IMPLEMENTASI SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH PADA PEMERINTAH DAERAH MENUJU TERWUJUDNYA KEANDALAN AKUNTABILITAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
Sejarah perkembangan Sistem Pengendalian Intern yang seperti dikenal sekarang ini, awalnya dipicu oleh banyaknya temuan kecurangan pada profesi akuntansi global yang merugikan stakeholder – terutama sejak kasus Enron, Worldcom, Xerox, Tyco, Global Crossing dan lainnya di tahun 2001 – dan dengan diterapkannya Sarbanes-Oxley Act menuntut pengendalian internal untuk menyajikan keyakinan yang memadai yang benar benar mencerminkan adanya proses untuk menjaga aset perusahaan, menyajikan informasi yang diandalkan dan akurat, mendukung dan meningkatkan efisiensi operasional, dan mendorong keselarasan dengan kebijakan manajemen.
Sejarah perkembangan SPIP Sektor Korporasi adalah sebagai berikut :
Bennett (1930) (Arti Sempit Internal check) dengan tujuan untuk Deteksi penyimpangan/ fraud > AICPA (1949), SEC (Lebih dari internal check, yaitu dengan penambahan Rencana organisasi,Metode dan upaya koordinasi) > dengan tujuan untuk Perlindungan aset, Keandalan data akuntansi, Efisiensi operasi dan Ketaatan > CAP (1958) – AICPA (1973) (Accounting & Administrative Control) dengan tujuan untuk Perlindungan aset, Keandalan data akuntansi, Efisiensi operasi, dan Ketaatan > AICPA (1988) – SAS 55 ( Lingkungan Pengendalian, Sistem Akuntansi, dan Prosedur Pengendalian) dengan tujuan untuk Perlindungan aset, Keandalan data akuntansi, dan Deteksi fraud > COSO (1992) – GAO 2001 ( Proses yang dipengaruhi oleh manusia) dengan tujuan untuk Efektivitas & Efisiensi, Keandalan Laporan Keuangan, dan Ketaatan)
Sejumlah kerangka acuan pengendalian telah diajukan dan dikembangkan untuk membantu perusahaan dalam menciptakan sistem pengendalian internal yang baik, diantaranya COBIT, COSO Internal Control Framework, dan COSO Enterprise Risk Management.
Satu temuan yang penting dari kerangka acuan dan temuan penelitian sebelumnya adalah pentingnya analisis proses bisnis untuk perusahaan dan proses pemberian pelayanan public untuk organisasi pemerintah. Proses bisnis atau proses pemberian pelayanan public merupakan fokus utama dalam menilai perancangan dan pengelolaan pengendalian internal. Doylea, Geb, dan McVay (2006) menemukan bahwa salah satu penyebab kelemahan material pengendalian internal menurut section 302 dan 404 Sarbanex-Oxley Act adalah kompleksitas proses operasi. Sementara Namiri dan Stojanovic (2007) mengemukakan bahwa rancangan pengendalian harus mengendalikan ke arah mana sebuah proses bisnis dilaksanakan. Sebuah perancangan ulang proses bisnis pun (business process reengineering) atau proses pemberian pelayanan publik, menyebabkan pemutakhiran kembali penilaian risiko pada proses bisnis atau proses pemberian pelayanan public tersebut, yang menggiring ke sebuah pengendalian yang baru atau terbaharui, termasuk pengujiannya.
Untuk menjawab tantangan terhadap makin kompleknya proses pembarian pelayanan kepada masyarakat (publik) yang merupakan amanat pemerintah sebagaimana tertuang dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa:"Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap Warga Negara Indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi…", Pemerintah Republik Indonesia menerbitkan Undang-undang tentang keuangan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah yang merupakan aturan pelaksanaan atau petunjuk teknis terhadap Undang-undang di bidang keuangan Negara tersebut.
Undang-undang di bidang keuangan Negara, khususnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, membawa implikasi perlunya sistem pengelolaan keuangan negara yang lebih akuntabel dan transparan. Hal ini baru dapat dicapai jika seluruh tingkat pimpinan menyelenggarakan kegiatan pengendalian atas keseluruhan kegiatan di instansi masing-masing. Dengan demikian maka penyelenggaraan kegiatan pada suatu Instansi Pemerintah, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, sampai dengan pertanggungjawaban, harus dilaksanakan secara tertib, terkendali, serta efisien dan efektif. Untuk itu dibutuhkan suatu sistem yang dapat memberi keyakinan memadai bahwa penyelenggaraan kegiatan pada suatu Instansi Pemerintah dapat mencapai tujuannya secara efisien dan efektif, melaporkan pengelolaan keuangan Negara secara andal, mengamankan aset negara, dan mendorong ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.
Sistem ini dikenal sebagai Sistem Pengendalian Intern yang dalam penerapannya harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan serta mempertimbangkan ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi Instansi Pemerintah tersebut.
Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara memerintahkan pengaturan lebih lanjut ketentuan mengenai sistem pengendalian intern pemerintah secara menyeluruh dengan Peraturan Pemerintah.
Sistem Pengendalian Intern dalam Peraturan Pemerintah ini dilandasi pada pemikiran bahwa Sistem Pengendalian Intern melekat sepanjang kegiatan, dipengaruhi oleh sumber daya manusia, serta hanya memberikan keyakinan yang memadai, bukan keyakinan mutlak.
Berdasarkan pemikiran tersebut, dikembangkan unsur Sistem Pengendalian Intern yang berfungsi sebagai pedoman penyelenggaraan dan tolok ukur pengujian efektivitas penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern. Pengembangan unsur Sistem Pengendalian Intern perlu mempertimbangkan aspek biaya- manfaat (cost and benefit), sumber daya manusia, kejelasan criteria pengukuran efektivitas, dan perkembangan teknologi informasi serta dilakukan secara komprehensif.
Perkembangan Sistem Pengendalian Intern (SPI) di Indonesia adalah dimulai dengan diterbitkannya Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan dan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1989 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Melekat, Keputusan Menteri PAN No. 30 Tahun 1994 tentang petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Melekat yang diperbaharui dengan Keputusan Menteri PAN No. KEP/46/M.PAN/2004:
Adapun Unsur-unsur Waskat adalah :
Pengorganisasian
Personil
Kebijakan
Perencanaan
Prosedur
Pencatatan
Pelaporan
Reviu intern
Karena Pengawasan Melekat masih merupakan alat atau Tools dan bersifat Statis serta tidak bisa mengikuti perkembangan jaman, terutama perkembangan teknologi dan informasi, maka diperlukan suatu Sistem Pengendalian Intern yang diberlakukan di Pemerintahan atau Sektor Publik, maka lahirlah Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) yang merupakan adopsi dari COSO Internal Control Framework dengan dilakukan penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik pemerintahan di Indonesia. SPIP ini bersifat integrated dan merupakan suatu proses yang terus menerus dilakukan oleh Instansi Pemerintah serta bersifat dinamis dan mengikuti seiring dengan perkembangan jaman.
Alasan atau latar belakang diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP adalah sebagai petunjuk pelaksanaan dari Paket Reformasi Keuangan Negara menuju Good Governance atau tata kelola yang baik dan Good Geverment.
Unsur Sistem Pengendalian Intern dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 mengacu pada unsur Sistem Pengendalian Intern yang telah dipraktikkan di lingkungan pemerintahan di berbagai negara, yang meliputi:
a. Lingkungan pengendalian
Pimpinan Instansi Pemerintah dan seluruh pegawai harus menciptakan dan memelihara lingkungan dalam keseluruhan organisasi yang menimbulkan perilaku positif dan mendukung terhadap pengendalian intern dan manajemen yang sehat.
b. Penilaian risiko
Pengendalian intern harus memberikan penilaian atas risiko yang dihadapi unit organisasi baik dari luar maupun dari dalam.
c. Kegiatan pengendalian
Kegiatan pengendalian membantu memastikan bahwa arahan pimpinan Instansi Pemerintah dilaksanakan. Kegiatan pengendalian harus efisien dan efektif dalam pencapaian tujuan organisasi.
d. Informasi dan komunikasi
Informasi harus dicatat dan dilaporkan kepada pimpinan Instansi Pemerintah dan pihak lain yang ditentukan. Informasi disajikan dalam suatu bentuk dan sarana tertentu serta tepat waktu sehingga memungkinkan pimpinan Instansi Pemerintah melaksanakan pengendalian dan tanggung jawabnya.
e. Pemantauan
Pemantauan harus dapat menilai kualitas kinerja dari waktu ke waktu dan memastikan bahwa rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya dapat segera ditindaklanjuti.
Definisi sistem pengendalian intern menurut Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 pasal 1 disebutkan bahwa "Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan".
Sistem pengendalian intern pemerintah didefinisikan " Sistem Pengendalian Intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah".
Pasal 58 UU No. 1 Tahun 2004 menyatakan bahwa "Dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan system pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh. Sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan peraturan pemerintah".
Sebagai tindak lanjut, Pemerintah telah menetapkan PP 60 Tahun 2008 tentang SPIP yang berlaku bagi penyelenggaraan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam pasal 60 PP 60 Tahun 2008 disebutkan bahwa ketentuan penyelenggaraan SPIP di tingkat Pemerintah Daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah dengan tetap berpedoman pada PP 60 Tahun 2008.
SPIP secara perspektif dapat digambarkan sebagai berikut :
Masing-masing unsur SPIP itu mempunyai beberapa sub unsur, dengan gambaran dan Penjelasan masing-masing sub unsur adalah sebagai berikut :
1. Lingkungan Pengendalian
Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menciptakan dan memelihara lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk penerapan Sistem Pengendalian Intern dalam lingkungan kerjanya, melalui :
a. penegakan integritas dan nilai etika;
b. komitmen terhadap kompetensi;
c. kepemimpinan yang kondusif;
d. pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan;
e. pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat;
f. penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber daya manusia;
g. perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif; dan
h. hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait.
2. Penilaian Resiko
Pimpinan Instansi Pemerintah wajib melakukan penilaian risiko. Penilaian risiko sebagaimana dimaksud terdiri atas :
a. identifikasi risiko; dan
b. analisis risiko.
Dalam rangka penilaian risiko pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan:
a. tujuan Instansi Pemerintah; dan
b. tujuan pada tingkatan kegiatan, dengan berpedoman pada peraturan perundang- undangan.
3. Kegiatan Pengendalian
Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menyelenggarakan kegiatan pengendalian sesuai dengan ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi Instansi Pemerintah yang bersangkutan. Penyelenggaraan kegiatan pengendalian sekurang- kurangnya memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. kegiatan pengendalian diutamakan pada kegiatan pokok Instansi Pemerintah;
b. kegiatan pengendalian harus dikaitkan dengan proses penilaian risiko;
c. kegiatan pengendalian yang dipilih disesuaikan dengan sifat khusus Instansi Pemerintah;
d. kebijakan dan prosedur harus ditetapkan secara tertulis;
e. prosedur yang telah ditetapkan harus dilaksanakan sesuai yang ditetapkan secara tertulis;
f. kegiatan pengendalian dievaluasi secara teratur untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut masih sesuai dan berfungsi seperti yang diharapkan.
Kegiatan pengendalian terdiri atas:
a. reviu atas kinerja Instansi Pemerintah yang bersangkutan;
b. pembinaan sumber daya manusia;
c. pengendalian atas pengelolaan sistem informasi;
d. pengendalian fisik atas aset;
e. penetapan dan reviu atas indikator dan ukuran kinerja;
f. pemisahan fungsi;
g. otorisasi atas transaksi dan kejadian yang penting;
h. pencatatan yang akurat dan tepat waktu atas transaksi dan kejadian;
i. pembatasan akses atas sumber daya dan pencatatannya;
j. akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya;
k. dokumentasi yang baik atas Sistem Pengendalian Intern serta transaksi dan kejadian penting.
4. Informasi dan Komunikasi
Pimpinan Instansi Pemerintah wajib mengidentifikasi, mencatat, dan mengkomuni-kasikan informasi dalam bentuk dan waktu yang tepat. Komunikasi atas informasi wajib diselenggarakan secara efektif.
Untuk menyelenggarakan komunikasi yang efektif, pimpinan Instansi Pemerintah harus sekurang-kurangnya:
a. menyediakan dan memanfaatkan berbagai bentuk dan sarana komunikasi;
b. mengelola, mengembangkan, dan memperbarui sistem informasi secara terus menerus.
5. Pemantauan Pengendalian Intern
Pimpinan Instansi Pemerintah wajib melakukan pemantauan Sistem Pengendalian Intern. Pemantauan Sistem Pengendalian Intern dilaksanakan melalui pemantauan berkelanjutan, evaluasi terpisah, dan tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya.
Pemantauan berkelanjutan, diselenggarakan melalui kegiatan pengelolaan rutin, supervisi, pembandingan, rekonsiliasi, dan tindakan lain yang terkait dalam pelaksanaan tugas.
Evaluasi terpisah, diselenggarakan melalui penilaian sendiri, reviu, dan pengujian efektivitas Sistem Pengendalian Intern. Evaluasi terpisah dapat dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah atau pihak eksternal pemerintah. Evaluasi terpisah dapat dilakukan dengan menggunakan daftar uji pengendalian intern.
Tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya, harus segera diselesaikan dan dilaksanakan sesuai dengan mekanisme penyelesaian rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya yang ditetapkan.
Akuntabilitas secara filosofik timbul karena adanya kekuasaan yang berupa amanah yang diberikan kepada orang atau pihak tertentu untuk menjalankan tugasnya dalam rangka mencapai tujuan yang ditetapkan, serta berdasarkan visi, misi, dan strategi. Dari pengertian di atas tersirat bahwa pihak yang diberikan amanah harus memberikan laporan atas tugas yang telah dipercayakan kepadanya, dengan mengungkapkan segala sesuatu yang dilakukan, dilihat, ataupun dirasakan, yang mencerminkan keberhasilan dan kegagalan. Dengan kata lain laporan akuntabilitas bukan sekedar laporan kepatuhan dan kewajajaran pelaksanaan tugas sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tetapi juga termasuk berbagai indikator kinerja yang dicapai, di samping kewajiban untuk menjawab pertanyaan mendasar tentang apa yang harus dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini si penerima amanah harus dapat dan berani mengungkapkan dalam laporannya semua kegagalan yang terjadi berkenaan dengan kebijakan yang teIah dikeluarkan oleh pihak yang lebih tinggi.
Secara analitik, akuntabilitas dapat pula dilihat dari segi internal dan eksternal. Secara internal, dapat pula diidentifikasi akuntabilitas spiritual seseorang. Dalam hubungan ini akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban orang seorang kepada Tuhannya. Hal ini adalah sesuai dengan tata nilai yang terkandung dalam konstitusi. Akuntabilitas ini meliputi pertanggungjawaban sendiri mengenai segala sesuatu yang dijalankannya, hanya diketahui dan difahami yang bersangkutan. Semua tindakan akuntabilitas spiritual didasarkan pada hubungan orang bersangkutan dengan Tuhan. Namun apabila betul-betul dilaksanakan dengan penuh iman dan taqwa, kesadaran akan akuntabilitas spiritual ini akan memberikan pengaruh yang sangat besar pada pencapaian kinerja kelembagaan. Itulah sebabnya mengapa seseorang dapat melaksanakan pekerjaan dengan hasil yang berbeda dengan orang lain, atau mengapa suatu instansi menghasilkan kuantitas dan kualitas yang berbeda terhadap suatu pekerjaan yang sama-sama dikerjakan oleh instansi lainnya walaupun uraian tugas pokok dan fungsinya telah nyata-nyata dijelaskan secara rinci.
Akuntabilitas dapat pula dilihat dari sisi eksternal, yaitu akuntabilitas orang tersebut kepada lingkungannya baik lingkungan formal (atasan bawahan) maupun lingkungan masyarakat. Kegagalan seseorang memenuhi akuntabilitas eksternal mencakup pemborosan waktu, pemborosan sumber dana dan sumber-sumber daya pemerintah yang lain, kewenangan, dan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Akuntabilitas eksternal lebih mudah diukur mengingat norma dan standar yang tersedia rnemang sudah jelas. Kontrol dan penilaian dari faktor ekternal sudah ada dalam mekanisme yang terbentuk dalam suatu sistem dan prosedur kerja. Seorang atasan akan memantau pekerjaan bawahanya dan akan memberikan teguran apabila terjadi penyimpangan. Rekan kerja akan saling mengingatkan dalam pencapaian akuntabilitas masing-masing. Hal ini dapat terwujud dikarenakan ada saling ketergantungan di antara mereka. Masyarakat dan lembaga-Iembaga pengontrol dan penyeimbang akan bersuara dengan lantang apabila pelayanan yang diterimanya dari birokrasi tidak seperti yang diharapkannya. Dengan penerapan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah maka keberpihakan birokrasi pada kepentingan masyarakat akan menjadi lebih besar serta dapat mempertahankan posisi netralnya. Akuntabilitas kinerja instansi pemerintah ini juga akan menjadi semacam sistem pengendalian internal bagi birokrasi.
Implementasi SPIP dimulai dari Sosialisasi dan Bimbingan Teknis SPIP untuk menyamakan persepsi dan pemahaman tentang apa itu SPIP, mengapa perlu SPIP dan bagaimana menerapkannya dalam organisasi Pemerintah, khususnya pemerintah daerah.
Setelah itu, baru dilakukan pemetaan atau Diagnostik Asessment terhadap SPIP yang ada di Pemerintah daerah, tahap selanjutnya adalah Norming, yaitu pembangunan infrastruktur SPIP, setelah itu dilakukan tahap Forming atau Internalisasi terhadap SPIP dan tahap terakhir dari serangkaian tahap implementasi penyelenggaraan SPIP adalah tahap pemantauan dan evaluasi terhadap SPIP atau yang kita kenal dengan pengembangan berkelanjutan.
Adapun gambaran implementasi penyelenggaraan SPIP pada Pemerintah Daerah adalah sebagai berikut :
GOOD GOVERNANCE (AKUNTABILITAS KEUANGAN NEGARA) pada pemerintah daerah akan berhasil bila tujuan dari SPIP di pemerintah daerah tercapai yaitu Efektifitas & Efisiensi Penyelenggaraan Pemerintahan, Keandalan Laporan Keuuangan, Pengamanan Aset Negara dan Ketaatan Terhadap Peraturan Peraturan Perundang-undangan.
Tujuan SPIP pada Pemerintah Daerah akan tercapai dengan diimplementasikannya unsur-unsur dan sub unsur-sub unsur SPIP dari CSA di lingkungan Pemerintah Daerah yaitu Lingkungan Pengendalian, Penilaian Resiko, Kegiatan Pengendalian, Informasi dan Komunikasi, dan Pemantauan Sistem Pengendalian Intern.
Untuk mengimplementasikan proses sistem pengendalian intern pemerintah di lingkungan Pemerintah Daerah, yang terdiri dari unsur dan sub unsur diatas, maka ditempuh tahap-tahap implementasi penerapan SPIP pada lingkungan Pemerintah Daerah yaitu Langkah pertama dengan memberikan PEMAHAMAN atau KNOWING kepada aparat pemerintah daerah dengan cara melakukan sosialisasi dan pendidikan dan latihan serta bimbingan teknis yang berkaitan dengan SPIP kepada seluruh level manajemen dan pegawai di lingkungan Pemerintah Daerah.
Langkah selanjutnya adalah dengan melakukan PEMETAAN atau MAPING dengan cara melakukan Diagnostic Aseestment terhadap unsur dan sub unsur SPIP yang ada dan dimiliki serta diterapkan oleh pemerintah daerah dan menilai keandalan unsur dan sub unsur SPIP tersebut serta menyarankan perbaikan-perbaikan terhadap unsur dan sub unsur SPIP yang lemah tersebut dengan cara membangun infrastruktur yang dibutuhkan disesuaikan dengan kondisi pendanaan, manfaat dan pengendalian yang sudah terbangun.
Setelah dilakukan Diagnostic Asestment, langkah berikutnya adalah NORMING yaitu pembangunan infrastruktur pengendalian yang dibutuhkan dalam rangka memperkuat SPIP di lingkungan Pemerintah Daerah, sehingga tujuan dari implementasi SPIP di Pemerintah Daerah yang bersangkutan terwujud.
Kemudian, setelah infrastuktur terbentuk, langkah selanjutnya adalah FORMING yaitu menerapkan pertama kali (inisiasi), memasang dan menggunakan infrastruktur tersebut pada lingkungan Pemerintah Daerah.
Langkah Terakhir adalah dengan PEMANTAUAN dan EVALUASI yaitu melakukan pemantauan kembali dan evaluasi terhadap implementasi dan penerapan infrastruktur yang sudah dibangun dan diterapkan tersebut di lingkungan Pemerintah Daerah untuk dinilai dan diberikan feedback atas inplementasi SPIP tersebut di pemerintah daerah.
Waktu yang diperlukan untuk implementasi SPIP di Pemerintah Daerah atau action plannya diperkirakan selama 5 (lima) Tahun.
Akhirnya, sebagai penutup diharapkan dengan terbangunnya SPIP di lingkungan Pemerintah Daerah yang kuat dan memadai, maka Good Governance (tata kelola) Pemerintah Daerah yang baik dan Good Goverment serta Akuntabilitas Keuangan Daerah tercapai, yang ditandai tercapainya Visi dan Misi serta Tujuan Pemerintah Daerah, keandalan laporan keuangan dengan memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian, serta semakin menurunnya dan kecilnya peluang korupsi dan penyalahgunaan jabatan atau wewenang, serta KKN dalam penyelenggaraan kegiatan pembangunan dan pelayanan publik di Pemerintah Daerah.