenainya. Untuk memperkuat hasil-hasil analisis kajian perpustakaan berdasarkan beberapa teori yang berkaitan dengan subyek yang dikaji, peneliti juga akan melakukan tinjauan lapangan langsung, menjalankan tanya jawab kepada sempel terpilih yang terdiri beberapa orang tokoh masyarakat, ulama, cendekiawan yang memahami masalah yang dikaji. Termasuk mengadakan pengamatan lapangan yang merupakan salah satu sumber rujukan sekunder di sekitar wilayah Aceh, Mekkah hingga ke Yaman. Tempat-tempat yang akan dikunjungi adalah makam, istana, zawiyah, pesantren dan termasuk menganalisis beberapa peninggalan lainnya, lainnya, berupa sarakata, silsilah dan lainnya yang akan memperkuat penelitian. Sehubungan dengan metode sejarah, metode yang lebih khusus dibandingkan dengan metode lainnya. Karena sejarah adalah ilmu kemanusiaan sosial yang berbeda dengan sain eksakta yang didasarkan kepada andaian bahwa alam semesta ini rapi dan tertib serta dikuasai oleh hukum sebab akibat, yaitu tiap-tiap keadaan yang sama tentunya menghasilkan keputusan yang sama. Artinya bahwa dalam metode sejarah, memerlukan sebuah metodologi yang lebih luas. luas . Sjamsuddin dalam ‟Metodologi Sejarah‟ Sejar ah‟ (2007:14) (2007 :14) meyatakan bahwa metode dan metodologi adalah dua fase kegiatan yang berbeda untuk tugas yang sama. Metode adalah ‟bagaimana bagaimana orang memperoleh pengetahuan‟ (how to know) sementara metodologi adalah ‟mengetahui bagaimana harus mengetahui‟ (to know how to know). Dalam kaitannya dengan ilmu sejarah, dengan sendirinya metode sejarah adalah ”bagaimana mengetahui sejarah”, 12
sedangkan metodologi sejarah adalah ”mengetahui bagaimana mengetahui sejarah.” Seorang ahli sejarah tidak hanya dituntut untuk mengetahui sistematika prosuder penelitian dengan menggunakan teknis-teknis konvensional seperti mengumpulkan bahan-bahan sejarah, arsiparsip, perpustakaan ataupun interviu saja, namun seorang ahli sejarah harus dilengkapi pula dengan pengetahuan-pengetahuan metodologis ataupun teoritis bahkan filsafat‟. Pemahaman ahli sejarah sendiri berbeda satu sama lainnya tentang arti sejarah itu sendiri. Secara garis besarnya, sejarah (history) menurut Topolski sebagaimana dikutip Sjamsuddin (2007), ada tiga pengertian dasar: (1) sejarah sebagai peristiwa-peristiwa masa lalu (past events); (2) sejarah sebagai pelaksanaan penelitian yang dilakukan oleh seorang ahli sejarah; (3) sejarah sebagai suatu hasil dari pelaksanaan penelitian semacam itu, yaitu seperangkat pernyataan-pernyataan tentang peristiwa-peristiwa masa lalu (narrative about past events). Budiawan (2009) membagi sejarah kepada tiga perkara (a) sejarah sebagai peristiwa masa lalu itu sendiri, yang diam di dalamnya dirinya sendiri, (b) sejarah sebagai narasi masa lalu, yang niscaya telah melalui berbagai proses seleksi sehingga senantiasa subjektif, dan (c) sejarah sebagai ilmu, yang dengan semua metodologinya hendak menjadikan sejarah dalam pengertian (a) menjadi sejarah dalam pengertian (b) yang lebih dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sementara Bernard Lewis mengemukakan tiga jenis sejarah, yaitu (a) sejarah sebagaimana yang diingat (remembered), (b) sejarah sebagaimana yang ditemukan kembali (recovered), dan (c) sejarah sebagaimana yang ditemu-ciptakan (invented). Kerana penelitian ini adalah dalam bidang sejarah, maka penelitian ini mestilah pula menggunakan metode dan metodologi sejarah. Pertama yang peneliti mesti pastikan, dari beberapa pengertian sejarah di atas, pengertian sejarah manakah yang mesti peneliti ambil sebagai pola atau paradigma dalam menjalankan penelitian, karena sejarah adalah pengetahun yang sangat luas sumber datanya dan bersifat subyektif. Sebagai sebuah kajian yang bersifat ilmiah, peneliti tetap akan berusaha memahami sejarah sebagai peristiwa tentang masa lalu, yang berupaya diingat dengan data dan fakta serta ditemukan kembali berdasarkan penelitian dan teori-teori yang dikemukakan para ahli sejarah. Karena sejarah yang akan dikemukakan berhubungan dengan renaisan, maka penelitian akan difokuskan kepada data-data sejarah yang mendukung cita-cita tersebut dengan mengenyampingkan data-data yang amat banyak namun tidak relevan dengan penelitian. Karena menurut hemat saya, ahli sejarah bukan hanya sekedar mengumpulkan mengumpulkan dan menyampaikan menyampaikan fakta sejarah apa adanya, namun yang paling penting ada menyaring, menafsirkan dan memberikan makna baru kepada masyarakat dengan menyampaikan kesimpulan fakta sejarah sebagai spirit kebangkitan kembali, dan bukan fakta yang melemahkan, merancukan apalagi menyesatkan. Sejarah sepatutnya memiliki fungsi sebagai spirit pembangkit sekaligus cermin bagi generasi masa depan dalam membangun peradabannya. Ketika menghadapi kebuntuan data dalam penelitian akibat kurangnya sumber-sumber utama, maka saya akan mengambil falsafah sejarah yang dicanangkan Prof. al-Attas sebagaimana disebutkan Prof. Wan M. Nor, bahwa akibat kurangnya data-data sejarah masa lampau, khususnya di Nusantara, maka penjelasan tentang peristiwa-peristiwa lampau harus bergantung banyak kepada kaidah-kaidah akliah (logic), bukan hanya kepada kaidah indrawiah (empirical). Disebabkan kebanyakan kebanyakan sejarah Islamisasi Nusantara diteliti oleh para cendekiawan kolonialis terdahulu, maka dalam penelitian ini, saya akan banyak menggunakan critical studies , penelitian yang bersifat kritis berdasarkan kepada pandangan alam ( worlview) peneliti sebagai seorang Muslim yang meyakini kebenaran agama di atas segalanya. Dan tidak terjebak pada pola cendekiawan kolonialis yang lebih cendrung memiliki misi terselubung kolonialisasi dalam penelitiannya. 13
Merekonstruksi Sejarah Panjang Islamisasi Nusantara Mengenai teori Islamisasi di Nusantara, para ahli sejarah terbagi menjadi 3 kelompok besar, yaitu pendukung (i) Teori Gujarat (ii) Teori Parsia dan (iii) Teori Mekah (Arab). Bukan maksud tulisan ini untuk membahas teori-teori tersebut secara mendetil, namun dari penelitian yang saya lakukan, maka dapat disimpulkan bahwa Teori Mekkah (Arab) lebih mendekati kebenaran dengan fakta-fakta yang dikemukakan. Teori Mekkah (Arab) hakikatnya adalah koreksi terhadap teori Gujarat dan bantahan terhadap teori Persia. Di antara para ahli yang menganut teori ini adalah T.W. Arnold, Crawfurd, Keijzer, Niemann, De Holander, SMN. AlAttas, A. Hasymi, dan Hamka. 5 Arnold menyatakan para pedagang Arab menyebarkan Islam ketika mereka mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad awal Hijriyah, atau pada abad VII dan VIII Masehi. Meski tidak terdapat catatan-catatan sejarah, cukup pantas mengasumsikan bahwa mereka terlibat dalam penyebaran Islam di Indonesia. Asumsi ini lebih mungkin bila mempertimbangkan fakta-fakta yang disebutkan sumber Cina bahwa pada akhir perempatan ketiga abad VII M seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab di pesisir Sumatera. Sebagian mereka bahkan melakukan perkawinan dengan masyarakat lokal yang kemudian membentuk komunitas muslim Arab dan lokal. Anggota komunitas itu juga melakukan kegiatan penyebaran Islam. Argumen Arnold di atas berdasarkan kitab `Ajaib alHind, yang mengisaratkan adanya eksistensi komunitas muslim di Kerajaan Sriwijaya pada Abad X. Crawfurd juga menyatakan bahwa Islam Indonesia dibawa langsung dari Arabia, meski interaksi penduduk Nusantara dengan muslim di timur India juga merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Sementara Keizjer memandang Islam dari Mesir berdasarkan kesamaan mazhab kedua wilayah pada saat itu, yakni Syafi‟i. Sedangkan Nieman dan De Hollander memandang memandang Islam datang dari Hadramaut, Yaman, bukan Mesir. Sementara cendekiawan senior Nusantara, SMN. Al-Attas menolak temuan epigrafis yang menyamakan batu nisan di Indonesia dengan Gujarat sebagai titik tolak penyebaran Islam di Indonesia. Batubatu nisan itu diimpor dari Gujarat hanya semata-mata pertimbangan jarak yang lebih dekat dibanding dengan Arabia. Al-Attas menyebutkan bahwa bukti paling penting yang perlu dikaji dalam membahas kedatangan Islam di Indonesia adalah karakteristik Islam di Nusantara yang ia sebut dengan “teori umum tentang Islamisasi Nusantara” yang didasarkan kepada literatur Nusantara dan pandangan dunia Melayu. 6 Menurut Al-Attas, sebelum abad XVII seluruh literatur Islam yang relevan tidak mencatat satupun penulis dari India. Pengarang-pengarang yang dianggap oleh Barat sebagai India ternyata berasal dari Arab atau Persia, bahkan apa yang disebut berasal dari Persia ternyata berasal dari Arab, baik dari aspek etnis maupun budaya. Nama-nama dan gelar pembawa Islam pertama ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka orang Arab atau Arab-
5
6
Masalah Islamisasi Nusantara, lihat misalnya : S.M.N. Al- Attas, “Prelimenary Statement on A General Theory of the Islamization”, dalam Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969,. Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, Medan: Panitia Seminar, 1963. T.D. Situmorang dan A. Teeuw, Sejarah Melayu, Jakarta: Melayu, Jakarta: Bal ai Pusta ka, 195 8, hlm. 6 5-66. T. Ibrahi m Alfian (ed). Kronika Pasai, Yogjakarta: Gajah Mada University Press, 1973, hlm. 100. Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Medan: Waspada, 1981. Teuku Iskandar, De Hikayat Atjeh, (Sgravenhage: NV. De Nederlanshe Boek-en Steendrukkerij V. H.L. H.L. Smits, 1959). Husein Djajaningrat, Kesultanan Aceh: Suatu Pembahasan Tentang Sejarah Kesultanan Aceh Berdasarkan Bahan-bahan Yang Terdapat Dalam Karya Melayu, Teuku Hamid (terj.) (Banda Aceh: Depdikbud DI Aceh. 1983). Siti Hawa Saleh (edt), Bustanus as-Salatin, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992). Denys Lombard, Kerajaan Aceh, Jaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636, (terj), (Jakarta: Balai Pustaka,1992). C. Snouck Hurgronje, Een- Mekkaansh Een- Mekkaansh Gezantscap Naar A tjeh in 1683”, BKI 65, (1991). Azyumardi Azra, Jaringan Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 196. A. Hasymi, 59 Aceh Merdeka Dibawah Pemerintah Ratu (Jakarta: Bulan Bintang, 1997). Azra, op.cit. hal. 28 14
Persia. Diakui, bahwa setengah mereka datang melalui India, tetapi setengahnya langsung datang dari Arab, Persia, Cina, Asia Kecil, dan Magrib (Maroko). Meski demikian, yang penting bahwa faham keagamaan mereka adalah faham yang berkembang di Timur Tengah kala itu, bukan India. Sebagai contoh adalah corak huruf, nama gelaran, hari-hari mingguan, cara pelafalan Al-Quran yang keseluruhannya menyatakan ciri tegas Arab. 7 Argumen ini didukung sejarawan Azyumardi Azra dengan mengemukakan historiografi lokal meski bercampur mitos dan legenda, seperti Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, dan lain-lain yang menjelaskan interaksi langsung antara Nusantara dengan Arabia. 8 Hamka dalam pidatonya di acara Dies Natalis Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) ke-8 di Yogyakarta pada tahun 1958, melakukan koreksi terhadap Teori Gujarat. Teorinya disebut “Teori Mekah” yang menegaskan bahwa Islam berasal langsung dari Arab, khususnya Mekah. Teori ini ditegaskannya kembali pada Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, 17-20 Maret 1963. Hamka menolak pandangan yang menyatakan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13 dan berasal dari Gujarat. Hamka lebih mendasarkan teorinya pada peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia. Gujarat hanyalah merupakan tempat singgah, dan Mekah adalah pusat Islam, sedang Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran. Hamka menekankan pengamatannya kepada masalah mazhab Syafi‟i yang istimewa di Mekah dan mempunyai pengaruh besar di Indonesia. Sayangnya, hal ini kurang mendapat perhatian dari para ahli Barat. Meski sama dengan Schrike yang mendasarkan pada laporan kunjungan Ibnu Bathuthah ke Sumatera, Hamka lebih tajam lagi terhadap masalah mazhab yang dimuat dalam laporan Ibnu Batutah. Selain itu Hamka, juga menolak anggapan Islam masuk ke Indonesia Indonesia pada abad XIII. Islam sudah masuk ke Nusantara jauh sebelumnya, yakni sekitar Abad VII. 9 Pandangan Hamka sejalan dengan Arnold, Van Leur, dan Al-Attas yang menekankan pentingya peranan Arab, meski teori Gujarat tidak mutlak menolak peranan Arab dalam penyebaran Islam di Nusantara. Arnold sendiri telah mencatat bahwa bangsa Arab sejak abad kedua sebelum Masehi telah menguasai perdagangan di Ceylon (Srilangka). Memang tidak dijelaskan lebih lanjut tentang sampainya ke Indonesia. Tetapi, bila dihubungkan dengan kepustakaan Arab kuno yang menyebutkan Al-Hind (India) dan pulau-pulau sebelah timurnya, kemungkinan Indonesia termasuk wilayah dagang orang Arab kala itu. Berangkat dari keterangan Arnold, tidaklah mengherankan bila pada abad VII, telah terbentuk perkampungan Arab di sebelah barat Sumatera yang disebut pelancong Cina, seperti disebutkan Arnold dan Van Leur. 10 Berdasarkan naskah Idhar al-haqq fi Mamlakat Ferlah wal Fasi, karangan Abu Ishak Al-Makarani Al-Fasi, Tazkirat Tabaqat Jumu Sultanul Salatin karya Syaikh Syamsul Bahri Abdullah Al-Asyi, dan Silsilah Raja-raja Perlak dan Pasai, Pasai , Prof. A. Hasymi menyatakan bahwa Kerajaan Perlak, Aceh adalah kerajaan Islam pertama di Nusantara yang didirikan pada tanggal 1 Muharam 225 H (840 M) dengan raja pertamanya Sultan Alaudin Sayyid Maulana Abdil Aziz Syah. 11
7 8 9 10 11
Al-Attas, op.cit. hal. 54-55 Azra, op.cit. hal.30 Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia ; Bandung; Mizan; 1995; hal. 81. Op.cit, hal. 92-93 A. Hasymi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia : Kumpulan prasaran pada seminar di Aceh, Bandung:al-Ma'arif, 1993, cet. 3, , hal. 7; . lihat juga A. Hasymi, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang , 1990. hal.146. 15
Studi Terhadap Beberapa Teori Berkaitan Islamisasi Nusantara Sebagaimana lazimnya pengembangan pengetahuan ilmiyah, teori baru biasanya lahir berdasarkan teori-teori yang telah dikembangkan terlebih dahulu oleh para cendekiawan dengan dalil-dalil yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dalam membahas permasalahan yang sedang diteliti, akan dikemukakan beberapa teori yang sudah umum dikenal sebagai dasar dalam mengembangkan sebuah teori tentang Islamisasi di Nusantara. Diantaranya adalah: 1. Teori Relasi Arab-Nusantara-Cina Banyak peneliti sejarah yang telah mengadakan observasi terhadap relasi ArabNusantara-Cina dengan pendekatan yang berbeda. Di bawah ini akan saya kutipkan beberapa penelitian yang saya anggap penting, sesuai dengan masalah yang dibahas, di antaranya adalah penelitian ilmiah yang dilakukan Prof. Robert Dick-Read, dan diterbitkan dengan judul The Phantom Voyagers: Evidence of Indonesian Settlement in Africa in Ancient Time yang dipublikasikan pada tahun 2005. Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya dan fakta-fakta terbaru yang ditemukan, Prof. Read telah membuktikan hubungan yang erat antara Nusantara dengan benua Afrika sejak berabad-abad sebelum masehi dengan kapal laut. 12 Secara geologis, kepulauan kepulauan di perairan Asia Tenggara yang terpencil, atau ”Indonesia”, terbagi atas dua wilayah yang terpisah. Di sebelah barat terbentang Pulau Sumatra, Jawa, Borneo (Kalimantan), dan ribuan pulau kecil. Semua kelompok pulau di bagian barat ini, yang sebagian besar di antarnya memiliki gunung berapi aktif yang menjulang dan menembus kerak bumi, terletak di daratan yang secara geologi dikenal sebagai Daratan Sunda (Sundaland). Selama zaman es pada akhir era Pleistosen, gunung es di kutub yang membeku menyerap air dari lautan di daerah tropis, menurunkan permukaan air laut hingga seratus meter di bawah permukaan yang ada saat ini. Daratan Sunda kemudian membentuk sebuah daratan tunggal yang berinduk pada daratan Asia Tenggara dan sebagian besar memiliki kesamaan kekayaan hayati dan hewani dengan daratan induknya. Dan di sebelah timur yang dipisahkan oleh palung laut yang dalam (Garis Huxley atau Wellace), terdapat Sulawesi, Filipina, Timor, Plores, Sumba, Sumbawa, Lombok, Maluku dan pulau-pulau kecil yang menuju batas lingkaran Samudra Pasifik. Keterisolasian dari daratan induk mengakibatkan flora dan fauna di Wellacea jauh berbeda dengan yang ada di Daratan Sunda. Bentuk-bentuk kehidupan lebih mendekati seperti yang terdapat di wilayah Australia, yang berada di daratan sebelah s ebelah timurnya.13 Menurut penelitian Prof. Read, pada 60.000 tahun lalu, ketika permukaan air laut lebih rendah sekitar lima puluh meter dari kondisi saat ini, para pemburu dan pengumpul makanan ”Australo”Australo-Melanesia” yang berkulit hitam dari Daratan Sund a menyebrangi laut dalam yang pada saat itu terbukti merupakan penghalang absolut. Mereka memasuki semua pulau besar di Wallacea dan pada akhirnya mencapai daratan tak berpenghuni yang sangat luas, yaitu Daratan Sahul (Sahulland) – daratan ketiga yang terdiri dari Australia dan New Guinea yang saat itu masih bergabung menjadi satu. Mereka yang berhasil mencapai Daratan Sahul merupakan nenek moyang dari suku Aborigin di Australia dan penduduk Papua Nugini yang introvert.14 Mengutip Peter Bellwood dalam Prehistory of the Indo-Malaysia Archipelago, sekitar 35.000 tahun yang lalu, para pelaut dari New Guinea berhasil mencapai Kepulauan Solomon, dan 12
13 14
Robert Dick-Read, The Phantom Voyagers: Evidence of Indonesian Settlement in Africa in Ancient Time, London: Thurlton Publisihing, 2005. Terj. Edrijani Azwaldi, Bandung, PT. Pustaka Mizan, Cet. I, 2008. Ibid, hlm. 17 Ibid, hlm. 18-19 16
menetap di wilayah tersebut hingga beberapa ribu tahun berikutnya tanpa upaya untuk melakukan eksplorasi lebih jauh ke wilayah lain. Sekitar 13.000 tahun lalu, mereka kembali melakukan penyebrangan melintasi laut berjarak 200 kilometer dari New Guinea atau New Ireland menuju Kepulauan Admiralty di gugusan Kepulauan Bismarck. Dengan membandingkan penemuan ini dengan fakta bahwa Pulau Kreta dan Siprus – berjarak sekitar 80 kilometer dari Benua Eropa – yang baru dihuni untuk pertama kalinya sekitar 8.000 tahun lalu, maka keahlian bahari dari nenek moyang bangsa Nusantara ini benar-benar mengejutkan.15 Menurut penelitian Prof. Read ini, kira-kira sejak 60.000 tahun telah tumbuh berkembang manusia berperadaban di sekitar Dataran Sunda (Sumatra) yang mampu menyebar sampai ke ujung kepulauan Bismarck melampaui benua Australia sekarang. Artinya, telah berkembang sebuah entitas peradaban umat manusia, walaupun masih dalam tarap awal sekali sebelum terjadinya zaman es pada akhir era Pleistosen. Dari kominitas manusia awal ini, kemudian tumbuh berkembang berbagai peradaban baru dengan identitasnya masing-masing yang menyebar ke seluruh penjuru dunia. Karena Dataran Sunda yang masih menyatu dengan benua Asia termasuk India adalah tempat bermulanya kehidupan manusia, maka tempat ini pada akhirnya telah melahirkan sebuah peradaba sebuah peradaban n termodern pada zamannya zamannya.. Penelitian Prof. Read ini diperkuat oleh sebuah penelitian terkini dan mungkin yang paling terkontraversial tentang peradaban Asia Tenggara. Yaitu penelitian serius sepanjang 30 tahun terakhir oleh Prof. Arsyio Santos, seorang Geolog dan Fisikiwan Nuklir Brazil yang telah L ost Continent C ontinent Finally Fin ally Found (The Definitive D efinitive Localization of diterbitkan dengan judul Atlantis, The Lost Plato‟s Lost Civilization. Dalam karya ini, Prof. Santos meyakini bahwa Atlantis, Atlantis, benua yang hilang sekitar 11.600 tahun lalu, yang disebut-sebut oleh Fisosof Yunani ternama Plato (428-348 SM) adalah berada di wilayah Asia Tenggara, berdekatan pulau Sumatra. Beliau mendasari penelitiannya terutama pada tradisi-tradisi suci kuno umat manusia yang tersebar di muka bumi, menghimpunnya menjadi kesatuan, dan menemukan persamaannya, melalui apa yang beliau sebut sebagai teori Difusi Peradaban. 16 Menurut Prof. Santos, difusi adalah satu-satunya jawaban yang membuat kita bisa memahami pemunculan teknologi maju yang demikian hebat secara tiba-tiba, seperti budaya bercocok tanam, perkakas batu, metalurgi m etalurgi,, religi, dan –yang paling penting- bahasa serta abjad (alpahabet) di seluruh dunia pada masa yang dikenal sebagai masa Revolusi Neolitik. Hanya dengan perantaraan sebuah kekaisaran dunialah difusi tingakat dunia bisa terjadi segera setelah akhir zaman es, ketika bencana mahabesar yang menghancurkan surga Atlantis mengirim pergi sedikit dari mereka yang selamat ke berbagai tempat-sebuah diaspora besarbesaran. Sebagian besar kemajuan yang diperlihatkan oleh peradaban-peradaban tersebut jelas jelas mengandung petunjuk yang memperlihatkan bahwa mereka berasal dari India dan, lebih tepatnya, dari sebuah wilayah luas yang sekarang tenggelam, yang kini bernama Indonesia (pulau-pilau India), yang dulunya merupakan bagian integral dari India sendiri. 17 Salah satu contoh yang dikemukakan Prof. Santos untuk mendukung teorinya adalah faktor difusi bahasa sebagai bentuk terawal peradaban umat manusia. Menurutnya kebanyakan bahasa manusia memperlihatkan jejak-jejak nyata bahwa mereka berasal dari bahasa-bahasa suci India, seperti Sansekerta dan Dravida. Abjad yang jelas- jelas jelas- jelas memperlihatkan memperlihatkan ”jejak-jejak ”jejak-jejak India”, seperti hurup pertama dinamai ”aleph” (atau ”alpha” dan sebagainya). Kata ini sangat 15 16
17
Ibid, hlm. 19 Arsyio Santos, Atlantis, The Lost Continent Finally Found (The Definitive Loca lization of Plato‟s Lost Civilization, Civilization , Terj. Hikmah Ubaidillah, Jakarta: Ufuk Press, 2009. Ibid, hlm. 23-25 17
mengingatkan mengingatkan kita kepada kep ada istilah gajah ( elephan, atau elephas dalam bahasa Yunani), dan –yang terpenting- kepada Ganesha, dewa berbentuk gajah, yang namanya disebut oleh orang-orang Hindu setiap ingin memulai apapun. Kami juga mencatat bahwa bentuk huruf alpha Yunani: α – versi Yunani dari aleph bangsa Semit – jelas tidak mengingatkan kepada seekor sapi jantan liar (bull), tetapi kepada kepala gajah yang menyerupai kepala gajah dengan gading terpotong, seperti Ganesha dalam kepercayaan Hindu. Kata aleph dalam bahasa Yahudi tidak berarti ”sapi jantan liar” seperti yang sering dikemukakan, dikemukakan, tetapi ”sapi jantan (ox)” yang telah dikebiri. Inilah alasan mengapa ia dilambangkan dengan kepala sapi jantan liar yang terbalik (A). 18 Adapun Atlantis yang digambarkan Plato 19 adalah ”surga” beriklim tropis yang penuh dengan segala jenis keindahan dan kekayaan: daratan-daratan yang luas dan ladang-ladang yang indah, lembah dan gunung-gunung; batu-batu permata dan logam dari berbagai jenis; kayu-kayu wangi, wewangian, dan bahan celup yang sangat tinggi nilainya; sungai-sungai, danau-danau, dan irigasi yang melimpah; pertanian yang paling produktif; istana-istana bertabur emas, tembok perak, dan benteng; gajah dan segala jenis binatang buas dan sebagainya. Atlantis menurut Plato akhirnya lenyap 11.600 tahun lalu akibat bencana dahsyat yang dihubungkan dengan bencana mahadahsyat meledaknya gunung Krakatau yang telah membuka Selat Sunda dan menenggelamkan sebagian wilayah daratan Asia Tenggara. Pada zaman Es, ketika hampir semua kawasan di permukaan bumi masih tertutup salju dengan suhu di bawah 15 drajat atau bahkan kering karena ketiadaan hujan, yang sangat tidak memungkinkan peradaban berkembang maju sebagaimana gambaran Plato tentang Atlantis. Maka satu-satunya kawasan yang memungkinkan memungkinkan ciri-ciri tersebut hanyalah di sekitar wilayah kawasan Khatulistiwa. Kesemua ciri ini bertepatan dengan keadaan di wilayah Asia Tenggara, berdekatan Sumatra sekarang. 20 Berdasarkan Berdasar kan penelitian beberapa peta kuno, di antaranya Athanasius Kircher, peta Hecataeus dari Miletus (sekitar 500 SM), bola dunia Crates dari Mallus (170 SM), peta Eratosthenes (sekitar abad ke-3 SM), peta dunia awal Cosmos Indicopleustes, sampai peta Taprobane milik Ptolemy (150 M), dengan berbagai analisisnya, yang pada akhirnya mengantarkan Prof. Santos pada kesimpulan, bahwa benua Atlantis yang dibicarakan para cendekiawan selama ini terletak di sekitar kepulauan Nusantara. Jika dianalisis peta karya Eratosthenes yang dibuat sekitar abad ke-3 SM dan digabungkan dengan peta Ptolemy pada 150 M, maka pada peta ini terdapat kesamaan konsepsi tentang keberadaan Atlantis. Peta Eratosthenes menyebut adanya Samudra Luar, yang bernama Atlantis di bagian selatannya, dan samudra ini meluas hingga ke Taprobane dan ke bawahnya, dan samudra Atlantis terbagi dua Mare Atlanticum Occidentale dan Mare Atlanticum Orientale, sama seperti pembagian modern, yaitu samudra Atlantik dan Pasifik. Pasifik. Dari peta ini sangat jelas bahwa Taprobane berada di Samudra Atlantis bangsa kuno, paling tidak dalam pandangan tokoh Yunani klasik seperti Plato, Crates dan Eratosthenes. Sementara Ptolemy pada 150 M, telah berhasil menjelaskan letak Taprobane, di sebelah timur laut Atlantis, dan disebutkan dengan jelas bahwa pulau itu adalah Sumatra sekarang. 21 Nama Taprobane sebenarnya berarti ”semenjung emas” (tamra-parna; tamara-parana) baik dalam bahasa Sansekerta ataupun Dravida. Etimologi ini juga berlaku pada nama Cipango. Secara harpiah juga dapat disamakan dengan Chryse Chersonesos dalam bahasa Yunani C hersonesus dalam bahasa Latin, yang memiliki makna sama ”Semenanjung Emas”. dan Aurea Chersonesus 18 19 20 21
Ibid, hlm. 25-26 Lihat, Plato, Timaeus and Critias, Penguin Books, London, 1977. Santos, Ibid. hlm. 35-40 Santos, Ibid. hlm. 207-237 18
Nama ini hanya diberikan kepada Taprobane atau pulau Sumatra sekarang, dan tidak pernah dikenal penggunaan ini pada tempat manapun di muka bumi ini. ”Secara keseluruhan, sekarang jelaslah bahwa Taprobane yang terkenal, yang dibicarakan oleh tradisi kuno sebagai lokasi surga (dan Hades) dan ”tanah tempat emas dilahirkan” sama dengan lokasi Indonesia dan Asia Tenggara.22 Bertolak dari teori seorang arkeolog arkeolog Jerman Leo Probenius Probenius (1873-1938), tentang Atlantis dengan penelitian yang telah dilakukannya ke seluruh penjuru dunia, terutama fakta bahwa peradaban Atlantis yang digambarkan khas peradaban daerah tropis dan sebagian besar dibatasi oleh dua daerah tropis. Yang dikuatkan dengan teori Plato, perkembangan dunia dimulai pada Zaman Es, ketika wilayah bumi yang sekarang bersuhu sedang diselimuti oleh lapisan es, berdasarkan teori ini meyakini, bahwa Atlantis berada di wilayah Sumatra, karena tepat berada di tengah (pusat) bidang permukaan yang luas, yang dicakup oleh kebudayaan yang diperbincangkan kedua peneliti sebelumnya. Selanjutnya Prof. Santos menyimpulkan, Difusi luas ini terjadi melalui Samudra Hindia dan Fasifik yang luas. Sedangkan samudra Atlantik (yang tengerai awal sebagai tempat benua Atlantis) adalah tidak lebih dari ”tempat terpencil” terpencil” yang tak seorangpun berani mengarunginya. Adalah alamiah jika kebudayaan menyebar dari wilayah tengah (pusat) ke pinggir, bukan bermula dari pinggiran. Akhirnya, Prof. Santos Santos dengan dengan berbagai kajian peradabannya, menyimpulkan menyimpulkan bahwa benua Atlantis yang disebut-sebut oleh Pluto dengan berbagai gambaran yang diberikannya, adalah benarbenar sesuai dengan kondisi kepulaun di Nusantara, khususnya di sekitar kepulauan Indonesia dan berdekatan dengan Selat Sunda sekarang. 23 Penelitian yang dilakukan Prof. Santos juga melibatkan teknologi terkini kemaritiman, mereka memiliki peralatan scuba diving yang memungkinkan eksplorasi di bagian laut yang dangkal, dan juga mempunyai peralatan kapal-kapal selam kecil, radar sidescan, dan ROV yang membuat penelitiannya dapat mengamati laut-laut yang lebih dalam. Demikian pula kapalkapal khusus untuk penelitian kelautan dengan satelit ruang yang memenuhi standar kelayakan. Peralatan yang memungkinkan memungkinkan untuk mempetakan dasar samudra s amudra pada kedalaman dan skala apapun, tentu dengan dukungan para ahli dan profesional. Dengan penuh keyakinan Prof. Santos dan timnya menyatakan: ”Kami sendiri terang -terangan telah menemukan beberapa artefak arkeologis di laut-laut dangkal wilayah Indonesia. Beberapa temuan ini difoto dari luar angkasa angkasa oleh satelit pengintai NASA dan NOAA.” 24 Daftar kemiripan dongeng, cerita, legenda dan seumpanya yang terdapat pada berbagai peradaban di muka bumi ini, terutama mengenai Surga yang Hilang atau Atlantis ini, baik pada peradaban India, Cina, Tibet, Mongolia, M ongolia, Amerika, Amerika, Eropa, Oseania, dan sebagainya, sudah cukup untuk membuktikan keberadaannya. Difusi universal ini hanya mungkin terjadi pada masa Pleistosen atau dan tak lama sesudahnya, ketika Jalan Lintas Bering masih terbuka dan memungkinkan interkomunikasi semacam itu. Bagaimanapun, tulis Prof. Santos, Atlantis merupakan kekaisaran dunia, meskipun sebagian besar akademisi tak meyakininya. Jadi, Atlantis meninggalkan meninggalkan jejak agama dan budayanya hampir di semua tempat di dunia. Sisa-sisa pengaruh difusi tak langsung inilah yang lebih sering ditemukan dibandingkan artefak sejati penduduk Atlantis. 25 Berdasarkan temuan berupa artefak yang sangat kuno, seperti padi-padian dan perkakas, para arkeolog Cina dan peneliti lainnya menunjukkan bahwa bertanam padi telah 22 23 24 25
Santos, Ibid. hlmn. 235-239 Santos, Ibid. hlm. 256 Ibid, hlm. 47-51 Ibid, hlm. 54-56 19
berkembang di Timur Jauh sejak 15.000 tahun lalu seperti di Korea dan sebagainya, mungkin lebih awal dari masa itu. Dan itu berarti berlangsung pada Zaman Es Pleistosen juga. Para peneliti ini juga berusaha membuktikan bahwa pengumpulan padi liar dimulai 25.000 ribu tahun lalu atau bahkan lebih awal. Jadi secara arkeologis sudah terbukti bahwa budaya bercocok tanam muncul lebih awal di Timur Jauh dibandingkan di Timur Dekat. 26 Teori Prof. Santos ini adalah yang paling mencengangkan di antara penelitian lainnya yang pernah di buat, baik tentang Nusantara dan terlebih lagi tentang Antantis yang menjadi perhatian cendekiawan dari berbagai peradaban sejak dikemukakan oleh Plato ribuan tahun lalu. Dengan teorinya ini, Prof. Santos telah mengungkap, sekaligus membalikkan rahasia terpendam mengenai supremasi Barat sebagai nenek moyang peradaban dunia . Dan yang terpenting dalam penelitiannya ini, kisah tentang Atlantis bukanlah sekedar dongeng, tetapi nyata-nyata ada dan dapat dilacak tinggalan-tinggalannya melalui penelitian interdisipliner. Terlepas dari kontraversi yang ditimbulkan, harus diakui bahwa penelitian yang dilakukan oleh Prof. Santos secara serius sepanjang 30 tahun, berdasarkan pada penelitianpenelitian sebelumnya yang telah dilakukan para sarjana besar ini adalah sangat berharga. Walaupun masih pada peringkat awal yang perlu dikembangkan selanjutnya dengan penelitian-penelitian yang lebih mendalam lagi. Namun demikian, penelitian ini akan menjadi titik tolak untuk penelitian-penelitian besar lainnya yang berkaitan dengan sejarah Nusantara Raya dengan perkembangan peradabannya oleh pakar sejarah Nusantara. Jika dihubungkan dihubungkan dengan peradaban yang berdasarkan berdasarkan kepada ajaran agama-agama langit, yang pada umumnya menyatakan bahwa manusia pertama yang menghuni bumi adalah Nabi Adam as yang diturunkan pertama kali di wilayah India, sebagaimana kesepakatan cendekiawan Muslim, maka teori yang disampaikan Prof. Read dan Prof. Santos ini kemungkinan mendapatkan landasan teologisnya. Nabi Adam as dengan istri dan keturunannya memulai peradaban umat manusia di wilayah yang sekarang di kenal sebagai India dan sekitarnya, yang pada masa itu masih bersatu dengan kepulauan Nusantara dan selanjutnya menyebar ke seluruh seluruh penjuru dunia dunia dengan membawa peradaban yang yang telah diwariskan Nabi Adam kepada mereka. Pada akhirnya, keturunan nabi Adam tersebar ke seluruh penjuru dunia dan menjadi berbagai bangsa dengan peradabannya masing-masing. Namun sebagaimana penelitian Prof. Santos, peradaban manusia yang beraneka ragam tersebut berasal dari satu peradaban induk, yang jika dihimpun kembali, akan memiliki ciri-ciri utama yang serupa, yang disebutnya sebagai teori Difusi Peradaban. Jika kedua teori di atas dapat diterima dan saling menguatkan, menguatkan, maka artinya Asia Tenggara pernah menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya sebuah peradaban umat manusia terawal. Hal ini utamanya di dukung oleh keadaan alamnya di sekitar garis khatuliswa yang memberikan iklim tropis terbaik untuk memulai kehidupan pada umat manusia pada zaman es akhir era Pleistosen yang tidak akan mungkin dimiliki dimiliki oleh tempat lain di muka bumi ini. Kepulauan Nusantara dengan alamnya, adalah tempat yang paling sesuai untuk manusia memulai kehidupannya sebagai pembangun peradaban di muka bumi. Jika diasumsikan bahwa manusia Dataran Sunda Nusantara ataupun nama lainya Atlantis mulai membangun peradabannya pada 60.000 tahun lalu dan berakhir akibat bencana mahadahsyat pada sekitar 11.600 lalu sebagaimana perkiraan Plato, maka adalah masuk m asuk akal, selama hampir 50.000 tahun manusia Dataran Sunda – Atlantis membangun sebuah peradaban sebagaimana digambarkan Plato terdahulu.
26
Ibid, hlm. 57 20
Peradaban yang dikembangkan oleh manusia Dataran Sunda atau Sumatra yang juga dikenal sebagai peradaban Atlantis ini, yang diperkirakan di mulai oleh manusia pertama di muka bumi, Nabi Adam as yang diteruskan oleh keturunannya, telah berkembang pesat menjadi peradaban maju, dan memberikan m emberikan jalan untuk tumbuh dan berkembangnya berkembangnya peradaban lainnya di seluruh muka bumi. Sebagaimana penelitian Prof. Santos maupun Prof. Read terdahulu, peradaban Atlantis ini berkembang pesat, dari pusatnya di sekitar Nusantara atau sekitar India yang masih bersatu daratan dengan Nusantara, menuju benua-benua lain yang peninggalannya dapat ditemukan sampai di benua Afrika di sebelah Barat maupun benua Amerika di sebelah timur. Sebagaimana digambarkan Plato, sekitar 11.600 tahun lalu, peradaban besar dan maju yang telah dikembangkan selama hampir 50.000 tahun, hancur dalam seketika akibat dari bencana alam mahadahsyat mahadahsyat di Nusantara, yang diperkirakan dip erkirakan adalah meletusnya Gunung Krakatau ataupun banjir besar akibat mencairnya gunung-gunung es di kutub. Akibat bencana ini, manusia mulai membangun kembali peradabannya. Bukan lagi berpusat di Nusantara yang telah tenggelam. Diketahui bahwa peradaban baru mulai muncul di kawasan sebelah barat yang kini dikenal sebagai Timur Tengah seperti Babilonia dan lainnya, terutama pasca banjir besar zaman Nabi Nuh as yang dikisahkan kitab-kitab suci agama langit, termasuk al-Qur‟an. al- Qur‟an. Ataupun di sekitar timur Nus antara, terutama di kepulauan New Guinea dan Australia, manusia yang sebelumnya telah berimigrasi beberapa ribu tahun lalu. Kembali kepada penelitian Prof. Read, beliau mencatat bahwa 3.500 tahun lalu, timbul budaya baru yang luar biasa di Indonesia bagian timur yang disebut sebagai orang-orang ”Lapita”, yang dikenali melalui barang-barang barang -barang gerabah/tembikar khas, dinamai sesuai dengan tempat pertama kali ditemukannya, yaitu di gugusan Kepulauan Bismarck yang berada di lepas pantai New Guinea. Orang-orang Lapita yang berbahasa Austronesia merupakan nenek moyang bangsa Polinesia, yang sekitar lima ratus tahun berikutnya menghuni Pulau Tonga, Samoa, dan lainnya. Perjalanan-perjalanan lewat laut tersebut tidak dilakukan melalui satu kali pelayaran secara kebetulan. Pada tahun-tahun tersebut mereka berdagang obsidian dari pegunungan di New Britain menuju pulau-pulau yang berjarak 1.650 mil. Hingga 1.000 tahun SM, wilayah perdagangan itu bahkan lebih luas: obsidian dari sumber yang sama telah ditemukan di tempat-tempat antara Kalimantan hingga Kepulauan Fiji, menyebrang lautan hingga lebih dari 4.000 mil. Pada 1920, James Hornell, menegaskan bahwa bangsa Polenisia, yang kemungkinan menyebrang dari Sumatra, menempati wilayah India selatan pada akhir 500 tahun SM, pada era pra-Dravida. Meskipun kesimpulan ini tidak diterima oleh banyak kalangan, dukungan dukungan mengalir dari beberapa ”bintang” zaman sekarang, termasuk di antaranya arkeolog Nicholas Krom dan Stein Callenfels dan ahli sejarah Asia Tenggara yang berpengaruh, berpengaruh, Heine-Geldern. Jadi tak ada alasan untuk ragu bahwa sekitar 2.500 hingga 3.000 tahun yang lalu, kerabat bangsa Polinesia di Samudra Hindia sama aktifnya dengan mereka yang berada di Pasifik.27 Terdapat bukti yang kuat bahwa bangsa Mesir sejak 4.500 tahun lalu telah menguasai pembuatan kapal laut dan terus berkembang pada tahun-tahun berikutnya. Bukti dari semua itu dapat dilihat di Kairo. Di sana dibangun kapal yang anggun untuk Fir‟aun Cheops lebih dari enam ratus tahun sebelum Sesostris naik takhta. Kapal Cheops yang terkenal ditemukan dalam keadaan dipilah-pilah dengan hati-hati menjadi 1.200 potongan dalam kuburan khusus di bawah piramida Sang Raja. Meski kapal Cheops bukanlah kapal yang digunakan untuk perjalanan laut, penguasaan teknologi yang diperlihatkan para pembuatnya menunjukkan bahwa orang-orang Mesir memiliki kemampuan untuk membangun kapal untuk berlayar 27
Raed, Ibid. hlm. 22-23 21
mengitari pantai di sebelah barat Samudra Hindia menuju India, jika mereka menginginkannya. 28 Menurut penelitain Prof. Read, bahwa perdagangan lewat laut antara Mediterania dengan Samudra Hindia, melalui melalui Sumatra tentunya, sudah cukup mapan selama ribuan tahun. tahun. Ketika menggali rumah seorang pedagang yang berasal dari masa 1.700 tahun SM di Terqa Efrat Tengah, arkeolog Giorgio Buccellati terkagum-kagum ketika menemukan sebuah wadah yang berisi cengkeh. Karena disebabkan di muka bumi hanya ada satu tempat cengkeh dapat tumbuh kala itu, yaitu di Kepulauan Maluku yang terletak di Nusantara. Penemuan ini diperkuat oleh penemuan ganjil di Indonesia yang mengimbangi penemuan di Timur Tengah tersebut. Julian Reade arkeolog berkebangsaan Inggris menemukan sisa-sisa biri-biri atau kambing di situs bekas permukiman pada masa yang kurang lebih sama (1.500 tahun SM) di pulau yang lebih jauh, yaitu Pulau Timor (di Indonesia) yang berjarak beberapa ratus mil di sebelah selatan Kepulauan Maluku. Secara umum, semua ahli menyetujui bahwa biri-biri dan kambing untuk pertama kalinya diternakkan di Timur Tengah. 29 Pertanyaannya, bagaimana cara tanaman cengkeh berpindah dari Maluku ke Mesopotamia ?.... Dan bagaimana hewan-hewan tersebut bergerak dari Timur Tengah menuju Timor pada masa 3.500 tahun lalu? Menurut Prof. Read, hanya ada satu cara yang masuk akal, yang membawa kepada hipotesis ”Polinesia” yang dikemukakan Hornel l: bahwa semua itu disebabkan oleh pergerakan dan pengembaraan para pelaut misterius Austronesia (dari Nusantara menuju India atau sebaliknya) yang segera setelah bereksodus dari Formosa (Taiwan), bergerak melalui kepulauan (Nusantara) ke arah Barat (India). 30 Menurut Bibel, pada 1 Raja-raja 9: 27-28, 27- 28, sekitar 1.000 tahun SM: ”Dengan kapal -kapal itu, Hiram mengirim anak buahnya, yaitu anak-anak kapal yang tahu tentang laut, menyertai anak buah Salomon. Mereka sampai ke Ofir dan dari sana mereka mengambil empat ratus dua puluh talenta emas, yang mereka bawa kepada Raja Salomon (Sulaiman).” Dan ”Sebab di laut, raja mempunyai kapal-kapal Tarsis itu datang membawa emas dan perak serta gading; juga kera dan burung merak” (1 Raja-raja Raja -raja 10:22). Karena sampai saat ini tak ada yang tahu secara pasti letak Ofir atau Tarsis. Namun jika dikaji nama-nama barang yang disebutkan, mengisyaratkan mengisyaratkan bahwa sebagian barang dari India, bukti-bukni linguistik menunjukkan secara spesifik India selatan ataupun Dravida di selatan Tamil. Menilik persimpangan jalur barang antara pulau-pulau terluar di Kepulauan Indonesia, India Selatan, dan Timur Tengah, tidakkah terlihat bahwa pembawa yang paling mungkin adalah bangsa Indo-Polinesia atau bangsa Nusantara (Indonesia)?.31 Sesaat sebelum memasuki memasuki milenium Kristen (Masehi), Strabo menulis: ”Saya menemukan sekitar seratus dua puluh kapal berlayar secara reguler dari Myos Hermos (di Laut Merah) menuju India.” Pada pertengahan abad ke 1 M, Hippalus, seorang kapten kapal dari Yunani, dianggap menemukan menem ukan rute ”monsun” dari Arab selatan menuju India. Sejak itu, jika kapal-kapal Romawi bertolak dari Myos Hermos pada bulan Juli, mereka dapat berlayar dengan memanfaatkan arus dari utara di musim panas di sepanjang Laut Merah tepat pada waktunya untuk mengejar angin (monsun) barat daya yang membawa mereka ke Teluk Aden, melintasi Laut Arabia dan langsung menyeberangi lautan menuju pantai Malabar di India.
28 29 30 31
Ibid, hlm. 36 Ibid, hlm. 38 Ibid, hlm. 39 Ibid, hlm. 39 22
Perjalanan pulang dijadwalkan pada sekitar bulan November ketika arus dari timur laut menghembuskan angin menuju pintu masuk ke Laut Merah. 32 Sekitar tahun 20 SM, seperti halnya yang dijelaskan oleh Strabo, Raja Pandyas dari India mengirimkan duta besarnya dari pantai Koromandel kepada Augustus untuk mencari sekutu – yang merupakan duta besar pertama dari sekian banyak duta besar yang dikirim dari India. Gajah-gajah India digunakan dalam peperangan Suriah. Sementara Pliny (23-79 M) dalam Natural History menyebutkan tentang kayu manis ( cinnamomun) yang menjadi kegemaran orang-orang kaya Romawi, yang dibawa pedagang-pedagang mereka yang membutuhkan waktu lima tahun untuk pergi dan kembali. Menurut penelitian Prof. Read, tak satupun dari cassia, kayu manis murni, atau tanaman-tanaman lain yang serupa, pernah tumbuh di Arab, Etiopia, Somalia, atau India. Keduanya hanya dapat ditemukan di Asia Tenggara dan beberapa pulau di Indonesia. 33 Hingga tahun 500 SM, Cina telah mengembangkan berbagai macam kapal. Kapal dari segala jenis dan ukuran berseliweran dalam sistem angkutan sungai yang padat: rakit besar untuk berdagang mendekati pantai di wilayah Siberia hingga Indocina: armada yang terdiri dari 2.000 kano-perang, yang masing-masing memiliki panjang 70 hingga 80 kaki. Sekitar abad ke 4 SM, para raja-raja Chhi, Wei, Hsuan, dan Yen mengirim utusan ke luar negeri untuk mencari pulau-pulau menakjubkan tempat ditemukannya obat-obatan untuk memperpanjang usia. Salah satunya adalah Hsu Fu di bawah pemerintahan Chhin Shih Huang Ti, Pangeran dari Huai-Nan. Ketika mereka mengadakan pengembaraan ini, orang-orang Lapita sudah lama mendiami pulau-pulau Melanesia dan telah melakukan perdagangan obsidian dengan wilayah yang jauh selama hampir seribu tahun. Cengkeh dari Maluku telah diketahui oleh bangsa Cina sejak beberapa abad sebelum Masehi. Kapal-kapal yang sama berlayar untuk mencari rempahrempah dan barang-barang barang-barang langka yang diperlukan orang-orang Cina dari pedagang-pedagang pedagang-pedagang Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi, yang mengirimkan barang-barang mereka ke kotakota di Cina dengan menggunakan kapal mereka sendiri. 34 Secara meyakinkan, Prof. Read dengan penelitiannya yang didukung banyak penelitian arkeologis ini telah memberikan bukti-bukti mutakhir tentang penjelajahan para pelaut Nusantara sejak beberapa ribu tahun lalu wilayah barat ke Timur Tengah, khususnya Mesir dan sekitar Laut Merah di Jazirah Arabia sampai benua Afrika. Sementara ke wilayah timur mereka telah menaklukkan samudra jauh sampai ke Cina dan kepulauan di lautan Pasifik, bahkan sampai ke benua Amerika, sebagaimana digambarkan arkeolog Jerman Leo Probenius. Para pelaut dan sodagar Nusantara ini adalah bagian dari masyarakat Nusantara yang bangkit kembali setelah mengalami kemunduran peradaban beberapa ribu tahun pasca bencana mahadahsyat, yang diperkiraan Plato terjadi 11.600 tahun lalu, yang menghancurkan peradaban sekaligus melenyapkan sebagian besar manusia Nusantara sebagai pusat peradaban manusia. Sejak 3.500 tahun lalu, mereka kembali muncul sebagai masyarakat baru yang mulai membangun kominitas dan peradaban baru dengan pengetahuan pengetahuan navigasi kelautan yang tel ah dimilikinya sejak ribuan tahun lalu. Kebangkitan kembali ini telah menjadikan mereka sebagi pelopor penjelajah bahari yang jauh mendahului bangsa Eropa, Arab, Cina dan lainnya. Mereka bukan hanya menaklukkan menaklukkan bahari, bahari, tetapi mereka juga menjadi para sodagar, penyebar bahasa, peradaban, pengetahuan, teknologi, kepercayaan sekaligus memperkenalkan berbagai jenis tanaman baru, musik, seni dan sejenisnya yang pengaruhnya masih bisa ditemukan dalam kebudayaan di benua Afrika maupun benua Amerika sekarang. Hubungan pelaut dan sodagar 32 33 34
Ibid, hlm. 40 Ibid, hlm. 41 Ibid, hlm. 56-57 23
Nusantara yang sangat erat dengan India, Persia, dunia Arab, Afrika dan sekitarnya, telah mengantarkan perhubungan perhubungan mereka dengan pusat peradaban baru dunia di sebelah Barat yang sedang berkembang dengan pesatnya, baik peradaban Babilonia, Yunani, Athena, Romawi dan lainnya. Peradaban dan teknologi yang berkembang di Romawi, Yunani maupun Mesir, Persia dan India secara otomatis mempengaruhi perkembangan masyarakat Nusantara yang menjadi laluan transit menuju pusat peradaban di sebelah timur seperti Cina dan Jepang. Akhirnya wilayah Nusantara menjadi pusat transit dan sekaligus tempat bertemunya berbagai peradaban besar dunia. Di kalangan bangsa Yunani, Sumatra sudah dikenal dengan Taprobana. Naskah Yunani tahun 70 M, Periplous tes Erythras Thalasses , mengungkapkan bahwa Taprobana juga dijuluki chryse nesos , atau „pulau emas‟. Sejak zaman pra-masehi para pedagang sekitar Laut Tengah sudah mendatangi Sumatra mencari emas, kemenyan ( Styrax sumatrana) dan kapur barus (Dryobalanops aromatica) yang saat itu hanya ada di Sumatra. Para pedagang Taprobana (Sumatra) sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat, Timur Tengan sampai Afrika Timur sebagaimana tercantum pada naskah Historia Naturalis karya Plini abad pertama Masehi. Nama Taprobana Insula (pulau Taprobana) telah dipakai oleh Claudius Ptolemeus, ahli geografi Yunani abad kedua Masehi, tepatnya tahun 165, ketika dia menguraikan wilayah sekitar Sumatra dalam karyanya Geographike Hyphegesis . Ptolemaios menulis bahwa di pulau Taprobana terdapat negeri yang menjadi jalan ke Tiongkok, sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus. Menurut penelitian Prof. Muljana dalam bukunya Sriwijaya, boleh jadi Barus saat itu adalah nama kota kota atau ibukota bagi seluruh pulau Sumatra atau Taprobana. Karena diketahui bahwa perkataan Sumatra sendiri baru dikenal pada abad 12 Masehi masa pemerintahan Sultan Malik al-Saleh yang mendirikan Kerajaan di sebelah Utara yang diberinya nama Semutra. Semutra. Menurut Prof. alAttas dalam Historical Fact, sebagaimana disebutkan Sejarah Melayu dan Hikayat Raja Pasai perkataan Semutra berasal dari perkataan ‟semut raya‟ yang berevolusi menjadi Semutra. Sementara Ibnu Batutah menyebutnya sebagai Samutra, dan Marcopolo menyebutnya me nyebutnya Sumatra. Disebutkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5000 tahun lalu. Dalam kitab Yahudi, Melakin (Raja-raja), fasal 9, diterangkan bahwa Raja Solomon, raja Israil menerima 420 talenta emas dari Hiram, raja Tirus yang berada dibawah kekuasaannya. Emas didapatkan dari negeri Ophir . Al-Qur‟an, Al-Qur‟an, Surat Al Anbiya‟ 81, menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman a.s. berlayar ke “tanah yang Kami berkati atasnya” ( al-ardha l-lati barak-Na fiha). Di manakah gerangan letak negeri Ophir yang diberkati Allah ? Banyak ahli sejarah yang berpendapat bahwa negeri Ophir itu terletak di Sumatra. Kota Tirus merupakan pusat pemasaran barang-barang dari Timur Jauh. Ptolemeus pun menulis Geographike Hyphegesis berdasarkan informasi dari seorang pedagang Tirus yang bernama Marinus. Dan banyak petualang Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 mencari emas ke Sumatra dengan asumsi bahwa di sanalah letak negeri Ophir-nya King Solomon. 35 Perdagangan antar negara-negara Timur dengan Timur Tengah dan Eropa berlangsung lewat dua jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur darat, yang juga disebut ”jalur sutra” ( silk road), dimulai dari Cina Utara lewat Asia Tengah dan Turkistan terus ke Laut Tengah. Jalur perdagangan ini, yang menghubungkan Cina dan India dengan Eropa, merupakan jalur tertua 35
N.J. Krom, Zaman Hindu, terjemahan Arief Effendi, Jakarta: Pembangunan, 1956, hal. 10-12. 10- 12. (Nicholaas Johannes Krom, “De Naam Sumatra”, Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde , deel 100, 1941). William Marsden, The History of Sumatra , Oxford University Press, Kuala Lumpur, cetak ulang 1975. D.G.E. Hall, A History of South East Asia, London: Macmillan & Co. Ltd., 1960, hlm. 1-5. D.H. Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Indonesia, Jakarta: Pradnya Par amita, 1960, hlm. 15. 24
yang sudah di kenal sejak 500 tahun sebelum Masehi. Sedangkan jalan laut dimulai dari Cina (Semenanjung Shantung) dan Indonesia, melalui Selat Malaka ke India; dari sini ke Laut Tengah dan Eropa, ada yang melalui Teluk Persia dan Suriah, dan ada juga yang melalui Laut Merah dan Mesir. Diduga perdagangan lewat laut antara Laut Merah, Cina dan Indonesia sudah berjalan sejak abad pertama sesudah Masehi. 36 Akan tetapi, karena sering terjadi gangguan gangguan keamanan pada jalur perdagangan darat di Asia Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi perdagangan Timur-Barat melalui laut (Selat Malaka) menjadi semakin ramai. Lewat jalan ini kapal-kapal Arab, Persia dan India telah mondar mandir dari Barat ke Timur dan terus ke Negeri Cina dengan menggunakan angin musim, untuk pelayaran pulang pergi. Juga kapal-kapal Sumatra telah mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman Sriwijaya, pedagang-pedagangnya telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan pantai timur Afrika. Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat Malaka, maka telah menumbuhkan kota-kota pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara Pulau Sumatra. Perkembangan perdagangan yang semakin banyak di antara Arab, Cina dan Eropa melalui jalur laut telah menjadikan kota pelabuhan semakin ramai, termasuk di wilayah Sumatra, baik bagian utara (Perlak, Barus) maupun di bagian selatan (Palembang) yang diketahui telah memiliki beberapa beberap a kota pelabuhan yang umumnya terdapat di beberapa delta sungai. Kota-kota pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau kota perdagangan. perdagangan.37
Reader in Archaeology Australia National University, telah Peter Bellwood dalam melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara. Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang berkembang menghubungkan menghubungkan kepulauan Nusantara Nusantara dengan Cina. Dia menulis “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatra Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London....”. Sifat perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut
36 37
D.H.Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm. 15. M.A.P. Meilink-Roelofsz, Asian Meilink-Roelofsz, Asian Trade and E uropean Influence in the Indonesia Archip elago. The Hague: Martinus Nijhoff, 1962, hlm. 345 (catatan 122) 25
campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatra baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan“kerajaan-kerajaan kecil” yang ya ng tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya. 38 Adanya jalur perdagangan utama dari Asia Tenggara -terutama Sumatra- dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G.R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan buktibukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu. “Keadaan ini terjadi karena kepulauan Sumatra telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi,” Masehi,” 39 Pada abad ke 6 terjadi perkembangan perdagangan yang penting antara Persia Sassaniyah dan Cina. Kargo-kargo dari Persia membawa kayu damar wangi, kacang pistachio, obat-obatan, parfum, dan kain-kain brokat. Oliver Wolters, yang menulis Early Indonesia Commerce, menulis : ”.... perihal pelayaran di Asia pada abad ke 5 dan ke 6, dalam ka itannya dengan hubungan dagang melalui laut antara Indonesia dan Cina, terdapat indikasi bahwa bangsa Cina hanya mengenal pengiriman barang oleh bangsa Indonesia dan bukan bangsa Persia atau India .” Cosmas Indicopleustes, pada paruh pertama abad ke 6, mencatat bahwa Sri Langka memegang posisi sentral dalam perdagangan Persia, barang-barang di bawa dari Sri Langka ke Cina – yang pada saat itu tidak menggunakan kapal-kapal Persia, melainkan kapal-kapan Kun-lun dari wilayah Kepulauan Indonesia. 40 Pada abad ke 7, peziarah bangsa Cina terkenal, I Tsing pergi ke India menaiki kapal yang disediakan penguasa Sumatra. Pada masa itu para pedagang Kun-lun (Sumatra) juga sudah berlayar tiap tahun menuju Kanton. Menurut catatan resmi Dinasti Tang menyatakan bahwa awal tahun 618 M, telah ada penempatan orang Arab di Canton, dan Van Leur menyatakan bahwa perkampungan ini kemudiaan menjadi perkampungan yang dikuasai oleh orang Islam. Selanjutnya al-Attas menyatakan bahwa orang-orang Arab ini tentu telah mewujudkan bentuk penempatan dan organisasi sosial serupa di sekitar Kedah, Aceh ataupun Palembang (Sumatra).41 Dari penelitian ini, dapat difahami bahwa bangsa Arab, terutama dari sekitar Jazirah Arabia, Mesir, Aden, Hadramawt, Oman, Kana‟an, Syam dan sekitarnya telah datang, sebagiannya bermukim, menikah, beranak pinak dan membuat komunitas serta perkampungan terutama di sekitar pesisir pulau Sumatra jauh sebelum kedatangan Islam sebagai dampak arus perdagangan yang semakin ramai antara Timur Tengah-Sumatra dan Sumatra-Cina. Diketahui bahwa keturunan Arab ini tetap mempertahanankan bahasa asal dan peradaban awal mereka, termasuk kepercayaan monotheisme tentang Allah sebagaimana diajarkan agama Ibrahim as yang menjadi kepercayaan bangsa Arab pra-Islam yang dikenal sebagai orang-orang tha shi oleh orang Cina yang telah bermukim di Canton sebelum kedatangan Islam. Asumsi ini diambil dari beberapa hasil penelitian arkeologis di sekitar utara Sumatra dan Semenanjung 38
39
40 41
Lihat juga: Peter Bellwood, Man‟s Conquest of the Pacific. The Prehistory of Southeast Asia and Oceania , New York: York: Oxford University Press. 1979. Peter Bellwood, Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago, Archipelago , Orlando, Florida: Academic Press. 1985. Tibbetts; Pre Islamic Arabia and South East Asia , JMBRAS, 19 pt. 3, 1956, hal. 207. Dr. Ismail Hamid “Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam” .Jakarta: Pustaka Al-Husna cet. 1, 1989, hal. 11). Oliver W. Wolter, Eraly Indonesian Commerce: a study of the origins of Srivijaya. Cornell U. Pres. 1967. SNM. Al-Attas, Preliminary Statement on A General Theory of the Islamisation the Malay-Indonesian Archipelago, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1969, hlm. 11. Lihat juga karya terbaru Beliau, Historical Fact and Fiction, CASIS-UTM Press, Kuala Lumpur, 2011. hlm. 1-2. 26
Malaysia, termasuk kesimpulan Hikayat Melayu yang menghubungkan kepercayaan komunitas Sumatra-Melayu dengan dakwah monotheisme Iskandar Zulkarnain. 42 Para Sodagar, pedagang dan pelaut dari Jazirah Arabia, Yunani-Romawi, Cina, Hindia dan lainnya yang hilir mudik inilah yang ditengarai sebagai nenek moyang m oyang sodagar Nusantara, tentunya selain yang berasal dari Nusantara sendiri sebagaimana dijelaskan terdahulu. Di Sumatra, telah berkembang sebuah bangsa yang menamakan dirinya berdasarkan nama bangsa dan peradaban besar masa itu, yaitu bangsa ACEH, sebagai akronim dari Arab, Cina, Eropah dan Hindi. Diyakini bahwa percampuran genetik sodagar Nusantara asli yang telah berkembang sejak ribuan tahun dengan para sodagar dari Timur Tengah, Eropa dan sekitarnya di kepulauan Sumatra, Jawa, Sulawesi sampai Maluku dan Papua telah melahirkan sebuah genetik unggul Sodagar Nusantara yang telah mengalami proses internasionalisasi genetik, peradaban, pengetahuan maupun jaringannya. Keturunan unggul para sodagar Nusantara inilah yang nantinya akan menjadi cikal bakal sebuah komunitas baru yang akan mempengaruhi perkembangan peradaban di Nusantara Raya. Di Aceh-Sumatra pengaruh bangsa Arab lebih menonjol dibandingkan dengan bangsa lainnya, sehingga secara umum orang Aceh lebih banyak mirip perwajahan Arab dari pada suku-suku lainnya di Indonesia. Letak geografi Aceh sebagai pulau yang paling dekat dengan dunia Arab menjadi bukti kuat hubungan ini juga. Maka tidak mengherankan apabila wajah-wajah orang Aceh lebih mirip dengan orang Arab, baik Arab sebelum datangnya Islam dari kawasan Mesir, Yaman dan sekitarnya, ataupun Arab setelah kedatangan Islam yang diketahui dari Jazirah Arabia, Yaman, Baghdad ataupun bangsa Arab yang sudah bermukim di India. Kearaban mereka diketahui dari silsilah keturunan mereka yang masih bersambung dengan bangsa Arab keturunan dari Nabi Muhammad ataupun Nabi Ismail dan Nabi Ibrahim. Dari beberapa sumber penelitian yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu, dapat difahami bahwa para sodagar dan pelaut Nusantara telah mendatangi Jazirah Arabia jauh sebelum kedatangan Islam ataupun Kristen. Bahkan komoditas utama mereka seperti cengkeh, kayu manis, dan terutama kafur dari Barus sangat terkenal dan digemari bangsawan YunaniRomawi ataupun Mesir. Mereka berdagang sejak ratusan tahun sebelum masehi dengan pengetahuan navigasi kelautan yang mereka kuasai dari Sumatra melalui India menuju Mesir atau Afrika melalui bandar pelabuhan transit yang terkenal di Aden yang sekarang menjadi wilayah Yaman. Sementara Aden adalah kota yang sangat terkenal sebagai kota pelabuhan transit tempat singgahnya para pedagang dan pelaut, p elaut, termasuk sodagar Nusantara yang sangat terkenal tentunya. Ditengarai para sodagar Nusantara dengan para pelaut dan perahunya telah mengharungi samudra luas, menjelajahi pelabuhan-pelabuhan utama di India, Persia, Jazirah Arabia, Mesir sampai Afrika Selatan sebelum kedatangan Islam di pulau Sumatra. Kegigihan mereka menjelajah dunia telah menjadikan wilayah Nusantara sebagai kawasan transit perdagangan internasional yang sangat kosmopolis, yang pada akhirnya menempatkan wilayah Sumatra, terutama Aceh sebagai tempat pertemuan peradaban-peradaban besar dunia, baik dari Yunani-Romawi, Mesir, India maupun Cina. Geografis Aceh yang sangat strategis telah menjadikannya sebagai wilayah transit perdagangan para sodagar dunia, yang pada akhirnya melahirkan masyarakat kosmopilis Aceh yang terdiri dari berbagai ras bangsa, Arab, Cina, Eropah dan Hindi (ACEH). Setelah kedatangan Islam, sebuah agama yang diserukan oleh seorang sodagar besar Arabia, Nabi Muhammad saw, serta mendapat dukungan luas para sodagar utama di Jazirah 42
Lihat A.J. Halimi, Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu, Kuala Lumpur, Utusan Publ. 2008. hlm. 60-144 27
Arabia, maka sodagar Nusantara yang telah berada di pelabuhan Aden Yaman, secara otomatis telah berinteraksi dengan agama baru ini. Apalagi sebelum di angkat menjadi Rasul, Nabi Muhammad saw diketahui beberapa kali mengunjungi wilayah Yaman ini untuk melakukan perdagangan. Tentu sebagai seorang sodagar besar berpengaruh di Jazirah Arabia, Nabi Muhammad telah berhubungan dagang dengan para sodagar dari Sumatra, termasuk dari Barus, Fansur dan sekitarnya. Dalam beberapa hadits, diriwayatkan Nabi Muhammad telah menyebut keutamaan kaum dari sebelah timur ( qaum min masyriq). Setelah Nabi Muhammad saw diangkat menjadi Rasul dan berhijrah ke Madinah, diketahui beliau saw telah mengutus seorang pemuda cerdas sebagai missionaris sekaligus refresentatitive beliau ke Yaman. Dia bernama Muadz bin Jabal yang melegenda itu, karena al-ra‟yi dido‟akan Rasul segala langkah perjuangannya, dan disebut sebagai tokoh utama ahl al-ra‟yi (ahli nalar) dalam hukum Islam. Kegiatan sahabat Muadz tidak banyak diceritakan di sekitar Yaman, yang pada masa itu terkenal sebagai kota perdagangan internasional, terutama kota pelabuhan Aden. Namun para sahabat menceritakan ketika ketibaan Muadz di Madinah pada masa Khalifah Umar bin Khattab, yang disebutkan sangat kaya raya sebagai hasil perdagangannya selama di Yaman. Jadi selama hampir 10 tahun Muadz di Yaman, sebagai seorang missionaris sekaligus pedagang ulung, tidak pernah diceritakan interaksi beliau dengan para sodagar Nusantara yang sangat terkenal itu?. Ketika menghadapi kebuntuan data dalam masalah ini, saya mengambil falsafah sejarah yang dicanangkan Prof. al-Attas sebagaimana disebutkan Prof. Wan M. Nor, bahwa akibat kurangnya data-data sejarah masa lampau di Nusantara, maka penjelasan tentang peristiwaperistiwa lampau harus bergantung banyak kepada kaidah-kaidah akliah (logic), bukan hanya kepada kaidah indrawiah ( empirical). Menurut hemat saya, secara logika, telah terjadi interaksi sahabat Muadz bin Jabal dengan para sodagar Nusantara, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui para murid-murid beliau yang pasti sudah berada di sekitar pelabuhan internasional Aden pada masa itu. Karena karakteristik seorang muslim, apapun profesinya adalah seorang pendakwah jua, sebagaimana perintah Rasul: ”sampaikan dari ajaranku walaupun satu ayat”. Adalah mustahil bagi kaum muslimin angkatan pertama menyalahi perintah Rasul, terutama bangsa Arab yang berwatak lurus dan jujur, akan menyampaikan apa adanya ajaran Rasulnya kepada seluruh manusia, bahkan kepada Maharaja sekalipun, sebagaimana diceritakan para ahli sejarah Islam. Maka berdasarkan pada logika ini, saya menyimpulkan bahwa terdapat para sodagar Nusantara yang tercerahkan, dan pada akhirnya akhirnya telah menerima ajaran Islam karena ketinggian ajaran Islam ataupun karena akhlak mulia para pembawanya. Ketika mereka pulang ke Nusantara, merekapun mengajarkan pengetahuannya yang diterimanya, walau hanya satu ayat dan menyebarkan keagungan ajaran Islam di kalangan masyarakatnya di Nusantara. Maka pada saat itu, sebelum Rasulullah saw meninggal, proses Islamisasi Nusantara telah dimulai yang dipelopori para sodagar dan pelaut agung Nusantara, dan tentunya mendapat dukungan luas para sodagar Arab yang juga telah menerima Islam sebagai agamanya. Atas dasar Islam, telah terjadi kolaborasi (ta‟awun) antara sodagar Arab dengan sodagar Nusantara dalam menyebarkan Islam di sekitar kepulauan Nusantara, bukan hanya di kepulauan Sumatra atau Semenanjung Melayu saja, tapi diyakini menjangkau wilayah Sulawesi (Wajok) sampai Maluku sebagai tempat asal para sodagar ini sebagaimana disebutkan para peneliti terdahulu. Para sodagar biasanya lebih fleksibel dalam pengajaran Islam daripada kaum sufi (bathini) misalnya yang menuntut kedalaman makna dan penyucian batin. Demikian pula, kaum sodagar lebih mudah diterima masyarakat luas, terutama para penguasa dan elit politik karena atas dasar pertimbangan ekonomis. Itulah sebabnya tidak mengherankan apabila Nabi 28
Islam, Muhammad saw dibangkitkan dari kalangan sodagar s odagar dan kebanyakan para pendukung utamanya adalah para sodagar jua, seperti Abu Bakar, Umar, Usman, Thalhah, Zubair, Hamzah, Arqam dan istri beliau Khadijah. Para sodagar inilah yang dengan kekuatan hartanya menjalankan dakwah Islam, sekaligus membangun jaringan jama‟ah yang akan menguatkan perdagangan mereka. Kebangkitan Islam yang spektakuler, terutama pasca futuhat telah mendorong para sodagar memeluk Islam dan berkoalisi dengan kekuatan dunia baru Islam yang muncul di Madinah dan telah menyebar ke dunia Arab, Romawi, Persia sampai Eropa. Para sodagar Nusantara yang sebelum kedatangan Islam terkenal keuletannya dalam dunia perdagangan, setelah memeluk agama Islam yang mengajarkan tentang kegigihan (jihad) tentu bertambah keuletannya dalam menjalankan perdagangannya ke seluruh penjuru dunia. Kini mereka bukan hanya sebagai sodagar, namun sekaligus pendakwah Islam yang membawa kebenaran dan misi pembebasan umat manusia dari penghambaan sesama makhluknya. Islamisasi yang semakin meluas di Jazirah Arabia, India sampai Afrika maupun Nusantara telah memperluas jaringan perdagangan sodagar Nusantara di bawah jalinan persaudaraan Islam dalam perlindungan para penguasa Muslim. Pengaruh para sodagar Nusantara kemudian memberikan jalan kepada para pendakwah untuk menyebarkan Islam dan secara bersama mereka mendirikan kerajaan-kerajaan Islam sebagai penaung dakwah dan sekaligus patron dalam perdagangan. Maka berdirilah Kerajaan Islam di Jeumpa, Barus, Fansur, Perlak, Pasai, dan sekitarnya di wilayah Sumatra yang menjadi pusat Islamisasi pertama di Nusantara. 2. Teori Barus-Fansur Aceh Barus-Fansur adalah tempat yang dikaitkan dengan penghasil kayu kamper sebagai penghasil kapur (kamfer atau al-kafur dalam bahasa Arab) terdapat dalam banyak sumber asli Arab, Persia, dan China dalam berbagai buku perjalanan, botani, kedokteran, kedokteran, dan pengobatan. pengobatan. Kapur , yang dalam bahasa Latin disebut camphora, camphora , merupakan bagian dalam (inti) kayu kamfer yang padat berisi minyak yang harum. Masyarakat pra-Islam telah mengenal kafur yang masyhur itu, hal ini dibuktikan dengan penemuan penggunaan kata kafur yang disebut berkali-kali dalam syair-syair Arab sebelum lahirnya Nabi Muhammad SAW.43 Dalam karya dua orang sejarawan, Ibn al-Atir (wafat tahun 1233 M), dan Ibn al-Baladuri (wafat tahun 1473) tercatat bahwa pada tahun 16 H/637 M, sewaktu perebutan ibu kota Dinasti Sassanid, yaitu Ctesiphon, orang-orang Arab menemukan kamper/kafur yang dikira garam di antara rempah-rempah dan wangi-wangian. wangi-wangian.44 Ibn Gulgul, abad ke-10 M, seorang ahli biobibliografi dan ilmu kedokteran dari Andalusia, mencata kafur atau kamfer dalam 63 bahan obat-obatan baru yang belum dikenal sebelumnya sebagai obat, kecuali hanya pewangian dan alat-alat ritual semata di agama-agama paganisme. Ibn Sarabiyun pada abad ke-10 juga mulai memperkenalkan zat yang sangat ampuh ini. Ibn al-Baytar yang mengutip Ishaq ibn Imran yang hidup awal abad ke-9 M juga melakukan hal yang sama. Ketiganya melalui serangkaian eksperimen yang dilakukan berhasil menjelaskan berbagai fungsi dan kegunaan kafur dengan berbagai campuran untuk khasiat yang berbeda-beda. Fungsinya dalam berbagai bentuk olahan diantaranya adalah, sebagai balsem, penghobatan kandung empedu, radang hati, demam tinggi, berbagai penyakit mata, sakit kepala akibat liver, memperkuat organ dan indra, mengontrol syaraf, pembiusan alami, pendarahan, menguatkan gigi, dan lain-lain. Al-Kindi, salah seorang intelektual Arab, menyebutkan kapur barus sebagai salah satu unsur penting untuk membuat wangi-wangian. 43 44
Lihat: artikel "Kafur", "Kafur", A. Dietrich, Ensiklopedia Islam (E.I) 2 hal: 435-436. W. Heyd, Histoire du commerce du Levant [Sejarah Perdagangan di Kawasan Syria-Libanon] , edisi Prancis yang disusun kembali oleh Furcy Raynand, Amsterdam: Adolf M, Hakkert, 1967, tambahan I, hal 590). 29
Sekitar abad ke-8, kapur barus merupakan salah satu dari lima rempah dasar dalam ilmu kedokteran Arab dan Persia. Empat unsur yang lain adalah kesturi, ambar abu-abu, kayu gaharu, dan safran. Pada zaman Abbasiyah, hanya orang kaya dan para pemimpin saja yang menggunakan pewangi dari air kapur barus untuk cuci tangan selepas perjamuan makan. Ibnu Sina atau yang dalam literatur Eropa dikenal sebagai Aveceena, dalam bukunya yang terkenal tentang ensiklopedia pengobatan dan obat-obatan, al-Qanun Fi al-Tib, mencatat manfaat kamfer sebagai obat penenang dan mendinginkan suhu badan yang tinggi. Kamfer juga dipakai sebelum dan sesudah pembedahan, pembedahan, sebagai obat liver, obat diare, sakit kepala, mimisan, dan sariawan. Aviceena menulis: "Jika kafur dipakai sedikit, maka obat ini dapat membantu menenangkan, karena bahan ini dingin. Kadang kala obat ini menurunkan suhu badan yang tinggi akibat badan kurang sehat karena lemah. Efek yang menguatkan dan menenangkan ini disertai efek harumnya. Efek pendinginannya dikurangi dengan kasturi dan ambar, dan kekeringannya dikurangi dengan minyak wangi dan pelunaknya, misalnya minyak cengkeh dan minyak bunga berwarna ungu lembayung. Kafur merupakan penangkal racun, khususnya racun panas. Berkat kafur pikiran menjadi lebih tajam dan terang; oleh karena itu kafur menguatkan dan menyenangkan. Efeknya serupa ambar kuning, tetapi lebih kuat dan lebih bermanfaat."45 Selain bangsa Arab, bangsa Persia juga berdatangan untuk meneliti kegunaan kafur dari Fansur ini. Buku tertua mengenai ilmu kedokteran yang ditulis dalam bahasa Persia adalah buku Muwaffak al-Din Abu Mansur Ali al-Harawi (abad ke-10 M), yang berjudul Kitab al Abniya 'an haqa'iq al-Adwiya [Buku mengenai dasar dan kebenaran obat-obatan asli]. Dalam bukunya yang berjudul Hidayat al-muta'alimin fi al-tibb (Panduan untuk mahasiswa ilmu kedokteran), al-Bukhari (abad ke-10) seorang mahasiswa Harawi dan dokter terkenal al-Razi (abad ke-9 dan 10 M) berhasil mengembangkan kafur dalam berbagai bentuk resep, sebanyak 31 resep. Salah satunya adalah dalam penanggulangan penularan penyakit pes. Orang-orang Yunani telah terlibat secara intens dalam pengembangan ilmu kedokteran. Salah satu buku yang berhasil ditemukan seperti catatan Actius dari Amide dari abad ke -6 dan ke-7 M, menyebutkan kafur dalam karyanya Libri Medicinales. Salah satu surat pertama dari riga surat karya al-Kind yang berjudul al-rasail al-hikmiyya fi asrul al-ruhaniyya [Risalah-risalah Hukum tentang Rahasia-Rahasia Batin], dikatakan bahwa kafur milik Devi Venus dan digunakan dalam pengasapan yang dipersembahkan kepadanya. "Allah Yang Maha Kuasa telah menciptakan Venus dari cahaya dan kecerahan; Venus memberi kebaikan dalam semua posisinya … di antaranya batu maha yang dimilikinya; dalam badan manusia, perut dan usus yang dimilikinya; dalam abjad tiga huruf yang dimilikinya ('ain, ha dan kaf); di antara bahan murni untuk pengasapan yang dimilikinya terdapat: ambar abu-abu, qust, tanaman fagara, kafur, bunga mawar kering, laudanum." 46 Dijelaskan di Alf Layla wa layla (Seribu Satu Malam) oleh Sindbad, sang petualang yang terkenal: "Sesudah bangun keesokan harinya, kami pergi melewati gunung-gunung tinggi ke Pulau Riha yang kaya dengan pohon kafur. Setiap pohon dapat membayangi lebih dari 100 orang. Puncak pohonnya ditoreh dan air yang mengalir darinya dapat mengisi beberapa wadah. Kafur mulai menetes dan tetesannya mirip lem. Sesuadah itu kafur tidak meleleh lagi dan pohonnya menjadi kering." Riha adalah berarti kafur yang bermutu tinggi yang berarti alKafur al-Fansuri. Jadi Pulau Riha yang dimaksud adalah daerah Fansur.
45 46
Ibn Baytar, Traite des Simples par Ibn el-Beithar . el-Beithar . Terj. Dr. L. Leclerc, 3 jil. –Paris: 1881-1887. G. Celentano, L.V. Vaglieri, "Trois Epitres d'al-Kindi: textes et traduction avec XIX plaches facsimile des trois epitres" , dalam Annali dell Istituto universitario Orientale di Nipoli, jil 34, buku 3 (1974) hal 523-562. 30
Kapur barus juga dipakai untuk memandikan jenazah sebelum dikuburkan. Variasi penggunaan kapur barus ini menyebabkan nilai jualnya sangat tinggi. Manfaat kapur barus ini kemudian menyebar ke Yunani dan Armenia karena pada periode tersebut ilmu kedokteran dari Arab dan Persia menjadi acuan dunia. Di akhir abad ke-4 M, istilah "P'o-lu" yang berarti Barus mulai dikenal oleh Bangsa Cina. Istilah ini diketahui sebagai rujukan kepada seluruh wilayah utara Sumatera. Barulah pada akhir abad ke-9, seorang ahli geografi Arab, Ibn Khurdadhbih menyebutkan nama Ram(n)i: Ram(n)i: "Di belakang Serendib terletak daerah Ram(n)I, dimana hewan badak dapat ditemukan… Pulau ini menghasilkan pohon bambu dan kayu Brazil, akar-akar yang dapat digunakan sebagai obat anti racunracun mematikan…Di negeri ini juga tumbuh pohon-pohon pohon-pohon kapur kapur yang yang tinggi ,"47 Kira-kira pada abad yang sama, sebuah buku Akhbar al-Sin wa al-Hind juga menyebutkan nama Ramni: "Ramni (yang) terdapat didalamnya gajag-gajah dalam jumlah yang banyak berserta kayu Brazil dan bambu. Pulau itu dikelilingi oleh dua lautan..Harkand dan dan Salahit". Nama Ramni atau Ram(n)I, kemungkinan besar, dengan melihat peta dan posisi Sri Lanka atau Serendib, adalah Sumatera bagian utara dan lebih tepatnya lagi timur laut Aceh. (The sea of Harkand was the Bay of Bengal. Salaht (or Salahit) is believed to be derived from the Malay word selat or selat or Straits, i.e., what is now known as the Selat Melaka). 48 Abu Zaid Hasan pada tahun 916 M, saat dia menjelaskan penguasa Maharaja Zabaj (Sriwijaya) menyebut juga Ranmi: "nama pulau tersebut adalah Rami (Ramni) yang luasnya delapan ratus parasangs (From the Persian farsakh, it was approximately 3 Y2 miles in extent) di daerah tersebut. Di sana dapat ditemukan kayu Brazil, kapur dan tumbuhan lainnya."49 Pada tahun 943, Masudi Masudi mencatat: “Kira-kira “Kira -kira seribu parasangs (dari Serendib) masih terdapat sebuah pulau yang bernama Ramin (yakni Ramni) yang dihuni dan diperintah oleh raja-raja. Daerah tersebut penuh dengan tambang emas, dan dekat dengan tanah Fansur, yang menjadi asal kapur fansur , yang hanya dapat ditemukan di Fansur dengan jumlah yang besar dalam tahun-tahun yang penuh dengan topan dan gempa bumi. 50 'Ajaib al-Hind', yang ditulis tahun 1000 M, menjelaskan banyak referensi mengenai Lambri. Muhammad ibn Babishad melaporkan: melaporkan: ”Di Pulau Lamuri terdapat zarafa yang tingginya tidak terkira. Dikatakan bahwa pelaut-pelaut yang terdampar di Fansur, terpaksa harus pindah ke Lamuri. Mereka mengungsi di waktu malam karena takut dengan zarafa; karena mereka tidak muncul di siang hari… Di pulau ini juga terdapat semut-semut raksasa dalam jumlah besar, terutama di kawasan Lamuri ”.... "Lububilank, yang merupakan sebuah teluk, (Tibbetts identifies this with Lho' Belang Raya (Telok Balang), 5°32f N, 95°17' E. Ibid., p. 141) terdapat orang-orang yang memakan manusia. Orang-orang kanibal ini mempunyai ekor, dan menghuni tanah antara Fansur antara Fansur dan dan Lamuri." Lamuri." 51 Lambri dalam karya para ahli geografi Arab tidak dijelaskan lebih lanjut. Ramni juga disebutkan oleh Biruni pada tahun 1030. Nama tersebut juga ditulis dalam teks Dimashqi di tahun 1325 dalam buku Cowan,"Lamuri," hal. 421. Satu-satunya sumber India menyebutkan Lambri dalam transkrip Tanjore dari Bangsa Tamil dalam pemerintahan Rajendra Cola, dimana nama "Ilamuridesam yang sangat murka terlibat dalam perang" disebutkan bersama toponim lain sebagai daerah target-target penggempuran mereka pada tahun 1025. 52
47 48 49 50 51 52
Tibbetts, Arabic Tibbetts, Arabic Texts, Texts, hal. 27-28. Wolters, Early Indonesian Commerce, hal. 178) Tibbetts, Arabic Tibbetts, Arabic Texts, hal. 30 Ibid, Ibid, hal. 37-38 Ibid, hal. 44-45 K. A. Nilakanta Sastri, History of Srivijaya (Madras: University of Madras, 1949), hal. 80, 81. 31
Ahli geografi Cina Chou Ch'u-fei menulis, pada tahun 1178, nama Lan-li dimana kapalkapal dari Canton atau Guangdong sering merapat sambil menunggu bulan purnama untuk memudahkan mereka berlayar menuju Lautan India tepatnya Sri Lanka dan India. 53 Hampir lima puluh tahun kemudian, Chau Ju-kua menyebut Lan-wu-li, dan melaporkan bahwa; "Hasilhasil produksi kerajaan Lan-wu-li adalah kayu sapan (Brazilwood (Caesalpinia sappan, Linn.), gading gajah dan rotan putih. Penduduknya menyukai perang dan sering menggunakan panah beracun. Dengan angin utara, pelaut dapat berlayar selama dua puluh hari ke Silan…." 54 Dia selanjutnya mendukung informasi yang diberikan oleh Chou Ch'u-fei: ”Ta-shi ”Ta-shi terletak di Timur Laut dari Ts'uan-chou dengan jarak yang sangat jauh, jadi kapal-kapal asing kesulitan untuk melakukan pelayaran langsung. Setelah kapal-kapal tersebut meninggalkan Ts'uan-chou mereka akan berlayar terlebih dahulu selama empat puluh hari ke Lan'li, dimana mereka akan menyempatkan diri untuk berdagang. Tahun berikutnya akan kembali ke laut, dengan dukungan angin mereka akan menghabiskan enam puluh hari untuk melanjutkan perjalanan.55 Marco Polo, sekembalinya dari Cina ke Eropa tahun 1292, menyebutkan, selain Perlak yang sudah memeluk Islam, nama Lambri bersama lima kerajaan kafir lainnya. Dia menulis bahwa; "Penduduknya penyembah berhala, dan menyebut dirinya hamba Kaan yang agung. Mereka memiliki kapur dalam jumlah yang besar dan sejumlah spesis lainnya. Mereka juga memiliki kayu brazil dalam jumlah yang besar…" Di tahun 1284 dan juga tahun 1286, Lambri dilaporkan mengirimkan upeti kepada Dinasti Yuan di China. 56 Seorang musafir Persia, Rashiduddin, pada tahun 1310 menulis bahwa para sodagar dari berbagai negara sering datang ke Lamori, dan pada tahun 1323, Friar Odoric dari Pordenone menjelaskan bahwa Lambri merupakan pusat perdagangan di mana para saudagar dari negara-negara yang sangat jauh, dan kapur, emas dan pohon gaharu juga tersedia. Di sini dia kehilangan pandangan terhadap bintang utara. 57 Wang Ta-yuan pada tahun 1349, menulis tentang Nan-wu-li, Nan-wu- li, yang katanya: ”Tempat ini merupakan pusat perdagangan yang sangat penting di Nan-wu-li. Pegunungan raksasa bak gelombang terdapat dibelakangnya, terletak di pinggiran laut Jih-yueh wang yang sangat diragukan di sana ada tanah. Penduduk setempat hidup di sepanjang bukit, setiap keluarga tinggal di rumah masing-masing. Masing-masing lelaki dan wanita menggulung rambut mereka dalam sanggul di atas namun membiarkan bagian atas tubuh mereka terbuka, dan bagian bawah dibungkus sarung. Buminya sangat tandus, panennya sangat jarang, dan iklimnya sangat panas. Sebagai kebiasaan, mereka tunduk kepada bajak laut seperti orangorang di Niu-tan-his (Tumasek). Komoditas lokal adalah sarang burung, cangkang kura-kura, cangkang penyu dan kayu laka, yang sangat bermutu dalam hal aroma. Komoditas yang biasanya diperdagangkan di sini adalah emas, perak, aksesoris besi, bunga mawar, muslin merah, kapur , porcelin dengan desain biru dan putih dan lain-lain.” lain- lain.”58 Pada tahun 1365, Kronik Jawa, Negarakrtagama, Negarakrtagama, menggambarkan menggambarkan Lamuri sebagai negara yang tergantung tergantung kepada Majapahit.59
53 54
55 56 57 58 59
Almut Netolitzky, Das Ling-wai Tai-ta von Chou-chu-fei,( Weisbaden: Heiner Verlag, 1977), hal. 40-41) Friedrich Hirth and W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries , Entitled Chu-fan-chi (St. Petersburg: Imperial Academy of Sciences, 1911), hal. 72). Ibid, hal.114 Henry Yule and Henri Cordier, The Book of Ser Marco Polo , 2 vols. (Reprint, Amsterdam: Philo Press, 1975), 2:299) Ibid, hal. 300 ibid Th. C. Th. Pigeaud, Jam Pigeaud, Jam in the Fourteenth Century , 5 vols. (The Hague: Nyhoff, I960), 1:11 32
Ma Huan yang menulis pada awal tahun 1500an M, menyebutkan Nan-po-li, yang dikunjungi oleh kapal induk dinasti Ming, dengan nakhoda Cheng Ho: ”Kerajaan ini terletak di samping laut, dan penduduknya terdiri dari hanya seribu keluarga. Semuanya Muslim, dan mereka sangat jujur dan tulus. Di bagian timur teritori itu, terletak sebuah negeri bersama Litai, dan di bagian barat dan utara terletak lautan luas; jika anda pergi ke selatan, terdapat pegunungan; dan di bagian selatan pegunungan tersebut terletak lagi lautan. Ma Huan juga menyebutkan nama Pulau Wei, sebuah pulau sekitar sembilan mil lauty di lepas pantai Timur Laut Aceh yang juga terdapat pelabuhan alami yang bagus, sekarang terdapat pelabuhan Sabang. Pulau Wei sering disebutkan dalam sumber-sumber sejarah dan dalam terjemahan bahasa Cina bernama "pulau Hat". Ch'ieh-nan-mao, sebuah daerah penghasil kayu gaharu. 60 Ma Huan menggambarkan Pulau Wei: ”Terletak di arah laut Timur Laut Lambri, dimana terdapat pegunungan raksasa yang sangat curam, yang dapat dicapai dengan setengah hari perjalanan; namanya pegunungan Mao. Di bagian barat pegunungan ini, juga, terdapat lautan luas; ini namanya Samudra Barat yang disebut Samudra Nan-mo-li, kapal-kapal yang datang dari Samudra dari arah barat berlabuh di sini, dan mereka melihat pegunungan ini sebagai petunjuk arah. Di laut yang dangkal, sekitar dua cang dalamnya, di pinggir pegunungan, tumbuh pohon-pohon laut; penduduk di sana mengumpulkannya dan menjualnya sebagai komoditas yang berharga. Ini namanya karang. Kerajaan ini tunduk kepada jurisdiksi kerajaan Nan-po-li.61 Awal abad ke-16 M, Tome Pires memberikan gambaran yang lebih tepat mengenai lokasi Lambri. Dia mengatakan bahwa; "Aceh merupakan negara pertama di bagian pulau Sumatera, dan Lambri benar-benar di bagian kanannya, yang terletak menjorok ke darat dan tanah Biar terletak antara Aceh dan Pidie, dan sekarang negeri-negeri ini tunduk kepada Aceh dan memerintah di kedua wilayah tersebut dan dialah raja satu-satunya di sana. Raja ini adalah Moo…". 62 Istilah Lambri dan beberapa versi lainnya biasanya ditujukan kepada seluruh pantai utara Aceh, nampaknya hal tersebut di atas menunjukkan pada titik tertentu yang menjadi informasi kepada pelayaran yang aman dari ombak Teluk Bengal, sebuah sumber air segar. Buku Hikayat Atjeh juga memberikan petunjuk. Pada halaman 17 dari manuskrip tersebut, diterbitkan oleh Teuku Iskandar, terdapat sebuah petunjuk mengenai Lambri, "teluk Lambri". 63 Chau Ju-kua tidak menyebutkan kapur diperdagangkan di Lambri, tapi diduga bahwa Ujung Pancu dan Kuala Pancu di Lhok Lambro dekat banda Aceh kemungkinan besar sangat berhubungan dengan Fansur. Kapal-kapal yang harus memutar di Ujung Pancu, harus melalui Lambri ke Barus. Nama Lambri dan Barus, makanya, sering dibingungkan dalam pelayaran kuno karena eratnya kedua kota ini. Sementara Chia Tan yang menulis buku pada era awal abad ke-8, menyebutkan pelabuhan P'o-lu, merupakan daerah yang kaya dengan emas, mercury dan kapur . Pelabuhan tersebut merupakan titip kepergian bagi kapal-kapal yang datang dari Sriwijaya barat melalui Samudera India ke Sri Langka.64 Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang ahli Georafi dan Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera yang menjadi jalan ke Tiongkok terdapat 60 61 62 63 64
Mills, Ma Mills, Ma Huan, Huan, hal 122-123. Ibid, hal. 123-124 ibid T. Iskandar, Hikayat Atjeh, op.cit. hal. 17 Friedrich Hirth and W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries , Entitled Chu-fan-chi (St. Petersburg: Imperial Academy of Sciences, 1911), hal. 72). W.P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia & Malaya Compiled from Chinese Source, Jakarta: Bharata , 1960, hlm. 280. 33
sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus. Disebutkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5000 tahun lalu. 65 3. Teori Kaafuro Dalam al-Qur’an Hubungan erat Nusantara dengan dunia Arab juga dapat ditelusuri dari beberapa kata di dalam al-Qur‟an. al-Qur‟an. Sebagaimana diketahui alal -Qur‟an adalah kumpulan wahyu Allah Al lah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantaraan malaikat Jibril as sejak pertama diangkat menjadi Nabi di Gua Hira‟ sampai beliau wafat di Madinah pada tahun 10 Hijriah. Sampai saat ini tidak ada satupun manusia yang dapat menyanggah bahwa al- Qur‟an dengan segala kemukjizatannya bukan berasal dari Allah Sang Pencipta. Karena mana mungkin seorang yang buta huruf seperti Nabi Muhammad dapat membuat sebuah kitab agung yang memiliki gaya bahasa Arab tertinggi dan tidak mampu dijangkau oleh seorang pujangga teragung sekalipun. Karena al-Qur‟an al- Qur‟an bukan hanya kitab sastra, tapi kitab hukum, undang-undang, pengetahuan, politik dan seterusnya yang disampaikan dengan untaian indah. Terlalu banyak makhluk yang tertegun dengan keindahan al- Qur‟an.66 Telah disepakati para Ulama, bahwa al-Qur‟an al- Qur‟an diturunkan dalam bahasa Arab, sebagaimana dinyatakan al-Qur‟an al- Qur‟an sendiri. Namun bahasa Arab alal -Qur‟an adalah bahasa Arab tertinggi yang telah melahirkan gramatika bahasa Arab kontemporer. Para ulama juga berpendapat ada beberapa kata al-Qur‟an al-Qur‟an yang bukan berasal dari bahasa Arab asli, namun bahasa non Arab yang sudah banyak digunakan dan dimengerti oleh masyarakat Arab. 67 Salah satu bahasa Melayu-Nusantara yang sudah tersebar di dunia Arab, termasuk Mesir sejak zaman za man kekuasaan Ramses (Fir‟aun) adalah kafur. Sebagaimana dijelaskan terdahulu dalam teori kafur Barus, bahwa kafur min barus adalah sebuah komuditas mewah wangiwangian yang berasal dari inti kayu kamfer yang dalam bahasa latin dikenal dengan champora. Tidak diragukan bahwa penghasil terbesar kapur zaman itu adalah wilayah yang terletak di ujung barat pulau Sumatera, yang sekarang berada di wilayah Aceh. Bahkan dalam teori terdahulu telah disebutkan banyak dalil tentang Barus-Fansur awal, yang berada di sekitar Lamuri-Aceh. Pada al-Qur‟an al-Qur‟an surat al-Insan al -Insan (76) ayat ke 5 menyebutkan: Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan akan meminum dari gelas, minuman yang dicampur kafur . Kebanyakan mufassirin dalam tafsirnya masing-masing seperti Ibn. Abbas, Jalalain, al-Qurthubi, Ibn Katsir dan lain-lainnya, mengartikan kafur sebagai campuran dari minuman yang merehatkan, nikmat, yang dapat membuat tenang dan biasanya dijadikan obat. Walaupun ada yang menyebutkan sebagai nama mata air di syurga. Pendapat pertama lebih banyak dirujuk mengingat penggunaan kafur yang sudah umum sebagai bahan obat-obatan, wangi-wangian dan bahan perisa di dunia Arab pra-Islam seperti di Alexenderia Mesir dan lainnya. Namun hampir semuanya sepakat bahwa kata ini bukan asli bahasa Arab, sebagaimana disebutkan Ibn Manzhur dalam Lisan al-Arab karena tidak ditemukan dalam bahasa Arab Jahiliyah atau bahasa Arab purba. Maka dengan demikian, tidak diragukan bahwa kata kafur yang dimaksudkan alQur‟an adalah kapur dari Barus sebagai lambang lam bang kemewahan zaman itu. 65
66 67
N.J. Krom, Zaman Hindu, terjemahan Arief Effendi, Jakarta: Pembangunan, 1956, hal. 10-12. D.G.E. Hall, A History of South East Asia, London: Macmillan & Co. Ltd., 1960, hlm. 1-5. D.H. Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm. 15. Lihat misalnya, al-Wahyu al-Muhammady, oleh M. Rasyid Ridha Lihat misalnya, Mafhum misalnya, Mafhum fie Ulum al-Qur‟an, al- Qur‟an, Ash-Shabuni 34
Kata "kafur", menurut Karel Steenbrink, secara pasti bukan istilah Arab. Akar kata "kafara" bisa berarti menghindari atau tidak berterima kasih. Sedangkan kata "kafur", yang berarti kapur barus atau kamper, berasal dari bahasa Melayu. Steenbrink menyimpulkan bahwa kata "kafur" bukan hanya penghubung secara etimologis antara al-Qur'an dan Nusantara, tetapi juga komoditas yang sejak abad ke-7 telah dibawa oleh pedagang Muslim dari Nusantara.68 4. Teori Champa (Jeumpa) Versi Raffles Gubernur Jendral Hindia Belanda dari Kerajaan Inggris yang juga seorang peneliti sosial, Sir TS. Raffles dalam bukunya The History of Java, menyebutkan bahwa Champa yang terkenal di Nusantara, bukan terletak di Kambodia sekarang sebagaimana dinyatakan oleh para peneliti Belanda. Tapi Champa adalah nama daerah di sebuah wilayah di Aceh, yang terkenal dengan nama ”Jeumpa”. Champa adalah ucapan atau logat Jeumpa dengan dialek ”Jawa”, karena penyebutannya inilah banyak ahli yang keliru dan mengasosiasikannya dengan Kerajaan Champa di wilayah Kambodia dan Vietnam sekarang. Jeumpa yang dinyatakan Raffles sekarang berada di sekitar daerah Kabupaten Bireuen Aceh. 69 ”Champa” biasanya dihubungkan dengan sebuah peristiwa pada zaman kerajaan Majapahit, terutama terutama pada masa pemerintahan Prabu Prabu Brawijaya V yang memiliki memiliki seorang istri yang dikenal dengan ”Puteri Champa” sebagaimana disebutkan d alam Babad Tanah Jawi, yang nama lainnya Anarawati (Dwarawati) yang beragama Islam. Puteri inilah yang melahirkan Raden Fatah, yang kemudian menyerahkan pendididikan putranya kepada seorang keponakannya yang dikenal dengan Sunan Ampel (Raden Rahmat) di Ampeldenta Surabaya. Sejarah mencatat, Raden Fatah menjadi Sultan pertama dari Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang mengakhiri sejarah Kerajaan Hindu-Jawa Majapahit. 70 Para ahli sejarah memperkirakan Maulana Malik Ibrahim berada Champa sekitar 13 tahun, antara tahun 1379 sampai dengan 1392. 71 Untuk memastikan dimanakah Champa yang telah ditinggali Maulana Malik dan saud ara iparnya ”Putri Champa”, maka perlu diselidiki bagaimanakah keadaan Champa waktu itu, baik yang berada di Aceh maupun Kambodia. Menurut beberapa catatan, Champa di Kambodia masa itu sedang di perintah oleh Chế Bồng Nga antara tahun 1360-1390 Masehi, dikenal dengan The Red King (Raja Merah) seorang Raja terkuat dan terakhir Champa Champa.. Tidak diketahui apakah Raja ini Muslim atau Budha sebagaimana mayoritas penduduk Kambodia masa ini dengan banyak peninggalan kuilkuilnya. Beliau berhasil menyatukan dan mengkordinasikan seluruh kekuatan Champa pada kekuasaannya, dan pada tahun 1372 menyerang Vietnam melalui jalur laut. Champa berhasil memasuki kota besar Hanoi pada 1372 dan 1377. Pada penyerangan terakhir tahun 1388, dia dikalahkan oleh Jenderal Vietnam Ho Quy Ly, pendiri Dinasti Ho . Che Bong Nga meninggal dua tahun kemudian pada 1390. Tidak banyak catatan hubungan Penguasa Champa ini dengan Islam, apalagi tidak didapat bekas-bekas kegemilangan Islam, sebagaimana yang ditinggalkan para pendakwah di Perlak, Pasai ataupun Malaka. 72
68 69
70 71 72
Karel Steenbrink, Pondok Pesantren, Jakarta: LP3ES, Sir Thomas Stamford Raffles, The History of Java, from the earliest Traditions till the establisment of Mahomedanism . Published by John Murray, Albemarle-Street. 1830 . Vol II, 2nd Ed, Ed, Chap X, hal. 74. 122 JJ. Meinsma,. Serat Babad Tanah Jawi, Wiwit Saking Nabi Adam Dumugi ing Tahun 1647 . 1647 . S'Gravenhage, 1903 Lihat :Umar Hasyim, Riwayat Maulana Malik Ibrahim. Ibrahim . Semarang:Menara Kudus. 1980. Lihat misalnya: D.R. SarDesai, Vietnam, Trials and Tribulations of a Nation. 1988. ppg 33-34,. David P. Chandler, A History of Cambodia (Boulder: Westview Press, 1992.) George F. Hourani " Arab " Arab Seafaring" Seafaring " Princeton University Press, New Jersey, 1979. Nicholas Tarling, "The Cambridge History of Southeast Asia" vol.1 Cambridge University Press, Cambridge, 1992. Lafont, P. B., "Aperçu sur les relations entre le Campa et l'Asie du Sud-Est, " Actes du Séminaire sur le Campa organisé à l'Université de 35
Sementara menurut catatan sejarah, yang terkenal dengan Sultan Cam atau Champa adalah Wan Abdullah atau Sultan Umdatuddin atau Wan Abu atau Wan Bo Teri Teri atau Wan Bo saja, memerintah pada tahun 1471 M - 1478 M. Menurut silsilah Kerajaan Kelantan Malaysia, silsilah beliau adalah : Sultan Abu Abdullah (Wan Bo) ibni Ali Alam (Ali Nurul Alam) ibni Jamaluddin Jamaluddin Al-Husain (Sayyid Hussein Jamadil Jamadil Kubra ) ibni Ahmad Syah Jalal ibni Abdullah ibni Abdul Malik ibni Alawi Amal Al-Faqih Al-Faqih ibni Muhammas Muhammas Syahib Mirbath Mirbath ibni „Ali Khali‟ Qasam ibni Alawi ibni Muhammad ibni Alawi ibni Al-Syeikh Ubaidillah i bni Ahmad Muhajirullah ibni „Isa Al Rumi ibni Muhammad Naqib ibni „Ali Al -Uraidhi ibni Jaafar As-Sadiq ibni Muhammad Al-Baqir ibni „Ali Zainal Abidin ibni Al-Hussein Al -Hussein ibni Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah SAW. Jadi beliau adalah anak saudara dari Maulana Malik Ibrahim, yaitu anak dari adik beliau bernama Ali Nurul Alam. Wan Bo atau Wan Abdullah ini juga adalah bapak kepada Syarief Hidayatullah, pengasas Sultan Banten sebagaimana silsilah yang dikeluarkan Kesultanan Banten Jawa Barat: Syarif Hidayatullah ibni Abdullah (Umdatuddin) ibni Ali Alam (Ali Nurul Alam) ibni Jamaluddin Al-Hussein (Sayyid Hussein Jamadil Kubra) ibni Ahmad Syah Jalal dan seterusnya seperti di atas. 73 Pertanyaannya, kapan dan dimana sebenarnya Kerajaan Champa yang dipimpin oleh Raja Champa yang menjadi mertua Maulana Malik Ibrahim, yang menjadi ayah kandung ”Puteri Champa”. Padahal jika dikaitkan dengan fakta di atas, mustahil mertua Maulana Malik atau ayah ”Puteri Champa” itu adalah Wan Bo (Wan Abdullah) karena menurut silsilah dan tahun kelahirannya, beliau adalah pantaran anak saudara Maulana Malik yang keduanya terpaut usia 50 tahun lebih. Raden Rahmat (Sunan Ampel) sendiri lahir pada tahun 1401 di ”Champa” yang masih misterius itu. Boleh jadi yang dimaksud dengan Kerajaan Champa tersebut bukan Kerajaan Champa yang dikuasai Dinasti Ho Vietnam, tapi sebuah perkampungan kecil yang berdekatan dengan Kelantan?. Inipun masih menimbulkan tanda tanya, dimanakah peninggalannya?. Bahkan ada pula yang mengatakan Champa berdekatan dengan daerah Fatani, Selatan Thailand berdekatan dengan Songkla, yang merujuk daerah Senggora zaman dahulu. 74 Untuk mendukung Teori Raffles bahwa Champa yang dimaksud bukan di Vietnam sekarang, tetapi di wilayah Jeumpa Bireuen Aceh, ada beberapa dalil yang dapat dapa t dikemukakan, dikemukakan, antara lain; Sebuah penelitian Martin Van Bruinessen telah memetik tulisan Saiyid „Al -wi Thahir alHaddad, dalam bukunya Kitab Kuning, Pesantren ..“Putra Syah Ahmad, Jamaluddin dan saudara-saudaranya konon telah mengembara ke Asia Tenggara..... Jamaluddin sendiri pertamanya menjejakkan kakinya ke Kemboja dan Aceh, kemudian belayar ke Semarang dan menghabiskan menghabiskan waktu bertahun-tahun di Jawa, hingga akhirnya melanjutkan pengembaraannya ke Pulau Bugis, di mana dia meninggal.” (al -Haddad 1403 :8-11). Diriwayatkan pula beliau menyebarkan Islam ke Indonesia bersama rombongan kaum kerabatnya. Anaknya, Saiyid Ibrahim (bukan Maulana Malik Ibrahim) ditinggalkan di Aceh untuk mendidik masyarakat dalam ilmu keislaman. Kemudian, Saiyid Jamaluddin ke Majapahit, selanjutnya ke negeri Bugis, lalu meninggal dunia di Wajok (Sulawesi Selatan). Tahun kedatangannya di Sulawesi adalah 1452M dan tahun wafatnya 1453M”. Jadi tidak diragukan bahwa yang ke Kamboja itu adalah ayah Maulana Malik Ibrahim, Saiyid Jamaluddin yang menikah di sana dan menurunkan Ali Nurul Alam. Sedangkan mayoritas ahli sejarah menyatakan Maulana Malik
73 74
Copenhague, le 23 mai 1978 (Paris: 1988b) hal. 71-82. Manguin Pierre Yves, "Etudes cam II; l'introduction de l'Islam au Campa, " Bulletin de l'Ecole Française d'Extrême-Orient, Vol. LXVI (1979) hal.. 255-287. Lihat : Tun Suzanna Tun Hj.Othman dkk. Dinast-Dinastii Quraysh (Hasyimy) di Alam Melayu, Johor:tt. Lihat : Wan Muhammad Shagir Abdullah, Syekh Muhammad Arifin Syah, Utusan Melayu, 24 Juli 2006 36
Ibrahim lahir di Samarkand atau Persia, sehingga di gelar Syekh Maghribi. Beliau sendiri dibesarkan di Aceh dan tentu menikah dengan puteri Aceh yang dik enal sebagai ”Puteri Raja Champa”. Keadaan Champa Kambodia ketika zaman Maulana Malik Ibrahim sedang huru hara dan terjadi pembantaian terhadap kaum Muslim yang dilakukan oleh Dinasti Ho yang membalas dendam atas kekalahannya pada pasukan Khulubay Khan, Raja Mongol yang Muslim sebagaimana disebutkan terdahulu. Keadaan ini sangat jauh berbeda dengan keadaan Jeumpa yang menjadi mitra Kerajaan Pasai pada waktu itu yang menjadi jalur laluan dan peristirahatan menuju kota besar seperti Barus, Fansur dan Lamuri dari Pasai ataupun Perlak. Kerajaan Pasai adalah pusat pengembangan dan dakwah Islam yang memiliki banyak ulama dan maulana dari seluruh penjuru dunia. Sementara para sultan adalah diantara yang sangat gemar berbahas tentang masalah-masalah agama, di istananya berkumpul sejumlah ulama besar dari Persia, India, Arab dan lain-lain, sementara mereka mendapat penghormatan mulia dan tinggi.75 Dan Sejarah Melayu menyebutkan bahwa ”segala orang Samudra (Pasai) pada zaman itu semuanya tahu bahasa Arab. 76. Sejarah pergerakan dakwah Islamiyah Nusantara abad ke IX-XV Masehi, sebagaimana yang disepakati disepakati para ahli sejarah Islam Islam Nusantara, tidak pernah menyebutkan menyebutkan berpusat di di sekitar daerah Vietnam atau Indo-China sekarang, namun sebaliknya tercatat berpusat diantara Perlak, Pasai, Malaka, Lamuri, Barus, ataupun Fansur di wilayah Aceh, yang di tengahtengahnya terdapat Jeumpa, yang menjadi laluan dan tempat persinggahan yang banyak menyisakan kegemilang Islam. Sementara di Vietnam telah dibuktikan tidak banyak ditemukannya Sayyid, Syarief atau Maulana dan Makhdum serta Ulama-Ulama besar yang umumnya menjadi penggerak Islamisi. Juga tidak didapati peninggalan-peninggalan situs yang berhubungan dengan kegemilangan Islam, apakah berupa istana, maqam, ataupun skrip keislaman yang menjadi ciri khas peninggalan jejak peradaban Islam. Di samping itu, tidak didapatkan dalam sejarah bahwa Islam pernah gemilang di sekitar sana dengan mendirikan sebuah kerajaan Islam yang berperan. Karena tradisi dari para pendakwah akan mendirikan sebuah kerajaan atau mengislamkan kerajaan tersebut, atau menaklukkannya sebagaimana sejarah Perlak, Pasai, Malaka, Aceh Darussalam, Demak dan lainnya. Ada kemungkinan di Champa pernah tumbuh perkampungan muslim, namun hal ini tidak dapat dijadikan pegangan, karena yang dikatakan ”Puteri Champa” tentulah anak Raja Champa, demiki an pula disebutkan bahwa Sayyid Ibrahim anak dari Maulana Jamaluddin Akbar telah menikah dengan salah seorang puteri Raja di Champa Champa bernama Chandra Wulan, yang yang melahirkan Raden Rahmat (Sunan Ampel), yang juga kakanda dari Puteri Dharwati yang menjadi Permaisuri Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit. Dari segi geografis dan taktik-strategi perjuangan, kelihatannya mustahil para pendakwah, pendakw ah, khususnya khususnya gerakan Para Wali yang akan menaklukkan pulau Jawa bermarkas di sebuah perkampungan Muslim minoritas dekat Vietnam. Apalagi pada masa itu Champa sepeninggal Raja terakhirnya, Che Bong Nga (w.1390), sepenuhnya dikuasai Dinasti Ho yang Budha dan anti Islam berpusat di Hanoi. Maulana Akbar maupun Maulana Malik Ibrahim adalah Grand Master para Wali Songo , jika sasaran dakwahnya dakwahnya adalah pulau Jawa, sebagai basis kerajaan Hindu-Budha yang tersisa, terlalu naif memilih Champa sebagai markas pusat pergerakan baik menyangkut dukungan logistik, politik maupun ketentaraan. Sebagaimana dicatat sejarah, pada masa itu para Sultan dan Ulama, baik yang ada di Arab, Persia, India 75
76
A.H. Johns, “Islam in Southeast Asia: Reflections and New Directions”, Indonesia, Cornell Modern Indonesia Project, 1975, no.19 (April). Hal. 8 TD. Situmorang dan A. Teeuw, Sejarah Melayu, op.cit. hal. 168-173 37
termasuk Cina yang sudah dipegang penguasa Islam memfokuskan penaklukkan kerajaan besar Majapahit sebagai patron terbesar Hindu-Budha Nusantara. Kaisar Cina yang sudah Muslimpun mengirim Panglima Besar dan tangan kanan dan kepercayaannya, Laksamana Cheng-Ho untuk membantu gerakan Islamisasi Jawa. Sementara hubungan dakwah via laut pada saat itu sudah terjalin jelas menunjukkan hubungan antara Jawa-Pasai-Gujarat-PersiaMuscat-Aden sampai Mesir, yang diistilahkan Azra sebagai Jaringan Ulama Nusantara. Yang artinya, wilayah Aceh Jeumpa lebih mungkin berada di sekitar pusat gerakan dan lintasan jaringan tersebut daripada Champa Champa Kambodia. Kambodia. Adalah hal yang mustahil, seorang Wali sekelas Maulana Malik Ibrahim, bapak dan pemimpin para Wali di Jawa, yang telah berhasil membangun jaringan di Nusantara, setelah 13 tahun di Champa tidak dapat membangun sebuah kerajaan Islam atau meninggalkan jejak-jejak kegemilangan peradaban Islam, atau hanya sebuah prarasti seperti pesantren, maqam atau sejenisnya yang akan menjadi jejaknya. Bahkan Raffles menyebutnya sebagai orang besar, sementara sejarawan G.W.J. Drewes menegaskan, Maulana Malik Ibrahim adalah tokoh yang pertama-tama dipandang sebagai wali di antara para wali. ''Ia seorang mubalig paling awal,'' tulis Drewes dalam bukunya, New Light on the Coming of Islam in Indonesia. Gelar Syekh dan Maulana, yang melekat di depan nama Malik Ibrahim, menurut sejarawan Hoessein Djajadiningrat, membuktikan bahwa ia ulama besar. Gelar tersebut hanya diperuntukkan bagi tokoh muslim yang punya derajat tinggi. Saiyid Ibrahim memiliki seorang saudara yang terkenal sebagai ulama besar di Pasai, bernama Maulana Saiyid Ishaq, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri. Giri. Menurut cacatan sejarah, beliau adalah salah s alah seorang ulama yang dihormati di kalangan istana Pasai dan menjadi penasihat Sultan Pasai di zaman Sultan Zainal Abidin dan Sultan Salahuddin. Sebelum bertolak ke tanah Jawa, ayahanda beliau, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), yang juga datang dari India, tinggal dan menetap juga di Pasai. Jadi menurut analisis, beliau bertiga datang dari India ke Kerajaan Pasai sebagai pusat penyebaran dakwah Islam di Nusantara, pada sekitar abad ke 13 Masehi, bersamaan dengan kejayaan Kerajaan Pasai di bawah Sultan Malik al-Salih, yang juga keturunan Ahlul Bayt. Sementara Sunan Ampel atau Raden Rahmat yang dikatakan lahir di Champa, kemudian hijrah pada tahun 1443 M ke Jawa dan mendirikan Pesantren di Ampeldenta Surabaya, adalah seorang ulama besar, yang tentunya mendapatkan pendidikan yang memadai dalam lingkungan Islami pula. Adalah mustahil bagi Sang Raden untuk mendapatkan pendidikannya di Champa Kambodia pada tahun-tahun itu, karena sejak tahun 1390 M atau sepuluh tahun sebelum kelahiran beliau, sampai dengan abad ke 16, Kambodia dibawah kekuasaan Dinasti Ho yang Budha dan anti Islam sebagaimana dijelaskan terdahulu. Apalagi sampai saat ini belum di dapat jejak lembaga pendidikan para ulama di Champa. Namun keadaannya berbeda dengan Jeumpa Aceh, yang dikelilingi oleh BandarBandar besar tempat pesinggahan para Ulama dunia pada zaman itu. Perlu digarisbawahi, kegemilangan Islam di sekitar Pasai, Malaka, Lamuri, Fatani dan sekitarnya adalah antara abad 13 sampai abad 14 M. Kawasan ini menjadi pusat pendidikan dan pengembangan pengetahuan Islam sebagaimana digambarkan terdahulu. Dengan demikian, maka jelaslah bahwa Champa yang dimaksud dalam sejarah pengembangan Islam Nusantara selama ini, yang menjadi tempat persinggahan dan perjuangan awal Maulana Malik Ibrahim, asal ”Puteri Champa” atau asal kelahiran Raden Rahmat (Sunan Ampel), bukanlah Champa yang ada di Kambodia-Vietnam saat ini. Tapi tidak diragukan, sebagaimana dinyatakan Raffles, ”Champa” berada di Jeumpa dengan kota perdagangan Bireuen, yang menjadi bandar pelabuhan persinggahan dan laluan kota-kota
38
metropolis zaman itu itu seperti Fansur, Barus Barus dan Lamuri di ujung barat pulau Sumatra Sumatra dengan wilayah Samudra Pasai ataupun Perlak di daerah sebelah timur yang tumbuh makmur. 5. Teori Maulana Abdullah bin Hasan al-Mutsanna Menurut penelitian para pakar sejarah Aceh diketahui tercatat seorang pemuda Muslim keturunan Arab bernama Abdullah telah tiba di sebuah kerajaan yang terletak di wilayah Aceh bernama Jeumpa pada awal abad ke 8 Masehi. Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa menyebutkan bahwa Kerajaan Jeumpa benar keberadaannya pada sekitar abad ke VIII Masehi yang berada di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur. Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet. Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke ”Pintou Rayeuk” (pintu besar). 77 Sebelum kedatangan Islam, di daerah Jeumpa sudah berdiri salah satu Kerajaan Hindu Purba Aceh yang dipimpin turun temurun oleh seorang Meurah. Datang pemuda tampan bernama Abdullah yang memasuki pusat Kerajaan di kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga yang datang dari India belakang untuk berdagang. Dia memasuki negeri Blang Seupeueng melalui laut lewat Kuala Jeumpa, sekitar awal abad ke VIII Masehi dan negeri ini sudah dikenal di seluruh penjuru dan mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina, India, Arab dan lainnya. Selanjutnya Abdullah tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima Islam karena tingkah laku, sifat dan karakternya yang sopan dan sangat ramah. Dia dinikahkan dengan puteri Raja bernama Ratna Kumala. Akhirnya Abdullah dinobatkan menjadi Raja menggantikan bapak mertuanya, yang kemudian wilayah kekuasaannya dia berikan nama dengan Kerajaan Jeumpa, sesuai dengan nama negeri asalnya di India Belakang (Persia) yang bernama ”Champia”, yang artinya harum, wangi dan semerbak.78 Para ahli nasab dari kalangan ahl al-bayt di Aceh, menyebut pemuda Arab ini sebagai Abdullah bin Hasan Mutsanna bin Sayyidina Hasan bin Sayyidina Ali atau cicit kepada Nabi Muhammad saw. Beliau adalah keturunan ahl al-Bayt generasi pertama yang hijrah ke Nusantara, kemungkinan setelah singgah di pelabuhan Chambia (Kambei) India untuk mengembangkan misi perjuangan keluarga Rasulullah pasca konflik kepemimpinan di kalangan kaum Muslimin Arab, terutama setelah terbunuhnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan kepemimpinan dipegang Muawiyah bin Abu Sufyan dan keturunannya. Diperkirakan beliau datang bersama dengan rombongan para sodagar Arab Yaman yang menjadi pendukung utama ahl al-bayt dalam pertikaiannya dengan penguasa dari Dinasti Umayyah yang berpusat di Syam. Itulah sebabnya pemahaman Islam pertama di Nusantara, terutama di wilayah Aceh sekarang banyak dipengaruhi oleh pemahaman manhaj ahl al-Bayt, namun berbeda dengan faham Syiah yang berkembang kemudian di Persia setelah peristiwa pembunuhan Sayyidina Husein di Karbala. Sebagai bukti nyata dalam masyarakat Aceh sangat jarang dijumpai nama-nama tokoh dinasti Umayyah seperti Abu Sufyan, Muawiyah, Muawiyah, Yazid, Hindun dan seumpamanya, dan tidak ada satupun Raja dan Sultan di Aceh menggunakan 77 78
Lihat: Modus, No.15/Th.V/23-29 Juli 2007 Ibid 39
nama-nama tersebut. Namun nama-nama seperti Ali, Hasan, Husein, Zaenal Abidin sangat populer, bahkan menjadi nama-nama ulama ataupun sultan Aceh. 6. Teori Syahriansyah Salman al-Farisi Menurut silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa dipimpin oleh seorang Pangeran dari Parsia yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seulodong dan memiliki beberapa anak, antara lain Syahri Poli, Syahri Tanti, Syahri Nuwi, Syahri Dito dan Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu daripada Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi. Menurut penelitian Sayed Dahlan al-Habsyi, Syahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan gelar Meurah, Habib, Sayid, Syarief, Sunan, Teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Syahribanun, anak Maha Raja Parsia terakhir yang ditaklukkan Islam. Sampai saat ini, belum ditemukan silsilah keturunan Pengeran Salman ke atas, apakah beliau termasuk dari keturunan Nabi Muhammad saw atau murni keturunan raja-raja Parsia yang telah memeluk Islam. Karena di silsilah yang dikeluarkan Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sulu tidak disebutkan asal keturunannya. Namun menurut pengamatan pakar sejarah Aceh, Sayed Dahlan al-Habsyi, beliau adalah termasuk keturunan Sayyidina Husein ra. Karena (i) beliau memberikan gelar Syahri kepada anak-anaknya, yang jelas menunjuk kepada Banun , Puteri Maharaja Kerajaan Parsi yang menjadi istri moyang perempuann p erempuannya ya Puteri Syahr Banun, Sayyidina Husein bin Sayyidah Fatimah bin Muhammad Rasulullah saw (ii) beliau mengawinkan anak perempuannya dengan cucu Imam Ja‟far Sadiq, yang menjadi tradisi para Sayid sampai saat ini (iii) anak beliau, Syahri Nuwi adalah patron dari rombongan Nakhoda Khalifah, bahkan ada yang menganggap kedatangan rombongan ini atas permintaan Syahri Nuwi untuk mengembangkan kekuatan ahl al-bayt atau keturunan Nabi saw di Nusantara setelah mendapat pukulan di Arab dan Parsia. Itulah sebabnya, hubungan Syahri Nuwi dengan rombongan Nakhoda Khalifah yang bermazhab Syiah sangat dekat dan menganggap mereka sebagai bagian keluarga. 7. Teori Korespondensi Khalifah Abdul Aziz-Raja Sri Indravarman Ibn Abd Al Rabbih dalam karyanya Al Iqd al Farid sebagaimana dikutip Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII menyebutkan ada proses korespondensi yang berlangsung antara raja Sriwijaya kala itu Sri Indravarman dengan khalifah Umar bin Abdul Azis yang terkenal adil tersebut. “Dari Raja di Raja [Malik al Amlak] yang adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga cucu seribu raja; yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil ; kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhantuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukumhukumnya,” Diperkirakan hubungan diplomatik antara kedua pemimpin wilayah ini berlangsung pada tahun 100 Hijriah atau 718 Masehi. Tak dapat diketahui apakah selanjutnya Sri Indravarman memeluk Islam atau tidak. Tapi hubungan antara Sriwijaya dan pemerintahan Islam di Arab menjadi penanda babak baru Islam di Nusantara. Jika awalnya Islam masuk 40
memainkan peranan hubungan ekonomi dan dagang, maka kini telah berkembang menjadi hubungan politik keagamaan. Dan pada kurun waktu ini pula Islam mengawali kiprahnya memasuki kehidupan raja-raja dan kekuasaan di wilayah-wilayah Nusantara .79 8. Teori Kerajaan Islam Perlak Perlak pada awal abad ke 9 Masehi adalah bandar pelabuhan yang dikuasai pedagang keturunan Parsi yang dipimpin seorang keturunan Raja Islam Jeumpa Pangeran Salman alParsi dengan Putri Manyang Seuludong bernama Meurah Shahr Nuwi . Sebagai sebuah pelabuhan dagang yang maju dan aman menjadi tempat persinggahan persingga han kapal dagang Muslim Arab dan Persia. Akibatnya masyarakat Muslim di daerah ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama sekali lantaran banyak terjadinya perkawinan di antara saudagar Muslim dengan wanita-wanita setempat, sehingga melahirkan keturunan dari percampuran darah Arab Arab dan Persia dengan putri-putri Perlak. Keadaan ini membawa membawa pada berdirinya kerajaan Islam Perlak pertama, pada hari selasa 1 Muharram 225 H sekitar 840 M. Sultan pertama kerajaan ini merupakan keturunan keturunan Arab Quraisy bernama Maulana Abdul Azis Syah, bergelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Menurut Wan Hussein Azmi, pedagang Arab dan Persia tersebut termasuk dalam golongan Syiah. 80 Wan Hussein Azmi dalam Islam di Aceh mengaitkan kedatangan mereka dengan Revolusi Syiah yang terjadi di Persia tahun 744-747. Revolusi ini di pimpin p impin Abdullah bin Mu'awiyah yang masih keturunan Ja'far bin Abi Thalib. Bin Mu'awiyah telah menguasai kawasan luas selama dua tahun (744-746) dan mendirikan istana di Istakhrah sekaligus memproklamirkan dirinya sebagai raja Madian, Hilwan, Qamis, Isfahan, Rai, dan bandar besar lainnya. Akan tetapi ia kemudian dihancurkan pasukan Muruan di bawah pimpinan Amir bin Dabbarah tahun 746 dalam pertempuran pertemp uran Maru Sydhan. Kemudian banyak pengikutnya yang melarikan diri ke Timur Jauh. Para ahli sejarah berpendapat, mereka terpencar di semenanjung semenan jung Malaysia, Cina, Vietnam, dan Sumatera, termasuk ke Perlak. Pendapat Wan Hussein Hussein Azmi itu diperkaya dan diperkuat diperkuat sebuah naskah tua tua berjudul Idharul Haqq fi Mamlakatil Ferlah w'l-Fasi, karangan Abu Ishak Makarni al-Fasy, yang dikemukakan dikemukakan Prof. A. Hasjmi. Dalam naskah itu diceritakan tentang pergolakan sosialpolitik di lingkungan Daulah Daulah Umayah dan Abbasiyah yang kerap menindas pengikut Syiah. Pada masa pemerintahan Khalifah Makmun bin Harun al-Rasyid (813-833), seorang keturunan Ali bin Abi Thalib, bernama Muhammad bin Ja'far Shadiq bin Muhammad Baqr bin Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, memberontak terhadap Khalifah yang berkedudukan di Baghdad dan memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang berkedudukan berkedud ukan di Makkah. Khalifah Makmun berhasil menumpasnya. Tapi Muhammad bin Ja'far Shadiq dan para tokoh pemberontak lainnya tidak dibunuh, melainkan diberi ampunan. Makmun menganjurkan pengikut Syiah itu meninggalkan negeri Arab untuk meluaskan dakwah Islamiyah ke negeri Hindi, Asia Tenggara, dan Cina. Anjuran itu pun lantas dipenuhi. Sebuah Angkatan Angkatan Dakwah beranggotakan 100 orang pimpinan pimpin an Nakhoda Khalifah yang kebanyakan tokoh tokoh Syiah Arab, Persia, dan dan Hindi ---termasuk ---term asuk Muhammad bin Ja'far Shadiq--- segera bertolak ke timur dan tiba di Bandar Perlak pada waktu Syahir Nuwi menjadi Meurah (Raja) (Raja) Negeri Perlak. Syahir Syahir Nuwi kemudian menikahkan menikahkan Ali bin bin Muhammad Muhammad bin Ja'far Shadiq dengan adik kandungnya, kandungnya, Makhdum Tansyuri . Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H dilantik menjadi
79 80
Azyumardi Azra, op.cit. Wan Huseein Azmi, Islam di Aceh, Kuala Lumpur: UKM. 41
Raja dari kerajaan kerajaa n Islam Perlak dengan gelar Sultan Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Dari beberapa teori di atas, dapatlah disimpulkan disimpulkan bahwa proses Islamisasi ke Nusantara sudah terjadi sejak awal perkembangan dakwah Islam, yaitu ketika Nabi Muhammad saw masih hidup yang dilakukan oleh para sodagar Arab dan Nusantara yang memang sudah hilir mudik berdagang dari Mesir, Aden, Muscat, Parsia, Gujarat ke Cina melalui melalu i Barus-Fansur yang dipastikan terletak di ujung barat pulau Sumatera. Para sodagar Arab pra-Islam diketahui sudah memiliki perkampungan di sekitar pesisir pulau Sumatera, terbentang dari BarusFansur, Jeumpa, Perlak sampai di Palembang pada p ada zaman Kerajaan Budha Sriwijaya. Islamisasi Nusantara mengalami puncaknya pada zaman Khalifah al-Rasyidin, terutama di zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab yang gencar mengirimkan para duta yang merangkap sebagai pendakwah Islam sampai ke negeri Cina, pada sekitar awal abad ke VII Masehi. Cina menjadi tujuan dakwah para Khalifah berkaitan dengan sebuah hadits Nabi yang populer: tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina. Karena Cina pada zaman itu telah mencapai keemasaanya, sebagaimana Rumawi, Yunani ataupun Mesir dan Parsia sebagai pusat-pusat perdagangan, peradaban dan kemakmuran dunia yang jejaknya masih terekam jelas pada peta jalur sutera (silk road). Jalur ini kemudian dipindahkan dipindahkan ke jalur laut karena berkembang berkembang pesatnya teknologi kelautan dengan kapal-kapalnya yang mampu berlayar lama. Para pembawa Islam datang langsung dari Semenanjung Arabia yang merupakan utusan resmi Khalifah atau para pedagang profesional Islam yang memang telah memiliki hubungan perdagangan dengan Nusantara, sebagai daerah persinggahan dalam perjalanan menuju Cina. Hubungan yang sudah terbina sejak lama, yang melahirkan asimiliasi keturunan Arab-Nusantara di sekitar pesisir ujung barat pulau Sumatra, khususnya Aceh telah memudahkan penyiaran Islam dengan bahasa asal mereka, yaitu bahasa Arab yang dengannya al-Qur‟an al-Qur‟an diturunkan. Pengaruh bahasa Melayu -Nusantara dalam al-Qur‟an al-Qur‟an dapat dijumpai pada kata kafuro, yang tidak pernah ada dalam bahasa Arab pra-Islam. Hubungan baik antara masyarakat Nusantara di Aceh dengan pendatang dari Arab telah mendorong tumbuhnya perkampungan yang membesar menjadi Kerajaan-Kerajaan Islam sebagai pengganti KerajaanKerajaan Hindu-Budha. Tercatat bahwa Kerajaan Islam pertama di Aceh, yang juga merupakan Kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah Kerajaan Islam Jeumpa yang didirikan oleh salah satu keturunan Nabi Muhammad yang tiba dari Yaman, India atau Persia bernama Maulana Abdullah dan dilanjutkan Sasaniah Salman al-Farsi pada tahun 154 Hijriah atau sekitar tahun 777 Masehi. Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat Islamisasi di Nusantara, khususnya Aceh. Salah seorang Pangeran Jeumpa, Shahrnawi menjadi pelopor pedirian Kerajaan Islam Perlak, Perlak, dan mengangkat anak saudaranya, Maulana Abdul Aziz cicit dari Imam Ja‟far Sidiq sebagai Sultan pertama Kerajaan Perlak pada tahun 840 M. Maka dengan demikian, tertolaklah tertolaklah teori Gujarat yang dikemukakan Snouck yang selama ini telah meracuni pemikiran para peneliti sejarah. Aliran Keislaman Awal Nusantara Adalah sangat penting untuk mengetahui aliran keislaman yang dikembangkan oleh para pendakwah awal Islam di Nusantara. Kebanyakan peneliti, seperti yang dikemukakan oleh peneliti senior dari Aceh Prof. A. Hasymi, Wan Azmi Husein dan lainnya menyebutkan bahwa para pendakwah awal Nusantara adalah beraliran Syiah, Syiah, disebabkan karena sebagian besar para pendakwah tersebut adalah keturunan dari Sayyidina Ali dan para pengikutnya. Katakanlah seperti pendakwah Arab pertama yang menjadi Raja Jeumpa, Maulana Abdullah, adalah cicit dari Sayyidina Ali yang selalu dikaitkan sebagai penggagas Syiah. Demikian pula 42
dengan pengganti Maulana Abdullah, seorang pengeran dari Persia bernama Syahriansyah Salman al-Farisi bersama keturunannya yang juga disebutkan sebagai penganut Syiah. Kedatangan rombongan Nakhoda Khalifah Khalifah di bawah pimpinan Maul ana Muhammad bin Ja‟far Shadiq di Perlak menambah kuatnya keyakinan, bahwa aliran keislaman yang berkembang awal di Nusantara adalah aliran Syiah. Apakah memang benar yang berkembang di Nusantara pada masa awal Islamisasi adalah aliran Syiah seperti di Iran sekarang? Jika memang benar aliran Syiah ini yang berkembang dan mendapat dukungan luas dari para Raja dan Sultan Nusantara, anehnya kenapa aliran Syiah tidak berkembang dan menjadi anutan mayoritas Muslim Nusantara sebagaimana di Iran misalnya? Padahal para Raja dan Sultan Nusantara adalah dari keturunan yang sama sampai saat ini. Dari fakta ini saja sudah dapat menjelaskan bahwa faham keislaman awal yang berkembang di Nusantara bukannya Syiah seperti yang berkembang di Iran. Jika bukan Syiah, maka faham apakah itu? Untuk memahami aliran keislaman awal di Nusantara, kita perlu mempelajari secara mendetil tentang tokoh-tokoh penggerak Islamisasi Nusantara awal, dan mempelajari dengan seksama, faham apakah yang dianutnya. Sebagaimana diyakini oleh para ahli sejarah, bahwa proses Islamisasi Nusantara tahap awal sudah dilakukan sejak masa hidup Nabi Muhammad saw melalui perantaraan para sodagar Arab dan Nusantara yang datang berdagang ke jazirah Arabia. Proses ini dilanjutkan oleh para Khalifah Rasyidah dan para sahabat utama seperti Muadz bin Jabal yang menjadi Guru Besar Islam di Yaman. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah dokumen kuno asal Tiongkok bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M -hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya. Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika. 81 Dalam kitab sejarah Cina yang berjudul Chiu T‟hang Shu disebutkan pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-orang Ta Shih, sebutan untuk orang Arab, tahun 651 Masehi atau 31 Hijirah. Empat tahun kemudian, dinasti dinasti yang sama kedatangan duta yang dikirim oleh Tan mi mo ni’ atau Amirul Mukminin. Dalam catatan tersebut, duta Tan mi mo ni‟ menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dan sudah tiga kali berganti kepemimpinan. Artinya, duta Muslim tersebut datang pada masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan. Para pengembara Arab ini tak hanya berlayar sampai di Cina saja, tapi juga terus menjelajah sampai di Timur Jauh. Pada masa Dinasti Umayyah, ada sebanyak 17 duta Muslim yang datang ke Cina. Pada Dinasti Abbasiyah dikirim 18 duta ke negeri Cina. Karena sebelumnya pada pertengahan abad ke-7 sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim di Kanfu atau Canton. 82 Sejak zaman Rasulullah saw sampai berakhirnya masa Khalifah Rasyidah di bawah kepemimpinan Sayyidina Ali, proses Islamisasi ke Nusantara terus berjalan yang dilakukan oleh para sodagar dari Arab yang datang ke Nusantara maupun para sodagar Nusantara yang datang ke jazirah Arabia. Sebagaimana di catat ahli sejarah, sejauh ini belum kelihatan perbedaan aliran kaum Muslimin di dunia Arab karena masih terjadi persatuan yang kuat di antara kaum Muslimin dengan kepemimpinan di bawah Khalifah yang empat, walaupun 81 82
Prof. Dr. HAMKA, Dari Perbendaharaan Lama; Lama ; Jakrta: Pustaka Panjimas; cet.III; 1996; Hal. 4-5. Lihat: W.P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia & Malaya Compiled from Chinese Source, Jakarta: Bharata, 19 60. B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, Part Two, The Hauge-Bandung: W. Van Hoeve Ltd, 1957, .Ma Huan, Ying-yai Sheng-lan, terjemahan dan edisi J.V.G. Mills, Hakluyt Society, 1970, 43
sudah mulai terjadi perselisihan faham di antara sahabat utama dengan segelitir pengikutnya seperti Musailamah al-Kadzdzab yang menolak kepemimpinan Madinah dan enggan membayar zakat atau beberapa kasus lainnya, namun pemimpin utama kaum Muslimin, Khalifah atau Amirul Mukminin dapat menyelesaikannya. Setelah Sayyidina Ali wafat, maka mulailah bermunculan beberapa aliran keislaman, yang dinisbatkan kepada para keluarga, pengikut dan pendukung Sayyidina Ali, yang biasa dikenal sebagai Syiah Ali, atau kelompok pendukung Sayyidina Ali. Kelompok ini dengan aliran keislaman meyakini bahwa kepemimpinan setelah Rasulullah saw seharusnya di jabat oleh Sayyidina Ali, namun kenyataannya mayoritas kaum Muslimin telah memilih para Khalifah selainnya. Sayyidina Ali sendiri menyatakan penerimaannya terhadap para Khalifah sebelumnya, dan tidak menyatakan perang atau pembangkangan terhadap mereka sampai akhir jabatannya. Aliran Syiah menolak semua kepemimpinan para Khalifah sebelum Sayyidina Ali dan menganggap mereka sebagai perampas kekuasaan. Di antara keturunan dan pengikut Sayyidina Ali tersebut, ternyata tidak semuanya menjadi penganut faham Syiah yang kemudian berkembang pesat di Persia ini, namun tetap menjadi penganut aliran pemikiran yang difahami oleh Sayyidina Ali. Di antaranya adalah ulama besar bernama Hasan al-Basri yang menjadi tokoh utama dalam Sunni. Para ahli sejarah mencatat bersamaan dengan berkembangnya berkembangnya Islam di Nusantara, pada masa pemerintahan Khalifah yang ke 4, Sayyidina Ali bin Abi Thalib di Madinah terjadi beberapa peristiwa yang nantinya akan mempengaruhi perkembangan dan pemahaman keislaman di wilayah ini. Yang utama adalah akibat perbedaan pandangan politik di kalangan beberapa sahabat utama, yang disimbolkan oleh Sayyidina Ali sebagai Khalifah dengan Muawiyah bin Abu Sufyan yang menjabat Gubernur Damsyik atas dukungan beberapa orang sahabat yang telah menimbulkan gejolak politik di kalangan kaum muslimin, yang pada akhirnya menimbulkan peperangan di antara mereka. Perbedaan politik yang telah melibatkan kekuatan militer ini selanjutnya berkembang menjadi perbedaan pemahaman mazhab yang melahirkan metode (manhaj) pemikiran, terutama Syiah Ali (kelompok Ali), Muawiyun (pendukung Muawiyah), Khawarij (penentang kedua kelompok terdahulu) dan kelompok yang berdiam diri (tawaquf ) atas apa yang terjadi, yang merupakan mayoritas kaum muslimin yang sangat berhati-hati atas kejadian fitnah yang tengah menimpa para sahabat utama. Kelompok terakhir dipelopori oleh sahabat Abdullah bin Umar bin Khattab yang selanjutnya akan melahirkan ahl sunnah wa al-jamaah. Pasca pembunuhan Sayyidina Ali dan penggantinya Sayyidina Hasan, kaum muslimin dapat dipersatukan kembali di bawah kepemimpinan tunggal Muawiyah bin Abu Sufyan. Kaum muslimin kembali mendapatkan stabilitas politik akibat kebijakan pemerintah yang memperketat sistem pemerintahan dengan dukungan kuat tentara yang direkrut dari daerah taklukannya. Penyebaran Islam dilakukan dari Damsyik sebagai ibukota pemerintahan Islam yang telah diambil alih yang selanjutnya oleh ahli sejarah disebut sebagai masa dinasti bani Umayyah, sebagai asal sukunya. Kehidupan beragama berjalan seperti sediakala, namun ada pembatasan yang ditujukan kepada pengikut manhaj pemikiran Sayyidina Ali dan keturunannya Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein, yang biasa dikenal sebagai ahl al-bayt Rasul (keluarga dekat Nabi Muhammad) yang memiliki metode khusus dalam pemikiran yang dikembangkan oleh keturunannya, baik dalam mazhab Sunni atau ada yang berkembang menjadi faham Syiah. Pembatasan ini telah mengakibatkan berhijrahnya para keturunan Rasulullah dan para sahabat utama ke berbagai belahan bumi, sekaligus membawa dampak pada penyebaran Islam. Penghijrahan bertambah banyak pasca pembunuhan Sayyidina Husein dan rombongannya di Karbala oleh pasukan Yazid bin Muawiyah, yang telah menggantikan 44
ayahnya. Para keturunan Sayyidina Husein mendapat perlindungan dari masyarakat Persia, karena istri beliau adalah Puteri dari Maharaja Persia terakhir bernama Syahir Banun, yang telah melahirkan Imam Ali Zainal Abidin, yang nantinya menjadi pelanjut perjuangan dan pemikiran keturunan Nabi Muhammad dan Sayyidina Ali dari jalur keturunan Sayyidina Husein. Demikian pula halnya dengan keturunan Sayyidina Hasan yang dibunuh terdahulu, berhijrah mengembangkan dakwah Islamiyah sampai ke benua Afrika dan Eropa. Menurut analisis saya, bahwa kesalahfahaman ini muncul ketika menilai perbedaan pendapat yang berawal ketika Sayyidina Ali ditawarkan menjadi Khalifah pengganti Khalifah Umar oleh tim khusus para pemimpin utama masyarakat Islam. Ketika Sayyidina Ali ditanya oleh tim, bersediakan engkau mengikuti mengikuti al-Qur‟an al- Qur‟an dan Sunnah Nabi, dengan serta merta beliau menjawab ”bersedia” . Namun ketika ditanya bersediakan Sayyidina Ali mengikuti manhaj Khalifah pendahulunya, dengan tegas beliau menolak, ”aku memiliki manhaj sendiri” . Dari peristiwa inilah kemudian diketahui bahwa Sayyidina Ali memiliki manhaj yang berasal dari pemahamannya atas pengajaran dan bimbingan yang diterimanya dari Nabi Muhammad Rasulullah saw. Ketika pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan berlangsung diketahui Sayyidina Ali menjadi salah seorang penasihat dan pembela Khalifah, beliau tidak menentang dan membuat kepemimpinan sendiri selama hampir 12 tahun. Namun diketahui Sayyidina Ali memiliki pendapat tersendiri sebagai seorang murid utama Rasulullah. Manhaj ini berkembang ketika beliau menjadi Khalifah keempat dan menyebarkan pengajarannya kepada ahl al-bayt (keluarga dekatnya), terutama Hasan dan Husein, keturunannya serta sahabat dan muridmuridnya yang kemudian dikenal sebagai manhaj ahl al-bayt. Pendirian ahl al-bayt sangat jelas ketika terjadi perbedaan pendapat dengan Muawiyah bin Abu Sufyan, yang mendapat dukungan para sahabat-sahabat utama. Manhaj ahl al-bayt pada dasarnya adalah manhaj pemikiran, tindakan, pendapat, pengajaran, amalan, sikap dan akhlak yang dicerminkan oleh Sayyidina Ali berdasarkan pengajaran guru agungnya Muhammad Rasulullah saw, yang kemudian diikuti oleh kerabat, sahabat, murid dan pengikut setianya. Setelah Khalifah Ali dibunuh, maka pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abi Sofyan, para ahl al-bayt dan pengikutnya mendapat penekanan, yang berlanjut dan bertambah dahsyat pada puncaknya masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah yang menggantikan ayahnya. Pembantaian Sayyidina Husein dan para pengikutnya di Karbala adalah puncak kezaliman yang dilakukan dinasti Umayyah terhadap ahl al-bayt. Setelah peristiwa ini pembantaian demi pembantaian dialami oleh itrah keturunan Rasulullah ini. Namun tentu kebenaran tidak akan sirna hanya dengan tekanan dan penindasan, justru hal ini menjadi penyubur manhaj ahl al-bayt yang dibawa keturunan Sayyidina Ali, sahabat, murid dan para pengikutnya yang telah menyebar ke penjuru dunia Islam. Secara khusus para pengikut ahl albayt di Persia mendeklarasikan sebuah gerakan politik keagamaan baru bernama Syiah yang menentang secara terbuka kezaliman dinasti Umayyah. Namun para keturunan dan pengikut Sayyidina Ali yang berada di jazirah Arabia, di Madinah, Mekkah, Thaif, Yaman dan sekitarnya memiliki perbedaan dengan gerakan Syiah Persia ini yang berporos pada keturunan Ali Zaenal Abidin, namun mereka tetap menjadi pengikut ahl al-bayt. Lebih khusus, karena Sayyidina Ali pernah menjadi perwakilan Rasul di Yaman dan memberikan perhatian khusus pada Yaman semasa kekhalifahannya, maka beliau tentu memiliki banyak murid dan pengikut setia di Yaman. Apalagi mengingat Yaman jauh dari pusat kekuasaan bani Ummayah di Syam, Syiria sekarang. Ditengarai para murid Muadz bin Jabal telah menjadi penolong bagi ahl al-bayt keturunan Sayyidina Ali yang menyelamatkan diri dari kejaran tentara dinasti Umayyah. Saya lebih senang menyebutnya dengan ahl al-bayt Yaman untuk membedakannya dengan ahl al-bayt Persia yang menyebut diri sebagai Syiah. 45
Hakikatnya kedua aliran ini sama-sama memiliki dasar faham kecintaan pada keturunan (itrah) Rasul dan kepemimpinan setelah Nabi adalah Sayyidina Ali berdasarkan beberapa hadits. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dan beberapa Imam lainnya, bahwa Rasulullah saw bersabda: ”Aku tinggalkan kamu dua perkara, jika kamu berpegang teguh kepada keduanya, maka kamu tidak akan sesat selamanya, yaitu kitab Allah (al-Qur‟an (al-Qur‟an dan al-Sunnah) al-Sunnah) dan (itrah) keturunanku.” Hadits ini diperkuat oleh beberapa hadits, misalnya hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari sahabat Zaid bin Arqam, yang berkata bahwa Rasulullah saw telah bersabda: ”Adapun selanjutnya, wahai manusia, sesungguhnya aku ini manusia yang hampir didatangi oleh utusan Tuhanku, maka aku pun menghadap-Nya. Sesungguhnya aku tinggalkan padamu dua perkara yang amat berharga, yang pertama adalah Kitab Allah, yang merupakan tali Allah. Barangsiapa yang mengikutinya maka dia berada di atas petunjuk, dan barangsiapa yang meninggalkannya maka dia berada di atas kesesatan.” kesesata n.” Kemudian Rasulullah saw melanjutkan sabdanya, ”Adapun yang kedua adalah Ahlul Baitku. Demi Allah, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku.” istri Kemudian kami bertanya kepadanya (Zaid bin Arqam), ”Siapakah Ahlul Baitnya, apakah istriistrinya?' Zaid bin Arqam menjawab, ”Demi Allah, seorang wanita akan bersama suaminya untuk suatu masa tertentu. Kemudian jika suaminya menceraikannya maka dia akan kembali kepada ayah dan kaumnya. Adapun Ahlul Bait Rasulullah adalah keturunan Rasulullah saw yang mereka diharamkan menerima sedekah sepenggal beliau" . Abu 'Awanah meriwayatkan hadits ini dari al-A'masy Tsana Habib bin Abi Tsabit, dari Abi Laila, dari Zaid bin Arqam yang berkata, "Tatkala Rasulullah saw kembali dari haji wada' dan singgah di Ghadir Khum, Rasulullah saw menyuruh para sahabatnya bernaung di bawah pepohonan. Kemudian Rasulullah saw bersabda, ”Aku hampir dipanggil oleh Allah SWT, maka aku harus memenuhi panggilannya. Sesungguhnya aku meninggalkan dua perkara yang amat berharga, yang mana yang satunya lebih besar dari yang lainnya, yaitu Kitab Allah dan 'itrah Ahlul Baitku. Maka perhatikanlah bagaimana sikapmu terhadap keduanya, karena sesungguhnya keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga datang menemuiku di telaga.” Kemudian Rasulullah melanjutkan sabdanya, ”Sesungguhnya Allah Azza Wajalla adalah pemimpinku, dan aku adalah pemimpin setiap orang Mukmin”, lalu Rasulullah saw mengangkat tangan Ali seraya berkata, ” Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka inilah Ali pemimpinnya.” Dari beberapa hadits di atas, maka dapat difahami bahwa Islam dengan ahl al-bayt, atau keturunan Rasulullah tidak akan terpisah dengan Kitab Allah (al- Qur‟an dan al-Sunnah) al -Sunnah) selama-lamanya. Karena para keturunan Nabi adalah penjaga utama Islam yang merupakan darah daging Rasul sendiri yang mesti dihormati. Namun ada kalangan yang menolak bahwa Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein sebagai keturunan Muhammad Rasulullah, karena mereka berdua adalah anak dari Sayyidina Ali dan anak perempuan Rasul yang tidak dapat menyambung langsung nasabnya kepada beliau saw. Sehingga ada yang menolak keduanya sebagai itrah atau keturunan Rasulullah, dan hanya membatasi pengertiannya kepada keluarga dekat, istri, bahkan kaum Musliminpun dikatakan sebagai keluarga Nabi juga. Kemudian para penolak ini mendatangkan dalil, jika sekiranya Allah menghendaki keturunan Rasul secara langsung, langsung, maka tentulah anak laki-lakinya akan tetap dihidupkan Allah. Allah. Tapi karena anak lakilaki Rasul semua diwafatkan ketika kecil, maka mereka menyimpulkan bahwa memang Allah menakdirkan demikian adanya agar jangan ada kultus dikalangan keturunan Rasul saw, sehingga nasabnyapun terputus, karena dalam tradisi Islam, nasab dari anak laki-laki, bukan dari anak perempuan sebagaimana yang menjadi pemahaman para pengikut ahl al-bayt ini. Untuk menjawab masalah ini, kita dapat mengambil pelajaran dari peristiwa yang menimpa Iblis. Ketika Allah menjadikan manusia pertama di muka bumi, dan diperintahkan 46
kepada seluruh malaikat untuk bersujud, semua bersujud kecuali satu, yang disebut Imam Ghazali bernama Azazil, yang kemudian karena pembangkangannya disebut sebagai Iblis. Yang menarik adalah Iblis tidak mau bersujud kepada Adam, karena Adam diciptakan dari tanah, sementara dia dari api dan lebih mengetahui Allah Sang Pencipta, yang artinya lebih mulia dan lebih bertauhid. Bahkan paling bertauhid, karena hanya mau menyembah Allah secara langsung saja, tanpa perantaraan melalui Adam. Pada hakikatnya Iblis tidak menolak keberadaan Allah ataupun bersujud kepada-Nya, namun Iblis menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Adam, yang dianggapnya tidak layak disujudi, karena hanya Allah saja yang berhak disujudi secara langsung. Akhirnya Iblis menjadi p embangkang, embangkang, karena gagal menjalani ujian Allah, Allah, perintah agar bersujud kepada makhluk bernama Adam yang dianggapnya lebih rendah statusnya. Demikian pula halnya dengan pengakuan Rasulullah kepada Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein sebagai anaknya langsung, sebagai keturunannya langsung pada hakikatnya adalah ujian Rasul kepada kaum muslimin, apakah mereka menerima perintah Rasul ini walaupun bertentangan dengan tradisi umum. Sama halnya dengan ujian Allah yang diberikan kepada Iblis. Bagi mereka yang mencintai dan mentaati perintah Rasul, maka mereka akan menerima apapun yang dikatakan Rasulullah sebagaimana diperintahkan al- Qur‟an, walaupun bertentangan dengan tradisi umum Arab, karena perintah Rasul adalah wajib diikuti. Namun bagi mereka yang merasa hebat sebagaimana Iblis, akan segera menolak ujian Rasul tersebut, karena bertentangan dengan tradisi yang berlaku dan mencari-cari dalil untuk menolak perintah tersebut sebagaimana Iblis mencari-cari dalil untuk menolak perintah sujud kepada Adam. Permasalahannya, apakah kita dapat menerima ujian Rasul yang menyebutkan kedua cucunya sebagai anak dan keturunannya langsung langsung tersebut, semata-mata karena kecintaan dan ketaatannya kepada Rasulullah tanpa mempertimbangkan tradisi, sebagaimana yang telah dilakukan Iblis sehingga menjadi makhluk terlaknat. Banyak ayat al-Qur‟an al- Qur‟an dan hadist Nabi yang memerintahkan agar kaum muslimin mengikuti perintah dan ajaran Rasulullah saw, termasuk ajaran beliau yang menyebutkan bahwa kedua cucunya (Hasan dan Husein) adalah keturunannya, atau dalam sebuah hadits disebutkan sebagai anak beliau, karena lebih mirip wajahnya dengan beliau saw dibandingkan dengan wajah Sayyidina Ali. Dengan pendekatan logika ini mudah-mudahan Allah Yang Maha Tahu memberikan kepada kita taufik dan hidayah-Nya, agar kita dapat mengikuti jalan yang lurus, sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Adalah kesalahan jika pemahaman keislaman yang menekankan kecintaan dan penghormatan kepada keluarga dan keturunan Rasulullah yang tengah mendapat ujian dan fitnah di Jazirah Arabia selalu diidentikkan dengan kelompok Syiah. Padahal dalam kenyataannya, ajaran Islam bukan hanya doktrin politik semata, masih terlalu banyak ajaran Islam yang memiliki kesamaan jika dibandingkan dengan perbedaan politik yang berorientasi perebutan pengaruh kekuasaan. Keilmuan Islam sangat luas yang dapat diajarkan kepada kaum muslimin. Namun akibat kebijakan bani Umayyah, terutama pasca pemerintahan Yazid bin Muawiyah, maka banyak para ulama yang beraliran pemahaman seperti Sayyidina Ali mendapat fitnah, sehingga harus berhijrah ataupun bersembunyi. Padahal sebagaimana diketahui Sayyidina Ali adalah sahabat utama yang berilmu tinggi, bahkan dijuluki sebagai pintu ilmu oleh Rasulullah saw yang menjadi rumah ilmu. Artinya, siapapun yang ingin mengetahui keislaman tingkat tertinggi sebagaimana difahami Rasulullah, dia dapat mempelajarinya melalui pintunya, yaitu Sayyidina Ali. Namun jika pintu rumah sudah dirusak atau tertutup, maka rumah ilmupun akan sukar dimasuki, demikianlah logikanya.
47
Mengikuti pemahaman Sayyidina Ali dan para keturunannya tidak mesti menjadi pengikut aliran Syiah yang mengkafirkan selain kelompoknya, sebagaimana diyakini sebagian orang. Karena Sayyidina Ali adalah sahabat utama Nabi Muhammad yang memiliki kecerdasan tinggi sehingga mampu memiliki keluasan ilmu, pada saat yang sama memiliki kekuatan spiritual yang mampu memahami hakikat kerohanian ajaran tertinggi Islam. Sayyidina Ali adalah termasuk salah seorang Khalifah al-Rasyidah, pemimpin Islam yang mendapat petunjuk, yang pengajarannya dapat mengantarkan menuju hidayah Allah, sebagaimana disebutkan Nabi Muhammad, sahabatku seperti bintang yang dapat mengantarkanmu menuju jalan Allah. Demikian pula halnya, dengan mengikuti pengajaran dan pemahaman Sayyidina Ali bukan berarti seseorang boleh menolak sahabat-sahabat utama lainnya akibat perbedaan politik yang terjadi. Itulah sebabnya pentingnya menempatkan kekudukan keilmuan di atas segalanya, terutama pendapat politik. Karena tidak diragukan, kekuasaan politik telah memecah persatuan kaum muslimin dari dahulu sampai sekarang. Jika kedekatan kepada keluarga Nabi ( ahl al-bayt) dikatakan sebagai faham Syiah, maka kenyataan ini tidaklah tepat. Karena Pendiri utama mazhab fiqih dalam Sunni, Imam Syafi‟i adalah pencinta para keturunan Rasul, sehingga beliau berkata: ”seandainya karena kecintaanku kepada keluarga Nabi (ahl al-bayt) aku dikatakan sebagai rafidhah (syiah), maka aku rela disebut sebagai rafidhah (syiah) ”. Demikian halnya, dengan menjadi penganut Sunni, seseo rang tidak mesti membenci para keturunan Rasulullah dari jalur Sayyidina Ali, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para keturunan bani Umayyah pasca pembunuhan Sayyidina Husein. Karena semua pertikaian yang terjadi bukan disebabkan oleh ajaran Islam, namun karena kepentingan politik untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan semata. Adapun perbedaan yang menyolok antara ahl al-bayt Persia dengan ahl al-bayt Yaman adalah dalam hal menilai kepemimpinan setelah Rasulullah. Pada dasarnya kedua aliran sepakat dengan pendapat bahwa Sayyidina Ali adalah pengganti Rasulullah, namun kelompok pertama yang kemudian memproklamirkan dirinya sebagai Syiah menganggap ketiga Khalifah telah mengambil hak beliau. Dari sikap ini kemudian berkembang merambah metodelogi dalam pengambilan hadits, mengingat banyak hadits-hadits hadits-hadits palsu yang beredar sampai dengan metode pengambilan hukum Islam yang hanya menerima dari kalangan tertentu, sebagaimana difahami pengikut Syiah sampai saat ini yang telah membentuk gerakan politik aktif dengan kepemimpinannya (Imam) yang eksklusif yang menjadikan pusat gerakannya disekitar Persia. Karena sifat gerakannya yang oposan, frontal dan militan dalam menentang penguasa resmi, baik dinasti Umayyah maupun Abbasiyah, maka Syiah selalu menjadi sasaran tembak penguasa yang menganggapnya sebagai pemberontak. Sikap militan ini mungkin dapat difahami akibat perlakuan yang mereka terima yang diposisikan sebagai musuh resmi penguasa sah kaum Muslimin mayoritas yang memiliki kekuatan. Akibat tekanan yang dialaminya, Syiah Persia ini menjadi semacam gerakan bawah tanah yang sewaktu-waktu muncul ke permukaan memimpin perlawanan para penguasa menyimpang. Sementara pihak kedua mengambil sikap sebagaimana sikap Sayyidina Ali yang lebih lunak, mengambil jalan keilmuan, mengutamakan hikmah bebijakan, serta menyetujui dan mendukung ketiga Khalifah sebelumnya. Demikian pula sikap mereka terhadap penguasa sesudahnya, lebih banyak menghindari dunia politik, menyibukkan diri dengan keilmuaan dan peribadatan, sehingga banyak di antara mereka yang menjadi ulama, ahli hikmah dan spiritualis yang menjadi pembimbing umat sebagaimana disebutkan dalam kitab ”Thariqat Alawiyah” yang pada akhirnya kembali menjadikan Hadramawt Yaman sebagai pusat gerakannya setelah datangnya Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir.
48
Sehubungan dengan pendakwah awal yang berpengaruh di Nusantara, penelitian para pakar sejarah Aceh telah mencatat seorang tokoh Muslim keturunan Arab bernama Abdullah telah tiba di sebuah kerajaan yang terletak di wilayah Aceh bernama Jeumpa pada awal abad ke 8 Masehi. Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa menyebutkan bahwa Kerajaan Jeumpa benar keberadaannya pada sekitar abad ke VIII Masehi yang berada di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur..... Datang pemuda tampan bernama Abdullah yang memasuki pusat Kerajaan di kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga yang datang dari India belakang untuk berdagang....... Selanjutnya Abdullah tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima Islam karena tingkah laku, sifat dan karakternya yang sopan dan sangat ramah. Dia dinikahkan dengan puteri Raja bernama Ratna Kumala. Akhirnya Abdullah dinobatkan menjadi Raja menggantikan bapak mertuanya, yang kemudian wilayah kekuasaannya dia berikan nama dengan Kerajaan Jeumpa... 83 Para ahli nasab dari kalangan ahl al-bayt di Aceh, menyebut pemuda Arab ini sebagai Abdullah bin Hasan Mutsanna bin Sayyidina Hasan bin Sayyidina Ali atau cicit kepada Nabi Muhammad saw. Beliau adalah keturunan ahl al-bayt generasi pertama yang hijrah ke Nusantara. Diperkirakan Diperkirakan beliau datang bersama dengan rombongan para sodagar Arab Yaman yang menjadi pendukung utama ahl al-bayt dalam pertikaiannya dengan penguasa dari Dinasti Umayyah yang berpusat di Syam. Itulah sebabnya pemahaman Islam pertama di Nusantara, terutama di wilayah Aceh sekarang banyak dipengaruhi oleh pemahaman manhaj ahl al-Bayt, namun berbeda dengan faham Syiah yang berkembang kemudian di Persia. Sebagai bukti nyata dalam masyarakat Aceh sangat jarang dijumpai nama-nama tokoh dinasti Umayyah seperti Abu Sufyan, Muawiyah, Yazid, Hindun dan seumpamanya, dan tidak ada satupun Raja dan Sultan di Aceh menggunakan nama-nama tersebut. Namun nama-nama seperti Ali, Hasan, Husein, Zaenal Abidin sangat populer, bahkan menjadi nama-nama ulama ataupun sultan Aceh. Keturunan Sayyidina Ali dari Sayyidina Hasan bernama Abdullah inilah yang diperkirakan mulai mengajarkan faham keislaman kepada kaum muslimin di ujung utara pulau Sumatra. Metode hikmah dalam proses Islamisasi yang berjalan sejak zaman Rasulullah dan diemban turun temurun oleh para Khalifah Rasyidah yang empat, diteruskan melalui jalur pengetahuan dan kultural oleh para sahabat utama bersama para muridnya yang telah memberikan cahaya Iman dan kekuatan Islam kepada umat manusia, menciptakan peradaban agung, spiritual maupun material sebagai petunjuk menuju kebenaran. Pada fase ini para pendakwah telah mengorbankan hidup dan kehidupan mereka, harta dan perdagangan diserahkan sepenuhnya untuk perjuangan membebaskan umat manusia dari kejahiliyahan. Hal yang bersebrangan dengan gerakan Arabisasi yang dilakukan Dinasty Umayyah dan Abbasiah, yang sudah terkontaminasi terkontaminas i oleh pola kekuasaan ala Romawi sebagai sebuah emperium yang menempuh jalur kekuasaan dan struktural. Jika proses Islamisasi telah melahirkan manusiamanusia agung penerus Rasul dan Khalifahnya yang mengutamakan kepentingan Islam di atas segala-galanya, yang dalam kasus Islamisasi Nusantara selanjutnya disebarkan oleh para pendakwah-sodagar yang hilir mudik dari dunia Arab ke Cina melintasi kepulauan Nusantara, yang telah membentuk citra Islam yang damai, bersahabat, toleran, menghormati dan mengembangkan budaya lokal dan membumi. Yang telah berhasil mengembangkan sebuah peradaban baru dengan corak budaya dan tradisi yang kaya dan beraneka ragam. Maka 83
Lihat: Modus, No.15/Th.V/23-29 Juli 2007 49
berbeda dengan proses p roses Arabisasi yang berlangsung dari Damsyik, Baghdad, Mesir, Bizantium, Bizantium, Asia Barat Daya, Afrika, Turki, Eropa dan sekitarnya yang dilakukan dinasti Umayyah atau Abbasiah yang berlangsung dengan penaklukan dan peperangan, yang juga melahirkan citra Islam yang hirarkhis, superior, intoleran, penuh kontradiksi dan perbedaan yang mengekang inovasi dan pengembangan pemikiran. Setiap dinasti memiliki kuasa untuk menentukan mazhab mana yang mesti dijalankan, yang diikuti tentunya dengan peperangan demi peperangan sesama Muslim yang memakai legalitas agama untuk menjatuhkan ataupun menaikkan dinastinya. Pemahaman keislaman yang hikmah seperti inilah yang dianut oleh masyarakat Islam awal di Nusantara, terutama di wilayah Aceh yang dapat menerima dengan terbuka berbagai faham keislaman yang berkembang dalam dunia Islam selanjutnya. Keterbukaan masyarakat yang berbasiskan sodagar ini telah mendorong m endorong berkembang pesatnya berbagai aliran keislaman yang berdasarkan pengetahuan tingkat tinggi di wilayah Aceh, yang kadangkala disalahmengerti oleh para peneliti akibat kurang mendalamnya mereka dalam memahami ilmu keislaman yang yang begitu luas dan dalam pembahasannya. pembahasannya. Keterbukaan ini ini sekaligus menolak menolak berbagai bentuk tirani yang hanya menerima satu faham keagamaan saja, sebagaimana pernah dialami oleh ulama besar India, Nuruddin al-Raniri yang mengkafi m engkafirkan rkan faham keislaman selain dari faham yang diyakininya. Akhirnya al-Raniri dan fahamnya tidak mendapat tempat di Aceh, kecuali hanya kurang dari 7 tahun dan dia sendiri harus meninggalkan Aceh. Suasana yang kondusif di wilayah Nusantara, yang jauh dari perpecahan dan tiranisme seperti yang tengah terjadi di Jazirah Arabia akibat perebutan kekuasaan dari bani Umayyah atau penggantinya bani Abbsiyah, menjadikan keturunan Nabi Muhammad dan para pengikutnya mapan di wilayah Aceh dan sekitarnya dalam mengembangkan pemahaman keislamannya yang lebih dekat kepada pemahaman ahl al-bayt. Dengan kharisma dan pengaruh yang dimilikinya, beliau dapat menyeru masyarakat untuk memeluk agama Islam, serta berhasil berdakwah kepada Raja-Raja di wilayah sekitar Aceh, yang selanjutnya menjadi kerajaan Islam yang dipimpin oleh para keturunan Nabi Muhammad dari suku Quraisy, sebagaimana disebutkan hadits: ” kepemimpinan dari kalangan Quraisy”. Maka tidak berlebihan jika dikatakan di wilayah Aceh pada awal perkembangan Islam, bersamaan dengan terjadi perbedaan pendapat antar mazhab di Jazirah Arabia, yang menjadi beberapa aliran besar terutama mazhab Syiah dan Sunni, telah berkembang pula faham keagamaan yang pada dasarnya tidak memiliki hubungan dengan pertikaian antar mazhab akibat perbedaan politik di kalangan kaum muslimin. Faham keislaman ini lahir dari pengetahuan tentang keislaman yang murni dibawa oleh murid-murid utama para sahabat Nabi yang utamanya datang dari wilayah Aden di Yaman, yang berkembang di kalangan para sodagar bersifat sangat fleksibel dalam menjalankan keislamannya. Faham keagamaan ini bertambah dewasa setelah kedatangan para ulama yang diketahui sebagai para keturunan dan pengikut Sayyidina Ali yang tidak berhubungan dengan Syiah yang berkembang di Persia belakangan, atau tidak seekstrim Sunni Baghdad yang membantai semua keturunan Sayyidina Ali. Faham keislaman ini bukanlah seperti ajaran Syiah yang kemudian mengkafirkan para sahabat utama, termasuk Sayyidina Umar bin Khattab yang juga menjadi menantu Sayyidina Ali, dan dalam riwayatnya Sayyidina Sayyidina Ali tidak pernah p ernah memerangi mereka sebelumnya, kecuali setelah pembunuhan Sayyidina Utsman bin Affan yang menimbulkan fitnah kepada kaum muslimin. Di antara peneliti sejarah, ada yang berpendapat bahwa di Aceh telah berkembang semacam faham Syiah juga, dalam artian Syiah Ali yang murni yang mencintai keluarga Rasul, dan mereka menyebutnya sebagai Syiah Aceh. Penyebutan ini untuk membedakannya dengan 50
faham Syiah Persia yang dianggap terlalu mengkultuskan keturunan Nabi saw dan terlibat dalam pengkafiran para sahabat utama. Demikian pula Syiah Aceh ini secara fiqh lebih dekat dengan mazhab Sunni, karena memiliki sumber pengambilan yang sama, yaitu dari Imam Syafi‟i yang mengambil manhaj Imam Ja‟far al-Shadiq al-Shadiq yang diketahui berguru kepada muridmurid Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain yang mendapat pengajaran dari ayahandanya Sayyidina Ali yang menjadi murid dan menantu Nabi Muhammad saw. Di kemudian hari, faham seperti Syiah Aceh inilah yang akan melahirkan sebuah faham yang sulit dibedakan, apakah Syiah atau Sunni, karena memiliki ajaran Syiah dan Sunni sekaligus. Faham yang terbuka kepada ajaran-ajaran Islam yang berkembang di dunia Arab, namun memiliki dasar pemahaman yang berakar pada keislaman para sahabat. Namun faham ini memang tidak menghasilkan Imam-Imam besar sebagaimana yang telah dilahirkan di Jazirah Arabia, namun tidak diragukan faham ini telah berhasil menjadi penggerak Islamisasi Asia Tenggara yang dipelopori para sodagar. Saya sendiri lebih senang menyebutnya sebagai Islam Sodagar. Sebuah pemahaman keislaman yang dijalankan oleh para sodagar Muslim dengan worldview keislamannya yang dalam serta paradigma kesodagaran yang telah menjadi aktivitas kehidupannya. Karena penggerak utama faham keislaman ini adalah para sodagar yang sibuk dengan aktivitas niaganya, maka mereka memilih faham yang praktis, rasional, transaksional, kosmopolis, trendy, fleksibel yang mencukupkan dengan Kitab Allah dan Hadits Nabi yang jika mereka tidak mendapatkan pada keduanya, mereka akan membuat keputusan menurut ro‟yu atau analisis mendalam mereka terhadap kedua sumber ajaran Islam, sebagaimana s ebagaimana disebutkan disebutkan oleh sahabat Muadz bin Jabal. Kesibukan niaga para sodagar tidak memungkinkan mereka untuk mendalami ajaran Islam sekaligus membuat fatwa-fatwa hukum, ataupun mencatat segala pendapat dan aktivitas mereka sebagaimana kegiatan para ulama dan cendekiawan Muslim yang telah melahirkan jutaan kitab dalam bidangnya masing-masing. Itulah sebabnya di Nusantara pada fase Islamisasi tahap awal, tidak banyak ditemukan kitab-kitab rujukan sebagaimana di jazirah Arabia misalnya. Para sodagar menjadikan dirinya sebagai percontohan langsung ajaran Islam, jika boleh dikatakan para sodagar menjadi semacam al- Qur‟an yang hidup, yang dari kehidupannya masyarakat dapat mengambil pelajaran tentang Islam. Masyarakat umum langsung dapat membandingkan kehidupan para sodagar Muslim dengan kemulian akhlaknya dengan para pemeluk agama lainnya yang lebih feodal, hirarkhis dan tertutup. Para sodagar telah menciptakan sebuah lingkungan yang aman dan nyaman bagi masyarakatnya, sebuah masyarakat kota yang berbasiskan perdagangan. Pandangan ini tentu merujuk kepada keadaan Nabi Muhammad saw ketika sebelum menerima wahyu sebagai seorang sodagar yang sukses di jazirah Arabia. Pertanyaan utama adalah kenapa Allah Yang Maha Agung memilih Nabi dan Rasul terakhirnya dari kalangan sodagar. Atau kenapa Allah Yang Maha Tahu mempersiapkan kehidupan dan karir Muhammad saw menjadi seorang sodagar. Hikmah yang dapat kita fahami adalah Allah SWT telah memilih manusia terbaik dari profesi terbaik di muka bumi tentunya, yaitu di kalangan para sodagar. Dengan kata lainnya, bahwa sodagar adalah jalan yang dapat ditempuh para pencari kebenaran untuk mencapai tingkatan spiritualitas tertinggi kemanusiaan, di samping jalan-jalan agung lainnya. Namun Islam telah memilih kalangan sodagar sebagai penggerak utamanya, karena hampir semua pendukung pertama Islam adalah dari kalangan para sodagar, atau minimal dalam lingkungan sodagar. Termasuklah Sayyidina Ali, yang sejak kecil telah hidup bersama dengan Nabi Muhammad dan Khadijah, sodagar utama Mekkah, yang pasti telah membentuk karakter beliau dalam lingkungan sodagar. Tidak berlebihan akhirnya jika disebutkan bahwa Islam adalah agama para sodagar, yang diturunkan kepada sodagar tentu 51
dengan paradigma kesodagarannya. Demikian pula jika kita merujuk kepada wahyu Allah kepada Nabi Muhammad yang pertama-tama, adalah bahasa yang singkat dan padat, praktis sebagaimana menjadi kebiasaan para sodagar. Berbeda kebanyakan dengan kebiasaan ahli syair yang sangat royal dengan bahasa yang berbunga-bunga, ataupun para ahli filsafat yang sangat susah dicerna pemikirannya oleh masyarakat awam. Akhirnya lingkungan keislaman yang yang kondusif di Nusantara yang telah dibentuk para sodagar Muslim ini telah memberikan keuntungan kepada keturunan Sayyidina Ali dan para pengikutnya untuk mengembangkan pemahamannya yang juga rasional serta menghormati tradisi dan budaya lokal, yang mendakwahkan mendakwahkan Islam dengan uswah hasanah, percontohan yang baik dengan akhlak mulia. Selanjutnya persilangan pemahaman antara para sodagar dengan keturunan Sayyidina Ali membentuk sebuah corak keislaman Nusantara yang khas, pola keislaman yang berbeda dengan yang berkembang umumnya di jazirah Arabia, terutama faham keislaman yang disponsori oleh bani Umayyah dan bani Abbasiyah yang strukturalis. Jika proses Islamisasi melalui jalur kekuatan dan penaklukan penaklukan berjalan cepat di dunia Arab, maka proses Islamisasi di Nusantara mengambil rentang waktu yang panjang, karena lebih mengutamakan sebuah proses yang biasa disebut para cendekiawan sebagai ”revolution from within” atau revolusi dari keruhanian yang berangkat dari kesadaran dan pemahaman mendalam terhadap ajaran Islam, sesuai dengan antropologi masyarakat Nusanara. Para pendakwah Islam melaksanakan proses Islamisasi tahap demi tahap, sesuai dengan keadaan alam masyarakat Nusantara, menanamkan ajaran Islam sampai kesadaran terdalam masyarakat tanpa menimbulkan gejolak sosial yang akan merugikan kepentingan jangka panjang dakwah untuk membentuk sebuah fondasi peradaban yang berdasarkan ajaran Islam namun lahir dari nila-nilai kearifan lokal yang tumbuh bersamaan dengan keyakinan kepada Allah sebagai Pencipta alam. Jika tujuan kedatangan para penakluk Arabia pasca pasca Khalifah Khalifah Rasyidah dengan dengan kekuatan kekuatan militernya untuk menguasai wilayah-wilayah wilayah-wilayah luas dengan tujuan membangun emperium baru Arab ( Mulkan Mulkan Adhudhan) sebagai ganti emperium Romawi atau Persia yang dikalahkannya, maka berbeda dengan tujuan para sodagar Muslim yang membawa Islam ke Nusantara. Karena mereka adalah para sodagar bukan pasukan militer penakluk, senjata mereka adalah barang dagangan yang disertai kepercayaan penuh para mitra dan pembelinya, maka para sodagar pendakwah inipun menyebarkan Islam dengan penuh hikmah dan uswah, ramah tamah dengan integritas tinggi sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad saw sehingga mendapat gelar al-Amien. Mereka harus bersahabat dengan mitranya atau dengan masyarakat setempat, bukan memberi ultimatum seperti para tentara Islam: ”masuk Islam, bayar jizyah (pajak) atau perang?”. Inilah yang membedakan penerimaan masyarakat lokal terhadap mereka dengan ajaran yang dibawanya. Dakwah seorang tentara penakluk dengan sodagar tentu menempuh cara dan pendekatan yang berbeda, walaupun memiliki tujuan sama untuk membebaskan manusia dari penghambaan sesama makhluk. Apalagi jika para pendakwah sodagar itu masih merupakan kelompok minoritas yang memerlukan dukungan kuat dari penguasa yang belum seiman, sebagaimana dialami para penggerak awal Islamisasi Nusantara. Evolusi panjang dalam proses Islamisasi dengan rentang waktu panjang ini, telah memberikan kesiapan pada jiwa masyarakat Nusantara Nusantara untuk untuk menerima Islam sebagai agama pembawa rahmat semesta alam. Setelah hampir 70 tahun berkuasa sebagai emperium besar di jazirah Arabia, kini penguasa Bani Umayyah mendapat tantangan dari gerakan baru Bani Abbasiyah. Kenaikan penguasa baru ini juga pada akhirnya memojokkan para keturunan Sayyidina Ali dan telah mendorong penghijrahan para ulama dan pengikut ajaran ahl al-bayt ke seluruh dunia, termasuk ke pulau Sumatra. Pertikaian politik ini juga ditengerai telah mendorong 52
penghijrahan para ulama yang berasal dari keturunan Imam Ali Zainal Abidin anak Sayyidina Husein yang berada di Persia. Bersamaan dengan perkembangan faham keislaman Nusantara inilah, selanjutnya tercatat pada sekitar awal abad ke 2 Hijriah telah datang seorang pangeran dari Persia, yang dalam banyak sarakata dan silsilah para raja, diketahui bernama Syahriansyah Syahriansyah Salman al-Farisi. Sejarah hidup Sang Pangeran Persia ini belum banyak diketahui, kecuali beliau menjadi Raja di wilayah Jeumpa yang sebelah utara pulau Sumatra. Menurut penelitian para ahli sejarah, Pangeran Salman datang dari wilayah Persia sebagai seorang sodagar dengan membawa rombongan perdagangan ke wilayah ujung utara pulau Sumatra. Karena kelebihannya beliau dikawinkan dengan anak Raja Jeumpa dan beberapa tahun kemudian beliau membangun bandar niaga sendiri yang kemudian berkembang di Kerajaan Jeumpa, yang diidentifikasi sebagai salah satu kerajaan Islam tertua dan pertama di Asia Tenggara. Menurut saya, kedatangan Pangeran Salman al-Farisi bersama rombongannya di wilayah Aceh, yang teridentifikasi di Jeumpa (Bireuen sekarang) telah memperkuat masyarakat yang dibangun oleh Maulana Abdullah sebelumnya. Bahkan ada diantara para peneliti yang menghubungkan kedua tokoh ahl al-bayt ini sebagai sebuah jaringan gerakan terencana untuk memperkuat kedudukan politik para keturunan Rasulullah yang tengah terdesak di Jazirah Arabia. Mereka sangat berkepentingan untuk membentuk sebuah kerajaan yang akan menjadi patron kepada gerakan dakwah dan Islamisasi yang tengah dilakukan di Asia Tenggara. Memang sangat sulit untuk mencari data ilmiyah mengenai hubungan ini. Namun jika kita mengaitkan peristiwa demi peristiwa yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya, maka kita akan mendapat gambaran umum tentang perencanaan yang telah disusun para pemuka keturunan Rasulullah saw, yang tentu terus berjuang untuk mempertahankan eksistensinya di muka bumi. Karena mereka berkeyakinan sebagaimana disebutkan dalam hadits terdahulu, bahwa itrah (keturunan) Rasulullah adalah penjaga utama al-Qur‟an al- Qur‟an dan kaum muslimin. Tentu dengan berbagai cara dan strategi mereka berjuang mempertahankan eksistensi keturunannya di muka bumi ini, walau harus dengan menyamar dan bersembunyi. Sejak kedatangan Pangeran Salman yang telah menjadi Raja Jeumpa, perkembangan Islam dibawah keturunan Nabi Muhammad ini semakin pesat. Kerajaan Jeumpa dijadikan sebagai pusat niaga yang menjadi wilayah transit baru di utara pulau Sumatra, yang diperkirakan berada di delta sungai Peudada di utara Aceh. Kerajaan Jeumpa sekaligus dijadikan sebagai pusat pengembangan dakwah Islamiyah, dengan membangun wilayahwilayah perdagangan kaum muslimin yang baru. Salah seorang anak Pangeran Salman bernama Shahir Nuwi membangun perkampungan muslim baru di sekitar Perlak, yang berkembang menjadi pusat perniagaan kaum muslimin. Pada saat itulah datang serombongan ahl al-bayt dari jazirah Arabia di bawah pimpinan Maulana Muhammad bin Ja‟far Shadiq, yang terkenal dengan julukan Nakhoda Khalifah. Selanjutnya anak Maulana Muhammad bernama Maulana Ali dinikahkan dengan adik Shahir Nuwi yang telah melahirkan Maulana Abdul Aziz Syah, yang disebut sebagai Sultan pertama Kerajaan Perlak, sekitar tahun 225 H. Berdirinya Kerajaan Islam Perlak, yang merupakan gabungan kekuatan dari keturunan Maulana Abdullah (Yaman), Syahriansyah Salman (Persia), Maulana Muhammad al- Diba‟i (Mekkah), (Mekkah), maka kedudukan para ahl al-bayt semakin kuat dan mempengaruhi perkembangan Islam serta corak ajarannya di Sumatra dan Asia Tenggara umumnya. umumnya. Yaitu sebuah pemahaman pem ahaman keislaman yang diajarkan para sodagar yang kosmopolis, terbuka, toleran dan mencintai keturunan Rasulullah. Dari peristiwa ini, dapat diketahui bahwa jaringan keturunan Nabi saw datang ke wilayah utara Sumatra, khususnya ke Aceh adalah dengan perencanaan untuk membangun sebuah jaringan kekuatan ahl al-bayt bersama dengan pemahaman keislaman yang mereka yakini kebenarannya. Apalagi banyak sekali hadits yang menyebutkan peristiwa pembantaian 53
keturunan Rasulullah pasca para Khalifah Rasyidah dan hubungannya dengan pembelaan sebuah kelompok dari timur (qaum min masyrik), yang tidak diragukan berada di sebelah timur dari Madinah, tempat Rasulullah mengucapkannya, terbentang dari daratan Yaman, menyebrang samudra Hindia ke wilayah Sumatra dan seterusnya. Dalam kenyataannya, sejarah membuktikan bahwa para keturunan Rasulullah ( itrah) banyak yang berhijrah ke wilayah Sumatra-Aceh dan mendapatkan pembelaan dari masyarakat timur ini, bahkan mereka diberi kehormatan sebagai para Raja dan Sultan. Selanjutnya para ahl al-bayt ini membentuk beberapa kerajaan yang menjadi jaringan dalam mengislamisasikan Asia Tenggara. Sebagai sebuah tradisi di Asia Tenggara, rakyat akan mengikuti keyakinan para Raja dan bangsawannya. Jika para petinggi kerajaan sudah memeluk Islam, maka rakyat akan mengikutinya berbondong-bondong. Demikian pula dakwah Islam memerlukan sebuah perlindungan politik maupun militer dari tantangan ataupun ancaman kerajaan yang memiliki keyakinan berbeda. Itulah sebabnya para pemuka ahl al-bayt yang memahami karakteristik perjuangan Rasulullah, segera membangun kekuatan kerajaan Islam, menempatkan putraputra terbaiknya sebagai Raja atau Sultan yang memerintah kerajaan Islam, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw ketika mempertahankan maupun mengembangkan seruan Islam ke seluruh penjuru dunia. Maka tidak diragukan bahwa perkembangan pesat Islam di Sumatra adalah karena telah berdirinya kerajaan Islam yang menjadi pelindung utama para pendakwah Islam. Setelah berjalan beberapa abad, maka pusat Islamisasi Asia Tenggara berpindah dari Perlak yang mengalami kemunduran ke Pasai, yang terletak antara Kerajaan Jeumpa dengan Kerajaan Perlak. Kerajaan Pasai mewarisi tradisi keislaman yang telah berkembang sebelumnya, sebagai pemahaman keislaman yang lebih dekat kepada keturunan Nabi. Bahkan para Sultan pendiri Kerajaan Pasai adalah keturunan dari para Sultan Perlak terdahulu yang diketahui memiliki hubungan dengan ahl al-bayt. Namun perkembangan Kerajaan Pasai melebihi perkembangan kerajaan sebelumnya akibat peristiwa penaklukan pasukan Bar-Bar dari Mongolia di bawah pimpinan Genggis Khan terhadap pusat pemerintahan Islam di Baghdad pada tahun 1258 M. Keruntuhan Baghdad dan pusat-pusat keilmuan Islam di dunia Arab telah mendorong penghijrahan para ulama dan cendekiawan Muslim ke Kerajaan Pasai, yang selanjutnya mengantarkannya mengantarkannya sebagai Kerajaan Islam terbesar masa itu di Asia Tenggara. Para ulama dan cendekiawan Muslim berkumpul untuk membesarkan Kerajaan Pasai, diketahui banyak sekali para petinggi kerajaan berasal dari seluruh Dunia Islam, baik Mekkah-Madinah, Marokko, Bukhara, Isfahan, Baghdad, Yaman, India dan lainnya. Keberhasilan para keturunan Rasulullah membangun jaringan kekuatan spiritualitas (Kingdom of Spirituality) yang terbentang dari Samarkand melintasi Persia, dari Afrika Marokko sampai ke Yaman Hadramawt, yang berporos di Makkah al-Mukarramah, yang ke timur terbentang dari anak benua India (Gujarat) kemudian sampai ke Sumatra dan Asia Tenggara, telah memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan faham ahl al-bayt ini, terutama di Aceh. Selama zaman pemerintahan pemerintahan Sultan Sultan Malik al-Salih, al-Salih, Kerajaan Pasai berkembang berkembang pesat menjadi pusat pengajian Islam tingkat tinggi di Asia Tenggara dengan berdirinya beberapa zawiyah, sekaligus sebagai kerajaan Islam yang memiliki hubungan dengan para keturunan Nabi saw. Ini diketahui dari catatan-catatan para peziarah yang singgah di Pasai. Disebutkan Disebutkan di antara mereka ada ulama keturunan Rasulullah namun bermazhab Syafi‟i sebagaimana faham yang dianut oleh mayoritas ulama keturunan Nabi di Hadramawt Yaman dan bukan menganut faham Syiah Persia. Namun jika dilihat beberapa tokoh ulama Kerajaan Pasai yang berasal dari Persia, maka tidak diragukan bahwa Kerajaan Pasai juga menganut faham keislaman yang sedang berkembang pesat di Persia, terutama dalam bidang tasauf falsafati , sebuah aliran 54
dalam bidang tasauf yang berdasarkan pada aspek filsafat yang dikembangkan oleh Suhruwardi, Ibn Arabi dan lainnya. Mengenai faham keislaman yang dianut Kerajaan Kerajaan Pasai ini dapat pula dilihat dari namanama para petinggi kerajaan yang tidak diragukan sangat dekat hubungannya dengan pemahaman para keturunan Nabi. Misalnya ada beberapa ahli hukum dan Qadhi yang berasal dari Isfahan di wilayah Persia, yang diketahui sebagai pusat pengembangan ajaran para pengikut keturunan Nabi saw. Demikian pula sambutan para petinggi Kerajaan Pasai pada abad 14 M terhadap pendakwah ahl al-bayt keturunan Hadramawt Yaman bernama Sayyid Husein al-Akbar atau terkenal dengan Maulana al-Akbar bersama anaknya Maulana Malik Ibrahim yang datang ke Pasai dari Kesultanan Taghlug di India. Beliau dan keturunannyalah yang dianggap sebagai penyebar utama aliran tasauf alawiyah (tariqah alawiyah) yang sudah berkembang pesat di dunia Islam yang dikembangkan oleh ulama ahl al-bayt Yaman. Salah seorang anaknya Maulana Ibrahim dan keturunannya diketahui menjadi petinggi Pasai. Sehubungan dengan aliran keislaman di Kerajaan Pasai selanjutnya, dapat pula dilihat dari kajian terhadap pemikiran Syekh Abu Bakar, seorang ulama tasauf dari Baghdad yang menulis kitab tasauf Dzur al-Mandzum, kitab Islam tertua yang diketahui di Asia Tenggara pada abad ke 15 Masehi. Kitab ini dibawa kepada Sultan Malaka, kemudian dikomentari Maulana Ibrahim Patakan, seorang ulama dari Pasai yang sangat menguasai ajaran tasauf. Menurut penelitian ahli sejarah, pada masa inilah mulai berkembang pesatnya aliran tasauf di Asia tenggara, baik tasauf falsafati ataupun tasauf amali atau juga dikenal sebagai tasauf sunni yang dikembangkan oleh Imam al-Ghazali. Kedewasaan masyarakat di Kerajaan Pasai dalam menjalankan ajaran Islam yang berkembang pesat dengan berbagai aliran dan mazhab ini membuktikan bahwa tradisi keislaman sudah lama berkembang dan sudah mencapai masa kemapanannya sebagai ajaran yang mempengaruhi worldview (pandangan alam) masyarakat dan para penguasanya. Sebagaimana diterangkan diterangkan terdahulu semenjak awal abad pertama hijriah yang disebarkan para sahabat melaui murid-murid sodagarnya yang telah menciptakan masyarakat Muslim yang terbuka, toleran, kosmopolis (madani) dan berperadaban tinggi. Kenyataan ini sekaligus membantah teori yang menyatakan Islam baru diajarkan pada abad ke 12 Masehi di Aceh, sebagaimana diyakini orientalis Barat. Demikian pula kedewasaan berislam dapat difahami melalui kedewasaan mereka dalam menerima dan mengembangkan ajaran-ajaran keislaman yang datang kemudian dari dunia Arab, seperti faham-faham tasauf yang mulai digemari ketika kaum muslimin di Baghdad mencapai puncak kejayaan dan kemakmuran material, sehingga merindukan kehidupan tinggi spiritual yang diserukan para penganut aliran tasauf. Pemahaman keislaman yang tinggi, didukung kestabilan politik yang membawa kemakmuran, kemakmuran, telah mengantarkan Kerajaan Pasai menjadi pusat pengembangan ajaran keislaman di Asia Tenggara, baik dalam bidang fiqih, usuluddin, dan terutama bidang tasauf yang tengah menjadi minat kaum muslimin masa itu. Menjelang masuknya penjajah Portugis ke Malaka pada abad 15 diketahui telah berkembang pusat pendidikan tasauf (zawiyah) yang mengajarkan faham wujudiyah di wilayah Pasai dan sekitarnya, yang juga lebih dikenal sebagai tasauf falsafati yang diajarkan oleh Ibnu Arabi dan lainnya di Baghdad. Menurut penelitian Prof. al-Attas, faham inilah yang telah melahirkan ulama besar Syekh Hamzah Fansuri di Kerajaan Pasai, yang akhirnya menjadi tokoh utama di Kerajaan Aceh Darussalam. Syekh Hamzah disebut sebagai ulama Asia Tenggara yang memiliki pemahaman wujudiyah, walaupun bukan ulama pertama yang menganut faham tersebut. Beliau terkenal berkat karya-karya yang telah dihasilkannya, dan disebut sebagai pengembang tasauf falsafati terkemuka dan terutama di Asia Tenggara. 55
Mengenai masa hidup Syekh Hamzah para peneliti masih banyak yang berbeda pendapat tentangnya. Penemuan terkini yang dikemukakan Claude Guillot dan Ludvik Kalus, yang menyebutkan bahwa Syekh Hamzah wafat pada tahun 1527 M dan dimakamkan di pekuburan Ma‟la di Mekkah, adalah lebih mendekati kebenaran. Penemuan ini dapat diperkuat dengan faham wujudiyah dalam pembahasan martabat yang dianut Syekh Hamzah lebih klasik (lima martabat) dibandingkan dengan pemahaman Syekh Syamsuddin terkemudian, yang telah menjelaskan martabat tujuh. Dimana faham ini mulai berkembang pada pertengahan abad ke 16, atau setelah wafatnya Syekh Hamzah, sehingga belum menjadi pembahasan beliau. Jika dilihat tahun wafatnya, maka peran sentral Syekh Hamzah adalah pada masa-masa akhir kerajaan Pasai dan awal pembentukan Kerajaan Aceh Darussalam. Siapakah Hamzah Fansuri dan darimanakah asalnya? Sampai saat ini masih banyak dikalangan cendekia yang berbeda pendapat tentang negeri asal Syekh Hamzah Fansuri yang memiliki peran sentral dalam Kerajaan Aceh Darussalam yang kelak menggantikan peranan Kerajaan Pasai. Prof. Naquib al-Attas, cendekiawan Nusantara yang mengadakan penelitian intent terhadap Hamzah Fansuripun masih mengalami kegamangan ketika menafsirkan baitbait syair beliau yang menunjuk negeri asalnya, yang sebagian besar menunjuk Negeri Siam (Thailand) karena salah menafsirkan bait syair Syekh Fansuri. Untuk mengetahui asal dan perjalanan Syekh Hamzah Fansuri, ada beberapa bait syair beliau yang harus dipecahkan dan diterjemahkan maknanya. Diantaranya adalah; Hamzah ini asalnya Fansuri // Mendapat Mendapat wujud di tanah Shahrnawi // Beroleh khilafat ilmu yang ‟ali // Daripada ‟Abd al-Qadir al-Qadir Jilani. Hamzah di negeri Melayu // Tempatnya kapur di dalam kayu. Hamzah Fansuri di dalam Mekkah // mencapai Tuhan di Baitul Ka‟bah // dari Barus terlalu payah // akhirnya dijumpa di dalam rumah. Hamzah Fansuri orang uryani // seperti ismail menjadi qurbani // bukan Ajami lagi Arabi // senantiasa senantiasa wasil dengan Yang Baqi. Dari beberapa syair di atas, maka sebenarnya tidak diragukan bahwa Syekh Hamzah Fansuri adalah berasal dari wilayah sekitar Aceh, yang terdapat padannya Fansur (Aceh Selatan) , , Tanah Shahrnawi (Perlak) , , negeri Melayu (Pasai-Malaka) , Barus (Sumatra Utara). Adapun pernyataannya sebagai orang Uryani dan bukan Ajami lagi Arabi, dapat ditafsirkan sebagai keturunan yang berasal dari alam Melayu, yang diketahui rumpunnya berasal dari bangsa Aria, yang lebih dekat dengan bangsa Romawi. Biasanya rumpun Melayu asal lebih mendekati keturunannya dari suku Iskandar Zulkarnaen yang memang diketahui berasal dari Rumawi klasik dan bukan dari bangsa Ajami yang biasanya menunjuk kepada bangsa Parsia dan juga bukan dari keturunan bangsa Arab secara langsung. Syekh Hamzah Fansuri adalah salah satu alumni sistem pendidikan Kerajaan Pasai yang terbaik di Asia Tenggara. Namun kecerdasan Hamzah muda tidak cukup dengan keilmuan para ulama lokal, dan membawanya pergi mengembara mencari pengetahuan yang lebih tinggi dalam berbagai bidang, menjelajahi pusat-pusat pengetahuan dunia Islam dari MekkahMadinah, Quds Palestina, Baghdad, Persia, sampai India dan lainnya. Pada zaman beliau tasauf falsafati sedang berkembang pesat dan menjadi minat utama para genius dunia Islam. Walaupun ada sebagian yang mempermasalahkan pengetahuan tingkat tinggi ini, namun sebagian besar ulama membenarkan pengetahuan yang hanya dapat dicerna oleh sebilangan kecil cendekia jenius Muslim, sebagaimana disebutkan Mahaguru ilmu keislaman di Mekkah, Syeikh Ibrahim al-Kurani, yang menjadi guru spiritual ulama besar Aceh, Maulana Syiah Kuala (Abdul Rauf al-Singkili). Ketika peranan Kerajaan Pasai mulai memudar, terutama setelah penjajah Portugis menguasai Malaka pada tahun 1511, para cendekiawan Pasai membangun pusat pengkajian Islam di kerajaan yang baru dideklarasikan di ujung utara pulau Sumatra, yang dinamakan 56
dengan Kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan ini adalah penyatuan kembali beberapa kerajaan Islam yang sudah terpecah belah di bawah kepemimpinan Sultan Ali Mughayyat Syah pada tahun 1514 M. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Syekh Hamzah adalah termasuk salah satu ulama yang ikut mendukung pendirian kerajaan baru ini. Itulah sebabnya, banyak diantara murid dan pengikutnya dari kalangan para ulama wujudiyah yang menjadi penasihat dan pembimbing kerajaan dari pertama p ertama berdirinya sampai masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Demikian pula ketokohan Syekh Hamzah dalam pendirian Kerajaan Aceh Darussalam telah memberikan kesempatan berkembangnya faham wujudiyah secara meluas di kerajaan Aceh yang baru didirikan, serta mendapat dukungan kuat dari kerajaan. Itulah sebabnya ketika paman Syekh Nuruddin yang bernama Muhammad Jailani ibn Hasan datang ke Bandar Aceh pada tahun 1580 dan 1583 untuk untuk menyebarkan pengaruhnya yang bertentangan dengan faham wujudiyah, tidak mendapat sambutan masyarakat dan tidak mendapat tempat dalam kerajaan yang tengah dibimbing ulama-ulama wujudiyah. Islam Sodagar yang telah berkembang pesat sejak kedatangannya dari Yaman telah mempengaruhi tradisi kehidupan masyarakat Sumatra-Aceh. Pemahaman ini secara konseptual lebih dekat dengan aliran tasauf falsafati yang sangat menghargai menghargai penalaran/pemikiran tingkat tinggi, daripada tasauf amali (tarekat) yang berkembang pesat di tanah Jawa. Karena para sodagar lebih mengutamakan daya nalar (ra‟yi) dalam menjalankan aktivitasnya sebagaimana dinyatakan sahabat utama Muadz bin Jabal sebelum diutus ke Yaman, dibandingkan dengan kebanyakan masyarakat umum yang lebih sederhana menggunakan nalarnya, dan menyalurkannya menyalurkannya dengan amalan-amalan seperti ibadah ritual seperti zikir . Bagi Islam Sodagar, berfikir adalah jauh lebih tinggi nilainya dari pada sekedar berzikir, berdasarkan kepada hadits Nabi: berfikir sesaat sama dengan beribadah seribu bulan. Worldview inilah yang telah mempengaruhi perkembangan masyarakat beserta para petinggi Kerajaan Aceh Darussalam, sehingga mereka memutuskan menganut faham yang telah diajarkan oleh Syekh Hamzah Fansuri dan para pelanjutnya yang beraliran wujudiyah. Worldview (pandangan alam) inilah yang akhirnya mengantarkan kemakmuran, kejayaan dan kebesaran Kerajaan Aceh Darussalam. Para Tokoh Utama Pengerak Islamisasi Nusantara Tidak diragukan bahwa tokoh atau aktor Islamisasi di Nusantara sangat banyak tidak terbilang yang tidak mungkin dapat disebutkan satu persatu, dimulai dari tokoh-tokoh sahabat Nabi, atau generasi sesudahnya bersama para murid dan pengikutnya yang sambung menyambung mengemban dakwah Islamiyah. Di samping beberapa aktor utama Islamisasi Nusantara yang telah disebutkan terdahulu seperti Maulana Abdullah, Syahriansyah Salman, Shari Nuwi dan lainnya, maka di bawah ini saya akan mengemukakan beberapa tokoh Islamisasi Nusantara selanjutnya. Maulana Sayyid Abdul Aziz Syah: Sultan Perlak Pertama Keturunan Arab-Quraisy Setelah dewasa Syahri Nuwi, salah seorang anak Pengeran Salman, Raja Kerajaan Islam Jeumpa, berhasil mengembangkan mengembangkan sebuah perkampungan perkampungan pelabuhan yang dihuni para pedagang keturunan keturunan Arab, Parsi, India dan lainnya di sekitar wilayah Perlak yang p ada waktu itu sekitar tahun 805 menjadi sebuah kota pelabuhan yang sedang berkembang pesat. Dengan bimbingan dari ayahnya, Syahri Nuwi kemudian berhasil mengembangkan pelabuhan kecil ini menjadi sebuah bandar baru yang banyak disinggahi para pedagang dari seluruh penjuru dunia, terutama dari Arab, Persia, India dan Cina. Sejak saat itu, Bandar Perlak menjadi salah satu bandar terpenting di pulau Sumatra, bahkan menggantikan peranan Bandar Fansur 57
ataupun Barus sebagai tempat persinggahan para pedagang yang belayar dari Cina menuju Arab maupun Eropa. Kepemimpinannya yang menonjol telah mengantarkan Syahri Nuwi menjadi penguasa baru di Kerajaan yang diberikannya nama dengan Kerajaan Peureulak (Perlak) dengan gelar Meurah gelar Meurah Syahri Nuwi. Di bawah kepemimpinannya masyarakat Muslim di daerah ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama sekali lantaran banyak terjadinya perkawinan di antara saudagar Muslim dengan wanita-wanita setempat, sehingga melahirkan keturunan dari percampuran darah Arab Arab dan Persia dengan putri-putri putri-putri Perlak. Keadaan ini membawa membawa pada berdirinya kerajaan Islam Perlak pertama, pada hari selasa bulan Muharram, 840 M. Sultan pertama kerajaan ini merupakan keturunan Arab Quraisy bernama Maulana Abdul Azis Syah, bergelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Menurut Wan Hussein Azmi, pedagang Arab dan Persia tersebut termasuk dalam golongan Syiah. 84 Wan Hussein Azmi dalam Islam di Aceh mengaitkan kedatangan mereka dengan Revolusi Syiah yang terjadi di Persia tahun 744-747 M. Revolusi ini di pimpin Abdullah bin Mu'awiyah yang masih keturunan keturunan Ja'far bin Abi Thalib. Bin Mu'awiyah Mu'awiyah telah menguasai kawasan luas selama dua tahun (744-746) dan mendirikan istana di Istakhrah sekaligus memproklamirkan dirinya sebagai raja Madian, Hilwan, Qamis, Isfahan, Rai, dan bandar besar lainnya. Akan tetapi ia kemudian dihancurkan dihancurka n pasukan Muruan di bawah pimpinan Amir bin Dabbarah tahun 746 dalam pertempuran pertemp uran Maru Sydhan. Kemudian banyak pengikutnya yang melarikan diri ke Timur Jauh. Para ahli sejarah berpendapat, berpendapat, mereka terpencar di semenanjung semenanjun g Malaysia, Cina, Vietnam, dan Sumatera, termasuk ke Perlak. Pendapat Wan Hussein Hussein Azmi itu diperkaya dan diperkuat diperkuat sebuah naskah tua tua berjudul Idharul Haqq fi Mamlakatil Ferlah w'l-Fasi, karangan Abu Ishak Makarni al-Fasy, yang dikemukakan dikemukakan Prof. A. Hasjmi. Dalam naskah itu diceritakan tentang pergolakan sosialpolitik di lingkungan Daulah Daulah Umayah dan Abbasiyah yang kerap menindas pengikut Syiah. Pada masa pemerintahan Khalifah Makmun bin Harun al-Rasyid (813-833), seorang keturunan Ali bin Abi Thalib, bernama Muhammad bin Ja'far Shadiq bin Muhammad Baqr bin Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, memberontak terhadap Khalifah yang berkedudukan di Baghdad dan memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang berkedudukan di Makkah. Khalifah Makmun berhasil menumpasnya. Tapi Muhammad bin Ja'far Shadiq dan para tokoh pemberontak pember ontak lainnya tidak dibunuh, melainkan diberi ampunan. Makmun menganjurkan menganju rkan pengikut Syiah itu meninggalkan negeri Arab untuk meluaskan dakwah Islamiyah ke negeri Hindi, Asia Tenggara, dan Cina. Anjuran itu pun lantas dipenuhi. Sebuah Angkatan Dakwah beranggotakan 100 orang pimpinan Nakhoda Khalifah yang kebanyakan tokoh Syiah Syiah Arab, Persia, dan Hindi ---termasuk ---termasuk Muhammad Muhammad bin Ja'far Shadiq--segera bertolak ke timur dan tiba di Bandar Perlak pada waktu Syahir Nuwi menjadi Meurah (Raja) Negeri Perlak. Syahir Nuwi kemudian menikahkan Ali bin Muhammad bin Ja'far Shadiq dengan adik kandungnya, Makhdum Tansyuri. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H dilantik menjadi Raja dari kerajaan keraja an Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. 85 Pertanyaannya adalah, kenapa rombongan Nakhoda Khalifah yang dipimpin oleh para Keturunan Nabi Muhammad saw dan para pendukung setianya, baik dari Arab maupun Persia, yang datang dari Semenanjung Arabia itu memilih Perlak sebagai persinggahannya?
84 85
Wan Huseein Azmi, Islam di Aceh, op.cit. ibid 58
Apakah mereka datang secara kebetulan dan mendarat sekenanya di Perlak kemudian berhasil merebut hati Meurah Perlak, dan selanjutnya keturunan mereka menjadi Sultan? Menurut analisis saya, bahwa kedatangan rombongan ini bukanlah sebuah kebetulan sejarah belaka. Namun merupakan sebuah perencanaan besar dari para pemimpin Ahlul Bayt saat itu yang sedang mencari wilayah baru bagi perkembangan Islam dan tentunya sebuah kerajaan yang mampu melindungi eksisitensi Ahlul Bayt sebagai sebuah entitas yang diamanahkan Allah dan Rasul-Nya sebagai penjaga Islam sepanjang masa. Dalam sebuah hadits (hadits tsaqolain) yang diriwayatkan Muslim, Rasulullah saw bersabda agar pengikutnya berpegang teguh kepada dua perkara supaya tidak sesat selamalamanya, yaitu Kitab Allah (al(al-Qur‟an Qur‟an dan Sunnah) Sun nah) dan Itrah (Ahlul Bayt/keturunannya). Dua perkara inilah yang menjadi penghubung antara Rasulullah dengan umatnya, sehingga mereka diwajibkan membaca shalawat untuk beliau dan keluarga keturunannya. Karena Ahlul Bayt diamanahkan sebagai benteng utama Islam oleh Allah dan Rasul-Nya dan ummat diperintahkan untuk mencintai, menghormati dan berpegang teguh kepadanya, maka sejak awal kebangkitan Islam para Itrah Rasul mendapat kehormatan dan kedudukan masyarakat Muslim dimanapun mereka datang, baik di Persia, Afrika, Mesir, India, Cina dan tentunya termasuk di alam Nusantara. Apalagi di sepanjang pulau pesisir pulau Sumatra sudah tumbuh perkampungan-perkampungan Arab ataupun Parsia sebelum kedatangan Islam, yang nantinya menjadi pendorong lahirnya Kerajaan Islam setelah kedatangan Islam yang dibawa para pedagang Muslim. Ahli sejarah telah mencatat beberapa dinasti Kerajaan Ahlul Bayt Nusantara, baik di wilayah Sumatera, Semenanjung Melayu, Borneo-Kalimantan, Jawa, Sulawesi sampai ke Maluku dan Papua sekarang. Ditengarai, generasi awal datang dari Persia sekitar akhir abad pertama Hijriah atau sekitar abad VII Masehi, yang mendirikan kerajaan di sekitar AcehSumatra, yang menjadi cikal bakal Kerajaan Perlak dan Pasai. Jika diurut silsilah para Sultan di Nusantara, Nusantara, sebagian besar akan bertemu pada jalur Imam Ja‟far Sadiq yang sampai kepada Sayyidina Husein bin Sayyidah Fatimah binti Rasulullah saw, baik Maulana Abdul Aziz Syah (Perlak), Sultan Malik al-Shalih (Pasai), Mughayat Syah (Aceh), Syarif Hidayatullah (Banten), Sultan Wan Abdullah (Kelantan) dan lain-lainnya. Dan tidak diragukan, sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, diantara mereka senantiasa memelihara kekerabatan dan saling topang menopang dalam menegakkan Islam dalam sebuah jaringan Ahlul Bayt. Tokohtokoh Ahlul Bayt yang sudah memegang kekuasaan segera akan memberikan bantuan kepada yang lainnya. Ketika Ahlul Bayt di Semenanjung Arabia tengah mendapat kesulitan pada zaman Maulana Muhammad bin Ja‟far Shidiq, maka segera keluarga mereka yang sudah mapan meminta kedatangan mereka ke Perlak yang tengah membangun kekuatan baru di bawah pimpinan generasi yang lebih awal datang, dalam hal ini Syahri Nuwi anak daripada Pangeran Salman yang datang dari Persia, yang tidak diragukan memiliki hubungan kekerabatan dengan rombongan yang datang. Itulah sebabnya Syahri Nuwi menikahkan adiknya Makhdum Tansyuri dengan Maulana Ali bin Muhammad bin Ja‟far Shidiq. Perkawinan dua keluarga besar Ahlul Bayt ini telah melahirkan generasi baru, Maulana Abdul Aziz, yang dinobatkan menjadi Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak, yang akhirnya menjadi pusat pergerakan Islamisasi di Nusantara, sekaligus menjadi penghubung dengan dinasti-dinasti Ahlul Bayt di seluruh dunia. Dan tidak diragukan bahwa perkembangan Kerajaan Perlak menjadi sebuah kota kosmopolitan baru di pesisir pulau Sumatra tidak lain disebabkan oleh kedatangan para pendukung Ahlul Bayt dari seluruh penjuru dunia untuk membesarkan Kerajaan Islam di 59
Nusantara ini. Dengan segala kepakaran, pengetahuan, jaringan, logistik dan potensi lainnya yang mereka miliki, mereka curahkan untuk membangun sebuah pusat pergerakan baru bagi pertumbuhan Islam di Nusantara khususnya. Berbeda halnya dengan Kerajaan Islam Jeumpa yang didirikan lebih awal oleh para Ahlul Bayt secara sembunyi sem bunyi dan tidak diekspose, Kerajaan Perlak didirikan dengan kemegahan dan terang-terangan memberikan gelar Sayyid Maulana kepada Sultannya, sebagai sebuah proklamasi Kerajaan yang dipimpin Ahlul Bayt. Selanjutnya kegemilangan Kerajaan Islam Perlak dipimpin oleh Sultan keturunan dari Maulana Muhammad bin Ja‟far Shadiq dan secara berganti dilanjutkan oleh keturunan dari Syahri Nuwi yang telah menggunakan gelar Makhdum, yang juga merupakan keluarga besar Ahlul Bayt. Terkadang para peneliti sejarah Islam terjebak dalam kebingungan peristilahan ini, akibat ketidakfahaman mereka dengan jaringan keluarga Ahlul Bayt yang sangat mengutamakan kekerabatan dan silaturrahmi di kalangan mereka. Pergantian dari satu Sultan dengan Sultan lainnya adalah hal yang biasa dalam dinamika kekuasaan Ahlul Bayt yang mengutamakan kualitas kualitas personal pemimpinnya. Contoh nyata adalah bagaimana Syahri Nuwi rela menyerahkan kepemimpinan Kerajaan Perlak yang berkembang pesat kepada keponakannya, Maulana Abdul Aziz, dan setelah beberapa generasi Perlak dipimpin oleh keturunan Makhdum dari keluarga Syahri Nuwi kembali. Hal ini dinilai sebagai sebuah perebutan kekuasaan diantara para Sultan jika tidak dilihat dari sebuah perencanaan besar dinasti Ahlul Bayt secara menyeluruh yang memiliki hirarki dan kepemimpinan spiritual sambung menyambung. Kerajaan Perlak telah menjadi basis Islamisasi Nusantara pada zamannya yang berhasil mengirim para pendakwah dan pembimbing Islam ke penjuru Nusantara. Namun sejauh ini, Kerajaan Perlak belum berhasil secara totalitas mengsilamkan beberapa Kerajaan Hindu-Budha Hindu-Budha di tanah Jawa yang menjadi penghalang utama Islamisasi Nusantara. Namun Kerajaan Islam Perlak telah berhasil membangun infrastruktur dan jaringan Islamisasi yang akan memudahkan Kerajaan Islam selanjutnya dalam mengislamisasikan Nusantara, sekaligus menghancurkan dominasi Kerajaan Hindu-Budha di tanah Jawa dan sekitarnya. Pada saat bersamaan, telah tumbuh pula pusat-pusat bandar Islam berpotensi yang dikembangkan oleh para keturunan dinasti Ahlul Bayt terdahulu, diantaranya adalah Pasai, yang akan melanjutkan peranan Kerajaan Islam Perlak sebagai pusat Islamisasi Nusantara. Adapun para Sultan Perlak : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Azis Syah (840 – 864 864)) Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Rahim Syah (864 – 888 888)) Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abbas Syah (888 – 913 913)) Sultan Alaiddin Sayid Maulana Ali Mughat Syah (915 – 918 918)) Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Syah Johan Berdaulat (928 – 932 932)) Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat (932 – 956 956)) Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah Johan Berdaulat (956 – 983 983)) Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat (986 – 1023 1023)) Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Syah Johan Berdaulat (1023 – 1059 1059)) Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Syah Johan Berdaulat (1059 – 1078 1078)) Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Syah Johan Berdaulat (1078 – 1109 1109)) Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Syah Johan Berdaulat (1109 – 1135 1135)) Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Syah Johan Berdaulat (1135 – 1160 1160)) Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Syah Johan Berdaulat (1160 – 1173 1173)) Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Syah Johan Berdaulat (1173 – 1200 1200)) 60
16. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Syah Johan Berdaulat (1200 – 1230 1230)) 17. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat ( 1230 – 1267)) 1267 18. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1267 – 1292 1292)) Sultan Malik al-Shaleh Di Kerajaan Islam Pasai: Penyambung Dinasti Quraisy Kerajaan Islam Pasai yang juga terkenal dengan Samodra Pasai adalah sebuah Kerajaan Islam di pesisir utara pulau Sumatra. Bahkan menurut ahli sejarah, perkataan Sumatra sendiri berasal dari perkataan Samodra, yang dalam loghat Arab berbunyi Samutra, dan ketika bangsa Eropa datang menyebutnya dengan Sumatra. Sejak itulah pulau besar ini disebut dengan Sumatra yang juga menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Samodra yang berpusat di Pasai. Sementara asal kata Pasai ada yang berpendapat berasal dari bahasa Aceh Pase (pasir) atau pohon Pase. Namun penelitian yang lebih mendekati, bahwa Pasai berasal dari kata Parsi (Persia), yang dilogatkan dalam bahasa masyarakat lokal Aceh sebagai Pasee. Hal ini berkaitan dengan banyaknya orang-orang dari Persia yang bermukim menempati wilayah Pasai masa itu, sehingga dinamakan dengan Pasee sebagai kebiasaan orang dulu untuk menamakan kampung halamannyanya jika menempati wilayah baru. Seperti di Kedah ada kampung Aceh, atau di beberapa tempat terdapat nama kampung Melayu, kampung Bugis atau kampung Jawa. Pendapat kata Pasai berasal dari Parsia ini dikuatkan dengan beberapa bukti sejarah, seperti hubungan erat Kerajaan Pasai dengan Persia masa itu. Demikian pula makam-makam para Sultan Pasai sangat mirip dengan makam-makam di Persia, bahkan ditemukan huruf Arab-Persia dan beberapa ukiran dan relief yang berbau Persia. Pada makam Sultan Malik alSaleh dan makam Sultanah Nahrishah sendiri ditemukan beberapa kalimat dalam bahasa Persia dengan tulisan kaligrafi Arab-Persia. Demikian pula silsilah para Sultan di Pasai, sebagaimana juga Sultan di Perlak menyambung dengan Pangeran dari Persia bernama Syahriansyah Salman al-Parisi yang memiliki anak Shahr Nuwi dan menjadi Sultan di Perlak, yang menjadi nenek moyang para Sultan di Pasai. Dengan demikian tidak diragukan bahwa kata Pasai (Pasee) berasal dari kata Persia. Secara silsilah kekeluargaan, tidak diragukan bahwa Kerajaan Islam Pasai adalah kelanjutan dari Kerajaan Islam Perlak yang terlebih dahulu telah didirikan oleh Meurah Shahri Nuwi putra Sharianshah Salman al-Farisi (Raja Islam Jeumpa tahun 770 M di Bireuen). Dimana Kerajaan Perlak mulai mengalami kejayaan sejak dipimpin oleh Maulana Abdul Aziz Syah pada tahun 225 H atau 840 M. Salah seorang keturunan dari Sultan Perlak dari garis Shahri Nuwi, yang dikenal dengan Sultan Malik al-Salih (w. 1297 M) yang digelar sebagai Meurah Silu mengembangkan sebuah kawasan perdagangan baru di antara Kerajaan Jeumpa dengan Kerajaan Perlak, kemudian berkembang menjadi kekuatan politik baru dengan berdirinya Kerajaan Islam Pasai. Perkembangan yang cepat Kerajaan Pasai pada akhirnya menggantikan peranan Kerajaan Islam Perlak yang mulai menurun peranannya pada awal abad ke 13 Masehi. Di sini perlu diluruskan beberapa legenda yang menyatakan bahwa Meurah Silu bukan terlahir sebagai seorang Muslim, namun dia menganut Islam sesudah menjadi Raja Pasai sebagaimana yang dinyatakan dalam Sejarah Melayu berdasarkan kepada hikayat Raja-Raja Pasai yang diragukan kredibilitasnya. Realitas ini sungguh bertentangan dengan fakta sejarah, karena jelas silsilah Meurah Silu (Malik al-Salih) menyambung kepada keturunan Ahlul Bayt, diperkirakan menyambung dengan Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husein bin Sayyidah Fatimah binti Muhammad saw. Fakta ini diperkuat oleh peristiwa kedatangan Nakhoda Khalifah yang dipimpin oleh Sayyid Muhammad Diba‟i bin Imam Ja‟far Ash-Shaqid bin Imam Muhammad Al-Baqir, diterima baik oleh Shahir Nuwi di Perlak, bahkan 61
anak Sayyid Muhammad bernama Sayyid Ali dikawinkan dengan Saudara Shahr Nuwi bernama Makhdum Tansyuri yang melahirkan Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah. Adapun silsilah Sultan Malik al-Saleh (Meurah Silu) menurut Silsilah Raja dan Sultan Aceh adalah: Sultan Malik al-Saleh al-Saleh (Meurah Silu) putra Meurah Makhdum Malik Malik Ahmad (Raja Jeumpa) putra Meurah Makhdum Ahmad (Raja Samalanga) putra Meurah Makhdum Makhdum Malik Ibrahim (Raja Jeumpa) putra Meurah Makhdum Malik Masir (Raja Isak-Gayo II) putra Muerah Makhdum Malik Isak (Raja pertama Isak-Gayo) putra Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah (Sultan Perlak VII) putra Sultan Makhdum Alaiddin Muhammad Amin Syah (Sultan Perlak VI) putra Sultan Makhdum Alaiddin Abdulkadir Syah (Sultan Perlak V) putra Meurah Makhdum Ahmad (Perdana Menteri Perlak pada masa Sultan Perlak II, Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdurrahman Syah) putra Meurah Makhdum Bahrum (Perdana Menteri Perlak pada masa Sultan Perlak I, Sultan Alaiddin Maulana Sayyid Abdul Aziz Syah) putra Meurah Shahri Nuwi (pendiri Perlak) putra Sahriansyah Salman al-Parisi (Raja Islam pertama Jeumpa) yang datang dari Persia. Menurut ahli sejarah beliau adalah keturunan dari Sayyidina Husein bin Sayyidina Ali, cucu Nabi Muhammad saw yang dilahirkan di Persia dan menjadi Raja di Jeumpa Bireuen. Bireuen. Penelitian para ahli sejarah Ahlul Bayt, seperti Tun Suzanna dari Malaysia menyimpulkan bahwa ada 2 gelombang kedatangan keturunan Nabi saw ke Nusantara. Yang pertama langsung dari Persia, umumnya keturunan dari Imam Ja‟far Shadiq yang telah me njadi petinggi di Kerajaan Persia dengan menggunakan gelar Syah (Shah), dan di Aceh dikenal dengan Syahri seperti yang digunakan oleh Pangeran Salman al-Parisi kepada anak-anaknya Shahri Nuwi, Shahri Poli, Shahri Dito, Shahri Duli. Sementara keturunan Shahri Nuwi selanjutnya menggunakan gelar Makhdum kepada keturunannya. Sementara gelombang kedua yang datang dari Yaman atau Hadramaut dari keturunan Muhammad Isa al-Muhajir, sudah menggunakan menggunakan gelar Sayyid dengan tambahan dibelakang marga seperti Jamalullail, Al-Habsyi, Al-Idrus dan lainnya. Dengan demikian jelas bahwa Sultan Makhdum Malik al-Salih adalah salah seorang keturunan Arab-Quraisy dari Ahlul Bayt Nabi Muhammad yang memiliki hubungan dekat dengan para Sultan Kerajaan Perlak maupun Jeumpa yang menjadi penggerak Islamisasi Nusantara. Itulah sebabnya tidak mengherankan apabila Sultan Malik al-Salih begitu tampil memimpin Kerajaan Pasai, kemudian memproklamirkannya sebagai pusat Islamisasi Nusantara menggantikan menggantikan peranan Kerajaan Perlak atau sebelumnya Kerajaan Jeumpa. Sebelumnya Pasai adalah sebuah perkampungan yang menjadi bandar transit bagi para pedagang yang menggunakan kapal layar dari negeri Arab menuju Cina ataupun sebaliknya. Namun dengan kemunculan Kerajaan Pasai pada awal abad 13 Masehi yang dipimpin Sultan Malik al-Salih, telah terjadi perubahan drastis dalam lalu lintas perdagangan di selat Malaka. Aceh yang dahulunya dikenal sebagai daerah penghubung, kini menjadi lebih aktif dalam perdagangan. Kerajaan Pasai menjadi pusat perdagangan dalam mengekspor hasil-hasil hutan dan pertanian. Komuditas Lada adalah diantara hasil pertanian yang sangat digemari oleh orang-orang Eropa, Arab dan Cina, yang telah menaikkan nama Kerajaan Pasai di seluruh dunia yang mendorong hadirnya saudagar-saudagar asing dari seluruh dunia. Berbagai kapal dagang dari seluruh dunia datang membawa bermacam-macam dagangan untuk diperjualbelikan di pelabuhan Pasai. 86 Di bawah kepemimpinan Sultan Malik al-Salih yang memiliki kemampuan besar kepemimpinan serta berpegang teguh pada ajaran Islam, Kerajaan Pasai berkembang pesat 86
Ma Huan, Ying-yai Sheng-lan, terj. JVG. Mills. Hakluyt Society, 1970, hal. 120. 62
bukan hanya sebagai bandar pelabuhan yang mengimpor berbagai komuditas di kawasan Selat Malaka pada saat itu, namun beliau mendorong rakyatnya menguasai berbagai teknologi. Dan terbukti masyarakatnya tergolong memiliki teknologi yang maju, khususnya dalam teknologi pertanian. Itulah sebabnya Kerajaan Pasai menjadi salah satu negeri pengekspor berbagai bentuk hasil pertanian, seperti lada, bawang, semangka, pisang, tebu, jeruk dan lain-lainnya. 87 Pasai Sebagai Pusat Khilafah Islamiyah Bersamaan dengan kebangkitan Kerajaan Islam Pasai sekitar tahun 1250an M, pusatpusat Khilafah Islamiyah yang berada di Bagdad, Persia, dan sekitarnya sedang mengalami masa-masa tersulit akibat penyerangan demi penyerangan yang dilakukan oleh pasukan barbar Mongolia yang dipimpin Jenghis Khan yang terkenal sadis dan haus darah. Setelah berhasil menguasai daratan Cina, maka pasukan bar-bar Mongolia Jenghis Khan menyerang pusatpusat peradaban Islam yang tengah mengalami kelalaian akibat kemegahan yang mereka alami. Pada mulai tahun 1258 M, Bagdad sebagai pusat Khilafah Islamiyah jatuh ke tangan tentara Mongol dan mengalami penghancuran demi penghancuran. Para ahli sejarah menggambarkan Sungai Tigris dan Eufrat berubah menjadi hitam bercampur merah akibat darah kaum muslimin muslimin dan tinta dari buku-buku buku-buku yang mengandung mengandung peradaban Islam yang yang mengalir ke sungai tersebut. Sementara pasukan Mongol tidak berhenti sampai di Bagdad, namun terus menguasai wilayah-wilayah Islam lainnya. Dan hampir semua dunia Islam Arab bertekuk lutut kepada kekejaman tentara bar-bar Mongol. Bahkan tentara bar-bar berhasil menguasai pusat-pusat peradaban Barat di Roma, Yunani dan lainnya. Itulah sebabnya Jenghis Khan dijuluki sebagai penakluk terbesar dengan wilayah jajahan 4 kali lebih besar dari jajahan yang dilakukan Alexander The Great (Iskandar Zulkarnain) ataupun penaklukan Muslim. Keadaan ini telah mendorong hijrah besar-besaran kaum muslimin, baik para pemimpin, ulama, cendekiawan, ilmuawan dan lainnya ke negeri muslim yang lebih aman dari pembantaian tentara Jenghis Khan. Salah satu pilihan terbaik adalah berhijrah ke Kerajaan Islam Pasai yang memang sudah menjadi bagian penting dari jaringan Khilafah Islamiyah yang diwariskan turun temurun oleh Kerajaan Islam di Sumatra sejakan zaman Khalifah Umar bin Khattab. Apalagi sebelumnya, para Raja Muslim di Sumatra, termasuk di Pasai adalah berasal dari negeri Arab dan Persia yang memiliki hubungan kekerabatan dengan para penguasa di tanah Arab, terutama yang memiliki garis keturunan dengan Bani Quraisy, baik keturunan Rasulullah (Ahlul Bayt), Bani Umayyah ataupun Abbasyiah. Dengan datangnya para pemimpin, ulama, cendekiawan, ilmuawan dan lainnya ke Pasai, maka secara otomatis Pasai bangkit menjadi sebuah kekuatan baru di Pulau Sumatra. Kedatangan para Muslim dari Bagdad dan pusat-pusat peradaban Islam disekitarnya seperti Samarkand, Bukhara dan lainnya telah memberikan kedudukan baru kepada Pasai sebagai sebuah pusat pertumbuhan peradaban Islam di kawasan alam Asia Tenggara, yang terbentang dari Sumatra, Semenanjung Melayu, Borneo, Cilabes, Mindanao, Maluku sampai ke Australia dan Kepulauan Hawai. Kepemimpinan Sultan Malik al-Saleh yang didukung oleh kaum muslimin terbaik yang hijrah ke Pasai telah membangkitkan Kerajaan Pasai menjadi pusat sentral kekuatan dunia Islam di sebelah timur, baik kekuatan politik, ekonomi sekaligus sebagai pusat kebangkitan peradaban Islam, sebagai kelanjutan dan kesinambungan dari peradaban Islam yang telah berkembang di dunia Arab, baik Syam, Persia, Bagdad dan lainnya. Dan akhirnya, dengan 87
W.P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia & Malaya Compiled from Chinese Source, Jakarta: Bharata, 1960, hal. 209 63
kemajuan-kemajuan yang digapainya, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Kerajaan Islam Pasai menjadi Pusat Khilafah Islamiyah yang menggantikan peranan Bagdad, terutama sebagai pusat pengembangan kekuatan politik, pertahanan, ekonomi dan peradaban. Realitas inilah yang telah mengkwatirkan Kerajaan Hindu Jawa-Majapahit sehingga berniat untuk menyerang dan menaklukkan Pasai. Namun menaklukkan Pasai di puncak kegemilangannya dengan sumber daya manusia unggul dari penjuru dunia, bukanlah perkara mudah. Kegagalan Majapahit dalam menaklukkan Pasai inilah yang selanjutnya mendorong para pemimpin Kerajaan Pasai untuk menaklukkan Majapahit yang semakin melemah. Pada tahap awal, menaklukkan Jawa-Majapahit bukanlah menjadi prioritas dari Kerajaan Islam Pasai yang kini telah menjadi Pusat Khilafah Islamiyah di timur. Prioritas utama adalah menyelamatkan dunia Muslim Arab, khususnya Mekkah al-Mukarramah dari ancaman pasukan bar-bar Mongol yang haus darah. Sekaligus mengkonsolidasi kekuatan dunia Muslim dengan menggalang kerjasama dengan para pemimpin Islam, baik di dunia Arab, Persia sampai ke daratan Cina kecil. Berkat persatuan aliansi Kerajaan Islam di Dunia Arab, Persia dan Cina dengan pusat kordinasi di Pasai, maka kekuatan Mongolpun dapat dijinakkan, sekaligus mengislamkan pemimpinnya, Timur Lank, cucu dari Jenghis Khan. Dan sejak saat itu, kekuatan Islam terbentang dari dunia Afrika, Arab, Persia, Asia Tengah, Mongolia sampai ke Cina, dan tentu Pasai sebagai salah satu poros kekuatan di Asia Tenggara yang dikenal bangsa Arab dengan bilad Tahta Jawi atau Negeri Bawah Angin, yang akhirnya sisebut Jawi saja atau Jawa sekarang. sekarang. Kebesaran dan kemegahan Kerajaan Islam Pasai, yang dikenal dengan Samudra Pasai, juga telah mempengaruhi nama dari pulau yang sekarang bernama Sumatra. Sebagaimana diterangkan terdahulu, Samudra, jika dibaca dengan lidah asing akan terdengar sebagai Samutra, yang akhirnya berevalusi menjadi Sumatra, yang menjadi sebutan bagi pulau besar sebelah barat, yang terbentang sepanjang Salahit atau Selat, yang sekarang dinamakan dengan Selat Malaka. Letak georafi Kerajaan Pasai yang strategis, yang di dukung oleh alamnya yang subur, digerakkan oleh masyarakat kosmopolit dizamannya yang berhijrah pasca kejatuhan Bagdad serta dukungan kebijakan penguasa, telah mengantarkan Pasai menjadi salah satu bintang kebangkitan Islam di timur. Kebesaran nama Pasai telah mendorong kedatangan para cerdik pandai Muslim dari negeri Arab, Persia, India dan lainnya untuk membangun kekuatan baru, baik secara politik maupun ekonomi. Sepeninggal Sultan Malik al-Salih, Kerajaan Pasai berkembang dengan pesatnya di bawah kepemimpinan keturunan beliau yang tetap menjalankan kebijakan yang telah digariskan para pendahulunya, bahwa Pasai sebagai penggerak dan pusat Islamisasi Nusantara. Ibnu Batutah, seorang musafir dan peneliti sosial asal Maroko telah mengunjungi Kerajaan Pasai antara tahun 1345-1346 Masehi. Dia menyebutkan dalam catatannya bahwa kerajaan ini sudah maju dalam perdagangan; hubungan dagang telah diadakan secara luas dengan Tiongkok dan India. Sultan Malik al-Zahir, yang memerintah Kerajaan Pasai pada waktu itu, adalah seorang sultan yang saleh lagi sangat taat kepada agama. Ia bermazhab Syafie dan sangat gemar mengadakan pertemuan ilmiah, dengan para ulama untuk berdiskusi tentang masalah-masalah masalah-masalah agama. Setiap hari jum‟at ia pergi ke masjid dengan berjalan kaki. Ibnu Batutah juga menyebutkan sejumlah ulama menjadi pembesar istana, antara lain: Amir Daulasa dari Delhi, Qadi Amir Said dari Shiraz dan ahli hukum Tajudin dari Isfahan. Pengamatannya menyimpulkan bahwa pada saat itu, Kerajaan Pasai dalam kemakmuran dan
64
kedamaian yang luar biasa. Hal ini dibuktikan ketika Sultan mengadakan acara pernikahan putra beliau yang menggambarkan kebesaran dan kemewahan istana Kerajaan Pasai. 88 Perkembangan pesat Kerajaan Pasai yang telah mengantarkan kemakmuran dan kebesaran masyarakatnya, dan terutama kemampuannya sebagai pelopor dan penggerak Islamisasi di Nusantara, telah menimbulkan hasud dan dengki kerajaan-kerajaan lainnya, terutama kerajaan Budha Thailand yang bekerjasama dengan kerajaan Jawa-Hindu Majapahit yang telah merancang penyerangan dan penghancuran Kerajaan Pasai dengan berbagai cara agar melemahkan semangat Islamisasi di Nusantara. Pada pertengahan abad ke 14 Masehi Kerajaan Majapahit melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Pasai yang mendapat perlawanan hebat dari para mujahidin Pasai yang telah mendapat pendidikan kerohanian dari para Wali, sehingga banyak menimbulkan korban di kedua belah pihak. Bahkan dikabarkan, Mahapatih Gadjah Mada yang memimpin penyerangan ke Pasai telah menjadi korban dan terbunuh ketika melarikan diri. Itulah sebabnya Kerajaan Pasai tetap eksis dan bangkit kembali menjadi salah satu Kerajaan Islam yang terkuat di Asia Tenggara. 89 Kemakmuran dan kebesaran Pasai dalam abad-abad berikutnya, bukan saja telah menjadikannya sebagai pusat penyebaran agama Islam dengan mengirimkan para muballigh ke tempat-tempat yang diperlukan, terutama ke Patani, Malaka, Borneo, Jawa sampai Mindanao dan Maluku. Tetapi juga sebagai pusat pengajian tinggi Islam di mana berkumpul berbagai ulama dan sarjana yang mengajar dan membahas masalah-masalah agama serta menjawab pertanyaan-pertanyaan keagamaan yang muncul dan datang dari daerah-daerah sekitar Asia Tenggara. Disebutkan dalam Sejarah Melayu bahwa seorang ulama sufi dari Mekkah, Syekh Abu Ishak telah menulis sebuah buku berjudul Durr al-Manzum, yang terdiri dari dua bab, pertama tetang zat Allah dan kedua tentang sifat Allah. Atas anjuran muridnya Maulana Abu Bakar, kitab tersebut ditambah bab ketiga tentang af‟al Allah (perbuatan Allah). Kemudian Maulana Abu Bakar membawa kitab tersebut ke Sultan Malaka, Sultan Mansyur Syah. Sultan menerima kitab tersebut dengan upacara khusus kebesaran seperti menyambut tamu kehormatan Kerajaan. Selanjutnya Selanjutnya kitab tersebut dikirim ke Pasai untuk diberi penjelasan lebih mendalam oleh seorang ulama Pasai bernama Makhdum Patakan. Pemahaman keislaman para Sultan, Ulama, Cendekiawan dan rakyat Pasai pada saat itu berkembang pesat, yang tidak hanya membahas aspek-aspek fiqih dan hukum semata, namun sudah mencapai pembahasan yang bersifat ”esoterik” sebagaimana yang dibuktikan dengan beberapa jawaban Ulama Pasai bernama Makhdum Muda kepada Sultan Malaka yang telah mengutus Tun Bija Wangsa. 90 Kebesaran dan kemakmuran Kerajaan Pasai akhirnya telah mengantarkannya sebagai pusat rujukan dan pengembangan pemikiran Islam di timur jauh, tempat berkumpul para Ulama dan Cendekiawan membahas masalah-masalah keagamaan dan tentunya sebagai pusat pendidikan tingkat tinggi keislaman. Itulah sebabnya Kerajaan Pasai dianggap oleh daerahdaerah lain di Nusantara sebagai pusat rujukan dan fatwa yang berwenang dalam menyelesaikan masalah-masalah agama. Hal ini memang sangat memungkinkan, sebagaimana disebutkan Ibnu Batutah, bahwa di Kerajaan Pasai telah tinggal beberapa jenis Ulama dan Cendekiawan, seperti ahli hukum Islam, para penyair, para hukama (ahli filsafat) dan lainlain.91
88 89
90 91
Rihlah Ibnu Batutah, Kairo, 1322 H, II, hal. 185-187 dan 209-210. Lihat : TD. Situmorang, Sejarah Melayu. Melayu . hal. 65-66. T. Ibrahim Alfian (ed). Kronika Pasai, hal.100. Muhammad Yamin, Gajah Mada,. Mada, . hal. 60. TD. Situmorang, hal. 168-173. Rihlah Ibn Batutah. hal. 187 65
Peran sentral Kerajaan Pasai sebagai motor penggerak Islamisasi di Nusantara, terutama menjelang abad ke 15 Masehi semakin menonjol, sehingga banyak menarik minat para Cendekiawan Muslim dari seluruh penjuru dunia untuk datang. Di antara tokoh yang nantinya sangat berpengaruh dalam Islamisasi Nusantara, khususnya Islamisasi Jawa yang masih di bawah dominasi Kerajan Hindu-Budha, adalah Saiyid Hussein Jamadul Kubra dengan dua orang anaknya, Maulana Ishak dan Maulana Malik Ibrahim yang datang dari derah Samarkand, Parsia. Kedatangan tokoh-tokoh Ulama dan Cendekiawan besar dunia Islam, baik dari Yaman, Hadramaut, Maroko (Maghribi), Persia maupun India dan lain-lainnya, benarbenar telah menjadikan Pasai sebagai poros baru peradaban Islam, khususnya dalam pengembangan pemikiran keislaman atau selanjutnya berperan dalam melahirkan gerakangerakan seperti Wali Sembilan yang telah mengislamkan tanah Jawa dengan pendekatannya yang khas. Legenda Para Auliya: Dari Pasai Menaklukkan Jawa-Hindu Majapahit Bumi Aceh sangat terkenal dengan bumi para auliya. Dari anak-anak sampai artis seperti Rafly-pun senantiasa mendendangkan mendendangkan keutamaan bumi Serambi Mekkah ini sebagai tanah para wali yang diberkahi. Namun tidak banyak di antara orang-orang Aceh sendiri yang dapat menyebutkan nama-nama para wali yang telah berperan mengembangkan Islam sehingga menjadikan Aceh sebagai bangsa maju dan besar, sehingga menjadi pelopor dalam dakwah Islamiyah. Ironisnya, ada di antara auliya yang berasal dari tanah Aceh, namun tidak dikenal oleh bangsa asalnya, namun sangat terkenal terkena l di tanah Jawa. Misalnya Wali Sembilan, auliya sikureung, yang di tanah Jawa sangat terkenal dengan sebutan Wali Songo. Mereka adalah para tokoh penggerak Islamisasi di Nusantara yang telah berperan aktif dalam pendirian Kerajaan Demak, sebagai Kerajaan Islam pertama yang telah mengakhiri riwayat kegemilangan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit, simbol kemegahan masyarakat Hindu Jawa. Disamping itu mereka juga telah mendirikan Kerajaan Islam dari Pattani, Champa, Kelantan, Brunei, Sulu, Mindanao, Pontianak, Banten, Makassar sampai Maluku dan Fak-Fak Fak-Fak Papua. Namun tidak banyak banyak yang mengetahui, dari manakah asal para auliya ini dan dimanakah pusat gerakan mereka dalam mengislamisasikan Nusantara. Sampai sekarang banyak para peneliti, baik yang Muslim dan non Muslim berbeda pendapat tentang asal-usul mereka. Ada yang menyatakan mereka berasal dari negeri Cina, Turki, Bukhara (Rusia) dan lain-lainnya sehingga menimbulkan kekeliruan sejarah yang berdampak buruk pada kebenaran sejarah Islam yang sepatutnya menjadi teladan dan pengajaran generasi masa kini. Maka untuk meluruskan kekeliruan tersebut, diperlukan sebuah penelitian menyeluruh terhadap peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan sejarah para wali ini. Wali Sembilan Awal Wali Sembilan awal, adalah para wali yang telah berperan menggerakkan dakwah Islamiyah terutama sebelum lahirnya gerakan Wali Sembilan (Wali Songo) yang terkenal di tanah Jawa. Menurut sejarahnya, para wali ini sangat berperan dalam mendorong lahirnya gerakan dakwah Islamiyah yang telah melahirkan gerakan Wali Songo. Boleh dikatakan bahwa wali sembilan awal ini pelopor dan peristis terbentuknya gerakan yang nantinya dikenal dengan Wali Songo. Bahkan mereka adalah kakek, bapak atau guru daripada Wali Songo yang telah berhasil mendirikan Kerajaan Islam Demak, kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang mengakhiri Kerajaan Hindu Majapahit. Di tanah Jawa memang sejarah mereka tidak banyak beredar sehingga nama mereka tidak dikenal luas, kecuali beberapa orang seperti Sayyid 66
Jamaluddin al-Husein dan Maulana Malik Ibrahim. Tapi di Champa, Pattani, Pattani, Kelantan dan Semenanjung Malaya nama mereka sangat terkenal, bahkan keturunan mereka sampai sekarang menjadi Sultan di Malaysia. Karena dalam tulisan ini hanya membahas peranan para wali di sekitar Kerajaan Pasai dan yang berperan atau berhubungan dengan gerakan Wali Songo di tanah Jawa, maka saya hanya membatasinya dengan tokoh-tokoh yang hidup disekitar Pasai dan memiliki peranan langsung dengan Wali Songo. Menurut penelitian saya, mereka yang dapat dikategorikan sebagai Wali Sembilan Awal adalah: (1).Sayyid Jamaluddin Syah Jalal, (2).Sayyid Qamaruddin Syah Jalal, (3).Sayyid Majduddin Syah Jalal, (4).Sayyid Tsanauddin Syah Jalal, (5).Maulana Malik Ibrahim, (6).Maulana Sayyid Ibrahim Sayyid Jamaluddin, (7).Sayyid Wan Abdullah Sayyid Jamaluddin (Wan Bo/Raja Champa), (8).Sayyid Ali Nurul Alam Sayyid Jamaluddin (Raja Kelantan), (9). Sultan Malik Al-Zahir II (Sultan Pasai). Martin Van Bruinessen telah memetik tulisan Sayyid „Al -wi Thahir al-Haddad, dalam bukunya Kitab Kuning, Pesantren ..“Putra Syah Ahmad, Jamaluddin dan saudara -saudaranya (wali no 1 sd no 6) konon telah mengembara ke Asia Tenggara..... Jamaluddin sendiri pertamanya menjejakkan kakinya ke Aceh (Pasai) dan Kamboja, Pattani kemudian belayar ke Semarang dan menghabiskan waktu bertahun-tahun di Jawa, hingga akhirnya melanjutkan pengembaraannya ke Pulau Bugis, di mana dia meninggal.” (al -Haddad 1403 :8-11). Diriwayatkan pula anaknya, Sayyid Ibrahim (wali no 6) ditinggalkan di Aceh (Pasai) untuk mendidik masyarakat dalam ilmu keislaman. Kemudian, Sayyid Jamaluddin ke Majapahit, selanjutnya ke negeri Bugis, lalu meninggal dunia di Wajok (Sulawesi Selatan). Tahun kedatangannya di Sulawesi adalah 1452M dan tahun wafatnya 1453M”. Inilah tokoh utama Wali Sembilan Awal, atau yang menjadi jalan lahirnya Wali Sembilan atau Wali Songo yang terkenal di tanah Jawa. Sayyid Syah Ahmad atau ayahanda Sayyid Jamaluddin adalah seorang Gubernur di zaman Maharaja India dari Kesultanan Delhi yang bernama Sultan Muhammad Taghlug yang memerintah pada tahun 1325-1351. Beliau adalah keturunan dari Sayyid Ahmad Isa Al-Muhajir dari jalur Sayyid Abdul Malik Alawi yang lahir di kota Qasam, Hadramaut yang berhijrah ke India dan mendapat kedudukan terhormat di Kesultanan Islam India masa itu. Pada pertengahan abad 14 M, anak Sayyid Syah Ahmad yang bernama Sayyid Jamaluddin AlHussein meninggalkan India untuk mengembangkan dakwah Islamiyah ke sebelah timur, menuju Kerajaan Islam Pasai yang telah berkembang menjadi pusat Islamisasi Nusantara dan telah menggantikan peranan Bagdad yang hancur lebur akibat penyerangan tentara bar-bar Mongolia. Adapun silsilah lengkap Sayyid Jamaluddin adalah : Jamaluddin Al-Husain (Sayyid Hussein Jamadil Kubra ) bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah bin Abdul Malik bin Alawi Amal Al-Faqih bin Muhammad Syahib Mirbath Mirbath bin „Ali Khali‟ Qasam bin Alawi bin Muhammad Muhammad bin Alawi bini bini AlAl Syeikh Ubaidillah bin Ahmad Muhajirullah bin „Isa AlAl -Rumi bin Muhammad Naqib bin „Ali Al-Uraidhi Al -Uraidhi bin Jaafar As-Sadiq bin Muhammad Al-Baqir Al-Baqir bin „Ali Zainal Abidin bin Al-Hussein Al -Hussein bin Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah SAW. Rombongan Sayyid Jamaluddin tiba di Kerajaan Islam Pasai diperkirakan pada zaman pemerintahan Sultan Malik al-Zahir II antara tahun 1360an M. Pada masa inilah masa-masa puncak kegemilangan Kerajaan Islam Pasai yang terkenal ke seluruh penjuru dunia sebagai Kerajaan Samodra yang berpusat di Pasai. Kegemilangnnya Kerajaan Samodra telah mempengaruhi nama dari pulau tempat Kerajaan Islam ini, Sumatera, (Samodra-Samotra(arab)Sumatera(eropa). Rombongan para Sayyid dari Kerajaan Islam Tughlug India ini mendapat sambutan dan penghormatan besar di Kerajaan Islam Pasai, karena mereka adalah para Ulama 67
dan Maulana yang menjadi guru pengajaran Islam. Apalagi Sultan Malik al-Zahir II dan ayahandanya, Sultan Malik al-Zahir atau kakeknya Sultan Malik al-Saleh adalah keturunan dari para Sultan Perlak (Maulana Abdul Aziz Syah) dan Raja Jeumpa (Syahir Nawi-Shahriansyah Salman) yang kedua-dunya kedua-dunya bertemu pada jalur Ja‟far Shadiq, cucu dari Sa yyidina Hussein bin Fatimah binti Rasulullah saw. Menurut catatan Ibn Batutah dalam Rihlah Ibnu Batutah, jilid II, hal. 185-187 dan 209-210, Sultan Malik al-Zahir II, yang memerintah Kerajaan Pasai pada waktu itu, adalah seorang sultan yang saleh lagi sangat taat kepada agama dan sangat gemar mengadakan pertemuan ilmiah, dengan para ulama untuk berdiskusi tentang masalah-masalah agama. Setiap hari jum‟at ia pergi ke masjid dengan dengan berjalan kaki. kaki. Ibnu Batutah Batutah juga menyebutkan menyebutkan sejumlah ulama menjadi pembesar istana, antara lain: Amir Daulasa dari Delhi, Qadi Amir Said dari Shiraz dan ahli hukum Tajudin dari Isfahan. Pengamatannya menyimpulkan bahwa pada saat itu, Kerajaan Pasai dalam kemakmuran dan kedamaian yang luar biasa. Hal ini dibuktikan ketika Sultan mengadakan mengadakan acara pernikahan putra putra beliau yang menggambarkan menggambarkan kebesaran kebesaran dan kemewahan istana Kerajaan Pasai. Itulah sebabnya mengapa rombongan Sayyid Jamaluddin dan Maulana Malik Ibrahim mendapat sambutan dan penghormatan luar biasa oleh Sultan dan para petinggi Kerajaan Pasai. Karena memang sebelumnya hubungan antara Pasai dengan Delhi, sebagai negeri asal rombongan Sayyid Jamaluddin, sudah terhubung rapat yang dibuktikan dengan adanya ulama besar dari Delhi di Kerajaan Pasai, Maulana Amir Daulasa sebagaimana disebutkan Ibnu Batutah. Mungkin saja kedatangan Sayyid Jamaluddin merupakan sebuah kelanjutan muhibbah antara Pasai dan Delhi. Maka tidak mengherankan apabila Sayyid Jamaluddin memilih Pasai sebagai tujuannya, karena kebesaran Pasai sudah menjadi legenda di Kerajaan Delhi. Sebagaimana kedudukan Maulana Amir Daulasa pada Kerajaan Pasai, maka tidak diragukan bahwa Sayyid Jamaluddin dengan rombongannya, termasuk Grand Master gerakan Wali Songo di tanah Jawa, Maulana Malik Ibrahim, juga mendapat kedudukan terhormat di Kerajaan Pasai. Mereka telah menjadi tokoh-tokoh utama dan sentral yang mempengaruhi kebijakan Kerajaan Islam Pasai, khususnya pada zaman pemerintahan Sultan Malik al-Zahir II, atau penggantinya Sultan Zainal Abidin dan Sultan Salahuddin. Peranan mereka bukan hanya sebagai tokoh agama saja, tapi juga mengurusi masalah-masalah politik internasional, membangun jaringan politik internasional yang menghubungkan antara dunia Arab, Parsia, India, Cina dengan dunia Islam Nusantara yang berpusat di Kerajaan Islam Pasai. Di antara fokus mereka adalah mengembangkan kekuasaan Kerajaan Islam Pasai ke seluruh Nusantara agar menjadi patron bagi Kerajaan Islam di seluruh Nusantara. Karena dengan semakin besarnya kekuasaan dan wilayah Kerajaan Pasai akan mempermudah gerakan Islamisasi Nusantara, termasuk startegi jitu untuk meredam perkembangan Kerajaan Budha Thailand di sebelah barat dan Kerajaan Hindu Majapahit di sebelah timur. Sayyid Jamaluddin menikah dengan salah seorang puteri di Kerajaan Pasai yang dikenal dengan ”Putri Jeumpa”, yang juga saudara ipar dari Sultan Malik al -Zahir II, Sultan Pasai. Jadi Sayyid Jamaluddin dengan Sultan Malik al-Zahir II sepengambilan (biras). Pernikahan Sayyid Jamaluddin ini melahirkan putera yang bernama Sayyid Ibrahim al-Akbar (bukan Maulana Malik Ibrahim). Selanjutnya Sayyid Ibrahim mendapat pendidikan dari Maulana dan Ulama Kerajaan Pasai. Beliau menikah dengan kerabat bangsawan Kerajaan Pasai, yang dikenal dengan julukan ”Putri Jeumpa” bernama Candra Wulan. Puteri inilah bersaudara bersaudara dengan ”Puteri Jeumpa” dari kerabat Kerajaan Pasai yang terkenal bernama Darwati (Dwarawati) yang menjadi Maha Ratu dari Raden Brawijaya V dari Kerajaan Jawa68
Majapahit. Perkawinan Sayyid Ibrahim dengan Putri Candra Wulan telah melahirkan dua orang putera yang menjadi Ulama besar, yaitu Maulana Sayyid Ishaq yang menjadi Ulama dan penasihat utama Sultan Pasai di zaman Sultan Zainal Abidin dan Sultan Salahuddin, dan beliau juga sekaligus sekaligus ayahanda ayahanda dari Raden Paku Paku atau Sunan Giri, Giri, anggota Wali Songo. Putra yang lain adalah Maulana Sayyid Rahmatullah yang di tanah Jawa terkenal dengan Raden Sayyid Rahmat atau Sunan Ampel yang menjadi pemimpin utama Wali Songo di tanah Jawa. Beliau lahir pada tahun 1381 M di lingkungan istana Kerajaan Pasai. Setelah mempersiapkan diri dengan berbagai perlengkapan dakwah di Kerajaan Islam Pasai, maka berangkatlah ke arah barat, Sayyid Jamaluddin Syah Jalal bersama beberapa Maulana untuk mengislamkan negeri Siam (Thailand), Cina Kecil dan Semenanjung Melayu. Beliau berhasil mengislamkan beberapa kawasan seperti Champa, Senggora, Pattani, Kelantan, Kelantan, Kedah dan sekitarnya. Kemudian beliau mendirikan Kerajaan Islam di Champa dan mengangkat anaknya bernama Wan Bo atau Wan Abdullah menjadi Sultan Champa pertama. Selanjutnya beliau mendirikan Kerajaan Islam di Pattani dan Kelantan. Walaupun secara politik beliau tidak dapat menaklukkan Kerajaan Budha Siam (Thailand) yang memiliki kekuatan besar, namun beliau telah meletakkan dasar-dasar dakwah Islamiyah di wilayah tersebut. Di Kelantan Sayyid Jamaluddin menikah dan memiliki putra bernama Sayyid Ali Nurul Alam. Sementara Sayyid Ali Nurul Alam memiliki dua orang putera yang menjadi Sultan, yaitu Syarif Hidayatullah yang dibesarkan di Pasai dan menjadi Sultan Kerajaan Islam Banten-Jawa Barat pertama dan Sultan Ba‟abullah yang menjadi Sultan Ternate -Maluku. Selanjutnya Sayyid Jamaluddin berangkat ke Majapahit mendukung mendukung perjuangan Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu mengembangkan dakwah. Setelah beberapa lama beliau ke negeri Bugis, lalu meninggal dunia di Wajok (Sulawesi Selatan). Tahun kedatangannya di Sulawesi adalah 1452M dan tahun wafatnya 1453M”. Maulana Malik Ibrahim Dan Grand Strategi Penaklukan Majapahit Di antara para auliya, nama Maulana Malik Ibrahim adalah yang paling terkenal, khususnya di tanah Jawa. Karena beliau adalah tokoh Wali Sembilan Awal yang berdakwah ke timur (Jawa-Majapahit). Sang Maulana, keturunan ahlul bayt ini adalah tokoh paling senior dan Grand Master dalam gerakan para Wali yang di tanah Jawa dikenal dengan Wali Songo. Namun masih banyak di antara para peneliti sejarah yang belum yakin dengan hubungan erat antara para auliya sembilan awal, seperti Maulana Malik Ibrahim dengan Kerajaan Pasai. Hal ini karena terjadinya kesalahan dalam memahami dearah Cempa yang disebut-sebut tempat tinggal dan pusat gerakan mereka. Para ahli sejarah memperkirakan Maulana Malik Ibrahim berada ”Champa” sekitar 13 tahun, tahun, antara tahun 1379 sampai dengan dengan 1392. Untuk memastikan memastikan dimanakah ”Champa” yang telah ditinggali Maulana Malik, maka perlu diselidiki bagaimanakah keadaan Cempa waktu itu, baik yang berada di Aceh maupun Kambodia. Menurut beberapa catatan, Champa di Kambodia masa itu sedang di perintah oleh Chế Bồng Nga antara tahun 1360-1390 Masehi, dikenal dengan The Red King (Raja Merah) seorang Raja terkuat dan terakhir Champa Champa.. Tidak diketahui apakah Raja ini Muslim, atau memang Budha sebagaimana mayoritas penduduk Kambodia sampai sekarang dengan banyak peninggalan kuil-kuilnya namun tidak ada masjid. Beliau berhasil menyatukan dan mengkordinasikan seluruh kekuatan Champa pada kekuasaannya, dan pada tahun 1372 menyerang Vietnam melalui jalur laut. Champa berhasil memasuki mem asuki kota besar Hanoi pada 1372 dan 1377. Pada penyerangan terakhir tahun 1388, dia dikalahkan oleh Jenderal Vietnam Ho Quy Ly, pendiri Dinasti Ho Ho.. Che Bong Nga meninggal dua tahun kemudian pada 1390. Tidak banyak catatan hubungan Penguasa Champa ini dengan Islam, apalagi tidak didapat bekas69
bekas kegemilangan Islam, sebagaimana yang ditinggalkan para pendakwah di Perlak, Pasai ataupun Malaka. Sementara sejarah pergerakan dakwah Islamiyah Nusantara abad ke IX-XV Masehi, sebagaimana yang yang disepakati para ahli ahli sejarah Islam Nusantara, Nusantara, tidak pernah menyebutkan menyebutkan berpusat di sekitar daerah Vietnam atau Indo-China sekarang, namun sebaliknya tercatat berpusat di antara Perlak, Pasai, Malaka, Lamuri, Barus, ataupun Fansur di wilayah Aceh, yang di tengah-tengahnya terdapat Jeumpa, yang menjadi laluan dan tempat persinggahan yang banyak menyisakan kegemilang Islam. Sementara di Vietnam telah dibuktikan tidak banyak ditemukannya Sayyid, Syarief atau Maulana dan Makhdum serta Ulama-Ulama besar yang umumnya menjadi penggerak Islamisasi. Juga tidak didapati peninggalan-peninggalan situs yang berhubungan dengan kegemilangan Islam, apakah berupa istana, maqam, ataupun skrip keislaman yang menjadi ciri khas peninggalan jejak peradaban Islam. Di samping itu, tidak didapatkan dalam sejarah bahwa Islam pernah gemilang di sekitar sana dengan mendirikan sebuah kerajaan Islam yang berperan. Karena tradisi dari para pendakwah akan mendirikan sebuah kerajaan atau mengislamkan kerajaan tersebut, atau menaklukkannya sebagaimana sejarah Perlak, Pasai, Malaka, Aceh Darussalam, Demak dan lainnya. Ada kemungkinan di Champa Kambodia pernah tumbuh perkampungan muslim, namun hal ini tidak dapat dijadikan pegangan sebagai pusat Islamisasi Nusantara. Dari segi geografis dan taktik-strategi perjuangan, kelihatannya mustahil para pendakwah, pendakw ah, khususnya khususnya gerakan Para Wali yang akan menaklukkan pulau Jawa bermarkas di sebuah perkampungan Muslim minoritas dekat Vietnam. Apalagi pada masa itu Champa sepeninggal Raja terakhirnya, Che Bong Nga (w.1390), sepenuhnya dikuasai Dinasti Ho yang Budha dan anti Islam berpusat di Hanoi. Maulana Malik Ibrahim adalah Grand Master para Wali Songo , jika sasaran dakwahnya adalah pulau Jawa, sebagai basis kerajaan Hindu-Budha yang tersisa, terlalu naif memilih Champa sebagai markas pusat pergerakan baik menyangkut dukungan logistik, politik maupun ketentaraan. Sebagaimana dicatat sejarah, pada masa itu para Sultan dan Ulama, baik yang ada di Arab, Persia, India termasuk Cina yang sudah dipegang penguasa Islam memfokuskan penaklukkan kerajaan besar Majapahit sebagai patron terbesar Hindu-Budha Nusantara. Kaisar Cina yang sudah Muslimpun mengirim Panglima Besar dan tangan kanan dan kepercayaannya, Laksamana Cheng-Ho untuk membantu gerakan Islamisasi Jawa. Sementara hubungan dakwah via laut pada saat itu sudah terjalin jelas menunjukkan hubungan antara Jawa-Pasai-Gujarat-Persia-Muscat-Aden sampai Mesir, yang diistilahkan diistilahka n Azra sebagai Jaringan Ulama Nusantara. Yang Yang artinya, wilayah Aceh Jeumpa lebih mungkin berada di sekitar pusat gerakan dan lintasan jaringan tersebut daripada Champa Kambodia. Adalah hal yang mustahil, seorang Wali sekelas Maulana Malik Ibrahim, bapak dan pemimpin para Wali di Jawa, yang telah berhasil membangun mem bangun jaringan di Nusantara, setelah 13 tahun di Champa tidak dapat membangun sebuah kerajaan Islam atau meninggalkan jejak-jejak kegemilangan peradaban Islam, atau hanya sebuah prarasti seperti pesantren, maqam atau sejenisnya yang akan menjadi jejaknya. Bahkan Raffles menyebutnya sebagai orang besar, sementara sejarawan G.W.J. Drewes menegaskan, Maulana Malik Ibrahim adalah tokoh yang pertama-tama dipandang sebagai wali di antara para wali. ''Ia seorang mubalig paling awal,'' tulis Drewes dalam bukunya, New Light on the Coming of Islam in Indonesia. Gelar Syekh dan Maulana, yang melekat di depan nama Malik Ibrahim, menurut sejarawan Hoessein Djajadiningrat, membuktikan bahwa ia ulama besar. Gelar tersebut hanya diperuntukkan bagi tokoh muslim yang punya derajat tinggi.
70
Setelah melaksanakan tugas dakwahnya di Semenanjung Malaya dan kepulauan Sumatra, pada awal abad ke 15 M, beliau berangkat ke tanah Jawa dan memusatkan gerakan dakwahnya di daerah pelabuhan sekitar kota Gresik dan Tuban Jawa Timur, berdekatan dengan pusat Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit. Namun dakwahnya tidak mendapat sambutan akibat besarnya pengaruh Kerajaan Hindu-Majapahit terhadap rakyatnya, karena Raja Majapahit dianggap titisan Dewa oleh rakyatnya, sehingga mereka tidak berani untuk menentang atau berbeda pendapat dengan Maha Raja. Maulana Malik hanya dapat mengislamkan rakyat jelata dari kasta rendah, sementara kalangan istana Majapahit menolak dakwahnya. Sebagai seorang pejuang dan pendakwah Islam kawakan sekaligus sebagai utusan Kerajaan Islam Pasai, Maulana Malik tidak pernah berputus asa untuk berdakwah. Beliau bersama dengan para pendakwah lainnya mendirikan pusat Islamisasi dan pendidikan seperti sistem pondok pesantren untuk mendidik para pendakwah Islam Gresik Tuban Jawa Timur. Beliau juga mempelajari seluk beluk masyarakat Jawa secara mendalam, dan berkesimpulan bahwa dakwah Islam akan mudah diterima apabila telah dianut oleh kalangan Kerajaan Majapahit. Maka atas nama Kerajaan Pasai beliau datang sebagai utusan diplomatik sekaligus sebagai pendakwah Islam. Beliau juga merancang agar salah seorang Puteri Kerajaan Pasai terbaik yang sudah muslimah dan bertaraf kader dakwah dapat menjadi Permaisuri Kerajaan Majapahit. Tujuannya jelas agar Sang Puteri Pejuang ini dapat memberi jalan bagi perkembangan dakwah Islamiyah ke dalam istana Kerajaan Hindu-Majapahit kelak. Maka bersama-sama dengan para alim ulama dan Sultan, diputuskan Puteri terbaik itu jatuh pada Putri Jeumpa Darwati (Dwarawati), saudara ipar dari Sayyid Ibrahim al-Akbar atau saudara ibunda Maulana Sayyid Rahmatullah (Sunan Ampel). Dipilihnya Putroe Darwati sebagai pejuang garda terdepan dakwah Islamiyah ke jantung kekuatan kekuatan Kerajaan Hindu terbesar Majapahit, tentu bukan asal-asalan, tapi tentu dengan pertimbangan fatwa agama dan politik tingkat tinggi. Karena tidak dimungkinkan seorang wanita muslimah untuk menikah dengan seorang Hindu. Tapi fatwa telah diputuskan oleh Ulama dan Maulana dari Kerajaan Pasai dengan pertimbangan fiqh yang lebih luas dan tingkat tinggi, demi untuk kepentingan dakwah dan perkembangan Islam.Berkat diplomasi ulungnya, maka Maha Raja Majapahit, Raden Prabu Brawijaya V, menikah dengan Putroe Darwati (Dwarawati), Puteri Jeumpa yang telah menjadi keluarga besar Kerajaan Islam Pasai. Kelak Putroe inilah yang memberikan perlindungan kepada para pendakwah dari Pasai yang datang ke Majapahit, terutama Maulana Rahmat atau Sunan Ampel. Maulana Malik Ibrahim meninggal tahun 1419 di Gresik, Tuban Jawa Timur. Raffles menyebutnya sebagai orang besar, sementara sejarawan G.W.J. Drewes menegaskan, Maulana Malik Ibrahim adalah tokoh yang pertama-tama dipandang sebagai wali di antara para wali. ''Ia seorang mubalig paling awal,'' tulis Drewes dalam bukunya, New Light on the Coming of Islam in Indonesia. Gelar Syekh dan Maulana, yang melekat di depan nama Malik Ibrahim, menurut sejarawan Hoessein Djajadiningrat, membuktikan bahwa ia ulama besar. Gelar tersebut hanya diperuntukkan bagi tokoh muslim yang punya derajat tinggi. Peran terbesar dari Wali Sembilan Awal ini adalah memperkuat sistem di Kerajaan Islam Pasai sehingga menjadi sebuah Kerajaan yang menjadi poros dan pusat Islamisasi di Nusantara. Kehadiran mereka memperkuat Kerajaan Islam Pasai yang sudah mulai mengalami kegemilangan di zaman Sultan Malik al-Saleh dan penggantinya Sultan Malik al-Zahir. Dengan pengetahun dan pengalaman yang mereka miliki di Kerajaan Delhi, para wali telah menjadi guru bagi bangsawan Pasai. Demikian pula, mereka telah berhasil mendirikan perwakilan perwakilan atau ata u jaringan Kerajaan Pasai Pasai di Champa (Kambodia), (Kambodia), Pattani, Pattani, Senggora Senggora (Thailand), Kedah, Kedah, Kelantan, Kelantan, 71
Malaka (Malaya) dan sampai ke Borneo dan Sulu-Mindanao di Filipina. Walaupun mereka tidak berhasil menaklukkan Kerajaan Budha Siam (Thailand), namun mereka sudah mengepung Kerajaan Budha ini dari sebelah barat dengan berdirinya Kerajaan Champa dan dari sebelah timur dengan berdirinya Kerajaan Pattani dan Senggora. Sehingga Kerajaan Budha Siam akan berpikir panjang untuk menyerang kembali Kerajaan Pasai sebagai jantung Islamisasi Nusantara. Maka tugas untuk menyempurnakan dakwah dan perjuangan mereka kini diembankan kepada generasi sesudah mereka yang di kemudian hari di kenal dengan Wali Songo. Darwati : Putri Jeumpa Di Pasai Penakluk Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit Tidak banyak yang mengenal apalagi mengetahui sejarah hidup Darwati (Dharawati), seorang Putri Jeumpa yang secara tidak langsung bertanggungjawab atas penaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit. Sejarah agung kehidupannya dapat dikenal dengan mengungkap misteri misteri keberadaan seorang putri yang di tanah Jawa di kenal dengan ”Putri Cempa”. ”Putri Cempa” biasanya biasanya dihubungkan dihubungkan dengan istri Prabu Brawijaya Brawijaya V yang dalam Babad Tanah Jawi, disebutkan bernama Anarawati atau Dwarawati (Darawati) yang beragama Islam. Menurut sebuah pendapat (Serat Kanda), Putri inilah yang melahirkan Raden Fatah, yang kemudian menyerahkan pendididikan putranya kepada salah seorang keponakannya yang lahir di Pasai yang dikenal dengan Sunan Ampel (Raden Rahmat) di Ampeldenta Surabaya. Sejarah mencatat, Raden Fatah menjadi Sultan pertama dari Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang mengakhiri sejarah kegemilangan Kerajaan JawaHindu Majapahit.92 Menurut Gubernur Jendral Hindia Belanda dari Kerajaan Inggris yang juga seorang peneliti sosial, Sir TS. Raffles dalam bukunya The History of Java menyebutkan bahwa Cempa bukan terletak di Kambodia, tapi Cempa adalah nama daerah di sebuah wilayah di Aceh, yang terkenal dengan nama ”Jeumpa”. Cempa adalah ucapan atau logat Jeump a dengan dialek ”Jawa”, karena penyebutannya inilah banyak ahli yang keliru dan mengasosiasikannya dengan Kerajaan Cempa di wilayah Kambodia dan Vietnam sekarang. Jeumpa yang dinyatakan Raffles sekarang berada di sekitar daerah Kabupaten Bireuen Aceh. 93 Keadaan Jeumpa di sebelah barat pada masa kegemilangan kegemilangan Kerajaan Pasai menjadi jalur laluan dan peristirahatan menuju kota besar seperti Barus, Fansur dan Lamuri dari Pasai ataupun Perlak. Kerajaan Pasai adalah pusat pengembangan dan dakwah Islam yang memiliki banyak ulama dan maulana dari seluruh s eluruh penjuru dunia. dunia. Sementara para sultan adalah diantara yang sangat gemar berbahas tentang masalah-masalah agama, di istananya berkumpul sejumlah ulama besar dari Persia, India, Arab dan lain-lain, sementara mereka mendapat penghormatan mulia dan tinggi. 94 Dan Sejarah Melayu menyebutkan bahwa ”segala orang Samudra (Pasai) pada zaman itu semuanya tahu bahasa Arab.95 Jeumpa terkenal dengan putri-putrinya yang cerdas dan cantik jelita, buah persilangan p ersilangan antara Arab-Parsi-India dan Melayu, yang di Aceh sendiri sampai saat ini terkenal dengan Buengong Jeumpa, gadis cantik putih kemerah-merahan. Sampai saat ini Jeumpa masih menyisakan kecantikan putri-putrinya yang sekarang berada di sekitar Kabupaten Bireuen. 92 93
94
95
JJ. Meinsma,. Serat Babad Tanah Jawi, Wiwit Saking Nabi Adam Dumugi ing Tahun 1647 . 1647 . S'Gravenhage, 1903 Sir Thomas Stamford Raffles, The History of Java, from the earliest Traditions till the establisment of Mahomedanism . Published by John Murray, Albemarl e-Street. 1830. Vol II, 2nd Ed, Chap X, hal. 74. 122 A.H. Johns, “Islam in Southeast Asia: Reflections and New Directions”, Indonesia, Cornell Modern Indonesia Project, 1975, no.19 (April). Hal. 8 TD. Situmorang dan A. Teeuw, Sejarah Melayu, op.cit. hal. 168-173 72
Pada masa kegemilangan Pasai, istilah putri Jeumpa (Cempa) sangat populer, mengingat sebelumnya ada beberapa Putri Jeumpa yang sudah terkenal kecantikan dan kecerdasannya. Putri Manyang Seuludong , Permaisuri Raja Muslim pertama Jeumpa asal Persia, Shahrianshah Salman al-Parisi, yang juga ibunda kepada Syahri Nuwi pendiri kota Perlak. Putri Jeumpa lainnya, Putri Makhdum Tansyuri (anak Pengeran Salman-Manyang Salman-Manya ng Seuludong/Adik Syahri Nuwi) yang menikah dengan kepala rombongan Nakhoda Khalifah, Maulana Ali bin Muhammad bin Ja‟far Ja‟far Shadik, yang melahirkan Maulana Abdul Aziz Syah, Raja pertama Kerajaan Islam Perlak. Mereka seterusnya menurunkan Raja dan bangsawan Perlak, Pasai sampai Aceh Darussalam. Demikian pula keturunan Syahri Nuwi dari Sultan Perlak bergelar Makhdum juga disebut sebagai Putri Jeumpa, karena beliau lahir di Jeumpa. Kecantikan dan kecerdasan kecerdasan putri-putri Jeumpa sudah menjadi menjadi legenda di antara pembesar-pembesar istana Perlak, Pasai, Malaka, bahkan sampai ke Jawa. Itulah sebabnya kenapa Maharaja Majapahit, Barawijaya V sangat mengidam-idamkan mengidam-idamkan seorang permaisuri dari Jeumpa. Bahkan dalam Babat Tanah Jawi, disebutkan bagaimana mabok kepayangnya sang Prabu ketika bertemu dengan Putri Jeumpa yang datang bersama dengan rombongan Maulana Malik Ibrahim dan para petinggi Pasai yang datang untuk berdakwah ke pusat Kerajaan JawaHindu Majapahit. Pada masa hidup Putri Darwati dari Jeumpa, Kerajaan tempatnya tinggal di Pasai sudah menjadi pusat Islamisasi Nusantara dan sangat berkepentingan untuk menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit karena ia adalah satu-satunya penghalang penghalang utama untuk untuk pengislaman pengislaman tanah Jawa secara menyeluruh. Maka para Sultan dan para Ulama serta cerdik pandai Kerajaan Pasai telah menyusun strategi terus menerus dengan segala jaringannya untuk menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu ini. Bahkan Kekaisaran Cinapun yang telah dikuasai Muslim ikut andil dalam Islamisasi ini, terbukti dengan mengirimkan Penglima Besar dan kepercayaan Kaisar yang bernama Laksamana Cheng Ho. Jalan peperangan tidak mungkin ditempuh, mengingat jauhnya jarak antara Pasai dengan Jawa Timur sebagai pusat Kerajaan Majapahit. Maka ditempuhlan jalan diplomasi dan dakwah para duta dari Kerajaan Pasai. Grand Master Wali Sembilan (Aulia Sikurueng), Maulana Malik Ibrahim sebagai utusan senior para pendakwah yang berpusat di Kerajaan Pasai, menemukan sebuah cara yang dianggap bijak, yaitu melalui jalur perkawinan. Maka dikawinkanlah iparnya yang bernama Dwarawati atau Putri Jeumpa yang cantik jelita dan cerdas tentunya, dengan Prabu Brawijaya V, yang konon masih memeluk Hindu. Kenapa Sang Bapak Para Wali Songo ini berani mengambil kebijakan itu. Tentu hanya Allah dan beliau yang tahu. Dan akhirnya sejarah kemudian mencatat, anak perkawinan Putri Jeumpa Dwarawati dengan Prabu Brawijaya V, bernama Raden Fatah adalah Sultan Kerajaan Islam Demak pertama yang telah mengakhiri dominasi Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dan Kerajaan-Kerajaan Hindu lainnya. Mungkin pertimbangan Maulana Malik Ibrahim menikahkan iparnya Putri Jeumpa berdasarkan ijtihad beliau setelah mengadakan penelitian panjang terhadap tradisi dan budaya orang Jawa yang sangat menghormati dan patuh bongkokan kepada Raja atau Pangeran yang selama ini dianggap sebagai titisan para Dewata, sebagaimana cerita-cerita pewayangan di Jawa. Jika ada seorang Raja atau Pangeran yang masuk Islam, maka akan mudah bagi perkembangan Islam. Karena Jawa adalah salah satu daerah yang sangat sulit diislamkan sampai saat itu, mengingat kuatnya dominasi Kerajaan Hindu Majapahit. Itulah sebabnya, ketika Putri Jeumpa telah hamil, dia ditarik dari istana Majapahit, dihijrahkan ke wilayah Islam lainnya, kabarnya ke Kerajaan Melayu Palembang. Setelah lahir anaknya, Raden Fatah, Putri Jeumpa kembali ke Jawa Timur, tapi bukan ke istana Majapahit, tapi ke Ampeldenta Surabaya, Surabaya, ke tempat anak saudaranya Raden Rahmat (Sunan Ampel) untuk mendidik Raden Fatah agar 73
menjadi pemimpin Islam. Setelah dewasa, karena masih Raden Pangeran Majapahit, maka Raden Fatah berhak mendapat jabatan, dan beliau diangkat sebagai seorang Bupati di sekitar Demak. Saat itulah para Wali Sembilan yang sudah mapan mendeklarasikan sebuah Kerajaan Islam Demak, di Bintaro Demak, sebagai Kerajaan Islam pertama di Jawa. Karena Raden Fatah adalah titisan Raja Majapahit, maka orang-orang Jawapun dengan cepat mengikuti agamanya dan membela perjuangannya sebagaimana dicatat sejarah dalam buku Babat Tanah Jawi. ”Darwati Putri Jeumpa Penakluk Majapahit” ini adalah wanita luar biasa. Dia adalah seorang ibu yang tabah, besar hati, penyayang namun mewarisi semangat perjuangan yang tidak kalah hebat dengan wanita-wanita wanita- wanita agung Aceh seperti Laksamana Malahayati, Tjut Nya‟ Dhien, Tjut Mutia dan lainnya. Bagaimana tidak, dia harus berpisah jauh dari lingkungannya ke tanah Jawa yang asing baginya, tiada handai tolan, hidup dilingkungan masyarakat JawaHindu yang berbeda budaya dan tradisi dengan negeri asalnya, bahkan ada yang menyatakan suaminyapun masih beragama Hindu dalam tradisi Kerajaan Majapahit yang feodalis. Namun karena para Ulama-Pejuang sekelas Maulana Malik Ibrahim atas dukungan para Sultan Muslim menugaskannya berdakwah dengan caranya, wanita agung inipun ikhlas melakoni peran perjuangannya. Demi kelanjutan agamanya, dia rela meninggalkan kegemerlapan istana Majapahit sebagai permaisuri agung untuk memastikan putranya dapat pendidikan terbaik agar menjadi seorang pemimpin Islam di Jawa. Raden Fatah kecil mendapat m endapat kasih sayang serta bimbingan ibundanya bersama para Wali yang dipimpin sepupunya Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang juga dilahirkan di Kerajaan asal ibunya. Putri Darwati dari Jeumpa telah sukses gemilang menjalankan tugas agamanya, dia seorang ibu pendidik agung (madrasat al-kubra), pejuang suci (mujahidah fi sabilillah), pendakwah Islam (da‟i) sekaligus sebagai penyebab (asbab) keruntuhan sebuah dinasti Hindu terbesar yang menjadi lambang keagungan dan kebesaran Jawa, dengan Mahapatih sadis Gadjah Mada itu. Dari sisi manapun kita nilai, wanita ini adalah wanita besar, namun terhijab peran agungnya oleh wanita selir Jawa sekelas RA. Kartini, seorang selir Bupati Rembang yang dijadikan tokoh wanita hanya karena bisa bahasa penjajah Belanda dan dekat dengan penjajah kaphe. Siapa Kartini jika disandingkan dengan Ratu Tajul Alam Syafiatuddin, Sultanah Aceh yang memimpin masyarakat kosmopilit masa itu dan memiliki kekuasaan seluruh Sumatra dan Semenjang Melayu? Maulana Rahmatillah (Sunan Ampel): Arab-Quraisy Pendiri Kerajaan Islam Jawa Istilah Wali Songo sangat populer di tanah Jawa, namun para ahli berbeda pendapat tentang asal usul mereka. Perbedaan ini terjadi karena kesalahan dalam memahami Jeumpa di wilayah Aceh (Bireuen) sebagai Champa yang berada di Kamboja. Akibatnya banyak penyimpangan sejarah yang terjadi. Bahkan kemudian ada yang menyimpulkan bahwa para wali berasal dari Cina. Di antara ahli sejarah yang berpen dapat ”Champa” sebagai asal para Wali juga merupakan wilayah yang terkenal dan berpengaruh pada proses Islamisasi Nusantara adalah Jeumpa di Aceh, seperti TS. Rafless, Prof. Hamka dan Prof. Saifuddin Zuhri, Prof. A. Hasymi dan lain-lainnya. Dengan pemahaman ini, maka sejarah dapat diluruskan sebagaimana adanya. Gerakan dakwah Islamiyah Wali Sembilan Awal yang digerakkan Sayyid Hussein Jamadil Kubra, yang selanjutnya selanjutnya diteruskan Maulana Malik Ibrahim yang telah wafat tahun 1419 di Gresik, Tuban Jawa Timur ke wilayah timur Pasai, dari Palembang dan tanah Jawa seterusnya dilanjutkan oleh para sahabat dan muridnya yang datang silih berganti dari Kerajaan Pasai. Diantara penggantinya yang paling menonjol adalah cucu dari Sayyid Hussein Jamadil Kubra bernama Maulana Sayyid Rahmatullah, Rahmatullah, anak dari Sayyid Ibrahim yang dikenal 74
di tanah Jawa dengan Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Beliau lahir pada tahun 1401 M di lingkungan istana Kerajaan Pasai dari pernikahan Sayyid Ibrahim bin Sayyid Jamaluddin al Hussein dengan seorang Putri bangsawan Jeumpa di kerajaan Pasai yang bernama Chandra Wulan. Chandra Wulan adalah kakanda dari Puteri Dharwati yang menjadi Permaisuri Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit. Adapun silsilah keturunan Maulana Rahmat (Sunan Ampel) adalah : Maulana Rahmatullah bin Sayyid Ibrahim bin Jamaluddin Al-Husain (Sayyid Hussein Jamadil Kubra ) bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah bin Abdul Malik bin Alawi Amal Al-Faqih bin Muhammad Syahib Mirbath bin „Ali Khali‟ Qasam bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Al-Syeikh Al -Syeikh Ubaidillah bin Ahmad Muhajirullah bin „Isa AlAl-Rumi bin Muhammad Naqib bin „Ali Al-Uraidhi Al -Uraidhi bin Jaafar As-Sadiq bin Muhammad Al-Baqir Al-Baqir bin „Ali Zainal Abidin bin Al-Hussein Al -Hussein bin Sayyidatina Fatimah (Sayyidina Ali bin Abi Thalib) binti Rasulullah SAW. Pendapat yang menyatakan Raden Rahmat (Sunan Ampel) berasal dari Champa di Kambodia, perlu diluruskan dengan beberapa fakta, diantaranya adalah keadaan Champa Kambodia ketika zaman Maulana Rahmatillah (awal abad 15 M) sedang huru hara dan terjadi pembantaian terhadap kaum Muslim yang dilakukan oleh Dinasti Ho yang membalas dendam atas kekalahannya pada pasukan Khulubay Khan, Raja Mongol yang Muslim. Keadaan ini sangat jauh berbeda dengan keadaan Jeumpa yang menjadi mitra Kerajaan Pasai pada waktu itu yang menjadi jalur laluan dan peristirahatan menuju kota besar seperti Barus, Fansur dan Lamuri dari Pasai ataupun Perlak. Kerajaan Pasai adalah pusat pengembangan dan dakwah Islam yang memiliki banyak ulama dan maulana dari seluruh penjuru dunia. Sementara para sultan adalah diantara yang sangat gemar berbahas tentang masalah-masalah agama, di istananya berkumpul sejumlah ulama besar dari Persia, India, Arab dan lain-lain, sementara mereka mendapat penghormatan mulia dan tinggi . Dan Sejarah Melayu menyebutkan bahwa ”segala orang Samudra (Pasai) pada zaman itu semuanya tahu bahasa Arab. Wali Sembilan Awal, Sayyid Hussein Jamadil Kubra, Maulana Malik Ibrahim ataupun Sayyid Ibrahim, ayahanda Maulana Rahmatullah, menjadikan Kerajaan Islam Pasai yang sudah berkembang pesat sebagai pusat pengajaran Islam menjadi basis awal perjuangan mereka dalam mengislamisasikan mengislamisasikan Nusantara. Apalagi diketahui para Sultan sejak Sultan Malik al-Salih adalah orang-orang yang alim dan taat beragama serta memiliki komitmen yang kuat terhadap penyebaran dakwah Islamiyah. Kerajaan Islam Pasai yang sudah menjadi patron kerajaankerajaan Islam yang baru berdiri di wilayah Nusantara sangat berkepentingan untuk membantu dakwah Islamiyah para Wali, disamping sebagai tuntutan agama sekaligus menjadi strategi untuk mempertahankan eksistensi kerajaan Islam dari gangguan penyerangan Kerajaan Hindu Majapahit yang berambisi menguasai Kerajaan Pasai. Kepentingan Sultan Pasai dan para Wali bertemu pada satu titik utama, mengislamkan Majapahit atau memeranginya sehingga menjadi wilayah taklukan Kerajaan Islam Pasai. Gerakan dakwah Islamiyah yang juga sekaligus merupakan gerakan penaklukan kerajaan-kerajaan Hindu Nusantara dilakukan secara simultan dan teristematis oleh para Wali dan pengikutnya dengan dukungan penuh penguasa Pasai. Kebutuhan logistik para Wali sampai militer didukung oleh Kerajaan Pasai. Bahkan para Sultan dari kerajaan-kerajaan Islam yang baru berdiri, seperti di Champa, Pattani, Kelantan sampai Sulu, Mindanao, Banten, Makassar dan Maluku adalah para kerabat dekat istana Pasai yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan para Wali. Akhirnya memang gerakan dakwah Islamiyah para Wali menyatu dengan misi perluasaan wilayah kekuasaan Kerajaan Islam Pasai. Sebuah langkah strategis dan jenius yang telah menjadikan Nusantara sebagai wilayah Islam terbesar di dunia sampai saat ini. 75
Jadi para Wali yang agung dan mulia ini bukan hanya mengajarkan ajaran agama semata sebagaimana difahami kebanyakan orang. Tapi mereka benar-benar telah menegakkan Islam secara menyeluruh sesuai dengan perkembangan zaman dan masyarakatnya. Mereka bukan hanya memahami Islam sebagai sebuah ritual kerohanian semata, tetapi mereka menegakkan Islam menjadi sebuah sistem sosial dan pemerintahan dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam yang menegakkan syareat Islam secara bertahap sesuai pemahaman masyarakat zamannya. Maulana Rahmatullah atau Raden Rahmat yang terkenal di Jawa dengan Sunan Ampel mendapat pendidikan terbaik dengan sistem terbaik dan termaju saat itu di Kerajaan Islam Pasai, tempat beliau dilahirkan dan dibesarkan. Karena pada saat itu Kerajaan Pasai sudah berkembang menjadi sebuah Kerajaan Islam yang kuat dan maju serta makmur. Kemajuan dan kemakmuran inilah yang telah mendorong datangnya para ulama dan cendekiawan seluruh dunia, apalagi para Sultan Pasai adalah orang-orang yang alim dan saleh yang sangat berminat pada pengembangan agama Islam. Pada awal abad ke 15 M, Kerajaan Pasai telah berkembang menjadi pusat pengajian tinggi Islam yang berhubungan langsung dengan pusat-pusat peradaban Islam di Makkah, Mesir, Persia, India, Andalusia dan lainnya. Di bawah asuhan para ulama, auliya dan cendekiawan besar di Kerajaan Pasai, Maulana Rahmat yang terkenal cerdas menjadi seorang ulama dan auliya yang disegani dan sangat diandalkan dalam penyebaran dakwah Islamiyah, khususnya ke tanah Jawa untuk meneruskan perjuangan kakeknya, Sayyid Hussein ataupun pamannya, Maulana Malik Ibrahim. Setelah mendapat pendidikan di Kerajaan Islam Pasai, Maulana Rahmat berdakwah di pulau Sumatera, bersama dengan para auliya lainnya telah mengislamkan Kerajaan Palembang. Selanjutnya Maulana Rahmat berhijrah pada tahun 1443 M ke Jawa. Kehadirannya membawa perubahan besar dalam dakwah Islamiyah di tanah Jawa. Karena kharisma dan ketinggian ilmunya, beliau sangat disegani oleh para petinggi Majapahit. Pada saat yang sama, saudara ibunya, Dwarawati sudah menjadi Maha Ratu Majapahit, yang semakin memudahkan gerakan dakwahnya. Bahkan bibinya inilah yang mengundang Maulana Rahmat datang ke Kerajaan Majapahit di tanah Jawa, karena kerajaan Hindu besar ini tengah mengalami masa-masa krisis yang ditimpa kemunduran akibat perpecahan, perang saudara, perbuatan amoral yang melanda masyarakat. Diharapkan dengan kehadiran Maulana Rahmat dengan ketinggian ajaran moralitas Islam keadaan dapat diperbaiki dan mengembalikan wibawa dan kegemilangan Majapahit. Dengan senang hati Maulana Rahmat datang berdakwah ke Majapahit, apalagi tujuan utama beliau adalah untuk mendirikan sebuah Kerajaan Islam di tanah Jawa sebagai ekspansi Kerajaan Islam Pasai, yang sekaligus dapat menjadi penaung gerakan Islamisasi khususnya di tanah Jawa dan sekitarnya. Namun seruannya untuk menjadikan Kerajaan Hindu-Majapahit sebagai Kerajaan Islam tidak mendapat sambutan dari Maha Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V. Maka beliau memulai gerakan besarnya dengan mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam dengan sistem pondok pesantren di Ampeldenta Surabaya. Dalam perjalanannya menuju Ampeldenta dari Majapahit, Maulana Rahmatullah berdakwah kepada masyarakat luas dan mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat Jawa yang tengah merindukan jalan kebenaran. Dengan pendekatan dakwahnya dakwahnya yang khas, beliau telah mendapatkan murid dan pengikut setia yang banyak. Karena ketinggian ilmu pengetahuan dan pengaruhnya yang besar, Bupati Tuban menikahkan beliau dengan putrinya dan Maulana Rahmatullah mendapatkan gelar Raden. Gelar bangsawan yang akan memudahkan dakwahnya di tengah-tengah masyarakat Jawa yang masih sangat feodal dan kental dengan budaya Hindu yang masih memakai sistem kasta. 76
Lembaga pendidikan Islam model pondok pesantren yang didirikan Maulana Rahmatullah, berkembang pesat dan dijadikan sebagai basis untuk menggerakkan dakwah Islamiyah, terutama untuk mengislamisasikan tanah Jawa yang masih mayoritas beragama Hindu dan Budha. Di lembaga pendidikan ini diajarkan bukan hanya pelajaran agama dan moral saja, namun juga mengajarkan berbagai pengetahuan yang berkembang masa itu, termasuk ilmu pemerintahan dan ilmu kemiliteran. Karena terbukti kemudian lulusan lembaga pendidikan ini adalah para pemimpin kerajaan dan panglima-panglima perang yang berpengaruh dalam menaklukkan beberapa kerajaan Hindu. Di antara murid terkemuka Maulana Maulana Rahmatullah Rahmatullah adalah Raden Fatah Fatah yang juga anak dari Prabu Brawijaya V. Di samping itu beliau juga mendidik anak-anaknya sendiri serta beberapa pemuda-pemuda Islam lainnya yang kelak menjadi Sunan, seperti Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Giri dan lainnya. Setelah gerakan dakwahnya berkembang pesat dan pengikutnya bertambah banyak, Raden Rahmat membentuk sebuah gerakan yang beranggotakan para ulama dan auliya, dimana gerakan ini dikenal dengan Wali Songo atau Wali Sembilan. Gerakan Wali Sembilan dianggotai oleh : (1).Maulana Rahmatullah bin Sayyid Ibrahim (Raden Rahmat atau Sunan Ampel), (2).Maulana Makhdum Ibrahim bin Maulana Rahmatullah (Sunan Bonang), (3).Maulana Syarifuddin Hasyim bin Maulana Rahmatullah (Sunan Drajat), (4).Maulana Jaafar Sadiq bin Maulana Rahmatullah (Sunan Kudus), (5).Maulana Ahmad Hassan bin Maulana Rahmatullah (Sunan Lamongan), (6).Maulana Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq (Sunan Giri), (7).Syarif Hidayatullah bin Sayyid Ali Nurul Alam (Sunan Gunung Jati), (8).Raden Mas Syahid (Sunan Kalijaga menantu Maulana Rahmatullah) dan (9).Raden Umar Said (Sunan Muria). Para Wali yang sangat dekat dan menjadi kerabat istana Kerajaan Pasai ini, setelah berdakwah dan memiliki pengikut setia, akhirnya mempersiapkan berdirinya sebuah Kerajaan Islam di tanah Jawa. Sebagaimana tradisi masyarakat Jawa yang menghormati Maha Raja dan keturunannya, maka Raden Rahmat mempersiapkan murid, anak menantu, anak dari Raden Brawijaya V, Maha Raja Majapahit bernama Raden Fatah yang telah dididiknya di Pondok Pesantren Ampeldenta Surabaya sebagai calon Sultan dari Kerajaan Islam pertama di Jawa. Sebagai seorang Pangeran atau Prabu Majapahit, maka Raden Fatah berhak mendapat wilayah kekuasaan sendiri di wilayah Majapahit. Maka Raden Fatah diberikan wilayah kekuasaan di Bintaro Demak. Setelah mendapat dukungan kuat, Para Wali Sembilan di bawah pimpinan auliya dan kerabat Kerajaan Pasai, Maulana Raden Rahmat atau Sunan Ampel memproklamasikan berdirinya Kerajaan Islam Demak sebagai Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa dan mengangkat Raden Fatah sebagai Sultan Kerajaan Islam Demak dengan gelar Sultan Alam Akbar Al-Fattah pada tahun 1481 M. Selanjutnya Kerajaan Islam Demak menjadi patron kepada Islamisasi di pusat kekuasaan Kerajaan Hindu terbesar dan termegah, Majapahit. Berdirinya Kerajaan Demak telah melemahkan Majapahit yang terpecah belah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Maka tamatlah riwayat Kerajaan Hindu-Majapahit dan digantikan perannya oleh Kerajaan Demak yang menyebarkan Islam ke tanah Jawa. Akhirnya tercapailah cita-cita agung para auliya di Pasai untuk menaklukkan Kerajaan Hindu terbesar oleh kader terbaiknya Maulana Rahmat dan murid-muridnya. Maulana Ainul Yakin (Sunan Giri): Melanjutkan M elanjutkan Islamisasi Tanah Jawa Perkawinan Sayyid Ibrahim bin Sayyid Hussein Jamadil Kubra dengan Putri Jeumpa di Pasai bernama Candra Wulan telah melahirkan dua orang putera yang menjadi Ulama besar di 77
Kerajaan Islam Pasai, yaitu Maulana Sayyid Rahmatillah yang di tanah Jawa terkenal dengan Raden Sayyid Rahmat atau Sunan Ampel yang menjadi pemimpin utama Wali Songo di tanah Jawa. Yang satunya bernama Maulana Sayyid Sayyid Ishaq yang menjadi Ulama dan penasihat utama Sultan Pasai di zaman Sultan Zainal Abidin dan Sultan Salahuddin. Beliau adalah juga sekaligus ayahanda dari Raden Paku atau di tanah Jawa di kenal dengan Sunan Giri, salah satu anggota Wali Songo yang sangat berperanguh di tanah Jawa. Jadi Sunan Giri adalah anak keponakan dari Maulana Rahmatillah atau Sunan Ampel yang menjadi pemimpin dan penggerak utama gerakan dakwah Islamiyah yang terkenal dengan Wali Songo dan telah berhasil mendirikan Kerajaan Islam Demak yang meruntuhkan dominasi Kerajaan Hindu Majapahit. Nama asli Sunan Giri adalah Maulana Ainul Yakin, yang lahir dan dibesarkan di Kerajaan Pasai, karena ayahandanya Maulana Ishaq adalah tokoh dan Ulama besar di Kerajaan Islam Pasai. Namun menurut Babat Tanah Jawi, Maulana Ainul Yakin atau Sunan Giri lahir di tanah Jawa dari perkawinan Maulana Ishaq dengan Puteri Raja Blambangan. Walaupun beliau lahir di Jawa, namun ayahanda beliau, Maulana Ishaq adalah bagian dari Kerajaan Pasai yang tengah mengatur startegi menaklukkan Kerajaan HinduMajapahit dan mempersiapkan berdirinya Kerajaan Islam di Jawa. Adapun silsilah keturunan Maulana Ainul Yakin (Sunan Giri) adalah : Maulana Ainul Yakin (Sunan Giri) bin Maulana Ishaq bin Sayyid Ibrahim bin Jamaluddin Al-Husain (Sayyid Hussein Jamadil Kubra ) bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah bin Abdul Malik bin Alawi Amal Al-Faqih bin Muhammad Syahib Mirbath bin „Ali Khali‟ Qasam bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Al-Syeikh Al -Syeikh Ubaidillah bin Ahmad Muhajirullah bin „Isa Al -Rumi bin Muhammad Naqib bin „Ali Al-Uraidhi Al-Uraidhi bin Jaafar As-Sadiq bin Muhammad Al-Baqir Al-Baqir bin „Ali Zainal Abidin bin Al -Hussein bin Sayyidatina Fatimah (Sayyidina Ali bin Abi Thalib) binti Rasulullah Rasu lullah SAW. Sunan Giri atau Maulana Ainul Yakin mendapat pendidikan di pesantren yang dipimpin oleh pamannya Maulana Rahmatillah (Sunan Ampel) di Ampel Denta Surabaya bersama-sama dengan para calon calon wali dan sultan di tanah Jawa. Menurut Menurut beberapa catatan catatan sejarah, pesantren Ampel Denta bukan hanya mengajarkan pelajaran agama saja kepada para santrinya, tapi termasuk ilmu-ilmu duniawi, seperti ilmu perang, ilmu pemerintahan, bahkan sampai kepada ilmu batin yang berlandaskan pada ajaran Islam, yang juga dikenal dengan ilmu tasawwuf atau ilmu mistik. Karena para wali akan berhadapan dengan pemuka-pemuka Hindu yang terkenal dengan ilmu sihirnya. Di tanah Jawa ilmu ini dikenal dengan ilmu karamah yang akan didapatkan oleh para wali untuk mengalahkan ilmu sihir, sebagaimana Nabi Musa as mengalahkan ahli sihirnya Fir‟aun.Itulah sebabnya s etiap wali memiliki karamah sendiri-sendiri yang telah dianugrahkan Allah SWT kepada mereka. Menurut Babat Tanah Jawi, setelah Maulana Ainul Yakin belajar di Ampel Denta pernah kembali ke negeri Pasai untuk melanjutkan pelajaran keislaman tingkat tingginya kepada ayahandanya Maulana Maulana Ishaq dan beberapa Maulana dan Ulama yang berada di Kerajaan Islam Pasai. Setelah beberapa tahun belajar di lembaga pendidikan Islam Pasai, beliau berniat untuk melanjutkan pelajaran ke Mekkah, namun disarankan ayahandanya yang juga guru serta ulama terkemuka Kerajaan Pasai, Maulana Ishaq agar segera pulang kembali ke tanah Jawa. Maka setelah mendapat bekal pengetahuan yang memadai, Maulana Ainul Yakin kembali ke Ampel Denta untuk membantu perjuangan pamannya Maulana Rahmatillah dalam menggerakkan dakwah Islamiyah kepada masyarakat Jawa yang masih kental berpegang kepada ajaran Hindu. Dan sejak saat itu Maulana Ainul Yakin belajar dan mengajar kembali di Ampel Denta Surabaya. Setelah mendapat pendidikan dan bekal pengetahuan yang cukup di pesantren Ampel Denta, maka Maulana Rahmatillah mengirim keponakan sekaligus muridnya, Maulana Ainul 78
Yakin ke wilayah yang berdekatan dengan Kerajaan Majapahit, di suatu tempat yang bernama Giri. Maka sejak saat itu Maulana Ainul Yakin, anak daripada Maulana Ishaq salah seorang ulama besar Kerajaan Pasai, mendapat gelar sebagai Sunan Giri. Beliau mengajar dan mengembangkan ajaran Islam kepada penduduk yang masih banyak memeluk agama Hindu. Dakwahnya seringkali dihalang-halangi oleh para pengikut Hindu yang didukung oleh Kerajaan Majapahit ataupun lainnya. Itulah sebabnya para wali senantiasa memusatkan perhatian agar segera mendirikan sebuah kerajaan Islam sebagai patron dakwah Islamiyah di tanah Jawa. Sunan Giri termasuk anggota Wali Songo yang berperan aktif menggerakkan dakwah Islamiyah kepada masyarakat Jawa, sehingga pengikutnya sangat banyak dan memiliki pengaruh luas yang membuat Prabu Brawijaya Maha Raja Majapahit bimbang. Dalam buku Babat Tanah Jawi diceritakan sebuah kisah tentang ketakutan Raja Majapahit terhadap Sunan Giri dalam sebuah judul : Runtuhnya Majapahit. Sang Raja Brawijaya mendengar kabar, bahwa banyak orang takluk kepada Sunan Giri. Patih Gajah Mada (?) diutus mendatangi Sunan Giri. Orang-orang di sana geger. Waktu itu Sunan Giri sedang menulis, terkejut mendengar berita didatangi musuh, bermaksud merusak Giri. Alat tulis yang digunakan untuk menulis lalu dibuang serta berdoa kepada Allah. Kalam (alat tulis) yang dibuang tadi lalu menjadi keris dan dapat mengamuk sendiri. Orang-orang dari Majapahit banyak yang tewas. Sisanya lari pulang kembali ke Majapahit. Kebenaran cerita Babad ini, hanya Allah yang tahu. Namun tidak diragukan bahwa Sunan Giri adalah salah seorang Wali Allah yang berjuang menegakkan menegakkan Islam di tengah-tengah masyarakat mayoritas Hindu yang didukung oleh sebuah Kerajaan besar dan kuat dengan tentara yang banyak. Persis seperti ketika Nabi Musa as menghadapi Fir‟aun. Maka pada saat seperti itu karamah dan bantuan Allah akan turun kepada hamba-hamba-Nya yang ikhlas. Namun Sang Sunan dengan gerakan Wali Songo bukan hanya sibuk berdakwah dan berdoa saja, tapi bahkan beliau juga menjadi panglima perang yang gagah perkasa dalam melawan tentara-tentara Hindu Majapahit ataupun Kerajaan-Kerajaan Hindu lainnya seperti Kerajaan Daha, Blambangan dan Pajang. Setelah memiliki pengikut yang banyak, maka Sunan Ampel bersama dengan para Wali, termasuk Sunan Giri mempersiapkan pendirian sebuah Kerajaan Islam di tanah Jawa. Daerah yang dipilih sebagai pusat Kerajaan Islam adalah di Demak Bintaro, sebuah tanah subur di sebelah barat Surabaya. Maka atas dukungan para Raden dan masyarakat Islam di seluruh tanah Jawa, Wali Songo memproklamirkan berdirinya Kerajaan Islam Demak yang dipimpin Raden Fatah pada tahun 1481 M. Sejak saat itu dakwah Islamiyah di tanah Jawa sudah memiliki pelindung yang kuat, sehingga para juru dakwah dan ulama dengan bebas dapat menjalankan misi pengembangan agamanya. Demikian pula Kerajaan Demak dengan dukungan dari para wali telah mengadakan ekspansi besar-besaran untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan Hindu lainnya di tanah Jawa sehingga agama Islam tersebar luas. Prestasi terbesar Kerajaan Islam Demak yang sekaligus merupakan jaringan dari Kerajaan Islam Pasai adalah keberhasilannya meruntuhkan Kerajaan Majapahit sebagai patron terbesar agama Hindu. Kehadiran dan perkembangan Kerajaan Demak yang mendapat dukungan dari para Wali Songo yang dipimpin Sunan Ampel (Maulana Rahmatillah) telah menimbulkan perpecahan di kalangan Kerajaan Majapahit, yang akhirnya menjadi kerajaankerajaan kecil yang dengan mudah dapat ditaklukkan oleh kekuatan Demak. Selanjutnya Demak menggantikan peranan Kerajaan Majapahit sebagai Kerajaan yang menguasai tanah Jawa, namun dengan berdasarkan berdasarkan ajaran ajaran Islam.
79
Sunan Giri atau Maulana Ainul Yakin bin Maulana Ishaq adalah seorang Wali dan Ulama Ahlul Bayt yang mengikuti tradisi nenek moyang mereka dalam menyebarkan agama Islam walau sampai ke hujung dunia sekalipun. Tradisi Ahlul Bayt yang telah melahirkan Kerajaan-Kerajaan besar Islam di seluruh dunia, termasuk di Aceh seperti Kerajaan Jeumpa yang didirikan Shahrianshah Salman ataupun Kerajaan Perlak oleh Maulana Sayyid Abdul Aziz Syah.. Tradisi yang telah melahirkan pengorbanan Sayyidina Husein dalam menentang kezaliman penguasa dan menegakkan kebenaran Islam. Tradisi pengorbanan untuk kepentingan Islam dan ummatnya yang terus mengalir kepada generasi sesudahnya, sebagai garda terdepan Islam sebagaimana disebutkan sebuah Hadits riwayat Muslim: Rasulullah saw (al- Qur‟an dan Sunnah) dan itrah-ku itrah-ku (keturunanku), bersabda :Berpengteguhlah kepada Kitab Allah (al-Qur‟an niscaya engkau tidak akan tersesat selamanya. Perintah agama inilah yang telah mendorong Maulana Ainul Yakin (Sunan Giri) dan juga para wali dan ulama ahlul bayt lainnya melanglang buana, meninggalkan tanah leluhurnya, baik generasi awal di tanah Arab ataupun tanah Persia dan India sehingga mereka sampai di bumi Aceh, termasuk di Kerajaan Islam Pasai. Generasi selanjutnya, seperti Maulana Rahmatillah dan Maulana Ainul Yakin dituntut pula untuk meninggalkan tanah kelahirannya di Pasai yang sudah maju dan makmur menuju tanah Jawa yang penuh dengan kekafiran dan kemusyrikan. Namun tugas agama yang mereka emban untuk menyelamatkan umat manusia telah mendorong mereka berhijrah ke tanah Jawa mengembangkan ajaran Islam. Inilah jalan hidup dan perjuangan yang telah mereka wirisi turun termurun sebagai kewajiban agama yang wajib ditegakkan. Perjuangan dakwah Islamiyah yang dilakukan oleh Sunan Giri lebih mudah dan leluasa jika dibandingkan dibandingkan dengan para pendahulunya seperti saudara kakeknya Maulana Malik Ibrahim ataupun pamannya Maulana Rahmatillah yang telah merintis Islamisasi di tanah Jawa. Karena pada zaman Sunan Giri, Kerajaan Islam Demak sudah ada yang menjadi patron dakwah Islamiyah, yang akan memudahkan langkah perjuangannya menyebarkan ajaran Islam. Demikian pula masyarakat Jawa sudah banyak yang memeluk agama Islam. Selanjutnya Maulana Ainul Yakin mengembangkan kota Giri sebagai sebuah pusat pendidikan dan dakwah Islamiyah yang cukup maju di Jawa sebagai kelanjutan dan jaringan perjuangan para pendahulunya di pesantren Ampel Denta Surabaya ataupun kelanjutan dari misi Kerajaan Islam Pasai sebagai penaung utama gerakan Islamisasi di seluruh Nusantara. Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, Sunan Giri adalah seorang Wali yang memiliki banyak sekali karamah dan keutamaan sehingga masyarakat yang tadinya beragama Hindu berbondong-bondong masuk Islam. Bahkan setelah beliau wafatpun karamahnya masih tetap ada sebagaimana dikisahkan dalam Babat Tanah Jawi; Sesudah beberapa waktu lamanya, Sunan Giri meninggal dunia........ Prabu Brawijaya lalu memerintahkan kepada Gajah Mada (?) bersama para putranya untuk merebut Giri. Sunan Prapen (cucu Sunan Giri) menghadapi bala tentara Majapahit itu, tetapi kalah..... Putra Mahkota Majapahit pergi ke makam sunan yang sudah lama meninggal. Lalu memerintahkan untuk membongkar makam itu. Balatentara Majapahit segera bekerja membongkar makam, tetapi mereka semua jatuh terkapar. Penjaga makam yang pincang diperintah untuk menggali..... Setelah tanah kuburan sudah dibongkar, papan tutup peti mati lalu dibuka. Lebah yang tak terkira banyaknya keluar dari dalam kuburan, naik memenuhi angkasa. Suaranya gemuruh seperti langit runtuh. Lebah-lebah itu lalu menyerang bala tentara Majapahit, mereka lari tunggang langgang mencari hidup.Sampai di kerajaan Majapahit, lebah itu masih mendesak. Prabu Brawijaya beserta bala tentaranya meninggalkan kota, mengungsi jauh karena tidak mampu menolak desakan lebah tersebut.Lebah itupun kembali ke asalnya dan Prabu Barawijaya berjanji dan berniat tidak akan akan berbuat jahat lagi terhadap sunan sunan di Giri. 80
Raden Fatah: Ujung Tombak Walisongo Menaklukka M enaklukkan n Majapahit Bagi masyarakat Hindu-Majapahit, Hindu-Majapahit, tidak ada tokoh yang dibenci dan dicaci sedemikian hebatnya, selain Raden Fatah (Raden Patah) yang dituduh sebagai anak durhaka yang melawan orang tua dan menentang tradisi Hindu nenek moyangnnya, bahkan dituduh meruntuhkan kehebatan peradabannya sendiri di Kerajaan Majapahit yang menjadi kebanggaan masyarakat Jawa Hindu. Raden Fatah dianggap bertanggung jawab j awab bersama para Wali Songo mengubur peradaban Hindu-Jawa yang diangung-agungkan selama berabad-abad dan menggantikannya dengan tradisi dan peradaban Islam. Itulah sebabnya pribadi agung ini senantiasa difitnah dan didiskreditkan, bahkan segaja disamarkan sejarah hidupnya yang agung dan mulia, dituduh sebagai anak haram dan durhaka oleh mereka yang dendam terhadap keberhasilan proses Islamisasi tanah Jawa. Sebenarnya Raden Fatah adalah anak dari Maha Raja Majapahit Brawijaya V. Menurut Babat Tanah Jawi, ibunya adalah seorang puteri yang berasal dari Cina yang sangat cantik dan menjadi istri dari Prabu Brawijaya V, sehingga menimbulkan kecemburuan Permaisuri Kerajaan yang berasal Cempa (Jeumpa) bernama Darwati (Dharawati). Ketika sedang hamil, putri Cina tersebut diusir dari Istana Majapahit atas permintaan Permaisuri, diberikan kepada Aria Damar di Kerajaan Palembang, dan Raden Patah lahir di Palembang. Namun cerita Babat ini perlu dikritisi kebenarannya. Permaisuri Prabu Brawijaya V yang dikatakan berasal dari Cempa, bernama Darwati (Dharawati), sebenarnya adalah Puteri Jeumpa dan seorang Muslimah yang taat, seorang wanita pejuang dari Pasai yang dikirim oleh Maulana Malik Ibrahim dan para Wali di Pasai untuk memberikan jalan kepada dakwah Islamiyah di Kerajaan Majapahit. Wanita mulia ini rela berpisah dari sanak saudaranya dan berjuang di garda terdepan masyarakat HinduMajapahit, meninggalkan kepentingan pribadinya demi untuk pengembangan dakwah Islamiyah. Apakah wanita agung ini memiliki akhlak yang buruk dan perangai jahat sehingga rela mengusir saudaranya sendiri, apalagi Puteri Cina itu juga diketahui seorang Muslimah? Disinilah kejanggalan cerita Babat Tanah Jawi yang ditulis oleh cendekiawan Jawa ini.Bahkan sudah masuk kepada dataran fitnah terhadap seorang Muslimah pejuang agung Puteri Jeumpa Darwati yang memang diketahui memberikan dukungan terhadap Islamisasi Majapahit dan perlindungan terhadap para pendakwah Islam dari Pasai yang menyebarkan Islam. Wanita agung ini adalah saudara ibunda Maulana Rahmatillah (Raden Rahmat/Sunan Ampel), beliaulah juga yang mengundang dan memberikan dukungan kepada Sunan Ampel ini berdakwah ke tanah Jawa. Putri Jeumpa Darwati adalah kerabat dan kader Kerajaan Islam Pasai yang ditugaskan untuk memberikan jalan kepada proses Islamisasi Majapahit, atau minimal mencegah ambisi Majapahit untuk menyerang Kerajaan Pasai. Tidak mungkin seorang Muslimah yang sudah mengedepankan kepentingan Islam akan berbuat keji seperti itu. Itulah sebabnya, sejarah yang dikemukakan Babat Tanah Jawi, yang menjadi referensi utama masyarakat Jawa harus ditelaah ulang karena mengandung banyak sekali kejanggalan. Yang menjadi pertanyaan, kenapa dan bagaimana Raden Patah dapat menjadi murid utama dan menantu dari Sunan Ampel, darimanakah hubungan ini? Apakah ini terjadi dengan sendirinya dan apa hubungannya dengan grand strategi para Wali Pasai dalam menaklukkan Kerajaan Majapahit? Jika memang benar puteri puteri Cina yang tidak tidak jelas identitasnya identitasnya itu telah melahirkan Raden Patah, maka Permaisuri Darwati adalah diantara orang yang telah merancang kepergian puteri Cina ini dari Majapahit menuju Kerajaan Islam Palembang mitra dari Kerajaan Islam Pasai saat itu, karena disana sudah ada keponakannya Maulana Rahmatillah yang menjadi Ulama. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat Jawa sangat patuh kepada Rajanya yang mereka 81
anggap titisan para Dewa. Untuk menaklukkan Majapahit secara totalitas, harus digerakkan oleh keturunan dari Maha Raja Majapahit sendiri. Itulah sebabnya sebelum lahir putra mahkota ini, diungsikan ke Kerajaan Islam dengan harapan akan lahir dan besar sebagai seorang Muslim. Maka Raden Patahpun lahir di Palembang dan menjadi seorang Muslim yang taat serta berguru kepada Maulana Rahmatillah (Sunan Ampel), dan menjadi murid setianya yang ikut ke Ampel Denta Surabaya. Menurut sumber lain, Raden Patah sebenarnya memiliki hubungan dengan Sunan Ampel dan juga para Wali Songo, sehingga mendapat kedudukan kedudukan yang mulia dan terhormat di kalangan mereka. Bahkan Raden Patah dijadikan menantu oleh Maulana Rahmatillah. Itulah sebabnya ada yang menghubungkan bahwa sebenarnya yang dikatakan sebagai Puteri Cina itu adalah Puteri Jeumpa (Campa) Darwati sendiri. Karena sejarah hidup Putri Darwati yang menjadi Permaisuri Majapahit tidak banyak ditulis di Jawa, termasuk di Babat Tanah Jawi. Kisah hidup dan perjuangannya menjadi misterius dan tidak dikenal luas oleh masyarakat Jawa. Itulah sebabnya kemudian ada ahli sejarah yang menghubungkan bahwa Puteri Cina itu adalah Puteri Darwati yang berasal dari Cempa (Jeumpa). Apalagi di banyak manuskrip Jawa, istilah Cempa sering diidentikkan dengan Cina. Ketika kecil, Raden Patah juga dikenal dikenal dengan nama Pangeran Jin Bun, Bun, sebuah nama Cina, yang kemudian mengelirukan banyak orang tentang asalnya dari Cina. Boleh saja nama ini adalah nama panggilan atau nama samaran untuk menghindar dari hasad orang-orang Majapahit yang percaya kepada ramalan bahwa Majapahit akan diruntuhkan oleh salah seorang keturunan Majapahit sendiri, sebagaimana disebutkan Babat Tanah Jawi. Raden Patah mendapat pendidikan dari Maulana Rahmatillah dan para ulama di Kerajaan Islam Palembang sebelum beliau hijrah ke tanah Jawa. Ketika Maulana Rahmatillah sudah mendirikan pesantren di Ampel Denta Surabaya, Raden Patah ikut menyusul ke tanah Jawa dan tinggal di Ampel Denta berguru kepada Maulana Rahmatillah Rahmatillah atau Sunan Ampel. Setelah memiliki pengetahuan yang memadai, Raden Patah diperintahkan gurunya untuk mengembangkan dakwah Islamiyah ke sebelah barat, kawasan hutan dan tanah subur yang bernama Bintara. Di daerah ini Raden Patah mendirikan pesantren dan mengajarkan Islam, banyak masyarakat yang memeluk Islam dan tinggal bersamanya sehingga Bintara menjadi ramai dan berkembang menjadi kota baru. Babat Tanah Jawi menceritakan perkembangan Bintara: Prabu Brawijaya mendengar berita bahwa ada orang yang bertempat tinggal di hutan Bintara, terkenal di mana-mana tentang kebesaran pedukuhan dan kesaktiannya. Raja memanggil para menteri untuk menanyakan benar-tidaknya kabar itu. Adipati Terung memang benar adanya berita itu. Sang Prabu lalu memerintahkan untuk memanggilnya……Raden Patah segera berangkat ke Majapahit. Sang Prabu sangat gembira, jatuh hatinya kepada Raden Patah sebab rupanya sangat mirip m irip sang Prabu. Lalu diakui sebagai putra, pu tra, diangkat menjadi adipati Bintara, serta diberi abdi sepuluh ribu orang….. Lama -lama pedukuhan Bintara (Demak) menjadi semakin gemah-ripah (makmur-sejahtera). Setelah memiliki pengikut yang banyak, maka sudah saatnya para Wali dan pengikutnya untuk mendirikan sebuah Kerajaan Islam di tanah Jawa sebagai pendukung gerakan dakwah Islamiyah dan sekaligus menjaga Islam dan pengikutnya dari gangguan Kerajaan Hindu, terutama Majapahit. Karena Bintara yang dipimpin Raden Patah telah berkembang pesat, maka para Wali memutuskan untuk mendirikan kerajaan Islam di Bintara, yang dinamakan dengan Kerajaan Islam Demak, sebagai Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa dan mengangkat Raden Patah sebagai Sultan Kerajaan Islam Demak dengan gelar Sultan Alam Akbar Al-Fattah pada tahun 1481 M. Selanjutnya Kerajaan Islam Demak menjadi patron kepada Islamisasi di pusat kekuasaan Kerajaan Hindu terbesar dan termegah, Majapahit. Berdirinya 82
Kerajaan Demak telah melemahkan Majapahit yang terpecah belah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Tentang keruntuhan Majapahit, Babat Tanah Jawi dalam Runtuhnya Majapahit, menceritakan bagaimana proses runtuhnya kerajaan Hindu terbesar di tanah Jawa tersebut akibat dari penyerangan yang dilakukan oleh para Wali dan Sultan Demak. Diceritakan bahwa seluruh kaum muslimin dari penjuru Jawa telah berkumpul di Bintara-Demak dengan kekuatan yang sangat besar. Lalu mereka berangkat menuju pusat Kerajaan Majapahit. Semuanya lalu bersama berangkat ke Majapahit. Banyaknya barisan tak terhitung. Kota Majapahit dikepung. Orang Majapahit banyak takluk kepada adipati Bintara, tak ada yang berani menyambut perang…Dikisahkan selanjutnya Prabu Brawijaya meninggalkan istana dan Kerajaan Majapahit akhirnya takluk dan runtuh oleh Kerajaan Islam Demak. Keruntuhan Keruntuhan Majapahit oleh Kerajaan Islam Demak, telah mengakhiri kejayaan Kerajaan Hindu di tanah Jawa. Sejak saat itu pusat kekuasaan di tanah Jawa telah beralih dari Kerajaan Majapahit ke Kerajaan Islam Demak. Islamisasi di tanah Jawa terus dijalankan oleh para Wali dan murid-muridnya yang mendirikan banyak pondok pesantren di seluruh tanah Jawa. Sejak berdirinya Kerajaan Islam Demak, maka telah berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam lainnya di tanah Jawa yang berafialiasi ke Kerajaan Demak. Pada saat yang sama, hubungan antara Kerajaan Demak dengan Kerajaan Palembang, dan khususnya dengan Kerajaan Islam Pasai semakin erat. Karena para petinggi, khususnya para Sunan yang memegang kendali spiritual di Kerajaan Demak adalah anak dan cucu dari para petinggi dan ulama di Kerajaan Pasai. Akhirnya memang tidak dapat dibantah bahwa Kerajaan Islam Pasai telah memiliki peran sentral dalam mengembangkan dakwah Islamiyah di Nusantara, terutama dalam melahirkan gerakan para Wali yang telah mendirikan Kerajaan Islam dan meruntuhkan dominasi Kerajaan Hindu-Majapahit. Hindu-Majapahit. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Raden Patah adalah ujung tombak Kerajaan Islam Pasai melalui Wali Songo dalam meruntuhkan Kerajaan Hindu-Majapahit yang telah menyerang Pasai sebelumnya. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati): Arab-Quraisy Pendiri Cirebon-Banten Setelah Sayyid Hussein Jamadil Kubra menyerahkan tugas dakwahnya kepada anaknya Sayyid Ibrahim (ayahanda Maulana Rahmatillah/Sunan Ampel) di Pasai, maka beliau berangkat berdakwah menuju barat untuk menahan serangan Kerajaan Budha Thailand (Siam) yang sangat berambisi menaklukkan Kerajaan Islam Pasai. Beliau berdakwah di wilayah yang sekarang dikenal dengan Senggora di wilayah Patani, Thailand selatan dan Kelantan di Malaysia. Beliau menikah dengan seorang puteri raja Patani dan mendapat anak bernama Maulana Ali Nurul Alam, yang menjadi ayahanda kepada Sayyid Abdullah atau dikenal dengan Wan Bo, Raja pertama Kerajaan Islam untuk wilayah Champa, Senggora, Patani dan Kelantan. Menurut Babat Cirebon , ketika Sayyid Abdullah berada di Mekkah, bertemu dengan seorang puteri dari Kerajaan Pajajaran bernama Rara Santang putri Prabu Siliwangi, kemudian mereka menikah dan mempunyai anak yang sempat belajar ke Kerajaan Pasai dan memperdalam ilmu di Ampel Denta bernama Syarif Hidayatulla H idayatullah. h. Di tanah Jawa beliau dikenal dengan Raden Sunan Gunung Jati yang menjadi anggota dari Wali Songo. Beliau lahir sekitar tahun 1450 M, namun ada juga yang mengatakan bahwa beliau lahir pada sekitar 1448. Adapun silsilah keturunan Syarief Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) adalah : Syarif Hidayatullah bin Sayyid Abdullah bin Maulana Ali Nurul Alam bin Jamaluddin Al-Husain (Sayyid Hussein Jamadil Kubra ) bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah bin Abdul Malik bin Alawi Amal Al-Faqih bin Muhammad Syahib Mirbath Mirbath bin „Ali Khali‟ Qasam bin Alawi Alawi bin Muhammad bin Alawi Alawi bin AlAl 83
Syeikh Ubaidillah bin Ahmad Muhajirullah bin „Isa Al-Rumi Al -Rumi bin Muhammad Muhammad Naqib bin „Ali Al-Uraidhi Al -Uraidhi bin Jaafar As-Sadiq bin Muhammad Al-Baqir Al- Baqir bin „Ali Zainal Abidin bin Al -Hussein bin Sayyidatina Fatimah (Sayyidina Ali bin Abi Thalib) binti Rasulullah Rasu lullah SAW. Sebagai seorang keturunan para Maulana dan Ulama Ahlul Bayt, Raden Syarif Hidayatullah mewarisi ketinggian pengetahuan keislaman yang telah dikembangkan nenek moyangnnya, sekaligus memiliki kecendrungan spiritual yang sangat tinggi, terutama dari kakek buyutnya Syekh Maulana Akbar (Sayyid Husien al-Akbar) yang terkenal sebagai tokoh sufi di Nusantara. Ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Kahfi maupun Ampel Denta, beliau meneruskan pelajarannya kepada Maulana dan Ulama ke Kerajaan Islam Pasai sebagai tempat pengajian tinggi Islam di Nusantara saat itu. Para Ulama dan Maulana di Pasai sendiri pada saat itu adalah kerabat beliau juga. Selanjutnya beliau meneruskan ke Timur Tengah, terutama Mekkah dan Madinah. Ada juga yang menyebutkan beliau belajar sampai Mesir, Bagdad, Persia dan India. Dalam usia muda Syarif Hidayatullah sudah menguasai ilmu keislaman yang tinggi, sekaligus memiliki kekuatan spiritual (karamah). Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuwana, saudara ibunda Syarif Hidayatullah, membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayatullah mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah saudara ibundanya wafat. Beliau menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Maulana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I. Sebagai seorang Maulana yang berpengaruh di sekitar Cirebon Jawa Barat, Syarif Hidayatullah yang sudah dikenal dengan Sunan Gunung Jati ikut bersama para Wali Songo memproklamasikan memproklamasikan Kerajaan Islam Demak pada tahun 1481. Ada yang berpendapat bila Syarif Hidayatullah keturunan Syekh Maulana Akbar dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunan beliau juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Cempa yang terkenal dengan nama Puteri Dharawati (Darwati) yang menjadi Permaisuri Maharaja Brawijaya V di Kerajaan Majapahit. Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di seluruh tanah Jawa menggantikan peranan Majapahit yang sudah runtuh dan bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan dari Kerajaan Islam Demak. Hal ini terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon. Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Maulana Rahmatillah atau Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan dalam Wali Sembilan. Agama Islam akan disebarkan di seluruh tanah Jawa dengan Demak sebagai sebagai pusat pemerintahan. pemerintahan. Pada saat yang sama sama para Wali tetap menjalin hubungan dengan Kerajaan Islam Pasai sebagai sentral gerakan Islamisasi di Asia Tenggara. Dalam banyak riwayat dan babad, Syarif Hidayatullah dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik yang memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Beliau ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya. Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah tercabut. Setelah pendirian Kerajaan Islam Demak, antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masamasa paling sulit dalam perjuangan dakwah Islam di tanah Jawa, baik bagi Syarif Hidayatullah di Cirebon Jawa Barat maupun Raden Patah di Demak Jawa Timur. Karena pada masa ini proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Hindu Pakuan dan 84
Galuh (di Jawa Barat) dan Kerajaan Hindu Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur), yang diperparah oleh gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia Tenggara. Awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Malaka dan Pasai, Raja Pakuan merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayatullah yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan. Di saat yang genting inilah Syarif Hidayatullah berperan membimbing Sultan Demak II Pati Unus, pengganti Raden Patah yang juga menantunya dalam pembentukan armada perang gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di Jawa dengan misi utama mengusir Portugis di Malaka yang mengancam kedaulatan Kerajaan Islam Pasai. Namun armada perang ini dikalahkan oleh Portugis dan Pati Unus syahid di selat Malaka. Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal di tahun 1521 memaksa Syarif Hidayatullah merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai dikenal dengan Fatahillah, untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di Jawa. Ketika Raja Pakuan mengundang Portugis ke Sunda Kelapa, maka saatnya bagi tentara Muslim menyerang mereka. Maka pada tahun 1527 bulan Juni armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari tentara gabungan Islam. Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah. Sebelum wafat, Syarif Hidayatullah menuntaskan tugas dakwahnya dengan menguasai Kerajaan Pajajaran, menawan Pakuan ibu kota Kerajaan Sunda pada tahun 1568 atau setahun sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayatullah memberikan 2 opsi. Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang yang dikenal dengan suku Baduy. Maulana Abdul Qadir Bin Yunus (Pati Unus): Sang Panglima Quraisy Anti Portugis Nama asli Pati Unus adalah Raden Maulana Abdul Qadir bin Muhammad Yunus. Beliau dijuluki dengan Raden Adipati bin Yunus, dan orang Jawa menyingkat menjadi Pati Unus. Beliau juga terkenal dengan gelar Pangeran Sabrang Lor, artinya Pangeran Sebrang Lautan, karena beliau adalah Panglima besar yang memimpin langsung penyerangan penjajah Portugis di Malaka dan sekitarnya yang mulai mengancam eksistensi pusat Islamisasi Asia Tenggara di Kerajaan Islam Pasai bersama-sama dengan aliansi angkatan perang dari Demak, Cirebon, Banten, Palembang, Makassar, Malaka dan tentunya Pasai. Pati Unus lahir di Jepara, Jawa Tengah pada tahun 1480 dan menjadi Sultan Demak ke 2 pengganti Raden Patah dengan gelar Sultan Akbar Al-Fattah 2. Adapun silsilah Pati Unus adalah Maulana Abdul Qadir (Raden Pati Unus) bin Syekh Muhammad Yunus bin Syekh Khaliqul Idrus (Abdul Khaliq Al-Idrus) bin Syekh Muhammad Al-Alsiy (wafat di Parsi) bin Syekh Abdul Muhyi Al-Khayri (wafat di Palestina) bin Syekh Muhammad Akbar Al-Ansari (wafat di Madinah) bin Syekh Abdul Wahhab (wafat di Mekkah) bin Syekh Yusuf Al-Mukhrowi (wafat di Parsi) bin Imam Besar Hadramawt Syekh Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam. Al-Muqaddam. Imam Faqih Muqaddam seorang Ulama besar sangat terkenal di abad 12-13 M yang merupakan keturunan cucu Nabi Muhammad, Sayyidus Syuhada Imam Husayn 85
putra Imam Besar Sayyidina Ali bin Abi Talib Karromallohu Wajhahu dengan Sayyidah Fatimah Al Zahra. Dari pihak ibu, Pati Unus masih berhubungan dengan para Maulana dan Ulama Pasai, terutama Maulana Sayyid Hussein Jamadil Kubra (Maulana Akbar). Menurut beberapa riwayat, kakek Pati Unus yang bernama Syekh Khalikul Idrus (Abdul Khaliq Al-Idrus) menikah dengan puteri Maulana Akbar di Kerajaan Islam Pasai. Itulah sebabnya Pati Unus masih memiliki darah Pasai karena ayahandanya (Maulana Syekh Muhammad Yunus) diperkirakan lahir dan mendapat pendidikan di Pasai dan ditugaskan menjadi Maulana di daerah Jepara Jawa Tengah untuk membantu saudara sepupu dari pihak ibunya, Maulana Rahmatillah atau Sunan Ampel. Pati Unus lahir dan besar dalam lingkungan Ahlul Bayt yang sudah menjadi para Ulama dan Maulana di Kerajaan Islam Demak. Beliau tumbuh dan belajar di tengah-tengah pusat Islamisasi di tanah Jawa dan pada masa-masa puncak kejayaan Islam yang ditinggalkan oleh para Wali yang datang dari Kerajaan Islam Pasai, terutama Maulana Rahmatillah yang lahir di Pasai dan meninggal di Ampel Surabaya. Kejayaan Demak telah mempengaruhi kepribadian dan kepemimpinan Pati Unus sehingga menjadi seorang pemuda yang alim, cerdas serta berani. Itulah sebabnya Raden Patah, Sultan Demak I, mengangkatnya menjadi menantu dan ketika akan wafat mewasiatkan agar Pati Unus menggantikan beliau sebagai Sultan Kerajaan Islam Demak II atas persetujuan Para Wali yang pada saat itu dipimpin oleh Maulana Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Berkat pendidikan orang tuanya yang Maulana dan para guru-gurunya, terutama Maulana Syarif Hidayatullah, Pati Unus tumbuh menjadi seorang panglima perang yang gagah berani dan diangkat menjadi bupati di Jepara. Namun berkat kepribadiannya yang menonjol, gabungan antara seorang Maulana, panglima perang dan administratur pemerintahan, karirnya terus menanjak dan diangkat menjadi Panglima angkatan perang Kerajaan Islam Demak pada zaman Raden Patah. Keutamaan yang dimilikinya pula telah memikat hati para Wali dan Sultan sehingga Maulana Abdul Qadir atau Pati Unus kemudiaan dinobatkan menjadi Sultan dari Kerajaan Islam Demak. Setelah Raden Abdul Qadir beranjak dewasa di awal 1500-an beliau diambil mantu oleh Raden Patah yang telah menjadi Sultan Demak I. Dari Pernikahan dengan putri Raden Patah, Abdul Qadir resmi diangkat menjadi Adipati wilayah Jepara (tempat kelahiran beliau sendiri). Karena ayahanda beliau (Raden Yunus) lebih dulu dikenal masyarakat, maka Raden Abdul Qadir lebih lebih sering dipanggil sebagai Adipati bin Yunus (atau putra Yunus). Kemudian hari banyak orang memanggil beliau dengan yang lebih mudah Pati Unus. Untuk mempererat hubungan dengan Cirebon-Banten, Pati Unus menikah lagi dengan Ratu Ayu putri Sunan Gunung Jati tahun 1511. Kemudian Pati Unus diangkat sebagai Panglima Gabungan Armada Islam membawahi armada Kesultanan Banten, Demak dan Cirebon, diberkati oleh mertuanya sendiri yang merupakan Pemimpin Spiritual umat Islam di tanah Jawa, Syekh Syarif Hidayatullah bergelar Sunan Gunung Jati yang telah menjadi pemimpin tertinggi para Wali tanah Jawa. Gelar Pati Unus yang baru adalah Senapati Sarjawala dengan tugas utama merebut kembali tanah Malaka yang telah jatuh ke tangan Portugis. Tidak diragukan bahwa Kerajaan Islam Demak, Cirebon dan Banten di tanah Jawa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Kerajaan Islam Pasai sebagai pusat Islamisasi di Asia Tenggara. Itulah sebabnya ketika penjajah kafir Portugis pada tahun 1511 menguasai Kerajaan Malaka dan mengancam eksistensi Kerajaan Islam Pasai, maka para Wali, Sultan dan petinggi Kerajaan Islam Demak mengatur strategi untuk menyerang penjajah kafir Portugis di Malaka. 86
Di bawah kordinasi Kerajaan Islam Demak, angkatan mujahidin Islam dari Demak, Bugis, Makassar, Maluku-Ambon, Cirebon, Banten, Palembang, Patani, Tanah Malaya dan tentunya dari Pasai dan sekitar Aceh membentuk angkatan mujahidin gabungan untuk melakukan operasi Jihad ke Malaka. Maka tahun 1513 dikirim armada kecil, ekspedisi Jihad I yang mencoba mendesak masuk benteng Portugis di Malaka tapi gagal dan angkatan mujahidin balik kembali ke tanah Jawa. Kegagalan Kegagalan ini karena kurang persiapan menjadi pelajaran berharga untuk membuat persiapan yang lebih baik. Maka direncanakanlah pembangunan armada besar sebanyak 375 kapal perang di tanah Gowa, Sulawesi yang masyarakatnya sudah terkenal dalam pembuatan kapal. Tahun 1518 Raden Patah, Sultan Demak I, atas restu para Wali beliau berwasiat agar mantunya Pati Unus diangkat menjadi Sultan Demak berikutnya. Maka diangkatlah Pati Unus atau Raden Sayyid Abdul Qadir bin Yunus, Adipati wilayah Jepara yang garis nasab (Patrilineal)-nya (Patrilineal)-nya adalah keturunan Ahlul Ahlul Bayt menjadi Sultan Demak Demak II bergelar Sultan Alam Akbar At-Tsaniy. Penjajah Portugis terus melakukan penaklukan demi penaklukan di sekitar Kerajaan Islam Pasai untuk mempermudah penguasaan Pasai sekaligus untuk meredam Islamisasi di Asia Tenggara dengan menguasai jantung kekuasaannya di Pasai. Pada saat yang sama, akibat serangan demi serangan yang dilakukan Portugis, Kerajaan Pasai semakin lemah, apalagi Kerajaan Pidier di sebelah barat telah bersekutu dengan Portugis. Dalam keadaan yang mencekam ini, salah satu jaringan Kerajaan Islam di ujung barat Sumatra, memproklamirkan berdirinya sebuah kerajaan baru pada tahun 1514 yang bernama Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Akhirnya Pasai jatuh ke Portugis pada tahun 1521, dan selanjutnya peranan Pasai sebagai pusat Islamisasi Nusantara digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam yang sudah semakin kuat. Kejatuhan Pasai ke tangan penjajah kafir Portugis telah menimbulkan kesedihan mendalam pada para petinggi Demak, Cirebon, Banten dan jaringan Kerajaan Islam lainnya. Terutama Pati Unus yang kini telah menjadi Sultan Demak. Beliau tidak rela tanah leluhurnya di Pasai terjajah oleh kaum kafir. Pada tahun itu juga, 1521, Pati Unus dengan kekuatan 375 kapal perang yang telah selesai dibangun di Wajo Sulawesi siap kembali berjihad melawan kafir Portugis membebaskan Pasai dan Malaka. Walaupun baru menjabat Sultan selama 3 tahun Pati Unus tidak sungkan meninggalkan segala kemewahan, kemudahan dan kehormatan dari kehidupan istana tanah Jawa bahkan ikut pula 2 putra beliau yang masih sangat remaja. Demi Islam, Sang Sultan Demak sendiri memimpin armada perang yang terdiri dari gabungan jaringan kerajaan kerajaan Islam. Islam. Armada perang Islam siap berangkat dari pelabuhan Demak dengan mendapat pemberkatan dari Para Wali yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati. Armada perang yang sangat besar untuk ukuran dulu bahkan sekarang. Dipimpin langsung oleh Pati Unus bergelar Senapati Sarjawala, Sultan Demak II. Armada perang Islam yang sangat besar berangkat ke Malaka dan Portugis pun sudah mempersiapkan pertahanan menyambut Armada besar ini dengan puluhan meriam besar pula yang mencuat dari benteng Malaka. Ketika mendarat di Malaka, kapal yang ditumpangi Pati Unus terkena peluru meriam. Beliau gugur sebagai Syahid karena berperang melawan penjajah kafir dan kewajiban membela kaum Muslim yang tertindas. Sebagian pasukan Islam yang berhasil mendarat kemudian bertempur dahsyat hampir 3 hari 3 malam lamanya dengan menimbulkan korban yang sangat besar di pihak Portugis, karena itu sampai sekarang Portugis tak suka mengisahkan kembali pertempuran dahsyat di tahun 1521 ini. 87
Armada Islam gabungan yang menderita banyak korban kemudian memutuskan mundur kembali ke tanah Jawa untuk membangun kekuatan dan strategi baru. Sementara jihad demi jihad terus dilanjutkan para mujahidin Islam terhadap penjajah kafir Portugis di bawah komando Kerajaan Aceh Darussalam yang bangkit menjadi bintang baru Islam di ujung barat Sumatra, sebagai kelanjutan Kerajaan Islam Pasai. Setelah Pati Unus gugur sebagai syahid di Malaka, maka komando armada gabungan Islam di tanah Jawa diambil alih oleh Fadhlulah Khan yang terkenal dengan julukan Tubagus Pasai atau Sang Pangeran Pasai atau Falathehan alias Fatahillah yang diangkat Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati sebagai Panglima Armada Gabungan yang baru. Sang Maulana gagah perkasa, Sayyid Abdul Qadir bin Syekh Muhammad Yunus, Adipati Yunus, Pati Unus dengan gelar Sultan Akbar Al-Fattah Al-Tsany sudah menunaikan tugasnya, dan kembali kehadirat Illahi sebagai syuhada dalam membela agama, kaum muslimin dan tanah leluhurnya di Pasai. Maulana Fadhilah Khan (Fatahillah): Pangeran Arab-Quraisy Pendiri Jakarta Fatahillah adalah gelar yang diberikan kepada Maulana Fadhilah Khan Al-Pasee yang telah berhasil merebut pelabuhan Sunda Kelapa dari penjajah Portugis pada bulan juni 1527. Setelah direbutnya kota itu dinamakannya dengan Jaya Karta atau Kota Kemenangan ( al-Fath), yang sekarang dikenal dengan Jakarta ibukota negara Indonesia. Sementara penjajah Portugis mengenalnya dengan nama Falatehan. Pribadinya yang memikat, cerdas, alim dan pemberani telah menjadikannya sebagai tokoh legendaris di Asia Tenggara. Sampai-sampai orang Malaya mengakuinya sebagai tokoh legenda Laksamana Hang Tuah dari Kerajaan Malaka pada masa Sultan Mahmud Syah yang memerintah kesultanan Malaka pada tahun 1488-1511 yang menjabat sebagai Panglima Pengawal Selat Malaka. Maulana Fadhilah lahir di Kerajaan Islam Pasai sekitar tahun 1471, itulah sebabnya beliau bergelar Fadhilah Khan Al-Pasee yang di tanah Jawa disebuat sebagai Tubagus Pasee atau Pangeran dari Pasai. Beliau lahir dari lingkungan lingkungan kerabat istana Kerajaan Ke rajaan Pasai dari pihak ibu, sementara ayahadanya adalah seorang Petinggi Pasai, Ulama dan Maulana yang terkenal dengan gelar Maulana Makhdum Patakan Ibrahim yang hidup pada masa pemerintahan Ratu Nahrishah (1424) sampai Sultan Mudzafar Syah (1497). Dalam sejarah Melayu, ayah beliau ini terkenal sebagai penterjemah kitab Durrul Manzum, karya Abu Ishaq ulama Mekkah yang diserahkan kepada Sultan Malaka Sultan Mansyur Syah dan meminta bantuan raja Pasai Sultan Muzafar Syah (wafat 1497) menerjemahkan kitab tersebut. Tugas ini dilakukan oleh Ulama besar Pasai Makhdum Patakan Ibrahim, ayahanda Maulana Fadhilah. Sementara Makhdum Patakan adalah cucu dari Maulana Sayyid Hussein Jamadil Kubra. Secara lengkap silsilah beliau adalah: Maulana Fadhilah Khan (Fatahillah) bin Maulana Makhdum Nuruddin Ibrahim Patakan bin Sayyid Maulana Alam Baraqat Syekh Maulana Ismail bin Sayyid Hussein Jamadil Kubra (Maulana Akbar Hussien) dan seterusnya yang bersambung sampai dengan Sayyidina Hussein bin Sayyidina Ali ra, cucu Nabi Muhammad saw. Jadi sebenarnya beliau juga adalah keluarga satu buyut dari Maulana Rahmatillah Rahmatillah (Sunan Ampel) dan juga Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Maulana Fadhilah hidup dan berkembang di penghujung masa kegemilangan Kerajaan Pasai dengan segala kelimpahan dan kemakmurannya dan menjadi penaung bagi kerajaankerajaan Islam yang baru berkembang di Nusantara. Beliau belajar di bawah asuhan para Ulama dan Maulana yang menjadi rujukan utama kaum Muslimin dan sebagai pusat pengkajian Islam tingkat tinggi dengan sistem zawiyah yang kemudian di tanah Jawa di kenal dengan pesantren. Karena Maulana Fadhilah adalah anak seorang Maulana terkemuka Pasai, 88
Maulana Makhdum Ibrahim Patakan, maka wajarlah jika ayahandanya mengharapkan beliau menjadi Ulama kelak. Namun Sang Pangeran lebih cendrung tumbuh sebagai seorang panglima gagah perkasa. Setelah beranjak dewasa, Maulana Maulana Fadhilah Fadhilah hilir mudik berlayar dari Pasai ke Malaka. Ketenaran ayahandanya di Malaka sebagai Ulama besar Pasai telah menempatkannya di dalam lingkungan istana Malaka. Apalagi di Malaka Pangeran Pasai muda ini dengan gagah perkasa memperlihatkan kepiawaiannya sebagai pendekar ulung yang mampu menggerakan Jong (perahu layar) dan dengan lincah memburu setiap perompak yang mengacau di Selat Malaka. Maka tak mengherankan bila banyak para petinggi kerajaan, baik Pasai ataupun Malaka merasa hormat dan segan kepada Pangeran Pasai ini. Pada usinya yang ke 24, pada tahun 1495/6 diangkat menjadi Hulubalang Malaka oleh Sultan Mahmud Syah (1488 – 1528). Selanjutnya Maulana Fadhilah Sang Pangeran Pasai ini mendapat gelar Laksamana Hang Tuah, Panglima Pengawal Selat Malaka. Naskah Cina menyebutkan, bahwa Kaisar pernah memberikan hadiah khusus kepada Hang Tuah, karena keberhasilannya menyelamatkan kapal-kapal dagang Cina dari perompak di selatan Selat Malaka. Setelah 15 tahun berkarier sebagai Laksamana Hang Tuah, Fadhilah berhenti tahun 1508, dan pada tahun 1509 Sang Pangeran kembali ke Pasai tanah kelahirannya. Sekembalinya di Pasai, Sang Pangeran memperdalam pengetahuan keislaman kepada para Ulama, Maulana dan Auliya yang mendapat tempat terhormat di Kerajaan Pasai. Kecerdasan dan ketekunan yang didukung oleh garis keturunan (genetik unggul) telah mengantarkan Sang Pangeran sebagai seorang Maulana terkemuka terkemuka di Pasai dengan kedudukan tinggi. Disebutkan ketika pasukan gabungan Islam pimpinan Pati Unus (Adipati bin Yunus atau Maulana Abdul Qadir) menyerang Malaka pada tahun 1513 yang sudah dikuasai Portugis sejak 1511, Maulana Fadhilah ikut andil sebagai salah seorang Panglima perang. Kegagalan mengalahkan Portugis pada ekspedisi Jihad I ini telah membulatkan tekad Sang Pangeran muda ini untuk belajar lebih giat menguasai teknologi perang. Karena Portugis memiliki teknologi perang yang canggih sehingga gabungan angkatan Islam kalah. Pasai tidak cukup baginya, dan atas dukungan Sultan dan para Ulama Pasai, sekitar tahun 1516 beliau berangkat memperdalam pengetahuan ke Gujarat India, tempat asal usul moyangnya, Maulana Syah Jalal Al-Akbar dan turunannya yang menjadi Petinggi Kerajaan Thaglug. Di Gujarat beliau mendapat gelar sebagai Maulana Fadhilah Khan. Selanjutnya beliau mengembara belajar menuju pusat-pusat ilmu Islam dan teknologi seperti Mekkah, Madinah, Mesir, Baghdad, Samarkand dan Turki. Di Turki beliau mempelajari teknologi persenjataan, terutama pembuatan meriam. Sang Pangeran dalam perjalanan belajarnya, diriwayatkan pernah ikut berperang bersama pasukan Turki sebagai salah seorang Panglima untuk menduduki Konstantinopel. Setelah pasukannya berhasil menduduki Konstantinopel dan merubahnya menjadi Istambul, nama beliau sangat terkenal. Beliau diundang pulang untuk bergabung untuk membesarkan Kesultanan Demak di tanah Jawa. Maulana Fadhilah diundang para pemimpin Wali Songo yang masih paman-pamannya sendiri agar bisa membawa para ahli pembuat meriam untuk bergabung dengan Kesultanan Demak dalam menghadapi Portugis. Tidak satupun kerajaan di Nusantara di masa itu yang memiliki tekhnologi pembuatan meriam. Setelah 5 tahun belajar ke penjuru dunia, Maulana Maulana Fadhilah Khan pulang ke Pasai pada tahun 1521. Namun pada saat itu peperangan tengah berkecamuk yang dipicu oleh ambisi penjajah Portugis, sehingga kapal beliau tidak dapat berlabuh di Pasai dan langsung ke Palembang-Bengkulu sebagai pusat baru perlawanan kaum muslimin di sebelah timur. 89
Sementara di barat berpusat pada Kerajaan Aceh Darussalam yang baru diproklamasikan oleh Sultan Ali Mughayyat Syah pada tahun 1514. Selanjutnya Maulana Fadhilah melanjutkan pelayarannya ke tanah Banten, tempat pamannya yang sudah menjadi Pemimpin Spiritual (Aulia) Kerajaan Kerajaan Islam Demak-Cirebon-Banten Demak-Cirebon-Banten bernama Syarif Hidayatullah Hidayatullah atau Sunan Sunan Gunung Jati, sebagai mana yang diungkapkan dalam buku catatan pelayaran Achmad Ghulam Khaan yang ditulis tahun 946 Hijriah atau 1539 M, dan ditulis ulang oleh Musthafa Khaan, India 1973. Kedatangan Maulana Fadhilah Khan Pangeran Pasai ke tanah Jawa disambut gembira oleh armada gabungan tentara Islam yang tengah mempersiapkan ekspedisi Jihad II untuk membebaskan Malaka dari penjajah Portugis yang dipimpin langsung oleh Sultan II Kerajaan Demak, Pati Unus. Sunan Gunung Jati sebagai Pemimpin tertinggi spiritual Wali Songo menunjuk Fadhilah Khan Al-Pasee sebagai Wakil Panglima angkatan perang gabungan Demak, Cirebon, Banten, Makassar, Palembang, Pasai, Malaka, Aceh dan lainnya. Pasukan berangkat dari pelabuhan Demak Jawa dengan kekuatan 375 kapal perang. Pada kesempatan ini Maulana Fadhillah Khan dianugrahi gelar Raden Hidayat Tubagus Pasai dari Kerajaan Banten dan Wong Ageng Pasai dari Kerajaan Demak. Ternyata ekspedisi Jihad II mengalami kekalahan telak setelah berperang 3 hari 3 malam, Sultan Demak II Pati Unus bersama 2 putranya syahid di Malaka. Komando tertinggi diambil alih Maulana Fadhilah dan memerintahkan pasukan mundur kembali ke tanah Jawa. Kekalahan ini telah memberi pengaruh mendalam kepada Tubagus Pasai Fadhullah Khan terhadap penjajah Portugis. Setelah Armada Gabungan Gabungan kembali ke tanah Jawa, beliau diangkat menjadi pengganti Pati Unus sebagai Panglima Armada Islam Gabungan tanah Jawa dan dinikahkan oleh Sunan Gunung Jati dengan putri beliau, Ratu Ayu janda Pati Unus untuk memperkuat kekerabatan. Beliau menetap di Kerajaan Cirebon-Banten bersama dengan sisasisa pasukan perangnya untuk mengatur kembali strategi mengalahkan Portugis. Beliau ditugaskan mertuanya Maulana Syarif Hidayatullah memperkuat koalisi Kerajaan Islam di Jawa, terutama Demak-Cirebon-Banten Demak-Cirebon-Banten dalam menghadapi Kerajaan Hindu Pakuan-GaluhPakuan-GaluhPajajaran. Kegagalan ekspedisi Jihad II di Malaka 1521 membuat kerajaan-kerajaan Islam di tanah Jawa, terutama Demak-Cirebon-Banten Demak-Cirebon-Banten mengambil mengambil sikap defensif dan memancing Portugis untuk datang menyerang ke tanah Jawa. Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu tiba jua setelah Kerajaan Hindu Galuh berkoalisi dengan penjajah Portugis. Bulan Juni 1527, Portugis yang telah merasa diatas angin mencoba menguasai pelabuhan Sunda Kelapa di wilayah Jakarta Utara sekarang. Dengan persiapan yang matang, gabungan armada Islam dibawah pimpinan Maulana Fadhullah Khan Tubagus Pasai, Wong Ageng Pasai langsung meluluhlantakkan penjajah kafir Portugis bersama pasukan dan antek-anteknya. Kemenangan besar berada di pihak Islam, Maulana Fadhullah Khan atau Tubagus Pasai diberi gelar baru Fatahillah, yang berarti Kemenangan Allah SWT. Kemenangan besar ini kemudian dirayakan sebagai hari lahir Jayakarta dan kemudian disebut disebut Jakarta Jakarta sampai sekarang (22 Juni Juni 1527). Setelah kemenangan ini Maulana Fadhullah Khan, Tubagus Pasai, Wong Ageng Pasai atau Fatahillah diangkat Sunan Gunung Jati sebagai Penasehat Agung Kesultanan CirebonBanten yang kini tengah berusia mendekati 60 tahun. Kota Jayakarta diserahkan ke menantu Fadhullah Khan, anak Maulana Hasanuddin atau cucu Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) Jati) yang bergelar Tubagus Angke. Angke. Setelah wafatnya Tubagus Angke Angke diserahkan kepada putra beliau Pangeran Jayakarta yang kemudian pada 1619 karena kalah dalam konflik konflik dengan VOC-Belanda, meninggalkan Jayakarta yang dibumihanguskan. 90
Akhir perjalanan panjang hidup Sang Pangeran Pasai yang gagah dan berani ini, sepanjang 40 tahun lebih, memilih tugas menyiarkan agama Islam sebagai da'i, pembimbing spiritual dan menjadi ulama dan maulana di Tanah Pasundan di Jawa Barat. Beliau sangat terkenal sebagai seorang Maulana yang menguasai ajaran-ajaran tasawwuf, namun beliau juga bergandeng bahu dengan Syarif Hidayatullah menaklukkan kerajaan-kerajaan Hindu yang tersisa di Jawa Barat sebagai penasihat dan pemimpin spiritual bagi Sultan-sultan muda Kerajaan Islam. Demikian pula pula bersama dengan Syarif Hidayatullah, Hidayatullah, Maulana Fadhilah Fadhilah Khan Tubagus Pasai ikut andil menaklukkan Kerajaan Sunda-Pakuan di wilayah Bogor Jawa Barat pada tahun 1568, atau dua tahun sebelum beliau wafat. Maulana Fadhilah Khan Al-Pasee, Tubagus Pasee, Wong Ageng Pasee, Fatahillah AlPasee putra Maulana Makhdum Patakan Ibrahim seorang ulama besar sufi yang hidup dimasa kejayaan Kerajaan Islam Pasai, juga dikenal dengan Maulana Fatahillah ibnu Sayyid Kamil Maulana Mukhdum Ibrahim (Makhdum Patakan Ibrahim) Rahmattullah ibnu Syeikh Nuruddin Ibrahim Maulana Ismail, wafat di tanah Pasundan Jawa Barat, tepatnya di Cirebon pada tahun 1570 dalam usia hampir 100 tahun. Beliau di makamkan berdampingan dengan keluarga, sahabat dan gurunya, seorang Auliya dan Maulana, Syarif Hidayatullah yang sudah wafat mendahului beliau dua tahun di komplek pemakaman Sunan Gunung Jati, di Gunung Sembung Cirebon.
91