Gangguan Fungsi Luhur pada Stroke
Proses kognitif atau proses mental luhur adalah proses berfikir bersama-sama dengan mekanisme persepsi, belajar, mengingat, memberikan informasi, membuat keputusan dan membentuk fungsi psikologis secara kolektif. Kerusakan otak merupakan faktor yang mempengaruhi fungsi kognitif, sehingga memunculkan manifestasi gangguan fungsi kognitif. Kerusakan hemisfer kiri dan kanan memberikan wujud gejala yang berbeda karena telah terjadi proses lateralisasi dari fungsi-fungsi tertentu ke salah satu hemisfer (dominasi serebral). Kerusakan hemisfer kiri akan menimbulkan gangguan kemampuan berbahasa, membaca, menulis, menghitung, memori verbal dan gerakan motorik terampil. Penurunan kognitif berkaitan erat dengan penurunan penampilan aktivitas hidup daripada defisit motorik. Gangguan fungsi kognitif merupakan gangguan fungsi luhur otak berupa gangguan orientasi, perhatian, konsentrasi, daya ingat dan bahasa serta fungsi intelektual yang diperlihatkan dengan adanya gangguan dalam berhitung, bahasa, daya ingat dan pemecahan masalah. Stroke merupakan penyebab utama kecacatan fisik maupun mental pada usia produktif dan usia lanjut. Stroke menyebabkan gangguan neurologis berdasarkan berat ringannya gangguan pembuluh darah. Kerusakan sel-sel otak pasca stroke menyebabkan kecacatan fungsi kognitif, sensorik, maupun motorik sehingga menghambat kemampuan fungsional mulai dari aktivitas bergerak, mengurus diri, kegiatan sehari-hari, berkomunikasi dengan orang sekitar secara normal. Prognosis penderita stroke dapat pulih komplit atau menimbulkan cacat motorik, sensorik maupun fungsi luhur antara lain berupa gangguan fungsi kognitif yang dapat berlanjut menjadi demensia. Penurunan atau gangguan kognitif merupakan efek yang biasa terjadi pada stroke. Pada penderita stroke diperkirakan sekitar 50- 75 % mengalami gangguan kognitif dan prevalensi menjadi demensia 3 bulan pasca p asca stroke berkisar antara 23,5-61 %. Penurunan fungsi kognitif pada pasien post stroke dapat muncul dalam bentuk yang ringan seperti mild cognitive impairment sampai sampai dengan kepada yang berat seperti demensia. Tipe dan keparahan gangguan kognitif yang muncul bermacam-macam tergantung dengan lokasi otak yang terkena dan seberapa parah jaringan otak yang rusak. Akumulasi infark-infark lakunar, lesi-lesi iskemik dan hipoperfusi serebral merupakan penyebab utama gangguan 1
kognitif/demensia post stroke. Tipe stroke yang terjadi umumnya melibatkan koneksikoneksi antara area-area pada korteks yang mengasosiasikan berbagai macam informasi, sehingga disrupsi pada bagian itu akan menyebabkan gangguan kognisi. Secara kuantitatif, volume stroke/lesi stroke sebesar 10 ml sampai dengan 50 ml (1% - 4% volume otak) sudah cukup untuk menimbulkan gangguan kognitif atau demensia. Gangguan kognitif atau demensia juga dapat terjadi pada volume lesi yang lebih kecil jika terjadi pada area hipotalamus, talamus, batang otak atau hipokampus. Gangguan fungsi kognitif atau fungsi luhur yang terjadi berupa gangguan orientasi, perhatian, konsentrasi, daya ingat dan bahasa serta fungsi intelektual. Dilaporkan terdapat perbedaan bermakna terjadinya gangguan fungsi kognitif antara stroke hemoragik dan iskemik dengan lokasi hemisfer kiri. Di mana stroke iskemik lebih banyak menimbulkan gangguan fungsi kognitif daripada stroke hemoragik dengan lesi hemisfer kiri. Kerusakan hemisfer kanan akan menimbulkan gangguan fungsi visuospasial (persepsi), visuomotor, pengabaian (neglect ), memori visual, dan koordinasi motorik. Stroke meningkatkan risiko untuk mengalami penurunan fungsi kognitif sebanyak 3 kali. Gangguan fungsi kognitif untuk jangka panjang jika tidak dilakukan penanganan yang optimal akan meningkatkan insidensi demensia. Menurut penelitian yang dilakukan di Yogyakarta, gangguan kognitif pada penderita stroke merupakan prediktor untuk terjadinya demensia. Evaluasi fungsi kognitif sangat penting karena memudahkan dalam menentukan tingkat kemampuan fungional yang berhubungan Faktor resiko stroke yang tidak terkontrol akan menyebabkan terjadinya stroke berulang. Fungsi neurologik mengalami perubahan sebagai akibat lesi serebral dan perluasannya serta edema otak. Area dan mekanisme stroke iskemik berulang aterosklerosis arteri besar intrakranial, sama dengan serangan yang pertama. Pada area aterosklerosis arteri ekstrakranial, lokasi dan mekanismenya sering tidak bisa diprediksi, maka frekuensi serangan ulang pada area vaskuler yang berbeda karena oklusi mendadak pada pembuluh darah yang sebelumnya normal pada serangan pertama menyebabkan manifestasi klinis stroke semakin memburuk terutama yang berkembang pada sisi otak yang dominan (hemisfer kiri pada 95% manusia). Gangguan hemodinamika serebral seperti stroke pada area ini sangat mempengaruhi fungsi intelegensia/kognitif. Luas area infark yang mampu menyebabkan penurunan kognitif 2
(demensia) adalah 10-50 ml atau berkisar 1-4% volume total otak dan kurang dari 10 ml jika stroke mengenai hipotalamus, talamus, batang otak dan hipokampus. Adapun risiko terjadinya gangguan kognitif pada pasien post stroke akan semakin meningkat bila pasien tersebut juga memiliki dibarengi risiko seperti hipertensi, hiperlipidemia, aterosklerosis, homosisteinemia, diabetes mellitus, sakit jantung, hipotensi, inaktivitas fisik, obesitas, koagulopati, riwayat merokok, konsumsi alkohol, pernah mengalami stroke sebelumnya dan stroke pertama kali saat usia lebih dari 50 tahun. Screening untuk gangguan kognitif pada pasien post stroke sangat penting, karena semakin awal gangguan kognisi terdeteksi maka lebih awal pula kita dapat memberikan manajemen untuk mengurangi progresivitas gangguan kognitif ataupun demensia. Ada beberapa metode screening yang dapat digunakan untuk deteksi awal gangguan kognitif seperti mini mental state examination (MMSE), Raven’s Coloured Progressive Matrices (RCPM) dan Sheffield Screening Test for Acquired Language Disorders (SST). Tes-tes tersebut dapat dilakukan dalam waktu singkat, mudah dilakukan sehingga cocok untuk evaluasi gangguan kognitif pada pasien post stroke. MMSE misalnya, dalam menilai fungsi kognitif tes ini terbagi dalam 2 aspek utama. Yang pertama adalah aspek yang meliputi orientasi, memori dan atensi. Sedangkan yang kedua adalah aspek yang meliputi kemampuan untuk mengikuti perintah verbal dan tertulis, nama, menulis sebuah kalimat dengan spontan dan meniru bentuk gambar poligon. Sebagai sarana pemeriksaan gangguan kognitif tes ini menunjukkan diskriminasi yang baik antara yang terganggu dan yang normal, dan telah terbukti validitas dan reliabilitasnya. Tes SST dikembangkan sebagai alat bantu klinis bagi non spesialis untuk mendeteksi adanya disfasia dan memberikan rujukan segera ke terapis bahasa dan bicara. Tes ini menilai kemampuan reseptif dan expresif bahasa seorang pasien. Tes RCPM merupakan penilaian non verbal terhadap intelegensi pasien berdasarkan kemampuan persepsi visual dan reasoning analogis. Selain tes-tes screening yang disebutkan di atas, dapat juga dilakukan tes neuropsikologi. Tes neuropsikologi merupakan pemeriksaan kognitif mendetail yang meliputi penilaian appearance, mood, anxietas, delusi/halusinasi, daya ingat kata ataupun visual, atensi, orientasi, bahasa, kemampuan untuk mengikuti instruksi, berpikir abstrak, reasoning dan pemecahan masalah. Manfaat tes neurologis ini sangat luas yaitu memberikan informasi prognostik, memberikan dasar untuk perencanaan remediasi 3
kognitif dan rekomendasi untuk tim yang menangani ataupun dasar untuk pemberian edukasi pada pihak keluarga. Namun tes ini memiliki kekurangan, karena memerlukan biaya yang cukup tinggi dan proses yang lama, sehingga menyebabkan tes seperti MMSE jauh lebih aplikatif untuk menilai gangguan kognitif . Manajemen gangguan kognitif/luhur pada pasien post stroke bertujuan untuk mengurangi progresivitas gangguan kognitif. Manajemen meliputi pemberian terapi medikamentosa dan non medikamentosa. Pemberian terapi medikamentosa ditujukan untuk mengelola faktor-faktor risiko yang dimiliki pasien post stroke. Contoh obat-obat yang diberikan adalah antihipertensif, antiplatelet, antidepresan dan obat untuk menurunkan kolesterol. Sementara itu, terapi non medikamentosa adalah pemberian edukasi pada pasien dan keluarga pasien meliputi modifikasi gaya hidup dan tingkah laku (behavior changing interventions).
4