BERBAHASA, BERPIKIR, INGATAN, DAN BUDAYA SERTA HUBUNGAN MASING-MASING
LAPORAN diajukan untuk memenuhi tugas perkuliahan Psikolinguistik yang dibina oleh Dra. Ellya Ratna, M.Pd.
Liza Halimatul Humairah (1205147) Hilda Arini (1205149) Rahmi Yuliani (1205153) Weli setia (1205151) Mira Elfiza (1205155)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI PADANG 2015
BERBAHASA, PIKIRAN, INGATAN, DAN BUDAYA SERTA HUBUNGAN MASING-MASING A. Pengertian Berbahasa
Menurut Abdul Chaer (2009:51) Berbahasa adalah penyampaian pikiran atau perasaaan dari orang yang berbicara mengenai masalah yang dihadapi dalam kehidupan budayanya. Jadi, kita lihat berbahasa, berpikir, dan berbudaya adalah tiga hal atau tiga kegiatan yang saling berkaitan dalam kehidupan manusia. Berbahasa, dalam arti berkomunikasi, dimulai dengan membuat enkode semantik dan enkode gramatikal di dalam otak pembicara, dilanjutkan dengan membuat enkode fonologi. Kemudian di lanjutkan dengan penyusunan dekode fonologi, dekode gramatikal, dan dekode semantik pada pihak pendengar yang terjadi di dalam otaknya.
B. Pengertian Berpikir
C. Pengertian Ingatan
D. Pengertian Budaya
Berbahasa dalam arti berkomunikasi, dimulai dengan membuat enkode semantik dan enkode gramatikal di dalam otak pembicara, dilanjutkan dengan membuat enkode fonologi. Kemudian dilanjutkan dengan penyusunan dekode fonologi, dekode gramatikal, dan dekode semantik pada pihak pendengar yang terjadi di dlm otaknya. Dengan kata lain, berbahasa adalah penyampaian pikiran atau perasaan dari orang yang berbicara mengenai masalah yang dihadapi dalam kehidupan budayanya. Jadi, kita lihat berbahasa, berpikir, dan berbudaya adalah tiga hal atau tiga kegiatan yang saling berkaitan dalam kehidupan manusia. Hanya masalahnya, di dalam kajian psikolinguistik ada dua hipotesis yang kontroversial yang tercermin dalam pertanyaan: mana yang lebih dahulu ada bahasa atau pikiran; pikirkanlah, bahasakah, atau keduanya hadir bersamaan. Di sini tidak akan dijawab masalah itu, melainkan hanya akan dikemukakan pendapat sejumlah pakar. Kemudian dicoba membuat konklusi atau komentar terhadap teori-teori mengenai maslah tersebut yang telah ada sejak abad yang silam.
1. Teori Wilhelm Von Humboldt
Wilhelm Von Humboldt (dalam Chaer, 2002:51) sarjana Jerman abad ke-19, menekankan adanya ketergantungan pemikiran manusia pada bahasa. Maksudnya, pandangan hidup dan budaya suatu masyarakat ditentukan oleh bahasa masyarakat itu sendiri. Kalau salah seorang dari anggota masyarakat ini ingin mengubah pandangan hidupnya, maka dia harus mempelajari dulu satu bahasa lain. Maka dengan demikian dia akan menganut cara berpikir (dan juga budaya masyarakat bahasa lain itu. Mengenai bahasa itu sendiri Von Humboldt (dalam Chaer, 2002:52) berpendapat bahwa substansi bahasa itu terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berupa bunyi-bunyi, dan bagian lainnya berupa pikiran-pikiran yang belum terbentuk. Bunyi-bunyi dibentuk oleh lautform, dan pikiran-pikiran dibentuk oleh ideenform atau innereform. Jadi bahasa menurut Von Humboldt merupakan sintense dari bunyi ( lautform) dan pikiran (ideenform). Dari keterangan itu bisa disimpulkan bahwa bunyi
bahasa nerupakan bentuk-luar ,
sedangkan pikiran adalah bentuk-dalam. Kedua bentuk inilah yang “membelenggu” manusia, dan menetukan cara berpikirnya. Dengan kataa lain, Von Humbolt (dalam Chaer, 2002:52) berpendapat bahwa struktur suatu bahasa menyatakan kehidupan dalam (otak, pemikiran) penutur bahasa itu. 2. Teori Sapir-Whorf
Edwar Sapir (dalam Chaer, 2002:52) mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini di bawah “belas kasih” bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam kehidupannya bermasyarakat. Menurut Sapir (dalam Chaer, 2002:52) telah menjadi fakta bahwa kehidupan suatu masyarakat sebagian “didirikan” di atas ta biat-tabiat dan sifat-sifat bahasa itu. Karena itulah, tidak ada dua buah bahasa yang sama sehingga dapat dianggap mewakili satu masyarakat yang sama. Setiap bahasa dari satu masyarakat telah “mendirikan” satu dunia tersendiri untuk penutur bahasa itu. Dengan tegas Sapir (dalam Chaer, 2002:52) juga mengatakan apa yang kita lihat, kita dengar, kita alami, dan kita perbuat sekarang ini adalah karena sifat-sifat (tabiat-tabiat) bahasa kita telah menggariskannya terlebih dahulu. Dengan demikian semua bahasa itu merupakan cara-cara pernyataan pikiran yang sejajar dan saling dapat diterjemahkan satu sama lain. Whorf (dalam Chaer, 2002:53) juga menyatakan bahwa bahasa menentukan pikiran seseorang sampai kadang-kadang bisa membahayakan dirinya sendiri. Sebagai contoh, Whorf yang bekas anggota pemadam kebakaran menyatakan “kaleng kosong” bekas minyak bisa meledeak. Kata kosong digunakan dengan pengertian tidak ada minyak di dalamnya. Pdahal
sebenarnya ada cukup efek-lepas (after effect ) pada kaleng bekas minyak untuk bisa meledak. Jika isi kaleng dibuang, maka kaleng itu akan kosong, tetapi dalam ilmu kimia hal ini tidak selalu benar. Kaleng minyak yang sudah kosong masih bisa meledak kalau terkena panas. Di sinilah, menurut Worft, tampak jalan pikiran seseorang telah ditentukan oleh bahasanya. Menurut Worft (dalam Chaer, 2002:53) selanjutnya sistem tata bahasa suatu bahasa bukan hanya merupakan alat untuk menyarankan ide-ide, tetapi juga merupkan pembentuk ide-ide itu. Dengan kata lain, tata bahasalah yang menentukan jalan pikiran seseorang (Simanjuntak dalam Chaer, 2002:53). Berdasarkan hipotesis Sapir-Whorf itu dapatlah dikatakan bahwa hidup dan pandangan hidup bangsa-bangsa di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filifina, dan lain-lain) adalah sama karena bahasa-bahasa mereka mempunyai struktur yang sama.
3.
Teori Jean Piaget
Piaget, sarjana Perancis (dalam Chaer, 2002:54) berpendapat justru pikiranlah yang membentuk bahasa. Tanpa pikiran bahasa tidak akan ada. Pikiranlah yang menentukan aspekaspek sintaksis dan leksikon bahasa; bukan sebaliknya. Menurut teori pertumbuhan kognisi, seorang kanak-kanak mempelajari segala sesuatu mengenai dunia melalui tindakan-tindakan dari perilakunya dan kemudian baru melalui bahasa. Mengenai hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan intelek (pikiran) Piaget mengemukakan dua hal penting berikut: 1.
Sumber kegiatan intelek tidak terdapat dalam bahasa, tetapi dalam periode sensorimotorik , yakni satu sistem skema, dikembangkan secara penuh, dan membuat lebih dahulu gambaran-gambaran dari aspek-spek struktur golongan-golongan dan hubungan-hubungan benda-benda dan bentuk-bentuk dasar penyimpanan dan operasi pemakaian kembali.
2.
Pemebentukan pikiran yang tepat dikemukakan dan berbentuk terjadi pada waktu yang bersamaan dengan pemerolehan bahasa. Piaget juga menegaskan bahwa kegiatan intelek (pemikiran) sebenarnya adalah aksi
atau perilaku yang telah dinuranikan dan dalam kegiatan-kegiatan sensomotor termasuk juga perilaku bahasa.
4.
Teori L.S. Vygotsky
Vygotsky, sarjana bangsa Rusia (dalam Chaer, 2002:55) berpendapat pikiran dan bahasa pada tahap permulaan berkembang secara terpisah, dan tidak saling mempengaruhi.
Jadi, mula-mula pikiran berkembang tanpa bahasa, dan bahasa mula-mula berkembang tanpa pikiran. Lalu, pada tahap berikutnya, keduanya bertemu dan bekerja sama, serta saling mempengaruhi. Menurut Vygotsky pikiran berbahasa ( verbal thought) berkembang melalui beberapa tahap. Mula-mula kanak-kanak harus mengucapkan kata-kata untuk dipahami. Kemudan bergerak ke arah kemampuan mengerti atau berpikir tanpa mengucapkan kata-kata itu. Lalu, dia mampu memisahkan kata-kata yang berarti dan yang tidak berarti. Selanjutnya Vygotsky (dalam Chaer, 2002:56) menjelaskan bahwa hubungan antara pikiran dan bahasa bukanlah merupakan satu benda, melainkan merupakan satu proses, satu gerak yang terus-menerus dari pikiran ke kata (bahasa) dan dari kata (bahasa) ke pikiran. Menurut Vygotsky (dalam Chaer, 2002:56) dalam mengkaji gerak pikiran ini kita harus mengkaji dua bagian ucapan, yaitu ucapan dalam yang mempunyai arti yang merupakan aspek semantik ucapan, dan ucapan luar yang merupakan aspek fonetik atau aspek bunyiucapan.
5.
Teori Noam Chomsky
Noam Chomsky (dalam Chaer, 2002:56) mengajukan kembali teori klasik yang disebut hipotesis nurani yang menegaskan bahwa pengkajian bahasa membukakan perspektif yang baik dalam pengkajian proses mental (pemikiran) manusia. Hipotesis nurani mengatakan bahwa struktur bahasa-dalam adalah nurani. Artinya, rumus-rumus itu di bawa sejak lahir.pada waktu seorang kanak-kanak mulai mempelajari bahasa ibi, dia telah dilengkapi sejak lahir dengan satu peralatan konsep dengan struktur bahasa-dalam yang bersifat universal. Menurut Chomsky (dalam Chaer, 2002:57) yang sejalan dengan pandangan rasionalis, bahasa-bahasa yang ada di dunia adalah sama karena didasari oleh satu sistem yang universal) hanyalah pada tingkat dalamnya saja yang disebut struktur-dalam ( deep structure). Pada tingkat luar atau struktur luar ( surface structure) bahasa-bahasa itu berbeda-beda. Pada tingkat dalam bahasa itulah terdapat rumus-rumus tata bahasa yang mengatur proses-proses untuk memungkinkan aspek-aspek kreatif bahasa bekerja. Apa yang oleh Chomsky disebut inti proses generatif bahasa (aspek kreatif) terletak pada tingkat dalam ini. Inti proses generatif inilah yang merupakan alat semantik untuk menciptakan kalimat-kalimat baru yang tidak terbatas jumlahnya, dan dinamai ‘tata bahasa generatif’.
Hipotesis nurani berpendapat bahwa struktur-struktur-dalam bahasa adalah sama. Struktur-dalam suatu bahasa bersifat otonom; dan karena itu, tidak ada hubungannya dengan sistem kognisi (pemikiran) pada umumnya, termasuk kecerdasan.
6.
Teori Eric Lanneberg
Eric Lanneberg (dalam Chaer, 2002:58) mengajukan teori yang disebut Teori Kemampuan Bahasa Khusus. Menurut Lanneberg banyak bukti yang menunjukkan bahwa manusia menerima warisan biologi asli berupa kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang khusus untuk manusia, dan yang tidak ada hubungannya dengan kecerdasan dan pemikiran. Bukti bahwa manusia telah dipersiapkan secara biologis untuk berbahasa menurut Lenneberg (dalam Chaer, 2002:58-59) adalah sebagai berikut. 1.
Kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan bagian-bagian anatomi dan fonologi manusia, seperti bagian-bagian otak tertentu (bagian korteks tertentu) yang mendasari bahasa.
2.
Jadwal perkembangan bahasa yang sama berlaku bagi semua kanak-kanak normal.
3.
Perkembangan bahasa tidak dapat dihambat meskipun pada kanak-kanak yang mempunyai cacat tertentu seperti buta, tuli, atau memiliki orang tua pekak sejak lahir.
4.
Bahasa tidak dapat diajarkan pada makhluk lain.
5.
Setip bahasa tanpa kecuali, didasarkan pada prinsip-prinsip semantik, sintaksis, dan fonologi yang universal. Jadi, terdapat semacam percabangan dalam teori Lanneberg ini. Dia seolah-olah
bermaksud membedakan perkembangan bahasa dari segi ontogenetis (pemerolehan bahasa oleh individu) dan dari segi filogenetis (kelahiran bahasa suatu masyarakat). Dalam hal ini pemerolehan bahasa secara ontogenetis tidak ada hubungannya dengan kognisi; sedangkan secara filogenetis kelahiran bahasa suatu masyarakat sebagiannya ditentukan oleh kemampuan bahasa nurani, dan sebagian lagi oleh kemampuan kognitif nurani, bukan bahasa yang lebih luas.
7.
Teori Bruner
Brunner (dalam Chaer, 2002:59) memperkenalkan teori yang disebutnya Teori Instrumentalisme. Menurut teori ini bahasa adalah alat pada manusia untuk mengembangkan dan menyempurnakan pikiran itu. Dengan kata lain, bahasa dapat membantu pemikiran manusia supaya dapat berpikir lebih sistematis. Dalam hal ini pikiran memakai elemen
hubungan-hubungan yang dapat digabungkan untuk membimbing aksi yang sebenarnya; sedangkan bahasa menyediakan representasi prosedur-prosedur untuk melaksanakan aksi itu. Disamping adanya dua kecakapan yang melibatkan bahasa, yaitu kecakapan linguistik dan kecakapan komunikasi, teori Bruner ini juga memperkenalkan adanya kecakapan analisis yang dimiliki oleh setiap manusia yang berbahasa. Kecakapan analisis iniliaha yang memungkinkan tercapainya peringkat abstrak yang berbeda-beda. Kecakapan analisis ini akan dapat berkembang menjadi lebih baik dengan pendidikan melalui bahasa yang formal karena kemampuan analisis ini hanya mungkin dikembangkan setelah seseorang mempunyai kecakapan komuniksai yang baik.
8.
Kekontroversialan Hipotesis Sapir-Whorf
Di antara teori atau hipotesis di atas hipotesis Sapir-Whorflah yang palin kontroversial. Hipotesis ini yang menyatakan bahwajalan pikiran dan dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya, banyak menimbulkan kritik dan reaksi hebat dari para ahli filsafat, linguistik, psikologi, psikolinguistik, sosiologi, antropologi, dan lain-lain. Untuk menguji hipotesis Sapir-Whorf, Farb (1974) mengadakan penelitian terhadap sejumlah wanita Jepang yang menikah dengan orang Amerika dan tinggal di San Fransisco, Amerika. Dari penelitian itu Farb menarik kesimpulan bahwa bahasa bukan menyebabkan perbedaan-perbedaan kebudayaan, tetapi hanya mencerminkan kebudayaan tersebut. Bahasa Jepang mencerminkan kebudayaan Jepang, dan bahasa Inggris mencerminkan kebudayaan Inggris.
E. Hubungan Berbahasa dengan Pikiran
Pikiran manusia pada hakikatnya selalu mencari dan berusaha untuk memperoleh kebenaran. Karena itu pikiran merupakan suatu proses. Dalam proses tersebut haruslah diperhatikan kebenaran untuk dapat berpikir logis. Kebenaran ini hanya menyatakan serta mengandalkan adanya jalan, cara, teknik serta hukum-hukum yang perlu diikuti. Semua itu dirumuskan dalam logika. Selanjutnya terdapat beberapa pengelompokan keterkaitan bahasa berdasarkan uraian para ahli, yaitu: 1. Bahasa mempengaruhi pikiran Pemahaman kata mempengaruhi pikirannya terhadap realitas. Pikiran manusia dapat terkondinisikan oleh kata yang manusia gunakan. Tokoh yang mendukung hubungan ini
adalah Benjamin Lee Whorf ( 1897-1941) dan gurunya Edward Sapir (1884-1939). Whorf menyatakan bahwa bahasa menentukan pikiran seseorang sampai kadang-kadang bisa membahayakan dirinya sendiri. Sebagai contoh, Whorf yang bekas anggota pemadam kebakaran menyatakan “kaleng kosong” bekas minyak bisa meledak. Kata kosong dengan pengertian tidak ada minyak di dalamnya. Padahal sebenarnya ada cukup efek pada kaleng bekas minyak untuk bisa meledak. Jika isi kaleng dibuang, maka kaleng itu akan kosong, tetapi dalam ilmu kimia hal ini tidak selalu benar. Kaleng minyak yang sudah kosong masih bisa meledak kalau terkena panas. Di sinilah, menurut Whorf, tampak jalan pikiran seseorang telah ditentukan oleh bahasanya. Untuk menunjukkan bahwa bahasa mempengaruhi jalan pikiran manusia, Whorf menunjukkan contoh lain. Kalimat see that wave dalam bahasa Inggris mempunyai pola yang sama dengan kalimat see that house. Dalam see that house kita memang bisa melihat sebuah rumah, tetapi dalam kalimat see that wave menurut Whorf belum ada seorang pun yang melihat satu ombak. Yang terlihat sebenarnya adalah permukaan air yang terus-menerus berubah dengan gerak naik-turun, dan bukan apa yang dinamakan satu ombak. Jadi, di sini kita seolah-olah melihat satu ombak karena bahasa telah menggambarkan begitu kepada kita. Ini adalah satu kepalsuan fakta yang disuguhkan oleh satu organisasi hidup seperti ini, dan kita tidak sadar bahwa pandangan hidup kita telah dikungkung oleh ikatan-ikatan yang sebenarnya dapat ditanggalka (Chaer, 2003:52-54)
2. Pikiran mempengaruhi bahasa Ada kemungkinan struktur bahasa dipengaruhi oleh pikiran. Sekitar 2.500 tahun yang lalu Aristoteles beragumen bahwa kategori pikiran menentukan kategori bahasa. Banyak alasan yang memperkuat argument tersebut, walaupun Aristoteles sendiri tidak bisa memperlihatkan alasan-alasan tersebut. Adapun alasan yang dapat dikemukakan antara lain, kemampuan manusia berpikir muncul lebih awal ditinjau dari aspek evolusi dan berlangsung belakangan dari aspek perkembangannya dibandingkan kemampuan menggunakan bahasa. Tokoh psikologi kognitif yang tak asing bagi manusia, yaitu Jean Piaget menyatakan bahwa ada keterkaitan antara pikiran dan bahasa. Bahasa adalah representasi dari pikiran. Melalui observasi yang dilakuakan oleh Piaget terhadap perkembangan aspek kognitif anak akan mempengaruhi bahasa yang digunakannya. Semakin tinggi aspek tersebut maka semakin tinggi bahasa yang digunakannya. Sebelum anak-anak menggunakan bahasanya secara efektif, anak-anak memperlihatkan kemampuan kognitif yang cukup berarti dan beragam.
Menurut Piaget ada dua pikiran, yaitu pikiran terarah atau intelligent dan pikiran yang tidak terarah atau autistic. Pikiran yang terarah adalah pikiran yang menghasilkan tindakan atau ujaran yang dapat dipertanggungjawabkan dan memiliki landasan kuat, sedangkan pikiran yang tidak terarah umumnya pikiran yang sering menimbulkan kekeliruan atau dampak yang tidak terduga. Mungkin itu sebabnya terjadi tergelincir lidah. (Arifuddin dalam file:///C:/Users/user/Documents/TUGAS%20SEMESTER%20VI/SEMESTER%20VI/PSIKOLINGU IST/Bahasa%20dan%20pikiran%20%28Psikolinguistik%29%20_%20Nurul%20%27Ilmy%20Space. htm 86-87)
3. Bahasa dan pikiran saling mempengaruhi Hubungan timbal balik antara bahasa dan pikiran dikemukakan oleh Benyamin Vygotsky, seorang ahli semantic kebangsaan Rusia yang teorinya dikenal sebagai pembaharu teori. Vygotsky mengatakan bahwa bahasa dan pikiran pada tahap permulaan berkembang secara terpisah dan tidak saling mempengaruhi. Jadi, mula-mula pikiran berkembang tanpa bahasa, dan bahasa mula-mula berkembang tanpa pikiran. Lalu pada tahap berikutnya, keduanya bertemu dan saling bekerja sama, serta saling mempengaruhi. Pikiran dan bahasa, menurut Vygotsky tidak dipotong dari satu pola. Struktur ucapan tidak hanya mencerminkan, tetapi juga mengubahnya setelah pikiran berubah menjadi ucapan. Karena itulah, bahasa tidak dapat dipakai oleh pikiran seperti memakai baju yang sudah siap. Pikiran tidak hanya mencari ekspresinya dalam ucapan, tetapi juga mendapatkan realitas dan bentuknya dalam ucapan itu. Pada tahap lebih lanjut, yakni dalam perkembangan pikiran dan ucapan itu, tata bahasa selalu mendahului logika pemikiran (Chaer, 55-56)
F. Hubungan Berbahasa dengan Budaya
Bahasa berkaitan erat dengan budaya. Bahasa adalah bagian dari budaya. Hal ini tampaknya sesuai dengan
pendapat yang mengatakan bahwa bahasa menunjukkan atau
cermin dari jiwa suatu bangsa, sesuatu yang tampak dalam budaya akan tercermin dalam bahasa dan sesuatu yang tampak dalam bahasa akan tercermin dalam budaya. Bahasa sebagai salah satu unsur kebudayaan mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bahasa memungkinkan seseorang mengadakan komunikasi dengan
orang lain
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. kebudayaan manusia tidak akan dapat terjadi tanpa adanya bahasa. Bahasa inilah memungkinkan terbentuknya suatu kebudayaan. Inilah salah satu hubungan antara
kebudayaan dan bahasa. Hubungan kebudayaan dan bahasa yang lainnya adalah bahwa bahasa sebagai suatu sistem komunikasi, akan mempunyai makna hanya dalam kebudayaan yang menjadi wadahnya. Ini artinya untuk bisa mengerti suatu bahasa, setidaknya juga harus paham dengan kebudayaannya. Demikian sebaliknya, untuk memahami kebudayaan suatu daerah atau suatu negara akan lebih sempurna apabila juga memahami bahasanya. Hubungan antara kebudayaan dan bahasa juga dapat dilihat pada sisi yang lain, yaitu bahasa merupakan kunci bagi pengertian yang mendalam atas suatu kebudayaan. Oleh karena itu, dalam mempelajari suatu kebudayaan diperlukan juga mempelajari bahasanya. Menurut Nababan
(dalam
http://72.14.235.104/search?q=cache:SRQ3uZoKPFkJ:www.depdiknas.go.id/jurnal/57/j57_0 6.pdf+hubungan+bahasa+dengan+budaya+sangat+erat&hl=id&ct=clnk&cd=7&gl=id
ada
dua macam hubungan antara kebudayaan dan bahasa. Kedua hubungan itu adalah: (1) Bahasa adalah bagian dari kebudayaan (2) jika seseorang belajar kebudayaan, harus melalui bahasanya.
Referensi
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoretik . Jakarta: Rineka Cipta. Dardjowidjoyo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor. ]http://72.14.235.104/search?q=cache:SRQ3uZoKPFkJ:www.depdiknas.go.id/jurnal/57/j57_ 06.pdf+hubungan+bahasa+dengan+budaya+sangat+erat&hl=id&ct=clnk&cd=7&gl=id file:///C:/Users/user/Documents/TUGAS%20SEMESTER%20VI/SEMESTER%20VI/PSIKOLINGU IST/Bahasa%20dan%20pikiran%20%28Psikolinguistik%29%20_%20Nurul%20%27Ilmy%20Space. htm