BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Film merupakan salah satu sebuah karya dari manusia yang begitu sangat populer dari dulu hingga sekarang, bahkan film sudah ada sejak sebelum Perang Dunia I, namun kala itu masih menggunakan format hitam putih dan tidak ada dialog antar tokoh atau disebut silent film. Bahkan film merupakan contoh dari komunikasi massa, yang dimana film tidak hanya menampilkan sebuah hiburan (entertain) bahkan film bisa dapat menampilkan sebuah pendidikan ( education). Saat ini sudah banyak film yang dikeluarkan oleh produsen – produsen yang berurusan dengan film, yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Film merupakan salah satu komunikasi massa (Mcquail, 2011). Sebuah film hidup dari bentukan teknologi rekaman gambar dan suara, dan termasuk ada di dalamnya berbagai unsur kesenian seperti sastra, teater, seni rupa, dan juga musik (Wikipedia, 2017).
Film merupakan salah satu media komunikasi massa. Dikatakan sebagai media komunikasi massa karena merupakan bentuk komunikasi saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, dalam arti berjumlah banyak, tersebar dimana – mana, khalayaknya heterogen dan anonym, dan menimpulkan efek tertentu. Film dan televisi memiliki kemiripan, terutama sifatnya yang audio visual, tetapi dalam proses penyampaian pada khalayak dan proses produksinya agak sedikit berbeda (Tan dan Wright, dalam Ardianto & Erdinaya, 2005:3) (Vera, 2014).
1
Definisi film berbeda di setiap negara; di Perancis ada pembedaan antara film dan sinema.“Filmis” berarti berhubungan dengan film dan dunia sekitarnya, misalnya sosial politik dan kebudayaan. Sedangkan di Yunani film dikenal dengan istilah cinema, yang merupakan singkatan dari cinematograph (nama kamera dari Lumiere bersaudara). Cinemathographie secara harfiah berarti
cinema (gerak), tho atau phytos adalah cahaya, sedangkan graphie berarti tulisan atau gambar.Jadi, yang dimaksud cinemathographie adalah melukis gerak dengan cahaya. Ada juga istilah lain yang berasal dari bahasa Inggris, yaitu movies; berasal dari kata move, yang berarti gambar bergerak atau gambar hidup (Vera, 2014). Film gangster atau juga sering disebut “ Mafia Film” atau “Mob Film” merupakan salah satu genre besar yang telah populer sejak lama. Film gangster umumnya
berkisah
bagaimana
sebuah
kelompok
kriminal
memperbesar
kekuasaan dan memperluas wilayah operasinya. Para gangster beroperasi diluar sistem hukum dimana mencuri, memeras, hingga membunuh menjadi bagian dari hidup mereka. Film gangster sering kali melibatkan bos kriminal yang berwatak amoral, kejam, dan brutal dalam menyingkirkan gangster pesaingnya atau sistem hukum yang menghalangi mereka. Kekuatan film gangster sering kali tampak pada kekuatan akting dari para aktornya yang bertampang keras dan dingin. Rivalitas antar kelompok gangster biasanya memperlihatkan adegan-adegan aksi kekerasan brutal tidak manusiawi yang penuh darah. Adegan-adegan aksi sadis dan brutal biasanya ditampilkan secara eksplisit dengan senjata-senjata khas seperti senapan mesin “tommy gun”, tongkat pemukul, bom mobil, dan lainnya. Plot film gangster juga kadang melibatkan “kucing-kucingan” antara pihak gangster dan penegak hukum. Pihak penegak hukum sendiri sering kali menggunakan cara-cara di luar aturan hukum untuk melawan kelompok gangster. Film-film gangster biasanya mengambil setting di kota – kota besar yang berpenduduk sangat padat. Latar cerita sering mengambil tempat di lokasi “gelap”
2
seperti, jalanan, bar, klab malam, rumah judi, tempat prostitusi yang menjadi tempat favorit berkumpulnya para gangster. Cerita film gangster biasanya tidak lepas dari bisnis barang ilegal seperti minuman keras, narkotika, senjata api, dan lainnya. Meskipun film gangster terdapat unsur kekerasan didalamnya, namun film
gangstser juga terdapat unsur maskulinitas di dalamnya. Salah satu film bertema gangster yang cukup terkenal dalam dunia perfilman dari tahun 1972 ialah The Godfather, karya Francis Ford Coppola. Film ini berasal dari novel karya Mario Puzo, dan mendapatkan Oscar Kategori Skenario Adaptasi Terbaik danFilm Terbaik tahun 1973. Film tersebut menceritakan kehidupan Mafia bernama Don Vito Corleone dan memiliki 4 orang anak yang selalu setia kepada ayahnya, mulai dari Santino “Sonny” Corleone, Alfredo “Fredo” Corleone, Michael Corleone, Constanzia “Connie” Corleone, serta anak angkat bernama Tom Hagen, namun
dari film tersebut dipusatkan kepada Michael Corleone. Setting film tersebut di kota New York, Pulau Sicilia, dan California pada era pasca Perang Dunia II (1945), dimana terpusatkan di Little Italy, New York. Film ini mendapatkan citra positif dari kritikus, bahkan dalam Metacritic memberi skor 100 (nilai sempurna), dan menjadikan film ini membuat film terbaik sepanjang masa di sejarah perfilman dunia. Film ini meskipun mempunyai genre film kriminal khususnya
gangster dan drama, namun film ini mempunyai sikap kekeluargaan yang sangat melekat didalamnya, serta dalam film tersebut terdapat dominanya pihak laki – laki ketimbang pihak perempuan adanya sifat kepimpinan layaknya kepala keluarga, lalu adanya unsur kelaki-laki yang dimana laki – laki jika berkelahi menggunakan tangan kosong untuk menonjolkan sifat machonya. Film ini mempunyai durasi sekitar 2 jam 55 menit atau 175 menit dan di sutradarai oleh Francis Ford Coppola, dan dirilis pada tahun 1972 di Indonesia hampir sudah memiliki bioskop untuk menayangkan film tersebut. Di Amerika
3
Serikat sendiri memberi rating “R” atau “ Restricted ” yang dikata lain, film
tersebut hanya diperbolehkan khusus dewasa. (filmratings.com) Film ini mempunyai unsur ideologi yang terkandung dalamnya, dimana adanya unsur minoritas kaum perempuan didalamnya, serta dalam film tersebut menonjolkan dominan sifat kelaki – lakian atau maskulinitas, meskipun dari pihak perempuan hanya sedikit yang terkandung dalamnya. Serta didalamnya juga adanya unsur kreatif yang memetingkan dalam film tersebut. Dari observasi yang dilakukan, film The Godfather tersebut memiliki adanya dominan laki – laki, sehingga di film tersebut jarang sifat feminisme ditonjolkan film tersebut. Film ini sangat fenomenal pada era saat itu (1970an) tetapi film ini sangat diminati oleh pencinta film diseluruh dunia sampai sekarang sehingga menduduki peringkat 2 dari 250 film terbaik sepanjang masa versi Internet Movie Database (IMDb) dengan skor 9.2 dari 10. Hal ini dikarenakan banyak peran laki – laki yang mempunyai peran dari scene awal hingga akhir didalamnya, sehingga penulis melakukan analisis penelitian deskriptif dengan cara menganalisis dengan cara semiotika komunikasi yang dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce. Semiotika ini dinilai cocok dengan analisis yang terdapat dari teori tersebut, sehingga penulis dapat menjabarkan dengan mencocokan teori – teori maskulinitas dengan disisipkan maskulinitas.
scene – scene yang terkandung dengan
Maskulin atau maskulinitas sendiri berasal dari bahasa Perancis,
masculinine adalah sebuah kata sifat, adjektif yang berarti "kepriaan" atau menunjukkan sifat laki - laki. Lawan katanya adalah feminin. Istilah ini berbeda dengan “kejantanan ” (yang lawan katanya adalah "kebetinaan"). Dapat dikatakan maskulin jika: Gagah, kekar, lebih berpikir secara logika daripada perasaan. Biasanya maskulin kerap dihubungkan dengan gambar pria berotot besar dan
4
macho. Namun maskulin juga dapat diidentifikasikan dengan pria menggunakan jas (maskulin) supaya terlihat lebih gagah. 1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas, maka terdapat identifikasi masalah, yang dapat dirumuskan adalah adanya elemen semiotika dalam film The Godfather cenderung bersifat seperti adanya sifat dari maskulin yang ditujukan bahwa laki – laki itu mempunyai tanggung jawab yang besar, bersifat sayang kepada keluarga, dan masih banyak lagi. Meskipun film The Godfather adalah film bergenrekriminal dan drama. Visual dalam film tersebut berperan penting dalam penyampaian pesan, karena pesan dalam film dibentuk berdasarkan elemen-elemen visualnya. Sedangkan kaitannya dengan semiotika adalah bahwa segala sesuatu yang dapat diinderai manusia dapat menjadi tanda, sehingga elemen visual iklan juga dapat menjadi sebuah tanda.Dalam semiotika Charles Sanders Peirce terdapat pengkajian tingkatan tanda yang menghasilkan makna – makna berdasarkan relasi tanda, yang dalam sebuah film makna - makna tersebut merupakan pesan dalam film. 1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah diatas penulis menyusun sebuah rumusan yaitu Bagaimana maskulinitas dalam film The Godfather karya Francis Ford Coppola menggunakan analisis semiotika komunikasi Charles Sanders Peirce? 1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang peneliti capai dari penelitian ini ialah ingin mendeskripsikan maskulinitas dalam film The Godfather karya Francis Ford Coppola menggunakan analisis semiotika komunikasi Charles Sanders Peirce.
5
1.5 Signifikasi Penelitian
1) Akademis Untuk menjelaskan bahwa film merupakan salah satu komunikasi massa yang di mana ada unsur budaya, sastra, dan sebagainya. Serta sebagai bahan referensi untuk mengkaji Ilmu Komunikasi dalam terkait unsur kajian film dengan menggunakan analisis semiotika Charles Sanders Peirce. 2) Praktis Untuk menjelaskan kepada praktisi terutama bagi pembuat film agar mengetahui adegan mana saja yang mengandung unsur – unsur maskulinitas dalam konteks Amerika Serikat pada tahun 1940an hingga 1950an. 1.6 Sistematika Penelitian
Untuk memberikan sistematika penelitian yang jelas, maka pada skripsi ini peneliti mencoba menguraikan isi kajian penelitian. Adapun sistematika penelitian sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN
Pendahuluan merupakan pengantar dari skripsi ini terdiri dari beberapa subbab, yaitu latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, signifikasi masalah, dan sistematika penelitian. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini peneliti menjelaskan secara rinci mengenai beberapa tinjauan pustaka atau peneliti terdahulu yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Juga menjelaskan teori yang nantinya akan digunakan sebagai landasan penelitian. Tidak lupa juga menjelaskan teori yang berdasarkan dari penelitian dan pendapat ahli teori tersebut.
6
BAB III : METODE PENELITIAN
Pada bab ini peneliti akan menjelaskan tentang metode peneltian yang akan peneliti gunakan, seperti paradigma penelitian, cara teknik mengumpulkan dan bagaimana prosedur cara peneliti dalam menganalisis data tersebut. BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini peneliti akan menjelaskan tentang penyajian data dan pembahasan tentang maskulinitas dalam film The Godfather dengan cara menggunakan analisis semiotika komunikasi Charles Sanders Peirce. BAB V : PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir yang peneliti akan menjabarkan mengenai kesimpulan dan juga saran dari penelitian yang sudah peneliti lakukan.
7
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka (Peneliti Terdahulu)
Penelitian ini dilakukan tidak terlepas dari hasil penelitian – penelitian terdahulu yang sebelumnya yang pernah dilakukan sebagai pembanding dan kajian refrensi. Penelitian mengenai Maskulinitas Dalam Film The Godfather (Analisis Semiotika Komunikasi Charles Sanders Peirce) memiliki beberapa skripsi, tesis dan jurnal rujukan. Berikut dibawah ini merupakan skripsi rujukanatau penelitian terdahulu: Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No Judul, Penulis, Tahun, Institusi
1
Representasi Maskulinitas Dalam Iklan Produk Perawatan Tubuh Untuk Laki – Laki (Analisis Semiotika Iklan Clear Men Sampo Versi Rain dan L’oreal Men Expert Versi Matthew Fox), (2011) – Febriyanti, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Objek Penelitian
Fokus dan Paradigma
Metode Penelitian
Iklan Produk Perawatan Tubuh Laki – laki (Clear Men Sampo dan L’Oreal Men Expert)
Maskulinitas (Paradigma Kritis)
Analisis Semiotika Roland Barthes
9
2
Hegemoni Maskulinitas Dalam Iklan Minuman Berenergi (Analisis Semiotika TVC Extra Joss dan Kuku Bima Ener-G), (2011) – I Nyoman Winata, Universitas Diponegoro, Semarang Maskulinitas Pada Iklan Televisi (Analisis Semiotik Iklan Produk Khusus
3
4
5
10
Pria:Pro Extra Joss, Surya Mild, dan Vaseline Men Moisturiser), (2012) – Rosalina, Universitas Indonesia, Depok Representasi Maskulinitas Dalam Film Legend No. 17 Karya Nikolai Lebedev: Sebuah Kajian Semiotika, (2014) – Anniesa Fithiriana, Universitas Indonesia, Depok Maskulinitas Dalam Film The Godfather (Analisis Semiotika Komunikasi Charles Sanders Peirce), (2017) – Felix Kencana, Universitas Pembangunan Jaya, Tangerang Selatan
Iklan Minuman Berenergi (Extra Joss dan Kuku Bima EnerG)
Iklan Produk Khusus Pria: Extra Joss, Surya Pro Mild, dan Vaseline Men Moisturiser
Maskulinitas (Paradigma Kritis)
Maskulinitas (Paradigma Critical contrutionism)
Analisis Semiotika Roland Barthes
Analisis Semiotika Roland Barthes
Film Legend No. 17 Karya Nikolai Lebedev
Maskulinitas (Paradigma Deskriptif)
Analisis Semiotika Roland Barthes dan Semiotika Charles Sanders Peirce
Film The Godfather Karya Francis Ford Coppola
Maskulinitas (Paradigma Konstruktivisme)
Analisis Semiotika Charles Sanders Peirce
Tabel 2.1 Menjabarkan peneliti terdahulu yang fokus penelitian sejenis dengan penelitian yang akan peneliti lakukan. Sumber: Dokumen Peneliti Dari hasil beberapa jurnal, skripsi dan tesis rujukan maka hasil yang pertama ialah mengenai penelitian dengan judul Representasi Maskulinitas Dalam Iklan Produk Perawatan Tubuh Untuk Laki – Laki (Analisis Semiotika Iklan Clear Men Sampo Versi Rain dan L’oreal Men Expert Versi Matthew Fox), karya Febriyanti tahun 2011. Penelitian ini merepresentasikan maskulinitas yang mengukuhkan ideologi patriarki. Hampir dalam setiap adegan, maskulinitas direpresentasikan melalui kekuatan laki - laki, perlindungan laki laki terhadap perempuan, penempatan laki - laki di ranah publik,kesuksesan dan kesejahteraan. Ada tiga mitos maskulinitas dalam ideologi patriarki yang sering muncul dalam iklan Clear Men Sampo dan L’Oreal Men Expert yakni: (1) No sissy stuff, di mana laki - laki tidak boleh tampil feminin dan laki laki sangat dianjurkan untuk tidak mengurusi hal yang berkaitan dengan femininitas, (2) Be a Big Wheel, maskulinitas juga diukur dari kekuasaan atau kekuatan yang dimiliki, tingkat kesuksesan, tingkat kesejahteraan, dan status yang dimiliki, (3) Give ‘em Hell, mengacu pada sikap dan aura laki - laki yang berani dan agresif, dimana setiap laki - laki maskulin berani menambil resiko. Lalu dalam penelitian kedua dengan judul Hegemoni Maskulinitas Dalam Iklan Minuman Berenergi (Analisis Semiotika TVC Extra Joss dan Kuku Bima Ener-G), karya I Nyoman Winata tahun 2011. Penggunaan image - image simbolik dan bahasa - bahasa dalam kedua iklan tersebut sangatlah hegemoni maskulin. Iklan Kuku Bima Ener-G maupun Extra Joss memanfaatkan kuatnya ideologi
patriarki
yang
terdapat
dalam
masyarakat
mereproduksi
dan
11
menyebarkannya melalui media massa. Maskulinitas di representasikan melalui proses mitologisasi,dimana maskulinitas adalah kesempurnaan manusia sehingga menjadi kekuatan yang dominan diatas kekuatan lainnya yakni femininitas. Dalam penelitian ketiga berdasarkan tesis yang berjudul Maskulinitas Pada Iklan Televisi (Analisis Semiotik Iklan Produk Khusus Pria: Extra Joss, Surya Pro Mild, dan Vaseline Men Moisturiser), karya Rosalina tahun 2011. Penelitian ini menemukan bahwa iklan yang dibuat oleh produsen dengan melanggengkan ideologi patriarki di Indonesia supaya industri tetap berjalan sesuai dengan kepentingan kapitalis.Sehingga iklan bukan sekedar mengemas produk, tetapi juga bagaimana para produsen menggunakan maskulinitas sebagai komoditas bagi produk mereka. Dengan demikian penelitian yang berjudul Representasi Maskulinitas Dalam Film Legend No. 17 Karya Nikolai Lebedev: Sebuah Kajian Semiotika, karya Anniesa Fithiriana tahun 2014, dapat disimpulkan bahwa film Legend No. 17 karya sutradara Nikolai Lebedev ini telah memberikan gambaran mengenai bentuk-bentuk maskulinitas, sesuai dengan konsep stereotipe maskulinitas yang berkaitan erat dan tidak dapat dilepaskan dari budaya patriarki. Sedangkan penelitian yang akan peneliti lakukan ialah mengenai Maskulinitas Dalam Film The Godfather (Analisis Semiotika Komunikasi Charles Sanders Peirce) memiliki perbedaan antara Peneliti dengan peneliti lainnya adalah adanya perbedaan dari paradigma penelitian atau pendekatan penelitian. Dalam hal ini Peneliti menggunakan teori konstruktivisme dan peneliti lain menggunakan teori kritis dan teori deskriptif. Dari kebanyakan peneliti terdahulu hanya membahas dalam iklan yang mengandung maskulinitas, dan dari film hanya satu peneliti. Oleh karena itu Peneliti ingin mengembangkan fokus penelitian maskulinitas dalam dunia film, dan menggunakan metode penelitian dengan cara
12
analisis semiotika yang dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce dan menggunakan metode penelitian kualitatif. Lalu dalam film The Godfather karya sutradara Francis Ford Coppola tersebut memilki peran penting laki – laki dalam hal kekeluargaan, dimana adanya di scene – scene film tersebut laki – laki mempunyai hal yang dingin untuk mengambil keputusan dalam hal ini menunjukan sifat maskulinitas. Hal ini terjadi dalam budaya Indonesia yang memiliki sistem budaya patriarki, sehingga dalam kekeluargaan laki – laki mempunyai dominan lebih tinggi dari pada perempuan. 2.2 Komunikasi Massa
Menurut kodratnya manusia sebagai mahluk sosial ( Zoon politicon) atau makhluk bermasyarakat, selain itu juga diberikan yang berupa akal dan pikiran yang berkembang serta dapat dikembangkan.Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Dorongan masyarakat yang dibina sejak lahir akan selalu menampakkan dirinya dalam berbagai bentuk, karena itu dengan sendirinya manusia akan selalu bermasyarakat dalam kehidupannya. Manusia sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial, memiliki dorongan ingin tahu, ingin maju dan berkembang, salah satu sarananya adalah komunikasi. Komunikasi menurut James A.F.Stoner yang dikutip oleh A.W. Widjaja, menyebutkan bahwa komunikasi adalah: “Proses di mana seseorang berusaha memberikan pengertian dengan cara pemindahan pesan ”. (Widjaja, 1993:8). Pendapat John R. Schemerhorn cs yang dikutip oleh A.W. Widjaja, menyatakan bahwa komunikasi itu dapat diartikan sebagai: “ Proses antar pribadi dalam mengirim dan menerima simbol-simbol yang berarti bagi kepentingan mereka“. (Widjaja, 1993 : 8).
13
Lalu ilmu komunikasi menurut Berger dan Chaffe yang dikutip Wiryanto, menyebutkan bahwa ilmu komunikasi adalah : “Ilmu komunikasi itu mencari untuk memahamu mengenai produksi, pemrosesan dan efek dari symbol serta sistem signal, dengan mengembangkan pengujian teori-teori menurut hukum generalisasi guna menjelaskan fenomena yang berhubungan dengan produksi, pemrosesan dan efeknya.” (Wiryanto, 2004)
Komunikasi massa menurut Richard West dan Lynn H. Turner adalah “Komunikasi kepada khalayak luas dengan menggunakan media massa”. Lalu apa itu media massa? “Media massa adalah sebuah saluran – saluran atau cara
pengiriman bagi pesan – pesan dengan menggunakan massa”. (West & Turner, 2008). Dennis McQuail mengatakan bahwa komunikator dalam komunikasi massa bukanlah satu orang melainkan sebuah organisasi formal. Komunikasi massa menciptakan pengaruh secara luas dalam waktu singkat kepada banyak orang serentak (Denis McQuail, 2011:32). Proses komunikasi massa ada dua model proses komunikasi massa tersebut yaitu a. Linear Process: komunikasi massa merupakan sebuah proses produksi dan penyampaian pesan kepada khalayak massa yang berlangsung satu arah atau
linear. Contohnya ialah membaca koran. b. Cultural Process: audiens berperan serta aktif dalam menafsirkan pesan mereka dapat memilah pesan, bahkan menolak pesan dari media massa yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka atau disebut juga selective exposure yaitu dimana individu selalu mencari pesan yang memiliki hubungan dengan keyakinan, kepercayaan, nilai, budaya, dan minat mereka.
14
2.3 Media Massa
Media
massa
adalah
“komunikasi
dengan
menggunakan
sarana
atau peralatan yang dapat menjangkau massa sebanyak-banyaknya dan area yang seluas- luasnya”. Dennis McQuail menyatakan “Komunikasi massa tak akan lepas dari
massa, karena dalam komunikasi massa, penyampaian pesannya adalah melalui media.” (McQuail 2005:3) Media massa merupakan sumber kekuatan alat kontrol,
manajemen, dan inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya. Ada berbagai jenis media massa, seperti: a. Media Cetak (Printed Media): Surat kabar, Tabloid, Majalah. b. Media Elektronik ( Electronic Media): Radio, Televisi, Film/Video c. Media Siber (Cyber Media) atau disebut juga Media Baru ( New
Media): Website, Portal Berita, Blog, Media Sosial. 2.4 Film
Media film tidak lepas dari perkembangan dari era elektronik yang dimana baru pertama kali dalam pertemuan teknologi telegraf pada tahun 1840. Banyak kontribusi telegraf untuk komunikasi seperti: a. Membedakan komunikasi dari transportasi. Membuat berbagai macam pesan dapat diterima secara langsung tanpa harus bergantung pada moda transportasi lain. b. Telegraf, bersamaan dengan berkembangnya surat kabar mulai merubah informasi menjadi komoditas.
15
c. Telegraf memudahkan kalangan militer, bisnis dan para pemimpin politik untuk berkoordinasi dengan pihak –pihak terkait, terlebih lagi setelah adanya instalasi kabel transatlantic pada tahun 1860-an d. Telegraf merupakan awal mula dari perkembangan teknologi komunikasi, yang mengawali penemuan radio, mesin faksimili, dan telepon. Pertama kali dikembangkan oleh Marconi pada tahun 1896, radio mulai berkembang menjadi sebuah bisnis yang sangat menguntungkan terutama pada tahun 1920. Pada saat itu radio menjadi satu media bagi masyarakat yang menyediakan berbagai berita dan hiburan, sehingga banyak produsen yang mulai memasang iklan mereka di radio. Pada abad ke 20, industri perfilman mulai berkembang. Masyarakat terutama di Amerika memiliki alternatif hiburan. Munculnya film dan radio merupakan pertanda awal kebangkitan era informasi. Film adalah gambar-hidup, juga sering disebut movie (pelesetan untuk frasa
moving picture, ‘gambar bergerak’). Film, secara kolektif, sering disebut ‘sinema’. Gambar hidup adalah bentuk seni, bentuk symbol - simbol dari hiburan,
dan juga bisnis. Film dihasilkan dengan rekaman dari orang dan benda (termasuk fantasi dan simbol palsu) dengan kamera, dan/atau oleh animasi. Pengertian film berdasarkan Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman pada Bab 1 Pasal 1 menyebutkan, yang dimaksud dengan film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan
kaidah
sinematografi
dengan
atau
tanpa
suara
dan
dapat
dipertunjukan. (Vera:2014) Karakteristik film yang spesifik menurut (Vera, 2014), yaitu layar lebar, pengambilan gambar, konsentrasi penuh, dan identifkasi psikologis. 1.
Layar
yang
luas/lebar,
maksudnya
kelebihan
media
film
dibandingkan televisi adalah layar yang digunakan untuk pemutaran film lebih berukuran besar atau luas. Dengan layar film yang luas, telah
16
memberikan keleluasaan penontonnya untuk melihat adegan – adegan yang disajikan dalam film.
2.
Pengambilan gambar pemandangan menyeluruh, dengan kelebihan
film, yaitu layar yang besar, maka teknik pengambilan gambarnya pun dapat dilakukan dapat dilakukan atau dapat memungkinkan dari jarak jauh atau extreme long shot dan panoramic shot. Pengambilan gambar yang seperti ini dapat memunculkan kesan artistik dan suasana yang sesungguhnya.
3.
Konsentrasi penuh. Karena kita menonton film di bioskop, tempat
yang memilki ruangan kedap suara, maka pada saat kita menonon film, kita fokus pada alur cerita yang ada di dalam film tersebut. Tanpa adanya gangguan dari luar.
4.
Identifikasi psikologis, konsentrasi penuh saat kita menonton di
bioskop, tanpa kita sadari dapat membuat kita benar – benar menghayati apa yang ada di dalam film tersebut. Penghayatan yang dalam itu membuat kita secara tidak sadar menyamakan diri kita sebagai salah seorang pemeran dalam film tersebut. Menurut ilmu jiwa sosial, gejala seperti ini disebut sebagai identifikasi psikologis.
Film juga terdapat dua macam yaitu film dokumenter dan film fiksi. Masing – masing karakteristik memilki pengertian yang berbeda, seperti; 1. Film Dokumenter Film dokumenter menurut (Beaver, 2006) ialah sebuah film non-fiksi. Film Dokumenter biasanya di-shoot di sebuah lokasi nyata, tidak menggunakan actor dan temanya terfokus pada subyek –subyek seperti
17
sejarah, ilmu pengetahuan, social atau lingkungan. Tujuan dasarnya adalah untuk memberi pencerahan, member informasi, pendidikan, melakukan persuasi dan memberikan wawasan tentang dunia yang kita tinggali. 2. Film Fiksi Film fiksi menurut (Bordwell, Thompson, & Smith, 2017) adalah sebuah genre film yang mengisahkan cerita fiktif maupun narasi. Film cerita biasanya berkebalikan dengan film yang menyajikan informasi, seperti film dokumenter, begitupun beberapa film percobaan (seperti
Wavelength oleh Michael Snow, Man with a Movie Camera oleh Dziga Vertov, atau film-film karya Chantal Akerman). Dalam beberapa contoh film dokumenter, bila nonfiksi, dapat menyajikan sebuah kisah. Sejak kemunculan gaya klasik Hollywood di awal abad ke-20, film cerita yang biasanya dalam bentuk film utama telah mendominasi film komersial. Pembuatan film zaman dulu dan tak terlihat (sering disebut fiksi "realis") sering menjadi pusat definisi umum ini. Unsur kunci pembuatan film tak terlihat ini berada pada pengeditan berkelanjutan. Sebelum
masa
ini,
film
akan
termasuk
catatan
di
awal
yang
menginformasikan pemirsa bahwa kejadian yang ditayangkan adalah fiktif dan jika ada kesamaan dengan peristiwa nyata, hanyalah bersifat "kebetulan belaka". Kini, film cenderung memasukkan catatan kalau tidak menayangkan kejadian fiktif, yang dapat "berdasar atas kisah nyata" atau beberapa ragamnya. Menurut (Vera, 2014), genre adalah klasifikasi tertentu pada sebuah film yang memiliki ciri tersendiri, dalam film fiksi atau film cerita. Genre film antara lain seperti berikut:
18
1. Film drama. Film drama adalah sebuah genre film yang sebagian besar tergantung pada pengembangan mendalam karakter realistis yang berurusan dengan tema emosional. Contoh dari film drama; “Citizen Kane” (1941), ”All About Eve” (1950), “Metropolis” (1927), “The Godfather” (1972).
2. Film laga (action). Film laga atau action adalah sebuah genre film yang satu atau beberapa tokohnya terlibat dalam tantangan yang memerlukan kekuatan fisik ataupun kemampuan khusus. Contoh dari film laga; “Mad Max: Fury Road” (2015), “Wonder Woman” (2017), “Dunkirk” (2017), “Logan” (2017).
3. Film komedi. Film komedi merupakan genre film yang di mana penekanan utamanya pada humor. Contoh dari film komedi; “Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part I” (2016), “Ghostbusters” (1984), “Get Out” (2017), “La La Land” (2016).
4. Film horor. Film horor adalah merupakan genre film yang berusaha untuk memancing emosi berupa ketakutan dan rasa ngeri dari penontonnya. Alur cerita film horor sering melibatkan tema – tema kematian, supranatural, atau penyakit mental. Contoh dari film horor; “It” (2017), “Keluarga Tak Kasat Mata” (2017), “ The Exocist” (1973), “Psycho” (1960).
5. Film animasi. Film animasi adalah film yang merupakan hasil dari pengolahan gambar tangan menjadi gambar yang bergerak. Pada awal penemuannya, film animasi dibuat dari berlembar – lembar kertas gambar yang kemudian di”putar” sehingga muncul efek
gambar bergerak. Dengan bantuan komputer dan grafika komputer, pembuatan film menjadi lebih mudah dan cepat. Sekarang akhir – akhir ini lebih banyak memunculkan film animasi 3 dimensi daripada film 2 dimensi. Contih dari film animasi; “Toy Story”
19
(1995), “Battle of Surabaya” (2015), “Moana” (2016), “Coco”
(2017). 6. Film fiksi ilmiah (science fiction). Film fiksi ilmiah atau science
fiction adalah film yang menggunakan tema fiksi sains, yang dimana penggambaran fenomena berbasis ilmu pengetahuan yang belum tentu diterima pada oleh ilmu pengetahuan pada saat itu, seperti bentuk kehidupan di luar bumi, dunia asing, persepsi akan ekstra-indrawi, dan perjalanan waktu. Film tersebut sering bersama dengan unsur dengan futuristik seperti, wahana, robot, cyborg, perjalanan ruang angkasa antarbintang, mahluk asing (alien), dan teknologi lainnya. Contoh dari film fiksi ilmiah; “Star Wars:
Episode IV – A New Hope” (1977), “Jurassic Park” (1993), “Terminator 2: Judgment Day” (1991), ‘The Day the Earth Stood Still” (1951).
7. Film musikal. Film musikal adalah genre film di mana lagu dinyanyikan oleh karakter terjalin ke dalam narasi, kadang – kadang disertai menari. Contoh dari film musikal; “Sweeney Todd: The Demon Barber of Fleet Street” (2007), “Les Misérables” (2012), “La La Land” (2016), “Beauty and the Beast” (2017). 2.4.1
Perkembangan Film di Indonesia
Perfilman Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan sempat menjadi raja di negara sendiri pada tahun 1980-an, ketika film Indonesia merajai bioskopbioskop lokal. Film-film yang terkenal pada saat itu antara lain, Catatan si Boy,
Blok M dan masih banyak film lain. Bintang-bintang muda yang terkenal pada saat itu antara lain Onky Alexander, Meriam Bellina, Lydia Kandou, Nike Ardilla, Paramitha Rusady, Desy Ratnasari. Pada tahun-tahun itu acara Festival Film Indonesia masih diadakan tiap tahun untuk memberikan penghargaan kepada insan film Indonesia pada saat itu. Tetapi karena satu dan lain hal perfilman
20
Indonesia semakin jeblok pada tahun 90-an yang membuat hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema yang khusus orang dewasa. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di negara sendiri. Periode 1900 – 1942, merupakan era awal perfilman Indonesia ini diawali dengan berdirinya bioskop pertama di Indonesia pada 5 Desember 1900 di daerah Tanah Abang, Batavia dengan nama Gambar Idoep yang menayangkan berbagai film bisu. Film pertama yang dibuat pertama kalinya di Indonesia adalah film bisu tahun 1926 yang berjudul Loetoeng Kasaroeng dan dibuat oleh sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp. Saat film ini dibuat dan dirilis, negara Indonesia belum ada dan masih merupakan Hindia Belanda, wilayah jajahan Kerajaan Belanda. Film ini dibuat dengan didukung oleh aktor lokal oleh Perusahaan Film Jawa NV di Bandung dan muncul pertama kalinya pada tanggal 31 Desember, 1926 di teater Elite and Majestic, Bandung. Setelah sutradara Belanda memproduksi film lokal, berikutnya datang Wong bersaudara yang hijrah dari industri film Shanghai. Awalnya hanya Nelson Wong yang datang dan menyutradarai Lily van Java (1928) pada perusahaan South Sea Film Co. Kemudian kedua adiknya Joshua dan Otniel Wong menyusul dan mendirikan perusahaan Halimoen Film.
Periode 1942 – 1949 pada masa ini, produksi film di Indonesia dijadikan sebagai alat propaganda politik Jepang. Pemutaran film di bioskop hanya dibatasi untuk penampilan film -film propaganda Jepang dan film-film Indonesia yang sudah ada sebelumnya, sehingga bisa dikatakan bahwa era ini bisa disebut sebagai era surutnya produksi film nasional. Pada 1942 saja, Nippon Eigha Sha, perusahaan film Jepang yang beroperasi di Indonesia, hanya dapat memproduksi 3 film yaitu Pulo Inten, Bunga Semboja dan 1001 Malam. Lenyapnya usaha swasta di bidang film dan sedikitnya produksi yang dihasilkan oleh studio yang dipimpin oleh Jepang dengan sendirinya mempersempit ruang gerak dan kesempatan hidup para artis dan karyawan film dan pembentukan bintang-bintang baru hampir tidak
21
ada. Namun mereka yang sudah dilahirkan sebagai artis tidaklah dapat begitu saja meninggalkan
profesinya.
Satu-satunya
jalan
keluar
untuk
dapat
terus
mengembangkan dan memelihara bakat serta mempertahankan hidup adalah naik panggung sandiwara. Beberapa rombongan sandiwara profesional dari zaman itu antara lain adalah Bintang Surabaya, Pancawarna dan Cahaya Timur di Pulau Jawa. Selain itu sebuah kumpulan sandiwara amatir Maya didirikan, dimana didalamnya bernaung beberapa seniman-seniwati terpelajar dibawah pimpinan Usmar Ismail yang kelak menjadi Bapak Perfilman Nasional. Periode 1950 – 1962 terlahirlah Hari Film Nasional diperingati oleh insan perfilman Indonesia setiap tanggal 30 Maret. Karena pada tepatnya tanggal 30 Maret 1950 adalah hari pertama pengambilan gambar film Darah & Doa atau
Long March of Siliwangi yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Hal ini disebabkana karena film ini dinilai sebagai film lokal pertama yang bercirikan Indonesia. Selain itu film ini juga merupakan film pertama yang benar-benar disutradarai oleh orang Indonesia asli dan juga diproduksi oleh perusahaan film milik orang Indonesia asli yang bernama Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) dimana Usmar Ismail tercatat juga sebagai pendirinya. Selain itu pada tahun 1951 diresmikan pula Metropole (sekarang bernama Metropole XXI), bioskop termegah dan terbesar pada saat itu. Pada masa ini jumlah bioskop meningkat pesat dan sebagian besar dimiliki oleh kalangan non pribumi. Pada tahun 1955 terbentuklah Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia dan Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GAPEBI) yang akhirnya melebur menjadi Gabungan Bioskop Seluruh Indonesia (GABSI). Pada masa itu selain PFN yang dimiliki oleh negara, terdapat dua perusahaan perfilman terbesar di Indonesia, yaitu Perfini dan Persari (dipimpin oleh Djamaluddin Malik) Periode 1962 – 1965, era ini ditandai dengan beberapa kejadian penting terutama menyangkut aspek politis, seperti aksi pengganyangan film-film yang disinyalir sebagai film yang menjadi agen imperialisme Amerika Serikat,
22
pemboikotan, pencopotan reklame, hingga pembakaran gedung bioskop. Saat itu Jumlah bioskop mengalami penurunan sangat drastis akibat gejolak politik. Jika pada tahun 1964 terdapat 700 bioskop, pada tahun berikutnya, yakni tahun 1965 hanya tinggal tersisa 350 bioskop. Periode 1965 – 1970, era ini dipengaruhi oleh gejolak politik yang diakibatkan oleh peristiwa G30S PKI yang membuat pengusaha bioskop mengalami dilema karena mekanisme peredaran film rusak akibat adanya gerakan anti imperialisme, sedangkan produksi film nasional masih sedikit sehingga pasokan untuk bioskop tidak mencukupi. Saat itu inflasi yang sangat tinggi melumpuhkan industri film. Kesulitan ini ditambah dengan kebijakan pemerintah mengadakan sanering pada tahun 1966 yang menyebabkan inflasi besar-besaran dan melumpuhkan daya beli masyarakat. Pada akhir era ini perfilman Indonesia cukup terbantu dengan membanjirnya film impor sehingga turut memulihkan bisnis perbioskopan dan juga meningkatkan animo masyarakat untuk menonton yang pada akhirnya meningkatkan jumlah penonton. Periode 1970 – 1991 merupakan teknologi pembuatan film dan era perbioskopan mengalami kemajuan, meski di satu sisi juga mengalami persaingan dengan televisi (TVRI). Pada tahun 1978 didirikan Sinepleks Jakarta Theater oleh pengusaha Indonesia, Sudwikatmono menyusul dibangunnya Studio 21 pada tahun 1987. Akibat munculnya raksasa bioskop bermodal besar itu mengakibatkan terjadinya monopoli dan berimplikasi terhadap timbulnya krisis bagi bioskop bioskop kecil dikarenakan jumlah penonton diserap secara besar-besaran oleh bioskop besar. Pada masa ini juga muncul fenomena pembajakan video tape. Periode 1991 – 1998, perfilman Indonesia bisa dikatakan mengalami mati suri dan hanya mampu memproduksi 2-3 film tiap tahun. Selain itu film-film Indonesia didominasi oleh film-film bertema seks yang meresahkan masyarakat. Kematian industri film ini juga ditunjang pesatnya perkembangan televisi swasta,
23
serta munculnya teknologi VCD, LD dan DVD yang menjadi pesaing baru. Bertepatan dengan era ini lahir pula UU No 8 Tahun 1992 tentang Perfilman yang mengatur peniadaan kewajiban izin produksi yang turut menyumbang surutnya produksi film. Kewajiban yang masih harus dilakukan hanyalah pendaftaran produksi yang bahkan prosesnya bisa dilakukan melalui surat-menyurat. Bahkan sejak Departemen Penerangan dibubarkan, nyaris tak ada lagi otoritas yang mengurusi dan bertanggungjawab terhadap proses produksi film nasional. Dampaknya ternyata kurang menguntungkan sehingga para pembuat film tidak lagi mendaftarkan filmnya sebelum
mereka berproduksi sehingga
mempersulit untuk memperoleh data produksi film Indonesia - baik yang utama maupun indie - secara akurat. Pada era ini muncul juga buku mengenai perfilman Indonesia yaitu 'Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia yang terbit pada tahun 1992 dan mengupas tahapan perfilman Indonesia hanya sampai periode 1991. Periode 1998 – sekarang, merupakan sebagai era kebangkitan perfilman nasional. Kebangkitan ini ditunjukkan dari kondisi perfilman Indonesia yang mengalami pertumbuhan jumlah produksi yang menggembirakan. Film pertama yang muncul di era ini adalah Cinta dalam Sepotong Roti karya Garin Nugroho. Setelah itu muncul Mira Lesmana dengan Petualangan Sherina dan Rudi Soedjarwo dengan Ada Apa dengan Cinta? (AADC) yang sukses di pasaran. Hingga saat ini jumlah produksi film Indonesia terus meningkat pesat meski masih didominasi oleh tema-tema film horor dan film remaja. Pada tahun 2005, hadir Blitzmegaplex di dua kota besar di Indonesia, Jakarta dan Bandung. Kehadiran bioskop dengan konsep baru ini mengakhiri dominasi Cineplex yang dimiliki oleh kelompok 21 yang selama bertahun-tahun mendominasi penayangan film.
24
2.4.2
Film Gangster
Sejak awal perkembangan sinema di Amerika Serikat, elemen gangster telah muncul pada film – film pendek seperti “The Moonshiners” (1904) and “The Black Hand” (1906) yang menggambarkan realitas sosial urban kala itu, yakni pemukiman padat, imigran, serta geng jalanan. “The Musketeers of Pig Alley” (1912) karya D.W Griffith serta “The Regeneration” (1915) karya Raoul Walsh juga menggambarkan kelompok kriminal yang terorganisir di kota besar. Sementara di Eropa, sineas Jerman, Fritz Lang memproduksi dua seri film
gangster berpengaruh yakni, “Dr. Mabuse, the Gambler Part I – The Great Gambler: A Picture of the Time dan Part II – Inferno: A Game for the People of our Age” (1922 – 1923). Sebelum era film bicara, film gangster telah populer melalui “Underworld ” (1927) karya sineas Joseph von Sternberg. Film ini sering dianggap sebagai film gangster “modern” pertama karena menggunakan tokoh
gangster sebagai karakter protagonis. Sementara film gangster lainnya, “The Racket” (1928) arahan Lewis Milestone, berkisah tentang korupsi dan organisasi kriminal di kota besar. Munculnya teknologi suara semakin menaikkan pamor film-film gangster. Dengan efek suara tembakan, jeritan, serta suara mobil, film
gangster menjadi lebih realistik. Tercatat film gangster “bicara” pertama adalah “The Ligths of New York ” (1928) yang mengetengahkan kisah kriminal di kota
besar. Era 30-an dianggap sebagai era berpengaruh bagi perkembangan genre
gangster. Isu serta masalah sosial yang muncul pada era ini turut mempopulerkan genre ini. Depresi Besar (Great Depression) yang melanda Amerika Serikat mempertinggi angka kriminal, perjudian, dan prostitusi di kota – kota besar. Juga pelarangan alkohol di Amerika pada tahun 1920 – 1931, serta beberapa peristiwa kriminal besar, seperti pembantaian berdarah di St. Valentine (1929), serta munculnya tokoh-tokoh gangster besar seperti, Al Capone. Isu-isu sosial ini rupanya menarik perhatian studio-studio besar Hollywood terutama Warner Brothers untuk mengangkat kehidupan para gangster ke layar lebar. Film – film
25
gangster era baru ini menawarkan suatu bentuk aksi kekerasan kejam dan brutal yang belum pernah tampak di layar lebar sebelumnya. Tercatat tiga film gangster berpengaruh yang diproduksi pada era ini memantapkan gangster sebagai genre populer yakni, “Little Caesar” (1930), “The Public Enemy” (1931), serta “Scarface, The Shame of Nation” (1932). Dua film pertama diproduksi oleh Warner Bros yang dirilis hampir bersamaan. Sementara film terakhir adalah produksi United Artist. “Little Caesar” arahan Mervyn Le Roy mengetengahkan kisah seorang kriminal bernama Enrico Bandello yang karakternya diinspirasi dari Al Capone. Karakter bengis ini diperankan dengan sempurna oleh Edward G. Robinson yang setelah ini meroketkan namanya menjadi bintang gangster pertama. Kemudian William Wellman mengarahkan “The Public Enemy”, dibintangi oleh James Cagney yang bermain sebagai Tom
Powers seorang gangster yang kejam dan brutal. Sementara film kontroversial “Scarface” arahan Howard Hawks dibintangi oleh Paul Muni. Film ini juga
banyak terispirasi dari tokoh-tokoh serta peristiwa kriminal besar pada era ini. Adegan – adegan aksi kejam, brutal, dan sadis pada film – film tersebut, terutama “Public Enemy” dan Scarface, membuat lembaga pra-sensor film (baru
resmi dibentuk tahun 1934) mengecam keras film-film tersebut. Produser “Public Enemy” berkilah mereka hanya memaparkan fakta problem sosial yang terjadi di masyarakat. Juga ending pada dua film tersebut menggambarkan para tokoh
gangster yang tewas mengenaskan, mengisyaratkan bahwa perbuatan jahat (kriminal) tidak akan membuahkan hasil apapun. Namun pihak pengecam menganggap pada sisi-sisi tertentu film-film tersebut mampu memberikan kesan kuat
jika
kehidupan
kriminal
(gangster)
penuh
dengan
glamour
dan
“kesenangan“. Pihak produser pun akhirnya mengalah, seperti pada kasus “Scarface” mereka terpaksa mengganti atau menghapus beberapa adegan yang
dinilai tidak pantas.
26
Tekanan dari pihak sensor tidak serta merta membuat genre ini kehilangan popularitasnya. Para kreator dengan cerdik mengubah sentral plot tidak pada karakter gangsternya melainkan pada karakter yang memihak hukum seperti polisi, agen pemerintah, atau detektif. Dalam “G-Men” (1935), James Cagney berperan sebagai seorang agen FBI yang menyamar dalam suatu kelompok
gangster. Walau berperan sebagai hamba hukum namun Cagney berperan nyaris sama dinginnya dengan film – film gangster yang ia bintangi sebelumnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Edward G. Robinson dalam “Bullets or Ballots” (1936). Dalam “Angels with Dirty Faces” (1938) yang dibintangi Cagney,
mengisahkan
dua
orang
sahabat
yang
mengambil
jalan
hidup
yang
bertolakbelakang, yakni seorang gangster dan seorang pendeta. Warner Bros yang sukses bersama Cagney kali ini mendapat lawan main sepadan dengan munculnya bintang baru yakni, Humprey Bogart. Bersama sutradara Raoul Walsh, dua aktor tersebut sukses dengan tiga film gangster yakni, “The Roaring Twenties” (1939), “They Drive By Night” (1940), dan “High Sierra” (1941). Karir Bogart semakin meroket dengan beberapa film noir-nya
yang merupakan pengembangan dari genre gangster. Melalui film noir, genre
gangster melunak dengan menitikberatkan pada aspek misteri pada plot serta pendekatan estetik yang khas. Film noir menjadi tren film kriminal hingga dekade 50-an. Bogart sukses dengan film – film noir seperti, “The Maltese Falcon” (1940) dan “The Big Sleep” (1946). Adapun film – film noir lainnya yang sukses seperti “Double Indemnity” (1944), “The Asphalt Jungle” (1950), “The Big Heat” (1953), hingga “The Third Man” (1959).
Selain film noir, genre gangster juga berkembang lebih variatif dengan film bertema penjara, “Each Dawn I Die” (1938), “Brute Force” (1947), “The
Defiant Ones”, (1958) hingga yang paling sukses, “ Cool Hand Luke” (1967). Sineas besar Billy Wilder sukses menggabungkan genre komedi dan gangster melalui “Some Like It Hot” (1950) yang dibintangi aktris seksi, Marilyn Monroe.
27
Pada era ini adaptasi kisah nyata rupanya masih juga menjadi pilihan, seperti “Machine Gun Kelly” (1958), “Al Capone” (1959), dan “The St. Valentine Day
Massacre (1967). Sementara film – film kriminal-gangster lain yang menonjol sebelum era 70-an adalah “On the Waterfront” (1954) arahan Elia Kazan, “The Killing” (1956) arahan Stanley Kubrick, serta “Bonny and Clyde” (1967) arahan
Arthur Penn. Pada era 70-an genre gangster kembali mengulangi masa jayanya melalui film-film kriminal-gangster yang sangat populer. Francis Ford Coppola menjadi motor dengan dua film gangster yang dianggap terbaik sepanjang masa yakni, “The Godfather” (1972) dan “The Godfather Part II” (1974). Film yang
mengisahkan keluarga Mafia Corleone tersebut sangat sukses baik komersil maupun kritik. Keduanya bahkan sama-sama mendapatkan Oscar untuk film terbaik. Pada era ini pula sineas spesialis gangster, Martin Scorcese mulai menarik perhatian pengamat melalui “Mean Street”
(1973), lalu karya
fenomenalnya, “Taxi Driver” (1976). Variasi gangster yang juga populer pada dekade ini yakni, “The French Connection” (1971) arahan John Frankenheimer
(mendapatkan Oscar untuk film terbaik), seri pertama si detektif keras, “Dirty Harry” (1971) yang dibintangi Clint Easwood, lalu film neo-noir “Chinatown”
(1974) arahan Roman Polanski, serta juga “ Dog Day Afternoon” (1975) karya Sidney Lumet. Pada periode 80-an hingga era milenium baru beberapa sineas kawakan memproduksi beberapa film gangster berpengaruh. Martin Scorcese makin memantapkan posisinya sebagai spesialis gangster dengan film-filmnya yang keras dan brutal, yakni “Goodfellas” (1990), “Casino” (1995), ”Gangs of New York” (2002), hingga terakhir “The Departed” (2006). Brian DePalma juga sukses
dengan film – film gangsternya seperti, “Scarface” (1983), “The Untouchable” (1987), serta “Carlito’s Way” (1989). Coppola gagal menyamai sukses pendahulunya melalui penutup epik triloginya, “The Godfather Part III” (1990).
28
Sementara
sineas
spesialis western,
Sergio Leone sukses dengan film
gangsternya, “Once Upon A Time in America” (1984). Beberapa sineas muda juga dikenal akrab dengan tema kriminal gangster dan yang paling menonjol adalah Quentin Tarantino. Film – film Tarantino dikenal melalui penuturan plotnya yang unik serta para bintang yang bertaburan dalam filmnya. Ia memulai debutnya melalui film gangster brutal yang penuh darah, “Reservoir Dogs” (1992). Sukses Tarantino berlanjut dengan film fenomenalnya “Pulp Fiction” (1994) yang sukses secara komersil maupun kritik. Setelah “Jackie Brown” (1997) gagal menyamai sukses pendahulunya, Tarantino kembali sukses besar melalui seri “Kill Bill Vol.1” (2003) dan “Kill Bill Vol.2”
(2004). Di lain tempat sineas Inggris, Guy Ricthie sukses dengan film – film
gangsternya yang dituturkan dengan gaya khas, yakni “ Lock, Stock and Two Smocking Barrels” (1998) dan “Snacth” (2000).
Adapun film – film kriminal-gangster lainnya yang juga menonjol pada era 90-an hingga kini seperti, “Dick Tracy” (1990) sebuah film gangster unik yang diadaptasi dari komik, “The Usual Suspect” (1995) arahan Bryan Singer, “L.A. Confidential” (1997) arahan Curtis Hanson, hingga “Road to Perdition”
(2001) arahan Sam Mendes. Sineas aksi Michael Mann sukses besar dengan film bertema perampokan bank, “Heat” (1995) serta adaptasi film seri kriminalnya, “Miami Vice” (2006). Sementara sineas horor, David Cronenberg berubah haluan
di milenium baru melalui film – film kriminal-gangster seperti “History of Violence” (2005) dan “Eastern Promises” (2007). Coen Bersaudara sukses dengan
film gangster, “Miller Crossing” (1990) bersama film – film kriminal lainnya yang unik seperti, “Fargo” (1996), “The Big Lebowsky” (1998), “The Ladykiller” (2004), hingga peraih Oscar, “No Country for Oldman” (2007). Steven Soderberg
juga sukses memproduksi film – film kriminal seperti “Ocean Eleven” (2001) bersama dua sekuelnya, “Out of Sight” (1998), hingga “Traffic” (2000). Belum
29
lama ini sineas top, Ridley Scott juga mencoba peruntungannya dengan memproduksi film gangster, “American Gangster” (2007). Sementara di Asia genre gangster berkembang dalam bentuk yang sama sekali berbeda. Di negara – negara besar seperti Jepang dan terutama Hong Kong,
gangster begitu populer dengan “yakuza film” dan “triad film”. Film – film kriminal Hong Kong dipengaruhi kehidupan para triad sesungguhnya yang mengontrol segala sendi ekonomi dan hiburan termasuk industri film sendiri. Pada pertengahan 80-an, genre ini mulai populer setelah film – film seperti “Long Arm of the Law” (1984) arahan Johnny Mak, “Brotherhood” (1986) arahan Stephen
Shin, “City on Fire” (1987) arahan Ringo Lam, dan “A Better Tomorrow” (1987) arahan John Woo. Film-film gangster ini mengeksplotasi penuh adegan – adegan aksinya yang khas serta menekankan pada nilai persaudaraan, loyalitas, kehormatan sesama anggota triad. Sementara John Woo mulai menarik perhatian internasional melalui film-filmnya seperti “A Better Tomorrow”, “The Killer” (1989) dan “Hard Boiled” (1992).
Mulai era 90-an beberapa sineas dan aktor laga kenamaan Hong Kong seperti John Woo, Jackie Chan, Chow Yun Fat, Jet Lee mulai merintis karir dan sukses di Amerika. Film-film mereka disana pun tidak lepas dari tema kriminal dengan sentuhan aksi laga khas Hong-Kong. Sementara di Hong Kong sendiri, genre gangster masih tetap populer dengan mengubah sasaran penonton, yakni kaum muda. Satu contoh yang tersukses adalah “Young and Dangerous” (1996)
arahan Andew Lau yang berlanjut dengan lima sekuelnya. Pencapaian sinema Hong Kong khususnya film aksi- gangster dianggap mencapai titik tertinggi melalui “Infernal Affairs” (2002) arahan Andrew Lau dan Alan Mak. Sukses
komersil dan kritik film ini memicu produksi prekuel bersama sekuelnya, “Infernal Affairs 2” dan “Infernal Affairs 3” yang sama – sama dirilis setahun
kemudian. Hollywood pun tidak ketinggalan turut ikut me- remake film ini melalui
30
“The Departed” (2006) arahan Scorcese dan sukses meraih empat Oscar termasuk
film terbaik. 2.4.3
Perkembangan Film Genre Drama Kriminal Indonesia
Perkembangan film genre drama kriminal di Indonesia dimulainya dengan judul Karma yang dirilis tahun 1965. Sebanyak 53 judul film genre drama kriminal sudah
dirilis di Indonesia, terakhir film dengan berjudul “Serigala
Terakhir” karya Upi Avianto, tahun 2009. Film drama kriminal adalah menurut International Design School mengatakan bahwa kejahatan ( gangster) film dikembangkan pada tindakan jahat penjahat atau mafia, khususnya pencuri uang atau preman kejam yang beroperasi di luar hukum, mencuri dan membunuh jalan melalui hidup. Genre film kriminal dan gangster sering dikategorikan sebagai
genre film noir atau film detektif-misteri – karena mendasari kesamaan antara bentuk-bentuk sinematik. Kategori ini berisi deskripsi dari berbagai ‘pembunuh berantai’ film. 2.5 Maskulinitas
Maskulin atau maskulinitas dari bahasa Perancis, masculinine adalah sebuah kata sifat, adjektif yang berarti "kepriaan" atau menunjukkan sifat laki – laki. Lawan katanya adalah feminin. Istilah ini berbeda dengan "kejantanan" (yang lawan katanya adalah "kebetinaan"). Dapat dikatakan maskulin jika: Gagah, kekar, lebih berpikir secara logika daripada perasaan. Biasanya maskulin kerap dihubungkan dengan gambar pria berotot besar dan macho. Namun maskulin juga dapat diidentifikasikan dengan pria menggunakan jas (maskulin) supaya terlihat lebih gagah. Maskulinitas
adalah
imaji
kejantanan,
ketangkasan,
keperkasaan,
keberanian untuk menantang bahaya, keuletan, keteguhan hati, hingga keringat yang menetes, otot laki – laki yang menyembul atau bagian tubuh tertentu dari
31
kekuatan daya tarik laki – laki yang terlihat secara ekstrinsik. Maskulinitas sendiri selain merupakan konsep yang terbuka pada dasarnya bukan merupakan identitas yang tetap dan monolitis yang dipisahkan dari pengaruhi ras, kelas, dan budaya melainkan sebuah jarak ( range) identitas yang kondraktif. Maskulinitas menurut R.W. Connell (1987,1995) berpendapat bahwa dalam masyarakat ada konsep maskulinitas secara dominan yang disebut juga dengan maskulinitas hegemonik. Menurut
Jonathan
Rutherford
laki
–
laki
muncul
dengan
cara
menrepresentasikan adanya kemuakan terhadap aturan main sosial tradisional, sebuah keyakinan bahwa kebusukan sudah terlalu melanda dunia dan seorang laki – laki hanya mengandalkan dirinya sendiri untuk menyelamatkan baik dirinya
maupun dan bangsanya. Bahkan keyakinan ini dimainkan dalam rangka bertahan hidup (survice), kekhawatiran obsesif akan kehancuran besar dan ikthiar penemuan diri seraya belajar membunuh dan bertahan hidup di keliaran alam. (Rutherford, 2014) Rutherford merepresentasi maskulinitas yang berbeda – beda ini pada akhirnya mengkristal dalam idealisasi dua pencitraan yaitu maskulinitas diresepsi dan yang berhubungan dengan artinya secara publik, yaitu Laki – laki Baru dan Laki – laki Retributif (pembalas). Laki – laki Retributif mewakili perjuangan untuk menegaskan kembali maskulinitas tradisional, sebuah otoritas mandiri yang tangguh. Secara seksual, maskulinitas dapat dikategorikan dalam tipe kontinum maskulinitas (Jewitt). a. Tipe gladiator-retro man: pria yang secara seksual aktif memegang kontrol. b. Tipe protector: pria pelindung dan penjaga c. Tipe clown of buffoon: pria yang menyenangkan atau humoris d. Tipe gay man: pria yang mempunyai orientasi seksual, homoseksual
32
e. Tipe wimp: jenis pria yang ‘lain’ yang lemah dan pasif Kiesling mengatakan bahwa ada empat wacana budaya tentang maskulinitas di Amerika Serikat yakni a. Perbedaan gender adalah wacana yang melihat pria dan wanita secara alami dan pasti berbeda dalam biologi dan perilaku. b. Heterosexim, yaitu maskulin sebagai heterokseksual; maksud wacana ini yaitu keinginan seksual untuk perempuan bukan untuk laki – laki. Pada bagian artikulasi sangat berperan dalam wacana ini. c. Dominasi, yakni identifikasi maskulin lebih dominan, wewenang dan kekuatan. Untuk menjadikan seorang pria yang kuat, berwibawa, dan terkendali. d. Male solidarity, yaitu seorang laki – laki memahami aturan yang ingin dilakukan dengan kelompok laki – laki lain. (Kiesling, 2005) Konsep maskulinitas dalam perkembangan jaman mengalami dinamika perkembangan. Beynon melakukan kajian tentang maskulinitas dalam bukunya
Masculinities and Culture, dalam buku tersebut menggambarkan sosok maskulin dalam setiap dekade. Beynon membagi bentuk maskulin dengan ide serta tren perkembangan jaman sebagai berikut:
a. Maskulin sebelum tahun 1980-an. Sosok maskulin yang muncul adalah figur laki – laki kelas pekerja dengan bentuk tubuh dan perilakunya sebagai dominator, terutama atas perempuan. Citra laki – laki semacam ini kental dengan awal industrialisasi pada masa itu, laki – laki bekerja di paik sebagai buruh berlengan baja. Terlihat sangat kebapakan, yakni sebagai penguasa dalam keluarga dan sosok yang mampu memimpin perempuan pembuat keputusan utama. Konsep maskulin semacam ini dinamakan konsep maskulin yang tradisonal dalam pandangan kajian barat. Secara
33
umum, maskulinitas tradisional menganggap tinggi nilai – nilai, antara lain kekuatan, kekuasaan, ketabahan, aksi, kendali, kemandirian, kepuasan diri, kesetiakawanan laki – laki, dan kerja. Diantara yang dipandang rendah adalah hubungan interpersonal, kemampuan verbal, kehidupan domestik, kelembutan, komunikasi, perempuan, dan anakanak (Barker dalam Nasir ,2007:1). Selain itu karakteristik maskulin tradisional dapat dilihat dari selera berpakaian, penampilan, bentuk aktifitas, cara bergaul, cara penyelesaian permasalahan ekspresi verbal maupun non verbal hingga jenis aksesoris tubuh yang dipakai (Vigorito & Curry, 1998:1).
b. Maskulin tahun 1980-an. Sosok maskulin kemudian berkembang dengan cara yang berbeda. Pada babak ini maskulin bukanlah laki-laki yang berbau woodspice lagi, maskulin adalah sosok laki-laki sebagai new man. Beynon dalam Nasir (2007) menunjukkan dua buah konsep maskulinitas pada babak ini dengan anggapan-anggapan bahwa new man as nurturer dan new
man as narcissist. Konsep pertama merupakan gelombang awal reaksi laki-laki terhadap feminism.Laki-laki pun menjalani sifat alamiahnya seperti perempuan sebagai mahluk yang mempunyai rasa perhatian. Laki-laki mempunyai kelembutan sebagai seorang bapak, misalnya untuk mengurus anak. Keinginan laki-laki dalam arena domestik. Kelompok ini biasanya berasal dari kelas menegah, berpendidikan baik, dan intelek. Sedangkan konsep kedua hal ini berkaitan dengan komersialisasi terhadap maskulinitas dan konsumerisme semenjak akhir Perang Dunia II. New man as narcisstict adalah anak – anak dari generasi hippies yang tertarik pada fashion dan musik pop. Banyak produk-produk komersil untuk laki – laki yang bermunculan, bahkan laki – laki sebagai objek seksual bisnis yang amat luar biasa. Di sisni
34
laki – laki menunjukkan maskulinitasnya dengan gaya hidup yang flamboyan.
c. Maskulin tahun 1990-an Di era tahun 1990-an muncul kembali sosok laki – laki yang bersifat tidak peduli lagi terhadap hal remeh-temeh seperti kaum maskulin
yuppies di tahun 80-an, disini ditekankan kepada sifat kelaki-lakian yang lebih macho, kekerasan, dan hooliganisme. Laki – laki kemudian menyatakan dirinya dalam label konsumerisme yang lebih macho, seperti membangun kehidupannya di sekitar football atau sepak bola dan dunia minum-minum,dan juga seks. Pada babak ini kaum laki – laki mementingkan leisuretime sebagai waktu untuk bersenang-senang dan menikmati hidup bebas seperti apa adanya. d. Maskulin tahun 2000-an. Diluar perkembangan maskulin yang dikemukakan oleh John Beynon, perlu dicermati maskulin pada era 2000-an. Pada babak ini terdapat terminolog-terminologi baru mengenai laki – laki. Homoseksual telah berkembang semenjak dekade 80-an, sekarang bahkan terminologi laki – laki sudah mengenal istilah metroseksual. Laki – laki metroseksual
adalah laki – laki yang berasal dari kalangan menegah atas, mereka ijin berdandan, dan juga tergabung dalam komunitas yang terpandang dalam masyarakat. Laki – laki metroseksual semacam socialite. Mereka umumnya memiliki pandangan yang luas, atau mereka yang disebut dengan laki – laki yang berbudaya. Laki – laki metroseksual mengagungkan fashion, mirip dengan tipe maskulin 80an (Beynon, 2002).
Dari empat kelompok tersebut, ditariklah sifat-sifat maskulinitas menurut Beynon, seperti berikut: a. No Sissy Stuff (Tidak kewanita-wanitaan)
35
b. Be a Big Wheel (Berpengaruh penting) c. Be a Sturdy Oak (Kuat) d. Give em Hell (Berani) e. New Man as Nurturer (Kebapakan) f. New Man as Narcissist (Narsistik) g. Sifat kelaki-lakian yang macho, kekerasan dan hooliganism (Sangar) h. Laki-laki metroseksual mengagungkan fashion (Demartoro, 2010). 2.5.1 Maskulinitas Dalam Film
Maskulintas dalam film muncul ketika tahun 1980 film “First Blood” . Film yang bercerita tentang veteran Perang Vietnam yang bernama John Rambo yang diperankan oleh Sylvester Stallone. Cara Stallone mengekspresikan kejantanan secara membabi buta itu sangat berbeda dari genre film perang umumnya. Perang biasanya dipandang sebagai ritual inisiasi, sebuah kesempatan bagi laki – laki untuk menemukan diri, untuk membuktikan kejantanan dan kapasitas dalam menaklukan tubuh dan fisiknya (Rutherford, 2014). Menurut (Demartoro, 2010) konsep maskulinitas dalam media siar khususnya film, televisi, video , internet, dan radio muncul berbagai paradoks mengenai maskulinitas. Film “Saving Private Ryan” (1998) karya sutradara Steven Spielberg menunjukan maskulinitas yang luar biasa dalam peperangan. Namun, film ini memunculkan juga pertanyaan mengenai maskulinitas kekinian seperti dalam film “Fight Club” karya sutradara David Fincher dan film “American Beauty” karya sutradara Sam
Mendes yang di rilis tahun 1999 ini tidak hanya memperlihatkan kekuatan otot laki – laki seperti film “First Blood”, namun juga memiliki unsur emosional laki – laki yang terlihat maskulinitas pada periode tahun 1980an. Film dengan terkait dalam cerita perang menurut (Rutherford, 2014) mengambil alienasi laki – laki dan menjualnya sebagai kekuatan dan kebangaan. Sejumlah harian umum
36
membanjiri ruang publik dengan maskulinitas retributif dalam rangka mengklaim kembali relevansi kejantanan dalam masyarakat yang sudah terlaluaman dan nyaman.
37
38
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Paradigma Penelitian
Secara etimologis, istilah paradigma pada dasarnya berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata “para” yang artinya di sebelah atau pun di samping, dan kata “diegma” yang artinya teladan, ideal, model, atau pun arketif. Sedangkan
secara terminologis, istilah paradigma diartikan sebagai sebuah pandangan atau pun cara pandang yang digunakan untuk menilai dunia dan alam sekitarnya, yang merupakan gambaran atau pun perspektif umum berupa cara – cara untuk menjabarkan berbagai macam permasalahan dunia nyata yang sangat kompleks. Menurut George Ritzer (1980) paradigma adalah pandangan mendasar ilmuwan tentang apa materi pelajaran harus dipelajari oleh cabang atau disiplin, dan apa aturan yang harus diikuti dalam menafsirkan informasi yang akan dikumpulkan informasi yang dikumpulkan dalam menanggapi isu-isu ini. Dalam penelitian ini Peneliti akan menggunakan paradigma konstruktivis. Menurut Creswell (2010:11) konstruktivis sosial meneguhkan asumsi bahwa individu – individu selalu berusaha memahami dunia dimana mereka hidup dan bekerja. Mereka mengembangkan makna subjektif atas pengalaman – pengalaman mereka dimana makna tersebut diarahkan pada objek – objek atau benda – benda tertentu.
Untuk
mengeksplorasi
pandangan – pandangan perlu diajukan
pertanyaan – pertanyaan. Pertanyaan bisa bersifat luas dan umum, sehingga partisipan dapat mengkonstruksi makna atas situasi tersebut. Menurut (Patton, 2002), para peneliti konstruktivis mempelajari beragam realita yang terkonstruksi oleh individu dan implikasi dari konstruksi tersebut bagi kehidupan mereka dengan yang lain. Dalam konstruktivis, setiap individu memiliki pengalaman yang unik. Dengan demikian, peneliti dengan strategi
39
seperti ini menyarankan bahwa setiap cara individu dalam dunia adalah valid, dan perlu adanya rasa menghargai atas pandangan tersebut. Terkait dengan konstruktivisme ini, Crotty 1998 (dalam Creswell, 2010:12) memperkenalkan sejumlah asumsi yakni: 1. Makna-makna dikonstruksi oleh manusia agar mereka bisa terlibat dengan dunia yang tengah mereka tafsirkan. Para peneliti kualitatif cenderung menggunakan
pertanyaan-pertanyaan
terbuka
agar
partisipan
dapat
mengungkapkan pandangan-pandangannya. 2. Manusia senantiasa terlibat dengan dunia mereka dan berusaha memahaminya berdasarkan perspektif historis dan sosial mereka sendiri, kita semua dilahirkan ke dunia makna ( world of meaning) yang dianugerahkan oleh kebudayaan di sekeliling kita. Untuk itulah, para peneliti kualitatif harus memahami konteks atau
latar belakang partisipan mereka dengan cara
mengunjungi konteks tersebut dan mengumpulkan sendiri informasi yang dibutuhkan. Mereka juga harus menafsirkan apa yang mereka cari: sebuah penafsiran yang dibentuk oleh pengalaman dan latar belakang mereka sendiri. 3. Yang menciptakan makna pada dasarnya adalah lingkungan sosial, yang muncul di dalam dan di luar interaksi dengan komunitas manusia. Proses penelitian kualitatif bersifat induktif dimana didalamnya peneliti menciptakan makna dari data-data lapangan yang dikumpulkan. Lalu dalam paradigma konstruktivis dapat memudahkan dijelaskan melalui empat dimensi seperti yang diutarakan oleh Deddy N. Hidayat, sebagai berikut: 1. Ontologis: relativism, realitas merupakan konstruksi sosial kebenaran suatu realitas bersifat relative, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial.
40
2. Epistemologis: transactionalist / subjectivist, pemahaman tentang suatu realitas atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi antara peneliti dengan yang diteliti. 3. Axiologis: nilai, etika, dan pilihan moral merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu penelitian. Peneliti sebagai passionate participant, fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas pelaku sosial. Tujuan penelitian lebih kepada rekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti. 4. Metodologis: menenkankan empati, dan interaksi dialektis antara peneliti dengan responden untuk merekonstruksi realitas yang diteliti melalui metode metode kualitatif seperti participant observation. Kriteria kualitas penelitian authenticity dan reflectivity : sejauh mana temuan merupakan refleksi ontentik dari realitas yang dihayati oleh pelaku sosial. Berdasarkan kesimpulan singkat dan paparan tersebut, peneliti akan mengungkapkan pandangan mengenai maskulinitas adanya sifat kelaki – lakian dalam film The Godfather. Hal ini bertujuan kepada masyarakat dapat mengerti mengapa ini film bergenre drama lebih spesifik ke dalam film The Godfather tidak menonjolkan sisi drama melainkan unsur – unsur maskulinitas didalamnya. Setelah itu, ketika masyarakat sudah mengetahui masalah tersebut, peneliti mencoba merubah pandangan masyarakat dan para pembuat film untuk mengetahui segala unsur maskulinitas didalam film drama khususnya crime film. Atas dasar itulah peneliti menggunakan paradigma konstruktivis karena peneliti menggunakan pemikiran atau nalar dalam memberikan pembahasan makna dan juga tanda di dalam film yang akan diteliti menggunakan analisis semiotika yang dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce. Didalam penelitian ini peneliti mencoba memahami bagaimana memaknai sebuah tanda atau makna dari maskulinitas dalam film The Godfather.
41
3.2 Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, menurut Bogdan dan Guba pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif (data yang dikumpulkan berupa kata - kata, gambar, dan bukan angka). Hal ini dimaksudkan peneliti menggunakan menjelaskan
dengan
cara
memahami
studi
kasus
didalamnya.
Hal
ini
dimaksudkan banyaknya adegan – adegan kekerasan film atau media massa tersebut. Menurut Kirk dan Miller penelitian kualitatif merupakan tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan terhadap manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang lain dalam bahasa dan peristilahannya. Lalu metode kualitatif menurut Creswell adalah suatu proses penelitian yang berdasarkan pada pendekatan penelitian metodologis yang khas yang meneliti permasalahan sosial dan kemanusiaan. Dapat membangun gambaran secara holistik yang kompleks; menganalisis kata – kata; melaporkan pandangan detail dari para partisipan; dan melaksanakan studi tersebut dalam setting atau lingkungan yang alami. (Creswell, 2015) Metode kualitatif memandang realitas sebagai sesuatu yang berdimensi banyak, suatu kesatuan yang utuh, serta berubah - ubah, karena itu pula rancangan penelitian tidak disusun secara rinci dan pasti sebelum penelitian dimulai. Untuk itu pula pengertian kualitatif sering diasosiasikan dengan teknik analisis data dan penulisan laporan penelitian. 3.2.1 Metode Analisis Semiotika
Terma semoitik bukanlah istilah baru. Istilah ini berasal dari kata Yunani,
semeion, yang berarti tanda atau dari kata semeiontikos, yang berarti teori tanda.
42
Menurut Paul Colbey, kata dasar semiotik terdapat dari kata seme (Yunani) yang berarti penafsir tanda. Menurut (Rusmana, 2014) istilah semiotik lazim dipakai oleh imuwan Amerika Serikat, sedangkan ilmuwan Eropa lebih banyak menggunakan istilah semiologi. Semiotik sendiri merupakan cabang ilmu yang mengkaji persoalan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda. Semiotik juga merupakan suatu tanda sebagai tindak komunikasi yang disempurnakan menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek substansi untuk pemahaman gejala kesusastraan sebagai alat komunikasi yang khas dalam masyarakat (Rusmana, 2014). Secara signifikan semiotik mengkaji dan mencari tanda – tanda dalam wacana dan menerangkan maksud dari tanda – tanda tersebut dengan mencari hubungan antara ciri – ciri tanda dan makna yang dikandungnya (Rusmana, 2014). Berbeda menurut Daniel Chadler dalam (Vera, 2014) mengatakan, “ The shortest definition
is that is that study of signs” (definisi singkat dari semiotika adalah ilmu tentang tanda – tanda). Oleh karena itu (Vera, 2014) mengatakan semiotika adalah ilmu tentang tanda, dan merupakan cabang dari filsafat yang mempelajari dan menelaah “tanda”.
Pengembangan semiotika sebagai bidang studi sudah ditetapkan dalam pertemuan Vienna Circle yang berlangsung di Vienna University tahun 1922. Di dalam pertemuan Vienna Circle, sekelompok sarjana menyajikan sebuah karya yang berjudul “International Encyclopedia of Unifed Science”. Dalam karya
volume I, Charles Morris selaku sekelompok sarjana menuliskan dalam karyanya yang berjudul “Foundation of Sign Theory” mengelompokan semiotika menjadi
tiga bagian atau tiga cabang ilmu tentang tanda yaitu; 1. Semantics, yang mempelajari bagaimana sebuah tanda berkaitan dengan yang lain.
43
2. Syntactics, yang mempelajari bagaimana sebuah tanda memiliki arti dengan tanda yang lain. 3. Pragmatics, yang mempelajari bagaimana tanda digunakan dalam kehidupan sehari – hari. Studi tentang bagaimana mengorganisasikan sistem tanda – tanda dan penggunanya disebut syntactic dan pragmatic codes. Syntactic mempelajari bahwa sebuah tanda mempunyai arti bila dikaitkan dengan tanda lain, dalam sebuah aturan formasi, atau disebut sebagai tata bahasa. Sedangkan pragmatics mempelajari bahwa sesuatu memiliki arti tergantung pada kesepakatan sehari – hari sebuah komunitas. Misalnya, kata clean bagi kelompok penggemar tato adalah bagian tubuh yang belum sama sekali di tato, sedangkan bagi komunitas lain kata clean memiliki makna yang berbeda (Little John, 2002) dalam (Vera, 2014). Berdasarkan Kaelan dalam (Vera, 2014) lingkup pembahasannya, semiotika dibedakan atas tiga macam seperti berikut. 1. Semiotika murni (Pure)
Pure Semiotic membahas tentang dasar filosofis semiotika, yaitu berkaitan dengan metabahasa, dalam arti hakikat bahasa secara universal. Misalnya, pembahasan tentang hakikat bahasa sebagaimana dikembangkan oleh Saussure dan Peirce. 2. Semiotika Deskriptif (Descriptive )
Descriptive Semiotic adalah lingkup semiotika yang membahas tentang semiotika tertentu, misalnya sistem tanda tertentu atau bahasa tertentu secara deskriptif. 3. Semiotika Terapan (Applied)
44
Applied Semiotic adalah lingkup semiotika yang membahas tentang penerapan semiotika pada bidang atau konteks tertentu, misalnya dengan kaitannya sistem tanda sosial, sastra, komunikasi, periklanan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu peneliti ini akan menggunakan metode analisis semiotika. Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal - hal (things). Memaknai berarti bahwa objek - objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek - objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Peneliti akan mencoba memaknai analisis semiotika Charles Sanders Peirce yang berusaha memaknai objek – objek yang tidak hanya membawa informasi tetapi objek tersebut akan berkomunikasi dan juga mengkonstruksi sistem terstruktur dari sebuah tanda. 3.3 Unit Analisis
Menurut (Hamidi, 2010) menyatakan bahwa unit analisis adalah satuan yang diteliti yang bisa berupa individu, kelompok, benda atau suatu latar peristiwa sosial seperti misalnya aktivitas individu atau kelompok sebagai subjek penelitian. Unit analisis Peneliti ialah film The Godfather itu sendiri, benda tersebut merupakan hasil dari download, berasal dari situs website Layarkaca21. Peneliti menggunakan dalam bentuk video dengan format MP4 dan mempunyai resolusi 1280x720 (720p) atau menggunakan resolusi HD Ready. Serta menggunakan buku novel untuk acuan dalam pembuatan skripsi tersebut. Dalam hal ini disebut bisa dari data digital, data online, dan data sekunder berupa buku dari novel itu sendiri.
45
Gambar 3.1 : Unit Analisis Penelitian
Gambar 3.1 Menggambarkan Unit Analisis Penelitian Sumber: Dokumen Peneliti 3.4 Metode Pengumpulan Data
Data penelitian komunikasi kualitatif pada umumnya isinya berupa informasi kategori substantif yang sulit dinumerisasikan. Menurut (Arikunto, 2006) metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam pengumpulan data penelitiannya ”. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa metode
penelitian adalah cara yang dipergunakan untuk mengumpulkan data yang di perlukan dalam penelitian.
46
Tabel 3.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan Data
Data Primer menurut (Sugiyono, 2011)
Penjelasan Sumber primer adalah sumber data yang lansung memberikan data kepada pengumpul data. Dalam hal ini data primer yang peneliti yang akan pakai ialah data audio visual. Sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau
Data sekunder menurut (Sugiyono, 2011)
lewat dokumen. Dalam hal peneliti menggunakan
data
sekunder
beberapa jurnal terkait, novel yang mendasarkan film tersebut, artikel – artikel terkait, dan data online. Tabel 3. 1 Menjelaskan Tabel Pengumpulan Data Sumber: Peneliti Dari tabel tersebut disimpulkan peneliti menggunakan dua sumber data, yaitu data dari primer yaitu film The Godfather itu sendiri, sedangkan data sekunder peneliti menggunakan dari data online yang berguna untuk mencari profil film tersebut, mulai dari novel, sutradara, pemain, studio produksi, sinopsis atau alur cerita, dan sebagainya 3.5 Metode Analisis Data
Analisis data merupakan bagian yang sangat penting dalam metode ilmiah, karena dengan analisis data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dan memecahkan masalah penelitian.
47
Setelah peneliti mengumpulkan data dan telah terpenuhi, selanjutnya peneliti akan melakukan analisis data. Analisis data dengan cara menggunakan teknik analisis data semiotika Charles Sanders Peirce. Perbincangan sistematis semiotik menempati dalam khazanah ilmu pada abad ke-20, yaitu adanya ketika adanya dua tokoh ahli semiotika atau pencetus semiotika dalam hal ini disebut
founding father semiotik berasal dari dua benua yang berbeda, yaitu Ferdinand de Saussure (Swiss, Eropa) dan Charles Sanders Peirce (Amerika Serikat, Amerika). Arus wacana semiotik yang mereka introdusir hampir bersamaan, sekalipun menyadarkan prinsip semiotik pada landasan yang berbeda hingga melahirkan konsep pemikiran berbeda juga. Karena dalam ilmu yang mereka tekuni sangatlah berbeda, Peirce seorang pakar bidang linguistik dan logika, sedangkan Saussure seorang pakar linguistik modern, oleh sebab itu adanya perbedaan mendasar dalam penerapan konsep – konsep semiotik sampai sekarang ini. Peirce dalam Rusmana memaknai semiotik sebagai studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya; cara berfungsinya (sintaksis semiotik), hubungan dengan tanda – tanda lain (semantik semiotik), serta pengirim dan penerimanya oleh mereka yang menggunakannya (pragmatik semiotik). Tokoh semiotik termuka yang tidak bersentuhan dengan strukturalisme, salah satu yang harus disebut terlebih dahulu ialah Peirce. Meskipun ia hidup sezaman dengan de Saussure, ia tidak pernah berhubungan dan mengenal de Saussure. Peirce mempunyai kemiripan dengan pemikiran de Saussure, terutama tentang arti penting kelahiran pandangan atau teori baru yang memfokuskan perhatiannya pada upaya menganalisis dan menafsirkan tanda. Tokoh yang bernama lengkap Charles Sanders Peirce ini lahir pada tahun 1839 dan meninggal pada tahun 1914. Ia belajar di Harvard University pada tahun 1854. Karier intelektualnya berawal sebagai ahli matematika dan fisikawan ketika bergabung dengan Coast Survey (1891). Ia juga pernah menjadi dosen di
48
Universitas John Hopkins antara tahun 1879 – 1884. Akan tetapi ia tidak pernah mendapat jabatan akademis karena sikapnya yang keras dan emosional. Bagi Peirce dalam (Rusmana, 2014) mempunyai prinsip mendasar sifat tanda adalah sifat representatif dan sifat interpretatif. Sifat respresentatif tanda berarti tanda merupakan sesuatu yang mewaklii sesuatu yang lain (something that
represent something else), sedangkan sifat interpretatif artinya tanda tersebut memberikan peluang bagi interpretasi bergantung pada pemakai dan penerimanya. Peirce dalam Rusmana juga memandang tanda bukan sebagai struktur, melainkan bagian dari proses pemahaman (signifikasi komunikasi). Tanda merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari objek referensinya serta pemahaman subjek atas tanda. Ia menyebutkan representamen , sedangkan sesuatu yang ditunjuk atau diacunnya disebut objek. Tanda yang diartikan sebagai “sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain” bagi seseorang berarti menjadikan tanda bukan sebagai entitas otonom.
Seperti yang diketahui bahwa analisis semiotika merupakan metode yang dapat digunakan untuk menganalisis teks didalam hubungannya dengan berbagai bentuk lambang dan gambar.
49
Tabel 3.2 Tabel (R-O-I)
Manusia memerepsi dasar (ground) tanda Tahap 1
(disebut juga respentamen), misalnya melihat
(R)
asap dari jauh. Ia Tahap 2
mengaitkan
dasar
(ground)
dengan
pengalaman, misalnya asap dikaitkan dengan kebakaran dirunjuk oleh asap atau dasar (asap)
(O)
merunjuk pada objek (kebakaran) Kemudian ia menafsirkan kebakaran itu terjadi Tahap 3
(I)
di pertokoan yang dikenalnya. Proses ini
disebut dengan interpretant. Tabel 3.2 Menjelaskan mengenai tabel analisis Representamen, Object, dan Interpretant Sumber: (Rusmana, 2014 p. 108) Ketiganya (R-O-I) menjadikan semiotik sebagai sesuatu yang tidak terbatas. Selama gagasan penafsir dapat dipahami oleh penafsir lain, posisi penafsir pun penting sebagai agen yang mengaitkan tanda dengan objeknya. Pemahaman terhadap struktur semiotik menjadi hal mendasar yang tidak dapat diabaikan oleh seorang penafsir. Menurut (Vera, 2014) Charles Sanders Peirce dikenal dengan model
triadic dan konsep trikonominya yang terdiri atas: 1. Respresentamen; bentuk yang diterima oleh tanda atau berfungsi sebagai tanda (Saussure menamakannya signifer). Respresentamen kadanng diistilahkan juga menjadi sign. 2. Interpretant; bukan penafsir tanda, tetapi lebih merujuk pada makna dari tanda. 3. Object; sesuatu yang menunjuk pada tanda. Sesuatu yang diwakili oleh representamen yang berkaitan dengan acuan. Object dapat
50
berupa representasi mental (ada dalam pikiran), dapat juga berupa sesuatu yang nyata di luar tanda (Peirce, 1931 & Silverman, 1983, dalam Chandler). Berdasarkan konsep tersebut maka dapat dikatakan bahwa makna sebuah tanda dapat berlaku secara probadi, sosial atau bergantung pada konteks tertentu. Perlu dicatat bahwa tanda tidak dapat mengungkapkan sesuatu, tanda hanya berfungsi menunjukan, sang penafsirlah yang memaknai berdasarkan pengalaman masing – masing (Vera, 2014). Model triadik dari Peirce sering disebut juga sebagai “triangle meaning
semiotics” atau dikenal dengan teori segitiga makna, yang dijelaskan secara sederhana: “tanda adalah sesuatu yang berkaitan pada seseorang untuk sesuatu
dalam beberapa hal atau kapasitas (Vera, 2014). Tanda juga menunjuk pada setara, atau suatu tanda yang lebih berkembang, tanda yang diciptakannya dinamakan interpretant dari tanda pertama. Tanda itu menunjukan sesuatu, yakni
objeknya” (Fiske,2007:63) Gambar 3.2 Model Triadik Semiotika Charles Sanders Peirce
Gambar 3.2 Segitiga Semiotika Charles Sanders Peirce Sumber: (Vera, 2014, p. 22)
51
Model segitiga Peirce memperlihatkan masing – masing titik dihubungkan oleh garis dengan dua arah, yang artinya setiap istilah ( term) dapat dipahami hanya dalam hubungan satu dengan yang lainnya. Peirce menggunakan istilah yang berbeda untuk menjelaskan fungsi tanda, yang baginya adalah proses konseptual, terus berlangsung dan tak terbatas (yang disebutnya “semiosis tak terbatas,“ rantai makna-keputusan oleh tanda – tanda baru menafsirkan tanda
sebelumnya atau seperangkat tanda – tanda) (Vera, 2014). Dalam model Peirce sendiri, makna dihasilkan melalui rantai dari tanda – tanda (menjadi interpretants), yang berhubungkan dengan model dialoglisme Mikhail Bakhtin, dimana setiap ekspresi budaya selalu merupakan respons atau jawaban terhadap ekspresi sebelumnya, dan yang menghasilkan respons lebih lanjut dengan menjadi addressible kepada orang lain (Martin Irvine, 1998 – 2010)
Representament / sign (tanda).
Object (sesuatu yang dirujuk).
Interpretant (“hasil” hubungan representamen dengan objek).
Menurut Peirce, salah satu bentuk tanda ( sign) adalah kata. Sesuatu syarat yang dapat disebut respresentamen (tanda) jika memenuhi 2 seperti berikut (Vera, 2014). 1. Bisa dipersepsi, baik dengan panca-indera maupun dengan pikiran/perasaan 2. Berfungsi sebagai tanda (mewakili sesuatu yang lain) (Vera, 2014). Objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda, bisa beupa materi yang tertangkap panca-indera, bisa juga bersifat mental atau imajiner. Apabila ketiga elemen makna itu berinteraksi dalam benak seseorang, maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut (Vera, 2014).
52
Sebenarnya titik sentral dari teori semiotika Charles Sanders Peirce adalah sebuah trikonomi yang terdiri atas 3 tingkat dan 9 sub-tipe tanda. Tabel 3.3 Tiga Trikonomi Charles Sanders Peirce
1
2
3
Representament (R1) Qualisign
Sinsign
Legisign
Object (O2)
Icon
Index
Symbol
Interpretant (I3)
Rhema
Dicisign
Argument
Tabel 3.3 Menjelaskan mengenai tabel trikonomi semiotika Charles Sanders Peirce Sumber: (Vera, 2014, p. 23) Sebagaimana disebutkan bahwa Peirce memandang bahwa bahasa sangat berkaitan dengan realitas karena semiosis merupakan konfigurasi metode memaknai realitas secara bertahap (Rusmana, 2014). Dalam rangka memaknai realitas, subjek memahaminya berdasarkan keberlakuan tanda. Keberlakuan tanda bersifat trikotomis, yaitu:
Firstness: Tingkat pemahaman subjek dan eksistensi tanda – tanda masih potensial, penuh probabilitas dan perasaan. Tahap ini dapat disebut sebagai tahap pencerapan potensi.
Secondness: Tingkat pemahaman dan eksistensi tanda sudah berhadapan
atau
konfrotasi
dengan
realitas
ketika
subjek
memahami eksistensi realitas. Pada tahap ini disebut sebagai pencerapan aktualitas.
Thirdness: Tingkat pemahaman dan eksistensi tanda ketika sudah terformulasasikan aturan atau hukum yang berlaku umum untuk
53
mengonstitusi pemahaman subjek terhadap realitas. Tahap terakhir ini dapat disebut sebagai abstaksi Selanjutnya, dalam mengkaji objek, Peirce melihat segala sesuatu dari tiga jalur logika, yaitu sebagai berikut (Rusmana, 2014). 1. Hubungan Representament (R) dengan jenis Representament: a. qualisign (dari quality sign): representament yang bertalian dengan kualitas atau warna; b. sinsign (dari singular sign ): representament yang berkaitan dengan fakta real; c. legisgn (dari legitatif sign; lex = hukum): representament yang bertalian dengan kaidah atau aturan. 2. Hubungan Object (O) dengan jenis Representament (R; Dasar/Ground): a. Icon. Hubungan representament (R) dan Object (O) yang memiliki keserupaan (semilitude atau resemblance) atau “tiruan tak serupa” dengan bentuk objek (terlihat pada
gambar atau lukisan). Peirce juga membagi icon dalam tiga bentuk, yaitu icon image, icon diagram, dan icon metafora. b. Indeks. Hubungan representament (R) dan Object (O) yang terjadi karena keterkaitan atau hubungan kausal antara dasar dan objeknya. c. Symbol atau tanda sebenarnya. Hubungan representament (R) dan Object (O) yang terbentuk karena adanya konvensi. Dalam tradisi Semiotik Peirce, keberadaan ikon dan indeks ditentukan oleh hubungan referen – referennya, sementara
54
simbol ditentukan oleh posisinya di dalam sistem yang arbitrer dan konvensional. (Rusmana:2014) 3. Hubungan Interpretant (I) dengan jenis Representament (R): a. Rhame or seme: Representament yang masih memiliki berbagai kemungkinan (probabilitas) yang diinterpretasi oleh interpreter; b. Dicent or dicisign: Representament yang sudah dapat dijadikan fakta real dan memiliki makna tertentu; c. Argument:
Representament
yang
sudah
dihubungkan
dengan kaidah atau preposisi tertentu. Tabel 3.4 Trikotomi Semiotika Charles Sanders Peirce
Trikotomi (Kategori)
Representament
Fistnes (Kualitas) Qualisign Secondness (Fakta real) Thirdness (Kaidah/aturan)
Relasi ke Objek
Icon
Relasi ke Interpretan
Rhema
Sinsign
Index
Dicent
Legisign
Symbol
Argument
55
Tabel 3.5 Metode Analisis Data
Instrument No
Data Penelitian
Represetamen
Object
Interpretant
Makna yang terkandung
1
Data yang dipilih secara
Penanda yang
purpose sampling dan
akan diperlihatkan
berdasarkan dengan data
scene atau adegan
– data yang sesuai fokus
– adegan yang
penelitian
telah dipilih
Object yang akan menjadi acuan penanda
didalam sebuah scene atau adegan yang dalam hal ini berkaitan dengan fokus penelitian. Deskripsi atas
2
Data yang dipilih secara
Deskripsi atas
purpose sampling dan
sifat dari
berdasarkan dengan data
hubungan antara
– data yang sesuai fokus
Representamen
penelitian
dengan Object.
Deskripsi
sifat dari
atas sifat dari
hubungan
hubungan
antara
antara Object
Interpretant
dengan
dengan
Interpretant.
Representamen .
56
Representamen Data yang dipilih secara
purpose sampling dan 3
berdasarkan dengan data – data yang sesuai fokus
penelitian
dengan Object memilki Trikonomi yang terdiri dari
Qualisign, Sinsign, dan Legisign.
Kesimpulan
Object
Interpretant
dengan
dengan
Interpretant
Representamen
memiliki
t memiliki
Trikonomi
Trikonomi
yang terdiri
yang terdiri
dari : Icon,
dari : Rhema,
Index, dan
Dicisign, dan
Symbol.
Argument
Tanda – tanda apa saja yang berada dalam penelitian
Tabel 3.5Sanders Menjelaskan Charles Peirce bagaimana cara atau menganalisis data dalam Semiotika Sumber: Dokumen Peneliti
3.6 Metode Pengujian Data
Mulai dari proses pengumpulan data hingga sampai kepada analisis data diperlukan data analisis yang akurat. Oleh karena itu diperlukan adanya pengujian data atau validasi data. Oleh karena itu peneliti mennggunakan salah satu metode pengujian data, yaitu menggunakan metode deskripsi kaya dan padat ( rich and thick
description). Rich and thick description (Creswell:2016) mendefinisikan bahwa deskripsi ini setidaknya harus berhasil menggambarkan ranah (setting ) penelitian dan membahas salah satu elemen dari pengalaman – pengalaman partisipan. Ketika para peneliti menyajikan deskripsi yang detail mengenai setting misalnya, atau menyajikan banyak perspektif mengenai tema, hasilnya bisa lebih realistis dan kaya. Dalam prosedur ini tentu saja akan menambah validitasi hasil penelitian. Oleh karena itu peneliti akan mendeskripsikan scene per scene dengan sangat detail. Setelah di deskripsikan barulah peneliti akan menganalisis menggunakan semiotika Charles Sanders Peirce sampai mendapatkan hasil yang realistis. Tentunya scene
57
per scene tersebut sesuai dengan fokus penelitan yang ingin peneliti lakukan, yaitu maskulinitas. Untuk dapat mengetahui bagaimana penerapan semiotika Charles Sanders Peirce, peneliti akan mencoba memberikan contoh penjabaran tersebut: Tabel 3.6 Contoh Penjabaran Analisis Semiotika Charles Sanders Peirce
Sign
Gambar 3.3 Menggambarkan scene 43 dari film The Godfather. Sumber: Dokumen Peneliti Scene tersebut ketika Michael bertemu dengan Ayahnya, Don Corleone di kebun Keluarga Corleone, dan Don mengatakan bahwa Barzini akan menyerang duluan, bahwa jika Barzini mengadakan pertemuan, Michael akan dibunuh duluan. Michael yang menatap Ayahnya dengan dingin dan percaya bahwa keselamatan ia akan
Object
baik – baik saja. Don Corleone juga mengatakan kepada
Michael,
tentang
keluarga
Michael
apakah bahagia. Michael berkata dengan senang, bekata sangat senang, Don Corleone berkata itu sangat bagus. Don Corleone akan lebih berhati – hati lagi, ia juga berpesan bahwa “Wanita dan
anak – anak bisa ceroboh, tetapi laki – laki jangan.” Dan menanyakan pula tentang cucunya,
58
ia melihat cucunya makin lama makin mirip dengan Michael, Michael sangat senang ketika
Don menanyakan anaknya. Don Corleone pun juga senang karena Michael bercerita bahwa anaknya dalam usia tiga tahun sudah bisa membaca buku komik dan lebih pintar dari Michael. Dan menyuruh Michael semua urusan keluarga. Awalnya, Don ingin menguruskan kepada Fredo, namun Fredo yang begitu lemah tidak jadi dalam pengurusan Keluarga. Dan Don awalnya
juga
harusnya
Michael
tidak
menguruskan Keluarga Corleone, ia bekerja sepanjang hidupnya, dan tidak minta maaf karena mengurus Keluarga Corleone, dan ia menolak jika salah satu orang keluargnya menjadi orang bodoh, yang bisa di atur – atur dari orang lain.
Don Corleone tidak menyesal. Ia menyarankan bahwa Keluarga Corleone bisa menjadi orang yang sukses, namun tidak ada waktu lagi. Michael yang percaya tentang bisa dilakukannya, lalu Don Corleone mencium anak kesayangan ia dengan kasih sayang kepada orang tua kepada anaknya,
dan
ia
berpesan
siapa
yang
memberitahu soal pertemuan Michael dengan Barzini,
orang
itu
pengkhianat
Keluarga
Corleone. Dalam
Interpretant
scene
tersebut
jelas
terlihat
object
mempunyai unsur dari konsep maskulinitas, yaitu
new man as nurturer, yang berarti seorang laki –
59
laki memiliki kelembutan seperti seorang bapak. Dalam hal ini merupakan dari rheme. Namun dari segi object bersifat indeks, dikarenakan seorang bapak
jika
berbakti
sayang
kepada
kepada orang
anaknya tuanya.
ketika Dalam
representament kategori dalam scene tersebut dimasukan ke dalam qualisign dan legisign. Dalam kategori qualisign menjelaskan bahwa
Don Vito Corleone mencium Michael Corleone anaknya, ketika ia menjelaskan bahwa ia dan keluarganya sudah bahagia, bahkan Don Vito Corleone Corleone
sangat sayang kepada Michael ketimbang kakaknya yaitu Fredo
Corleone. Namun dalam segi legisign, seorang orang tua yang sudah sayang anaknya sudah pasti orang tua mencium anak kesayangannya. Tabel 3.6 Menjelaskan Mengenai Contoh Analisa Semiotika Charles Sanders Peirce. Diambil dari dokumen peneliti.
3.7 Keterbatasan Penelitian
Dalam hal ini peneliti memiliki ketetbatasan terkait dengan apa yang peneliti lakukan. Adanya keterbatasan tersebut yakni peneliti seharusnya bisa lebih dalam mengkaji materi tentang penelitian ini yang lebih baik. Misalnya peneliti bisa mengkaji lebih dalam dengan menggunakan kajian analisis semiotika lainnya seperti contohnya analisis semiotika lainnya.
60
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Subjek Penelitian 4.1.1 Profil Film The Godfather
Film The Godfather merupakan film berdasarkan dari buku novel karya Mario Puzo ( 1920 – 1999) tahun 1969, novel tersebut terjual sebanyak 21 juta
copy lebih di seluruh dunia. Karena novel tersebut menjadi best seller, Mario Puzo dan Francis Ford Coppola bekerja sama untuk mengadaptasi novel tersebut ke layar lebar (film ). Puzo dan Coppola akhirnya mendapatkan Piala Oscar untuk kategori Skenario Adaptasi Terbaik pada tahun 1973 di ajang Academy Awards ke 45. Sedangkan The Godfather Part I dan The Godfather Part II sendiri terpilih sebagai film terbaik pada tahun 1972 untuk film The Godfather Part I sedangkan The Godfather Part II menjadi film terbaik pada tahun 1974. Oleh karena itu Peneliti hanya ingin meneliti dari film The Godfather yang dirilis pada tahun 1972. Film ini pertama kali tayang di Loew’s State Theatre (sekarang merupakan
sudah dialihfungsikan menjadi Gedung Bertlesmann), Times Square, New York pada 15 Maret 1972, dan pada tanggal 24 Maret 1972 film ini resmi dirilis untuk negara Amerika Serikat dan Kanada. Film ini sangat fenomenal pada tahun 1972 dan mendapatkan kritikan positif dari pengamat film. Bahkan dalam Rotten Tomatoes memberikan nilai 99% dan fresh. Metacritic juga memberi nilai sempurna untuk film ini yaitu nilai 100 dari 15 reviewer, bahkan dalam situs IMDb (Internet Movie Database), film tersebut menduduki urutan kedua dari Top 250 Rated Movies sesudah film “The Shawshank Redemption” karya sutradara Frank Darabont dengan nilai 9,2 poin
dari 10 poin dengan penilaian dari 1,8 juta rating, sedangkan “The Godfather”
61
karya sutradara Francis Ford Coppola sendiri meraih nilai yang sama yaitu 9,2 poin dari 10 poin dari 1,2 juta rating. Urutan kedtiga di duduki oleh sequel dan
prequel film “The Godfathe” yaitu “The Godfather Part II” dengan nilai 9,0 poin dari 10 poin dari 882.575 rating. Kritikus film Roger Ebert (1942 – 2013) yang terkenal akan kritikan “pedasnya” terhadap dunia perfilman memberikan nilai 4
bintang dari 4 bintang dan memberikan predikat film The Godfather sebagai “Great Movie Best of the Year” (Film Terbaik Tahun Ini) pada tahun 1972.
The Godfather merupakan film dengan genre drama, crime film. Hal ini disebabkan film The Godfather menceritakan kehidupan keluarga Mafia bernama Corleone yang dipimpin oleh Don Vito (Andolini) Corleone dari kota Corleone, Pulau Sisilia di kota New York pada era 1940an sampai 1950an. Film ini menjadi bahan acuan dalam film bergenre Gangster di dunia perfilman khususnya dalam Hollywood. Bahkan dalam American Film Institute memasukan film ini dalam AFI’s
100 Years...100 Movie Quotes memasukan dalam urutan kedua dari 100 film dalam movie quotes terbaik yaitu, “I’m gonna make him an offer he can’t
refused.” Atau dalam Bahasa Indonesia berdasarkan diterjem ahkan oleh B. Sendra Tanuwijaja yang mengatakan, “Akan kuberi ia penawaran yang tidak bisa ditolaknya.” (Puzo, 2017)
62
Gambar 4.1 Poster film The Godfather
Gambar 4.1 Poster Film The Godfather Sumber: IMDB.com
Pemain Marlon Brando
Tabel 4.1 Para Pemain Film The Godfather Pemeran Don Vito Corleone
Al Pacino James Caan Richard S. Castellano Robert Duvall Sterling Hayden John Marley Richard Conte Al Lettieri Diane Keaton Abe Vigoda Talia Shire
Michael “Mike” Corleone Santino “Sonny” Corleone Peter “Fat Pete” Clemenza Thomas “Tom” Hagen Captain McCluskey Jack Woltz Don Emilio Barzini Virgil “The Turk” Sollozo Katherine “Kay” Adams Salvatore “Sal” Tessio Constanzia “Connie” Corleone
Gianni Russo John Cazale
Carlo Rizzi Frederico “Fredo” Corleone
63
Rudy Bond Al Martino Morgana King Lenny Montana John Martino Salvatore Corsitto Richard Bright Alex Rocco Tony Giorgio Vito Scotti Tere Livarno Victor Rendina Jeannie Linero Julie Gregg Ardell Sherdian Simonetta Stefanelli
Carmine Cuneo Johnny Fontane Carmela Corleone Luca Brasi Paulie Gatto Amerigo Bonasera Albert “Al” Neri Moe Greene Bruno Tattaglia Nazorine the Baker Theresa Hagen Don Philip Tattaglia Lucy Mancini Sandra Corleone Signora Clemenza Apollonia Corleone
Angelo Infanti Corrado Gaipa Franco Citti Saro Urzi
Vitelli) Fabrizio Don Tommasino Calò Signor Vitelli
(nee
Tabel 4.1 Cast dari film The Godfather Sumber: IMDB.com Sebuah film sebagus apapun dan sesukses apapun tidak luput dari tangan – tangan dingin para crew dan pihak – pihak yang terlibat dalam penggarapan film. Begitu juga dengan film The Godfather yang sukses berkat orang – orang yang terlibat didalamnya. Dan inilah orang – orang yang menjadikan film The Godfather sukses meraih beberapa penghargaan khususnya memenangkan Skenario Adaptasi Terbaik dalam ajang Academy Awards ke 44 tahun 1973.
Jabatan Sutradara Penulis Naskah
Tabel 4.2 Tim Produksi Film The Godfather Nama Francis Ford Coppola Francis Ford Coppola dan Mario Puzo
Berdasarkan Mario Puzo
64
novel
dari
Produser
Albert S. Ruddy Gray Fredrickson
Musik Sinematografi Film Editing
Robert Evans (uncredited) Nino Rota Gordon Willis Williams Reynolds
Bahasa
Peter Zinner Inggris Italia
Distribusi Tanggal rilis
Latin Paramount Pictures 15 Maret 1972 State Theater)
(Loew’s
24 Maret 1972 (Amerika Serikat dan Kanada) Durasi 177 menit ( 2 jam 57 menit) Tabel 4. 2 Crew Film The Godfather 4.1.2 Karakter Utama dan Karakteristik dalam Film The Godfather
A. Karakter Utama dalam Film The Godfather. Dalam film The Godfather karakter yang ditampilkan sangat banyak, namun pusat dalam film tersebut hanya beberapa karakter yaitu Don “The Godfather” Vito Corleone (Marlon Brando), Santino “Sonny” Corleone (James Caan), Thomas “Tom” Hagen (Robert Duvall), Frederico “Fredo” Corleone (John Cazale), Johnny Fontane (Al Martino) dan Michael “Mike” Corleone (Al Pacino).
Dalam film ini karakter Don Vito Corleone (Marlon Brando) adalah kepala Keluarga Corleone yang berasal dari negara Italia khususnya dari kota Corleone, Pulau Sisilia, Italia. Lalu Santino “Sonny” Corleone (James Caan)
merupakan Italia-Amerika yang merupakan anak laki – laki tertua dari Keluarga
65
Corleone. Lalu Thomas “Tom” Hagen (Robert Duvall) merupakan consigliere keluarga atau disebut juga “Tangan Kanan” boss, seorang dari Irlandia -Amerika
dan merupakan juga anak angkat dari Don Vito Corleone. Lalu Frederico “Fredo” Corleone seorang Italia-Amerika dan merupakan anak laki – laki kedua dari Keluarga Corleone. Lalu Johnny Fontane (Al Martino) seorang aktor dan juga merupakan godson dari Don Vito Corleone. Dan yang terakhir Michael “Mike” Corleone seorang Italia-Amerika anak laki – laki terakhir Keluarga Corleone. B. Karakteristik dalam Film The Godfather dan Para Pemerannya. a) Marlon Brando sebagai Don Vito Corleone. Karakter Don Vito Corleone dikenal sangat setia kepada teman dan sekutunya, tapi akan menyalakannya jika dikhianati. Dia juga seorang kepala Keluarga Corleone, ayah dan suami yang sangat mencintai dan peduli kepada keluarganya, pria tua asal dari negara Italia yang memiliki suara serak, serta memiliki rambut dengan uban dengan banyak. Pemeran Don Vito Corleone ialah aktor senior Hollywood bernama Marlon Brando. Marlon Brando lahir pada tanggal 3 April 1924 dan meninggal dunia pada tanggal 1 Juli 2004 di Westwood, California. Sebelum membintangi dalam film The Godfather, Marlon Brando sudah memainkan dan mendapatkan Piala Oscar kategori Best Actor for Leading Role pada ajang Academy Awards ke 27 pada tahun 1955 dalam film “ On the
Waterfront” karya sutradara Elia Kazan, saat itu umur Brando 31 tahun. Pada seketika itu juga Marlon Brando mendapatkan project film dalam Hollywood begitu besar hingga tahun 1972 Francis Ford Coppola menginkan Marlon Brando memerankan seorang mafia berasal dari Italia yang bernama Don Vito
Corleone
(sebelumnya
Laurence
Olivier
menjadi
kandidat
untuk
memerankan tokoh ini, namun menolaknya). Marlon Brando di makeup khusus untuk menjadi “tua” padahal tahun itu ia masih berumur hampir 50 tahun tepatnya 47 tahun. Terakhir Marlon Brando berakting dalam mengisi suara sebagai Don
66
Vito Corleone dalam video game yang berjudul dari film tersebut yaitu: The Godfather: The Game. b) James Caan sebagai Santino “Sonny” Corleone. Tokoh Santino “Sonny” Corleone sangat berbeda dengan Ayahnya Don Vito Corleone sifatnya yang bergitu kasar, mudah pemarah, “selayaknya” pemimpin
Keluarga dia merupakan orang yang ditakuti oleh teman – temannya, tetapi hanya satu kelemahan dari Sonny Corleone ini mempunyai kekasih gelap yang bernama Lucy Mancini (Jeannie Linero) meskipun Sonny Corleone memiliki istri yang bernama Sandra Corleone (Julie Gregg). Orangnya mempunyai rambut dengan ciri khas yaitu ikal, tinggi, dan berotot. Disikap yang sangat kasar kepada semua orang, Sonny Corleone mencintai keluarganya dan menunjukkannya dengan sikap protektif terhadap adik laki-lakinya Michael dan bahkan memukuli suami kasar dari adik perempuan satu - satunya dari Keluarga Corleone yaitu Constazia “Connie” Corleone (Talia Shire) dan suaminya yang bernama Carlo Rizzi (Gianni
Russo). Serta Teman baiknya Tom Hagen, hal ini terbukti dalam film ketika Michael Corleone dipukul oleh Kapten Polisi McCluskey (Sterling Hayden), Sonny dan Tom Hagen merancang sebuah rencana untuk membalas dendam kepada adiknya, hal ini dilakukan Sonny mengatur untuk membunuh Kapten McCluskey dan Virgil “Si Turki” Sollozo (Al Lettieri). Sonny Corleone diperankan oleh James
Caan. James Caan lahir pada 26 Maret 1940 di Bronx, New York. Sebelum memerankan Sonny Corleone, James Caan sudah memainkan sebanyak 11 film. James Caan ketika memerankan Sonny Corleone berumur 32 tahun. c) Robert Duvall sebagai Thomas “Tom” Hagen. Thomas “Tom” Hagen merupakan anak angkat d ari Keluarga Corleone dan
satu – satunya tokoh yang bukan berasal dari keturunan Italia, Tom Hagen berasal
67
dari keturunan dari Irlandia, Don Vito Corleone mengangkat Tom Hagen ketika kedua orang tuanya meninggal, orangnya jangkung, rambut tipis, berbicara sopan, dan Tom Hagen merupakan satu – satunya “Keluarga” Corleone yang masuk ke perguruan tinggi dan mendapatkan gelar hukum sehingga Tom Hagen merupakan pengacara pribadi Keluarga Corleone dan menjabat consigliere Don Vito Corleone. Meski diadopsi oleh Corleones, dia mencintai mereka masing-masing dan sangat sedih saat Sonny terbunuh, karena keduanya adalah teman baik. Tom memang memiliki temperamen tapi tidak pernah benar-benar menunjukkannya saat ia seharusnya bersikap tenang dalam situasi berbahaya. Tom adalah yang paling cerdas dari Keluarga Corleone karena ia harus menjadi seorang consigliere, tapi tidak pernah benar-benar seorang pejuang untuk memulai. Robert Duvall lahir pada 5 Januari 1931 di San Diego, California. Robert Duvall juga pernah masuk ke Angkatan Darat Amerika Serikat dari tahun 1953 – 1954 dengan pangkat terakhir Tantama Satu ( Private First Class). Robert Duvall berkolaborasi dengan Francis Ford Coppola pertama kali dalam film THX-1138 yaitu film fiksi ilmiah (sci-fi) karya sutradara George Lucas yang kelak membuat film sci-fi yang terkenal yaitu Star Wars Saga, dan Robert Duvall berperan sebagai THX-1138. Film yang drama yang menyajikan dalam segi cerita dalam fiksi ilmiah. Dan tahun 1972 Francis Ford Coppola mengajak Robert Duvall memainkan sebagai consigliere dalam film The Godfather, dan tahun itu juga masuk dalam Nominasi Oscar dalam Kategori Aktor Pendukung Terbaik ( Best
Supporting Actor) bersama lawan pemainnya Al Pacino dan James Caan. Robert Duvall memerankan Tom Hagen pada umur 41 tahun. d) John Cazale sebagai Frederico “Fredo” Corleone. Frederico “Fredo” Corleone merupakan anak laki – laki kedua dari Keluarga
Corleone, ciri – cirinya selayaknya orang Italia, Fredo Corleone memiliki muka mirip dengan Ayahnya Don Vito Corleone, tetapi digambarkan sebagai anak
68
orang Italia yang berdoa kepada orang-orang kudus, Fredo adalah saudara Corleone yang paling lemah, yang hampir tidak menunjukkan keahlian dengan pistol, walaupun secara fisik di masa mudanya dia memiliki reputasi yang cukup tinggi. Dia juga dikenal memiliki sikap mudah tertipu dan membuat keputusan bisnis yang buruk, ternyata dalam urusan rahasia dengan Johnny Ola, mengira dia membantu keluarga tersebut. Seperti Keluarga Corleone, Fredo marah dan akan menyerang siapa pun yang menghina dia atau keluarganya, yaitu istrinya. Namun, karena Michael telah berkomentar mengenai kelemahan Fredo, dia membiarkan Moe Greene menamparnya di depan umum dan bahkan membela yang terakhir atas tindakan tersebut atas biaya sendiri, yang membuat Michael sangat kesal. Fredo Corleone diperankan oleh John Cazale aktor dari Amerika Serikat dan ia mempunyai keturunan Italia-Amerika. Cazale lahir pada tanggal 12 Agustus 1935 lalu meninggal dunia disebabkan kanker paru – paru pada tanggal 13 Maret 1978 di New York, Amerika Serikat. Sebelum kematiannya ia sempat berpacaran dengan aktris peraih Oscar yaitu Maryl Streep. Dalam dunia perfilman Cazale hanya bermain peran setidaknya hanya 6 film, dan film yang membawa ia menjadi besar ialah ketika memerankan sebagai Fredo Corleone dalam film The Godfather karya sutradara Francis Ford Coppola. Terakhir Cazale bermain film dengan berjudul “The Deer Hunter” karya Michael Cimino. Untuk mengenang Cazale,
Francis Ford Coppola membuat sebuah rekaman arsip (archival footage) dalam film The Godfather Part III tahun 1990. Cazale memerankan Fredo Corleone ketika ia berumur 37 tahun. e) Al Martino sebagai Johnny Fontane. Johnny Fontane merupakan aktor Hollywood yang berasal dari Little Italy, New York. Don Vito Corleone merupakan Godfather Johnny. Diceritakan bahwa awal karir Johnny harus membayar 10.000 USD kepada Les Halley seorang pemimpin band dari Les Halley Orchesta jika ingin membebaskan Johnny dari
69
kontrak hubungan kerja tersebut, tetapi ditolak oleh Les Halley. Besoknya Don Vito Corleone mengajak Luca Brasi (Lenny Montana), untuk menegosiasikan melepaskan kontrak tersebut, namun hanya seiring satu menit, negosiasi selesai dan disepakati sebesar 1.000 USD, hal ini terjadi karena Luca Brasi menodongkan pistol ke kepala Les Halley (Puzo, 2017). Sebagai pria impulsif, Johnny sangat mencintai keluarganya namun membiarkan dirinya terpisah dari mereka karena matanya yang mengembara. Dia berusaha menjaga hubungan baik dengan semua orang yang dia hadapi dan menjadi mudah tersinggung dengan orang – orang yang jelas tidak menyukainya, seperti Tom Hagen. Johnny Fontane diperankan oleh Al Martino seorang penyanyi sekaligus aktor. Al Martino atau dengan nama aslinya Jasper Cini lahir pada tanggal 7 Oktober 1927 dan meninggal dunia pada tanggal 13 Oktober 2009 pada umur 82 tahun di Springfield, Pennsylvania. Al Martino hanya bermain film dua kali dari sepanjang karir sebagai aktor yaitu dalam film The Godfather tahun 1972 dan The Godfather Part III tahun 1990. Al Martino ketika memainkan karakter sebagai Johnny Fontane dalam film The Godfather berumur 45 tahun. f) Al Pacino sebagai Michael “Mike” Corleone. Michael “Mike” Corleone anak laki – laki terakhir dari Keluarga Corleone.
Dalam film The Godfather, Michael Corleone merupakan protagonis dari film tersebut. Michael yang pada awalnya merupakan marinir Angkatan Laut Amerika Serikat tidak tertarik dengan bisnis Ayahnya, Don Vito Corleone. Dalam film tersebut karakteristik Michael Corleone ialah, layaknya seorang warga keturunan Italia-Amerika, Michael mempunyai sifat yang sama dengan Ayahnya dalam hal kecerdasan, kepribadian, serta kelicikan Don Vito Corleone. Michael mempunyai sikap gentleman disemua Keluarga Corleone, Michael mmepunyai rambut dengan belah kiri ciri khas orang tahun 1940an yang dimana pada saat itu laki – laki terlihat maskulinitas dan rambutnya jika dilihat kelihatan berminyak, lalu ketika
70
menggunakan seragam marinir, Michael terkesan orangnya rapi, dan Michael sangat sayang kepada kekasihnya Kay Adams (Diane Keaton). Dalam film tersebut Michael berbagi sharing kepada Kay, dengan menceritakan asal usul keluarga besar dia. Sebagai anak laki – laki terakhir, Michael sangat disayangi oleh Sonny dan Tom Hagen. Karakteristik Michael adalah orang terkuat di Keluarga Corleone, meski awalnya dia tidak mau berurusan dengan bisnis keluarga, tapi ia cepat-cepat menarik diri setelah percobaan pembunuhan terhadap Ayahnya. Ketika Michael mengajukan diri untuk membunuh Sollozzo, semua orang, terutama Sonny Corleone kakaknya, terkejut. Sementara Michael berpengalaman menangani senjata sejak ia masuk ke Marinir, Clemenza
mengajarkan
kepadanya
bagaimana
menggunakan
pistol
dan
membuangnya. Lalu Michael merasa nyawanya terancam, Michael Corleone mengasingkan diri ke Pulau Sisilia, dan disana ia menikah dengan Apollonia Vitelli (Simonetta Stefanelli) gadis dari keturunan Yunani-Sisilia. Michael “Mike” Corleone diperankan oleh Al Pacino. Al Pacino lahir pada
tanggal 25 April 1940 di Manhattan, New York. Al Pacino sebelum berperan sebagai Michel Corleone sudah membintangi dua film yaitu “Me, Natalie” karya sutradara Fred Coe dan “The Panic in Needle Park” karya sutradara Jerry
Schatzberg. Al Pacino merupakan aktor Italia-Amerika, tepatnya keluarga besar Al Pacino berasal dari desa Corleone tempat Don Vito Corleone berasal. Al Pacino, James Caan, dan Diane Keaton dalam pembuatan film The Godfather hanya dibayar saat itu 35.000 USD dan pada saat itu banyak job yang memanggil Al Pacino untuk menjadikan aktor dengan terbaik dimasanya. Al Pacino memerankan Michael Corleone ketika umur 32 tahun. Dan dalam proses syuting Al Pacino berpacaran dengan Diane Keaton lawan mainnya sebagai kekasih Michael Corleone, Kay Adams.
71
4.1.3 Sinopsis Film The Godfather
Pada hari pernikahan putrinya, Connie Corleone dengan pria bernama Carlo Rizzi. Don Vito Corleone selaku The Godfather Kepala Keluarga Corleone tidak bisa menolak apapun permintaan atau kunjungan tamu. Salah satu tamu bernama Amerigo Bonaserra yang meminta Vito untuk mengadili para pria tidak bertanggung jawab yang melecehkan dan menganiyaya anaknya. Dilain waktu pun Anak laki laki Vito, Michael Corleone yang merupakan Angkatan Laut datang membawa kekasihnya Kay Adams. Beberapa waktu setelah itu datang
godson Vito yang seorang artis terkenal bernama Johnny Fontane, dia meminta Vito untuk melindungi perannya di film impiannya. Beberapa waktu setelah pernikahan, consiglieri, pengacara terkenal sekaligus anak angkat Vito, Tom Hagen pergi ke Los Angeles unuk melindungi peran Johnny Fontane dari kepala studio yang kasar, Jack Woltz. Jack Woltz tidak merespon dan malah mengusir Tom. Namun keesokan harinya Woltz terbangun dengan melihat kuda kesayangannya terpenggal ditempat tidurnya,menganggap bahwa Tom tidak main main, Jack pun menyetujui peran Johnny Fontane. Beberapa waktu sebelum natal 1945, Don Vito Corleone menerima tawaran dari Virgil “Si Turki” Sollozo yang seorang bandar narkoba dari Keluarga
Tattaglia. Namun tawaran itu ditolak karena itu berhubungan dengan hal narkotika yang dapat merusak koneksi politik Don Vito Corleone. Menganggap bahwa Sollozo tidak akan berhenti sampai tawarannya diterima, Don Vito Corleone mengirim serdadu kepercayaannya Luca Brasi untuk menjadi mata mata di keluarga Tattaglia. Namun sebelum Luca berhasil masuk, Luca Brasi terbunuh oleh Sollozzo dan Bruno Tattaglia. Diwaktu yang berbeda anak buah Sollozo berhasil menembak Vito hingga cedera serius namun tidak tewas. Selama Vito dirawat, anak pertama Vito, Sonny pun memimpin. Di bawah pimpinan Sonny, Keluarga Corleone semakin dekat dengan ambang kehancuran. Ditengah perseteruan antara Sonny dengan Tom. Michael pun mempunyai ide untuk
72
membunuh Sollozo dan pengawalnya yang merupakan kapten kepolisian yang bernama Marc McCluskey disebuah pertemuan. Dan rencananyapun berhasil. Mengacu perang dengan keluarga Mafia New York yang lain serta Kepolisian, Sonny pun mulai merencanakan strategi. Diwaktu yang bersamaan Vito pulang dari perawatannya di rumah sakit. Sebagai bentuk perlindungan dari perang, anak ke 2 Vito, Fredo pergi ke Las Vegas, Nevada sedangkan Michael pergi ke Sisilia, Italia.Namun suatu hari Carlo mencampakkan dan menyelingkuhi istrinya Connie, hingga Sonny selaku seorang kakak, bertemu dan memukuli Carlo, Sonny berjanji bahwa jika Carlo mencampakkan Connie lagi, Sonny akan membunuh Carlo. Namun Carlo mencampakkan Connie lagi. Namun di dalam perjalanan untuk bertemu & membunuh Carlo, Sonny terbunuh ditembaki dijalan tol. Di Sisilia, Italia Michael menikahi Apollonia Vitelli namun harus berpisah setelah Apollonia terbunuh dalam sebuah ledakan mobil. Setelah kematian Sonny, Vito pun kembali memimpin Keluarga Corleone dan menyadari bahwa Keluarga Tattaglia telah dikontrol oleh Don keluarga Barzini, Emilio Barzini. Merasa keamanannya telah terjamin dengan Ayahnya yang sudah kembali berkuasa, Michael kembali ke New York dan menikahi Kay Adams. Beberapa
tahun
kemudian,
Michael
pun
mulai
menjadi
Don
menggantikan Ayahnya yang ingin mengakhiri kariernya. Michael pun ingin mengambil bisnis raja Judi Las Vegas, Moe Greene sekaligus menjemput Fredo. Namun Moe Greene menolak dan mengusir Michael, sedangkan diwaktu yang sama Michael menyadari bahwa Fredo telah menjadi budak Moe Greene. Beberapa waktu kemudian Vito pun meninggal karena serangan jantung fatal ketika bermain bernama anak Michael, Anthony dan Michael pun menjadi Don yang baru bagi Keluarga Corleone karena kakak Michael, Fredo yang seharusnya menjadi Don terlalu lemah untuk menanggung beban dan tanggung jawab seorang
Don.Untuk memperluas bisnis keluarga, Michael pun menyuruh caporegime (capo) keluarga Corleone, Peter Clemenza,Pengawal pribadinya Al Neri serta
73
serdadu lain untuk membunuh Don dan anggota penting Mafia lain serta Moe Greene disaat dirinya hadir dipembaptisan keponakannya, hal itu dilakukan agar tidak ada yang mengira bahwa Michael adalah dalangnya. Setelah itu Michael pun membunuh Carlo yang dikiranya adalah dalang dalam pembunuhan Sonny. Michael pun akhirnya menjadi Godfather setelah para caporegime mencium tangannya dan mengatakan Don Corleone. 4.1.4 Profil Sutradara Francis Ford Coppola Gambar 4.2 Francis Ford Coppola
Gambar 4.2 Sutradara Film The Godfather, Francis Ford Coppola Sumber: https://www.nyfa.edu/student-resources/francis-ford-coppola/
Francis Ford Coppola lahir pada tanggal 7 April 1939 di kawasan Detroit, Amerika Serikat. Coppola sendiri tumbuh besar di New York. Ayahnya, Carmine Coppola adalah seorang composer dan penulis musik di kawasan Broadway yang juga telah mendapatkan piala Oscar. Coppola memulai karirnya di dunia perfilman, dengan mengikuti kuliah perfilman di UCLA dan Hofstra University. Di sana dia menekuni program pembuat film (fiilm making). Pada tahun 1963, Coppola memproduksi film
74
pertamanya yang dia beri judul “Dementia 13”, sebuah film bergenre horor yang dibuatnya selama 10 Hari. Dalam pembuatan film ini, Coppola dibantu oleh sutradara film kelas B, Roger Corman. Corman mengizinkan Coppola untuk menggunakan set, peralatan dan para kru yang digunakan untuk film The Young Racers (1963). Pada tahun 1966, Coppola memproduksi film keduanya, “You’re a Big Boy Now”. Film ini sendiri berhasil masuk nominasi Oscar untuk kategori Best
Actress film dan mewakili Amerika di Festival Film Cannes. Suatu prestasi yang sangat hebat mengingat Coppola yang saat itu masih berstatus sebagai mahasiswa dan belum memiliki banyak pengalaman di dunia film. Pada tahun 1969, Coppola mendirikan perusahaan produksinya sendiri yang bernama American Zoetrope dan mulai memproduksi banyak film seperti “Rain People”, “THX -1138” dan “American Grafitti” yang disutradarai oleh
George Lucas. Dia turut menulis naskah untuk “Patton” (1970), yang memenangkan Academy Award for Best Writing (Skenario Asli). Ketenaran arahannya meningkat seiring dengan dirilisnya “The Godfather” (1972), sebuah film yang merevolusi pembuatan film dalam genre gangster, mendapatkan pujian dari kritikus dan publik. Ini memenangkan tiga Academy Awards , termasuk yang kedua, untuk Academy Award for Best Writing (Adapted Screenplay), dan berperan penting dalam memperkuat posisinya sebagai sutradara film Amerika terkemuka. Coppola mengikutinya dengan sekuel yang sangat sukses, “The Godfather Part II” (1974), yang menjadi sekuel pertama yang memenangkan Academy
Award for Best Picture. Film ini sangat dipuji dan memenangkannya tiga Academy Awards - untuk Skenario Terbaik yang Diadaptasi, Sutradara Terbaik dan Gambaran Terbaik. Percakapan, yang disutradarai Coppola, diproduksi dan ditulis, dirilis pada tahun yang sama, memenangkan Palme d'Or di Cannes Film
75
Festival 1974. Dia selanjutnya mengarahkan “Apocalypse Now” (1979); terkenal karena produksinya yang terlalu panjang dan meluas, namun mendapat pengakuan kritis atas penggambaran Perang Vietnam yang jelas dan menakjubkan, memenangkan Palme d'Or di Cannes Film Festival 1979. Sampai hari ini, Coppola adalah satu dari delapan pembuat film yang memenangkan dua penghargaan Palme d'Or . Dia dan Michael Haneke adalah dua pembuat film yang memenangkan keduanya pada dekade yang sama. Coppola menghabiskan seluruh uangnya sewaktu menyutradarakan film “Apocalypse Now” (1979), total bujet yang di perlukan untuk menyelesaikannya
mencapai 31 Juta Dollar. Namun ini semua terbayar ketika film yang dibuat ini, menuai begitu banyak sukses baik kualitas dan finansial. Menurut beberapa kritikus, film “Apocalypse Now” merupakan titik puncak karya Coppola di mana film ini mengekspresikan visualisasi kegilaan dan eksperimental perang terbaik sepanjang sejarah perfilman. “Apocalypse Now” memenangkan 2 piala Oscar untuk Best Sound dan
Best Cinematography serta memenangkan Palme d’Or di Cannes Film Festival. Hingga ini sutradara berjanggut tebal ini sudah menyutradarai 33 lebih judul film, karyanya yang paling baru adalah “TETRO” (2009) film dengan format hitam putih yang kali ini menjauh dari sisi Holywood. Film ini menceritakan kemelut keluarga Eropa di Amerika Selatan. Pada bulan Februari 2011 lalu, tepat pada acara penganugerahan Piala Oscar 2011, Coppola secara resmi menerima penghargaan Irving G. Thalberg Memorial dari The Academy of Motion Picture Arts and Sciences , Sebuah bentuk penghargaan kepada Produser film atas konsistensi dalam membuat film – film yang bermutu.
76
Penghargaan yang telah tercapai oleh Francis Ford Coppola a. Samuel Goldwyn Award, kategori Penulisan Naskah Terbaik (1965) b. Golden Sheel untuk “The Rain People” (1969) c. Academy Award, kategori Penulisan Naskah Terbaik, film Patton (1970) d. Academy Award, kategori Sutradara dan Penulisan Naskah Terbaik, film “The Godfather” (1972)
e. Academy Awards, kategori Sutradara Terbaik, film “The Godfather Part II” (1974) f. Golden Lion Honorary Award, Venice Film Festival (1992) g. Lifetime Achievement Award (1998) h. A Special 50th Anniversary Award, San Sebastian International Film Festival (2002) i.
Gala Tribute, Film Society of Lincoln Center (2002)
j.
Lifetime Achievement Award, Denver Film Festival (2003)
k. Honorary Award, Antalya Golden Orange Film Festival (2007) l.
Irving G. Thalberg Memorial Award (2010)
m. Menjadi Konsul Kehormatan untuk Central American Nation of Belize di San Fransisco.
77
4.1.5 Profil Penulis Buku Novel The Godfather Mario Puzo Gambar 4.3 Mario Puzo
Gambar 4.3 Penulis Buku Novel The Godfather, Mario Puzo Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Mario_Puzo Mario Gianluigi Puzo atau Mario Puzo atau Mario Cleri (nama pena) lahir tanggal 15 Oktober 1920 di Hell’s Kitchen, New York, Amerika Serikat. Setelah
bertugas di Jerman selama Perang Dunia II, ia kuliah di New School for Social Research di New York dan Coumbia University. Karena ingin berkembang setelah menulis untuk majakah – majalah pria, ia memutuskan menulis novel pertamanya “The Dark ArenaI”, yang terbit pada tahun 1955. Buku novel tersebut berdasarkan dari pengalamannya selama ia sedang bertugas selama Perang Dunia II. Lalu buku keduanya yang berjudul “ The Fortunate Pilgrim”, terbit pada tahun 1964, buku tersebut merupakan semacam autobiografi yang mengenai tentang imigran Italia. Kedua buku ini, meskipun mendapatkan dipuji dengan kritikus buku, Mario Puzo menganggap bahwa buku keduanya sebagai karya terbaiknya, ia berpendapat bahwa buku tersebut gagal dalam pasaran. Karena marah, ia lalu menulis novel kelimanya (dua novel sebelumnya berjudul “The Runaway Summer of Davie Shaw ” diterbitkan pada tahun 1966
novel tersebut untuk anak – anak dan “Six Graves to Munich ” diterbitkan tahun 1967 dengan menggunakan nama pena Mario Cleri) yang masih becerita tentang
78
keluarga imigran Italia: Keluarga Corleone dari Sisilia. Ia memberinya judul “ The
Godfather”, terbit tahun 1969. Walaupun ia tidak ada sangkut pautnya dengan Mafia (setidaknya begitulah yang ia [Mario Puzo] dikatakannya), novel itu sangat sukses dan menjadi Best Seller versi New York Times. Menurut Puzo, ia ketika menulis The Godfather berdasarkan riset di perpustakaan saja. “Mana saya punya waktu untuk terlibat Mafia?” katanya ketika sesi wawancara dengan Associated Press tahun 1996. “Saya miskin sebelum The Godfather sukses. Kalau saya ikut
Mafia, saya pasti punya cukup uang sehingga tidak perlu menjadi me nulis.”
The Godfather terjual sebanyak dua puluh satu juta copy lebih di seluruh dunia. Ia kemudian menulis dua sekuelnya dan dengan bantuan dari sutradara Francis Ford Coppola, dan mengadaptasi serial ini ke layar perak. Oleh karena itu Mario Puzo dan Francis Ford Coppola memperoleh Oscar untuk kategori Best
Writing, Screenplay Based on Material from Another Medium atau sekarang bernama Academy Awards for Best Adapted Screenplay (Skenario Adaptasi Terbaik) tahun 1973. Sedangkan film The Godfather dan The Godfather Part II, menjadi Best Picture (Film Terbaik) tahun 1972 dan 1974. Mario Puzo juga menulis beberapa skenario lain, termasuk dalam film
superhero, “Superman: The Movie” pada tahun 1978 (dalam film ini ia kembali bekolaborasi bersama Marlon Brando) dan sekuelnya “Superman II” pada tahun 1980, “The Cotton Club” pada tahun 1984 (berkolaborasi dengan Francis Ford Coppola), “The Sicilian” tahun 1987 (berdasarkan novel yang berjudul yang sama, “The Sicilian” yang diterbitkan pada tahun 1984), dan “ Christopher Columbus:
The Discovery” (kolaborasi ketiga Marlon Brando setelah film “Superman: The Movie”). Pada tahun 1997, novel Mario Puzo yang berjudul “ The Last Don” dijadikan miniseri televisi dibintangi oleh Danny Aiello sebagai Don Domenico Clericuzio. Pada tahun yang sama, novelnya “ The Fortunate Pilgirm” kembali dicetak ulang.
79
Tiga tahun terakhir sebelum kematiannya, Mario Puzo menulis novel dengan berjudul ”Omertà”. Ada satu novel yang belum selesai dalam penulisannya dengan berjudul “The Family” dan novel tersebut diselesaikan oleh
istrinya Carol Gino. Pada tanggal 2 Juli 1999, Mario Puzo meninggal dunia di rumahnya, West Bay Shore, Long Island, New York. Ia meninggalkan istrinya Carol Gino, lima anak dan beberapa cucu saat itu ia berumur 78 tahun. 4.1.6 Profil Rumah Produksi ( production house) Gambar 4.4 Paramount Pictures
Gambar 4.4 Paramount Pictures Logo Sumber: https://www.paramount.com/100-years-paramount/paramount-story Sejarah Paramount Pictures Tahun 2012 menandai tonggak sejarah yang luar biasa untuk Paramount Pictures - tahun ke 100 Paramount di bisnis pertunjukan. Meskipun pencapaian luar biasa ini membuat Paramount salah satu perusahaan gambar tertua di Amerika, tidak ada tanda-tanda melambat, dan Paramount dan filmnya lebih kuat dari sebelumnya. Dari epik visioner hingga kisah cinta yang menyayat hati hingga franchise blockbuster, semua diciptakan oleh para talenta dan pembuat film terbaik dalam bisnis ini, Paramount telah menetapkan standar di bioskop selama satu abad dan terus memberikan hiburan terbaik kepada khalayak di seluruh dunia.
80
Adolph Zukor, Jesse L. Lasky dan Cecil B. DeMille dikreditkan sebagai ayah pendiri utama Paramount. Zukor visioner meletakkan dasar bagi perusahaan tersebut dengan mengakuisisi hak distribusi A.S. pada film Prancis yang diamdiam, Queen Elizabeth, sebuah fitur reel empat terobosan dalam waktu dua gulungan adalah norma. Keberhasilannya yang luar biasa mendorong Zukor's Famous Players Film Company ke tempat yang sangat tinggi, dan dalam prosesnya, mengubah bisnis hiburan selamanya. Terinspirasi oleh kesuksesan Zukor, Jesse L. Lasky segera bekerja sama dengan sutradara Cecil B. DeMille untuk membuat versi film dari drama panggung sukses “The Squaw Man”. Ini adalah film berdurasi panjang pertama yang dibuat di Hollywood, dan menandai debut Jesse L. Lasky Feature Play Company. Zukor dan Lasky menggabungkan usaha mereka pada tahun 1916 dengan formasi pemain Terkenal mereka-Lasky Corporation. Zukor menjabat sebagai Presiden, Lasky sebagai Wakil Presiden yang bertanggung jawab atas produksi, DeMille sebagai Direktur Jenderal, dan saudara ipar Lasky, Samuel Goldfish (yang kemudian dikenal sebagai Samuel Goldwyn dan segera pergi untuk mengejar usaha sendiri) sebagai Ketua papan. Beberapa bulan kemudian, setelah merger lain dengan pertukaran distribusi film yang baru lahir yang disebut Paramount Pictures, entitas yang dihasilkan menjadi Paramount Famous Lasky Corporation. Dengan simbol puncaknya yang terjal dan tertutup salju dari pegunungan Wasatch, Paramount Famous Lasky Corporation menjadi perusahaan distribusi film pertama yang sukses secara nasional, merilis dua sampai tiga gambar baru dalam seminggu dari tahun 1916 sampai 1921. Ini menjadi perusahaan yang terintegrasi sepenuhnya. mengendalikan setiap aspek pembuatan film - produksi, distribusi, dan pameran - sampai akhirnya Mahkamah Agung memutuskan bahwa ini merupakan monopoli bagi studio gambar gerak untuk juga memiliki rantai teater. Depresi Besar terbukti gegabah dan sementara Lasky dipaksa keluar dari perusahaan, Zukor bertahan sampai tahun 1936 saat digantikan oleh Presiden Barney Balaban. Zukor meraih gelar Ketua Dewan Paramount Pictures yang baru
81
bernama, dan meskipun sebagian besar merupakan posisi token, dia tetap aktif di perusahaan sampai dia pensiun pada tahun 1959. Masa pertengahan abad pertengahan yang berkembang ditandai dengan rilis karya-karya hebat dari sutradara seperti Billy Wilder, Alfred Hitchcock dan John Huston. Selain sebagai televisi muncul sebagai ancaman potensial, Paramount membawa bisnis film ke tempat yang baru, meluncurkan landmark seperti George Stevens “A Place in the Sun ” pada tahun 1951 dan Cecil B. DeMille's “The Ten Commandments” (versi kedua dibuat di Paramount) pada tahun 1956. Pada tahun 1960an, Paramount sekali lagi menghadapi masa-masa sulit. Charles Bluhdorn, yang membeli Paramount pada tahun 1966, melihat bos studio yang beralih ke studio Robert Evans untuk melakukan perputaran. Roman Polanski membuat film dengan judul “Rosemary's Baby”. Polhem pada tahun 1968, namun prestasinya yang terbesar adalah pencahayaan hijau sebuah drama sederhana yang berdasarkan pada buku terlaris. Film tersebut berjudul “Love Story”, dan kesuksesannya dari mulut ke mulut dan sentimenitas yang tidak biasa memberi studio itu kerumunan-pleaser yang sangat dibutuhkannya. Film yang dibintangi Ryan O'Neal dan Ali MacGraw, meraup lebih dari $ 100 juta di seluruh dunia (menghancurkan semua catatan box office sebelumnya untuk studio) dan menerima tujuh nominasi Oscar. Setelah titik balik ini, studio akan terus menghasilkan beberapa film paling sukses dan ikonik dalam sejarah sinematik. Klasik 'New Hollywood' ini meliputi “The Godfather”, “The Godfather Part II”, “Harold and Maude”, “The Conversation” dan “Chinatown”. Ditopang oleh
kemenangan ini, sisa tahun 70-an dan 80-an adalah perjalanan yang mantap untuk studio. Tahun 1986 sangat terkenal karena Paramount meraih 22 persen pangsa pendapatan box office domestik, dua kali dari pesaing terdekatnya, dan membual lima dari 10 film terlaris teratas tahun ini, termasuk “Top Gun” and “Crocodile Dundee”.
82
Tahun 90an menyambut produser Sherry Lansing sebagai Chairman pada tahun 1992, posisi yang akan dia pegang selama 14 tahun. Dan, pada tahun 1994, perusahaan induk Paramount, Paramount Communications, bergabung dengan Viacom Inc. di bawah kepemimpinan Ketua Eksekutif Dewan dan Pendiri, Sumner Redstone. Dekade ini diselingi oleh perilisan “Titanic” pada bulan Desember 1997, yang memerintah selama lebih dari satu dekade sebagai atraksi
Box Office Hollywood. Dalam beberapa tahun terakhir, Paramount telah memperkuat tempatnya sebagai pemimpin global dalam konten hiburan dan telah merayakan kesuksesan yang belum pernah terjadi sebelumnya di bawah kepemimpinan Chairman dan CEO Brad Gray, yang tiba pada tahun 2005. Dalam sebuah bisnis yang menuntut keunggulan, Gray telah memberikan blockbuster, dunia hiburan pemenang Academy Award® dengan bakat paling berbakat dan paling dihormati hari ini. Selama masa jabatan Gray, Paramount telah merilis delapan dari 10 film terlaris teratas sepanjang masa, termasuk franchise “Transformers ” and “Paranormal Activity”, “Indiana Jones dan Kingdom of the Crystal Skull ”, dan J.J. Abrams 'Star Trek” melakukan reboot. Pada tahun 2010, studio ini mengumpulkan nominasi Academy Award yang paling banyak di studio manapun, berkat kesuksesan kritis dan komersial “True Grit” dan “The Fighter”. Film bernilai penghargaan telah berkembang biak di era Brad Grey, dengan rilis seperti “No Country for Old Men ”, “There Will Be Blood ”, “An Inconvenient Truth”, “Up in the Air” dan “Babel”. Memasuki pada tahun 2011, Paramount merilis sebuah industri rekaman enam film berturut-turut yang menghasilkan pendapatan lebih dari $ 100 juta dolar di box office domestik, dengan “Rango”, “Thor”, “Kung Fu Panda”, “Super 8”, “Transformers: Dark of the Moon”, dan “Captain America: The First Avengers”. Tahun ke-100 Paramount Picture smemang merupakan
tonggak sejarah yang luar biasa. Rilis yang akan datang mencakup kelanjutan dari
franchise “Paranormal Activity 4”, “Fun Size”, Denzel Washington dalam Robert Zemeckis “Flight”, Tom Cruise yaitu “Jack Reacher” , “Cirque du Soleil: Worlds
83
Away”,“Not Fade Away”, dan “The Guilt Trip”. Film dari Paramount Pictures yang akan datang tahun 2018 ialah “God Particle”, “ Annihilation ”,“Death Wish”,”Action Point”,”Mission Impossible: 6”, dan masih banyak lagi yang akan
di rilis oleh Paramount Pictures. 4.2 Penyajian Data
Klasifikasi film terdiri dari lima yaitu komedi, drama, horror, musikal, dan laga. Film The Godfather termasuk dalam klasifikasi drama. Tepatnya bergenre
crime film atau film kejahatan, hal ini disebabkan berfokus dalam kehidupan kejahatan, khususnya Mafia atau Gangster. Di Indonesia banyak sikap dominan laki – laki ketimbang dari kaum perempuan, bahkan dalam sebagian besar kepala keluarga dikepalai oleh kaum laki – laki, atau disebut juga patrilineal, namun dari segi gender laki – laki Indonesia memiliki hal yang dominan dari segi pekerjaan dan laki – laki di Indonesia memikirkan lebih logika, meskipun ada sebagian dari laki – laki di Indonesia memikirkan kekeluargaan. Di Indonesia khususnya di kota – kota besar seperti di Jakarta, Surabaya, Medan, dan kota besar lainnya banyak orang yang ingin berbisnis, pergi ke kantor baik dari instansi pemerintah maupun swasta, laki – laki dominan mengenakan setelan jas dan baju rapi untuk melakukan pekerjaan
tersebut. Namun, laki – laki tidak bekerja dalam kantor saja, laki – laki bisa juga bekerja dalam melakukan premanisme yang dengan kata lain melakukan kejahatan dengan melakukan pemerasan dari kelompok lain, hal ini pada di Jakarta banyak sekali penggaguran di Jakarta, biasanya preman tersebut dominan laki – laki, biasanya preman tersebut memeras dengan kata – kata kasar dan ini merupakan unsur dari maskulinitas. Dalam kota Jakarta jika ada pembangunan bangunan baru sudah pasti ada tenaga kerja yang membantu pembuatan pembangunan tersebut, atau disebut juga kuli bangunan. Kuli bangunan biasanya memiliiki otot yang besar untuk mengangkat pondasinya, hal ini merupakan ciri dari maskulinitas.
84
Film yang memenangkan Academy Awards dalam Kategori Skenario Terbaik pada tahun 1972 ini menceritakan kehidupan keluarga Mafia yang berada di kota New York, Amerika Serikat. Film yang mengajarkan kepada kita tentang kekeluargaan dalam lingkungan Keluarga Mafia. Film ini tidak hanya memberikan pesan tentang kekeluargaan didalamnya, namun banyak mengandung unsur pesan dalam segi maskulinitas di dalamnya. Hal ini mengajarkan dalam film yang bergenre drama ini, laki – laki atau pria memiliki dominan didalamnya. Film ini diceritakan pada kejadian 1940an sampai 1950an yang pada saat itu merupakan sejarah kegelapan dalam kehidupan di Amerika Serikat, dan merupakan juga Golden Age (Era Emas) mafia terjun ke Amerka Serikat, dan muncul nama – nama besar mafia yang ditakuti oleh penduduk Amerika Serikat, salah satunya Alphonse Gabriel “Scarface” Capone (Al Capone). Bisa dibilang alur ceritanya adalah maju. Karena mengisahkan di tahun 1940an sampai 1950an,
padahal film ini diproduksi tahun 1972. Film ini berlatar tahun 1940an sampai 1950an tepatnya di kota New York. Tempat yang dipakai dalam pembuatan film tersebut ini adalah Kota New York, Los Angeles, dan Pulau Sisilia, Italia. Dengan fashion yang dikenakan seluruh karakter baik dari karakter utama hingga figuran, sangat cocok dengan latar belakang kota New York tahun 1940an hingga 1950an, bahkan kendaraan yang digunakan sebagai properti film tersebut digunakan dalam era 1940an hingga 1950an. Adegan yang sangat menarik adalah ketika Don Vito Corleone, memberikan kepada Johnny Fontane dengan mengatakan, “I’m gonna make him an offer he can’t refused.” Dan adegan dimana
Michael Corleone menjadi Godfather anaknya dari adik perempuannya Connie Corleone, dan disana ia “menyangkal” dengan cara anak buahnya membunuh
semua Keluarga yang menjadi rival Keluarga Corleone. Sebenarnya film ini berfokus kepada Michael Corleone saja, yang berceritakan mulai dari ia tidak tertarik dengan bisnis keluarganya hingga ia menjadi Don pengganti Ayahnya yang sudah meninggal bahkan pensiun. Karakter lainnya hanya membantu tokoh utama, meskipun sering ditampilkan.
85
Dalam film ini banyak sekali unsur maskulinitas didalamnya. Salah satu Sonny Corleone mengenakan kaos oblong untuk memperlihatkan ototnya yang kekar, adanya sikap penindasan perempuan terhadap laki – laki, dimana perempuan di film tersebut merupakan kaum yang ‘lemah’ dan kaum perempuan merupakan sebagai ‘alat nafsu’ seoramg laki – laki. Film ini dibawah naungan
badan usaha yang dikerjakan oleh Alfran Production dan didistribusikan oleh Paramount Pictures dengan modal untuk pembuatan film tersebut sekitar 6 hingga 7 juta Dollar Amerika Serikat, dan sukses menjadi Box Office selama 10 kali di tahun 1972 dengan meraup keuntungan 133 juta Dollar Amerika Serikat. 4.3 Pembahasan
Dari data yang diperoleh, Peneliti berusaha untuk menjelaskan temuan – temuan dari hasil penelitian. Temuan – temuan ini terkait dari rumusan masalah maskulinitas dalam film The Godfather dengan menggunakan analisis semiotika komunikasi Charles Sanders Peirce. 4.3.1
Analisis Data Scene 5 Film The Godfather
Gambar 4.5 Menunjukan Maskulinitas Menyukai Keserakahan dan Don Corleone Melihat Sonny dengan Galak
Gambar 4.5 Menggambarkan scene 5 Film The Godfather Sumber: Dokumen peneliti
86
Pada scene kelima ini bercerita, saat ini Virgil “The Turk” Sollozo diundang ke kantor perusahaan Don Vito Corleone “Geco Pura Olive Oil Company”. Disini Sollozo meminta Don Corleone untuk teman yang berkuasa
dan uang sebesar satu juta dollar. Dan saat itu juga Don Corleone bertanya untuk keuntungan Keluarga Corleone, Sollozo memberikan sebesar 30%. Don Corleone juga memancing tentang Keluarga Tattaglia berapa banyak keuntungannya, Sollozo menjawab dengan cara perkataan bahwa ia adalah tanggungannya. Sollozo datang dengan rasa kehormatan dia kepada Don Corleone. Namun Don Corleone menolaknya dengan cara halus, bahwa bisnis ini merupakan bisnis yang sangat berbahaya. Sollozo menjawab bahwa ini bisnis yang tidak berbahaya, dan Tattaglia akan menjaminkannya, saat itu Santino langsung berambisi dengan serakahnya dengan menyelak perkataan Sollozo kepada Don Corleone dengan berkata “Ah, kau akan mengatakan kepada kami bahwa Tattaglia menjamin investasi kami?” Seketika itu juga Don Corleone merasa kesal, jengkel terhadap Sonny anaknya, dianggap tidak sopan. Dibawah ini merupakan analisis berdasarkan trikotomi dari scene tersebut
Representamen mengacu kepada legisign dan qualisign.
Object mengacu kepada indeks dan symbol.
Interpretant mengacu dalam rhema dan argument.
Kesimpulan dari analisis berdasarkan trikotomi diatas hal ini dikarenakan
resprestamen, Don Vito Corleone menolak bisnis narkotika, karena dari tanda tersebut Peneliti melihat bahwa jika seorang yang menolak raut wajahnya sudah pasti cenderung menaiki alis ke atas, namun dari segi tidak suka mengelak ketika berhadapan dengan anaknya dengan ekpresi kesal serta galak, segi qualisign adanya hal yang terancam dari Don Vito kepada Sonny, anaknya dengan raut tidak menyukai anaknya dalam hal keserakahan, dan tidak suka ketika diselak perkataanya. Dalam konteks object, dalam pembahasan scene tersebut yang
87
memungkinkan masuk dalam kategori indeks dan symbol. Hal ini dikarenakan dalam film tersebut jika ada suatu scene yang unsur ketidaksukaan dari maskulinitas yaitu menyelak orang ketika berbicara dan bersikap serakah kepada hal material. Dalam memalingkan muka dengan raut muka galak kepada Sonny,
Don Vito Corleone, penanda tersebut merupakan bersifat dari symbol. Dalam intrerpretant penanda ini terdapat indikasi maskulinitas bersifat rhema dan argument. Karena Don Vito Corleone menyambut Virgil Sollozzo dengan mengenakan baju formal, dan bersifat argument. Hal ini disebabkan Don Vito Corleone tidak menyukai orang yang bersifat serakah, sehingga memarahi dia dengan raut wajah yang kesal.Penanda ini terdapat dalam kategori ciri maskulinitas yang sifatnya rhema dimana Don Vito Corleone mengenakan baju formal yaitu jas beserta kelengkapannya untuk menyambut Sollozzo. Dari penanda argument, jika ada seorang tidak menyukai jika perkataannya diselak, sehingga orang itu sudah pasti kesal. 4.3.2
Analisis Data Scene 6 Film The Godfather
Gambar 4.6 Don Corleone Memarahkan Sonny Corleone
Gambar 4.6 Menggambarkan scene 6 Film The Godfather Sumber: Dokumen Peneliti
Scene ini berkelanjutan dari scene sebelumnya. Don yang merasa kesal terhadap Sonny langsung memaggil dia dengan nada kesal dan dari raut wajahnya
88
merasa geram, dan dingin terhadap Sonny anaknya. Ada perkataan dari Don Corleone kepada Sonny, “Ada apa masalah denganmu? Aku pikir otak kau akan 'lembek’ terhadap gadis itu. Jangan pernah memberitahu siapa pun di luar
keluarga apa yang kau pikirkan lagi .” Dibawah ini merupakan analisis berdasarkan trikotomi dari scene tersebut
Representamen mengacu kepada qualisign,
Object mengacu kepada indeks dan symbol.
Interpretant mengacu dalam rhema dan argument.
Kesimpulan dari analisis trikotomi diatas ialah dikarenakan Don Vito Corleone menolak bisnis narkotika, karena dari tanda tersebut Peneliti melihat bahwa jika seorang yang menolak raut wajahnya sudah pasti cenderung menaiki alis ke atas, namun dari segi tidak suka mengelak ketika berhadapan dengan anaknya dengan ekpresi kesal serta galak, segi qualisign adanya hal yang terancam dari Don Vito kepada Sonny, anaknya dengan raut tidak menyukai anaknya dalam hal keserakahan, dan tidak suka ketika diselak perkataanya. Juga diperlihatkan adanya larangan Don Vito untuk mengikuti ikut campur kepada Keluarga lain, dan sikap bahayanya ketika ia menjeleki Sonny dengan menggunakan kekasih gelapnya. Dalam konteks object terdapat suatu scene yang merasa kecewa terhadap Sonny, yang sudah merasakan keserakahan dalam kekusaan dan mendapatkan jaminan. Dalam menatap muka dengan raut muka galak kepada Sonny, Don Vito Corleone, penanda tersebut merupakan bersifat dari symbol. Dalam interpretant penanda ini terdapat dalam kategori ciri maskulinitas yang sifatnya rhema dimana Don Vito Corleone mengenakan baju formal yaitu jas beserta kelengkapannya untuk menatap galak kepada Sonny. Dari penanda
argument, jika ada seorang tidak menyukai jika perkataannya diselak, sehingga
89
orang itu sudah pasti kesal, apalagi jika seseorang tersebut serakah, dan tidak mementingkan dirinya sendiri. 4.3.3
Analisis Data Scene 17 Film The Godfather
Gambar 4.7 Michael Corleone Sedang Merawat Don Corleone di Rumah Sakit Ketika Don Corleone Terluka, Pemukulan Michael Corleone oleh Captain McCluskey
Gambar 4.7 Menggambarkan scene 17 Film The Godfather Sumber: Dokumen Peneliti
Scene ini, dimana Michael sudah tiba ke rumah sakit, tempat Don Vito Corleone dirawat akibat kasus percobaan pembunuhan. Sesampai disana, Michael merasa jengkel dikarenakan tidak ada orang yang menjaga ayahnya. Ia bertanya kepada perawat rumah sakit, dan katanya bahwa anak buahnya diusir oleh polisi, dengan alasan untuk ketenangan rumah sakit. Merasa tidak suka dengan kelakuan polisi tersebut, ia telepon ke kakaknya, Sonny menjelaskan bahwa tidak ada orang yang menjaga Don Corleone, sesudah itu ia hendak membawa Ayahnya ke tempat lain, karena jika tidak dipindahkan, ia beramsumsi ayahnya akan dibunuh. Oleh
90
karena itu ia meminta perawat tersebut untuk membantu ia. Sesudah pindah ke tempat aman, ia melihat dengan waspada dan tatapan dingin. Lalu ia bertemu dengan Enzo si Tukang Roti, dan ia menyuruh keluar rumah sakit untuk menunggu ia. Sebelum meninggalkan rumah sakit, ia kembali ke ruang kosong tempat pindahan Don Corleone dirawat, ia melihat Ayahnya begitu saling mengasihi, Don Corleone pun tersenyum melihat anak kesayangan ia. Michael berjanji akan menjaga ayahnya dan membawa ke tempat aman agar Don Corleone tidak dibunuh. Sesudah itu ia keluar rumah sakit dan ia ditunggu oleh Enzo. Ia menyuruh Enzo, memasukan tangannya ke mantel yang dikenakan oleh Enzo sendiri dan Michael juga melakukan dengan sama. Michael melakukannya untuk beralasan kalau ia memiliki pistol. Dan beberapa saat kemudian, orang suruhan Sollozo ingin datang ke rumah sakit yang bertujuan untuk membunuh Don Corleone tidak jadi datang, karena Michael menjaga pintu rumah sakit bersama Ezio. Seketika itu muncul polisi yang dipimpin oleh seorang polisi korup bernama Captain McCluskey. Seketika juga, Michael langsung dibawa untuk hadapan dengan McCluskey, dan Michael mengatakan bahwa ia tahu McCluskey di suap oleh Sollozzo dengan begitu besar. Mendengar Michael mengatakan itu, McCluskey menyuruh anak buahnya menggenggam tangan Michael, awalnya detektif menyuruh agar tidak melakukan kekerasan terhadap Michael, dikarenakan Michael seorang pahlawan perang, namun tidak mendegarkannya. Michael langsung kena pukulan keras dari McCluskey sehingga ia menderita cukup parah dan menimbulkan patah rahang, serta giginya pada retak. Lalu Tom Hagen muncul, ia menceritakan bahwa ia adalah pengacara Keluarga Corleone, dan di
scene tampak anak buah dari Keluarga Corleone langsung masuk ke rumah sakit untuk
menjaga Don
Corleone.
McCluskey
yang
tidak
suka,
langsung
meninggalkan lokasi tersebut dengan marah – marah. Meskipun audio tidak muncul, Peneliti bisa melihat arah perkataan McCluskey ketika ia pergi, kemunngkinan McCluskey berkata, “Dasar anak jalang !!” jika diartikan ke bahasa Inggris, “Son a bitch !!”
91
Dibawah ini merupakan analisis berdasarkan trikotomi dari scene tersebut
Representamen mengacu kepada qualisign.
Object hanya mengacu kepada symbol.
Interpretant mengacu dalam rhema.
Dalam representament terdapat kategori qualisign dan sinsign dengan mengetahui dari raut wajahnya Don Corleone tersenyum ketika melihat anak kesayangannya Michael, di tambah ketika Michael mengetahui McCluskey disuap oleh Sollozzo, Michael hanya melihat dengan dingin. Dalam object terlihat dapat mengetahui adanya bekas pukulan yang begitu keras dan mendapatkan bekas pukulan tersebut. Dalam interpretant terdapat dalam kategori ciri maskulinitas yang sifatnya
rhema karena Don Vito Corleone merasa senang terhadap Michael, karena salah satu kategori maskulinitas ialah adanya sifat kebapakan. Michael mendapatkan pukulan keras dari McCluskey sehingga peneliti mengetahuinya ketika hasil pukulannya terlihat jelas di pipinya.
92
4.3.4
Analisis Data Scene 23 Film The Godfather
Gambar 4.8 Michael Corleone Dengan Raut Wajah Dingin Mendengarkan Sollozzo Berbicara, Michael Corleone Menembaki McCluskey di Kepalanya.
Gambar 4.8 Menggambarkan scene 23 Film The Godfather Sumber: Dokumen Peneliti Dengan tatapan dingin, Michael kembali ketempat meja makan yang sudah ditunggukan oleh Sollozzo dan McCluskey. Dan dengan tatapan dingin Michael menghiraukan perkataan Sollozzo,
ia sekarang berfokus untuk
membunuh Sollozzo dan McCluskey dengan timing yang tepat. Terdengar suara kereta berhenti, Michael langsung berdiri dengan tatapan mata melotot, ia langsung menembakki Sollozzo dengan suasana dingin dan geram tepat di kepalanya hingga tewas, dan ia juga menembakki McCluskey ke arah lehernya sehingga McCluskey merasakan pendarahan yang cukup hebat, dan ia tidak puas begitu saja ia juga menembakki kepala McCluskey hingga tewas. Seseudah mengetahui bahwa mereka tewas, Michael membuang senjata dan meninggalkan
93
“Louis Restaurant”, seketika itu juga Mic hael tidak kembali lagi ke New York,
dikarenakan ia mengasingkan diri ke Pulau Sisilia. Dibawah ini merupakan analisis berdasarkan trikotomi dari scene tersebut
Representamen mengacu kepada qualisign dan sinsign,
Object mengacu kepada indeks dan icon.
Interpretant mengacu dalam rhema.
Dari non verbal menjelaskan bahwa, Michael dengan wajah dingin mendengarkan perkataan Sollozzo dan merupakan kategori dari sinsign dan sedangkan dalam qualisign Michael menunjukan akan bahwa Michael hanya mendengarkan dengan istilah masuk kanan keluar kiri. Dalam konteks indeks, senjata api yang digunakan Michael mengeluarkan asap dari pistol tersebut, dan mengenai kepala Sollozzo sehingga mengeluarkan darah dari dahinya. Dalam
icon, Michael menembakinya dengan suasana dingin, sehingga dapat dilihat jika Michael berambisius untuk membunuh mereka. Penanda ini terdapat dalam kategori ciri maskulinitas yang sifatnya rhema dimana Michael Corleone mengenakan baju formal yaitu jas dan ia mendengarkan Sollozzo berbicara dengan menatapnya dingin, hal tersebut dilihat dengan cara penglihatannya yang begitu tajam dan tanpa eksperesi ketika ia menembakan ke hadapan mereka.
94
4.3.5
Analisis Data Scene 29 Film The Godfather
Gambar 4.9 Sonny Corleone Kesal Kepada Adik Iparnya, Carlo. Di sebabkan Carlo Sudah Melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga oleh Connie Corleone.
Gambar 4.9 Menggambarkan scene 29 Film The Godfather Sumber: Dokumen Peneliti
Scene selanjutnya merupakan ketika Sonny yang naik darah langsung menemukan Carlo adik iparnya dan melemparkan sebuah batangan kayu ke arah Carlo. Carlo pun berlari menghindari Sonny, dan Sonny pun mengejar dia hingga adanya pemukulan terhadap Carlo dari Sonny, Sonny yang begitu kesal terhadap Carlo langsung menghantam dengan pukulan sehingga membuat Carlo tidak
95
bergutik, bahkan Carlo ditendangi layaknya seekor binatang. Carlo yang sempat menghindari pemukulan Sonny tidak bisa berkutik kembali, dan akhir pemukulan diselesaikan, Sonny meninggalkan Carlo dengan keadaan sekarat. Sonny juga berpesan dengan kata – kata yang bersifat mengancam, yaitu “J ika kau memukul Connie lagi, aku bunuh kau.” Dibawah ini merupakan analisis berdasarkan trikotomi dari scene tersebut
Representamen mengacu kepada qualisign,
Object mengacu kepada indeks.
Interpretant mengacu dalam rhema.
Hal ini dikarenakan object yang diperlihatkan adanya kesakitan dalam pemukulan Carlo dari Sonny dan dari segi qualisign adanya hal yang terancam dari Sonny ke Carlo untuk memukuli adik iparnya sendiri. Hal ini dikarenakan dalam film tersebut jika ada suatu scene yang unsur kekerasan dari maskulinitas yaitu pemukulan serta adanya kata – kata yang sifatnya mengancam untuk membunuh. (indeks). Penanda ini terdapat dalam kategori ciri maskulinitas yang sifatnya rhema dimana Sonny yang begitu kesal dan naik darah terhadap Carlo tidak memberi ampun kepada adik iparnya sendiri Dari verbal diketahui bahwa Sonny sudah mengancam dengan kata – kata, “Kalau kau ganggu adikku lagi, aku bunuh kau.”
96
4.3.6
Analisis Data Scene 32 Film The Godfather
Gambar 4.10 Carlo Melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga oleh Istrinya, Connie Corleone.
Gambar 4.10 Menggambarkan scene 32 Film The Godfather Sumber: Dokumen Peneliti
Scene selanjutnya berada di tempat kediaman Connie, sewaktu ketika ada telepon berdering dan Connie mengangkatnya, ketika Connie mendengar bahwa itu merupakan kekasih gelapnya Carlo yaitu seorang perempuan sundal. Ia menyuruh makan bersama Connie, namun menolaknya dengan alasan tidak lapar. Sebelumnya Carlo menyuruh Connie menyiapkan makanan, Connie yang merasa dipermainkan langsung membuang makanan yang sudah ingin disiapkan, dan Carlo memanaskan dengan kata – kata provokasi, seluruh ruangan menjadi berantakan, dan Carlo menyuruh Connie untuk membersihkannya, namun Connie menolaknya, dan Carlo melepas ikat pinggangnya untuk mencambuk Connie. Dan seketika itu juga Carlo langsung mencambuk Connie berkali – kali. Pada saat itu Connie sedang mengandung anaknya. Dari verbal peneliti mendengar kata,
97
“Sialan”, mengejek dengan provokasi seperti, “Kau Kurus, anak manja, bersihkan itu !” dengan mengeluarkan ikat pinggang
Dibawah ini merupakan analisis berdasarkan trikotomi dari scene tersebut
Repesentamen mengacu kepada qualisign sinsign dan legisign,
Object mengacu kepada indeks dan symbol.
Interpretant mengacu dalam rhema dan argument.
Dalam representament kategori qualisign, Carlo yang begitu kajam mengatakan kata – kata kasar kepada Connie, dan membuat Connie tersinggung bahkan sedih, lalu dari segi sinsign terdapat ketika Connie menyuruh Carlo dengan baik – baik, namun Carlo menolaknya dengan kata – kata yang keras kepada Connie. Dari segi legisign, seorang suami tidak boleh melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebaiknya suami harus menjadi imam yang kuat, tetapi dari segi maskulinitas, kebanyakan pria itu dapat melakukan kekerasan. Lalu dalam lingkup object dalam kategori indeks, akibat dari telepon misterius tersebut mengakibatkan Carlo menjadi kasar kembali, oleh karena itulah Carlo melakukan kekerasan terhadap Connie. Dari segi symbol, Connie yang marah kepada Carlo membuang peralatan pecah belah, sehingga terdengar seperti ada kaca yang pecah, bahkan tempat minum pun pecah ke lantai. Penanda ini terdapat dalam kategori ciri maskulinitas yang sifatnya rhema dimana Carlo yang naik darah, langsung memarahkan kepada Connie dengan ringan tangan dan menggunakan kata – kata yang menyuruh membereskannya, namun Connie menolaknya, membuat Carlo lepas kendali dan mempecuti Connie dengan ikat pinggangnya. Dalam argument rumah merupakan tempat tinggal yang aman, berubah menjadi tempat kekerasan yang merupakan ciri dari maskulinitas.
98
4.3.7
Analisis Data Scene 33 Film The Godfather
Gambar 4.11 Sonny Corleone Sedang Naik Darah.
Gambar 4.11 Menggambarkan scene 33 Film The Godfather Sumber: Dokumen Peneliti
Scene selanjutnya, ketika Mama Corleone menerima telepon dari Connie, tetapi ia tidak bisa mendengar perkataanya. Lalu Mama Corleone menyuruh Sonny untuk menjelaskan perkataan Connie. Sonny berpesan agar tunggu di sana (kediaman Connie). Dengan nada kesal, Sonny langsung menuju ke tempat tersebut. Tom Hagen sempat menolaknya, namun Sonny yang mempunyai sifat darah tinggian, menghiraukan Tom Hagen. Ia pergi menggunakan mobil dan Tom Hagen menyuruh anak buah Keluarga Corleone untuk mengejar Sonny. Sonny melewati jalan tol, sewaktu ketika membayar tol, ia dengan kesal mengklakson mobil didepannya karena sudah membuat berbahaya ia. Sewaktu kembaliannya tiba, tiba – tiba petugas tol menjatuhkan uang kembaliannya dan seketika itu juga pintu di tol tertutup rapat. Dan dari samping sisi tol ia melihat sebuah gerombolan Mafia dari Keluarga lain menodongkan Tommy gun dan menembaki tubuh Sonny
99
hingga berlumuran darah, Sonny yang sempat menghindar langsung keluar mobilnya dan ia tidak bisa lagi menghindarkan dari kepungan musuh Keluarganya, dan saat itu Sonny tewas ditembak oleh musuh Keluarga Corleone. Dibawah ini merupakan analisis berdasarkan trikotomi dari scene tersebut
Representamen mengacu kepada qualisign dan sinsign,
Object mengacu kepada indeks dan symbol.
Interpretant mengacu dalam rhema dan dicsign.
Hal ini dikarenakan dalam representamen mengacu qualisign, Sonny yang geram ketika mendengarkan perkataan Connie yang sudah dipukul oleh Carlo menjadi panas. Namun jika sinsign terdapat di jalan tol yang berisikan “Pay Here”. Dalam indeks tanda yang tampak ialah senjata api dari rival Keluarga
Corleone, yang berisikan dengan peluru tajam dan mengeluarkan asap ketika peluru tersebut sudah dimuntahkan dari senapan tersebut. Dari symbol terdapat palang yang memberitahu kalau scene tersebut berada di jalan Tol Penanda ini terdapat dalam kategori ciri maskulinitas yang sifatnya rhema dimana Sonny ketika sesudah menutup telepon, merasakan matanya melotot sikap kekesalan terhadap Carlo adik iparnya, dari segi dicisign ada rambu lalu lintas yang betuliskan “STOP PAY HERE”.
Dalam scene pula terdapat perkataan Lalu dalam perkataan selanjutnya sesudah menutup telepon, ia langsung naik darah dan berkata, “Dasar anak jadah (sundal).” Bahkan bukan di rumah saja Sonny marah – marah. Sonny juga marah
di jalan tol ketika mobil yang dikendarainya ditutup oleh musuh Keluarga Corleone, dan tetap mengatakan, “Dasar anak jadah.” Hal ini berarti bahwa
maskulintas, bukan memamerkan otot saja, maskulinitas bisa mengatakan kata – kata kasar.
100
4.3.8
Analisis Data Scene 46 Film The Godfather
Gambar 4.12 Michael Corleone Sedang Mendengarkan Pastor Ketika Sedang Membaptis Anaknya Connie Corleone, Willie Cicci Menembaki Don Cuneo.
Gambar 4.12 Menggambarkan scene 46 Film The Godfather Sumber: Dokumen Peneliti
Scene selanjutnya ialah dalam acara pembaptisan anaknya Connie. Acara pembaptisan dengan menggunakan adat Katolik. Michael yang bertatapan dengan dingin mendengarkan pembicaraan pastor. Di lain tempat, para anak buah Keluarg Corleone bersiap – siap untuk melakukan pembantaian semua rival Keluarga Corleone bahkan Moe Greene. Di scene semua rival Keluarga Corloene dibunuh denga brutal, Don Barzini dibunuh oleh Al Neri, Don Cuneo dibunuh oleh Willie Cicci, Don Tattaglia dibunuh oleh Rocco Lampone beserta hitman, Don Straci dibunuh oleh Peter Clemenza, dan terakhir Moe Greene dibunuh oleh hitman suruhan Michael Corleone. Ending scene tersebut berfokus kepada raut wajah Michael Corleone yang dingin. Peneliti hanya menjelaskan kepada Michael Corleone dan Willie Cicci yang membunuh Don Cuneo yang begitu sadis dan bertatapan dengan dingin. Dibawah ini merupakan analisis berdasarkan trikotomi dari scene tersebut
Representamen mengacu kepada qualisign.
Object mengacu kepada indeks dan icon.
101
Interpretant mengacu dalam rhema.
Pada scene ini representamen mengacu sebagai qualisign. Scene dimana ketika Michael yang menjadi godftaher anaknya dari Connie dan Carlo berkata halus dalam pengucapan janji baptis tersebut dengan tenang, dan jika melihat Willie Cicci membunuh Don Cuneo dengan dingin. Dalam object peneliti mengacu dakan kategori icon, hal ini peneliti mengetahui tempat perbaptisan anaknya Connie yaitu di dalam gereja, namun ketika Willie Cicci membunuh Don Cuneo berada di hotel tepatnya bernama Regis Hotel selama empat kali tembakan. Dan kategori indeks, kelihatan jelas kaca – kaca bekas tembakan dari Willie Cicci yang berasal dari pistol ia. Dan ia menatapnya dengan raut muka yang sangat dingin. Lalu dalam segi interpretant terdapat dalam kategori ciri maskulinitas yang sifatnya rhema dimana Michael dan Willie Cicci saling memiliki raut wajah yang begitu dingin. Michael yang sedang menjadi godfather anaknya Connie mendengarkan perkataan pastor dengan dingin, namun Willie Cicci menggunakan raut wajah dingin ketika ia membunuh Don Cuneo.
102
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan Peneliti, maka Peneliti memberikan kesimpulan yakni tentang bagaimana maskulinitas yang terjadi dalam film The Godfather, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Film The Godfather secara keseluruhan atau secara dominan kerap memperhatikan banyaknya adegan – adegan yang mengandung maskulinitas didalamnya. Hampir dari setiap scene The Godfather di isi dengan adegan – adegan konsep maskulinitas seperti, menggunakan pakaian lengkap untuk memperhatikan identitas laki – laki tersebut. 2. Konsep
maskulinitas
yang
ada
didalam
The
Godfather
juga
digambarkan melalui badan macho, kebapakan, suka berkelahi dengan tangan kosong, melakukan kekerasan terhadap kaun yang lemah (seperti perempuan), berwajah dingin, “tuli” (tidak mendengar
perkataan orang), menembak dengan raut wajah dingin, berkata kasar, sayang kepada keluarganya jika ada salah satu keluarganya sedang menghadapi kesusahan, bersikap garang atau galak, tidak menyukai orang jika orang tersebut serakah laki – laki cenderung mengahabisi dengan mata melotot melihat target tersebut.. Selain itu dari segi teknik kamera atau pengambilan gambar memfokuskan kepada laki – laki. 3. Pemilihan pemain seperti Marlon Brando, James Cann, Al Pacino, Robert Duvall yang memilki sikap gentleman, menambah kesan bahwa film tersebut merupakan film dengan genre drama khususnya gangster karena banyak mengadung maskulinitas yang telah menjelaskannya dalam kehidupan keluarga Mafia.
103
4. Dari sisi kebudayaan film The Godfather ini menjelaskan tentang kehidupan Mafia di New York, era tahun 1940an hingga tahun 1950an. Seperti dalam kehidupan Mafia era tersebut, dimana Mafia mempunyai peran penting dalam kekuasaan, namun jika ingin mempertahankan kekuasaan, banyak cara Mafia untuk melakukan kekerasan, bahkan berunjung dalam kematian dimana – mana, seperti pembunuhan, perampokan, bisnis ilegal seperti perjudian, prostitusi ilegal, bahkan di film The Godfather sendiri terdapat penawaran bisnis narkotika. Namun jika salah satu bisnis ditolak, maka akibatnya adanya terdapat saingan di keluarga Mafia tersebut. 5. Film The Godfather dibuat adanya unsur maskulinitas didalamnya dikarenakan dalam film The Godfather ini behasil menembus kritikan positif oleh para kritikus film, bahkan film tersebut menjadi film dengan genre gangster terbaik sepanjang dunia perfilman.
104
5.2 Saran
Berdasarkan hasil dari penelitian mengenai maskulinitas dalam film The Godfather ini, maka peneliti ingin memberikan saran sebagai berikut: 1
Akademis Untuk saran akademis terdapat menjelaskan bahwa film yang terkait dengan maskulinitas dalam menggunakan analisis semiotika harus diperbanyak lagi. Tentunya dengan analisis semiotika menurut beberapa ahli dan tentunya nanti akan dapat mengungkap bahwa maskulinitas tidak hanya dari perfilman saja, melainkan dapat berupa dari periklanan, maupun di program – program lainnya.
2
Praktisi
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan maupun refrensi bagaimana
seharusnya
film
sebagai
media
massa
dapat
memberikan pesan mengenai suatu fenomena sosial.
Untuk saran kepada praktisi menjelaskan kepada khususnya para pelaku industri perfilman, film ini dapat menjadi inspirasi para sineas film lainnya untuk lebih memperhatikan konsep, merancang dan mengonstruksi sebuah film dan harus mengetahui maskulinitas tersebut dalam konteks Amerika Serikat pada tahun 1940an hingga 1950an.
105
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. (2006). Metodelogi Penelitian. Yogyakarta: Bina Aksara. Beaver, F. E. (2006). Dictionary of Film Terms: The Aesthetic Companion to Film Art. New York: Peter Lang Pubishing Inc. Beynon, J. (2002). Masculinites and Culture. Buckingham: Open University Press. Bordwell, D., Thompson, K., & Smith, J. (2017). Film Art: An Introduction 11th Edition. New York: McGraw-Hill Education. Creswell, J. W. (2015). Penelitian Kualitatif & Desain Riset: Memilih di Antara Lima Pendekatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Creswell, J. W. (2016). Research Design: Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan Campuran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Demartoro, A. (2010). Konsep Maskulinitas Dari Jaman ke Jaman dan Citranya dalam Media. Hamidi. (2010). Metode Penelitian Kualitatif. Malang: UMM Press. Kaelan. (2009). Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta: Paradigma. Kiesling, S. F. (2005). Homosocial Desire in Men's Talk: Balancing and
Recreating Cultural Discourses of Masculinity. United Kingdom: Language in Society. Mcquail, D. (2011). Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika. Muhaimin, A. (2015, Agustus 14). KONTROVERSI PESAN DAKWAH DALAM FILM NOAH : ANALISIS SEMIOTIK MODEL CHARLES SANDER PEIRCE. Diambil kembali dari UIN Sunan Ampel Surabaya: http://digilib.uinsby.ac.id/2782/ Patton, M. Q. (2002). Qualitative Research and Evaluation Methods, 3rd Edition. Thousand Oaks, California: Sage Publication, Inc.
106
Pictures, P. (2012, Januari 1). THE PARAMOUNT STORY. Diambil kembali dari Paramount Pictures Website: https://www.paramount.com/100-yearsparamount/paramount-story Puzo, M. (2017). The Godfather (Sang Godfather) (Vol. I). Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia: PT. Gramedia Pustaka Utama. Dipetik November 18, 2017 Rusmana, D. (2014). Filsafat Semiotika: Paradigma, Teori, dan Metode Interpretasi Tanda dari Semiotika Struktural Hingga Dekonstruksi Praktis. Bandung: Peenerbit Pustaka Setia. Rutherford, J. (2014). Male Order: Menguak Maskulinitas. Yogyakarta: Jalasutra. Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. Bandung: CV. Alfabeta.
Semiotika dalam Riset Komunikasi. Bogor, Jawa Barat: Penerbit Vera, N. (2014). Ghalia Indonesia. Wikipedia. (2017, Desember 11). Wikipedia. Diambil kembali dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas: https://id.wikipedia.org/wiki/Film_sebagai_Media_Komunikasi_Massa
107