BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia. Penyakit yang diakibatkan oleh infeksi virus dengue tersebut telah dilaporkan semenjak abad kesembilan belas dan pada awal abad kedua puluh telah ditemukan di Amerika, Eropa selatan, Afrika utara, Mediterania timur, Asia dan Australia, dan pada beberapa pulau di Samudra India, Pasifik selatan dan tengah serta Karibia (World Health Organization, 2009). Setiap tahun, di dunia diperkirakan terjadi dua puluh juta kasus infeksi dengue, dengan Case Fatality Rate (CFR) 1-5% (Ganda, 2006). Sekitar tiga milyar penduduk dunia memiliki risiko terinfeksi virus dengue setiap tahunnya. Lebih dari seratus negara tropis dan subtropis pernah mengalami letusan dengue. Di Asia Tenggara penyakit ini pertama kali dikenali di Filipina pada tahun 1953. Selama tiga dekade berikutnya, DBD terus menyebar dan ditemukan di berbagai Negara di Asia tenggara, termasuk Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara transmisi virus dengue, dan termasuk kategori A dalam negara endemik di Asia Tenggara (World Health Organization, 2007). DBD merupakan masalah kesehatan di Indonesia (Ganda, 2006), dimana penyakit ini termasuk kedalam sepuluh penyebab perawatan di rumah sakit dan kematian pada anak-anak. DBD pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1968 selama wabah yang terjadi di Surabaya dan Jakarta (CFR 41,3%) dan baru mendapat konfirmasi virologi pada tahun 1970. Di Indonesia, wabah DBD pernah dilaporkan oleh 1
David Baylon di Batavia pada tahun 1779 (Hasan dan Alatas, 2005). Epidemi DBD yang terjadi pada tahun 1998, sebanyak 47.573 kasus DBD dilaporkan dengan 1.527 kematian. Kajian negara yang mendalam mengenai DBD mulai dilakukan pada bulan Juni tahun 2000, kemudian pada tahun 2004, Indonesia melaporkan CFR 1,12% yang merupakan angka tertinggi di Asia Tenggara (Ganda, 2006). Di kota Padang kejadian DBD pada tahun 2011 cukup tinggi dengan total sebanyak 965 kasus dan yang meninggal ada sebanyak enam kasus (CFR 0,62%). Kejadian DBD di kota Padang mengalami penurunan dari pada tahun 2010 yang memiliki total sebanyak 1045 kasus dan meninggal sebanyak dua kasus (CFR 0.2%). Selama 2007 sampai 2011 terjadi ppenurunan angka kejadian DBD di kota Padang setiap tahunnya (Dinas Kesehatan Kota Padang, 2012). Sindrom renjatan dengue (SRD) merupakan masalah utama pada hampir seluruh pasien DBD. Sindrom renjatan dengue ini terjadi karena perembesan plasma (Soedarmo, 2005; Berita Ikatan Dokter Indonesia, 2007; Nurhayati, 2004). Penanganan yang tepat dan seawal mungkin terhadap penderita DBD dan SRD, merupakan faktor yang penting untuk keberhasilan penanganan penderita (Soegijanto, 2005; Ganda, 2006; Berita Ikatan Dokter Indonesia, 2007 ). Berdasarkan pengklasifikasian keparahan demam berdarah dengue (DBD) menurut WHO tahun 1997, DBD diklasifikasikan menjadi empat derajat, yaitu derajat I, derajat II, derajat III, dan derajat IV, dimana SRD termasuk kedalam derajat III dan IV. Peningkatan permeabilitas kapiler lanjut pada stadium ini mengakibatkan perembesan plasma yang massif ke ruang interstisial yang
2
menyebabkan hipovolemia sehingga menimbulkan berbagai manifestasi dan komplikasi yang kompleks. Diagnosis yang tepat dan sedini mungkin, serta penilaian yang akurat terhadap stadium dan kondisi penderita merupakan faktor yang sangat penting untuk menentukan prognosis penderita. Semakin berat penyakit penderita, semakin jelek prognosisnya. Oleh karena itu penilaian yang akurat terhadap risiko renjatan, merupakan hal yang penting untuk penatalaksanaan yang adekuat, mencegah syok dan perdarahan lanjut. Untuk
penanganan
DBD,
WHO
tahun
2009
menetapkan
3
pengelompokan, yakni derajat 1 untuk pasien dengue tanpa tanda-tanda bahaya, derajat 2 untuk pasien dengue dengan tanda-tanda bahaya, dan derajat 3 untuk pasien dengue berat. Kriteria WHO tahun 1997 ataupun 2009 untuk derajat klinik DBD tersebut tidak memberikan nilai yang pasti dari hasil pemeriksaan darah lengkap untuk setiap derajat kliniknya. Sehingga petugas medis menentukan derajat klinik tersebut hanya berdasarkan tanda dan gejala klinik saja padahal pemeriksaan tromosit, hematokrit, dan hemoglobin memegang peranan penting untuk membantu diagnosis DBD terutama bila sudah terjadi kebocoran plasma yang dapat mencetuskan terjadinya syok. Adanya nilai yang pasti dari pemeriksaan trombosit, hematokrit, dan hemoglobin untuk setiap derajat klinik DBD diharapkan sangat membantu petugas medis agar lebih mudah untuk membuat diagnosis dan menentukan prognosis dari DBD.
3
Berdasarkan hal tersebut maka peneliti ingin melihat hubungan pemeriksaan jumlah trombosit, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin dengan derajat klinik DBD pada pasien dewasa.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas memberikan dasar bagi peneliti untuk membuat rumusan masalah sebagai berikut : 1. Apakah terdapat hubungan antara hasil pemeriksaan jumlah trombosit dengan derajat klink DBD berdasarkan kriteria WHO pada pasien dewasa di RSUP M. Djamil Padang? 2. Apakah terdapat hubungan antara hasil pemeriksaan nilai hematokrit dengan derajat klink DBD berdasarkan kriteria WHO pada pasien dewasa di RSUP M. Djamil Padang? 3. Apakah terdapat hubungan antara hasil pemeriksaan kadar hemoglobin dengan derajat klink DBD berdasarkan kriteria WHO pada pasien dewasa di RSUP M. Djamil Padang? 1.3 Tujuan Penelitian 1)
Tujuan Umum Mengetahui hubungan antara pemeriksaan jumlah trombosit, nilai
hematokrit, dan kadar hemoglobin dengan derajat klinik DBD pada pasien dewasa.
2)
Tujuan Khusus 1. Mengetahui hubungan jumlah trombosit dengan derajat klinik DBD pada pasien dewasa.
4
2. Mengetahui hubungan nilai hematokrit dengan derajat klinik DBD pada pasien dewasa. 3. Mengetahui hubungan kadar hemoglobin dengan derajat klinik DBD pada pasien dewasa.
1.4 Manfaat Penelitian 1) Ilmiah a) Sebagai informasi tambahan bagi pemahaman yang lebih utuh terhadap kejadian penyakit DBD. b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam pengembangan ilmu kedokteran khususnya mengenai DBD. c) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan pada penelitian mengenai DBD dimasa mendatang. 2) Aplikatif a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan
untuk
menentukan
derajat
klinik
pasien
DBD
berdasarkan hasil pemeriksaan jumlah trombosit, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin untuk pasien DBD di masa mendatang. b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan prognosis pasien DBD berdasarkan hasil pemeriksaan jumlah trombosit, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin untuk pasien DBD di masa mendatang. 3) Pelayanan masyarakat Meningkatkan kualitas penanganan penderita DBD.
5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam Berdarah Dengue Demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue. Virus dengue termasuk dalam genus flaviviridae, keluarga flaviviridae. Flaviviridae merupakan virus RNA rantai tunggal dan memiliki ukuran yang relatif kecil dengan ukuran 30-50 mm (Hassan dan Alatas, 2005; Brooks, et al, 2005). Infeksi virus dengue dapat asimtomatis atau dapat simptomatis dengan menimbulkan demam dengue atau demam berdarah dengue dengan perembesan plasma yang dapat mengakibatkan renjatan dengue. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4 yang dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang paling banyak ditemukan di Indonesia, meskipun kesemua serotipe ditemukan di Indonesia. Infeksi virus dengue dapat asimptomatis atau dapat simptomatis, berupa demam undifferentiated, demam dengue, atau demam berdarah dengue yang dapat 6
menimbulkan syok (World Health Organisasion, 1997; Kumar, et al., 2005). Demam berdarah dengue ditandai dengan empat manifestasi klinis mayor, yaitu demam tinggi, fenomena hemoragik, dan sering hepatomegali dan kegagalan sirkulasi (World Health Organisation, 1997; Hassan dan Alatas, 2005).
2.1.1 Patogenesis Saat ini terdapat banyak teori patogenesis DBD yang menunjukkan belum jelas patogenesis yang sesungguhnya. Secara garis besar teori-teori tersebut dikelompokkan dalam dua kelompok besar yaitu : Virulensi virus, Imunopatologi yaitu Hipotesis Infeksi Sekunder Heterolog (The Secondary Heterologous Infection). Namun tidak satupun teori patogenesis itu dapat menjelaskan terjadinya DBD secara tuntas dan tidak semua kasus menunjukkan fakta-fakta yang sesuai dengan teori-teori yang diajukan (Soegijanto, 2006; Kumar, et al., 2005). 1. Teori immunopatologi Virus dengue terdiri dari empat serotype yaitu : DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN- 4. Struktur keempat serotype tersebut sangat mirip satu dengan yang lain, namun antibodi terhadap masing-masing serotype tidak dapat memberikan perlindungan silang. Infeksi oleh salah satu serotype virus akan menimbulkan kekebalan jangka panjang pada serotype sejenis, tetapi dengan serotype lain sering menyebabkan infeksi sekuansial yang manifestasinya lebih berat (Kinney, et al, 2005; Chambers, et al, 2003). Sehingga pasien yang mengalami infeksi kedua kalinya dengan serotype virus dengue yang heterolog akan mempunyai risiko
7
yang lebih besar untuk menderita DBD dan SRD. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenali virus lain yang telah menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan reseptor dari membrane sel leukosit, terutama makrofag. Antibodi yang heterolog menyebabkan virus tidak dinetralisasi oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag (lihat gambar 2.1).
Secondary Heterolog Infection Virus replication
Amnestic antibody respons Virus antibody complex
Platelet agregation Impaired platelet function
Coagulation acivation Platelet factor III release
Platelet removal by RES
Trombocytopeni
Complement activation
Plasmin Activated Hageman Anaphylactoci
consumptive
Clotting factors
excessiv e
kinin kini
Vascular permebility
FDP Shock
Gambar 2.1. Patogenesis demam berdarah dengue berdasarkan hipotesis infeksi sekunder virus dengue heterolog ( Suhendro, et al, 2009 ). 5. Teori virulensi
8
seseorang akan terkena infeksi virus dengue dan menjadi sakit kalau jumlah dan virulensi virus cukup kuat untuk mengalahkan pertahanan tubuh ( Yusrina, 2009 ). Penelitian terakhir memperkirakan bahwa terdapat perbedaan tingkatan virulensi virus dalam hal kemampuan mengikat dan menginfeksi sel target. Perbedaan manifestasi klinis demam dengue, DBD dan Dengue Syok syndrome mungkin disebabkan oleh varian-varian virus dengue dengan derajat virulensi yang berbeda-beda. Umumnya diyakini bahwa infeksi sekunder merupakan faktor utama buruknya prognosis penderita, namun juga ditemukan dan disimpulkan kasus berat yang justru tidak didahului oleh infeksi primer ( Hassan dan Alatas, 2005; Soedarmo, 2005 ). Ahli lain mengemukakan tingkat viremia penderita sebagai faktor dimaksud, namun belum terdapat bukti memadai yang menunjukkan perbedaan virulensi keempat serotipe virus dengue ( Hassan dan Alatas, 2005 ).
.1.2
Patofisiologi Perubahan patofisiologi mayor yang ditemukan pada kasus DBD berkisar
pada dua hal. Pertama, peningkatan permeabilitas vaskular yang mengakibatkan perembesan plasma, hipovolemia
dan berujung pada renjatan.
Kedua,
abnormalitas sistim hemostasis akibat vaskulopati, trombositopenia dan koagulopati. Hal ini menyebabkan berbagai manifestasi perdarahan yang mengancam kehidupan penderita (Ganda, 2006; Soegijanto, 2006). Perembesan plasma merupakan titik perbedaan antara DBD dengan demam dengue (Hassan dan Alatas, 2005). Perembesan plasma diduga terjadi karena proses imunologi dan kerusakan endotel (Soegijanto, 2006; Dharma,
9
2006). Hal ini disebabkan oleh pelepasan zat anafilatoksin, serotonin, histamin serta aktivasi sistim kalikrein. Akibatnya terjadi ekstravasasi cairan elektrolit dan protein, terutama albumin ke dalam rongga di antara jaringan ikat dan serosa. Terdapat korelasi positif antara jumlah kumpulan cairan (asites dan pleura) dan beratnya penyakit (Dharma, et al., 2006). Trombositopenia disamping disebabkan oleh depresi sumsum tulang (Soedarmo, 2005) serta agregasi trombosit sebagai reaksi tubuh terhadap infeksi virus dengue juga disebabkan karena konsumsi trombosit yang meningkat (Berita Ikatan Dokter Indonesia, 2007a; Soegijanto, 2006), sebagaimana juga ditemukan penurunan fungsi trombosit (trombositopati) (Siregar, 2005; Syam, 2007). Keadaan trombositopenia dan trombositopati akan mengakibatkan kerapuhan vaskuler serta gangguan perdarahan (Soedarmo, 2005). Akibat lanjut dari hal ini adalah perdarahan spontan yang makin menjadi. Sedangkan vaskulopati akan merangsang aktivasi faktor pembekuan (Siregar, 2005).
2.1.3 Manifestasi Klinik Infeksi virus dengue dapat asimptomatis atau simptomatis, berupa demam undifferentiated, demam dengue, atau demam berdarah dengue yang dapat menimbulkan syok (WHO, 1997; Kumar, et al., 2005). DBD ditandai dengan empat manifestasi klinis mayor, yaitu demam tinggi, fenomena hemoragis, dan sering hepatomegali dan kegagalan sirkulasi (WHO, 1997; Hassan dan Alatas, 2005). Dapat dilihat dari gambar 2.2.
10
Gambar 2.2 manifestasi klinik infeksi virus dengue ( WHO, 1997) Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 7 hari, yang diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan adekuat (World Health Organisation, 1997). Fase prarenjatan diawali dengan nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi sempit, hipotensi, ekstremitas dingin, gelisah dan berkeringat (Kumar, et al., 2005). Muntah dan nyeri abdomen persisten meski tidak masuk kriteria WHO juga perlu diwaspadai (Hassan dan Alatas, 2005). Seringkali terdapat perubahan dari demam menjadi hipotermia disertai berkeringat serta perubahan status mental (somnolen atau iritabilitas).
2.1.4
Diagnosis Klinik Berdasarkan kriteria diagnosis WHO (1997) diagnosis klinik DBD dapat
ditegakkan bila ditemukan dua kriteria klinik disertai trombositopenia dan hemokonsentrasi. 1. Kriteria Klinik
11
a. Demam tinggi mendadak (38,2-40 °C) dan terus-menerus selama 2-7 hari tanpa sebab yang jelas. Demam pada penderita DBD disertai batuk, faringitis, nyeri kepala, anoreksia, nausea, vomitus, nyeri abdomen, selama 2-4 hari, juga mialgia (jarang), atralgia, nyeri tulang dan lekopenia b. Manifestasi perdarahan, biasanya pada hari kedua demam, termasuk setidak-tidaknya uji bendung (uji Rumple Leede/ Tourniquette) positif dan salah satu bentuk lain perdarahan antara lain purpura, ekimosis, hematoma, epistaksis, pendarahan gusi dan konjuntiva, perdarahan saluran cerna (hematemesis, melena, atau hematochezia), mikroskopik hematuria atau menorrhagia c. Pembesaran hati (hepatomegali), mulai terdeteksi pada permulaan demam. d. Syok (renjatan), ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan gelisah. 2. Kriteria Laboratorium a. Trombositopenia (100.000/mm_ atau kurang) biasanya ditemukan pada hari ke dua atau ke tiga, terendah pada hari ke empat atau hari ke enam, sampai hari ke tujuh atau ke sepuluh sakit. (Berita Ikatan Dokter Indonesia, 2007; Soedarmo, 2005) b. Hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari Peningkatan kadar hematokrit setinggi kadar hematokrit pada masa pemulihan.
12
Peningkatan kadar hematokrit sesuai usia dan jenis kelamin > 20% dibandingkan dengan kadar rujukan atau lebih baik lagi dengan data awal pasien. Penurunan kadar hematokrit 20% setelah mendapat penggantian cairan.
2.1.5
Derajat Klinik DBD Derajat klinis DBD diformulasikan oleh WHO dan dijadikan sebagai
patokan dalam menilai kondisi klinis penderita DBD. Rumusan ini didasarkan pada keadaan klinis penderita yaitu: demam, manifestasi perdarahan, dan tandatanda kegagalan sirkulasi. Derajat klinis DBD diklasifikasikan ke dalam empat strata. Klasifikasi ini baik pada kasus dewasa maupun anak adalah sama (Siregar, 2005; World Health Organisation, 1997). Berdasarkan pengklasifikasian WHO (1997) DBD diklasifikasikan menjadi empat tingkatan keparahan, dimana derajat III dan IV dianggap SRD. (lihat gambar 2.3). a. Derajat I : Demam disertai dengan gejala umum nonspesifik, satusatunya manifestasi perdarahan ditunjukkan melalui uji tourniquet yang positif dan/atau mudah memar. b. Derajat II : Selain manifestasi yang
dialami pasien derajat I,
perdarahan spontan juga terjadi, biasanya dalam bentuk perdarahan kulit dan/atau perdarahan lainnya.
13
c. Derajat III: Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai hepatomegali dan ditemukan gejala-gejala kegagalan sirkulasi meliputi nadi yang cepat dan lemah, hipotensi disertai kulit lembab dan dingin serta gelisah. d. Derajat IV
: Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak
disertai hepatomegali dan ditemukan gejala syok (renjatan) yang sangat berat dengan tekanan darah dan denyut nadi yang tidak terdeteksi.
Infeksi dengue Tes tourniket positif
Demam
Derajat
Manifestasi perdarahan lain Peningkatan hematokrit Hipovolemia
I
Peningkatan hepatomegali trombositopenia permeabilitas vaskular
II
Rembesan plasma
Efusi pleura
koagulopati
Hipovolemi
III Koagulasi intravaskular diseminata
Syok
Kematian
14
IV
Gambar 2.3 Spektrum demam berdarah dengue (World health organization. 1997) Pada tahun 2009, WHO mengklasifikasikan DBD berdasarkan derajat keparahannya. Pasien DBD diklasifikasikan menjadi dengue tanpa tanda bahaya, dengue dengan tanda bahaya, dan dengue berat. Perlu diingat bahwa setiap pasien dengue tanpa tanda bahaya dapat selalu berkembang menjadi dengue berat. Pengklasifikasian kelompok berdasarkan derajat keparahan ini penting dilakukan sebagai bahan pertimbangan petugas medis untuk menentukan terapi dan observasi pasien. WHO pada tahun 2009 membagi derajat klinik pasien DBD sebagai berikut:
Gambar 2.4 Derajat klinik infeksi dengue ( Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control [World Heath Organisation 2009] ). 15
1) Dengue tanpa tanda bahaya Merupakan kemungkinan infeksi virus dengue pada pasien yang bertempat tinggal atau memiliki riwayat perjalanan ke daerah endemik. Pasien tersebut demam dan memiliki dua atau lebih dari gejala dan tanda berikut : a. Mual, muntah b. Ruam c. Tes tourniquet positif d. Nyeri kepala e. Mialgia 2) Dengue dengan tanda bahaya Merupakan infeksi virus dengue yang membutuhkan observasi ketat. Kriteria pada derajat ini adalah berdasarkan tanda dan gejala pada derajat 1 disertai adanya tanda bahaya, yaitu : a. Nyeri perut b. Muntah persisten c. Perdarahan mukosa d. Letargi e. Kegelisahan f.
Hepatomegali >2 cm
g. Ascites h. Efusi pleura 3) Dengue berat
16
Merupakan infeksi virus dengue yang membutuhkan observasi ketat dan merupakan kegawatdaruratan medik. Kriteria pada derajat ini adalah berdasarkan tanda dan gejala pada derajat 1 dan 2 disertai adanya tanda dan gejala berupa : a. Kebocoran plasma berat yang akan mengakibatkan : 1. Syok (SSD) 2. Penumpukan cairan dengan distress respirasi b. Perdarahan berat c. Kerusakan organ yang berat, meliputi : 1. Hepar : SGOT atau SGPT ≥ 1000 2. SSP : Penurunan kesadaran 3. Jantung dan organ yang lainnya
Meski terdapat berbagai perkembangan dan penemuan baru di seputar masalah DBD, termasuk dalam hal variasi klinik (Siregar, 2005; Soegijanto, 2006), namun hingga saat ini klasifikasi klinik berdasarkan derajat klinis yang ditetapkan WHO 1997 masih tetap digunakan ( Hassan dan Alatas, 2005).
2.1.6
Sindroma Renjatan Dengue Sindrom Renjatan Dengue (SRD) atau dengue shock syndrome (DSS)
adalah manifestasi renjatan yang terjadi pada penderita DBD derajat III dan IV (World Health Organisation, 1997). Kebanyakan pasien memasuki fase SRD pada saat atau setelah demamnya turun yaitu antara hari ke 3-7 setelah onset gejala (Kumar, et al., 2005; World Health Organisation, 2009). Pada saat tersebut penderita dapat mengalami hipovolemi hingga lebih dari 30% dan dapat
17
berlangsung selama 24-48 jam (Berita Ikatan Dokter Indonesia, 2007c; Hassan dan Alatas, 2005; World Health Organisation, 2009). Bila syok terjadi pada masa demam maka biasanya menunjukan prognosis yang buruk (World Health Organisation, 2009). Renjatan pada DBD disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskuler sehingga terjadi plasma leakage, efusi cairan serosa ke rongga pleura dan peritoneum,
hipoproteinemia,
hemokonsentrasi
dan
hipovolemia
yang
mengakibatakan berkurangnya venous return, preload miokard, volume sekuncup dan curah jantung, sehingga terjadi disfungsi sirkulasi. Kegagalan sirkulasi ditandai dengan kulit lembab dan dingin, sianosis sirkumoral, nadi cepat dan lemah, tekanan nadi rendah, hipotensi, oliguria atau anuria, serta penurunan status mental (Siregar, 2005). Terjadinya penurunan curah jantung akan menyebabkan iskemia dan hipoksia jaringan. Metabolisme anaerob yang terjadi selanjutnya, mengakibatkan akumulasi asam laktat dan berujung pada keadaan asidosis metabolik (Hassan dan Alatas, 2005). Asidosis dan hemokonsentrasi yang tidak segera mendapat koreksi akan memicu terjadinya pembekuan intravaskuler menyeluruh (PIM) (Guyton dan Hall, 2007). Pembekuan intravaskuler menyeluruh akan mengakibatkan mudahnya timbul perdarahan spontan, sehingga memperberat keadaan renjatan.
2.1.7
Penatalaksanaan Tidak ada pengobatan yang spesifik terhadap demam berdarah dengue
(DBD), prinsip utama adalah pengobatan suportif terhadap patofisiologinya, dan karena penanganan medis berdasarkan gejala klinis, tanda klinis dan laboratorium,
18
maka observasi ketat dibutuhkan untuk panderita (Suhendro, et al, 2009). Dengan penatalaksanaan yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi penting dalam penatalaksanaan DBD untuk pencegahan dehidrasi dan hemokonsentrasi yang bermakna yang disebabkan oleh perembesan plasma, manifestasi perdarahan akibat koagulopati, ataupun karena masukan cairan yang kurang akibat demam, mual dan muntah. Apabila sudah terjadi renjatan maka diperlukan ruangan dan penanganan khusus. Renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan intravascular yang hilang harus segera dilakukan. Karena angka kematian terbesar pada penderita DBD disebabkan oleh renjatan (Suhendro, et al, 2009). Untuk resusitasi diberikan cairan Ringer Lactate 10-20 ml/kg/BB/jam dengan tetesan lepas secepat mungkin kalau perlu dengan tekanan positif, sampai tekanan darah dan nadi dapat diukur, kemudian turunkan sampai 10 ml/ kg/jam. Pemantauan terhadap syok dilakukan dengan ketat selama 1-2 jam setelah resusitasi (Suhendro, et al, 2009). Apabila syok belum teratasi, maka segera diberikan cairan koloidal plasma atau plasma ekspander (dextran 40 ), 10-20 ml/ Kg B.B/jam. Pada kasus-kasus dengan syok persisten, yang tidak bisa diatasi dengan pemberian cairan kristaloid maupun koloidal, maka perlu dicurigai adanya perdarahan internal. Untuk keadaan ini diberikan transfusi darah segar .
2.2 Pemeriksaan Darah Lengkap 2.2.1
Pengertian
Pemeriksaan darah lengkap meliputi pemeriksaan terhadap sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit (Turgeon, 2004 ). Yang termasuk dalam
19
pemeriksaan darah lengkap: Hb (Hemoglobin), hematokrit, laju endap darah, jumlah sel darah putih, hitung jenis sel darah putih, jumlah sel darah merah, jumlah trombosit, indeks eritrosit. Pentingnya pemeriksaan darah lengkap tidak dapat diremehkan karena dapat digunakan sebagai prosedur untuk skrining, dan sangat
membantu
untuk
menunjang
diagnosis
dari
berbagai
penyakit.
Pemeriksaan darah lengkap dapat digunakan untuk melihat kemampuan tubuh pasien dalam melawan penyakit dan dapat digunakan sebagai indikator untuk mengetahui kemajuan pasien dalam keadaan penyakit tertentu seperti infeksi, pemeriksaan darah lengkap tersebut diantaranya adalah pemeriksaan jumlah leukosit, kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah eritrosit. Pemeriksaan darah yang biasanya dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam berdarah dengue adalah melalui pemeriksaan jumlah trombosit, nilai hematokrit, jumlah leukosit, kadar hemoglobin dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaraan limfosit plasma biru (LPB) ( Hadinegoro, et al, 2006 ; Suhendro, et al, 2009 ).
2.2.2
Kadar Hematokrit
Kadar hematokrit (packed red cell volume) adalah konsentrasi (dinyatakan dalam persen) eritrosit dalam 100 ml (1 dL) darah lengkap Kadar hematokrit (packed red cell volume) adalah konsentrasi (dinyatakan dalam persen) eritrosit dalam 100 ml (1 dL) darah lengkap (Guyton dan Hall, 2007; Sutedjo, 2007). Dengan demikian kadar hematokrit adalah parameter hemokonsentrasi serta perubahannya. Kadar hematokrit akan meningkat saat terjadinya peningkatan hemokonsentrasi, baik oleh peningkatan kadar sel darah atau penurunan kadar
20
plasma darah, misalnya pada kasus hipovolemia. Sebaliknya kadar hematokrit akan menurun ketika terjadi penurunan hemokonsentrasi, karena penurunan kadar seluler darah atau peningkatan kadar plasma darah, antara lain saat terjadinya anemia. Kadar hematokrit yang sebenarnya cuma 96 persen dari nilai hematokrit yang diukur (Guyton dan Hall, 2007). Kadar hematokrit didapatkan dari pemisahan sel darah merah dengan plasma, namun tidak mungkin untuk memisahkan keseluruhannya, biasanya 3 sampai 4 persen plasma tetap terjebak diantara sel-sel. Pada pria nilai hematokrit yang terukur normalnya 42%-54%, sedangkan pada wanita sekitar 37%-47% (Guyton dan Hall, 2007). Keadaan-keadaan yang menyebabkan hipovolemia dan peningkatan viskositas darah akan meningkatkan nilai kadar hematokrit. Keadaan tersebut seperti Dehidrasi/hipovolemia, diare berat, polisitemia vera, asidosis diabetikum, emfisema paru (stadium akhir), trancient ischaemic attack (TIA), eklampsia, trauma, pembedahan, luka bakar (Guyton dan Hall, 2007)
2.2.3
Kadar Hemoglobin Pemeriksaan kadar hemoglobin termasuk ke dalam pemeriksaan darah
lengkap. Nilai rujukan Hb normal laki-laki dewasa 14-18 gr/dl, sedangkan pada wanita dewasa adalah 12-16 gr/dl (price,et al, 2005).
Peningkatan nilai hematokrit yang disertai dengan peningkatan kadar hemoglobin dapat memperlihatkan adanya kebocoran plasma dan banyaknya sel darah merah di dalam pembuluh darah, hal ini dapat mengindikasikan adanya kemungkinan meningkatnya resiko terjadinya SRD. Beberapa keadaan patologis
21
yang menyebabkan penurunan kadar hemoglobin diantaranya adalah thalassemia, anemia, perdarahan akut dan kronis, infeksi kronik, dan leukemia sedangkan keadaan yang menyebabkan peningkatan kadar hemoglobin diantaranya adalah polisitemia dan dehidrasi.
2.2.4 2.2.4.1
Pemeriksaan Jumlah Trombosit Pengertian
Platelet (disebut juga trombosit) berbentuk cakram kecil dengan diameter 1-4 mikrometer. Trombosit dibentuk di sumsum tulang dari megakariosit, (Guyton & Hall, 2007). Trombosit dihasilkan dalam sumsum tulang melalui fragmentasi sitoplasma megakariosit. Trombopoietin adalah pengatur utama produksi trombosit dan dihasilkan oleh hati dan ginjal. Trombopoietin meningkatkan jumlah dan kecepatan maturasi megakariosit. Jumlah trombosit normal adalah sekitar 250 x 109 /l (rentang 150-400 x 109 /l ), (Hoffbrand, A.V., 2005). Hitung trombosit adalah tes untuk mengukur jumlah trombosit dalam darah. Nilai normalnya berkisar dari 150.000 sampai 300.000/mm3 ( Guyton & Hall, 2007 ).
2.2.4.2 Trombositopenia Trombositopenia adalah defisiensi trombosit atau hitung trombosit yang rendah (trombosit di bawah 150.000/μl), (Guyton & Hall, 2007). Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa
22
konvalesens dan nilai normalnya biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain trombositopenia adalah
depresi
membuktikan
fungsi bahwa
megakariosit. penghancuran
Penyelidikan trombosit
dengan
terjadi
radioisotop
dalam
sistem
retikuloendotel, limpa, dan hati. Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor dapat menjadi penyebab yaitu, virus dengue, komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel endotel dan aktivasi sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Lebih lanjut fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan proses imunologis terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran darah. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD, (Sumarmo, et al, 2008).
23
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep
Infeksi virus dengue
DBD
Kompleks virus antibodi Agregasi trombosit
Aktivasi sistim trombositopaty komplemen Degradasi C3a, C5 trombosit di Permeabilitas RES trombositopeni vaskular Perembesan plasma Perdarahan Hematokrit hemoglobin Keterangan : 1. Variabel terikat Derajat Klinik 2. Variabel bebas DBD
Aktivasi sistim kinin Bradikinin Dilatasi vaskular hipotensi Renjatan (kegagalan sirkulasi)
Gambar 3.1 Kerangka konsep 3.2 Hipotesis 1. Terdapat hubungan antara jumlah trombosit dengan derajat klinik DBD pada pasien dewasa. 2. Terdapat hubungan antara nilai hematokrit dengan derajat klinik DBD pada pasien dewasa. 3. Terdapat hubungan antara kadar hemoglobin dengan derajat klinik DBD pada pasien dewasa.
24
BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian survei analitik dengan desain penelitian retrospektif, yang bertujuan untuk memberikan gambaran hubungan hasil pemeriksaan jumlah hemoglobin, hematokrit, dan trombosit dengan derajat klinik DBD berdasarkan kriteria WHO.
25
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di bagian Rekam Medik Penyakit Dalam RSUP. M. Djamil Padang, dengan rentang waktu penelitian dari bulan Maret 2011 - Desember 2013.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1
Populasi Penelitian
Semua pasien DBD dewasa yang telah didiagnosis oleh dokter penyakit dalam di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP M. Djamil Padang pada periode 1 Januari 2011 sampai dengan 30 April 2013.
4.3.2
Sampel Penelitian
Bagian dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
4.4 Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi 4.4.1
Kriteria Inklusi
Catatan rekam medik pasien DBD yang lengkap dengan usia pasien ≥ 16 tahun.
4.4.2
Kriteria Eksklusi
1. Pasien yang dalam riwayat pengobatan mengonsumsi obat – obat yang dapat mensupresi sumsum tulang. 26
2. Pasien dengan penyakit koinsiden yang lain, misalnya demam typhoid, diare berat, polisitemia vera, asidosis diabetikum, emfisema paru (stadium akhir), serangan iskemik sementara (TIA),eklamsia, trauma, pembedahan dan luka bakar
4.5 Variabel Penelitian Sesuai dengan hipotesis dan desain penelitian yang akan dilakukan, maka variabel dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel bebas : a. Jumlah trombosit, yang diperiksa menggunakan metode langsung Rees Ecker. b. Nilai hematokrit, yang diperiksa menggunakan metode langsung dengan cara mikro. c. Kadar hemoglobin, diperiksa menggunakan metode Sahli. 2. Variabel terikat : derajat klinik pasien DBD dewasa selama perawatan di rumah sakit. 4.6 Definisi Operasional 1. Derajat klinik DBD
Derajat klinik DBD yang dimaksud dalam penelitian ini adalah derajat klinik berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan oleh dokter spesialis penyakit dalam. Terdiri dari : 1. Derajat 1 2. Derajat 2 3. Derajat 3 27
4. Derajat 4 Skala pengukuran : ordinal 2. Pemeriksaan jumlah trombosit, hematokrit, dan hemoglobin Pemeriksaan jumlah trombosit, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin diambil dari rekam medik RSUP M. Djamil Padang. Data yang diambil adalah data pada saat pasien awal masuk ke rumah sakit dan belum mendapatkan intervensi pengobatan. Skala pengukuran : rasio 3. Umur Usia pasien dihitung dari tanggal lahir yang tertulis dalam rekam medis sampai
waktu
pengambilan
data
dalam
ukuran
tahun.
dikelompokkan sebagai berikut : 1. ≤20 tahun 2. 21-30 tahun 3. 31-40 tahun 4. 41-50 tahun 5. >50 tahun
Skala pengukuran : odinal 4. Jenis kelamin Jenis kelamin dilihat dari data dalam rekam medis pasien. Skala pengukuran : nominal
4.7 Rencana Analisis Data
28
Umur
pasien
Uji hipotesis menggunakan analisis bivariat dengan uji hipotesis nonparametrik Kendal Tau. Uji hipotesis ini digunakan karena variabel bebas berskala rasio, sedangkan variabel tergantung berskala ordinal. Batas kemaknaan adalah apabila p < 0,05 yang berarti terdapat hubungan bermakna antara dua variabel yang diuji. Analisis data–data tersebut dilakukan dengan komputer menggunakan software SPSS.
4.8 Etika penelitian Pada penelitian ini tidak dilakukan intervensi apapun pada subjek penelitian. Data berupa rekam medis pasien demam berdarah dengue dikumpulkan dari instalasi rekam medis RSUP M. Djamil Padang periode 1 Januari 2011 sampai dengan 30 April 2013. Untuk memenuhi prinsip etika penelitian, kerahasiaan subjek akan tetap dijaga dengan tidak mencantumkan nama dan identitas pasien.
4.9 Alur penelitian Penderita DBD yang dirawat di RSUP. M. Djamil Padang Kriteria inklusi
Kriteria eksklusi Sampel penelitian
1. Jumlah trombosit 2. Nilai hematokrit 3. Kadar hemoglobin
Derajat klinik DBD
29
Uji hipotesis Kesimpulan
BAB 5 HASIL PENELITIAN
.1
Kriteria Sampel Sampel penelitian diambil dari data rekam medis pasien demam berdarah
dengue dikumpulkan dari instalasi rekam medis RSUP M. Djamil Padang periode 1 Januari 2011 sampai dengan 30 April 2013. Jumlah sampel yang diperoleh
30
adalah sebanyak 84 orang yang memenuhi kriteria inklusi dan eklusi, dimana 50 orang berada pada derajat satu, 28 orang berada pada derajat dua, dan enam orang berada pada derajat tiga, dan tidak ditemukan derajat empat. Tabel 5.1 Kriteria Sampel Berdasarkan Derajat Klinik DBD Derajat Klinik DBD
Jumlah (N)
Derajat 1
50
Derajat 2
28
Derajat 3
6
Derajat 4
0
Total
84
.2
Deskripsi Hasil Penelitian .2.1 Distribusi Frekuensi Usia Penderita DBD Usia penderita berkisar antara 16 sampai 61 tahun dengan rerata 25.49
±10.09 tahun. Usia yang paling banyak menderita DBD adalah ≤20 tahun.
Tabel 5.2 Frekuensi usia penderita DBD Usia
Jumlah
≤20
39
21-30
26
31-40
9
41-50
7
31
>50
3
Mean±SD
25.5±10.1
.2.2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Penderita DBD Penderita DBD berjenis kelamin laki-laki sebanyak 46 orang (54.8%) dan perempuan sebanyak 38 orang (45.2%). Rasio penderita DBD laki-laki dengan perempuan adalah 1.21 : 1. Tabel 5.3 Frekuensi jenis kelamin penderita DBD
.3
Jenis Kelamin
Jumlah
Persentase
Laki-laki
46
54.8 %
Perempuan
38
45.2%
Total
84
100%
Analisis Hasil Penelitian .3.1 Hubungan antara Jumlah Trombosit dengan Derajat Klinik DBD Rerata jumlah trombosit pada derajat klinik 1 adalah 62.64±3.63 ribu/mm³.
Rerata jumlah trombosit pada derajat klinik 2 adalah 31.14±2.25 ribu/mm³. Rerata jumlah trombosit pada derajat klinik 3 adalah 36.17±2.29 ribu/mm³. Hasil analisis dengan uji korelasi Kendall’s tau didapatkan nilai p < 0.005 yang berarti terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah trombosit dengan derajat klinik DBD. Dengan koefisien korelasi r = 0.336 yang berarti kekuatan hubungan lemah
32
dengan arah hubungan negatif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara jumlah trombosit dengan derajat klinik DBD, dimana semakin rendah jumlah trombosit maka semakin parah derajat kliniknya. Tabel 5.4 Hubungan trombosit dengan derajat klinik DBD Derajat Klinik DBD Mean±SD 1 Mean±SD 2 Mean±SD 3 Uji korelasi Kendall’s Tau P = <0.001 Data lengkap dapat dilihat di lampiran 1
Jumlah Trombosit (ribu/mm3) 62.64±3.63 31.14±2.25 36.17±2.29 r = -0.336
Berikut merupakan grafik yang menunjukkan hubungan jumlah trombosit dengan derajat klinik DBD. 150 100 Nilai Trombosit (ribu/mm3)
trombosit (ribu/mm3)
50 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5
Linear (trombosit (ribu/mm3))
Derajat Klinik DBD
Gambar 5.1 grafik hubungan jumlah trombosit dengan derajat klinik DBD
.3.2 Hubungan antara Nilai Hematokrit dengan Derajat Klinik DBD Rerata jumlah hematokrit pada derajat klinik 1 adalah 44.22±5.59 %. Rerata jumlah hematokrit pada derajat klinik 2 adalah 46.90±5.50 %. Rerata jumlah hematokrit pada derajat klinik 3 adalah 38.47±7.48 %. Hasil analisis dengan uji korelasi Kendall’s tau didapatkan nilai r = 0.059 yang berarti kekuatan hubungan sangat lemah dengan arah hubungan positif dan nilai p = 0.505 yang
33
berarti tidak terdapat hubungan bermakna antara nilai hematokrit dengan derajat klinik DBD. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara nilai hematokrit dengan derajat klinik infeksi dengue. Tabel 5.5 Hubungan hematokrit dengan derajat klinik DBD Derajat Klinik DBD
Nilai Hematokrit(%)
Mean±SD
1
44.22±5.59
Mean±SD
2
46.90±5.50
Mean±SD
3
38.47±7.48
Uji korelasi Kendall’s Tau
P = 0.505
r = 0.059
Berikut grafik yang menunjukkan hubungan nilai hematokrit dengan derajat klinik DBD.
hematokrit 70 60 50 40
hematokrit
Hematokrit (%) 30
Linear (hematokrit)
20 10 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 Derajat Klinik DBD
Gambar 5.2 grafik hubungan nilai hematokrit dengan derajat klinik DBD
.3.3
Hubungan antara Kadar Hemoglobin dengan Derajat Klinik DBD
34
Rerata jumlah trombosit pada derajat klinik 1 14.88±1.76 gr/mm³. Rerata jumlah trombosit pada derajat klinik 2 adalah 15.14±2.13 gr/mm³. Rerata jumlah trombosit pada derajat klinik 3 adalah 12.96±2.51 gr/mm³. Hasil analisis dengan uji korelasi Kendall’s tau didapatkan nilai r = 0,036 yang berarti kekuatan hubungan sangat lemah dengan arah hubungan negatif dan nilai p = 0.681 yang berarti tidak terdapat hubungan bermakna antara kadar hemoglobin dengan derajat klinik DBD. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara kadar hemoglobin dengan derajat klinik DBD.
Tabel 5.6 Hubungan hemoglobin dengan derajat klinik DBD Derajat Klinik
Kadar Hemoglobin
Mean±SD
1
(gr/mm3) 14.88±1.76
Mean±SD
2
15.14±2.13
Mean±SD
33
12.96±2.51
Uji korelasi Kendall’s Tau
P = 0.681
R = -0.038
DBD
Grafik berikut memperlihatkan hubungan kadar hemoglobin dengan derajat klinik DBD.
35
25 20 15 Hemoglobin (gr/mm3) 10
hemoglobin Linear (hemoglobin)
5 0 0
1
2
3
4
Derajat Klinik DBD
Gambar 5.3 Grafik hubungan kadar hemoglobin dengan derajat klinik DBD
BAB 6 PEMBAHASAN
.1
Distribusi Frekuensi Usia Penderita DBD Berdasarkan 84 sampel, didapatkan rentang umur pasien berkisar antara 16
sampai 61 tahun dengan rata-rata 25.5±10.1 tahun. Berdasarkan tabel 5.2 kategori usia yang paling banyak menderita DBD adalah usia dibawah 20 tahun. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan yang didapatkan Selvia Y (2005) dimana umur rata-rata penderita DBD adalah 25.03±7.98. hasil yang sama juga
36
didapatkan Indriani H (2011) dimana umur rata-rata 24.66±10.32. Jaya I (2008) di Surakarta mendapatkan umur rata-rata penderita DBD 24.40±9.31.
.2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Penderita DBD Penelitan ini mendapatkan jumlah pasien laki-laki lebih tidak jauh berbeda dengan pasien wanita, dimana laki-laki 46 orang (54.8%) dan wanita 38 orang (45.2%). Hasil ini sama dengan penelitian Selvia Y (2005) yang mendapatkan penderita laki-laki 55% dan wanita 45%. Penelitian lain yang dilakukan Jaya I (2008) juga mendapatkan hasil yang sama, yaitu laki-laki 55% dan wanita 45%. Penelitian yang dilakukan oleh Depkes tahun 2008 menyatakan bahwa jumlah penderita DBD berjenis kelamin laki-laki sebesar 53,78% dan wanita sebesar 46,23%. Hal ini menggambarkan bahwa risiko terkena DBD tidak jauh berbeda antara wanita dan laki-laki (Depkes, 2010)
.3
Hubungan antara Jumlah Trombosit dengan Derajat Klinik DBD Trombositopenia memiliki peranan yang penting dalam patogenesis DBD.
Diketahui bahwa trombosit adalah sel yang berfungsi dalam pembekuan darah sehingga dapat menghentikan perdarahan dan menjaga keutuhan pembuluh darah dengan jumlah normal 150.000 - 450.000/mm³, bila kurang dari 150.000/mm³ disebut trombositopenia. Trombositopenia pada DBD antara lain disebabkan oleh adanya destruksi trombosit dalam sistem retikuloendotel, pemendekan waktu paruh trombosit, adanya depresi sumsum tulang ( Suhendro, et al, 2009 ).
37
Dari hasil penelitian ini didapatkan Rerata jumlah hematokrit pada derajat klinik 1 adalah 44.22±5.59 %. Rerata jumlah hematokrit pada derajat klinik 2 adalah 46.90±5.50 %. Rerata jumlah hematokrit pada derajat klinik 3 adalah 38.47±7.48 %. Jumlah trombosit tertinggi 142 ribu/mm³ dan nilai terendah 5 ribu/mm³. Hasil analisis dengan uji korelasi Kendall’s tau didapatkan nilai p < 0.001 dan nilai r = 0.336 yang berarti terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah trombosit dengan derajat klinik DBD, dimana semakin rendah jumlah trombosit maka semakin parah derajat kliniknya. Gambar 5.1 menjelaskan bagaimana hubungan antara jumlah trombosit dengan derajat klinik DBD, dimana memperlihatkan pola semakin rendah jumlah trombosit semakin semakin tinggi derajat klinik penyakit. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Khrisnamurti (2002) yang menyatakan bahwa pada fase akut, semakin rendah jumlah trombosit berhubungan dengan semakin parahnya penyakit (p < 0.001). Valentino Bima (2012) juga menyatakan hal yang sama bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah trombosit dengan derajat keparahan DBD (p < 0.001) .4
Hubungan antara Nilai Hematokrit dengan Derajat Klinik DBD Patogenesis, manifestasi klinis, maupun kriteria diagnostik
DBD; didasarkan pada tanda-tanda kegagalan sirkulasi (renjatan) dan
perdarahan.
diagnosis
DBD
Parameter adalah
laboratorium
peningkatan
dalam
kadar
menegakkan
hematokrit
serta
trombositopenia ( World Health Organisation, 2009 ).
Peningkatan nilai hematokrit menggambarkan hemokonsentrasi, ini merupakan indikator yang peka akan terjadinya kebocoran plasma, sehingga perlu
38
dilakukan pemeriksaan hematokrit secara berkala pada penderita DBD. Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit ≥ 20% mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma (World Health Organisation, 2009 ) Penelitian ini mendapatkan rerata jumlah hematokrit pada derajat klinik 1 adalah 44.22±5.59 %. Rerata jumlah hematokrit pada derajat klinik 2 adalah 46.90±5.50 %. Rerata jumlah hematokrit pada derajat klinik 3 adalah 38.47±7.48 %. Dengan uji korelasi Kendall’s tau didapatkan nilai p = 0.505 dan r = 0.059 yang berarti tidak terdapat hubungan bermakna antara nilai hematokrit dengan derajat klinik DBD. Hal yang sama juga didapatkan dari penelitian Jaya I (2008) bahwa nilai hematokrit tidak berhubungan dengan derajat klinik DBD dengan nilai p = 0.586 dan r = -0.070. Penelitian lain yang dilakukan oleh Valentino Bima ( 2012 ) juga menunjukkan hal yang sama, dengan nilai p = 0.060 dan r = 0.049. Hasil penelitian Nurhayati ( 2004 ), menunjukkan bahwa penelitian terhadap kadar hematokrit, nampak signifikan berhubungan dengan SRD dalam pengukuran puncak kadar hematokrit atau merupakan kadar hematokrit pada saat terjadinya puncak penyakit saja. Temuan ketiga peneliti tersebut di atas juga menegaskan hasil yang didapatkan oleh penelitian ini, bahwa kadar hematokrit awal dan derajat klinis DBD tidak berhubungan dengan signifikan. Kadar hematokrit awal tidak berhubungan dengan derajat klinis DBD, sementara kadar hematokrit puncak berhubungan, maka peningkatan kadar hematokrit dimungkinkan bukan
39
merupakan faktor awal yang dominan dalam patogenesis DBD, namun sekadar merupakan variabel lanjut dalam perjalanan penyakit.
.5 Hubungan antara Kadar Hemoglobin dengan Derajat Klinik DBD Kadar hemoglobin memiliki hubungan yang erat dengan hematokrit, peningkatan ataupun penurunan nilai hematokrit biasanya akan diikuti oleh perubahan pada kadar hemoglobin ( Husaini, 1997 ). Kadar hemoglobin hari-hari pertama pada pasien DBD biasanya normal atau sedikit menurun, tetapi kemudian kadarnya akan naik mengikuti peningkatan hemokonsentrasi. Peningkatan nilai hematokrit yang disertai dengan peningkatan kadar hemoglobin dapat memperlihatkan adanya kebocoran plasma dan banyaknya sel darah merah di dalam pembuluh darah, hal ini dapat mengindikasikan adanya kemungkinan meningkatnya resiko terjadinya SRD. Penelitian ini mendapatkan rerata jumlah trombosit pada derajat klinik 1 14.88±1.76 gr/mm³. Rerata jumlah trombosit pada derajat klinik 2 adalah 15.14±2.13 gr/mm³. Rerata jumlah trombosit pada derajat klinik 3 adalah 12.96±2.51 gr/mm³. Uji korelasi Kendall’s tau mendapatkan nilai p = 0.681 dan r = 0.036 yang berarti tidak terdapat hubungan bermakna antara nilai hematokrit dengan derajat klinik DBD. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh Valentino Bima ( 2012 ) nilai p = 0.759 dan r = 0.029 yang berarti kadar hemoglobin dengan derajat klinik DBD tidak berhubungan. Dalam penelitian ini terlihat kadar hemoglobin dua orang pasien berjenis kelamin laki-laki pada derajat 3 yang mengalami penurunan. Kadar hemoglobin
40
pasien laki-laki tersebut adalah 11.2 gr/dl dan 8.86 gr/dl. Kadar hemoglobin pasien tersebut juga memperlihatkan kesesuaian dengan penurunan jumlah hematokrit berturut-turut 33 % dan 26.9 % ( nilai rujukan 42%-54% ). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan sebelumnya yang menunjukkan bahwa kadar hemoglobin mengikuti perubahan pada nilai hematokrit.
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN
.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil yang didapat, maka dapat disimpulkan bahwa : 41
1. Terdapat hubungan jumlah trombosit dengan derajat klinik DBD pada pasien dewasa, dimana semakin rendah jumlah trombosit maka semakin berat derajat kliniknya. 2. Tidak terdapat hubungan nilai hematokrit dengan derajat klinik DBD pada pasien dewasa. 3. Tidak terdapat hubungan kadar hemoglobin dengan derajat klinik DBD pada pasien dewasa.
.2 Saran 1. Studi terhadap hubungan antara kadar hematokrit awal dan derajat klinis DBD dengan desain penelitian prospektif serial dapat dilakukan oleh penelitian lain. 2. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan sampel lebih banyak terutama pada kelompok pasien derajat 3.
42