LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
ORIF (Open Reduction and Internal Fixation)
ATAS INDIKASI FRAKTUR ELBOW
Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Ners
Departemen Surgikal
Oleh :
Fenti Diah Hariyanti
NIM 115070201111002
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN
ORIF (Open Reduction and Internal Fixation)
ATAS INDIKASI FRAKTUR ELBOW
Disusun untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Surgikal
di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lawang
Oleh :
Fenti Diah Hariyanti
115070201111002
Telah diperiksa kelengkapannya pada :
Hari :
Tanggal :
Dan dinyatakan memenuhi kompetensi
Perseptor Akademik, Perseptor Klinik,
(Ns. Heri Kristianto, S.Kep.,M.Kep.,Sp.KMB) (Dyan Sungkawati,
Amd. Kep)
NIP. 19821126 200812 1 001 NIP. 19740925
200801 2 009
FRAKTUR
Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan
menurut Carpenito (1999), menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya
kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap oleh tulang.
Fraktur atau sering disebut patah tulang adalah terputusnya
kontinuitas Jaringan tulang dan atau tulang rawan yang penyebabnya dapat
dikarenakan penyakit pengeroposan tulang diantaranya penyakit yang sering
disebut osteoporosis, biasanya dialami pada usia dewasa, dan dapat juga
disebabkan karena kecelakaan yang tidak terduga (Mansjoer, 2000).
Etiologi
1. Fraktur Fisiologis
Suatu kerusakan jaringan tulang yang diakibatkan dari kecelakaan,
tenaga fisik, olahraga, dan trauma dapat disebabkan oleh:
a. Trauma langsung
Yaitu pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah secara
spontan. yang paling lazim adalah karena kecelakaan sepeda motor.
Fraktur ini disebabkan karena kekuatan yang berlebihan dan tiba-
tiba, dapat berupa pemukulan, pemuntiran, penekukan maupun
penarikan antara tendon dan ligament sehingga bisa berakibat tulang
terpisah. Trauma langsung menyebabkan patah tulang pada titik
terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur
terbuka dengan garis patah melintang atau miring. Benturan pada
lengan bawah, ex: fraktur tulang ulna dan radius.
b. Trauma tidak langsung
Yaitu pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan, misalnya
jatuh. Trauma tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
Jatuh tertumpu pada tangan, ex: fraktur klavikula.
c. Trauma akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan
dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekanan, kombinasi dari
ketiganya, dan penarikan (Oswari E, 1993).
2. Fraktur Patologis
Dalam hal ini kerusakan tulang terjadi akibat proses penyakit dimana
dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur ataupun akibat
kelemahan tulang akibat kelainan tulang. Dapat terjadi pada berbagai
keadaan berikut:
a. Tumor tulang, terbagi menjadi jinak dan ganas
b. Infeksi seperti Osteomielitis
c. Scurvy (penyakit gusi berdarah)
d. Osteomalasia
e. Rakhitis
f. Osteoporosis
Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi dan dibagi menjadi beberapa
kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur
1) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup
ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cidera
jaringan lunak sekitarnya.
Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan
lunak bagian dalam dan pembengkakan.
Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata dan ancaman sindroma kompartement.
2) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur
1) Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang
atau melalui kedua korteks tulang.
2) Fraktrur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh
penampang tulang seperti:
a) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu
korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
b) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma
1) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral
yang disebabkan trauma rotasi.
4) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang.
d. Berdasarkan jumlah garis patah
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak pada tulang yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang
1) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.
2) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang
yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah
sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh).
f. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
g. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis
tulang.
Tanda dan Gejala
Menurut Smeltzer (2002), manifestasi Klinis Fraktur adalah nyeri,
hilangnya fungsi deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitasi,
pembekakan lokal dan perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya
tetap menjadi seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada faktur lengan
atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba)
ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan
ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik
karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat
melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm.
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya fragmen satu
dengan lainnya (uji krepitus dapat kerusakan jaringan lunak yang lebih
berat).
5. Pembekakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah "pencitraan"
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu
diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk
memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu
disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan
pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan.
Hal yang harus dibaca pada x-ray:
1) Bayangan jaringan lunak.
2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya
seperti:
1) Tomografi
Menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan
kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur
saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
2) Myelografi
Menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di
ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
3) Arthrografi
Menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
4) Computed Tomografi-Scanning
Menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana
didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b) Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan Darah Lengkap (Hb, hematokrit, eritrosit, trombosit,
leukosit, WBC, golongan darah)
2) Waktu Pembekuan Darah
3) Bleeding Time
4) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
5) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
6) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada
tahap penyembuhan tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi
pada tulang.
6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
ORIF (Open Reduction and Internal Fixation)
A. Pengertian
ORIF (Open Reduction Internal Fixation) adalah suatu bentuk
pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami
fraktur. ORIF (Open Reduksi Internal Fiksasi), open reduksi merupakan
suatu tindakan pembedahan untuk memanipulasi fragmen-fragmen tulang yang
patah / fraktur sedapat mungkin kembali seperti letak asalnya.Internal
fiksasi biasanya melibatkan penggunaan plat, sekrup, paku maupun suatu
intramedulary (IM) untuk mempertahan kan fragmen tulang dalam posisinya
sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. ORIF (Open Reduction
Internal Fixation) Merupakan tindakan pembedahan dengan melakukan insisi
pada derah fraktur, kemudian melakukan implant pins, screw, wires, rods,
plates dan protesa pada tulang yang patah
B. Tujuan tindakan operasi
Tujuan dari operasi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang
agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini
berupa Intra Medullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur tulang
panjang dengan tipe fraktur tranvers.
Imobilisasi sampai tahap remodeling
Melihat secara langsung area fraktur
mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak
mengalami pergeseran.
C. Indikasi
Indikasi redukksi terbuka dan fiksasi internal meliputi :
Reduksi fraktur yang tidak stabil dan jenis fraktur yang apabila
ditangani dengan metode terapi lain, terbukti tidak memberi hasil yang
memuaskan.
Metode ORIF untuk terapi fraktur memungkinkan ahli bedah melihat
secara langsung kerusakan pada struktur-struktur disekitar fraktur,
untuk membersihkan dan memperbaiki tempat fraktur sesuai keperluan,
dan untuk melakukan penyatuan anatomis fraktur yang kompleks. Selain
itu, proses penyembuhan tidak memerlukan imobilisasi berkepanjangan.
Fraktur avulsi mayor yang disertai oleh gangguan signifikan pd
struktur otot tendon.
Fraktur leher femoralis
Fraktur lengan bawah distal
Fraktur intra artikuler disertai pergeseran
Fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas
Fraktur dengan gangguan neurovaskuler
Fraktur kominutif
Fraktur pelvis
Fraktur terbuka
Trauma vaskuler
Fraktur shaft humeri bilateral
Floating elbow injury
Fraktur patologis
Reduksi tertutup yang sukar dipertahankan
Trauma multiple
Fraktur terbuka derajatI II
D. Kontra indikasi
Russel (1992) mencatat bahwa fiksasi internal umumnya
dikontraindikasikan untuk situasi berikut :
1. Tulang osteoporotik terlalu rapuh untuk menerima implant
2. Jaringan lunak di atasnya berkualitas buruk
3. Terdapat infeksi
4. Adanya fraktur comminuted yang parah yang menghambat rekonstruksi.
5. Pasien dengan penurunan kesadaran
6. Pasien dengan fraktur yang parah dan belum ada penyatuan tulang
7. Pasien yang mengalami kelemahan (malaise)
E. Jenis implan fiksasi interna
Beragamnya jenis implan ortopedik cukup memusingkan kecuali bagi
perawat perioperatif ortopedik yang paling berpengalaman. Secara
prosedural, sebagian besar ORIF biasanya serupa. Namun, instrumen dan
implan yang digunakan bervariasi, bergantung pada jenis fraktur yang
akan diperbaiki. Pengetahuan mengenai berbagai implan dan jenis
instrumen yang diperlukan untuk memasang akan sangat membantu kemampuan
perawat perioperatif membuat rencana keperawatan yang efektif.
a. Fiksasi pin dan kawat
Untuk fiksasi fraktur kecil di daerah metafisis dan epifisis
kaki distal, lengan bawah dan tangan sering digunakan kawat Kirschner
atau pin Steinmann. Keduanya juga dapat digunakan bersama dengan
reduksi tertutup fraktur falang dan metakarpal yang mengalami
pergeseran. Kawat dan pin dapat dimasukkan secara perkutis di bawah
fluoroskopi, atau digunakan bersama dengan perangkat fiksasi lain pada
prosedur terbuka.
b. Sekrup
Terdapat bermacam-macam sekrup fiksasi. Semua sekrup terdiri
atas empat bagian: kepala, batang, alur, dan ujung. Kepala sekrup
dapat berbentuk heksagonal, bersilangan, berlubang, atau berdesain
Phillips dan menentukan jenis obeng yang akan digunakan. Batang sekrup
adalah bagian halus antara kepala dan alur. Alur adalah bagian yang
mengjangkarkan fragmen dan mencegah sekrup terlepas. Ujung sekrup
mungkin bulat dan memerlukan perlubangan sebelumnya (pretapping), atau
bergalur dan self-tapping.
Sekrup kortikal dirancang untuk digunakan pada tulang kortikal
dan biasanya beralur di seluruh panjangnya. Sekrup retikular
(cancellous) dirancang untuk digunakan pada tulang retikular berongga,
memiliki alur yang lebih besar dan alurnya tidak terdapat diseluruh
panjangnya. Sekrup maleolar adalah sekrup tipe retikular dengan ujung
trefin self-tapping. Ahli bedah kadang-kadang menggunakan sekrup lag.
Sekrup lag bukanlah jenis sekrup khusus tetapi hanyalah sekrup
retikular yang digunakan dengan cara tertentu. Secara spesifik, sekrup
lag diletakkan sedemikian rupa sehingga sekrup berputar bebas melalui
fragmen yang terletak di dekat kepala sekrup dan hanya tersangkut
pada fragmen yang berlawanan.
c. Lempeng
Sekrup dapat digunakan tersendiri atau bersama dengan
lempeng/pelat untuk memfiksasi berbagai jenis fraktur. Lempeng
tersedia dalam berbagai rancangan dan ukuran lempeng yang mungkin
memiliki satu atau lebih fungsi yang berbeda-beda. Russell (1992)
membagi berbagai jenis lempeng menjadi empat kategori fungsional:
netralisasi, kompresi, penunjang, dan jembatan. Lempeng harus
difiksasi ke tulang baik di atas maupun di bawah fraktur.
F. Keuntungan dan kerugian
1. Keuntungan
Mobilisasi dini tanpa fiksasi luar.
Ketelitian posisi fragmen-fragmen fraktur.
Kesemparan untuk memeriksa pembuluh darah dan syaraf di sekitarnya.
Stabilisasi fiksasi yang cukup memadai yang dapat dicapai.
Perawatan di Rumah Sakit yang reltif singkat pada kasus tanpa
komplikasi.
Potensi untuk mempertahankan fungsi sendi yang mendekati normal
serta kekuatan otot selama perawatan fraktur.
2. Kerugian
Setiap anastesi dan operasi memiliki resiko komplikasi bahkan
kematian akibat dati tindakan tersebut.
Penanganan operatif memperbesar kemungkinan infeksi dibandingkan
pemasangan gips atau traksi.
Penggunaan stabilisasi logam unterna memungkinkan kegagalan alat
itu sendiri.
Pembedahan selama tindakan operasi dapat menimbulkan
trauma/kerusakan pada jaringan lunak dan stuktur yang sebelumnya
tidak mengalami cidera.
G. Komplikasi
Pada kasus ini jarang sekali terjadi komplikasi karena incisi
relatif kecil dan fiksasi cenderung aman. Tapi setiap prosedur yang
diberikan selalu memberikan resiko terjadinya komplikasi, sehingga perlu
dilakukan perencanaan prosedur yang dilakukan. Beberapa komplikasi yang
dapat terjadi jika tidak ada perencanaan yang baik adalah :
Infeksi
Perdarahan
Reaksi anastesi
Kehilangan darah berlebih
Selain itu, komplikasi juga akan terjadi bila ada penyakit penyerta dan
gangguan pada proses penyambungan tulang seperti :
Diabetes
Penyakit jantung atau paru
Penyakit pembekuan darah seperti hemophilia
Obesitas
ASUHAN KEPERAWATAN
Perawatan Pre Operatif
Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,
untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah
klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan.
Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini.
Tahap ini terbagi atas:
1. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa
yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,
asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS,
diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan
lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap
tentang rasa nyeri klien digunakan:
1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi
yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan
atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar,
berdenyut, atau menusuk.
3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda,
apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa
sakit terjadi.
4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana
tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi
terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang
terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur
dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang
dan penyakit paget's yang menyebabkan fraktur patologis yang
sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sangat beresiko terjadinya osteomyelitis
akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang.
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur,
seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada
beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetic.
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat
serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya
baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakadekutan akan
terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan
tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan
hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol
yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien
melakukan olahraga atau tidak.
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi,
protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien
bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal
dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak
adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi
masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu
juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas
klien.
3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji
frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola
eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada
kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan
gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan
kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan
obat tidur.
5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua
bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan
klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang
perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama
pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan
beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan
yang lain.
6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap.
7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas,
rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan body image).
8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada
bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak
timbul gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak
mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri
akibat fraktur.
9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa
melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat
inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami
klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan
dirinya, yaitu ketidakuatan timbul kecacatan pada diri
dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien
bisa tidak efektif.
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi.
Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan
gerak klien.
2) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status
generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan
setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan
total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya
memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah
tanda-tanda, seperti:
a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan,
sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan
baik fungsi maupun bentuk.
2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris,
tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada
penonjolan, reflek menelan ada.
d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada
perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi,
simetris, tak oedema.
e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis
(karena tidak terjadi perdarahan)
f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak
ada lesi atau nyeri tekan.
g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping
hidung.
h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada
simetris.
j) Paru
1) Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau
tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang
berhubungan dengan paru.
2) Palpasi :Pergerakan sama atau simetris, fermitus
raba sama.
3) Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada erdup atau
suara tambahan lainnya.
4) Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada wheezing,
atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan
ronchi.
k) Jantung
1) Inspeksi: Tidak tampak iktus jantung.
2) Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
3) Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-
mur.
l) Abdomen
1) Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
2) Palpasi : Tugor baik, tidak ada defands muskuler,
hepar tidak teraba.
3) Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang
cairan.
4) Auskultasi : Peristaltik usus normal ( 20
kali/menit.
m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada
kesulitan BAB.
b) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal
terutama mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada
sistem muskuloskeletal adalah:
1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
a) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan
seperti bekas operasi).
b) Fistulae.
c) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
d) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal
yang tidak biasa (abnormal).
e) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
f) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada
dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan
informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien. Yang
perlu dicatat adalah:
a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan
kelembaban kulit.
b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi
atau oedema terutama disekitar persendian.
c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak
kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi,
benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada
tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler.
Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu
dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan
terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan
ukurannya.
3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan
dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah
terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan
lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan
sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan
ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari
titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik.
Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak
(mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah
gerakan aktif dan pasif.
2) Persiapan dan prosedur di ruang operasi
1. Inform concent, surat persetujuan kepada pasien dan keluarga
mengenai pemeriksaan sebelum operasi, alasan, tujuan, keuntungan,
kerugian tindakan operasi
2. Diit, pasien dipuasakan selama 8 jam sebelum operasi
3. Persiapan kebersihan kulit. Untuk membebaskan daerah operasi dari
mikroorganisme, persiapan yang dilakukan adalah pencukuran rambut
pada daerah perut , daerah sekitar anus dan alat reproduksi.
4. Terapi pharmacologic, narkotik dihindari karena dapat menghilangkan
tanda dan gejala, antibiotik untuk menanggulangi infeksi
5. Pengecekan status. Mengecek status pasien sudah tepat dilakukan
operasi orif, dengan menyesuaikan diagnosanya. Apabila sudah tepat
diagnosanya maka segera diantar ke ruang operasi untuk dilakukan
operasi
6. Persiapan alat dan ruangan
Alat tidak steril : Lampu operasi, Cuter unit, Meja operasi,
Suction, Hepafik, Gunting
Alat Steril : Duk besar 3, Baju operasi 4, Selang suction
steril, Selang cuter Steril,side 2/0, palain 2/0,berbagai macam
ukuran jarum
Perawatan Intra Operatif
1) Persiapan Kamar dan Team Bedah
1. Tim pembedahan
Ahli bedah
Tim pembedahan dipimpin oleh ahli bedah senior atau ahli bedah yang
sudah melakukan operasi.
Asisten pembedahan (1orang atau lebih) asisten bius dokter,
risiden, atau perawat, di bawah petunjuk ahli bedah. Asisten
memegang retractor dan suction untuk melihat letak operasi.
Anaesthesologist atau perawat anaesthesi.
Perawat anesthei memberikan obat-obat anesthesia dan obat-obat lain
untuk mempertahankan status fisik klien selama pembedahan.
Circulating Nurse
Peran vital sebelum, selama dan sesudah pembedahan.
Tugas :
– Set up ruangan operasi
– Menjaga kebutuhan alat
– Check up keamanan dan fungsi semua peralatan sebelum pembedahan
– Posisi klien dan kebersihan daerah operasi sebelum drapping.
– Memenuhi kebutuhan klien, memberi dukungan mental, orientasi
klien.
Selama pembedahan :
- Mengkoordinasikan aktivitas
- Mengimplementasikan NCP
- Membenatu anesthetic
- Mendokumentasikan secara lengkap drain, kateter, dll.
Surgical technologist atau Nurse scrub; bertanggung jawab
menyiapkan dan mengendalikan peralatan steril dan instrumen, kepada
ahli bedah/asisten. Pengetahuan anatomi fisiologi dan prosedur
pembedahan memudahkan antisipasi instrumen apa yang dibutuhkan.
2. Ruang Operasi
Keamanan klien diatur dengan adanya ikat klien dan pengunci meja
operasi. Dua factor penting yang berhubungan dengan keamanan kamar
pembedahan : lay out kamar operasi dan pencegahan infeksi.
Lay Out pembedahan.
Ruang harus terletak diluar gedung RS dan bersebelahan dengan RR
dan pelayanan pendukung (bank darah, bagian pathologi dan
radiology, dan bagian logistik). Alur lalu lintas yang menyebabkan
kontaminasi dan ada pemisahan antara hal yang bersih dan
terkontaminasi ( design (protektif, bersih, steril dan kotor).
Besar ruangan tergantung pada ukuran dan kemampuan rumah sakit.
Umumnya :
- Kamar terima
- Ruang untuk peralatan bersih dan kotor.
- Ruang linen bersih.
- Ruang ganti
- Ruang umum untuk pembersihan dan sterilisasi alat.
- Scrub area.
Ruang operasi terdiri dari :
- Stretcher atau meja operasi.
- Lampu operasi.
- Anesthesia station.
- Meja dan standar instrumen.
- Peralatan suction.
- System komunikasi.
Kebersihan dan Kesehatan Team Pembedahan.
Sumber utama kontaminasi bakteri ( team pembedahan yang hygiene (
dan kesehatan ( ( kulit, rambut, saluran pernafasan). Pencegahan
kontaminasi :
- Cuci tangan.
- Handscoen.
- Mandi.
- Perhiasan (-) cincin, jam tangan, gelang.
Pakaian bedah.
- Terdiri : Kap, Masker, gaun, Tutup sepatu, baju OK.
- Tujuan: Menurunkan kontaminasi.
Surgical Scrub.
Cuci tangan pembedahan dilakukan oleh :
- Ahli Bedah
- Semua asisten
- Scrub nurse, sebelum menggunakan sarung tangan dan gaun steril.
2) Persiapan Alat
a. Alat-alat kebersihan disiapkan : Sikat cucin tangan reuable /
disposable, Anti microbial (betadine), pembersih / pemotong kuku.
Pembersihan dilakukan dalam waktu : 5 – 10 menit, kemudian dikeringkan
dengan handuk steril.
b. Alat-alat operasi disiapkan
c. Pasien dipindahkan dari brancard ke meja operasi
d. Klien dipasang bedside monitor
e. Instrumentator dan operator mencuci tangan secara steril lalu
mengenakan jas operasi dan sarung tangan.
f. Minimal alat yang digunakan dalam pembedahan ORIF
"boar : 1 "satu set perlengkapan ET : 1"
"redaction : 2 "set. "
"retractor : 2 "gunting jaringan : 2 "
"lastpat : 2 "gunting benang : 1 "
"arteri klem panjang : 2 "pingset sirurgis : 2 "
"arteri klem kecil/pendek : "pingset anatomis : 2 "
"2/2 "mangkok(kom) : 2 "
"nakulder : 1 "quret : 1 "
"duk klem : 1 "jarum traumatik maupun "
"kobra : 2 "atraumatik : 1 "
"kassa kecil : 20 "couter : 1 "
"duk steril : 3 "suction : 1 "
"plate : 1 "benang : polysorb 2-0, biopsin "
"screw : 6 "4-0 "
"penduga : 1 "penduga : 1 "
3) Persiapan Anasthesia
Anasthesia (Bahasa Yunani) ( Negatif Sensation. Anasthesia
menyebabkan keadaan kehilangan rasa secara partial atau total, dengan
atau tanpa disertai kehilangan kesadaran. Tujuan: Memblok transmisi
impuls syaraf, menekan refleks, meningkatkan relaksasi otot. Pemilihan
anesthesia oleh anesthesiologist berdasarkan konsultasi dengan ahli bedah
dan factor klien.
Anasthesia Umum, adalah keadaan kehilangan kesadaran yang reversible
karena inhibisi impulse saraf otak. Misal : bedah kepala, leher. Klien
yang tidak kooperatif.
Stadium Anesthesia.
- Stadium I : Relaksasi
Mulai klien sadar dan kehilangan kesadaran secara bertahab.
- Stadium II : Excitement.
Mulai kehilangan kesadaran secara total sampai dengan pernafasan
yang iregulair dan pergerakan anggota badan tidak teratur.
- Stadium III : Ansethesi pembedahan..
Ditandai dengan relaksasi rahang, respirasi teratur, penurunan
pendengaran dan sensasi nyeri.
- Stadium IV : Bahaya.
Apnoe, Cardiapolmunarry arrest, dan kematian.
Metode Pemberian
Inhalasi , IV injection. Instilasi rectal
Inhalasi
Metode yang paling dapat dikontrol karena intak dan eliminasi
secara primer oleh paru. Obat anesthesia inhalasi yang diberikan :
Gas: Nitrous Axida ( N20)
Paling sering digunakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau.
Non iritasi dengan masa induksi dan pemulihan yang cepat.
Jenis yang biasa dipakai;
a. Folatile
b. Halotan
c. Ethrane
d. Penthrane
e. Forane
Anesthesi Injeksi IV
Memberikan perasaan senang., cepat dan pelepasan obat secara
pelan. Jenis opbat yamng biasa dipakai;
Barbiturat
Narcotik
Inovar
Ketamine
Neuromusculer Brochler
Anestesi Local Atau Regional
Anestesi local atau regional secara sementara memutus
transmisi impuls saraf menuju dan dari lokasi khusus.
Teknik pemberian.
ANESTESI TOPIKAL, PEMBERIAN SECARA LANGSUNG PADA PERMUKAAN AREA
YANG DIANESTESI. BENTUK: SALEP ATAU SPRAY.
Lokal Anestesi, iInjeksi obat anestesi secara I C dan S C ke
jaringan sekitar insisi, luka atau lesi.
Field Block, injeksi secara bertahab pada sekeliling daerah yang
dioperasi ( hernioraphy , dental prosedur ,bedah plstik )
Nerve Block, injeksi obat anestesi local ke dalam atau sekitar
saraf atau saraf yang mempesarafi daerah yang dioperasi. Block
saraf memutus transmisi sensasi, motor, sympatis.
Spinal Anestesi / Intra Techal, dicapai dengan injecsi obat
anestesi ke dalam ruang sub orachonoid. Pada L 4-L5.
Pengkajian Pre medikasi Anastesi :
Di ruang penerimaan perawat sirkulasi:
- Memvalidasi identitas klien.
- Memvalidasi inform concent.
Chart Review.
- Memberikan informasi yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi
kebutuhan actual dan potensial selama pembedahan.
- Mengkaji dan merencanakan kebutuhan klien selama dan sesudah
operasi.
Perawat menanyakan.:
- Riwayat allergi, reaksi sebelumnya terhadap anesthesia atau
tranfusi darah.
- Check riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik.
- Check pengobatan sebelumnya : therapy, anticoagulasi.
- Check adanya gigi palsu, kontaks lens, perhiasan, wigs dan
dilepas.
- ( Kateterisasi.
4) Pelaksanaan operasi
a. Klien diintubasi dengan ET sebelumnya dilakukan general anestesi
b. Klin diposisikan telentang dengan kepala sedikit ekstensi
c. Dalam stadium anastesi dilakukan disinfektan menggunakan
betadine,kemudian diblilas menggunakan alkohol 70 %
d. Dipasang linen (doek steril), difiksasi dengan doek klem, selanjutnya
ditutup/dipasang doek lubang besar(mempersempit area yang akan
dioperasi).
e. Melakukan insisi dengan pisau bedah ± 10 cm,secara horizontal dari
lapisan kulit,lemak, otot.
f. Melakukan pemegangan tulang menggunakan reduction,kemudian
memposisikannya pada posisi semula,kemudian memasang plate pada tlang
sambil memegang dengan retractor dan melakukan pengeburan, memasang
plate dan screw sebanyak 7 dengan obeng.
g. Control perdarahan ( perdarahan disuction atau dep dengan kassa,dan
memakai cuter.
h. Memposisikan tulang dengan keadaan semula,mengukur panjang plate dan
screw
i. Kemudian tulang di bor dan diukur kedalaman bor dengan alat penduga
j. Memasang plate dan screw pada tulang yang telag dibor
k. Mencuci dengan NaCl, dan memastikan tidak ada lagi perdarahan.
l. Melakukan hecting dengan polisorb 2-0, pada sevi menggunakan safil 2-0
dan pada bagian kulit menggunakan byosin 4-0
m. Menutup luka dengan sufra tulle, kasa dan diplester.
n. Daerah area operasi dibersihkan dengan Nacl 0,9%, dan handuk basah.
o. Operasi selesai, mengobservasi A, B, C, ET dilepaskan
p. Klien dipindahkan ke brancard dan pindahkan keruang recovery.
Perawatan Post Operatif
Setelah menerima laporan dari perawat sirkulasi, dan pengkajian klien,
perawat mereview catatan klien yang berhubungan dengan riwayat klien,
status fisik dan emosi, sebelum pembedahan dan alergi. Perawat juga
melakukan pemeriksaan fisik dan manifestasi klinis pasien.
1. Sistem Pernafasan.
Ketika klien dimasukan ke PACU, Perawat segera mengkaji klien:
Potency jalan nafas, ( meletakan tangan di atas mulut atau hidung.
Perubahan pernafasan (rata-rata, pola, dan kedalaman). RR < 10 X /
menit ( depresi narcotic, respirasi cepat, dangkal ( gangguan
cardiovasculair atau rata-rata metabolisme yang meningkat.
Auscultasi paru ( keadekwatan expansi paru, kesimetrisan.
Inspeksi: Pergerakan didnding dada, penggunaan otot bantu pernafasan
diafragma, retraksi sternal ( efek anathesi yang berlebihan,
obstruksi.
Thorax Drain.
2. Sistem Cardiovasculer.
Sirkulasi darah, nadi dan suara jantung dikaji tiap 15 menit (4 x), 30
menit (4x). 2 jam (4x) dan setiap 4 jam selama 2 hari jika kondisi
stabil.
Penurunan tekanan darah, nadi dan suara jantung ( depresi miocard,
shock, perdarahan atau overdistensi.
Nadi meningkat ( shock, nyeri, hypothermia.
Kaji sirkulasi perifer (kualitas denyut, warna, temperatur dan ukuran
ektremitas).
Homan's saign ( trombhoplebitis pada ekstrimitas bawah (edema,
kemerahan, nyeri).
3. Keseimbangan Cairan Dan Elektrolit
Inspeksi membran mukosa : warna dan kelembaban, turgor kulit, balutan.
Ukur cairan ( NG tube, out put urine, drainage luka.
Kaji intake / out put.
Monitor cairan intravena dan tekanan darah.
4. Sistem Persyarafan.
Kaji fungsi serebral dan tingkat kesadaran ( semua klien dengan
anesthesia umum.
Klien dengan bedah kepala leher : ( respon pupil, kekuatan otot,
koordinasi. Anesthesia umum ( depresi fungsi motor.
5. Sistem Perkemihan.
Kontrol volunter fungsi perkemihan kembali setelah 6 – 8 jam post
anesthesia inhalasi, IV, spinal.
Anesthesia, infus IV, manipulasi operasi ( retensio urine.
Pencegahan : Inspeksi, Palpasi, Perkusi( abdomen bawah (distensi buli-
buli).
Dower catheter ( kaji warna, jumlah urine, out put urine < 30 ml / jam
( komplikasi ginjal.
6. Sistem Gastrointestinal.
Mual muntah ( 40 % klien dengan GA selama 24 jam pertama dapat
menyebabkan stress dan iritasi luka GI dan dapat meningkatkan TIK pada
bedah kepala dan leher serta TIO meningkat.
Kaji fungsi gastro intestinal dengan auskultasi suara usus.
Kaji paralitic ileus ( suara usus (-), distensi abdomen, tidak flatus.
jumlah, warna, konsistensi isi lambung tiap 6 – 8 jam.
Insersi NG tube intra operatif mencegah komplikasi post operatif
dengan decompresi dan drainase lambung.
Meningkatkan istirahat.
Memberi kesempatan penyembuhan pada GI trac bawah.
Memonitor perdarahan.
Mencegah obstruksi usus.
Irigasi atau pemberian obat.
7. Sistem Integumen.
Luka bedah sembuh sekitar 2 minggu. Jika tidak ada infeksi, trauma,
malnutrisi, obat-obat steroid.
Penyembuhan sempurna sekitar 6 bulan – satu tahun.
Ketidak efektifan penyembuhan luka dapat disebabkan oleh infeksi luka,
diostensi dari udema / palitik ileus, tekanan pada daerah luka,
dehiscence, dan eviscerasi.
8. Drain dan Balutan
Semua balutan dan drain dikaji setiap 15 menit pada saat di ruang PAR,
(Jumlah, warna, konsistensi dan bau cairan drain dan tanggal observasi),
dan minimal tiap 8 jam saat di ruangan.
9. Pengkajian Nyeri
Nyeri post operatif berhubungan dengan luka bedah , drain dan posisi
intra operative. Kaji tanda fisik dan emosi; peningkatan nadi dan tekanan
darah, hypertensi, diaphorosis, gelisah, menangis. Kualitas nyeri sebelum
dan setelah pemberian analgetika.
10. Pemeriksaan Laboratorium.
Dilakukan untuk memonitor komplikasi . Pemeriksaan didasarkan pada
prosedur pembedahan, riwayat kesehatan dan manifestasi post operative.
Test yang lazim adalah elektrolit, Glukosa, dan darah lengkap.
Diagnosa Keperawatan
1) Diagnosa preoperatif
Nyeri akut berhubungan denganagen cidera fisik (farktur)
Cemas berhubungan dengan proses operasi
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidaknyamanan,
imobilisasi
Resiko kerusakan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan
imobilisasi, penurunan sirkulasi, fraktur terbuka
Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer,
kerusakan kulit, trauma jaringan
"No "Dignosa "NOC "NIC "
"1 "Nyeri akut "Setelah dilakukan tindakan"Kaji nyeri klien "
" "b.d agen "keperawatan selama 3 x 24 "(P,Q,R,S,T) "
" "cidera fisik"jam, diharapkan nyeri "Ajarkan tehnik "
" " "pasien dapat berkurang "nonfarmakologi /tehnik "
" " "dengan kriteria hasil : "relaksasi(tarik nafas "
" " "Skala nyeri berkurang "dalam) "
" " "menjadi 4 "Kolaborasi dengan dokter "
" " "Klien mampu mengontrol "pemberian analgetik "
" " "nyeri dengan tehnik "Tingkatkan istirahat "
" " "nonfarmakologi " "
" " "TTV dalam batas normal " "
"2 "Cemas "Setelah dilakukan tindakan"Kaji faktor penyebab "
" "berhubungan "keperawatan selama 1 x 30 "kecemasan pasien. "
" "dengan "menit, diharapkan cemas "Berikan dukungan kepada "
" "kurangnya "pasien dapat teratasi "pasien. "
" "informasi "dengan kriteria hasil : "Jelaskan prosedur operasi "
" "(prosedur "Kontak mata baik "Observasi reaksi nonverbal"
" "operasi) "Pasien terlihat tenang "pasien. "
" " "Pasien tidak gelisah "Temani pasien dan "
" " "TD normal "dengarkan keluhan pasien "
" " "Pasien dapat mengungkapkan"Tunjukkan sikap empati "
" " "keluhannya "kepada pasien "
10 Diagnosa inta operasi
Bersihan jalan napas tidak efektif b/d produksi mucus
Gangguan pertukaran gas b/d efek anastesi ( spasme broncus )
Resiko infeksi b/d prosedur invasif (pembedahan)
"No "Diagnosa "NOC "NIC "
"1 "Bersihan "Setelah dilakukan tindakan"Lakukan suction "
" "jalan napas "keperawatan selama 2x24 "Berikan terapi O2 "
" "tidak "jam jalan napas pasien "Atur posisi pasien "
" "efektif b/d "efektif,dengan kriteria : "ekstensikan kepala pasien "
" "obstruksi "Pasien dapat bernapas "30 derajat dari kaki/ "
" "jalan napas:"dengan mudah "miringkan pasien "
" "produksi "Tidak ada suara napas "Ajarkan batuk efektif "
" "mucus "tambahan/suara napas " "
" " "bersih " "
" " "RR dalam rentang normal " "
" " "Tidak ada secret " "
" "Ganguan "Setelah dilakukan tindakan"Buka jalan napas dengan "
" "pertukaran "keperawatan selama 2x24 "manuver chin lift atau jaw"
" "gas b/d efek"jam tidak terjadi ganguan "trust "
" "anastesi ( "pertukaran gas, dengan "Pasang mayo "
" "spasme "kriteria : "Lakukan suction pada mayo "
" "broncus) "Tidak ada sianosis "Posisikan pasien untuk "
" " "Kesadaran composmentis "memaksimalkan ventilasi "
" " "Suara napas bersih "Monitor RR (kedalaman, "
" " "TTV dalam rentang normal "irama, frekuansi, suara "
" " "Sputum dapat keluar dengan"napas) "
" " "mudah " "
" " "Saturasi o2 dalam rentang " "
" " "normal " "
" "Resiko "Setelah di lakukan "Monitor TTV "
" "infeksi b/d "tindakan keperawatan "Monitor tanda-tanda "
" "prosedur "selama 3 x 24 jam resiko "infeksi. "
" "invasif: "infeksi dapat teratasi, "pertahankan teknik aseptic"
" "pembedahan "dengan criteria hasil : "selama proses pembedahan. "
" " "TTV dalam rentang normal "Lakukan pencucian tangan "
" " "Tidak ada tanda-tanda "sebelum dan sedudah "
" " "infeksi "bertemu pasien. "
" " "Luka bersih "Observasi pelaksanaan "
" " "Perdarahan < 500 ml "pembedahan dengan "
" " " "menggunakan teknik steril."
" " " "Monitor keadaan luka "
" " " "Tutup rapat luka dengan "
" " " "jahitan yang rapi. "
" " " "Jaga luka agar tidak "
" " " "terkontaminasi dari "
" " " "lingkungan "
12 Diagnosa post operasi
Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan Obstruksi jalan
napas : Produksi mucus
Resiko cidera (Injury) berhubungan dengan Efek anastesi
Nyeri berhubungan dengan diskontinuitas tulang
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka
neuromuskuler nyeri, terapi neftriktif (imobilisasi).
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka,
pemasangan traksi (pen, kawat, skrup).
Risiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan primer
(kerusakan kulit trauma, jaringan lunak, prosedur ibvasif/traksi
tulang).
Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan perdarahan.
Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan
membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti).
"No "Diagnosa "NOC "NIC "
"1 "Bersihan "Setelah dilakukan tindakan"Lakukan suction "
" "jalan napas "keperawatan selama 2x24 "Berikan terapi O2 "
" "tidak "jam jalan napas pasien "Atur posisi pasien "
" "efektif b/d "efektif,dengan kriteria : "ekstensikan kepala pasien "
" "obstruksi "Pasien dapat bernapas "30 derajat dari kaki/ "
" "jalan napas:"dengan mudah "miringkan pasien "
" "produksi "Tidak ada suara napas "Ajarkan batuk efektif "
" "mucus "tambahan/suara napas " "
" " "bersih " "
" " "RR dalam rentang normal " "
" " "Tidak ada secret " "
"2 "Resiko "Setelah dilakukan tindakan"Sediakan lingkungan yang "
" "cidera "keperawatan selama 3 x 24 "aman bagi pasien "
" "berhubungan "jm resiko cidera dapat "Temani pasien agar tidak "
" "dengan "teratasi dengan kriteria "jatuh "
" "Factor kimia"hasil : "Pasang side rail tempat "
" "(Efek "Tidak ada lagi efek dari "tidur "
" "anastesi). "obat anastesi "Anjurkan keluarga untuk "
" " "Pasien mengungkapkan rasa "menemani pasien nanti saat"
" " "nyaman. "di bangsal "
" " "Kesadaran composmentis "Mengontrol lingkungan dari"
" " " "kebisingan. "
DAFTAR PUSTAKA
Amin H, 2012. Aplikasi asuhan keperawatan nerdasarkan NANDA NOC NIC.
Yogyakarta: Media hardy
Black and Hawks. Medical Surgical Nursing Clinical Management for Positive
Outcomes.2004
Brunner dan Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume 3.
Jakarta : EGC
Carpenito, 2000. Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6,
EGC, Jakarta.
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hardjowidjoto, S. 1993. Anatomi Fisiologi Traktus Urogenital. Surabaya,
Program Studi Urologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga /
RSUD. dr. Soetomo.
Long, B.C., 1996. Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Lukman, & Ningsih, N. (2009). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Gangguan Sistem Muskuloskletal. Jakarta : Salemba Medika
M.A Henderson. 2000. Ilmu Bedah untuk Perawat. Yogyakarta : Yayasan
Essentia Medica
Mansjoer, A. dkk . 2000 . Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3.
Jakarta: Media Aesculopius
North American Nursing Diagnosis Association. 2001. Nursing Diagnosis :
Definition and Classification 2009-2011. NANDA International.
Philadelphia.
Price, Sylvia A,. 2005. Konsep Klinis Proses-proses penyakit. Edisi 6,
Volume 2. Jakarta: EGC.
Smeltze. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah. EGC: Jakarta.
Uy, Mary Princess. ORIF-Written-Output. 2011.
http://www.scribd.com/doc/61906824/ORIF-Writen-Output