Hak-Hak Konstitusional Warga Negara Setelah Amandemen UUD 1945: Konsep, Pengaturan dan Dinamika Implementasi Pengantar Hak-hak asasi manusia adalah menjadi hak-hak konstitusional karena statusnya yang lebih tinggi dalam hirarki norma hukum biasa, utamanya ditempatkan dalam suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Artinya memperbincangkan kerangka normatif dan konse konsepsi psi hak-ha hak-hak k konst konstitusio itusional nal sesung sesungguhn guhnya ya tidak tidaklah lah jauh berbe berbeda da deng dengan an bicara hak asasi manusia. Perlu Pe rlu di diak akui ui ba bahw hwaa pe peru ruba baha han n UU UUD D 19 1945 45 ha hasi sill am aman ande deme men n ad adal alah ah leb lebih ih ba baik ik dib di ban andi din ngk gkan an de den nga gan n kon onst stit itu usi se sebe belu lum mny nyaa dal alam am mem emb ban ang gun si sist stem em ketatanegaraan, salah satu utamanya terkait dengan meluasnya pengaturan jaminan hak-hak asasi manusia. Dari kualitas jaminan hak-haknya, UUD 1945 mengatur jauh lebih lengkap dibandingkan sebelum amandemen, dari 5 pasal (hak a tas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, jaminan kemerdekaan beragama dan berkepercayaan, serta hak atas pengajaran, hak atas akses sumberdaya alam) menjadi setidaknya 17 pasal (dengan 38 substansi hak-hak yang beragam)2 yang terkait dengan hak asasi manusia. Meluasnya jaminan hak-hak asasi manusia melalui pasal-pasal di dalam UUD 1945 meru me rupa paka kan n ke kema maju juan an da dala lam m me memb mban angu gun n po pond ndas asii hu huku kum m be bern rneg egar araa un untu tuk k memperkuat kontrak penguasa-rakyat dalam semangat konstitusionalisme Indonesia. Semangat Seman gat konst konstitusio itusionalism nalismee Indon Indonesia esia harus menge mengedepan depankan kan dua aras bang bangunan unan politik hukum konstitusinya, yakni pertama, pembatasan kekuasaaan agar tidak mengga men ggampa mpangk ngkan an kese kesewen wenang ang-wen -wenang angan, an, dan ked kedua, ua, jam jamina inan n pen pengho ghorma rmatan tan,, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia. Kemajuan pasal-pasal hak asasi manusi man usiaa dal dalam am kon konstit stitusi usi mer merupa upakan kan kec kecend enderu erunga ngan n glo global bal di ber berbag bagai ai neg negara ara tentang diakuinya prinsip universalisme hak-hak asasi manusia. Dan, diyakini secara bertahap akan memperkuat pada kapasitas negara dalam mendorong peradaban martabat kemanusiaan. Meskipun demikian, pintu masuk melalui progresifitas teks konstitusi, tidaklah berarti pemahaman, tafsir dan implementasi penegakan hak-hak asasi manusia akan berjalan seiring dengan teks, karena hubungan hubungan teks dan kont konteks eks meng mengalami alami dinamika politik dan hukum. Kekuasaan yang tidak lagi mempedulikan dan peka terhadap persoalan rakyat miskins misaln misalnya, ya, akan sangat memungkinkan memungkinkan mereduksi jaminan kebeb kebebasan asan berekspresi dan berserikat. Atau juga penguasa yang merasa dirinya paling benar tanpa mau dikritik akan pula cenderung melahirkan penyingkiran hak-hak rakyat. Artinya, teks progresif belumlah mencukupi untuk memberikan jaminan perlindungan dan pem pemenu enuhan han hak asas asasii man manusia usia,, kar karena ena ia mem membut butuhk uhkan an taf tafsir sir pro progre gresif sif dan implementatif untuk merealisasikannya. Di konteks inilah, pergesekan antara tafsir kekuasaan kekua saan dan kekua kekuasaan saan tafsir akan sangat saling berpengaruh, berpengaruh, utamanya utamanya dalam pemajuan hak asasi manusia (Wiratraman 2006). 1 Pendapat lain, menyebutkan lebih dari 5 pasal, yakni pasal 27, 28, 29, 30, 32, 32, 33, dan 34 (Hadjon 1987: 62). 2 Pendapat lain, menurut Asshidiqie (2006: 103-107), disebutkan ada 27 substansi atau materi hak asasi manusia.Tulisan berikut akan mengurai dinamika teks-konteks yang mempengaruhi berjalannya pasal-pasal hak asasi manusia pasca amandemen UUD 1945. Pertanyaan kunci yang hendak dilihat adalah bagaimana pengaturan hak-hak asasii man asas manusi usiaa seca secara ra kon konsep septua tuall dal dalam am kon konsti stitus tusi, i, dan apa apakah kah par paradi adigma gma neg negara ara dalam dal am mem membua buatt keb kebija ijakan kan koh koheren eren den dengan gan pas pasal-p al-pasal asal hak asa asasi si man manusi usiaa yan yang g
dirumuskan dalam konstitusi (constitutional rights), utamanya menyangkut paradigma negara dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia? Ataukah sebaliknya, inkoheren? Hal ini penting untuk merespon betapa kuatnya arus kapitalisme global yang menancap dalam berbagai kebijakan negara yang berpotensi menyingkirkan hak-hak konstitusional warga negara, utamanya paradigma liberal dalam jaminan hak asasi manusia. Bagian terakhir akan ditinjau bagaimana mekanisme perlindungan hak-hak konstitusional di Indonesia. Konsepsi HAM dalam UUD 1945 Pasca Amandemen Memasukkan hak-hak asasi manusia ke dalam pasal-pasal konstitusi merupakan salah satu ciri konstitusi moderen. Setidaknya, dari 120an konstitusi di dunia, ada lebih dari 80 persen diantaranya yang telah memasukkan pasal-pasal hak asasi manusia, utamanya pasal-pasal dalam DUHAM. Perkembangan ini sesungguhnya merupakan konsekuensi tata pergaulan bangsa-bangsa sebagai bagian dari komunitas internasional, utamanya melalui organ Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sejak dideklarasikannya sejumlah hak-hak asasi manusia dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau biasa disebut DUHAM 1948 (Universal Declaration of Human Rights), yang kemudian diikuti oleh sejumlah kovenan maupun konvensi internasional tentang hak asasi manusia, maka secara bertahap diadopsi oleh negara-negara sebagai bentuk pengakuan rezim normatif internasional yang dikonstruksi untuk menata hubungan internasional. Meskipun demikian, dalam konteks sejarah dan secara konsepsional, Undang-Undang Dasar 1945 yang telah lahir sebelum DUHAM memiliki perspektif hak asasi manusia yang cukup progresif, karena sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UndangUndang Dasar 1945, alinea 1: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perike adilan.” Konsepsi HAM tersebut tidak hanya ditujukan untuk warga bangsa Indonesia, tetapi seluruh bangsa di dunia! Di situlah letak progresifitas konsepsi hak asasi manusia di tengah berkecamuknya perang antara blok negara-negara imperial. Konsepsi yang demikian merupakan penanda corak konstitusionalisme Indonesia yang menjadi dasar tanggung jawab negara dalam hak asasi manusia (Wiratraman 2005a: 32-33). DUHAM 1948 kemudian banyak diadopsi dalam Konstitusi RIS maupun UUD Sementara 1950, dimana konstitusi-konstitusi tersebut merupakan konstitusi yang paling berhasil memasukkan hampir keseluruhan pasal-pasal hak asasi manusia yang diatur dalam DUHAM (Poerbopranoto 1953 : 92). Di tahun 1959, Soekarno melalui Dekrit Presiden telah mengembalikan konstitusi pada UUD 1945, dan seperti pada awalnya disusun, kembali lahir pengaturan yang terbatas dalam soal hak-hak asasi manusia. Dalam sisi inilah, demokrasi ala Soekarno (demokrasi terpimpin atau guided democracy) telah memperlihatkan adanya pintu masuk otoritarianisme, sehingga banyak kalangan yang menganggap demokrasi menjadi kurang sehat. Di saat rezim Orde Baru di bawah Soeharto berkuasa, konsepsi jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 justru sama sekali tidak diimplementasikan. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dikebiri atas nama stabilisasi politik dan ekonomi, dan hal tersebut jelas nampak dalam sejumlah kasus seperti pemberangusan simpatisan PKI di tahun 1965-1967 (Cribb 1990; Budiarjo 1991), peristiwa Priok (Fatwa 1999), dan penahanan serta penculikan aktivis partai pasca kudatuli. Sementara penyingkiran hak-hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan terlihat menyolok dalam kasus
pembunuhan aktivis buruh Marsinah, pengusiran warga Kedungombo (Elsam & LCHR 1995), dan pembunuhan 4 petani di waduk Nipah Sampang (Hardiyanto et. all (ed) 1995). Praktis, pelajaran berharga di masa itu, meskipun jaminan hak asasi manusia telah diatur jelas dalam konstitusi, tidak serta merta di tengah rezim militer otoritarian akan mengimplementasikannya seiring dengan teks-teks konstitusional untuk melindungi hak-hak asasi manusia. Setelah situasi tekanan politik ekonomi yang panjang selama lebih dari 30 tahun, desakan untuk memberikan jaminan hak asasi manusia pasca Soeharto justru diakomodasi dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal-pasal di dalam undang-undang tersebut -- nyatanya -cukup memberikan pengaruh pada konstruksi pasal-pasal dalam amandemen UUD 1945, terutama pada perubahan kedua (disahkan pada 18 Agustus 2000) yang memasukkan jauh lebih banyak dan lengkap pasal-pasal tentang hak asasi manusia. Bandingkan saja kesamaan substansi antara UUD 1945 dengan UU Nomor 39 Tahun 1999. Untuk memudahkan memahami substansi, pemetaan berikut secara rinci mengemukakan pasal-pasal berbasis pada kualifikasi struktur konstitusi (Diatur dalam/luar Bab XIA) dan pemilahan substansi hak sipil dan politik dan hak ekonomi, sosial dan budaya. Tabel: Kualifikasi Pasal-Pasal Hak Asasi Manusia Dalam UUD 1945 Pasca Amandemen Bab XIA (Hak Di Luar Bab XIA Asasi Manusia) Pasal Tentang Pasal Tentang Hak Sipil dan 28A dan 28IHak untuk28 Kemerdekaan Politik ayat (1) hidup berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan 28D Hak atas29 ayat (2) Hak untuk ayat pengakuan, beragama dan 1 jaminan, berkepercayaan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hokum 28D ayat (3) Hak atas kesempatan sama dalam pemerintahan 28D ayat (4) dan Hak atas status 28E ayat (1) kewarganegaraan dan hak berpindah 28E ayat (1) dan Kebebasan beragama 28I ayat http://prayudialin.blogspot.com/2011/02/hak-hak-konstitusional-warga-negara.html
Intoleransi: Mengancam Hak Konstitusional Warga Negara Kompas 28-01-2011 http://www.setara-institute.org/id/content/intoleransi-mengancam-hak-konstitusionalwarga-negara Laporan Setara Institute, yang diluncurkan awal pekan ini tentang ketiadaan prakarsa pemerintah memajukan kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan, berdampak semakin besar bagi perempuan. Tubuh perempuan menjadi arena kompetisi ideologi kekuasaan yang menggiring pada pertanyaan: negeri ini mau dibawa ke mana? Sejak tahun 1999, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat berbagai peristiwa terkait penerbitan kebijakan dan peraturan di tingkat nasional, provinsi, dan kota/kabupaten yang menjadi sarana pelembagaan intoleransi, diskriminasi, dan kriminalisasi tubuh perempuan. Kebijakan diskriminatif yang berjumlah 189 akhir tahun 2010 itu menggunakan klaim mayoritas dalam proses berdemokrasi sebagai pembenaran atas pembedaan, pembatasan, dan pengabaian hak-hak konstitusional warga negara, hak dasar yang harus dijamin negara. Tujuh terbit di tingkat nasional, sedangkan 80 dari 189 kebijakan yang mengatasnamakan agama dan moralitas itu menyasar langsung perempuan. Ketika meluncurkan alat-alat advokasi hak-hak konstitusional warga negara di Jakarta (21/12/2010), Ketua Komnas Perempuan Yunianti Chuzaifah menegaskan, pembiaran terhadap perda diskriminatif itu merapuhkan pilar konstitusi, menyendat mesin demokrasi, mengikis hak konstitusional warga negara, mengancam kebhinekaan, dan akhirnya memicu disintegrasi. Alih-alih bertindak proaktif, para pejabat publik malah membuat pernyataan provokatif dan mengundang terjadinya kekerasan (condoning). Penyangkalan Laporan Setara Institute 2010 mencatat 216 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang mengandung 286 bentuk tindakan, menyebar di 20 provinsi pada tahun 2010. Dari 286 bentuk tindakan itu, menurut peneliti senior Setara Institute, Ismail Hasani, terdapat 103 tindakan negara yang melibatkan penyelenggara negara sebagai aktor. Dari jumlah itu, 24 merupakan tindakan pembiaran (by omission) dan 79 tindakan merupakan tindakan aktif, termasuk pernyataan pejabat publik yang provokatif dan mengundang terjadinya kekerasan. Tingkat pelanggaran tertinggi terdapat di Jawa Barat (91 peristiwa ), diikuti Jawa Timur (28), Jakarta (16), Sumatera Utara (15), dan Jawa Tengah (10). ”Kalau tahun-
tahun sebelumnya pelanggaran lebih banyak terjadi pada komunitas Ahmadiyah, tahun 2010 pelanggaran terbanyak terjadi pada jemaat Kristiani,” ujar Ismail. Meski demikian, peminggiran dan kekerasan terhadap warga Ahmadiyah masih jauh dari penyelesaian. Komisioner Komnas Perempuan Neng Dara Affiah mencatat dampak kekerasan dan marjinalisasi, khususnya terhadap perempuan, di komunitas Ahmadiyah. Bentuknya mencakup kekerasan seksual, pengucilan, penurunan kesehatan dan gangguan jiwa, kehilangan akses ekonomi, hak berkeluarga, serta status kependudukan. Anak-anak mengalami diskriminasi di bidang pendidikan, reproduksi kebencian sesama anak, stigmatisasi, dan trauma. Tanpa keberpihakan Menurut Ketua Institut Setara Hendardi, keberpihakan dan kepekaan Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, serta Presiden RI sangat tipis, bahkan kontraproduktif, bagi promosi jaminan kebebasan beragama-berkeyakinan. ”Menteri Agama menyangkal semua kekerasan yang terjadi. Cara pandang SBY tentang HAM hanya sebatas pada aksi kekerasan TNI adalah kekeliruan mendasar memahami konsep HAM,” ujar Hendardi. Menurut Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos, dalam kasus intoleransi, pemerintah pusat baru bertindak setelah situasi meruncing dan pemerintah daerah tak melakukan tindakan berarti, seperti pada penyerangan komunitas Ahmadiyah di Manislor dan jemaat Gereja HKBP di Ciketing. Institut Setara mencatat, Menteri Agama melakukan condoning sebanyak enam kali. Tindakan Menteri Agama yang memberikan penghargaan kepada daerah yang menerapkan perda Syariah dinilai tidak pada tempatnya di negara dengan kebudayaan, agama, dan etnis beragam seperti Indonesia. ”Jabatan Menteri Agama seharusnya tidak diberikan kepada kader partai politik,” tegas Hendardi. Dia juga mengungkapkan bagaimana agama digunakan sebagai kendaraan politik dalam pemilihan umum ataupun pemilihan umum kepala daerah. Harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan dalam konteks otonomi daerah merupakan prioritas kerja Rencana Pembangunan Nasional 2010. Namun Front Oposisi Rakyat Indonesia (Fori) tahun lalu mencatat, Kementerian Dalam Negeri melakukan sinkroninasi terhadap setidaknya 899 perda yang dinilai menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan menghambat investasi, tetapi tak satu pun perda yang melanggar HAM, khususnya terkait hak konstitusional warga negara, termasuk prioritas. Sikap intoleransi yang melembaga sudah terlihat dari ditolaknya peninjauan Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang. Implementasi perda itu memakan korban seorang ibu rumah tangga, Lilis Lisdawati, pekerja restoran, yang ditangkap satpol PP dan dituduh sebagai pekerja seks komersial karena pulang kerja pukul 20.00.
Tuduhan itu tak terbukti, tetapi Lilis tetap didenda. Ketika menolak membayar denda, ia dipenjara. Penahanan Lilis meninggalkan stigma dan tekanan psikologis yang tak tertanggungkan. Kesehatannya menurun. Lilis berpulang pada Agustus 2008. (MH)
Buka situs ini : http://artikelpdf.co.cc/hak-hak-asasi-manusia-setelah-amandemen-uud-1945/ http://artikelpdf.co.cc/bab-vii-mekanisme-penegakan-hak-asasi-manusia-nasional/ http://artikelpdf.co.cc/hak-hak-konstitusional-warga-negara-setelah-amandemen-uudhak/ http://www.scribd.com/doc/34169341/33/Pengertian-Konstitusi http://esbede.wordpress.com/2008/04/23/mengenai-perlindungan-hak-hakkonstitusional-warga-negara/