Ideologi Sastra Pasca Reformasi (Capital and Cyber Space)*
Zulfa Nasrulloh**
Memahami ideologi dalam karya sastra, dalam hal ini prosa, saya mulai petualangan literasi saya melalui pembacaan bersih, pembacaan sadar dan ketidaksadaran saya. Pada pembacaan demikian, akan ditemukan kesubjektifitasan yang terkadang diperlukan di zaman serba interpensi ini. Menurut saya, Ideologi adalah sebuah jembatan yang diciptakan seseorang untuk membawa beberapa orang yang ia sayangi atau barang-barang yang dinilai penting ke sebuah tempat dimana jembatan itu berakhir (diarahkan).
Selanjutnya saya akan hadirkan sebuah komparasi sederhana pada teks baku yang berlaku di Indonesia. Yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa :
ide·o·lo·gi /idéologi/ n 1 kumpulan konsep bersistem yg dijadikan asas pendapat (kejadian) yg memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup: dl pertemuan itu penatar menjelaskan dasar -- negara; 2 cara berpikir seseorang atau suatu golongan: hal itu menjadi makanan empuk bagi -- asing yg ingin menginfiltrasi kita; 3 paham, teori, dan tujuan yg merupakan satu program sosial politik: -- komunis menjadi pegangan bagi negara-negara yg selama ini disebut Blok
Jika dilihat pengertian saya dengan pengertian baku di atas, sampailah kita pada benturan yang sama. Sistem yang dimaksud KBBI adalah jembatan yang saya maksudkan. Arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup yang dimaksud KBBI adalah metafora perjalanan aku lirik membawa orang-orang dan barang-barang yang ia sayangi menju suatu tempat yang dinilai aman dan patut dituju dengan sebuah jembatan (sistem tertentu).
Selanjutnya pemahaman ideologi tersebut, tentunya akan membawa kita pada berbagai jembatan, atau sistem yang konteksnya berbeda-beda. Pembatasan makalah ini akan berbicara tentang ideologi sastra yang pada bagiannya lebih berfokus pada prosa.
Keobjektifitasan sebuah pendapat dapat terjadi ketika berkumpul dengan pendapat lain dalam sebuah ruang pembicaraan yang sama. Sejalan dengan itu, kita hadirkan sebuah pertanyaan. Apa yang dimaksud dengan ideologi dalam sastra?
Tentu saya akan menjawab, ideologi dalam sastra adalah sastra sebagai sebuah tujuan atau tempat berlangsungnya para penulis dan tulisan sastra, memiliki jembatan tertentu yang dengan jembatan itu sastra tersebut dapat dicapai. Sastra sebagai tempat sebenarnya berdasar pada destinasi sastra dari satu masa ke masa lainnya. Mau tidak mau, sastra selalu bergerak dari satu makam ke makam lainnya.
Terkait dengan penjelasan di atas, dua pakar akan coba saya hadirkan dalam makalah ini, sebab ketertarikan saya membahas ideologi sastra berangkat dari apa yang mereka sampaikan. Kedua pakar itu yakni Jean Paul Sartre (1905-1980) dan Roland Barthes (1915-1980). Mereka membahas sebuah permasalahan tentang pengertian susastra (baca: karya sastra serius) dan persinggungannya dengan zaman yang terus bergerak. Barangkali kemiripan ini (entah disadari atau tidak) juga dibahas oleh Michael Riffaterre (1966) tentang hypogram, dan A. Teeuw (1983) dalam "Sastra dalam Ketegangan antara Tradisi dan Pembaruan".
Menurut Jean Paul Sartre dalam What is Literature? (1948), susastra kontemporer harus berpaling dari estesis-isme dan permainan bahasa, menuju pada komitmen sosial dan politik. Seorang penulis harus menjadi cermin dunia melalui karyanya. Dalam hal ini, Sartre membatasi pada wilayah prosa, sebab puisi masih bisa bermain di wilayah eksplorasi bahasa dan estesis-isme. Prosa yang baik adalah yang menggunakan bahasa untuk menamai, menggambarkan, dan mengungkapakan. Pandangan Sartre terhadap prosa puitik modern adalah prosa yang memiliki kanker kata-kata. Prosa tersebut menggunakan obscure harmonics (harmoni gelap) sebagai kontradiksi dari makna yang jelas. Maka dapat disimpulakan bahwa Sartre menghendaki penggunaan bahasa pada prosa mestilah efisien dan transparan.
Berbeda dengan Roland Barthes dalam Writing Degree Zero (1953) dan Critical Essays (1964), berbicara tentang susastra, Barthes memahami susastra sebagai meditasi tentang bahasa dan pertemuannya dengan bahasa. Sastra berkolerasi vital dengan sejarah dan masyarakat. Seperti pada tahun 1848 ketika kaum borjuis mengembangkan ideologinya hingga para penulis mengalah dan terjerumus pada ideologi tersebut, atau beberapa menolak hingga terbuang dalam wilayah politik, dan akhirnya sastra yang maju pada saat itu menempati wilayah marjinal.
Pertentangannya dengan Sartre terletak pada pandangan tentang sastra yang sadar-diri (self-conscious). Barthes tidak sepakat jika sebuah karya yang menggunakan bahasa yang tidak keluar dari batas kesadaran bahasa (yakni melakukan eksplorasi bahasa dan menganut bahasa yang estesis-isme) itu dinamakan kanker kata-kata. Barthes sangat memahami bahwa karya tersebut merupakan sebuah cara yang dipilih penulis kaitannya dengan kemungkinan historis yang tersedia. Bahasa penulis adalah sesuatu yang diwarisinya, dan gayanya adalah personal, mungkin jaringan bawah sadar dari obsesi dan kebiasaan verbal, tetapi cara dalam menuliskannya, merupakan ecriture (baca: sikap kebebasan penulis yang berada di wilayah pribadinya dan realitasnya, yang hakikatnya adalah moralitas bentuk atau kontras bahasa dan gaya yang dipilih si penulis).
Jadi menurut Barthes Susastra serius mesti mempertanyakan dirinya sendiri dan konvensi yang dengannya kebudayaan menata diri. Lantas tidak ada tulisan yang revolusioner selamanya, karena setiap pelanggaran atas konvensi bahasa dan susastra akhirnya menguat kembali sebagai cara-cara baru sastra. Pada bagian ini dengan sadar Barthes menyadari akan radikalnya ketegangan tradisi kesusastraan dan pembaruan di dalamnya.
Ringkas pendapat dari dua pakar tersebut, bagi Sartre susastra yang ideologis itu komitmen sosial dan politiknya terbaca jelas (melalui bahasa, yakni menggunakan konvensi bahasa yang hadir dari masyarakat dan dikenal oleh masyarakat). Bagi Barthes, setiap susastra adalah ideologis. Baik ketika melakukan pelanggaran konvensi bahasa dan kesusastraannya sendiri. Dalam arti lain Barthes menyarankan penekanan Sartre tentang persinggungan penulis pada dua arah, yakni menuju masyarakat dan kebiasaan susastra itu sendiri (Paragraf ini adalah pembacaan saya atas pendapat Sontag dalam Jonathan Culler Barthes: a Very Short Introduction (xiv:2002)).
Menurut Seno Gumira Ajidarma dalam esainya dalam Jurnal Kritik berjudul Metasusastra dan Ideologi Huruf (139:2012), menjelaskan pendapat lain Barthes yang memungkinkan susastra yang dimaksud Sartre akan bersifat readerly (lisible), sedangkan yang susastra yang dimaksud Barthes adalah writerly (scriptible). Keduanya terletak pada wilayah pembacaan, dimana susastra yang writerly akan melawan pembacaan. Seperti kita ketahui, konsep mitos dalam pembacaan tahap kedua sebuah karya sastra rupanya sejalan dengan konsep melawan pembacaan ini. Pada tahap pertama membaca karya sastra, mitos hanya sebagai konotasi. Konotasi ini lah yang menempatkan tulisan sebagai mitologi yakni konsepsi Barthes pada ideologi. Lantas pembacaan pertama itu menunjukan bagaimana praksis ideologi terjadi, lalu terjadilah pembelajaran historis sebagai upaya melakukan demistifikasi ideologi suatu kebudayaan yang memperlihatkan asumsinya sebagai sebuah ideologi. Ketika sebuah kebudayaan dimunculkan asumsinya, maka kebudayaan itu bukan sekedar mitologi, tapi sebuah ideologi.
Pembahasan Seno dalam esainya berbicara tentang ideologi huruf yang dibentuk Nukila Amal dalam cerpennya yang berjudul Hari Anya Jatuh Cinta yang dimuat di Koran Tempo, Minggu 29 Agustus 2010. Nukila bercerita tentang tokoh Anya yang jatuh cinta pada huruf-huruf yang hadir di dunianya. Nukila mengeksplorasi "huruf" yang secara realitas berseliweran di dunia ini, huruf di buku-buku, papan iklan, merek dagang, perintah atasan, pengumuman, televisi, koran, semua dibentuk oleh huruf-huruf. Nukila mengeksplorasi huruf bukan hanya kaitannya huruf secara visual, yakni huruf kecil dan kapital, huruf b yang ketika bercermin menjadi d, atau huruf d adalah anak dari huruf D. Tapi Nukila juga menyinggungkan huruf tersebut dengan makna dari segala sifat huruf tersebut yang tentunya merespon realitas sosial Nukila. Misalkan pertentangan huruf kapital dan huruf kecil yang Seno sebut sebagai kontruksi oposisional antara Huruf Kecil Mayoritas Terbawahkan >< Huruf Besar Minoritas Dominan. Seperti pada beberapa nukilan cerpen Nukila berikut ini.
Begini, (aku senang tapi) masalahnya aku senang tapi sebal, kenapa kota ini khususnya suka huruf² besar. (Apa karena ini ibu kota? Kapital? Maka suka huruf-huruf capital. Sebab seperti aku, ini kota kapitalis, makanya gemar berdagang. . . .
HURUF HURUF BESAR
BISA DITEMUI PADA KEBANYAKAN PAPAN IKLAN,GARDA DEPAN, NAMA-NAMA PENTING, MEREKALAH PARA PENGAWAL DI BERANDA, PEMBERI PERINTAH DI BALIK MEJA MARMER, PEMBERI MODAL, PENYERU PERANG ATAU PENCETUS DAMAI, PENCIPTA DAN PEMENCET TOMBOL PELURU KENDALI POLITIKUS TAKTIKUS KHAOTIKUS, . . .
huruf huruf kecil.
bisa ditemui ditaman bermain, komidi putar, dan hampir seluruh isi buku². di dunia huruf, anak-anak ini adalah sebagian besar populasi. kecil-kecil, tak banyak mengambil tempat, berbaris menempati setengah ruang, cuma sepinggang, seperti tak penting tapi kalianlah pembentuk isi buku. . . .
Kajian seno tersebut menempatkan Nukila Amal dengan karyanya Hari Anya Jatuh Cinta sebagai sebuah karya yang Barthes maksudkan. Huruf sebagai makna harfiah tidak mengalami pelanggaran terhadap komitmen huruf sebagai bahasa dengan segala karakteristiknya. Huruf justru dimaknai hadir sebgai ruh huruf dan bagaimana kekinian realitas sosial memaknai huruf. Kaitan di antara keduanya menciptakan huruf yang bercerita tentang huruf sendiri, atau jika dikembalikan pada konteks susastra, karya Nukila Amal ini adalah karya yang susastra tentang susastra atau metasusastra.
Seno melihat ideologi huruf yang dibangun Nukila adalah melalui pembicaraan huruf secara radikal, yakni komparasi bentuk visual, lantas mengalami gugatan atas beban makna ideologis terhadap huruf-huruf tersebut dari realitas sosial. Atau kata lain, ideologi abstrak menindas ideologi huruf yang konkret. Hemat saya, Seno melihat sebuah upaya pembentukan ideologi dalam karya susastra dapat melalui eksplorasi bahasa yang dibenturkan dengan ideologi abstrak (Marx dan Engels dalam The German Ideology (1983) menyatakan ilusi ideologi adalah instrument di bawah penguasa, melalui negara, diterapkan untuk memberlangsungkan kontrol dan dominasi termasuk dalam hal susastra, yang nantinya melegitimasi kebenaran. Tengok misalnya kasus Balai Pustaka tahun 1920 atau dalam hal finansial tengok kasus buku tentang 33 Sastrawan berpengaruh di Indonesia) atau kata lain ideologi abstrak itu menciptakan space bagi ideologi sastra.
Pembahasan tentang karya Nukila Amal di atas adalah introduction bagi pembahasan ideologi sastra ini. Jika kita simak kembali, ideologi yang dipertentangkan Sartre dan Barthes serta pandangan Seno pada cerpen Nukila Amal, adalah berbicara di wilayah sastra, karya (bahasa dan isi), lingkungan (ideologi abstrak), dan ideologi pengarang. Wilayah itu tentu saling tersangkut-paut, yang nantinya berkenaan tentang posisi ideologi sastra itu sendiri.
Serba-serbi Ideologi
Jika berbicara tentang konteks ideologi abstrak di Indonesia kita menyadari posisi negara kita sebagai negara Pascakolonial. Menurut Homi Bhabha seorang pemikir India, negara bekas jajahan mengidap kompleks "mimikri", "hibridity", dan "ambivalensi". Meniru hal-hal yang dilakukan para penjajah, bahkan sampai persoalan bentuk dan warna rambut, model pakaian, dan warna kulit, merupakan kompleks "mimikri". "Hibridity" adalah kebudayaan bangsa-bangsa bekas jajahan adalah pencampuran budaya sendiri dengan budaya penjajah. Sedangkan "Ambivalensi" adalah keraguan apakah bangsa bekas jajahan itu cenderung bertitik-berat pada diri sendiri atau bekas jajahan. Namun ketika terjadi sebuah masalah, bangsa bekas jajahan justru diam-diam menyalahkan keadaan dan cenderung berpihak pada bekas penjajahnya.
Hal ini yang menciptakan pandangan negara maju dan negara berkembang, barang import dan lokal, mode barat dan timur, mapan dan yang kesemuanya itu dikontrol atau dilegitimasi kebenarannya oleh ideologi abstrak yang dalam konteks Indonesia yakni para kapitalis dan kapital-birokrat. Berkenaan dengan kapital sentris ini tentu sastra menjadi bagian dari hal yang diserang kapitalisme menjadi sebuah bentuk yang asyik bagi pasar hasrat manusia. Lantas pengarang? Tentu sebagai eksekusi ideologis karya, pengarang mengalami pertentangan yang rumit.
Mari sejenak kita melihat dampak berubahnya karya yang muncul di Indonesia sejalan dengan berubahnya lingkungan dan legitimator (ideologi abstrak). Pembahasan ini kita tarik pada pascareformasi dan karya-karya yang muncul di masa ini.
Pascareformsi menempatkan karya Lekra yang tentunya dilarang ketika Orba, muncul dan meramaikan sastra di pascareformasi. Tengok misalnya beberapa tulisan Martin Aleida, Saut Poltak Tambunan, dst. Atau munculnya beberapa tulisan tentang diskriminasi Tionghoa baik yang ditulis oleh orang keturunan Cina semisal Hanna Francisca, Sunlie Thomas Alexander, Lan Fang, maupun penulis yang bukan keturunan Cina.
Pada era ini pun kita dapat melihat dua kutub penulis dengan isi yang bertentangan. Misalnya para penulis FLP dengan fiksi islaminya, mengangkat tema-tema moral dan menentang sekularisme, hedonisme, dan eksploitasi tubuh yang dinilai dapat merusak akhlak bangsa. Sedangkan para penulis kosmopolitan yang menyerap hawa metro atau kota mengusung tema seksualitas dan tubuh seperti pada karya Djenar Maesa Ayu dan Ayu Utami. Komunitas Utan Kayu yang menghasilkan para penulis tersebut menjadi representasi esai Goenawan Mohamad tahun 1981 yakni Seks, Sastra, Kita. Seksualitas harus disikapi secara wajar dan dikembalikan ke dalam kehidupan kita, tanpa ketegangan, sebagaimana kita menerima badan kita sebagai diri kita. Kedua aliran ini tentu berangkat dari kebebasan yang sama, yakni reformasi sebagai kebebasan berekspresi yang menempatkan hal yang konservatif menjadi dominan dan pelanggaran pada norma-norma atau ketabuan menjadi lumrah.
Beberapa pengarang prosa pun banyak yang menyadari posisi local-global kaitannya dalam berkarya beberapa pekarya menggali dan merepresentasikan kebudayaan lokalnya sebagai tema dan isi prosanya. Beberapa pengarang yang bisa kita telusuri semisal Mahwi Air Tawar (Madura), Wayan Sunatra, Ni Komang Ariani (Bali), Ragdi F. Daye, Benny Arnas, Olyrinson (Sumatera Barat), Taufik Ikram Jamil (Riau), dll. Sedangkan beberapa pengarang justru berkarya dengan tema-tema global dan meminjam realitas yang tidak terjangkau secara empiris oleh orang Indonesia, dapat kita lihat dalam beberapa karya Avianti Armand (Tiket ke Tangier), dan Maggie Tiojakin (Selama Kita Tersesat di Luar Angkasa).
Ideologi abstrak yang menciptakan space bagi susastra, tentu sangat memengaruhi sikap pengarang pada karyanya. Misalnya beberapa karya yang muncul pada masa Orde baru (1980-1990an) yang notabene pada saat itu represifitas pemerintah membuat para penulis dinilai perlu menyikapi realitas namun dengan simbolisasi. Maka maraklah karya-karya prosa simbolik dan surealis. Tengok misalnya karya-karya Seno Gumira Aji Darma yang marak muncul di Koran pada tahun 1988-1991 (pada zaman Orba sastra Koran lebih dominan) dan dibukukan dalam Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Penembak Misterius (1993).
Lantas pada pascareformasi, estetika karya prosa dari zaman sebelumnya berhamburan keluar dan memunculkan dirinya kembali. Bahkan beberapa estetika dari berbagai ideologi muncul dan merayakan makna reformasi secara optimal. Tidak heran jika pada era ini, sastra popular dan serius menjadi tipis batasnya. Fenomena sastra serius begitu popular di Indonesia semisal tertralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, atau beberapa karya serius semisal Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk karya Hamka yang mengalami ekranisasi dan tiba-tiba bukunya mengalami cetak ulang dan dibaca oleh khalayak ramai. Atau fenomena beberapa karya populer yang dibahas secara serius oleh para praktisi sastra (misal beberapa skripsi di berbagai universitas) yang menurut Nenden Lilis A. hal ini sulit terjadi di masa sebelumnya.
Fenomena bias susastra ini diramaikan dengan berbagai karya yang muncul dari media sosial internet. Gerakan sastra cyber pada tahun 2001 yang digagas oleh Medy Loekito dkk. melalui Yayasan Multimedia Sastra berbicara di wilayah itu. Seperti dalam esai Saut Situmorang Sastrawan Cyber Mendongkrak Hegemoni (sebuah manifesto) menyatakan aliran sastra ini sebenarnya bukan hanya sebuah alih ruang sastra yang tadinya cetak menjadi digital, namun ruang kebebasan dari hegemoni koran dalam mempublikasikan karya sastra. Karya sastra di era cyber ini dapat terpublikasikan dan dibaca dengan cepat oleh berbagai kalangan.
Melihat berbagai gejala perkembangan estetika dan gerakan sastra di Indonesia pascareformasi di atas, sebenarnya masih banyak lagi polemik ideologis yang belum terbicarakan, semisal perang dingin pegiat Manikebu (Manifesto Kebudayaan) dan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang muncul pertama kali pada tahun 60an, Komunitas Utan Kayu dan Bumi putra, Sastra kota dan Sastra daerah, hingga yang terbaru sebuah pemicu munculnya buku tentang 33 sastrawan paling berpengaruh di Indonesia yang diterbitkan Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin yang memasukan Deny J. A. sebagai salah satu nama yang tercatat di buku tersebut. Oposisi biner PDS H.B. Jassin dan orang-orang yang mengendus upaya politik masuk dan mengobrak-abrik sastra, atau karya sastra telah tersisipi kapitalis, menyerang dan menuntut buku itu ditarik dari pasaran.
Space of Capital Sentris
Analisis historis saya melihat berbagai ideologi di atas, menciptakan sebuah kesimpulan keadaan kekinian. Kekinian pengarang dihadapkan pada dua keadaan.
Dunia Cyber Space dimana informasi dan peristiwa (teks) bebas berseliweran dan menciptakan sebuah ruang yang pada hal ini informasi dan publikasi karya sastra dapat terjadi sebebas-bebasnya. Perihal kebebasan informasi dan hilangnya batas-batas norma teks (misal teks yang dianggap tabu disampaikan di media massa, telah hadir dan lumrah entah itu dari segi perilaku masyarakat atau upaya media massa tersebut menciptakan kelumrahan tersebut), membuat estetika karya sastra harus fight and struggle menghadapinya. Beberapa karya ada yang masuk dan merayakan space ini dan ada pula yang bertolak dari free space ini dengan mengkesplorasi bahasa dan menarik prosa pada estesis-isme.
Dunia Capital Sentris. Dimana sastra mengalami persinggungan dengan dunia yang menjadikan apapun sesuai kebutuhan pasar. Pasar sastra tentu tidak berpengertian sebagai kalangan pegiat sastra saja, ketika kapitalisasi sastra terjadi maka masyarakat secara umum akan merasakan sastra dan mengkonsumsinya. Pertanyaannya pengarang akan dihadapkan pada keterbutuhan pasar, maka bagaimana sastra yang susastra bisa tetap bertahan pada nilai yang sebenarnya? Tentu singkatnya, pada wilayah ini, pengarang sastra telah menjadi capital agent atau passenger capitalism.
Menarik apa yang dikatakan Barthes di pembahasan awal, sastra tidak hanya berfungsi sebagai komunikasi atau ekspresi, melainkan pembebanan sesuatu di balik bahasa, yakni sejarah, realitas, maupun kedudukan penulisnya sekaligus. Setiap tulisan mengandung tanda-tanda yang mengindikasikan cara-cara sosial, suatu hubungan dengan masyarakat. Terlepas ia mayoritas ataupun minoritas, karya sastra akan hadir dari budaya yang bergerak bersama pengarang dan karyanya itu.
*Ditulis pada 21 Januari 2013 dan disampaikan pada Reboan ASAS, 22 Januari 2013.
**Penulis adalah pemerhati prosa dan baru berulang tahun yang ke 21 tahun pada 21 Januari 2013, dan Pada tanggal baik itu ia mati dan hidup kembali, ia patah hati dan jatuh cinta lagi.